sipendikum 2018 · sipendikum 2018 155 penerapan prinsip netralitas bagi aparatur sipil nedara...
TRANSCRIPT
SIPENDIKUM 2018
155
PENERAPAN PRINSIP NETRALITAS BAGI APARATUR SIPIL NEDARA
BERDASARKAN UU NO.5 TAHUN 2014 NEGARA PEMILIHAN KEPALA
DAERAH
Dr.Rini Irianti Sundary, SH.,MH1
email : [email protected]
Abstrak
Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan
negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun
aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan
bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur
perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah selaku pembina kepegawaian telah berupaya untuk
mendorong terwujudnya sebuah birokrasi yang netral. Salah satu upaya
yang dilakukan yakni menekankan asas netralitas dalam regulasi
perundang-undangan. Lahirnya undang-undang ASN salah satunya
didasarkan pada upaya pembentukan birokrasi yang netral. UU ini
menyebutkan di bagian penjelasan bahwa dalam upaya menjaga netralitas
ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan,
kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala
perhatian, pikiran, dan tenaga padatugas yang dibebankan, ASN dilarang
menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.Pada faktanya tidak
jarang bahwa pegawai ASN “sengaja” ditarik-tarik untuk terlibat dalam
politik praktis, walaupun sementara ASN memang “berminat”
menyeberang ke dalam politik praktis. Penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana pelaksanaan netralitas aparatur sipil negara
dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, apa saja yang
menyebabkan adanya aparatur yang kurang netral dan pengawasn yang
dilakukan terhadap pelaksanaan prinsip netralitas. Netralitas Pegawai
Negeri Sipil memang sangat dibutuhkan dalam proses politik seperti
Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilu anggota legislative dan
pemilihan Presiden/Wakil Presiden, karena pegawai negeri merupakan
pelayan publik dan pegawai negeri yang betul-betul berdiri secara
independen tanpa harus memihak.
Kata kunci: Aparatur Sipil Negara, Birokrasi, Netralitas
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
SIPENDIKUM 2018
156
Pendahuluan
Kedudukan dan peranan Aparatur Sipil Negara dalam penyelenggaraan
pemerintahan sangat penting dan menentukan, karena melalui tangan-tangan unsur
Aparatur Negaralah bertumpu upaya-upaya pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan untuk mencapai tujuan Nasional.
Tujuan Nasional bangsa Indonesia seperti termaksud di dalam Pembukaan
Undang- Undang Dasar 1945 ialah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
Tanah Tumpah Darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan Nasional tersebut hanya
dapat dicapai melalui Pembangunan Nasional yang direncanakan dengan terarah dan
realistis serta dilaksanakan secara bertahap, bersungguh-sungguh, berdaya guna, dan
berhasil guna.
Dalam rangka usaha mencapai tujuan Nasional sebagai tersebut di atas
diperlukan adanya pegawai Negeri yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu,
bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkwalitas
tinggi, dan sadar akan tanggung-jawabnya sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi
Negara, dan Abdi Masyarakat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Apratur Sipil Negara menjelaskan
bahwa Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada
instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai
ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap
oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tersebut juga dinyatakan bahwa setiap :
Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak
kepada kepentingan siapapun.” Netralitas dapat juga diartikan sebagai bersikap tidak
memihak terhadap sesuatu apapun.2 Dalam konteks ini netralitas diartikan sebagai tidak
terlibatnya pegawai negeri sipil .dalam pemilihan Kepala Daerah atau pemilihan
legislatif baik secara aktif maupun pasif.).
Netralitas Pegawai Negeri Sipil memang sangat dibutuhkan dalam proses politik
seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilu anggota legislative dan pemilihan
Presiden/Wakil Presiden, karena pegawai negeri merupakan pelayan publik dan
pegawai negeri yang betul-betul berdiri secara independen tanpa harus memihak. Harus
2 Miftah Toha, 2014, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit
Prenadamedia Group, Hlm.31
SIPENDIKUM 2018
157
diperhatikan bahwa kadang kala pegawai negeri terbawa arus atau karena dalam
keadaan terpaksa untuk memihak pada salah satu pihak apalagi ketika salah satu
kandidat merupakan calon petahana (incumbent). Ketidaknetralan Pegawai negeri juga
sangat terlihat apabila ada calon anggota legislatfe itu ada hubungan keluarga atau
karena ada kedekatan , sehingga nilai-nilai yang seharusnya dimiliki harus terbuang
dan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika banyak proses politik dalam hal ini
pemilihan umum yang dicederai dengan adanya keterlibatan secara langsung pegawai
negeri sipil dalam mendukung salah satu calon atau beberapa calon dari partai-partai
politik tertentu.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka permaslahandapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan dan implementasinya netralitas aparatur sipil Negara
dalam pemilihan Kepala Daerah?
2. Bagaimana pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil Negara dlam pemilihan
Kepala Daerah?
Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif.
Penelitian ini bersifat eksplanotoris-analitis untuk menggambarkan serta
menjelaskan secara tepat dan lebih mendalam mengenai suatu gejala.3
Pembahasan
terhadap pokok permasalahan dalam penelitian ini didasarkan pada pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),
pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Peneliti menggunakan tiga pendekatan tersebut agar mendapatkan hasil penelitian
terbaik karena setiap metode pendekatan mempunyai fungsi yang berbeda.
2. Spesifikasi Penelitian
Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan untuk mengkaji, meneliti
dan menganalisis penelitian ini yakni bahan hukum primer, sekunder serta
tersier.Bahan hukum yang terkumpul akan diolah secara sistematis untuk
mendapatkan gambaran yang utuh dan jelas tentang permasalahan yang dibahas.
Pengolahan bahan dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara
melakukan seleksi bahan hukum sekunder, kemudian melakukan klarifikasi
menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut
secara sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan secara logis, dalam artian ada
hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya
untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.4
3 Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, hlm. 4. 4 Ibid
SIPENDIKUM 2018
158
Hasil Dan Pembahasan
Pengaturan Dan Implementasinya Netralitas ASN Dalam Pemilihan Kepala
Daerah
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang ASN, ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi
tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara berdasarkan
pada asas: (1) Kepastian hukum;
(2) Profesionalitas;
(3) Proporsionalitas;
(4) Keterpaduan;
(5) Delegasi;
(6) Netralitas;
(7) Akuntabilitas;
(8) Efektif dan efisien;
(9) Keterbukaan;
(10) Nondiskriminatif;
(11) Persatuan dan kesatuan;
(12) Keadilan dan kesetaraan; dan
(13) Kesejahteraan.
Pegawai ASN berfungsi, sebagai: (1) Pelaksana kebijakan publik;
(2) Pelayan publik; dan
(3) Perekat dan pemersatu bangsa.
Adapun tugas aparatur sipil negara adalah :
(1) Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan
(3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan peran sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan
tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan
dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.5
Pegawai ASN memiliki hak dan kewajiban. Pegawai ASN berhak memperoleh:
(1) Gaji, tunjangan, dan fasilitas; (2) Cuti; (3) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
(4) Perlindungan; dan (5) Pengembangan kompetensi. Adapun kewajiban Pegawai
ASN, adalah: (1) Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
pemerintah yang sah; (2) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; (3) Melaksanakan
5 Miftah Toha, op.cit
SIPENDIKUM 2018
159
kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; (4) Menaati ketentuan
peraturan perundang-undangan; (5) Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh
pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; (6) Menunjukkan integritas
dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik
di dalam maupun di luar kedinasan; (7) Menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat
mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan (8) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki
integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur
perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara selama ini dirasakan belum
berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh
jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen,
pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
Demi mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi,
perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban
mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan
kinerjanya dan menerapkan sistem merit (merit system) dalam pelaksanaan manajemen
aparatur sipil negara.
Sebagaimana diketahui, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan nasional dan
tantangan global saat ini, sehingga sudah tepat rasanya bila pemerintah menetapkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Setelah
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN) ini, maka sangat diharapkan bahwa implementasi dari kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah ini dapat berjalan dengan efektif, agar pengelolaan Aparatur
Sipil Negara (ASN) dapat lebih optimal.
