sindroma nefrotik.doc
TRANSCRIPT
Sindroma nefrotik bukan suatu penyakit tetapi merupakan manifestasi penyakit
glomerular yang berbeda dan banyak terjadi pada anak-anak yang dapat mengubah fungsi
glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein yaitu keluarnya protein melalui ginjal
secara massif. Sindroma nefrotik adalah suatu kondisi yang ditandai dengan proteinuria > 40
mg/m2/jam, hiperlipidemia > 400 mg/dL, hipoalbuminemia < 2,5 g/dL, dan edema. Kelainan
primernya berupa peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein yang mengakibatkan
kehilangannya muatan negati membran basal. Peningkatan permeabilitas inilah yang
menyebabkan proteinuria masif yang disertai dengan hipoproteinemia sekunder. Tekanan
onkotik plasma menurun, yang menyebabkan pergeseran cairan dari komparteman vaskular ke
interstisial. Aliran darah ginjal dan GFR biasanya tidak menurun dan pada beberapa keadaan
GFR dapat berada diatas normal, tetapi dengan hipoalbuminemia yang berat, GFR menurun.
Selain penurunan tekanan onkotik plasma hiponatremia, pembentukan edema diperbesar oleh
penurunan volum darah efektif dan oleh peningkatan reabsorpsi natrium oleh tubulus yang
disebabkan oleh aktivasi sistem renin-angiotensis-aldosteron. Kebanyakan lipid serum dan kadar
lipoprotein meningkat karena hipoproteinemia merangsang sistesis lipoprotein hati, sehinggga
metabolisme lipid menurun.
A. Anamnesis
Pada saat melakukan anamnesis dengan pasien yang menderita sindroma nefrotik
maka dapat kita tanyakan hal-hal berikut :
1. Riwayat penyakit sekarang
Adakah riwayat edema ? jika ya, dimana ?
Pernahkah urin pasien berbuih ?
2. Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat :
Penyakit ginjal yang diketahui ?
Biopsi ginjal sebelumnya ?
Episode edema sebelumnya dan respons terhadap terapi ?
Proteinuria sebelumnya ?
Penyakit terkait lain seperti SLE ?
1
3. Obat-obatan
Apakah pasien menggunakan diuretik ?
Apakah pasien menjalani pengobatan yang menimbulkan imunosupresi (misalnya
kortikosteroid, siklofosfamid, siklosporin) ?
Apakah pasien menggunakanOAINS (bisa menimbulkan sindroma nefrotik) ?
Apakah pasien menggunakan obat antikoagulasi ?
4. Riwayat kesehatan keluarga, menanyakan apakah ada keluarga dengan penyakit ginjal
kongenital ?1
B. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital: tekanan darah (pada sindoma nefrotik dpat ditemukan TD yang
normal atupun tinggi), suhu, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan,
Antropometri: mengukur berat badan psien (merupakan indikator yang paling akurat
dalam menilai pengurangan dan penambahan cairan).
Inspeksi
Melihat keadaan umum dan letak edema apakah ada edema preorbital atukah edema
anasarka.
Palpasi
Jika pasien mengalami edema dapat dilakukan palpalsi dengan menekan pada bagian
yang edema. Hal ini dilakukan untuk menilai apakah edema tersebut bersifat pitting
(bisa kembali lagi).
Perkusi
Pemeriksaan palpasi dapat dilakukan pada pasien dengan asietes. Abdomen yang
buncit dengan bagian pinggang yang membenjol menunjukkan kemungkinan adanya
cairan asites. Ada dua teknik yang membantu memastikan keberadaan asites:
a. Tes untuk pekak pindah (shifting dullness). Setelah membuat peta yang
memperlihatkan batas antara bunyi timpani dan redup, minta pasien untuk
memutar tubuhnya ke salah satu sisi. Lakukan perkusi dan tandai batas tersebut
sekali lagi. Pada pasien yang tidak mengalami asites, biasanya batas antara bunyi
timpani dan redup reelatif tidak berubah.
2
b. Tes untuk gelombang cairan. Minta pasien atau asisten menekan dengan kuat ke
arah bawah pada garis tengah abdomen menggunakan permukaan ulnar kedua
tangan mereka. Tekanan ini membantu menghentikan transmisi gelombang
melalui jaringan lemak. Sementara itu, anda menggunakan ujung jari-jari tangan
untuk mengetuk dengan cepat pada salah satu pinggang pasien, raba sisi pinggang
yang lain untuk merasakan impuls yang ditransmisikan melalui cairan asites.
Sayangnya, tanda ini seringkali positif pada orang-orang yang tidak memiliki
asites.
Auskultasi. Dilakukan untuk mendengar apakah ada bruit pada a. renalis.2
2. Pemeriksaan penunjang
Urinalisis: dalam keadaan normal ekskresi protein urin 50-150 mg/24 jam. Kadar
protein urin biasanya sangat sedikit dan tidak terdeteksi dengan pemeriksaan rutin.
Pada sindroma nefrotik dijumpai proteinuria berat dengan ekskresi protein > 40
mg/m2/jam. Pemeriksaan proteinuria terdiri dari:
a. Semi kuantitatif:
- Cara turbidimetrik. Prinsip pemeriksaan: penambahan asam dan pemansan
urin yang mengandung protein akan menyebabkan terjadinya presipitasi
protein. Asam yang digunakan adalah asam sulfosalisilat dan asetat.
- Cara carik celup: albustix, combistix, labstix.
b. Kualitatif
Protein bence jones mempunyai sifat fisik larut pada suhu didih urin dan pada tes
pemanasan dengan asam asetat, kekeruhan akan timbul kembali bila uri
didinginkan pada suhu 60 ̊ C. Bila urin dipanaskan lagi, kekeruhan akan
menghilang kembali. Pemeriksaannya dengan cara: osgod, TSA, dan
immunoelektroforesa.
c. Kuantitatif
Cara esbach.
Pada pemeriksaan mikroskopik urin dapat ditemukan adanya hematuria, oval fat
bodies, silinder lemak dan silinder lilin.
3
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
(normalnya 3,5-5 g/dL) dan hiperlipidemia > 400 mg/dL (normalnya ≤ 200 mg/dL).3
Biopsi ginjal. Untuk mengetahui jenis kerusakan/lesis pada sindoma nefrotik primer.
C. Diagnosis banding
1. Glomerulonefritis akut
Merupakan infeksi yang mengenai glomerulus, biasanya didahului oleh infeksi post
streptococcus β hemolitycus dapat berupa faringitis ataupun impetigo. Adanya endapan
kompleks Ag-Ab pada membrana basalis glomerulus menyebabkan GFR terganggu
sehingga terjadi penurunan GFR yang mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi Na
sehingga volum plasmapun meningkat. Karena hal ini tubuh menjadi edema, yaitu berupa
edema preorbital dan mengalami hipertensi terjadi pada 50-90% dari kejadian
glomerulonefrits akut komplikasi serius dari hipertensi ini dapat mengakibatkan
encephalophati yang manifestasi klinisnya berupa kejang-kejang. Glomerlonefritis akut
sering terjadi pada anak sekolah rata-rata usia 7 tahun, lebih sering terjadi pada anak laki-
laki daripada perempuan. Selain edema dan hipertensi gejala lain yang dapat dilihat
adalah adanya hematuria (gross hematuria), dapat pula terjadi oliguria karena retensi
cairan dalam tubuh. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya proteinuria
ringan-sedang, leukositosis, silinder eritrosit, gangguan elektrolit, serologi ASTO yang
meningkat karena infeksi Streptococcu β hemolitycus, serta menurunnya komplemen C3
merupakan suatu keadaan darurat medis dimana jumlah darah yang dipompa oleh jantung
seseorang setiap menitnya {curah jantung (cardiac output)} tidak mampu memenuhi
kebutuhan normal metabolisme tubuh.4
2. Alergi obat
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya
melalui reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Gejala
klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan samai berat, bervariasi dan tidak spesifik
untuk obat tertentu.5
Tabel 1. Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis.
4
Anafilaksis Edema laring, hipotensi, bronkospasme
Erupsi kulit Urtikaria/angioedema, pruritus, ruam
mukulopapular morbiliform, erupsi obat
fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis, eritema
nodusum, eritema multiform, sindrom Stevens-
Johnson, nekrolisis epidermal toksis, dermatitis
eksfoliatif, reaksi fotosensitivitas.
Kelainan hematologik Anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia
Kelainan pulmonal Pneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru,
fibrosis paru
Kelainan hepatik Reaksi kolesatatis, destruksi hepatoseluler
Kelainan renal Nefrtis interstisial, glomerulonefritis,
sindroma nefrotik
Penyakit serum
Demam obat
Vaskulitis sitemik
Limfadenopati
3. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif adalah ketidak mampuan jantung untuk memompa darah yang
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Tanda serta gejala
penyakit gagal jantung dapat dibedakan berdasarkan bagian mana dari jantung itu yang
mengalami gangguan pemompaan darah. Gagal jantung sebelah kiri ; menyebabkan
pengumpulan cairan di dalam paru-paru (edema pulmoner), yang menyebabkan sesak
nafas yang hebat. Sedangkan Gagal jantung sebelah kanan ; cenderung mengakibatkan
pengumpulan darah yang mengalir ke bagian kanan jantung. Sehingga hal ini
menyebabkan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai, perut (ascites) dan hati
(hepatomegali). Tanda lainnya adalah mual, muntah, keletihan, detak jantung cepat serta
sering buang air kecil (urin) dimalam hari (Nocturia). Manifestasi klinis dari gagal
jantung tidak hanya berupa edema tetapi juga terjadi penurunan tekanan perfusi ginjal
yang mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan
5
sekresi aldostoron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler
kemudian pula dapat menyebabkan hepatomegali yang berakibat pada penurunan
katabolisme lemak yang dapat menyebabkan hiperkolesterolemia. Pada pemeriksaan
urinalisis kadang di temukan adanya proteinuira. 6
4. Sirosis hati
Merupakan penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan
pembentukan jaringan ikat disertai nodul sehingga menyebabkan kegagalan fungsi hati.
Kegagalan fungsi hati dapat menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunya barat
badan, kembung, dan mual, serta hiperkolesterolemia. Kulit tubuh di bagian atas, muka,
dan lengan atas akan bisa timbul bercak mirip laba-laba (*spider nevi). Telapak tangan
bewarna merah (eritema palmaris), perut membuncit akibat penimbunan cairan secara
abnormal di rongga perut (asites). Pada pemeriksaan urinalisis kadang di temukan adanya
proteinuira.6
Tabel 2. Perbandingaan diagnosis kerja berdasarkan gejalanya.
N0 Gejala Sindroma
nefrotis
Glomerulusnefritis
akut
Gagal
jantung
Sirosis
hati
Alergi
obat
1 Bengkak pada mata + + - - +
2 Bengkak ekstremitas + - + + +
3 Hipercholesterolemia + - +/- + +
4 Proteinuria + + +/- +/- +
5 Hematuria + + - - +
6 Usia 4 tahun (anak-anak) + + +/- - +
7 Shifting dullnes (+) + + + + +
D. Diagnosis kerja
6
Sindroma nefrotik
Sindroma nefrotik bukan suatu penyakit tetapi merupakan manifestasi penyakit glomerular
yang berbeda dan banyak terjadi pada anak-anak yang dapat mengubah fungsi glomerulus
yang mengakibatkan kebocoran protein, sehingga protein keluar melalui ginjal secara massif.
Sindroma nefrotik adalah suatu kondisi yang ditandai dengan proteinuria > 40 mg/m2/jam,
hiperlipidemia > 400 mg/dL, hipoalbuminemia < 2,5 g/dL, dan edema. Penyakit-penyakit ini
biasanya bersifat akut dan menetap. Sindroma nefrotik umumnya bisa dibagi menjadi etiologi
kongenital, primer (penyakit glomerular intrinsik pada ginjal yang tidak diketahui
penyebabnya dan tidak disebabkan oleh penyakit sistemik lain) dan sekunder (oleh etiologi
diluar ginjal/ penyakit sistemik lain yang berdampak pada ginjal). Sindroma nefrotik pada
anak dibagi menjadi sindroma nefrotik yang masih sensitif terhadap steroid (pada tipe
minimal change nephrotic syndrome) dan yang sudah resisten steroid (pada tipe sindroma
nefrotik primer yang lainnya). Ada berbagai macam lesi yang dapat ditemukan pada
sindroma nefrotik primer, yaitu :
1. Minimal chage nephrotic syndrome (MCNS), merupakan lesi yang paling sering
ditemukan pada 80% kasus. Glomerulus terrlihat normal atau menunjukan peningkatan
sel menangial dan matrix. Sindroma ini lebih sering mengenai anak laki-laki daripada
perempuan dengan rasio 2:1 dan 2/3 kasus berusia 2-6 tahun. Tidak ada tanda-tanda
sindroma nefrotik dan penyakit sistemik. Tidak ada hipokomplementemia tetapi kadang
ada gambaran nefritik berupa hematuria, azotemia dan hipertensi yang terjadi pada 10-
30% anak-anak, tetapi sifatnya ringan dan tidak menetap. Kurang lebih 95% anak dengan
minimal change disease sensitif dengan terapi kortikosteroid.
2. Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), merupakan 10% dari kasus sindroma
nefrotik, ciri khasnya adalah peningkatan difusi sel-sel mesangial dan matrix. Dapat
memberikan gejala berupa hematuria pada > 50% kasus dan hanya 20% yang sensitif
terhadap steroid. Gagal ginjal terdapat pada 50% penderita, dalam 5 tahun 20-30% akan
menjadi end stage renal disease (ESRD) dan dalam 10 tahun 60 akan menjadi ESRD.
3. Membranous nephropathy (MN), kasusnya jarang < 6% dari seluruh kasus sindroma
nefrotik anak, pada remaja 10-20% dari kasus sindronma nefrotik sedangkan pada
dewasa, sering 20-40% kasus.
7
4. Membranoproliferatif glomerulonephritis (MPGN), merupakan 10% kasus dari sindroma
nefrotik pada anak sebagian besar kasus terjadi pada usia 8-20 tahun dan 30% kasus
memiliki gejala yang mirip dengan GNA, yaitu berupa protein uria
minimal/asimptomatik, hematuria, hipertensi dan azotemia. Jarang terdapat remisi
spontan dan dalam 10 tahun 50% jadi ESRD.
5. Proliferasi mesangial, merupakan < 3% dari kasus sindroma nefrotik, terdapat proliferasi
mesangial dan segmental scar. Dapat memberikan gejala berupa hematuria mikroskopik
pada 90% kasus, hipertensi pada 50% kasus, 25 % mengalami penurunan fungsi ginjal,
35-70% memberikan respon yang buruk terhadap kortikosteroid. Prognosis masih baik
dan dapat terjadi remisi pontan dan 10% menjadi gagal ginjal.4,5,7
E. Etiologi
Secara garis besar etiologi sindroma nefrotik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya dan sekunder akibat
penyakit sistemik. Sindroma nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi
berusisa kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital dan mempunyai prognosis
buruk. Sindroma nefrotik umumnya bisa dibagi menjadi etiologi primer dan sekunder.
Sindroma nefrotik primer disebabkan oleh penyakit glomerular intrinsik pada ginjal dan tidak
disebabkan penyakit sistemik. Ada berbagai macam lesi yang dapat ditemukan pada
sindroma nefrotik primer, yaitu :
6. Minimal chage nephrotic syndrome (MCNS)
7. Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)
8. Membranous nephropathy (MN)
9. Membranoproliferatif glomerulonephritis (MPGN)
10. Proliferasi mesangial.
Sedangkan sindroma nefrotik sekunder disebabkan oleh etiologi diluar ginjal. Penyebab
sindroma nefrotik sekunder, mencakup :
1. Henoch-Schonlein purpura
2. Systemic lupus erythematosus
3. Dibetes melitus
4. Syphilis
8
5. HIV
6. Hepatitis B dan C
7. Malignansi
8. Vaskulitis
9. Paparan obat (heroin, merkuri,dll)4,6
F. Epidemiologi
Tingkat kejadian sindroma nefrotik 15 kali lebih banyak pada anak-anak daripada dewasa.
Tingkat kejadiannya adalah 2-3 : 100.000 anak pertahun. Anak laki-laki lebih banyak
menderita sindroma nefrotik dibanding peempuan (2:1). Sindroma nefrotik yang paling
banyak di derita oleh anak-anak adalah sindroma nefrotik primer yaitu sekitar 90 % yang
umumnya dialami anak berusia 2-6 tahun, yang 80% nya ditemukan minimal change
disease.4
G. Patofisiologi
Yang mendasari kelainan pada sindroma nefrotik adalah meningkatnya
permeabilitasnya dinding kapiler glomerulus, yang mengakibatkan protein uria masif dan
hipoalbuminemia. Penyebab meningkatnya permeabilitas ini tidak diketahui. Pada minimal
change disease, kemungkinan disfungsi T-cell menimbulkan perubahan dari cytokin, yang
menyebabkan kehilangan muatan negatif oleh glikoprotein didalam dinding kapiler
glomerulus. Pada focal segmental glomerulosclerosis, faktor plasma, mungkin yang
mengeluarkan limfosit, yang mungkin bertanggung jawab dalam meningkatkan permeabilitas
dinding kapiler.
Pada banyak kejadian, kehilangan protein yang masif mengakibatkan
hipoalbuminemia, yang dapat mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma dan
transudat cairan intravaskular ke ruang intertisial. Penurunan volum intravaskular
mengurangi tekanan perfusi ginjal, penggiatan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron),
yang merangsang penyerapan tubulus akan sodium. Penurunan volum intravaskular juga
merangsang pelepasan ADH (antidiuretik hormon), yang meningkatkan reabsorpsi air di
duktus koligens.
Teori ini tidak berlaku pada semua pasien dengan sindroma nefrotik karena beberapa
pasien sebenarnya memiliki peningkatan volum intravaskular dengan berkurangnya volum
9
plasma oleh renin dan aldosteron. Dalam keadaan nefrotik, tingkat serum lipid (kolesterol,
trigliserid) meningkat untuk 2 sebab, yaitu :
1. Hipoalbuminemia, merangsang sintesis protein hepar, termasuk sintesis oleh lipoprotein.
2. Dan lagi, berkurangnya katabolisme lipid, sebagai akibat dari penurunan level plasma
oleh lipoprotein lipase.4
H. Manifestasi klinis
Anak biasanya hadir dengan edema ringan, yang pada awalnya disekitar mata dan
ekstremitas bawah. Sindroma nefrotik pada awalnya dapat terjadi kesalahan diagnosis yaitu
sebagai penyakit alergi oleh karena bengkak periorbital yang berkurang disepanjang hari.
Bersamaan waktu, edema dapat menjadi menyeluruh, dengan berkembangnya asites, pleural
effusions dan edema genital. Anoreksia, nyeri pada abdomen dan diare biasa terjadi,
sedangkan hipertensi dan hematuria jarang terjadi.4
Proteinuria. Ekskresi protein yang berlebihan timbul akibat meningkatnya filtrasi
protein glomerulus akibat peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus.
Umumnya, protein plasma dengan BM rendah seperti albumin, IgG, dan transferin diekskresi
lebih mudah dibanding protein dengan BM yang lebih besar seperti lipoprotein, clearance
relatif plasma protein yang berbanding terbaliak dengan ukuran atau berat molekulnya
mencerminkan selektivitas proteinuria. 4,7
Hipoproteinemia. Penurunan konsentrasi protein serum, terutama protein dengan BM
rendah, secara primer merupakan konsekuensi kehilangan protein melalui kemih. Terdapat
sedikit reabsorpsi protein yang difiltrasi dengan peningkatan katabolisme protein dalam sel-
sel tubuli, dan peningkatan paradoksal konsentrasi serum beberapa protein dengan BM yang
besar, terutama α2-globulin, lipoprotein plasma terdapat dalam fraksi ini. Dengna demikian
kehilangan protein akibat peningkatan permeabilitas glomerulus hanya sebagian
diperhitungkan dalam jumlah akhir yang diekskresi dalam kemih. Konsentrasi kalsium
plasma dapat rendah sebagai konsekuensi penurunan kadar albumin, sebab hampir separuh
kalsium plasma terikat pada albumin, akan tetapi konsentrasi kalsium yang terionisasi akan
tetap normal. 4,7
Edema. Walaupun edema hampir selalu ditemukan untuk beberapa waktu dalam
perjalanan penyakit dan merupakan tanda yang mendominasi pola klinis, namun merupakan
10
tanda yang paling variabel diantara gambaran terpenting sindroma nefrotik. Merupakan
manifestasi sekunder yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor selain hipoproteinemia,
misalnya masukan cairan dan garam. Mekanisme pembentukan terdiri dari:
1. Penurunan tekanan koloid osmotik plasma
2. Penurunan nyata ekskresi natrium kemih
3. Retensi air
Hiperlidemia. Sebagian besar fraksi lipid plasma meningkat pada sindrom nefrotik.
Terdapat hubungan terbalik yang variabel antara derajat hiperlipidemi dengan penurunan
kadar albumin plasma. Hal ini mungkin dapat dijelaskan demikian, peningkatan konsentrasi
lipoprotein plasma mungkin karena berat molekulnya yang relatif tinggi, dengan konsekuensi
sedikitnya kehilangan melalui kemih, dibanding dalam albumin. Dan juga karena lipoprotein
mempengaruhi transpor lipid, maka peningkatannya dalam plasma juga mempengaruhi kadar
lipid. 4,7
I. Penatalaksanaan
Pengelolaan sindroma nefrotik terdiri dari terapi spesifik untuk mengobati kelainan dasar
ginjal atau penyakit penyebab, mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki
hipoalbuminemia serta mencegah dan mengatasi penyulit.
1. Medikamentosa
Proteinuria
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan focal
segmental glomerulosclerosis sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap
steroid dengan remisi yang lengkap. Terapi utama untuk SN adalah kortikosteroid.
Dosis prednison pada anak-anak adalah sebesar 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau
2 mg/ kg/BB/hari. Selama 4 minggu. Diikuti 40mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2
hari selama 4 minggu. Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi:
a. Remisi lengkap
- Proteinuria minimal (<200 mg/24jam)
- Albumin serum >3 g.dl
- Kolesterol serum <300 mg/dl
11
- Diuresis lancar dan edema hilang
b. Remisi parsial
- Proteinuria <3,5 g/hari
- Albumin serum >2,5 g/dl
- Kolesterol serum <350 mg/dl
- Diuresis kurang lancar dan masih edema
d. Resisten
- Klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah
pemberian kortikosteroid selama 4 bulan. 7,9
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN lesi minmal,
remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20-40% pada focal
glomerulosclerosis. Yang perlu diperhatikan, dalam jangka panjang pengguanaan
kortikosteroid memiliki efek samping. Antara lain: nekrosis aseptik, katarak,
osteoporosis, hipertensi, dan DM. Pada pasien yang tidak responsif terhadap
kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuria digunakan terapi simptomatik dengan ACE
inhibitor, misal captopril atau enalapril dosis rendah dan dosis ditingkatkan setelah 2
minggu. Mekanisme kerjanya adalah ACE inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein
glomerulus, dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size
selective barrier glomerulus. Efek antiproteinuria obat ini berlangsung lama (sekitar 2
bulan setelah penghentian).
ARB ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri, karena menghambat inflamasi
dan fibrosis interstitium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi
molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal.
Kombinasi ACE inhibitor dan ARB memberi efek antiproteinuri yang lebih besar
pada glomerulonefritis primer, dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat anti
inflamasi non steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan focal
segmented glomerulosclerosis, untu menurunkan sintesis PG. Hal ini menyebabkan
vasokonstriksi ginjal, penurunan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan
mengurangi proteinuria sampai 75 %.7,9
Hiperlipidemia
12
Hiperlipidemia pada SN mencakup tingginya kadar kolesterol, trigliserida, fosfolipid
dan asam lemak. Kadar kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat. Tetapi kadar
fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik,
dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Pada sebagian besar pasien, diet
saja tidak cukup. Jadi diperlukan obat penurun lipid, seperti probukol, asam nikotinat,
resin, derivat asam fibrik, dan statin (hidrosimetil glutaril ko-enzim A penghambat
reduktase. 7,9
Edema
Diuretic hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang
disertai diare, muntah atau hipovolemi. Pada edema sedang atau edema persisten,
dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari. Pemberian spironolakton
dapat ditambahkan, bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Bila edema menetap dengan pemberian diuretic,
dapat diberikan kombinasi diuretic dengan infus albumin. Pemberian infus albumin,
diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena. Albumin biasanya
diberikan selanag sehari, untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan
untuk mencegah kelabihan cairan. Penderita yang mendapat infus albumin, harus
dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung. Asites refrakter yang disertai
dengan sesak napas atau kulit yang pecah, perlu dikeluarkan secara bertahap.7
Infeksi
Penderita SN sangat rentan mengalami infeksi. Umumnya diberi antibiotik penisilin
parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-3, seperti sefotaksim atau
seftriakson selama 10-14 hari.7
Hipovolemia
Hipovolemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20
ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg BB.7
Tromboemboli
Pada SN dengan resiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli, dapat
dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol.7
13
2. Non-medikamentosa
Diet tinggi kalori dan tinggi protein, rendah garam dan lemak serta batasi cairan.
J. Pencegahan
Dapat dilakukan pencegahan terhadap etiologi sekunder sindroma nefrotik seperti tidak
menderita diabetes melitus, hepatitis virus, HIV, dll yang berhubungan dengan etiologi
sekunder sindroma nefrotik dan pencegahan terhadap komplikasi yang dapat ditimbulkan
oleh sindroma nefrotik.
K. Prognosis
Anak dengan SN sensitif steroid menunjukkan 42 % penderita akan mengalami relaps setelah
dewasa. Umumnya SN dengan kelainan minimal (MCNS) yang sensitif dengan
kortikosteroid mempunyai prognosis yang baik, sedangkan SN bentuk Focal
Glomerulosclerosis, Membranopoliferatif glomerulonephritis mempunyai prognosis kurang
baik karena sering mengalami gagal ginjal. 7
L. Komplikasi
Komplikasi sindroma nefrotik dapat berupa gagal ginjal akut, hipertensi, hiperkoagubilitas
(trombosis vena renalis, emboli paru), peritonitis bakterialis spontan, malnutrisi, eksaserbasi
dengan imunisasi, toksisitas akibat steroid dan toksisitas akibat imunsupresi.4
Sindrom nefrotik yang tidak diobati, dapat menyebabkan berbagai komplikasi.
Seperti hipovolemia, hipertensi, hiperlipidemia, hiperkoagulapati, hipertensi, keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan, dan anemia. Kolesterol plasma total dan kadar kolesterol
low-density lipoprotein, mengalami peningkatan pada sebagian besar pasien. Penurunan
kandungan mineral tulang dan gangguan penambahan tinggi badan linear, tampak membaik
dengan menghentikan terapi imunosupresan.
Asites kronis jika tidak diobati menyebabkan dilatasi vena dinding abdominal.
Menyebabkan umbilical herni, rectal prolapsse, kesulitan bernafas, nyeri skrotum atau labia
dan anasarca. Yang paling penting, pasien beresiko tinggi mengalami infeksi berat, seperti
peritonitis primer, bakteremia, septikemia atau selulitis karena streptokokus pneumonia,
E.coli dan organisme klebsiella. Selain itu, penurunan fungsi kekebalan dapat mendahului
infeksi virus, seperti campak atau varisela.
14
Pada pasien dengan bentuk penyakit yang lebih progresif dan resisten dengan
pengobatan (20% dari sindrom nefrotik pada anak-anak), seperti focal segmental glomerular
sclerosis dan penyakit membrane-proliferatif, dapat terjadi peningkatan tekanan darah
persisten dan tidak terkendali. Perubahan-perubahan pada status cairan dapat menyebabkan
oliguria dan peningkatan blood urea nitrogen dan risiko thrombosis. Bahkan juga pada
mereka dengan glomeruli normal.
Hiperkoagulabilitas dapat terjadi akibat thrombositosis; peningkatan konsentrasi
plasma fibrinogen faktor V, VII, VIII dan X. Peningkatan koagulasi dapat menyebabkan
thrombosis vena renal dan vena dalam atau vena sinus pusat. Karenanya, menyebabkan
nekrosis dan kerusakan. Selain itu, perkembangan dan pertumbuhan mengalami
keterlambatan selama fase aktif nekrosis. Bagaimana pun, pertumbuhan normal secara tipikal
kembali berlangsung setelah penyakit sembuh. Sementara, pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan berisiko tinggi mengalami anemia sebagai akibat hilangnya zat besi melalui urin.
Daftar Pustaka
1. G Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.149
2. Welsby, PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.
15
3. Sudiono H, Iskandar I, Halim SL, Santoso R, Sinsanta. Patologi klinik urinalisis. Ed 2nd .
Jakarta: Bagian Patologi Klinik FK Ukrida; 2008.
4. Kliegman R, Nelson WE. Nelson textbook of pediatrics. Ed 18th.
USA:ELSEVIER.2007.h.2173-95.
5. Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, S Cahaya D. Alergi obat. Buku ajar alergi
imonologi anak. Jakarta:Sagung Seto;2008.h.294-305.
6. Cohen EP. Nephrotic Syndrome Differential Diagnoses.15 sep 2011.www.
emedicine.medscape.com.22 Oktober 2011.
7. Sindroma nefrotik. Semijurnal farmasi & kedokteran ethical digest. No. 67, 7th ; 2009.
8. Kliegman R, B Richard E. Esensi pediatri Nelson. Ed 4th. Jakarta: EGC; 2010.h.749-51.
9. Wahidayat I. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid ke-2. Jakarta: FKUI; 2007. h. 832.
16