sindroma putus obat
DESCRIPTION
Sindrom Putus ObatResiko Pemakaian NapzaNARKOTIKAemergency MedicineTRANSCRIPT
Sindroma Putus Obat
Jimmy Kusuma*
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta**
Abstrak—
Remaja cenderung energetik, selalu ingin tahu, emosi yang tidak stabil, cenderung berontak
dan mengukur segalanya dengan ukurannya sendiri dengan cara berfikir yang tidak logis.
Kadang remaja melakukan hal-hal diluar norma untuk mendapatkan pengakuan tentang
keberadaan dirinya dimasyarakat, salah satunya adalah melakukan tindakan penyalahgunaan
obat / zat. Ditinjau dari aspek sosial, masalah ini bukan hanya berakibat negatif terhadap diri
penyandang masalah saja, melainkan membawa dampak juga terhadap keluarga, lingkungan
sosial, lingkungan masyarakatnya, bahkan dapat mengancam dan membahayakan masa depan
bangsa dan negara.
Kata kunci : sindroma putus obat, opioid, bunuh diri
Abstract
Teenagers tend to be energetic, inquisitive, emotionally unstable, tend to rebel and to measure
everything by its own size in a way that is not logical thinking. Sometimes teens do things
outside the norm for recognition of the existence of his community, one of which is to act
abuse of drugs / substances. Viewed from the social aspect, the problem is not just a negative
impact on themselves of the problem alone, but also impact on family, social environment,
their communities, can even threaten and endanger the future of the nation and state.
Key words: drug withdrawal syndrome, opioid, suicide
*Jimmy Kusuma, NIM 102008118, Kelompok D5
**Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat. Telp. (021)56942061
1
Working Diagnosis
Sindroma Putus Obat
Differential Diagnosis
1. Intoksikasi Opioid
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik. Gejala overdosis
biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.
Gejala intoksikasi akut (overdosis) :
Kesadaran menurun, sopor – koma
Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan pernafasan mungkin
bersifat Cheyene stokes
Pupil kecil (pin point pupil), simetris dan reaktif
Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila pernafasan
memburuk dan terjadi syok
Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
Bradikardi
Edema paru
Kejang
2. Depresi
Secara lengkap gambaran depresi adalah sebagai berikut:
Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak ada semangat, merasa
tidak berdaya
Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan
Nafsu makan berkurang
2
Berat badan menurun
Konsentrasi dan daya ingat menurun
Gangguan tidur seperti insomnia (sulit/tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia (terlalu
banyak tidur). Gangguan ini sering kali disertai dengan mimpi-mimpi yang tidak
menyenangkan
Agitasi dan redatasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tidak berdaya
Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreatifitas
menurun, dan produktifitas menurun
Gangguan seksual (libido menurun)
Pikiran-pikiran tentang kematian dan bunuh diri
Anamnesis1-2
Wawancara dapat dilakukan secara alloanamnesis maupun autoanamnesis. Urutan
pelaksanaannya dapat dilakukan alloanamnesis terlebih dahulu atau sebaliknya dan dapat
juga bersamaan tergantung situasi dan kondisi.
1. Alloanamnesis dilakukan sebelum Autoanamnesis
Petugas telah memperoleh informasi tentang pasien, sehingga autoanamnesis lebih
terarah
Kemungkinan pasien lebih terbuka dan tidak menyangkal lagi
Pasien menyangkal dan bertahan mengatakan tidak menggunakan NAPZA
Pasien menyatakan sudah berhenti menggunakan
Petugas terpengaruh orang tua/guru yang terlalu kuatir, pada hal pasien tidak
menggunakan
Pasien mencurigai petugas sudah terpengaruh dengan orang tua/guru yang
mengantar, sehingga tidak kooperatif
3
2. Alloanamnesis dilakukan sesudah Autoanamnesis
Petugas belum dipengaruhi oleh keterangan yang diberikan orang tua / pengantar
lain.
Pasien tidak berprasangka bahwa petugas telah dipengaruhi orang tua/guru atau
berpihak pada orang tua/guru yang menyalahkan pasien
Kemungkinan pasien membohongi atau tidak terbuka pada petugas
3. Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan bersamaan
Pasien tidak dapat berbohong mengenai hal-hal yang diketahui orang tua / guru
Pasien dapat bersikap tertutup
Pada pasien yang bersikap tertutup, menanyakan langsung perihal penggunaan
NAPZA biasanya tidak membawa hasil. Sebaiknya anamnesis dilakukan secara tidak
langsung misalnya dengan pertanyaan sebagai berikut :
o Apakah ada yang bisa dibantu ?
o Apakah ada masalah dengan orang tua, guru, teman, pacar ?
o Apakah ada kesulitan belajar, malas kerja, sulit tidur ?
o Apakah sering tidak betah di rumah, sering begadang ?
o Apakah sering mengalami stres, kegelisahan, kesedihan ?
o Apakah untuk mengatasi kegelisahan atau kebosanan merokok lebih banyak
dari biasa ?
o Bila sedang frustasi, lalu minum minuman keras, apakah pernah mabok atau
teler ?
o Bila minum minuman keras apakah dicampur obat tidur,masing-masing
berapa banyak dan berapa sering ?
4
Pada pasien sudah bersikap terbuka, anamnesis/pertanyaan mengenai NAPZA
meliputi:
o Keluhan pasien dan riwayat perjalanan penyakit terdahulu yang pernah
diderita
o Riwayat penyalahgunaan NAPZA
Jenis NAPZA yang dipakai
Lamanya pemakaian
Dosis, frekuensi dan cara pemakaian
Riwayat / gejala intoksikasi / gejala putus zat
Alasan penggunaan
o Taraf fungsi sosial
Riwayat pendidikan
Latar belakang kriminal
Status keluarga
Kegiatan sosial lain
o Evaluasi keadaan psikologis
Keadaan emosi
Kemampuan pengendalian impuls
Kemungkinan tindak kekerasan, bunuh diri
Riwayat perawatan terdahulu
Pemeriksaan1-2
Penampilan pasien,sikap wawancara,gejolak emosi dan lain-lain perlu diobservasi. Petugas
harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau
tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan gejala yang ada.
5
1. Fisik
Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan, tangan, kaki bahkan pada tempat-
tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.
Pemeriksaan fisik terutama ditijikan untuk menemukan gejala intoksikasi / overdosis /
putus zat dan komplikasi medik seperti hepatitis, endokarditis, bronkopneumonia,
HIV/AIDS, dan lain-lain.
Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi, pupil, cara jalan, sklera
ikterik, konjungtiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia jantung, edema
paru, pembesaran hepar, dan lain-lain.
2. Psikiatrik
Derajat kesadaran
Daya nilai realitas
Gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih,
depresi, euforia)
Gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi)
Gangguan pada psikomotor (hipperaktif / hipoaktif, agresif, gangguan pola tidur,
sikap manipulatif, dan lain-lain)
3. Penunjang
Analisa Urin
Bertujuan untuk mendeteksi adanya NAPZA dalam tubuh (benzodiazepin,
barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis)
Pengambilan urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat
terakhir dan pastikan urine tersebut urine pasien
6
Tabel 1. Perkiraan Waktu Deteksi dalam Urin Beberapa Jenis Obat
Jenis Obat Lamanya dapat Dideteksi dalam Urin
Amfetamin 2 hari
Barbiturat 1 hari (short acting)
Benzodiazepin 3 minggu (short acting)
Kokain 2-4 hari
Kodein 2 hari
Heroin 1-2 hari
Metadon 3 hari
Morfin 2-5 hari
Definisi
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat
menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya.
Jenis NAPZA yang Disalahgunakan1-2
1. NARKOTIKA (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika).
NARKOTIKA adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
7
NARKOTIKA dibedakan kedalam golongan-golongan :
Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak
ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain, ganja).
Narkotika Golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin,
petidin)
Narkotika Golongan III
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein)
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I :
Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain
Ganja atau kanabis, marihuana, hashis
Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.
2. Psikotropika (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika).
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
8
Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :
Psikotropika Golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD)
Psikotropika Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi,
dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan . ( Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin)
Psikotropika Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).
Psikotropika Golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam,
Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo,
Rohip, Dum, MG).
Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :
Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu
Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur): MG, BK, DUM, Pil koplo dan
lain-lain
9
Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.
3. Zat Adiktif Lain
Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang
disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
Minuman berakohol
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat,
dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan
tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika,
memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
o Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)
o Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
o Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson
House, Johny Walker, Kamput.)
Inhalasi (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa
senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga,
kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain :
Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian
rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya
pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya.
Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai berikut :
10
Sama sekali dilarang : Narkotoka golongan I dan Psikotropika Golongan I.
Penggunaan dengan resep dokter : amfetamin, sedatif hipnotika.
Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.
Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan
menjadi tiga golongan :
Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini
menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan
tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk opioida (morfin, heroin/putauw, kodein),
sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
Golongan Stimulan (Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : amfetamin (shabu, esktasi),
kafein, kokain
Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah
perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda
sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam
terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin
Penyalahgunaan dan Ketergantungan
11
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara
berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik,
psikis dan gangguan fungsi sosial.
Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,
sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila
pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal
symptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya
dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”
Tingkat Pemakaian NAPZA1-2
Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya
ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada
tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.
Pemakaian sosial / rekreasi (social / recreational use) : yaitu pemakaian NAPZA
dengan tujuan bersenang-senang, pada saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai
tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih
berat
Pemakaian situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat mengalami
keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainnya,
dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang
bersifat patologik / klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang
hari, tak mapu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali
mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Keadaan ini
akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang ditandai oleh : tugas
12
dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik, perilaku agresif dan tak wajar,
hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos sekolah atau kerja, melanggar
hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi secara efektif.
Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat,
bila pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada
tingkat yang lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian
tersebut memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu
perlu dilakukan penyuluhan pada keluarga dan masyarakat.
Penyebab Penyalahgunaan NAPZA1-2
Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang
terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak
terdapat adanya penyebab tunggal (single cause).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA adalah sebagai berikut :
1. Faktor individu :
Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab
remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang
pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA.
Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk
menjadi penyalahguna NAPZA.
Ciri-ciri tersebut antara lain :
Cenderung memberontak dan menolak otoritas
Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti depresi, cemas,
psikotik, keperibadian dissosial
Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku
13
Rasa kurang percaya diri (low self-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri
negatif (low self-esteem)
Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif
Mudah murung,pemalu, pendiam
Mudah merasa bosan dan jenuh
Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran
Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)
Keinginan untuk mengikuti mode, karena dianggap sebagai lambang keperkasaan
dan kehidupan modern.
Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”
Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit mengambil
keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas
Kemampuan komunikasi rendah
Melarikan diri dari sesuatu (kebosanan, kegagalan, kekecewaan,
ketidakmampuan, kesepian dan kegetiran hidup, malu dan lain-lain)
Putus sekolah
Kurang menghayati iman kepercayaannya
2. Faktor lingkungan :
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar
rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat.
Faktor keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak
atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :
a. Lingkungan keluarga
14
Kominikasi orang tua-anak kurang baik / efektif
Hubungan dalam keluarga kurang harmonis / disfungsi dalam keluarga
Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi
Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh
Orang tua otoriter atau serba melarang
Orang tua yang serba membolehkan (permisif)
Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan
Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA
Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)
Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga
Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna NAPZA
b. Lingkungan sekolah
Sekolah yang kurang disiplin
Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA
Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan
diri secara kreatif dan positif
Adanya murid pengguna NAPZA
c. Lingkungan teman sebaya
Berteman dengan penyalahguna
Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar
d. Lingkungan masyarakat / sosial
Lemahnya penegakan hukum
Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung
3. Faktor NAPZA
15
Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”
Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba
Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri,
menidurkan, membuat euforia / fly / stone / high / teler dan lain-lain.
Epidemiologi
Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah kasus narkoba
meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau
meningkat rata-rata 28,9% pertahun. Jumlah tersangka tindak kejahatan Narkoba pun
meningkat dari 4.955 orang pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004, atau
meningkat rata-rata 28,6% pertahun. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang
Info BNN, menyebutkan jumlah penyalahguna narkoba yang teratur pakai dan pecandu di
Indonesia tahun 2004 sekitar 3,2 juta orang dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang. Data
dari Rumah Sakit ketergantungan obat tahun 1999, 80% pasien berusia antara 16-24 tahun.
Angka kematian pecandu 1,5% per tahun.
Gejala Klinis Penyalahgunaan NAPZA1-2
a. Perubahan fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat
digolongkan sebagai berikut :
Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),
apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif, curiga
Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat,
kulit teraba dingin, nafas lambat / berhenti, meninggal
16
Bila sedang ketagihan (putus zat / sakau) : mata dan hidung berair, menguap
terus menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air sehingga malas
mandi, kejang, kesadaran menurun
Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat, tidak peduli terhadap
kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat, terhadap bekas suntikan pada
lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik)
b. Perubahan sikap dan perilaku
Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah, sering
membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.
Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas
atau tempat kerja.
Sering berpegian sampai larut malam, kadang tidak pulang tanpa memberi tahu
lebih dulu
Sering mengurung diri, berlama-lama di kamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain dirumah
Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,
kemudian menghilang
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik
keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan,
pencuriga, tertutup dan penuh rahasia
Dampak Penyalahgunaan NAPZA1-3
17
Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang
sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta
masyarakat, bangsa, dan negara.
Bagi diri sendiri
Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan
perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang
dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak,
kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya
nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan
dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3
golongan / jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi
aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin, 2) Downer yang merupakan golongan
narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang
dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti
rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol
sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
Bagi keluarga
Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan
tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena
memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak
mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang
meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali
18
dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga
pemasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah
NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar.
Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain
yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan
meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara
Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba
dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat
sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya
tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami
kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan
prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Kelompok Resiko Tinggi
Kelompok resiko tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat dalam
penggunaan NAPZA tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal tersebut, mereka disebut juga
potential user (calon pemakai, golongan rentan).
Sekalipun tidak mudah untuk mengenalinya, namun seseorang dengan ciri tertentu
(kelompok risiko tinggi) mempunyai potensi lebih besar untuk menjadi penyalahguna
NAPZA dibandingkan dengan yang tidak mempunyai ciri kelompok risiko tinggi.
Mereka mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Anak
19
Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA antara
lain :
Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun)
Anak yang sering sakit
Anak yang mudah kecewa
Anak yang mudah murung
Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar
Anak yang agresif dan destruktif
Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib
Anak denga IQ taraf perbatasan (IQ 70-90)
2. Remaja
Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :
Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai
citra diri negatif
Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko
tinggi/bahaya
Remaja yang cenderung memberontak
Remaja yang tidak mau mengikutu peraturan/tata nilai yang berlaku
Remaja yang kurang taat beragama
Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA
Remaja dengan motivasi belajar rendah
Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler
20
Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan psikoseksual
(pepalu, sulit bergaul, sering masturbasi, suka menyendiri, kurang bergaul dengan
lawan jenis).
Remaja yang mudah menjadi bosan, jenuh, murung.
Remaja yang cenderung merusak diri sendiri
3. Keluarga
Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain
Orang tua kurang komunikatif dengan anak
Orang tua yang terlalu mengatur anak
Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi diluar
kemampuannya
Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk
Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau
ayah menikah lagi
Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar-salah yang
jelas
Orang tua yang todak dapat menjadikan dirinya teladan
Orang tua menjadi penyalahgunaan NAPZA
Resiko Penyalahgunaan Obat Psikotropik1-2
Manifestasi gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif yaitu :
Intoksikasi akut
o Berkaitan dengan dosis zat yang digunakan (efek yang berbeda pada dosis
yang berbeda)
21
o Gejala ini tidak selalu mencerminkan efek primer zat (dapat terjadi efek
paradoks)
Penggunaan yang merugikan (harmful use)
o Merusak kesehatan (fisik maupun mental)
o Sindrom ketergantungan belum tampak
o Sudah ada hendaya psikososial
Sindrom ketergantungan (dependence syndrome)
o Adanya keinginan yang sangat kuat (dorongan kompulsif) untuk
menggunakan zat psikoaktif secara terus-menerus dengan tujuan memperoleh
efek psikoaktif dari zat tersebut.
o Adanya kesulitan dalam menguasai (loss of control) perilaku menggunakan
zat (memulai, menghentikan, atau membatasi jumlahnya).
o Pengurangan atau penghentian penggunaan zat menimbulkan keadaan putus
zat dengan perubahan fisiologis tubuh yang tidak menyenangkan sehingga
memaksa pemakainya menggunakan kembali zat itu atau zat sejenis untuk
menghilangkan gejala putus zat.
o Terjadi gejala toleransi, yaitu peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan
untuk memperoleh efek yang sama.
o Terus menggunakannya walaupun pemakainya menyadari adanya efek yang
merugikan kesehatan.
Keadaan putus zat (withdrawal state)
o Timbulnya gejala-gejala fisik maupun mental sesudah penggunaan zat
psikoaktif yang berlangsung secara terus-menerus, dalam jangka waktu yang
lama, dan/atau dosis tinggi.
22
o Bentuk dan keparahan gejala tersebut tergantung dari jenis dan dosis zat
psikoaktif yang digunakan sebelumnya.
o Gejala tersebut akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat itu.
o Salah satu indikator dari sindrom ketergantungan.
Gangguan psikotik
o Sekelompok gejala psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah
penggunaan zat psikoaktif.
o Gejalanya yaitu halusinasi, kekeliruan identifikasi, waham, dan/atau ideas of
reference (gagasan tentang dirinya sebagai acuan) yang seringkali bersifat
kecurigaan atau kejaran, gangguan psikomotor (excitement atau stupor) dan
afek yang abnormal antara ketakutan yang mencekam hingga kesenangan
yang berlebihan.
o Umumnya kesadarannya masih jernih
o Variasi gejala dipengaruhi jenis zat yang digunakan dan kepribadian
penggunanya.
Sindrom amnesik
o Adanya hendaya atau gangguan daya ingat jangka pendek (recent memory)
yang menonjol, kadang-kadang ditemukan gangguan daya ingat jangka
panjang (remote memory) sedangkan daya ingat segera (immediate recall)
masih baik. Fungsi kognitif lainnya biasanya masih baik.
o Adanya gangguan sensasi waktu (menyusun kembali urutan kronologis,
meninjau kejadian berulangkali menjadi satu peristiwa, dll.)
o Kesadaran masih jernih
23
o Perubahan kepribadian yang sering disertai keadaan apatis, hilangnya inisiatif,
dan kecenderungan mengabaikan keadaan.
Penanganan Overdosis Opiat di UGD4
Gejala Klinis :
Penurunan kesadaran disertai salah satu dari :
Frekuensi pernapasan < 12 kali per menit
Pupil miosis (seringkali pin point pupil)
Ada riwayat pemakaian morfin / heroin / terdapat needle track sign
Penanganan Kegawatan :
Bebaskan jalan nafas
Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan
Pasang infus NaCl 0,9% atau Dextrose 5% emergensi
Pemberian antidot nalokson:
Tanpa hipoventilasi : dosis awal diberikan 0,4 mg IV (perlahan atau diencerkan)
Dengan hipoventilasi : dosis awal diberikan 1-2 mg IV (perlahan atau diencerkan)
Bila tidak ada respons diberikan Nalokson 1-2 mg IV tiap 5-10 menit hingga timbul
respon (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil) atau
mencapai dosis maksimal 10 mg
Efek Nalokson berkurang 20-40 menit dan pasien dapat jatuh ke keadaan overdosis
kembali, sehingga perlu pemantauan ketat kesadaran, pernapasan, dan perubahan
pupil dan tanda vital lain selama 24 jam.
Atau dapat juga diberikan 1 ampul dalam 500 cc Dextrose 5% selama 4-6 jam
Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat dan lakukan foto toraks
Pertimbangkan pemasangan ETT bila :
24
o Pernapasan tidak adekuat setelah pemberian nalokson optimal
o Oksigenasi kurang meski ventilasi cukup
o Hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson optimal
Pasien dipuasakan ± 6 jam untuk menghindari aspirasi
Terapi Medis (Terapi Organobiologi)1-2,4-6
Terapi ini antara lain ditujukan untuk :
a. Terapi Terhadap Keadaan Intoksikasi
Intoksikasi opioida :
Beri Nalokson 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3 menit sampai
2-3 kali
Intoksikasi kanabis (ganja):
o Ajaklah bicara yang menenangkan pasien.
o Bila perlu beri : Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, Clobazam 3x10 mg.
o Intoksikasi kokain dan amfetamin
o Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral,atau Klordiazepoksid 10- 25 mg
oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60 menit.
o Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral
Intoksikasi alkohol :
o Mandi air dingin bergantian air hangat
o Minum kopi kental
o Aktivitas fisik (sit-up,push-up)
25
o Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
Intoksikasi sedatif-hipnotif
o Melonggarkan pakaian
o Membarsihkan lender pada saluran napas
o Bila oksigen dan infus garam fisiologis
b. Terapi terhadap Keadaan Overdosis
Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu :
o Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika diperlukan
dapat memberikan bantalan dibawah bahu)
o Kendurkan pakaian yang terlalu ketat
o Hilangkan obstruksi pada saluran napas
o Bila perlu berikan oksigen
Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar
o Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal, injeksi adrenalin 0.1-
0.2 cc IM
o Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru,hiperventilasi) karena
sirkulasi darah yang tidak memadai, beri infus 50 ml sodium bikarbonas
Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %) dengan
kecepatan rendah (10-12 tetes permenit) terlebih dahulu sampai ada indikasi untuk
memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai kebutuhan,jika didapatkan
tanda-tanda kemungkinan dehidrasi.
Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan
atau trauma yang membahayakan
26
Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan diazepam 10
mg melalui IV atau perinfus dan dapat diulang sesudah 20 menit jika kejang
belum teratasi.
Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml glukosa 50% IV
c. Terapi pada sindrom putus zat
Terapi putus zat opioida
Terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi. Terapi detoksifikasi dapat
dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat inap.
Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda :
o 1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional
o 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid Opiate
Detoxification Treatment)
Detoksifikasi hanyalah merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari
penyalahgunaan / ketergantungan NAPZA
Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :
Tanpa diberi terapi apapun, putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold
turkey). Terapi hanya simptomatik saja :
o Untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti tramadol, analgrtik non-
narkotik,asam mefenamat dan sebagainya
o Untuk rhinore beri dekongestan, misalnya fenilpropanolamin
o Untuk mual beri metopropamid
o Untuk kolik beri spasmolitik
o Untuk gelisah beri antiansietas
o Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepin
27
Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)
o Dapat diberi morfin, petidin, metadon atau kodein dengan dosis
dikurangi sedikit demi sedikit. Misalnya yang digunakan di RS
o Ketergantungan obat, diberi kodein 3 x 60 mg – 80 mg selanjutnya
dikurangi 10 mg setiap hari dan seterusnya.
o Disamping itu diberi terapi simptomatik
Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda
Dipakai Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi dalam
3-4 kali pemberian. Dosis diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari.
Sebaiknya dirawat inap (bila sistol < 100 mmHg atau diastol < 70 mmHg),
terapi harus dihentikan.
Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi
(Rapid Opioid Detoxification).
Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,dilakukan di RS
dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater,
dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat (naltrekson) lebih
kurang 1 tahun.
Terapi putus zat sedatif / hipnotika dan alkohol harus secara bertahap dan
dapat diberikan diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara
memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap sampai
terjadi gejala intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10
mg perhari sampai gejala putus zat hilang.
Terapi putus kokain atau amfetamin
28
Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan percobaan
bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan antidepresi.
Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
o Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Inj.
Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3 x 2,5-5 mg/hari.
o Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM
o Pada delirium putus sedativa / hipnotika atau alkohol beri diazepam
seperti pada terapi intoksikasi sedative / hipnotika atau alkohol
Terapi putus opioida pada neonatus
o Gejala putus opioida pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang
mengalami ketergantungan opioida, timbul dalam waktu sebelum 48-
72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis terus
(melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak mau minum, muntah,
dehidrasi, hidung tersumbat, demam, berkeringat.
o Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya berikan
Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan bertahap,selesai
dalam 10 hari
d. Terapi terhadap komorbiditas
Setelah keadaan intoksikasi dan sindroma putus NAPZA dapat teratasi, maka perlu
dilanjutkan dengan terapi terhadap gangguan jiwa lain yang terdapat bersama-sama
dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (co-morbid
psychopathology), sebagai berikut :
Psikofarmakologis yang sesuai dengan diagnosis
Psikoterapi individual
29
o Konseling : bila dijumpai masalah dalam komonikasi interpersonal
o Psikoterapi asertif : bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami
kesulitan dalam mengambil keputusan yang bijaksana
o Psikoterapi kognitif : bila dijumpai depresi psikogen
Psikoterapi kelompok
Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik
Terapi marital bila dijumpai masalah marital
Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan
Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa
e. Terapi terhadap Komplikasi Medik
Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara terpadu
melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran.
Misalnya :
Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru
Komplikasi Jantung di rujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau
Interna/Penyakit Dalam
Komplikasi Hepatitis di rujuk ke Bagian Interna/Penyakit Dalam
HIV/AIDS dirujuk ke Bagian Interna atau Pokdisus AIDS
Dan lain-lain.
f. Terapi Maintenance (Rumatan)
Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya komplikasi medis serta tidak kriminal. Secara medis terapi ini
dijalankan dengan menggunakan :
Terapi psikofarmaka,menggunakan Naltrekson (opiat antagonis), atau Metadon
30
Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan hukum
Self-help group,didasarkan kepada beberapa fillosofi antara lain : 12-steps
Pencegahan
Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA
Deteksi dini perubahan perilaku
Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”
Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita
sindrom ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan.
Sesudah klien penyalahgunaan / ketergantungan NAPZA menjalani program terapi
(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program
pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat
melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi.7
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada
jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia
di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1
minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2
minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi,
dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan
31
parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa
sampai 2 tahun.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian
besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving)
terhadap NAPZA yang selalu terjadi. Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA
dapat:
Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan
lingkungannya.
Jenis program rehabilitasi :
Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat
(reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan
keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat
rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program
rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah / kuliah atau bekerja.
Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua
berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan
tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan
32
sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun
klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum
hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering
muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur
(insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi
dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan,
dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif
(menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi
kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara
kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program
pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam
rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikian dapat
dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi.
Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang
dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber
(1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu
dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang
mengalami penyalahgunaan NAPZA.
Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.
Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor,
setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan.
Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan
mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari,
33
sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving)
dan mencegah relaps.
Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas
menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap
anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang
berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka
sendiri.
Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah
cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinan agamanya masing-masing.
Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat
menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu
menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA
apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila
kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali
menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.
Bunuh Diri
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Menurut Beck dalam Keliat mengemukakan rentang harapan – putus harapan merupakan
rentang adaptif – maladaptif.8
34
Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan respon
yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan budaya setempat.
Respon adaptif antara lain :
Self enhancement (pengembangan diri) : menyayangi kehidupan diri; berusaha selalu
meningkatkan kualitas diri
Growth-promoting risk taking : berani mengambil risiko untuk meningkatkan
perkembangan diri
Respon maladaptif antara lain :
Indirect self-destructive behavior : perilaku merusak diri tidak langsung; aktivitas
yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan berpotensi mengakibatkan kematian;
individu tak menyadari/menyangkal bahaya aktivitas tersebut
Self injury : mencederai diri; tak bermaksud bunuh diri tetapi perilakunya bisa
mengancam jiwa
Suicide / bunuh diri : perilaku yang disengaja menimbulkan kematian diri; individu
sadar bahkan menginginkan kematian
Patopsikologi
Semua perilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap membunuh diri
adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana
spesifik dan mempunyai niat untuk melakukannya. Perilaku bunuh diri biasanya dibagi
menjadi 3 kategori :
Ancaman bunuh diri
35
Peningkatan verbal / nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk
bunuh diri. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian,
kurangnya respon positif dapat ditafsirkan seseorang sebagai dukungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri.
Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat
mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan. Orang yang
melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati mungkin pada
mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
Etiologi
Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri :
Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres
Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti
Perasaan marah / bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri
Cara untuk mengakhiri keputusasaan
Faktor resiko
Banyak instrument yang bisa dipakai untuk menentukan resiko klien melakukan bunuh diri
diantaranya dengan SAD PERSONS
Tabel 2. SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
36
1 Sex (jenis kelamin)
Laki laki lebih sering melakukan suicide 3 kali lebih
tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering
3 kali dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh
diri
2 Age (umur)
Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih
muda, 45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65
tahun lebih.
3 Depression35 – 79% orang yang melakukan bunuh diri
mengalami sindrom depresi.
4Previous attempts
(Percobaan sebelumnya)
65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah
pernah melakukan percobaan sebelumnya
5 ETOH (alkohol)65 % orang yang suicide adalah orang
menyalahgunakan alkohol
6
Rational thinking loss
( kehilangan berpikir
rasional)
Orang skizofrenia dan dementia lebih sering
melakukan bunuh diri disbanding general populasi
7Sosial support lacking (
kurang dukungan social)
Orang yang melakukan bunuh diri biasanya kurannya
dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang
bermakna serta dukungan spiritual keagaamaan
8
Organized plan
(perencanaan yang
terorganisasi)
Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh diri
merupakan resiko tinggi
9No spouse ( tidak
memiliki pasangan)
Orang duda, janda, single adalah lebih rentan
dibanding menikah
10 SicknessOrang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi
melakukan bunuh diri.
Pengobatan
Semua kasus percobaan bunuh diri harus mendapat perhatian khusus, pertolongan pertama
dilakukan secara darurat di rumah sakit. Kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi
suatu tindakan medis, penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial, tetapi
37
berhubungan dengan kriteria besarnya kemungkinan suicide. Pengobatan dapat berupa obat-
obatan anti depresi dan psikoterapi.
Daftar Pustaka
1. Buku Pedoman Praktis mengenai Penyalahgunaan NAPZA bagi petugas Puskesmas.
[Dikutip 2011 November 15]. Diunduh dari :
http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/pdf/pedoman/pedoman%20napza.pdf
2. Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkoba
(NAPZA). [Dikutip 2011 November 14]. Diunduh dari :
http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien%20dengan
%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan%20Jiwa_Normal_bab%201.pdf
38
3. Martono, L.H. Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya. Jakarta:
Balai Pustaka; 2006
4. Arif Mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek
Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI; 2005
5. Elvira SD, Hadisukanto G. Gangguan Penggunaan Zat : Upaya Terapi dan Pemulihan
dalam Buku ajar psikiatri. Jakarta : FKUI; 2010
6. Fitri Hartanto, dr., Sp.A. Substance Abuse pada Remaja.[Dikutip 2011 November 19].
Diunduh dari : pediatrics-undip.com/journal/Substance%20abuse.doc
7. Hawari, D. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat
Adiktif). Jakarta: FK-UI; 2003
8. Keliat, B.A. Tingkah laku bunuh diri. Cetakan 2. Jakarta: EGC; 1995
39