Reformasi penataan aparatur birokrasi Indonesia telah diatur oleh Pemerintah
melalui UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Namun demikian
dalam tataran implementasi, lahirnya UU tentang Pemilukada dan kenyataan bahwa
Indonesia sebagai negara multikulturalisme menjadi tantangan tersendiri bagi
keberadaan ASN, kini dan masa datang. Taruhannya adalah netralitas birokrasi dalam
penyelenggaraan Pemilukada di berbagai daerah. Tidak jarang bahwa pegawai ASN
SIPENDIKUM 2018
160
“sengaja” ditarik-tarik untuk terlibat dalam politik praktis, walaupun sementara ASN
memang “berminat” menyeberang ke dalam politik praktis. Pemerintah telah berupaya
memberikan upaya untuk mengeliminir pudarnya netralitas dan konflik di lapangan: 1)
Penguatan Satuan Tugas Penegakkan Integritas ASN dalam Pilkada, 2) Penguatan
Kapasitas KASN dalam Penegakkan Netralitas ASN, 3) Pendidikan Etika dalam
Program Pengembangan Kompetensi ASN, 4) Pendidikan Sosial-Kultural dalam
Pengembangan Kompetensi ASN, 5) Memperkuat Mekanisme dan Prosedur yang
Menjamin Penerapan Secara Tegas Disiplin dan Etika ASN, dan 6) Penguatan Peran
Masyarakat dalam Sistem “Whistle Blower” untuk Memperkuat Fungsi Pengawasan
Netralitas ASN.
Pengawasan Terhadap Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Kepala
Daerah
Beberapa tantangan mewujudkan netralitas birokrasi di era demokrasi politik ini
diantaranya adalah :
Pertama, fragmentasi yang berlebihan. Fragmentasi birokrasi terjadi dikarenakan
kebutuhan pembentukan lembaga birokrasi selama ini tidak didasarkan untuk merespon
kepentingan publik, tetapi lebih pada motif kepentingan tertentu, terutama kepentingan
politik. Sehingga, selama ini birokrasi lebih banyak dikendalikan atas dasar kebutuhan
politik elit lokal. Penempatan pejabat tertentu kerap didasarkan pada alasan kedekatan
atau dukungan pada waktu pemilihan. Sementara itu, birokrasi melihat relasi ini sebagai
suatu simbiosis mutualisme yang menguntungkan posisi politik mereka di
pemerintahan.6
Kedua, patronase birokrasi. Patronase merupakan penyakit klasik dalam budaya
birokrasi Indonesia. Patronase tumbuh subur karena dipengaruhi oleh kultur feodal yang
telah berkembang sejak masa kerajaan dan kolonial. Dalam konteks demokrasi,
patronase tidak pernah luntur karena demokrasi lokal justru banyak melahirkan elit-elit
lokal kuat yang menggunakan birokrasi untuk memperkuat kepentingan politik mereka
di daerah. Kepala daerah kerap menyalahgunakan fungsi sebagai pejabat pembina
kepegawaian dengan mengintervensi pelaksanaan manajemen kepegawaian yang
berdampak pada merebaknya spoil system, sebagai lawan merit system.
Ketiga, lemahnya pengawasan manajemen ASN. Lemahnya pengawasan
manajemen ASN selama ini telah berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya
manusia dalam birokrasi sehingga sistem merit tidak pernah berjalan secara optimal.
Pemilihan pejabat struktural di berbagai K/L/D kerap mendasarkan diri pada
kepentingan jangka pendek dibandingkan dengan kepentingan strategis integrated
human resources management (IHRM). Lelang jabatan (open biding) yang digadang-
gadang melahirkan pejabat yang memiliki kompetensi sebagaimana harapan, belum
sepenuhnya terwujud dengan baik.
6 Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakart: Elex Media
Komputindo hlm.55
SIPENDIKUM 2018
161
Keempat, lemahnya pemahaman wawasan kebangsaan dan kebhinekaan atau
kompetensi sosio-kultural. Peralihan status pegawai dari pegawai negeri pusat menjadi
pegawai negeri daerah pasca Orde Baru telah berdampak melahirkan birokrasi etnisitas.
Di beberapa kasus di daerah, etnisitas menjadi dasar pembentukan jaringan-jaringan
patronase yang menentukan siapa yang menjadi penjaga gerbang birokrasi.
- Upaya Netralisasi Birokrasi
Pemerintah selaku pembina kepegawaian telah berupaya untuk mendorong
terwujudnya sebuah birokrasi yang netral. Salah satu upaya yang dilakukan yakni
menekankan asas netralitas dalam regulasi perundang-undangan. Beberapa regulasi
yang telah dikeluarkan pemerintah yang mengatur asas netralitas itu diantaranya:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri
Sipil menjadi Anggota Partai Politik. Pada pasal 2 PP ini disebutkan bahwa: (1).
Pegawai negeri sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
(2). Pegawai negeri sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil Pada pasal 4 ayat 12 sampai dengan 15 PP ini disebutkan bahwa setiap PNS
dilarang untuk memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP ini juga
mengatur mekanisme pemberian hukuman bagi PNS yang melakukan pelanggaran
disiplin. Dalam konteks keberpihakan pada individu/kelompok/golo-ngan seperti
proses pemilukada, sanksi hukuman bagi PNS yang terlibat masuk dalam kategori
berat (Pasal 10 ayat 5).
3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Lahirnya
undang-undang ASN salah satunya didasarkan pada upaya pembentukan birokrasi
yang netral. UU ini menyebutkan di bagian penjelasan bahwa Dalam upaya
menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin
keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN,serta dapat memusatkan segala
perhatian, pikiran, dan tenaga padatugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi
anggota dan/atau pengurus partai politik. Untuk memperkuat upaya netralitas ini,
UU ASN mengamanatkan dibentuknya suatu komisi yang salah satu tugasnya
melakukan pengawasan terhadap ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipi Negara
(KASN). Pada pasal 31 disebutkan tugas KASN adalah:
(1) Menjaga netralitas Pegawai ASN;
(2) Melakukan pengawasan atau pembinaan profesi ASN;
(3) Melaporkan pengawasan dan evaluasi kebijakan Manajemen ASN kepada
Presiden.
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 22 E (1) (2) dan Pasal 18, Pilkada
termasuk dalam kategori pemilu. Hal ini berarti bahwa Pilkada (Pemilu) merupakan
sarana kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerahnya sendiri secara
otonom dan mandiri, terbukanya ruang publik (public sphere) sebagai medium
SIPENDIKUM 2018
162
partisipasi publik untuk menyalurkan berbagai pendapat dan pikiran rakyat serta
tebentuknya ruang/wahana untuk mengembangkan demokratisasi kehidupan sosial.
Sebagaimana dikemukakan diatas, menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang ASN, bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu jenis dari
apartur sipil negara disamping itu ada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(PPPK). PNS sebagai penyelenggara pemerintahan harus tanggap terhadap
perkembangan yang terjadi pada semua aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya,
politik dan ketertiban serta mampu mengendalikan, membimbing dan mengarahkan
seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan semua itu, maka
diperlukan PNS yang profesional, mandiri dan tidak terlibat dalam kekuatan sosial
politik manapun (netral). Dengan demikian, dalam menyelenggarakan pemerintahan,
PNS harus menjunjung tinggi prinsip netralitas. Prinsip ini merupakan basis idealisme
pengabdian pelayanan publik yang prima dan disinilah tanggungjawab, moralitas dan
disiplin PNS diuji.
Sebenarnya persoalan netralitas birokrasi sudah menjadi pembicaraan lama di
antara para ahli. Hegel menyatakan bahwa terdapat tiga kelompok dalam masyarakat,
yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang dalam hal ini diwakili
oleh para pengusaha dan profesi, kemudian kelompok kepentingan umum (general
interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok ketiga adalah kelompok
birokrasi. Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan
birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan
umum yang dalam hal ini diwakili negara dengan kelompok pengusaha dan profesi
sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi, harus netral.
Pada sisi lain Wilson dan Goodnow menyatakan perlunya memisahkan antara
administrasi dengan politik yang arahnya adalah menjaga agar masing-masing bertugas
dan berfungsi sebagaimana mestinya. Admisnistrasi sebagai lembaga implementasi
kebijakan, sedang politik sebagai lembaga pembuat kebijakan. Sebagai lembaga
implementasi pelaksana kebijakan politik, birokrasi menurut Wilson dalam kaitannya
dengan kenetralannya berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan administrasi
atau birokrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala
urusan politik (the hurry and strife of politics). Menurut Goodnow sendiri mengatakan
bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik
dan administrasi. Politik berkaitan dengan membuat dan merumuskan kebijakan-
kebijakan sedangkan administrasi berhubungan dengan pelaksanaan Kebijakan.
Dalam perspektif lain, netralitas birokrasi dikemukakan oleh Francis Rourke
yang mengatakan walaupun birokrasi pada mulanya hanya berfungsi untuk
melaksanakan kebijakan politik akan tetapi birokrasi bisa berperan membuat kebijakan
politik. Menurut Rourke, netralitas birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin,
sebab jika partai politik mampu memberikan alternatif program pengembangan dan
mobilisasi dukungan maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan
mencari dukungan politik di luar partai yang dapat membantunya dalam merumuskan
kebijakan politik. Dukungan politik itu menurut Rourke dapat diperoleh melalui tiga
SIPENDIKUM 2018
163
konsentrasi yakni pada masyarakat luar, pada legislatif dan pada diri birokrasi sendiri
(executive branch). Masyarakat luar itu berupa kalangan pers, pengusaha
dan mahasiswa. Legislatif dari kalangan DPR, dan birokrasi sendiri, misalnya dari
kalangan perguruan tinggi.[10] Sedangkan menurut Nicholas Henry birokrasi
mempunyai kekuatan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk tetap tinggal
hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan (policy-
making power).
- Peluang dan Tantangan Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Dari pernyataan beberapa ahli terkait implementasi kebijakan, dapat
disimpulkan bahwa ada 4 (empat) faktor yang secara umum memengaruhi implementasi
kebijakan, yaitu: (1) Komunikasi; (2) Sumber daya; (3) Disposisi (sikap pelaksana); dan
(4) Struktur birokrasi/ organisasi.
Terkait dengan aspek komunikasi, implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan berhasil bila pembuat
keputusan/decision maker dapat memberikan informasi secara tepat, jelas, akurat, dan
konsisten. Komunikasi yang tepat, jelas, akurat, dan konsisten akan menghindari
terjadinya diskresi/discretion pada para implementor karena mereka akan mencoba
menerjemahkan kebijakan Undang-Undang ini menjadi tindakan yang spesifik. Diskresi
ini tidak perlu dilakukan jika terdapat aturan yang jelas serta spesifik mengenai apa
yang perlu dilakukan. Namun, aturan yang terlalu kaku juga dapat menghambat
implementasi Undang-Undang ini karena akan menyulitkan adaptasi dari para
implementor.
Terkait dengan aspek sumber daya, implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan menghindari terjadinya
politisasi penempatan pejabat, baik di tingkat pusat maupun di daerah karena
pemilihannya menekankan merit system yang menghargai kinerja yang telah dibuat oleh
aparatur, sehingga menghasilkan pejabat yang publik yang benar-benar kompeten.
Karena selama ini yang sering kali terjadi adalah pejabat yang dipilih oleh pimpinan,
terutama oleh pejabat daerah, adalah anggota tim suksesnya. Hal tersebut tentu tidak
baik karena mereka dipilih menjadi pejabat bukan karena kemampuannya namun karena
kedekatannya. Melalui Undang-Undang ini, akan dibentuk panitia seleksi yang
independen untuk memilih pejabat. Panitia Seleksi tersebut akan diawasi oleh Komite
Aparatur Sipil Negara (KASN) yang tugasnya mengawasi setiap tahapan proses
pengisian jabatan pimpinan tinggi, mengawasi, mengevaluasi penerapan asas, nilai
dasar, kode etik perilaku pegawai ASN atau PNS. Dengan adanya sistem tersebut, maka
diharapkan kinerja instansi tidak terganggu jika pimpinan atau kepala daerah berganti.
Untuk di daerah, diharapakan tidak terjadi jika kepala daerahnya terganti maka kepala
dinasnya juga turut diganti dengan dilakukannya hal ini, maka akan tercipta suatu
birokrasi yang solid.7
7 Hadari Nawari, 1989, Pengawasan Melekat Dilingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta,
hlm 43
SIPENDIKUM 2018
164
Masuknya PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dalam jabatan
pimpinan, di satu sisi merupakan peluang untuk memasukkan talenta unggul yang akan
memberi warna baru bagi birokrasi. Tetapi di sisi lain apabila tidak dijaga dengan baik,
dapat menjadi pintu masuk bagi munculnya politisasi birokrasi. Unsur-unsur yang
berafiliasi dengan parpol dapat saja dititipkan oleh pimpinan politik yang kebetulan
sudah menjadi pimpinan tertinggi di dalam pemerintah (misalnya menteri/ pejabat yang
memperoleh penugasan politik). Disinilah ujian bagi efektivitas peran Komisi Aparat
Sipil Negara (KASN), sebagai pelindung asas meritokrasi.
Namun, yang menjadi tantangan adalah pemerintah harus melakukan perekrutan
Anggota Komite Aparat Sipil Negara (KASN), yang harus menjamin terwujudnya
sistem merit, membangun ASN yang profesional, dan mengawasi norma dasar dan kode
etik ASN. Lembaga ini sangat powerfull, dan karenanya dapat menjadi pisau bermata
dua. Jika diisi individu yang kompeten dan memiliki integritas tinggi, maka akan ada
perbaikan postur Aparat Sipil Negara di masa depan. Namun, jika sebaliknya diisi oleh
“orang-orang titipan” elit politik, maka besarnya kekuasaan justru akan menciptakan
birokrasi baru yang justeru akan menjadi penghambat transformasi.
Terkait dengan aspek disposisi (sikap pelaksana), implementasi
kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini
sangat ditentukan oleh aspek ini, karena disposisi merupakan hal yang krusial. Jika
implementor kebijakan memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan,
maka perspektif ini juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan
yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan di lapangan. Disposisi implementor
ini mencakup 3 (tiga) hal yang penting, yakni: (1) Respons implementor terhadap
kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (2)
Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (3) Intensitas disposisi
implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Tak dapat
dipungkiri, bahwa sebagian kalangan memandang Undang-Undang ASN sebagai tread/
ancaman dengan dibukanya jalur karir di luar PNS. Untuk itu diperlukan proses
edukasi kepada kalangan PNS guna meyakinkan bahwa Undang-Undang ini akan
berpihak kepada PNS yang memegang teguh integritas dan berkinerja baik.
Aspek struktur birokrasi/ organisasi, implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini berkaitan erat dengan dua sub
variabel yang memberikan pengaruh besar pada birokrasi, yaitu Standard Operating
Procedures (SOP) dan fragmentasi. SOP merupakan respon yang timbul dari
implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan pekerjaan karena kurangnya waktu dan
sumber daya serta kemauan adanya keseragaman dalam operasi organisasi yang
kompleks. SOP ini sering kita jumpai dalam pelayanan masyarakat pada organisasi-
organisasi pelayanan publik. Standarisasi SOP sudah menjadi isu lama pada organisasi
swasta/ private sector, dan kemudian diimplementasikan pula pada organisasi-
organisasi pelayanan publik. Sedangkan, fragmentasi merupakan penyebaran tanggung
jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Yang menjadi tantangan saat
ini adalah pemerintah harus mempersiapkan peraturan pelaksanaan dari Undang-
SIPENDIKUM 2018
165
Undang ASN ini berupa Peraturan Pemerintah (PP), yang akan diikuti peraturan
pelaksanaan turunannya. Tantangan pertama yang harus dihadapi adalah meyakinkan
agar peraturan pelaksanaannya betul-betul sejalan dengan spirit transformasi yang
mendasari Undang-Undang ASN ini.
Penting untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas,
profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan
mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan implementasinya dapat berjalan
dengan efektif, agar pengelolaan ASN dapat lebih optimal. Implementasi kebijakan UU
ASN ini terkait dengan : (1) Komunikasi; (2) Sumber daya; (3) Disposisi; dan (4)
Struktur birokrasi.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2
huruf f menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen
ASN adalah netralitas, asas netralitas ini berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak boleh
berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan
siapapun. Pasal 4 huruf d Menyatakan ASN harus menjalankan tugas secara profesional
dan tidak berpihak. Pengaturan lebih jelas dapat dibaca dalam Pasal 9 ayat (2) Pegawai
ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Bagi mereka yang melanggar dan memilih menjadi anggota dan atau pengurus
partai politik, sanksinya akan diberhentikan dengan tidak hormat Berdasarkan pasal 87
ayat (4) huruf b. Bagaimana kemudian jika ada PNS yang berniat mencalonkan diri
menjadi Bupati atau Walikota? Aturannya mereka harus mengundurkan diri
sebagaimana diatur dalam pasal 119 dan pasal 123 ayat (3). Awalnya ketentuan
pengunduruan diri ini diwajibkan sejak PNS mendaftarkan diri, tetapi norma ini dianulir
oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 sehingga dimaknai “PNS
yang mencalonkan diri dan atau dicalonkan menjadi Bupati/Wakil Bupati atau
Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai
PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota.
Selain itu, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang. Larangan pasangan calon untuk
melibatkan ASN, anggota Kepolisian dan TNI serta kepala desa atau sebutan lain/lurah
dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan sebagaimana tertulis dalam
Pasal 70 ayat (1) huruf b dan Pasal 70 ayat (1) huruf c. lebih lanjut Pasal 71 ayat (1),
menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri,
kepada desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan atau tindakan
yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
SIPENDIKUM 2018
166
Bagi yang sedang menjadi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
maupun penjabat Bupati atau Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam
bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan
kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri. Selain itu, adanya larangan
menggunakan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan
sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon
terpilih. Hal ini termaktub dalam Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3).
Selain aturan yang terdapat dalam Undang-undang, larangan bagi ASN juga
terdapat dalam beberapa Peraturan Pemerintah, diantaranya dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri
Sipil. Salah satu klausul aturan ini adalah perintah untuk menghindari konflik
kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Maka PNS dilarang melakukan
perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang
mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/afiliasi dengan partai politik. Bagi siapa
yang melanggar kode etik ini maka akan dikenakan sanksi moral demikian bunyi Pasal
15 ayat (1).
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 mengatur Tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, disiplin pegawai negeri sipil adalah kesanggupan pegawai negeri
sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati
atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Sedangkan yang termasuk pelanggaran
disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban
dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam
maupun di luar jam kerja.
Pasal 4 ayat (14) mengatur Setiap PNS dilarang: memberikan dukungan kepada
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi kartu tanda
penduduk atau surat keterangan tanda penduduk sesuai peraturan perundang-undangan;
Pasal 4 angka (15), larangan memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah, dengan cara: terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatan dalam kegiatan kampanye; membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;
dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan
calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye
meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS
dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pasal 12 angka (8) merinci hukuman disiplin sedang yang dapat dijatuhkan bagi
PNS yang melakukan pelanggaran diantaranya : memberikan dukungan kepada calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi kartu tanda penduduk atau
SIPENDIKUM 2018
167
surat keterangan tanda penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara
terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan
terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah
masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Hukuman disiplin berat diatur dalam Pasal 13 angka 3, PNS yang melakukan
pelanggaran diantaranya: memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam
kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Demikian sedertet aturan larangan bagi ASN dalam pemilu, semoga ketentuan ini dapat
dijadikan pedoman.
Terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh ASN dalam hal
pemilihan/pemilu berkaitan erat dengan tugas pengawasan yang menjadi tanggungjawab
pengawas pemilu yang harus mengawasi seluruh tahapan, serta menerima laporan
dugaan pelanggaran, menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran dan sengketa
pemilihan, pelanggaran ASN baik hasil temuan maupun laporan, pengawas pemilu akan
memproses dan menindaklanjutinya dan kemudian meneruskannya kepada Komisi
Aparatur Sipil Negara (KASN), KASN sesuai dengan tugas dan wewenangnya akan
memutuskan jenis pelanggaran kode etik dan kode perilaku, putusannya disampaikan
kepada pejabat pembina kepegawaian, dan pejabat yang berwenang wajib untuk
menindaklanjutinya.
Dalam hal putusan KASN tidak ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang
maka Menteri Pendayagunaan Aparatatur Negara (Menpan RB) akan menjatuhkan
sangsi kepada pejabat pembina kepegawaian. Berdasarkan hasil penelusuran data dan
informasi Komisi ASN baik melalui pengaduan dan sumber dari berbagai informasi
terkait dugaan pelanggaran netralitas menjelang pelaksanaan pilkada 2018 seperti :
keikutsertaan dalam deklarasi salah satu bakal calon kepala daerah, deklarasi partai
politik, deklarasi diri pribadi untuk menjadi salah satu bakal calon kepala daerah,
pengunaan photo dengan atribut PNS atau tanpa atribut pada spanduk/iklan/reklame
terkait pencalonan diri ASN yang bersangkutan, ucapan dan tindakan yang menghimbau
atau mengarahkan pihak lain untuk memilih bakal calon dalam pilkada 2018,
menggunakan simbol atau atribut partai atau bakal calon peserta pilkada, memposting
photo calon peserta pilkada baik dengan komentar atau hanya like saja di meda sosial,
dan lain sebagainya yang sudah mengarah pada kegiatan berpolitik praktis dan dapat
dipersepsikan sebagai tindakan keberpihakan serta konflik kepentingan.
Mengingat tahapan pilkada dan pemilu tinggal menghitung bulan, sebentar lagi
kita memasuki tahapapan pendaftaran calon Bupati dan Walikota, disusul dengan
tahapan-tahapan lainnya, maka kiranya semua pihak khususnya ASN, para incumben
dan para pejabat Pembina kepegawaian dapat memahami larangan-larangan yang tidak
SIPENDIKUM 2018
168
diperbolehkan oleh aturan perundang-undangan. Kita kembalikan mesin birokrasi
berjalan hanya untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau
bersikap loyal terhadap partai politik golongan tertentu.
Terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh ASN dalam hal
pemilihan/pemilu berkaitan erat dengan tugas pengawasan yang menjadi tanggungjawab
pengawas pemilu yang harus mengawasi seluruh tahapan, serta menerima laporan
dugaan pelanggaran, menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran dan sengketa
pemilihan. pelanggaran ASN baik hasil temuan maupun laporan, pengawas pemilu akan
memproses dan menindaklanjutinya dan kemudian meneruskannya kepada Komisi
Aparatur Sipil Negara (KASN), KASN sesuai dengan tugas dan wewenangnya akan
memutuskan jenis pelanggaran kode etik dan kode perilaku, putusannya disampaikan
kepada pejabat pembina kepegawaian, dan pejabat yang berwenang wajib untuk
menindaklanjutinya.
Kesimpulan
Asas netralitas sangat penting karena Aparatur Sipil Negara berkedudukan
sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas
negara, pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai
negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak
deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin
netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau
pengurus partai politik.
Pelibatan sejumlah orang atau terlibatnya Pegawai Negeri Sipil dalam suatu
kegiatan kampanye adalah pelanggaran pidana yang diancam penjara dan denda
terhadap pelanggarnya. Sanksi yang dikenakan adalah berupa sanksi pidana ataupun
sanksi administratif. Pelanggaran disiplin berupa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan
PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin
PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dikenakan snksi disiplin
mulai disiplin ringan sedang sampai sanksi disiplin berat.
Daftar Pustaka
Achmad Batinggi, 1999, Manajemen Pelayanan Umum, Universitas Terbuka, Jakarta
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta
Edwards III, G.C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional
Quarterly Pres
Hadari Nawari, 1989, Pengawasan Melekat Dilingkungan Aparatur Pemerintah,
Erlangga, Jakarta,
SIPENDIKUM 2018
169
Hanif Nurcholis, 2005 Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo,
Jakarta,
Miftah Thoha, 1993 Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, MW Mandala,
Yogyakarta
--------------, 2014 Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta:
Penerbit Prenadamedia Group,
Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakart:
Elex Media Komputindo
Ryaas Rasyid, Muhammad, 1997, Kajian awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde
Baru, Jakarta
Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Winarno, B. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressind0
Mariam Budiardjo, 2008, 1989 (edisi pertama), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Menpan, 1995 Peranan Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan, Pengayoman,
dan Pengembangan, Prakarsa dan Peran Serta Aktif Masyarakat Dalam
Pembanguan. Makalah
Moh. Mahfud MD, 1988, Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
UUD RI 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
SIPENDIKUM 2018
170
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 tentang PNS yang Menjadi
Pengurus/Anggota Partai Politik
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pergawai Negeri Sipil
Surat Edaran Menpan Nomor SE/08/MPAN/3/2005 tentang Netralitas Pegawai Negeri
Sipil dalam Pemilihan Kepala Daerah
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 5/2005 tentang PNS yang
menjadi Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah