sipendikum 2018 · sipendikum 2018 155 penerapan prinsip netralitas bagi aparatur sipil nedara...

16
SIPENDIKUM 2018 155 PENERAPAN PRINSIP NETRALITAS BAGI APARATUR SIPIL NEDARA BERDASARKAN UU NO.5 TAHUN 2014 NEGARA PEMILIHAN KEPALA DAERAH Dr.Rini Irianti Sundary, SH.,MH 1 email : [email protected] Abstrak Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah selaku pembina kepegawaian telah berupaya untuk mendorong terwujudnya sebuah birokrasi yang netral. Salah satu upaya yang dilakukan yakni menekankan asas netralitas dalam regulasi perundang-undangan. Lahirnya undang-undang ASN salah satunya didasarkan pada upaya pembentukan birokrasi yang netral. UU ini menyebutkan di bagian penjelasan bahwa dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga padatugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.Pada faktanya tidak jarang bahwa pegawai ASN “sengaja” ditarik-tarik untuk terlibat dalam politik praktis, walaupun sementara ASN memang “berminat” menyeberang ke dalam politik praktis. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan netralitas aparatur sipil negara dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, apa saja yang menyebabkan adanya aparatur yang kurang netral dan pengawasn yang dilakukan terhadap pelaksanaan prinsip netralitas. Netralitas Pegawai Negeri Sipil memang sangat dibutuhkan dalam proses politik seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilu anggota legislative dan pemilihan Presiden/Wakil Presiden, karena pegawai negeri merupakan pelayan publik dan pegawai negeri yang betul-betul berdiri secara independen tanpa harus memihak. Kata kunci: Aparatur Sipil Negara, Birokrasi, Netralitas 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

Upload: hakhue

Post on 07-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SIPENDIKUM 2018

155

PENERAPAN PRINSIP NETRALITAS BAGI APARATUR SIPIL NEDARA

BERDASARKAN UU NO.5 TAHUN 2014 NEGARA PEMILIHAN KEPALA

DAERAH

Dr.Rini Irianti Sundary, SH.,MH1

email : [email protected]

Abstrak

Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan

negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun

aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan

bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi

masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur

perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah selaku pembina kepegawaian telah berupaya untuk

mendorong terwujudnya sebuah birokrasi yang netral. Salah satu upaya

yang dilakukan yakni menekankan asas netralitas dalam regulasi

perundang-undangan. Lahirnya undang-undang ASN salah satunya

didasarkan pada upaya pembentukan birokrasi yang netral. UU ini

menyebutkan di bagian penjelasan bahwa dalam upaya menjaga netralitas

ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan,

kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala

perhatian, pikiran, dan tenaga padatugas yang dibebankan, ASN dilarang

menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.Pada faktanya tidak

jarang bahwa pegawai ASN “sengaja” ditarik-tarik untuk terlibat dalam

politik praktis, walaupun sementara ASN memang “berminat”

menyeberang ke dalam politik praktis. Penelitian ini dimaksudkan untuk

mengetahui sejauh mana pelaksanaan netralitas aparatur sipil negara

dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, apa saja yang

menyebabkan adanya aparatur yang kurang netral dan pengawasn yang

dilakukan terhadap pelaksanaan prinsip netralitas. Netralitas Pegawai

Negeri Sipil memang sangat dibutuhkan dalam proses politik seperti

Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilu anggota legislative dan

pemilihan Presiden/Wakil Presiden, karena pegawai negeri merupakan

pelayan publik dan pegawai negeri yang betul-betul berdiri secara

independen tanpa harus memihak.

Kata kunci: Aparatur Sipil Negara, Birokrasi, Netralitas

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

SIPENDIKUM 2018

156

Pendahuluan

Kedudukan dan peranan Aparatur Sipil Negara dalam penyelenggaraan

pemerintahan sangat penting dan menentukan, karena melalui tangan-tangan unsur

Aparatur Negaralah bertumpu upaya-upaya pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan untuk mencapai tujuan Nasional.

Tujuan Nasional bangsa Indonesia seperti termaksud di dalam Pembukaan

Undang- Undang Dasar 1945 ialah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh

Tanah Tumpah Darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan Nasional tersebut hanya

dapat dicapai melalui Pembangunan Nasional yang direncanakan dengan terarah dan

realistis serta dilaksanakan secara bertahap, bersungguh-sungguh, berdaya guna, dan

berhasil guna.

Dalam rangka usaha mencapai tujuan Nasional sebagai tersebut di atas

diperlukan adanya pegawai Negeri yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila,

Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu,

bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkwalitas

tinggi, dan sadar akan tanggung-jawabnya sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi

Negara, dan Abdi Masyarakat.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Apratur Sipil Negara menjelaskan

bahwa Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi

pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada

instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai

ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang

diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan

pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara

Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap

oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tersebut juga dinyatakan bahwa setiap :

Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak

kepada kepentingan siapapun.” Netralitas dapat juga diartikan sebagai bersikap tidak

memihak terhadap sesuatu apapun.2 Dalam konteks ini netralitas diartikan sebagai tidak

terlibatnya pegawai negeri sipil .dalam pemilihan Kepala Daerah atau pemilihan

legislatif baik secara aktif maupun pasif.).

Netralitas Pegawai Negeri Sipil memang sangat dibutuhkan dalam proses politik

seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah atau pemilu anggota legislative dan pemilihan

Presiden/Wakil Presiden, karena pegawai negeri merupakan pelayan publik dan

pegawai negeri yang betul-betul berdiri secara independen tanpa harus memihak. Harus

2 Miftah Toha, 2014, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta: Penerbit

Prenadamedia Group, Hlm.31

SIPENDIKUM 2018

157

diperhatikan bahwa kadang kala pegawai negeri terbawa arus atau karena dalam

keadaan terpaksa untuk memihak pada salah satu pihak apalagi ketika salah satu

kandidat merupakan calon petahana (incumbent). Ketidaknetralan Pegawai negeri juga

sangat terlihat apabila ada calon anggota legislatfe itu ada hubungan keluarga atau

karena ada kedekatan , sehingga nilai-nilai yang seharusnya dimiliki harus terbuang

dan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika banyak proses politik dalam hal ini

pemilihan umum yang dicederai dengan adanya keterlibatan secara langsung pegawai

negeri sipil dalam mendukung salah satu calon atau beberapa calon dari partai-partai

politik tertentu.

Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka permaslahandapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan dan implementasinya netralitas aparatur sipil Negara

dalam pemilihan Kepala Daerah?

2. Bagaimana pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil Negara dlam pemilihan

Kepala Daerah?

Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif.

Penelitian ini bersifat eksplanotoris-analitis untuk menggambarkan serta

menjelaskan secara tepat dan lebih mendalam mengenai suatu gejala.3

Pembahasan

terhadap pokok permasalahan dalam penelitian ini didasarkan pada pendekatan

undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),

pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Peneliti menggunakan tiga pendekatan tersebut agar mendapatkan hasil penelitian

terbaik karena setiap metode pendekatan mempunyai fungsi yang berbeda.

2. Spesifikasi Penelitian

Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan untuk mengkaji, meneliti

dan menganalisis penelitian ini yakni bahan hukum primer, sekunder serta

tersier.Bahan hukum yang terkumpul akan diolah secara sistematis untuk

mendapatkan gambaran yang utuh dan jelas tentang permasalahan yang dibahas.

Pengolahan bahan dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara

melakukan seleksi bahan hukum sekunder, kemudian melakukan klarifikasi

menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut

secara sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan secara logis, dalam artian ada

hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya

untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.4

3 Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, hlm. 4. 4 Ibid

SIPENDIKUM 2018

158

Hasil Dan Pembahasan

Pengaturan Dan Implementasinya Netralitas ASN Dalam Pemilihan Kepala

Daerah

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 tentang ASN, ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah

dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi

tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara berdasarkan

pada asas: (1) Kepastian hukum;

(2) Profesionalitas;

(3) Proporsionalitas;

(4) Keterpaduan;

(5) Delegasi;

(6) Netralitas;

(7) Akuntabilitas;

(8) Efektif dan efisien;

(9) Keterbukaan;

(10) Nondiskriminatif;

(11) Persatuan dan kesatuan;

(12) Keadilan dan kesetaraan; dan

(13) Kesejahteraan.

Pegawai ASN berfungsi, sebagai: (1) Pelaksana kebijakan publik;

(2) Pelayan publik; dan

(3) Perekat dan pemersatu bangsa.

Adapun tugas aparatur sipil negara adalah :

(1) Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(2) Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan

(3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan peran sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan

tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan

dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari

praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.5

Pegawai ASN memiliki hak dan kewajiban. Pegawai ASN berhak memperoleh:

(1) Gaji, tunjangan, dan fasilitas; (2) Cuti; (3) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua;

(4) Perlindungan; dan (5) Pengembangan kompetensi. Adapun kewajiban Pegawai

ASN, adalah: (1) Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan

pemerintah yang sah; (2) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; (3) Melaksanakan

5 Miftah Toha, op.cit

SIPENDIKUM 2018

159

kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; (4) Menaati ketentuan

peraturan perundang-undangan; (5) Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh

pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; (6) Menunjukkan integritas

dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik

di dalam maupun di luar kedinasan; (7) Menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat

mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan (8) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara

sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki

integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik

korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi

masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur

perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara selama ini dirasakan belum

berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh

jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen,

pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance).

