sipendikum - semnas.unikama.ac.id · melalui penerapan sanksi administrasi dan sanksi pidana. ida...

14
63 SIPENDIKUM 2018 QUO VADIS: PENEGAKAN HUKUM KEPADA APARATUR SIPIL NEGARA MELALUI PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA. Ida Zuraida 1 Email: [email protected] Abstrak Perdebatan pendapat terkait dapat atau tidaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) dipidana dalam hal terjadi kesalahan administrasi menjadi polemik sampai dengan saat ini. Pendapat pertama menyatakan penerapan sanksi administrasi lebih utama dibandingkan dengan sanksi pidana (ultimum remedium). Sementara, pendapat kedua menyatakan penerapan sanksi pidana lebih didahulukan dari penerapan sanksi administrasi (premum remedium). Apabila perbedaan pendapat ini tidak segera diselesaikan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketikdakpastian hukum dapat menurunkan “trust” masyarakat kepada pemerintah dan dapat menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kewajibannya sebagai warga negara. Rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat kepada hukum dapat mengganggu jalannya pemerintahan dan selanjutnya akan mengganggu pembangunan di segala bidang. Paper ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Kesimpulan paper apabila ASN melakukan kesalahan administrasi karena kekhilafan akan dikenakan sanksi administrasi, sementara apabila ASN melakukan kesalahan administrasi karena penipuan akan dikenakan sanksi pidana. Paper ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu: pendahuluan, rumusan masalah, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan. Kata kunci: ASN, konsep kesalahan, sanksi administrasi, sanksi pidana Pendahuluan Perdebatan pendapat terkait dapat atau tidaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) dipidana dalam hal terjadi kesalahan administrasi menjadi polemik sampai dengan saat ini. Pendapat pertama menyatakan penerapan sanksi administrasi lebih utama dibandingkan dengan sanksi pidana (ultimum remedium). Sementara, pendapat kedua menyatakan penerapan sanksi pidana lebih didahulukan dari penerapan sanksi administrasi (premum remedium). Apabila perbedaan pendapat ini tidak segera diselesaikan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketikdakpastian hukum dapat menurunkan “trust” masyarakat kepada pemerintah dan dapat menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kewajibannya sebagai warga negara. Rendahnya tingkat 1 Penulis adalah Widyaiswara pada Pusdiklat Pajak, Badan Diklat Keuangan, Kementerian Keuangan RI.

Upload: vonga

Post on 23-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

63

SIPENDIKUM 2018

QUO VADIS: PENEGAKAN HUKUM KEPADA APARATUR SIPIL NEGARA

MELALUI PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA.

Ida Zuraida

1

Email: [email protected]

Abstrak

Perdebatan pendapat terkait dapat atau tidaknya Aparatur Sipil Negara (ASN)

dipidana dalam hal terjadi kesalahan administrasi menjadi polemik sampai

dengan saat ini. Pendapat pertama menyatakan penerapan sanksi administrasi

lebih utama dibandingkan dengan sanksi pidana (ultimum remedium). Sementara,

pendapat kedua menyatakan penerapan sanksi pidana lebih didahulukan dari

penerapan sanksi administrasi (premum remedium). Apabila perbedaan pendapat

ini tidak segera diselesaikan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Ketikdakpastian hukum dapat menurunkan “trust” masyarakat kepada

pemerintah dan dapat menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap

kewajibannya sebagai warga negara. Rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat

kepada hukum dapat mengganggu jalannya pemerintahan dan selanjutnya akan

mengganggu pembangunan di segala bidang. Paper ini menggunakan metode

penelitian hukum normatif. Kesimpulan paper apabila ASN melakukan kesalahan

administrasi karena kekhilafan akan dikenakan sanksi administrasi, sementara

apabila ASN melakukan kesalahan administrasi karena penipuan akan dikenakan

sanksi pidana. Paper ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu: pendahuluan, rumusan masalah, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan.

Kata kunci: ASN, konsep kesalahan, sanksi administrasi, sanksi pidana

Pendahuluan

Perdebatan pendapat terkait dapat atau tidaknya Aparatur Sipil Negara (ASN)

dipidana dalam hal terjadi kesalahan administrasi menjadi polemik sampai dengan saat

ini. Pendapat pertama menyatakan penerapan sanksi administrasi lebih utama

dibandingkan dengan sanksi pidana (ultimum remedium). Sementara, pendapat kedua

menyatakan penerapan sanksi pidana lebih didahulukan dari penerapan sanksi

administrasi (premum remedium). Apabila perbedaan pendapat ini tidak segera

diselesaikan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketikdakpastian hukum dapat

menurunkan “trust” masyarakat kepada pemerintah dan dapat menurunkan tingkat

kepatuhan masyarakat terhadap kewajibannya sebagai warga negara. Rendahnya tingkat

1Penulis adalah Widyaiswara pada Pusdiklat Pajak, Badan Diklat Keuangan, Kementerian Keuangan RI.

64

SIPENDIKUM 2018

kepatuhan masyarakat kepada hukum dapat mengganggu jalannya pemerintahan dan

selanjutnya akan mengganggu pembangunan di segala bidang.

PAF. Lamintang (1983 : 16-17) menjelaskan pengertian ultimum remedium yaitu

menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir yang harus dipergunakan untuk

memperbaiki tingkah laku manusia, setelah sanksi administrasi tidak mampu mengubah

perilaku manusia. Sementara, premum remedium menempatkan sanksi pidana sebagai

upaya awal dalam melakukan penegakan hukum kepada masyarakat, setelah itu baru

sanksi administrasi.

Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan pada asas

legalitas, yang berarti harus berdasarkan undang-undang (hukum tertulis), namun dalam

praktiknya peraturan perundang-undangan tidak cukup memadai apalagi di tengah

masyarakat yang memiliki dinamika cukup tinggi. Menurut Baghir Manan, hukum

tertulis memiliki kelemahan mengingat peraturan perundang-undangan memiliki

jangkauan yang terbatas. Bahkan, Baghir Manan menyatakan: pertama, hukum tertulis

merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang mencakup semua aspek kehidupan

yang sangat luas dan kompleks, sehingga tidak mungkin peraturan perundang-undangan

mengatur seluruh aspek kehidupan. Kedua, peraturan perundang-undangan sebagai

hukum tertulis sifatnya statis (pada umumnya), sehingga peraturan tidak dapat dengan

cepat mengikuti perkembangan masyarakat (Ridwan, 2006: 98-99).

Untuk mengatasi ketiadaan atau ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-

undangan terkait tindakan pejabat pemerintah, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan memperkenankan pejabat pemerintah untuk

menggunakan diskresi.

Diskresi menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 (UU

30/2014) adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh

Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam

penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang

memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya

stagnasi pemerintahan.

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang 30/2014 mengatur diskresi hanya dapat

dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang dengan tujuan sebagaimana

diatur dalam pasal 22 ayat (2), yakni: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,

65

SIPENDIKUM 2018

mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi

pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Yang

dimaksud dengan “stagnasi pemerintahan” adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas

pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Selain itu, pelaksanaan diskresi pun harus dilakukan tidak bertentangan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik (AUPB), berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak

menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.

Pengertian diskresi dalam Undang-Undang 30/2014 tersebut sejalan dengan

pendapat Marbun dan Mahfud MD (1987:46). Diskresi adalah kewenangan yang sah

untuk ikut dalam kegiatan sosial masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas

menyelenggarakan kepentingan umum, tercakup di dalamnya adalah membuat

peraturan terhadap hal-hal yang belum ada peraturannya (terjadi kekosongan hukum)

atau dalam hal mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan,

yang mana kemudian kewenangan dan/atau kekuasaan ini disebut dengan descretionary

power.

Apabila dalam dalam pelaksanaan tugasnya ASN melakukan kesalahan, Undang-

Undang 30/2014 mengatur kepada ASN akan dikenakan sanksi administrasi atau

pidana. Undang-Undang tersebut tidak mengatur secara jelas kesalahan mana yang

bersifat administrasi, sehingga kepada ASN dikenakan sanksi administasi dan kesalahan

mana yang bersifat pidana, sehingga kepada ASN dikenakan sanksi pidana. Undang-

Undang hanya mengatur adanya kesalahan bersifat administrasi dan kesalahan

kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang 30/2014 adalah untuk

menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga

pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam

memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat

pemerintahan. Dengan demikian, Undang-Undang 30/2014 menuntut hubungan hukum

antara pemerintah dengan warga masyarakat harus mampu dijalankan dalam rangka

mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai implementasi dari Asas-Asasa

Umum Pemerintahan yang Baik, serta dalam rangka menciptakan kepastian hukum.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat masalah tersebut

dan memberi judul penelitian ini “QUO VADIS: PENEGAKAN HUKUM KEPADA

APARATUR SIPIL NEGARA MELALUI PENERAPAN SANKSI

ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA.”

Rumusan Masalah

Permasalahan penelitian adalah bagaimana pengertian kesalahan (perbuatan

melawan hukum) yang dilakukan oleh ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2)

Undang-Undang 30/2014 ?

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum. Penelitian

66

SIPENDIKUM 2018

hukum adalah suatu penelitian ilmiah yang mempelajari suatu gejala hukum tertentu

dengan menganalisisnya atau melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap suatu

fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang

timbul dari gejala tersebut. Penelitian hukum dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian

hukum normatif dan penelitian hukum empiris (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,

2010:27).

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang meletakkan hukum sebagai

sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-

asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta

doktrin. Sementara, penelitian hukum empiris adalah penelitian yang memahami

kondisi dan situasi sosial kemasyarakatan dimana hukum tersebut diterapkan, sehingga

penelitian hukum empiris memberikan pemahaman utuh terhadap suatu hukum ketika

diterapkan di masyarakat (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010:44-45).

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, penelitian hukum

normatif digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Penelitian hukum

normatif menggunakan asas-asas hukum, norma, kaidah dari peraturan perundang-

undangan atau doktrin. Penelitian ini menggunakan asas-asas hukum dan doktrin. Hasil

pengujian atas asas-asas hukum dan doktrin dapat membantu Peneliti dalam mencari

pengertian perbuatan melawan hukum (kesalahan) ASN mana yang bersifat administrasi

dan mana yang bersifat pidana, sehingga pemberian sanksi kepada ASN sesuai dengan

kesalahan yang dilakukannya..

67

SIPENDIKUM 2018

Johnny Ibrahim (2005:444) menyatakan dalam penelitian hukum normatif

digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan

konsep, pendekatan analitis, pendekatan perbandingan, pendekatan sejarah, pendekatan

filsafat, dan pendekatan kasus.

Adapun penjelasan masing-masing pendekatan sebagai berikut:

a. pendekatan perundang-undangan (statute approach). Dalam hal ini, peraturan

perundang-undangan dijadikan dasar untuk melakukan analisis awal. Peraturan

perundang-undangan menjadi titik fokus dari penelitian, ini sesuai dengan sifat

hukum mempunyai ciri-ciri comprehensive (koneksitvitas antarnorma hukum), all-

inclusive (berupa kumpulan norma sehingga tidak ada kekosongan hukum),

systematic (pertautan antarnorma secara hierarkhis).

b. pendekatan konsep (conceptual approach). Dalam hal ini analisis didasarkan pada

konsep-konsep ilmu hukum, yang berkembang dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin, sehingga peneliti menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-

pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti, serta membentuk argumentasi hukum untuk menjawab

permasalahan hukum yang diajukan.

c. pendekatan analitis (analytical approach). Analisis dilakukan dengan mencari makna

pada istilah-istilah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,

sehingga diperoleh pengertian atau makna baru dari istilah tersebut dan mengujinya

secara praktis melalui putusan-putusan hukum. Pendekatan ini biasanya dilakukan

untuk melihat fenomena kasus yang telah diputus oleh pengadilan dengan cara

melihat analisis yang dilakukan oleh ahli hukum. Tapi dapat juga digunakan untuk

menganalisis fenomena lain.

d. pendekatan perbandingan (comparative approach). Dilakukan dengan cara

membandingkan bisa berupa peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,

pelaksanaan peraturan perundang-undangan, lembaga hukum dari sistem hukum.

Pendekatan perbandingan dapat digunakan untuk mengisi kekosongan hukum.

e. pendekatan sejarah (historical approach). Dilakukan dengan menelaah latar belakang

dan perkembangan dari materi yang diteliti mulai dari masa lalu sampai saat ini. Hal

ini dilakukan karena dianggap mempunyai relevansi dalam mengungkap atau

menjawab permasalahan yang diajukan.

68

SIPENDIKUM 2018

f. pendekatan filsafat (philosophical approach). Dalam hal ini peneliti ingin melakukan

penelaahan materi secara mendalam. Hal ini sesuai dengan sifat filsafat yaitu

mendasar, menyeluruh dan spekulatif, sehingga akan mengupas isu hukum atau

materi penelitian secara menyeluruh, radikal dan mendalam.

g. pendekatan kasus (case approach). Pendekatan ini bertujuan untuk mempelajari

norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.

Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang 30/2014 membagi 2 (dua) jenis kesalahan

ASN dalam pelaksanaan tugasnya dan penyelesaian atas pelanggaran tersebut, yaitu:

(1) kesalahan administratif diselesaikan secara administratif melalui penyempurnaan

administrasi;

(2) kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara apabila

terdapat unsur penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang diselesaikan melalui

proses pidana.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan konsep (conceptual

approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Mengingat Undang-Undang

30/2014 tidak mengatur secara jelas konsep kesalahan mana yang bersifat administratif

dan mana yang bersifat pidana, pendekatan konsep digunakan untuk menganalisis

konsep kesalahan dari berbagai pendapat ahli di bidang hukum perdata, administrasi dan

pidana. Berdasarkan pendekatan para ahli hukum diperoleh pengertian atau pemahaman

terkait konsep kesalahan dari berbagai sudut pandang hukum. Pendekatan yang sesuai

dengan kesalahan ASN atau pejabat publik akan berdampak pada pemberian sanksi

yang sesuai dengan kesalahan ASN.

Pendekatan analitis dilakukan dengan melakukan analisa terhadap sistematika

hukum yaitu perbuatan hukum berupa sikap tindak atau perilaku yang melanggar

hukum. Kedua proses pendekatan tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk

menentukan kesalahan ASN, sehingga pemberian sanksi akan sesuai dengan kesalahan

yang dilakukan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum dalam penelitian

hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Yang dimaksud bahan

hukum primer, sekunder adalah (Mukti Fajar, 2010:157):

69

SIPENDIKUM 2018

a. bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma

atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, dan

yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang

Administrasi Pemerintahan dan pidana.

b. bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Dalam penelitian ini

digunakan buku-buku teks hukum atau jurnal terkait administrasi negara dan pidana

yang menunjang permasalahan yang hendak diteliti.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian terkait penerapan sanksi administrasi atau pidana terhadap pelanggaran

perundang-undangan administrasi pernah dilakukan oleh Bambang Suheryadi dalam

tesisnya berjudul “Kedudukan Sanksi Pidana dan Sanksi/Tindakan Administrasi dalam

Sistem Pemidanaan di Indonesia” (Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2002).

Penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan sanksi pidana dalam hukum administrasi

bertujuan mengoptimalkan pidana dalam hukum administrasi.

Andreas Eno Tirtakusuma pun pernah melakukan penelitian dalam tesis yang

berjudul “Penyelesaian Pelanggaran Prinsip Keterbukaan di Pasar Modal Indonesia

(Tinjauan Penggunaan Sarana Hukum Administrasi dan Sarana Hukum Pidana)”

(Universitas Indonesia). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa BAPEPAM diberikan

diskresi untuk melakukan penerapan sanksi administrasi atau sanksi pidana kepada

pelanggar prinsip Keterbukan sebagaimana diatur Undang-Undang Pasar Modal. Hasil

penelitian menunjukkan BAPEPAM lebih mengedepankan penerapan sanksi

administrasi dibanding sanksi pidana mengingat pelanggaran prinsip keterbukaan

apabila dilanjutkan ke tahap penyidikan akan menghambat kegiatan pasar modal.

Merujuk pada hasil penelusuran di atas, peneliti belum menemukan penelitian

dalam hukum administrasi terkait konsep atau pengertian kesalahan ASN mana yang

bersifat administratif dan pidana serta konsep pemberian sanksi bagi ASN yang

pelanggar ketentuan, sehingga penelitian ini dapat diyakini keasliannya. Melalui

penelitian ini, peneliti berharap dapat membantu para penegak hukum untuk mendalami

motif atau kehendak ASN pada saat melakukan pelanggaran, sehingga pemberian sanksi

diberikan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

70

SIPENDIKUM 2018

Motif atau kehendak ASN dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan

tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan

(dwang), dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang timbul dalam

pelaksanaan tugasnya menjadi tidak sah. Mengingat setiap tindakan ASN harus

berdasarkan pada ketentuan dan perbuatan tersebut tidak boleh menyimpang atau

bertentangan dengan ketentuan yang berlaku (Ridwan, 2006:115).

1. Landasan Teori

Pengertian Sanksi Administrasi

P. De Han (Ridwan, 2006:32) memberikan pengertian hukum administrasi

berhubungan dengan organisasi dan fungsionalisasi pemerintahan umum dalam

hubungannya dengan masyarakat. Pengertian hukum administrasi menurut H.D. van

Wijk adalah keseluruhan hukum yang berkaitan dengan administrasi, pemerintah, dan

pemerintahan. Sementara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 30/2014 menyatakan

administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau

tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Philipus M. Hadjon memberikan pengertian sanksi administrasi dalam hukum

administrasi adalah merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang

digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum

administrasi (Suheryadi, 2002 : 86).

Tujuan Sanksi Administrasi

Menurut J.B.J.M. ten Berge tujuan pemberian sanksi adalah untuk menegakkan

hukum administrasi. Menurut P de Haan dkk tujuan pemberian sanksi adalah untuk

melaksanakan kewenangan pemerintahan, mengingat kewenangan ini berasal dari

aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis (Ridwan, 2006: 315). Tujuan

pemberian sanksi administrasi lebih mengedepankan proses pengembalian kepada

keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran.

Pengertian Sanksi Pidana

Perbuatan pidana menurut Simmons (Hiariej, 2014:13) merupakan suatu

perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,

dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggungjawab

atas perbuatannya. Seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana sesuai dengan

rumusan delik dan dapat dimintai pertanggungjawaban akan dikenakan sanksi pidana.

71

SIPENDIKUM 2018

Pengertian sanksi pidana menurut van Hamel (Hiariej, 2014:30) adalah suatu

penderitaan yang bersifat khusus dan dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang

sebagai penanggung jawab ketertiban hukum umum terhadap seorang pelanggar karena

telah melanggar peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. Sudarto

memberikan pengertian sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan

kepada orang yang melakukan perbuatan dan memenuhi syarat tertentu (Hiariej,

2014:13).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan sanksi pidana lebih

mengedepankan pada adanya unsur pemenuhan rumusan suatu delik dan sanksi pidana

bertujuan memberikan suatu penderitaan atau nestapa bagi pelaku.

Tujuan Sanksi Pidana.

Menurut Lafave, tujuan pidana sebagai pengendalian sosial, artinya pelaku

kejahatan diisolasi agar tindakan berbahaya yang dilakukannya tidak merugikan

masyarakat dan tujuan pidana adalah untuk memulihkan keadilan yang dikenal dengan

istilah restorative justice atau keadilan restoratif (bentuk pendekatan penyelesaian

perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban keluarga

atau pelaku atau pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan).

Selanjutnya, Ancel menyatakan tujuan pidana adalah melindungi tatanan masyarakat

dengan tekanan pada resosialisasi atau pemasyarakatan kembali dengan penegakkan

hukum yang tidak menitikberatkan hanya pada yuridis formal tetapi juga bernuansa

sosial (Hiariej, 2014: 36).

Perbedaan Sanksi Administrasi dan Pidana

Berdasarkan penjelasan di atas perbedaan sanksi administrasi atau sanksi pidana

adalah:

Tabel 1

Perbedaan Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana

sanksi administrasi sanksi pidana

lebih mengedepankan proses

pengawasan daripada penegakan

hukum, demi pemulihan kondisi

sebelum pelanggaran tersebut terjadi

(reparatoir).

lebih menekankan penegakan hukum

kepada pelaku yang telah melanggar

suatu rumusan delik dan kepadanya

patut untuk dimintakan

pertanggungjawaban.

72

SIPENDIKUM 2018

sanksi administrasi ditujukan kepada

perbuatan pelaku

pidana ditujukan kepada pelaku

pelanggaran dengan pemberian hukum

berupa penderitaan atau nestapa.

Sumber: (Ridwan, 2006:317-318).

Berdasarkan pengertian di atas baik berdasarkan ketentuan administrasi maupun

pendapat ahli hukum administrasi dapat diambil kesimpulan, hukum administrasi

adalah: (1) sekumpulan aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana alat

perlengkapan negara berfungsi untuk melaksanakan tugas pemerintahan; (2)

sekumpulan aturan-aturan hukum di bidang pemerintahan yang mengatur hubungan

antara pemerintah dengan warga negaranya. Kesimpulan tersebut sejalan dengan

pendapat Soehino (1982:9).

2. Pengertian Konsep Kesalahan Menurut Hukum Perdata, Pidana, Dan

Administrasi

Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang 30/2014 konsep kesalahan dibagi

menjadi 2 (dua) yaitu:

kesalahan administratif tindak lanjut melalui penyelesaian administratif;

kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara (tindak lanjut berupa

pidana).

Namun, Undang-Undang 30/2014 tidak memberikan penjelasan terkait pengertian

kesalahan administratif, sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan doktrin

hukum administrasi, perdata maupun pidana. Kriteria kesalahan berdasarkan ilmu

hukum administrasi dibagi 3 (tiga) kriteria yaitu: kekhilafan, penipuan atau pemaksaan,

pengertian (1) kekhilafan atau kelalaian (salah kira, dwalling) terjadi apabila seseorang

(subjek hukum) menghendaki sesuatu sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak

tersebut didasarkan atas sesuatu bayangan tentang sesuatu hal yang salah; (2)

kekurangan yuridis paksaan (dwang) adalah keputusan yang dibuat berdasarkan

paksaan, terhadap keputusan ini dapat dibatalkan, bahkan paksaan dapat menjadi sebab

keputusan tadi batal mutlak.

Akibat dari perbuatan yang dibuat berdasarkan paksaan dapat menjadi sebab

dibatalkannnya (batal untuk sebagian) keputusan tersebut. Bahkan paksaan secara keras

dapat menyebabkan keputusan menjadi batal karena hukum; (3) kekurangan yuridis

tipuan (bedrog) adalah keputusan yang dilakukan berdasarkan penipuan. Dikatakan

73

SIPENDIKUM 2018

penipuan apabila kehendak dan kenyataan berbeda, disebabkan karena adanya

serangkaian tipu muslihat yang disengaja, sehingga si pembuat keputusan terpengaruh.

Kriteria kesalahan dalam hukum administrasi, ternyata ditemukan pula pada

hukum perdata dengan isitlah cacat pada kehendak (wilsgebreken) dalam tulisan

Wibowo Tunardy dengan judul “Cacat pada Kehendak (Wilsgebreken)” Adanya cacat

pada kehendak tersebut menyebabkan suatu tindakan hukum dapat dibatalkan.

Kesalahan tersebut: (1) kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwalling) adalah adanya

kesesuaian antara kehendak dengan pernyataan, namun kehendak salah satu atau kedua

belah pihak terbentuk secara cacat. Akibat adanya kekeliruan tersebut harus ditanggung

oleh dan menjadi risiko pihak yang membuatnya; (2) ancaman/paksaan (dwang) adalah

ancaman terjadi apabila seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu

perbuatan hukum dengan menggunakan cara yang melawan hukum. Perbuatan tersebut

menimbulkan kerugian pada orang tersebut atau kebendaan miliknya atau terhadap

pihak ketiga dan kebendaan milik pihak ketiga. Ancaman ini dapat terjadi dengan

menggunakan sarana yang legal maupun ilegal; (3) penipuan (bedrog) adalah apabila

seseorang dengan kehendak dan pengetahuan menimbulkan kesesatan pada orang lain.

Penipuan dapat terjadi karena adanya fakta yang sengaja disembunyikan; (4)

penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandikheden) adalah apabila seseorang

tergerak karena keadaan khusus untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan pihak

lawan menyalahgunakan hal tersebut.

Pendekatan secara normatif dapat dilakukan terkait kesalahan yang daitur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP membagi 2 (dua) kesalahan

pelaku pelanggaran yaitu kealpaan atau sengaja, namun pengertian kealpaan atau

sengaja tidak ditemukan dalam KUHP. Ketiadaan kejelasan terkait kealpaan atau

sengaja dapat menggunakan pendekatan doktrin hukum pidana.

Menurut Poernomo, pengertian kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat

disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban pidana yang mengandung makna

dapat dicelanya si pelaku atas perbuatannya (Poernomo, 1997: 145). Kesalahan

mengandung segi psikologis dan segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar untuk

mengadakan pencelaan yang harus ada terlebih dahulu, baru kemudian segi yang kedua

untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar kesalahan yang harus dicari

74

SIPENDIKUM 2018

dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu dengan menyelidiki bagaimana

hubungan batinnya dengan apa yang telah diperbuat.

Menurut Moeljatno, kriteria kesalahan dalam hukum pidana dapat dibedakan

dalam dua bentuk yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan

kesalahan dalam bentuk kealpaan (culpa). Moeljatno menyatakan bahwa Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian kesengajaan. Namun Pasal 18

KUHP negara Swiss memberikan penergertian sengaja sebagai perbuatan dengan

mengetahui dan menghendakinya, maka pelaku melakukan perbuatan dengan sengaja

(2009: 171). Pengertian kesengajaan menurut MvT (Memorie van Toelichting), yang

memberikan arti kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui”.

Selanjutnya, hukum pidana mengenal beberapa teori yang berkaitan dengan

kesengajaan (dolus/opzet) yaitu: (1) teori kehendak (wilstheorie), inti dari kesengajaan

ini adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan Undang-

Undang; (2) teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellingtheorie). Sengaja

berarti membayangkan akan timbulnya suatu perbuatan, orang tidak bisa menghendaki

akibat melainkan hanya dapat membayangkannya.

Berdasarkan penjelasan terkait pengertian konsep kesalahan secara normatif dan

doktrin hukum, pengertian kesalahan yang tepat digunakan sebagai kriteria adalah

kesalahan karena kekhilafan/kesesatan/kelalaian dan kesalahan karena penipuan,

sementara pengertian kesalahan karena pemaksaan tidak dapat digunakan dalam

penelitian ini, mengingat yang dibebani untuk melakukan kewajiban perpajakan adalah

wajib pajak.

Sebagai kesimpulan dari pendekatan doktrin hukum dibagi 2 (dua), kriteria

kesalahan ASN dibagi 2 (dua) yaitu: (1) kekhilafan/kesesatan/kelalaian merupakan

kesalahan yang bersifat administratif dan tindak lanjut kepada ASN diselesaikan melalui

proses administratif; (2) kesalahan yang mengandung unsur penipuan dan pemaksaan

merupakan kesalahan pidana dan diselesaikan diselesaikan secara pidana.

Kriteria kesalahan mana yang bersifat administrasi dan mana yang bersifat pidana

diharapkan dapat membantu penegak hukum dalam rangka mengawasi kewajiban dan

tugas ASN, sehingga penentuan kriteria kesalahan tidak semata-mata diserahkan kepada

penegak hukum tanpa adanya ukuran kesalahan mana yang bersifat administrasi dan

pidana.

75

SIPENDIKUM 2018

Tabel 2

Kriteria Kesalahan dalam Hukum Perdata, Pidana, dan Hukum Administrasi

Hukum perdata Hukum pidana Hukum administrasi

1) kekeliruan/kesesatan/kekhilafa

n (dwalling)

2) ancaman/paksaan (dwang)

3) penipuan (bedrog)

4) penyalahgunaan keadaan

(misbruik van

omstandikheden)

1) kealpaan

2) sengaja

1) kekeliruan/kesesatan/kekhilaf

an (dwalling)

2) ancaman/paksaan (dwang)

3) penipuan (bedrog)

Sumber: diolah dari buku Poernomo, Indroharto, dan artikel Wibowo Tunardy

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan kriteria kesalahan menurut hukum perdata,

pidana dan administrasi hampir sama yaitu kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwalling),

ancaman/paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Apabila kriteria kesalahan dalam

hukum perdata, pidana dan administrasi disederhanakan, kriteria tersebut dibagi 2 (dua)

yaitu kesalahan karena kekeliruan/kesesatan/kekhilafan dan kesalahan karena adanya

ancaman/paksaan dan penipuan.

Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang 30/2014 kriteria kesalahan berupa

kekeliruan/kesesatan/kekhilafan diselesaikan dengan proses administrasi, sedangkan

kesalahan karena adanya ancaman/paksaan dan penipuan diselesaikan melalui proses

pidana.

Berdasarkan pendekatan doktrin hukum tersebut, penentuan kriteria kesalahan ASN

menggunakan 2 (dua) pendekatan tersebut, apabila tidak terdapat unsur penipuan dalam

melakukan tugas pemerintahan kepada ASN diselesaikan melalui proses penerapan

sanksi administrasi. Sementara apabila dalam pelaksanaan tugasnya ASN tersebut

melakukan penipuan, kepada ASN dikenakan sanksi pidana.

Kesimpulan

Perlindungan hukum bagi ASN pada saat pelaksanaan fungsi pemerintahan

mutlak diperlukan, mengingat dalam pelaksanaan tugasnya mungkin saja terjadi

kesalahan administrasi yang dilakukan oleh ASN. Melalui pendekatan konsep kesalahan

sesuai doktrin hukum administrasi, perdata maupun pidana diharapkan dapat

memberikan penegasan terkait kesalahan ASN menurut Undang-Undang 30/2014.

Mengingat Undang-Undang tidak menjelaskan pengertian kesalahan administrasi mana

yang bersifat administratif dan pidana. Penelitian ini menyimpulkan apabila ASN

76

SIPENDIKUM 2018

melakukan kesalahan karena kekhilafan/kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya terhadap

ASN tersebut dikenakan sanksi secara administrasi. Apabila dalam pelaksanaan

tugasnya ASN melakukan penipuan kepada ASN dikenakan sanksi pidana.

Daftar Pustaka

Buku

Bambang Poernomo, (1997), Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Ghalia Indonesia.

Eddy O.S. Hiariej, (2014), Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,Yogyakarta: Cahya Atma

Pustaka.

Johnny Ibrahim, (2007), Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia Publishing.

Marbun dan Mahfud MD, (1987), Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Yogyakarta: Liberty.

Moeljatno, (2005), Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, (2010), Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PAF Lamintang, (1983), Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar

Baru.

Ridwan HR, (2006), Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Tesis/Artikel

Andreas Eno Tirtakusuma, Penyelesaian Pelanggaran Prinsip Keterbukaan di Pasar

Modal Indonesia, Depok: Universitas Indonesia.

Bambang Suheryadi, (2002), Kedudukan Sanksi Pidana dan Sanksi/Tindakan

Administrasi dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Semarang: Universitas

Diponegoro.