Demi mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi,

perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban

mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan

kinerjanya dan menerapkan sistem merit (merit system) dalam pelaksanaan manajemen

aparatur sipil negara.

Sebagaimana diketahui, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan nasional dan

tantangan global saat ini, sehingga sudah tepat rasanya bila pemerintah menetapkan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Setelah

ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

(ASN) ini, maka sangat diharapkan bahwa implementasi dari kebijakan yang telah

ditetapkan oleh pemerintah ini dapat berjalan dengan efektif, agar pengelolaan Aparatur

Sipil Negara (ASN) dapat lebih optimal.

Reformasi penataan aparatur birokrasi Indonesia telah diatur oleh Pemerintah

melalui UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Namun demikian

dalam tataran implementasi, lahirnya UU tentang Pemilukada dan kenyataan bahwa

Indonesia sebagai negara multikulturalisme menjadi tantangan tersendiri bagi

keberadaan ASN, kini dan masa datang. Taruhannya adalah netralitas birokrasi dalam

penyelenggaraan Pemilukada di berbagai daerah. Tidak jarang bahwa pegawai ASN

SIPENDIKUM 2018

160

“sengaja” ditarik-tarik untuk terlibat dalam politik praktis, walaupun sementara ASN

memang “berminat” menyeberang ke dalam politik praktis. Pemerintah telah berupaya

memberikan upaya untuk mengeliminir pudarnya netralitas dan konflik di lapangan: 1)

Penguatan Satuan Tugas Penegakkan Integritas ASN dalam Pilkada, 2) Penguatan

Kapasitas KASN dalam Penegakkan Netralitas ASN, 3) Pendidikan Etika dalam

Program Pengembangan Kompetensi ASN, 4) Pendidikan Sosial-Kultural dalam

Pengembangan Kompetensi ASN, 5) Memperkuat Mekanisme dan Prosedur yang

Menjamin Penerapan Secara Tegas Disiplin dan Etika ASN, dan 6) Penguatan Peran

Masyarakat dalam Sistem “Whistle Blower” untuk Memperkuat Fungsi Pengawasan

Netralitas ASN.

Pengawasan Terhadap Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Kepala

Daerah

Beberapa tantangan mewujudkan netralitas birokrasi di era demokrasi politik ini

diantaranya adalah :

Pertama, fragmentasi yang berlebihan. Fragmentasi birokrasi terjadi dikarenakan

kebutuhan pembentukan lembaga birokrasi selama ini tidak didasarkan untuk merespon

kepentingan publik, tetapi lebih pada motif kepentingan tertentu, terutama kepentingan

politik. Sehingga, selama ini birokrasi lebih banyak dikendalikan atas dasar kebutuhan

politik elit lokal. Penempatan pejabat tertentu kerap didasarkan pada alasan kedekatan

atau dukungan pada waktu pemilihan. Sementara itu, birokrasi melihat relasi ini sebagai

suatu simbiosis mutualisme yang menguntungkan posisi politik mereka di

pemerintahan.6

Kedua, patronase birokrasi. Patronase merupakan penyakit klasik dalam budaya

birokrasi Indonesia. Patronase tumbuh subur karena dipengaruhi oleh kultur feodal yang

telah berkembang sejak masa kerajaan dan kolonial. Dalam konteks demokrasi,

patronase tidak pernah luntur karena demokrasi lokal justru banyak melahirkan elit-elit

lokal kuat yang menggunakan birokrasi untuk memperkuat kepentingan politik mereka

di daerah. Kepala daerah kerap menyalahgunakan fungsi sebagai pejabat pembina

kepegawaian dengan mengintervensi pelaksanaan manajemen kepegawaian yang

berdampak pada merebaknya spoil system, sebagai lawan merit system.

Ketiga, lemahnya pengawasan manajemen ASN. Lemahnya pengawasan

manajemen ASN selama ini telah berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya

manusia dalam birokrasi sehingga sistem merit tidak pernah berjalan secara optimal.

Pemilihan pejabat struktural di berbagai K/L/D kerap mendasarkan diri pada

kepentingan jangka pendek dibandingkan dengan kepentingan strategis integrated

human resources management (IHRM). Lelang jabatan (open biding) yang digadang-

gadang melahirkan pejabat yang memiliki kompetensi sebagaimana harapan, belum

sepenuhnya terwujud dengan baik.

6 Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakart: Elex Media

Komputindo hlm.55

SIPENDIKUM 2018

161

Keempat, lemahnya pemahaman wawasan kebangsaan dan kebhinekaan atau

kompetensi sosio-kultural. Peralihan status pegawai dari pegawai negeri pusat menjadi

pegawai negeri daerah pasca Orde Baru telah berdampak melahirkan birokrasi etnisitas.

Di beberapa kasus di daerah, etnisitas menjadi dasar pembentukan jaringan-jaringan

patronase yang menentukan siapa yang menjadi penjaga gerbang birokrasi.

- Upaya Netralisasi Birokrasi

Pemerintah selaku pembina kepegawaian telah berupaya untuk mendorong

terwujudnya sebuah birokrasi yang netral. Salah satu upaya yang dilakukan yakni

menekankan asas netralitas dalam regulasi perundang-undangan. Beberapa regulasi

yang telah dikeluarkan pemerintah yang mengatur asas netralitas itu diantaranya:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri

Sipil menjadi Anggota Partai Politik. Pada pasal 2 PP ini disebutkan bahwa: (1).

Pegawai negeri sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

(2). Pegawai negeri sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik

diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri

Sipil Pada pasal 4 ayat 12 sampai dengan 15 PP ini disebutkan bahwa setiap PNS

dilarang untuk memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP ini juga

mengatur mekanisme pemberian hukuman bagi PNS yang melakukan pelanggaran

disiplin. Dalam konteks keberpihakan pada individu/kelompok/golo-ngan seperti

proses pemilukada, sanksi hukuman bagi PNS yang terlibat masuk dalam kategori

berat (Pasal 10 ayat 5).

3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Lahirnya

undang-undang ASN salah satunya didasarkan pada upaya pembentukan birokrasi

yang netral. UU ini menyebutkan di bagian penjelasan bahwa Dalam upaya

menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin

keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN,serta dapat memusatkan segala

perhatian, pikiran, dan tenaga padatugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi

anggota dan/atau pengurus partai politik. Untuk memperkuat upaya netralitas ini,

UU ASN mengamanatkan dibentuknya suatu komisi yang salah satu tugasnya

melakukan pengawasan terhadap ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipi Negara

(KASN). Pada pasal 31 disebutkan tugas KASN adalah:

(1) Menjaga netralitas Pegawai ASN;

(2) Melakukan pengawasan atau pembinaan profesi ASN;

(3) Melaporkan pengawasan dan evaluasi kebijakan Manajemen ASN kepada

Presiden.

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 22 E (1) (2) dan Pasal 18, Pilkada

termasuk dalam kategori pemilu. Hal ini berarti bahwa Pilkada (Pemilu) merupakan

sarana kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerahnya sendiri secara

otonom dan mandiri, terbukanya ruang publik (public sphere) sebagai medium

SIPENDIKUM 2018

162

partisipasi publik untuk menyalurkan berbagai pendapat dan pikiran rakyat serta

tebentuknya ruang/wahana untuk mengembangkan demokratisasi kehidupan sosial.

Sebagaimana dikemukakan diatas, menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 tentang ASN, bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu jenis dari

apartur sipil negara disamping itu ada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja

(PPPK). PNS sebagai penyelenggara pemerintahan harus tanggap terhadap

perkembangan yang terjadi pada semua aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya,

politik dan ketertiban serta mampu mengendalikan, membimbing dan mengarahkan

seluruh dimensi kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan semua itu, maka

diperlukan PNS yang profesional, mandiri dan tidak terlibat dalam kekuatan sosial

politik manapun (netral). Dengan demikian, dalam menyelenggarakan pemerintahan,

PNS harus menjunjung tinggi prinsip netralitas. Prinsip ini merupakan basis idealisme

pengabdian pelayanan publik yang prima dan disinilah tanggungjawab, moralitas dan

disiplin PNS diuji.

Sebenarnya persoalan netralitas birokrasi sudah menjadi pembicaraan lama di

antara para ahli. Hegel menyatakan bahwa terdapat tiga kelompok dalam masyarakat,

yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang dalam hal ini diwakili

oleh para pengusaha dan profesi, kemudian kelompok kepentingan umum (general

interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok ketiga adalah kelompok

birokrasi. Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan

birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan

umum yang dalam hal ini diwakili negara dengan kelompok pengusaha dan profesi

sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi, harus netral.

Pada sisi lain Wilson dan Goodnow menyatakan perlunya memisahkan antara

administrasi dengan politik yang arahnya adalah menjaga agar masing-masing bertugas

dan berfungsi sebagaimana mestinya. Admisnistrasi sebagai lembaga implementasi

kebijakan, sedang politik sebagai lembaga pembuat kebijakan. Sebagai lembaga

implementasi pelaksana kebijakan politik, birokrasi menurut Wilson dalam kaitannya

dengan kenetralannya berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan administrasi

atau birokrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala

urusan politik (the hurry and strife of politics). Menurut Goodnow sendiri mengatakan

bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik

dan administrasi. Politik berkaitan dengan membuat dan merumuskan kebijakan-

kebijakan sedangkan administrasi berhubungan dengan pelaksanaan Kebijakan.

Dalam perspektif lain, netralitas birokrasi dikemukakan oleh Francis Rourke

yang mengatakan walaupun birokrasi pada mulanya hanya berfungsi untuk

melaksanakan kebijakan politik akan tetapi birokrasi bisa berperan membuat kebijakan

politik. Menurut Rourke, netralitas birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin,

sebab jika partai politik mampu memberikan alternatif program pengembangan dan

mobilisasi dukungan maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan

mencari dukungan politik di luar partai yang dapat membantunya dalam merumuskan

kebijakan politik. Dukungan politik itu menurut Rourke dapat diperoleh melalui tiga

SIPENDIKUM 2018

163

konsentrasi yakni pada masyarakat luar, pada legislatif dan pada diri birokrasi sendiri

(executive branch). Masyarakat luar itu berupa kalangan pers, pengusaha

dan mahasiswa. Legislatif dari kalangan DPR, dan birokrasi sendiri, misalnya dari

kalangan perguruan tinggi.[10] Sedangkan menurut Nicholas Henry birokrasi

mempunyai kekuatan (power). Kekuasaan itu adalah kekuasaan untuk tetap tinggal

hidup selamanya (staying power) dan kekuasaan untuk membuat keputusan (policy-

making power).

- Peluang dan Tantangan Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Dari pernyataan beberapa ahli terkait implementasi kebijakan, dapat

disimpulkan bahwa ada 4 (empat) faktor yang secara umum memengaruhi implementasi

kebijakan, yaitu: (1) Komunikasi; (2) Sumber daya; (3) Disposisi (sikap pelaksana); dan

(4) Struktur birokrasi/ organisasi.

Terkait dengan aspek komunikasi, implementasi kebijakan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan berhasil bila pembuat

keputusan/decision maker dapat memberikan informasi secara tepat, jelas, akurat, dan

konsisten. Komunikasi yang tepat, jelas, akurat, dan konsisten akan menghindari

terjadinya diskresi/discretion pada para implementor karena mereka akan mencoba

menerjemahkan kebijakan Undang-Undang ini menjadi tindakan yang spesifik. Diskresi

ini tidak perlu dilakukan jika terdapat aturan yang jelas serta spesifik mengenai apa

yang perlu dilakukan. Namun, aturan yang terlalu kaku juga dapat menghambat

implementasi Undang-Undang ini karena akan menyulitkan adaptasi dari para

implementor.

Terkait dengan aspek sumber daya, implementasi kebijakan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan menghindari terjadinya

politisasi penempatan pejabat, baik di tingkat pusat maupun di daerah karena

pemilihannya menekankan merit system yang menghargai kinerja yang telah dibuat oleh

aparatur, sehingga menghasilkan pejabat yang publik yang benar-benar kompeten.

Karena selama ini yang sering kali terjadi adalah pejabat yang dipilih oleh pimpinan,

terutama oleh pejabat daerah, adalah anggota tim suksesnya. Hal tersebut tentu tidak

baik karena mereka dipilih menjadi pejabat bukan karena kemampuannya namun karena

kedekatannya. Melalui Undang-Undang ini, akan dibentuk panitia seleksi yang

independen untuk memilih pejabat. Panitia Seleksi tersebut akan diawasi oleh Komite

Aparatur Sipil Negara (KASN) yang tugasnya mengawasi setiap tahapan proses

pengisian jabatan pimpinan tinggi, mengawasi, mengevaluasi penerapan asas, nilai

dasar, kode etik perilaku pegawai ASN atau PNS. Dengan adanya sistem tersebut, maka

diharapkan kinerja instansi tidak terganggu jika pimpinan atau kepala daerah berganti.

Untuk di daerah, diharapakan tidak terjadi jika kepala daerahnya terganti maka kepala

dinasnya juga turut diganti dengan dilakukannya hal ini, maka akan tercipta suatu

birokrasi yang solid.7

7 Hadari Nawari, 1989, Pengawasan Melekat Dilingkungan Aparatur Pemerintah, Erlangga, Jakarta,

hlm 43

SIPENDIKUM 2018

164

Masuknya PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dalam jabatan

pimpinan, di satu sisi merupakan peluang untuk memasukkan talenta unggul yang akan

memberi warna baru bagi birokrasi. Tetapi di sisi lain apabila tidak dijaga dengan baik,

dapat menjadi pintu masuk bagi munculnya politisasi birokrasi. Unsur-unsur yang

berafiliasi dengan parpol dapat saja dititipkan oleh pimpinan politik yang kebetulan

sudah menjadi pimpinan tertinggi di dalam pemerintah (misalnya menteri/ pejabat yang

memperoleh penugasan politik). Disinilah ujian bagi efektivitas peran Komisi Aparat

Sipil Negara (KASN), sebagai pelindung asas meritokrasi.

Namun, yang menjadi tantangan adalah pemerintah harus melakukan perekrutan

Anggota Komite Aparat Sipil Negara (KASN), yang harus menjamin terwujudnya

sistem merit, membangun ASN yang profesional, dan mengawasi norma dasar dan kode

etik ASN. Lembaga ini sangat powerfull, dan karenanya dapat menjadi pisau bermata

dua. Jika diisi individu yang kompeten dan memiliki integritas tinggi, maka akan ada

perbaikan postur Aparat Sipil Negara di masa depan. Namun, jika sebaliknya diisi oleh

“orang-orang titipan” elit politik, maka besarnya kekuasaan justru akan menciptakan

birokrasi baru yang justeru akan menjadi penghambat transformasi.

Terkait dengan aspek disposisi (sikap pelaksana), implementasi

kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini

sangat ditentukan oleh aspek ini, karena disposisi merupakan hal yang krusial. Jika

implementor kebijakan memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan,

maka perspektif ini juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan

yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan di lapangan. Disposisi implementor

ini mencakup 3 (tiga) hal yang penting, yakni: (1) Respons implementor terhadap

kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (2)

Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (3) Intensitas disposisi

implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Tak dapat

dipungkiri, bahwa sebagian kalangan memandang Undang-Undang ASN sebagai tread/

ancaman dengan dibukanya jalur karir di luar PNS. Untuk itu diperlukan proses

edukasi kepada kalangan PNS guna meyakinkan bahwa Undang-Undang ini akan

berpihak kepada PNS yang memegang teguh integritas dan berkinerja baik.

Aspek struktur birokrasi/ organisasi, implementasi kebijakan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini berkaitan erat dengan dua sub

variabel yang memberikan pengaruh besar pada birokrasi, yaitu Standard Operating

Procedures (SOP) dan fragmentasi. SOP merupakan respon yang timbul dari

implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan pekerjaan karena kurangnya waktu dan

sumber daya serta kemauan adanya keseragaman dalam operasi organisasi yang

kompleks. SOP ini sering kita jumpai dalam pelayanan masyarakat pada organisasi-

organisasi pelayanan publik. Standarisasi SOP sudah menjadi isu lama pada organisasi

swasta/ private sector, dan kemudian diimplementasikan pula pada organisasi-

organisasi pelayanan publik. Sedangkan, fragmentasi merupakan penyebaran tanggung

jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Yang menjadi tantangan saat

ini adalah pemerintah harus mempersiapkan peraturan pelaksanaan dari Undang-

SIPENDIKUM 2018

165

Undang ASN ini berupa Peraturan Pemerintah (PP), yang akan diikuti peraturan

pelaksanaan turunannya. Tantangan pertama yang harus dihadapi adalah meyakinkan

agar peraturan pelaksanaannya betul-betul sejalan dengan spirit transformasi yang

mendasari Undang-Undang ASN ini.

Penting untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas,

profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi,

dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan

mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan implementasinya dapat berjalan

dengan efektif, agar pengelolaan ASN dapat lebih optimal. Implementasi kebijakan UU

ASN ini terkait dengan : (1) Komunikasi; (2) Sumber daya; (3) Disposisi; dan (4)

Struktur birokrasi.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2

huruf f menyatakan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen

ASN adalah netralitas, asas netralitas ini berarti bahwa setiap pegawai ASN tidak boleh

berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan

siapapun. Pasal 4 huruf d Menyatakan ASN harus menjalankan tugas secara profesional

dan tidak berpihak. Pengaturan lebih jelas dapat dibaca dalam Pasal 9 ayat (2) Pegawai

ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.

Bagi mereka yang melanggar dan memilih menjadi anggota dan atau pengurus

partai politik, sanksinya akan diberhentikan dengan tidak hormat Berdasarkan pasal 87

ayat (4) huruf b. Bagaimana kemudian jika ada PNS yang berniat mencalonkan diri

menjadi Bupati atau Walikota? Aturannya mereka harus mengundurkan diri

sebagaimana diatur dalam pasal 119 dan pasal 123 ayat (3). Awalnya ketentuan

pengunduruan diri ini diwajibkan sejak PNS mendaftarkan diri, tetapi norma ini dianulir

oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 sehingga dimaknai “PNS

yang mencalonkan diri dan atau dicalonkan menjadi Bupati/Wakil Bupati atau

Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai

PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota.

Selain itu, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang penetapan peraturan pemerintah

pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang. Larangan pasangan calon untuk

melibatkan ASN, anggota Kepolisian dan TNI serta kepala desa atau sebutan lain/lurah

dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan sebagaimana tertulis dalam

Pasal 70 ayat (1) huruf b dan Pasal 70 ayat (1) huruf c. lebih lanjut Pasal 71 ayat (1),

menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri,

kepada desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan atau tindakan

yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

SIPENDIKUM 2018

166

Bagi yang sedang menjadi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

maupun penjabat Bupati atau Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam

bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan

kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri. Selain itu, adanya larangan

menggunakan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu

pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan

sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon

terpilih. Hal ini termaktub dalam Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3).

Selain aturan yang terdapat dalam Undang-undang, larangan bagi ASN juga

terdapat dalam beberapa Peraturan Pemerintah, diantaranya dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri

Sipil. Salah satu klausul aturan ini adalah perintah untuk menghindari konflik

kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Maka PNS dilarang melakukan

perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang

mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/afiliasi dengan partai politik. Bagi siapa

yang melanggar kode etik ini maka akan dikenakan sanksi moral demikian bunyi Pasal

15 ayat (1).

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 mengatur Tentang Disiplin

Pegawai Negeri Sipil, disiplin pegawai negeri sipil adalah kesanggupan pegawai negeri

sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati

atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Sedangkan yang termasuk pelanggaran

disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban

dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam

maupun di luar jam kerja.

Pasal 4 ayat (14) mengatur Setiap PNS dilarang: memberikan dukungan kepada

calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi kartu tanda

penduduk atau surat keterangan tanda penduduk sesuai peraturan perundang-undangan;

Pasal 4 angka (15), larangan memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah, dengan cara: terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; menggunakan fasilitas yang terkait dengan

jabatan dalam kegiatan kampanye; membuat keputusan dan/atau tindakan yang

menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;

dan/atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan

calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye

meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS

dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Pasal 12 angka (8) merinci hukuman disiplin sedang yang dapat dijatuhkan bagi

PNS yang melakukan pelanggaran diantaranya : memberikan dukungan kepada calon

anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi kartu tanda penduduk atau

SIPENDIKUM 2018

167

surat keterangan tanda penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan

memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara

terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan

terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah

masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang

kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Hukuman disiplin berat diatur dalam Pasal 13 angka 3, PNS yang melakukan

pelanggaran diantaranya: memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil

Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam

kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang

menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.

Demikian sedertet aturan larangan bagi ASN dalam pemilu, semoga ketentuan ini dapat

dijadikan pedoman.

Terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh ASN dalam hal

pemilihan/pemilu berkaitan erat dengan tugas pengawasan yang menjadi tanggungjawab

pengawas pemilu yang harus mengawasi seluruh tahapan, serta menerima laporan

dugaan pelanggaran, menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran dan sengketa

pemilihan, pelanggaran ASN baik hasil temuan maupun laporan, pengawas pemilu akan

memproses dan menindaklanjutinya dan kemudian meneruskannya kepada Komisi

Aparatur Sipil Negara (KASN), KASN sesuai dengan tugas dan wewenangnya akan

memutuskan jenis pelanggaran kode etik dan kode perilaku, putusannya disampaikan

kepada pejabat pembina kepegawaian, dan pejabat yang berwenang wajib untuk

menindaklanjutinya.

Dalam hal putusan KASN tidak ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang

maka Menteri Pendayagunaan Aparatatur Negara (Menpan RB) akan menjatuhkan

sangsi kepada pejabat pembina kepegawaian. Berdasarkan hasil penelusuran data dan

informasi Komisi ASN baik melalui pengaduan dan sumber dari berbagai informasi

terkait dugaan pelanggaran netralitas menjelang pelaksanaan pilkada 2018 seperti :

keikutsertaan dalam deklarasi salah satu bakal calon kepala daerah, deklarasi partai

politik, deklarasi diri pribadi untuk menjadi salah satu bakal calon kepala daerah,

pengunaan photo dengan atribut PNS atau tanpa atribut pada spanduk/iklan/reklame

terkait pencalonan diri ASN yang bersangkutan, ucapan dan tindakan yang menghimbau

atau mengarahkan pihak lain untuk memilih bakal calon dalam pilkada 2018,

menggunakan simbol atau atribut partai atau bakal calon peserta pilkada, memposting

photo calon peserta pilkada baik dengan komentar atau hanya like saja di meda sosial,

dan lain sebagainya yang sudah mengarah pada kegiatan berpolitik praktis dan dapat

dipersepsikan sebagai tindakan keberpihakan serta konflik kepentingan.

Mengingat tahapan pilkada dan pemilu tinggal menghitung bulan, sebentar lagi

kita memasuki tahapapan pendaftaran calon Bupati dan Walikota, disusul dengan

tahapan-tahapan lainnya, maka kiranya semua pihak khususnya ASN, para incumben

dan para pejabat Pembina kepegawaian dapat memahami larangan-larangan yang tidak

SIPENDIKUM 2018

168

diperbolehkan oleh aturan perundang-undangan. Kita kembalikan mesin birokrasi

berjalan hanya untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau

bersikap loyal terhadap partai politik golongan tertentu.

Terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh ASN dalam hal

pemilihan/pemilu berkaitan erat dengan tugas pengawasan yang menjadi tanggungjawab

pengawas pemilu yang harus mengawasi seluruh tahapan, serta menerima laporan

dugaan pelanggaran, menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran dan sengketa

pemilihan. pelanggaran ASN baik hasil temuan maupun laporan, pengawas pemilu akan

memproses dan menindaklanjutinya dan kemudian meneruskannya kepada Komisi

Aparatur Sipil Negara (KASN), KASN sesuai dengan tugas dan wewenangnya akan

memutuskan jenis pelanggaran kode etik dan kode perilaku, putusannya disampaikan

kepada pejabat pembina kepegawaian, dan pejabat yang berwenang wajib untuk

menindaklanjutinya.

Kesimpulan

Asas netralitas sangat penting karena Aparatur Sipil Negara berkedudukan

sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas

negara, pemerintah dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas seperti itu, pegawai

negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak

deskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin

netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau

pengurus partai politik.

Pelibatan sejumlah orang atau terlibatnya Pegawai Negeri Sipil dalam suatu

kegiatan kampanye adalah pelanggaran pidana yang diancam penjara dan denda

terhadap pelanggarnya. Sanksi yang dikenakan adalah berupa sanksi pidana ataupun

sanksi administratif. Pelanggaran disiplin berupa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan

PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin

PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja, dikenakan snksi disiplin

mulai disiplin ringan sedang sampai sanksi disiplin berat.

Daftar Pustaka

Achmad Batinggi, 1999, Manajemen Pelayanan Umum, Universitas Terbuka, Jakarta

Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta

Edwards III, G.C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional

Quarterly Pres

Hadari Nawari, 1989, Pengawasan Melekat Dilingkungan Aparatur Pemerintah,

Erlangga, Jakarta,

SIPENDIKUM 2018

169

Hanif Nurcholis, 2005 Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo,

Jakarta,

Miftah Thoha, 1993 Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, MW Mandala,

Yogyakarta

--------------, 2014 Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cetakan Ke-5. Jakarta:

Penerbit Prenadamedia Group,

Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakart:

Elex Media Komputindo

Ryaas Rasyid, Muhammad, 1997, Kajian awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde

Baru, Jakarta

Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Winarno, B. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressind0

Mariam Budiardjo, 2008, 1989 (edisi pertama), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

Menpan, 1995 Peranan Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan, Pengayoman,

dan Pengembangan, Prakarsa dan Peran Serta Aktif Masyarakat Dalam

Pembanguan. Makalah

Moh. Mahfud MD, 1988, Politik Hukum di Indonesia, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

UUD RI 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nnomor 1

Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi

Undang-Undang.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

SIPENDIKUM 2018

170

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 tentang PNS yang Menjadi

Pengurus/Anggota Partai Politik

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pergawai Negeri Sipil

Surat Edaran Menpan Nomor SE/08/MPAN/3/2005 tentang Netralitas Pegawai Negeri

Sipil dalam Pemilihan Kepala Daerah

Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 5/2005 tentang PNS yang

menjadi Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah