prevalensi pasien putus obat anti tuberkulosis di rsud labuang baji periode 2013...

62
SKRIPSI 2014 PREVALENSI PASIEN PUTUS DARI PENGOBATAN ANTI TUBERKULOSIS DI RSUD LABUANG BAJI, MAKASSAR PERIODE JANUARI 2013 - DESEMBER 2013 OLEH: FATMAWATI C111 09 303 PEMBIMBING: DR. dr. SRI RAMADHANY, M.KES DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 1

Upload: achmadfikry

Post on 23-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

jnfifwidfckaNSDCNZXJNCJDNJFNCJADNCJNjXBCJKSDBJKVBDJBVJKKSDBjkvbJdbzcjkVjkdzbcVJBajkdbCJbzxvJKSFBVJKBSJKDVBJKSDBvBzjckV

TRANSCRIPT

Page 1: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

SKRIPSI 2014

PREVALENSI PASIEN PUTUS DARI PENGOBATAN ANTI TUBERKULOSIS

DI RSUD LABUANG BAJI, MAKASSAR PERIODE JANUARI 2013 -

DESEMBER 2013

OLEH:

FATMAWATI

C111 09 303

PEMBIMBING:

DR. dr. SRI RAMADHANY, M.KES

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU KEDOKTERAN

KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

1

Page 2: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang telah lama

menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Sejak tahun 1993, penyakit ini

telah dideklarasikan sebagai Global Health Emergency oleh World Health

Organization (WHO). Berdasarkan laporan terbaru dari WHO pada tahun

2011, insiden kasus TB di dunia telah mencapai 8,3 – 9 juta atau 125 kasus

dalam 100.000 populasi, prevalensi mencapai 10 – 13 juta atau 170 kasus dalam

100.000 populasi, dan angka kematian mencapai 1,4 – 1,6 juta dengan kasus TB

disertai HIV positif berkisar antara 400.000 – 460.000 dan kasus TB HIV negatif

berkisar 840.000 – 1,1 juta kematian.1

Persebaran kasus TB di dunia memang tidak merata dan justru 85%

dari total kasus TB global terdapat pada negara-negara berkembang. Sekitar

59% dari seluruh kasus tersebut terdapat pada negara-negara di Asia, 26% di

Afrika, 7,7% pada negara-negara Mediterania Timur, 4,3% di Eropa, dan 3%

di Amerika. Melihat hal ini, maka WHO telah menetapkan 22 negara yang

dianggap sebagai high-burden countries dalam permasalahan TB untuk

mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam hal penanggulangannya.

Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk di dalamnya. Berdasarkan

tingkat insiden TB di tahun 2010 dan 2011, Indonesia menduduki peringkat

ke-4. Kelima negara dengan kasus TB baru terbanyak tersebut adalah India, Cina,

Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan. (Grafik 1.1). 1,2,4

2

Page 3: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Di Indonesia, dari laporan kasus tuberkulosis tahun 2011, angka insidens sebesar

189 per 100.000 penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990 sebesar 343

per 100.000 penduduk, angka prevalensi menurun 423 per 100.000 penduduk

dibandingkan dengan tahun 1990 sebesar 289 per 100.000 penduduk. Begitupun

dengan angka mortalitas yang berhasil diturunkan lebih dari separuhnya

sebesar 27 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar 51 per

100.000 penduduk.5

Di Sulawesi Selatan, jumlah pasien baru tuberkulosis dengan BTA positif yang

ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk pada tahun 2011 sebesar 110

kasus dengan angka kesembuhan sebesar 87,3% dan angka keberhasilan

pengobatan sebesar 88,9%. Sedangkan Case Detection Rate yaitu gambaran cakupan

penemuan pasien baru BTA positif sebesar 52,5%. Angka ini masih kurang dari target

yaitu ≥ 70%.3

Hasil survei prevalensi TB pada tahun 2004 menunjukkan bahwa pola pencarian

pengobatan oleh pasien TB adalah sekitar 60% pasien TB ketika pertama kali sakit

mencari pengobatan ke rumah sakit (DepKes, 2007). Dengan demikian penglibatan

rumah sakit dalam pelaksanaan strategi DOTS menjadi suatu upaya penting dan sangat

strategis karena memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya penemuan

3

Page 4: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

pasien TB (DepKes, 2007). Pengembangan strategi DOTS pada tahun 2006 adalah

bertahap dengan sekitar 30 persen dari seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia telah

melaksanakan strategi DOTS.3,4

Hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan oleh Tim TB External

Monitoring Mission pada tahun 2005 dan evaluasi yang dilakukan oleh WHO dan

Program Nasional TB menunjukkan bahwa meskipun angka penemuan kasus TB di

rumah sakit cukup tinggi tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah dengan angka

putus berobat masih cukup tinggi.6 Kondisi tersebut berpotensi untuk menciptakan

masalah besar pada peningkatan terjadinya resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis

(OAT). Di Negara dengan kasus tinggi TB seperti India, China, dan Indonesia proporsi

pasien yang mendapat multidrugs resistant akibat putus pengobatan OAT adalah

bervariasi lebih dari 14 % hingga 21 %.6 Sampai tahun 2007 diperkirakan terdapat 500

000 kasus multidrugs resistant di dunia akibat putus pengobatan dimana 131 000 kasus

berasal dari India, 122 000 kasus dari China, 43 000 kasus dari Russia, 16 000 dari

Afrika Utara, dan 55 negara telah mengalami extensively-drug resistant.7 Saat ini,

masih terdapat berbagai tantangan dalam penanggulangan TB di Indonesia. Minimnya

kesadaran masyarakat, ketersediaan informasi tentang penyakit TB, pelayanan TB yang

berkualitas dan mudah dijangkau masyarakat, dan masalah ekonomi menyebabkan

masih terdapat pasien yang putus dari pengobatan OAT. Untuk itu, penulis ingin

mengupas lebih lanjut mengenai prevalensi dan karakteristik pasien yang putus dari

pengobatan TB di RSUD Labuang Baji Makassar dengan harapan dapat

mengoptimalkan upaya penyembuhan dan pencegahan terjadinya penularan penyakit

TB.6,7

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu “Berapakah prevalensi pasien putus dari pengobatan obat anti-

tuberkulosis (OAT) di RSUD Labuang Baji Makassar, Periode Januari 2013-Desember

2013.”

1.3. Tujuan Penelitian

4

Page 5: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

1.3.1.Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik pasien

yang putus dari pengobatan OAT di RSUD Labuang Baji Makassar, Periode Januari

2013-Desember 2013 .

1.3.2.Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui presentase pasien putus dari pengobatan OAT berdasarkan jenis

kelamin

2. Mengetahui presentasi pasien putus dari pengobatan OAT berdasarkan status

pendidikan

3. Mengetahui presentase pasien yang putus dari pengobatan OAT berdasarkan cara

pembayaran.

4. Mengetahui presentase pasien yang putus dari pengobatan OAT berdasarkan bulan

putus obat

1.4. Manfaat penelitian

1. Sebagai bahan informasi untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik pasien yang

putus dari pengobatan OAT.

2. Sebagai bahan masukan bagi instansi yang berwenang untuk digunakan

sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil kebijakan-kebijakan kesehatan

dalam menanggulangi penyakit menular, khususnya tuberkulosis.

3. Sebagai tambahan ilmu, kompetensi, dan pengalaman berharga bagi peneliti

dalam melakukan penelitian kesehatan pada umumnya dan terkait tentang

tuberkulosis pada khususnya.

4. Meningkatkan sikap antisipasi, kepedulian, dan senantiasa berparadigma sehat untuk

menuntaskan TB dan permasalahannya.

5. Sebagai acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin melakukan

penelitian mengenai penyakit tuberculosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

5

Page 6: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

II.1 Tuberkulosis Paru

II.1.1 Definisi

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh

basil Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah sejenis kuman

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Yang

tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1. M.

tuberculosis 2. Varian asian 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M. bovis.

Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.(3)

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian

peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan

terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA).(3)

Mycobacterium tuberculosis tipe humanus dan tipe bovis adalah

mikobakterium yang paling banyak menimbulkan penyakit tuberkulosis pada

manusia. Basil tersebut bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada

suhu 80°C, dan 20 menit pada suhu 60°C), dan mudah mati apabila terkena sinar

ultraviolet (sinar matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu

kamar dan dalam ruangan yang lembab.(1,3)

II.1.2 Penularan

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan

kemungkinan besar telah memmpermudah proses penularan dan berperan sekali atas

peningkatan jumlah kasus TB.(3)

Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan

paru melalui airbone infection yang mengandung droplet nuclei dan selanjutnya

mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon. Pada stadium

permulaan, setelah pembentukan fokus primer, akan terjadi beberapa kemungkinan :

- Penyebaran bronkogen

- Penyebaran limfogen

- Penyebaran hematogen

Keadaan ini hanya berlangsung beberapa saat. Penyebaran akan berhenti bila

jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah terentuk daya tahan tubuh yang spesifik

terhadap basil tuberkulosis. Tetapi bila jumlah basil tuberkulosis yang masuk ke

6

Page 7: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

dalam saluran pernapasan cukup banyak, maka akan terjadi tuberkulosis milier atau

tuberkulosis meningitis.(1)

Kelanjutan proses tersebut, dapat terjadi penyebaran infeksi primer ke saluran

getah bening dan kelenjar getah bening setempat (lokal) sehingga terbentuklah suatu

primer kompleks yang disebut primer kompleks dari Ranke. Infeksi primer dari Ghon

dan primer kompleks dari Ranke dinamakan tuberkulosis primer. Dalam perjalanan

penyakit lebih lanjut, sebagian besar penderita tuberkulosis primer (90%) akan

sembuh sendiri dan 10 % akan mengalami penyebaran endogen. (1)

II.1.3 Epidemiologi

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2012, diperkirakan ada 8,6 juta pasien TB

baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan

98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. (11)

Dari seluruh kematian yang dapat dicegah, 25% diantaranya disebabkan oleh

TB. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahunnya 10-20 kasus baru setiap

100.000 penduduk dengan kematian 1 – 5 per 100.000 penduduk sedang di negara

berkembang angkanya masih tinggi. Di Afrika setiap tahunnya muncul 165 penderita

TB paru menular setiap 100.000 penduduk.(2)

Kawasan Asia Tenggara dengan lima dari 22 negara dengan beban penyakit

TB yang tertinggi didunia, 35% dari seluruh kasus TB di dunia berasal dari wilayah

ini program pengendalian TB di wilayah ini telah menunjukkan kemajuan nyata

dalam upaya penemuan kasus dan tingkat keberhasilan pengobatan yang telah

mencapai target lebih dari 85%.(2)

Gambar II.1 Estimasi Insidensi TB di Dunia Tahun 2012(10)

7

Page 8: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007)

angka prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru

TB Paru BTA Positif dan kematian kasus TB. Pada tahun 2007 prevalensi semua tipe

TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB,

insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus

semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000

penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian

TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari.(4)

Tabel II.1 Angka Prevalensi, Insidensi, dan Kematian di Indonesia

Tahun 1990 dan 2009(4)

8

Page 9: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

II.1.4 Patogenesis

Tuberkulosis Paru Primer

Tuberkulosis paru primer adalah keradangan paru yang disebabkan oleh basil

tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan yang

spesifik terhadap basil tersebut. (1)

Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh yang belum

mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang

umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil

tuberkulosis. Reaksi tubuh ini disebut reaksi non spesifik (tahap pra alergis) yang

berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. (1)

Setelah reaksi radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap

alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat

anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas, yaitu tanda-tanda

keradangan umum ditambah uji kulit dengan tuberkulin yang positif.(1)

Umumnya tuberkulosis paru primer sembuh sendiri, tetapi ada kemungkinan

di kemudian hari mengalami kekambuhan, yang prosesnya lebih cepat, pada organ

lain, yang sumbernya berasal dari tuberkulosis paru primer tadi.(1)

Tuberkulosis Paru Post Primer (IPD)

Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. Mayoritas reinfeksi

mencapai 90%. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang dini yang berlokasi

9

Page 10: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya

adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. (1)

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-

10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel

Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh

sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. (1)

TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda

menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-

nya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: (1)

- Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

- Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan serbukan

jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan

perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang

menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami

nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan

keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama

dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar,

sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas

adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang

diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.

II.1.5 Gejala Klinis

1. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering

dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat

rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada

waktu penderita tertidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. (1)

Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus menerus sehingga batuk

menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun

malam hari. Bila yang terkena trakea dan/ bronkus, batuk akan terdengar sangat

keras, lebih sering atau terdengar beruang-ulang (paroksismal). (1)

Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hallow sounding cough, yaitu

batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak. (1)

10

Page 11: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

2. Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian

berubah menjadi mukopurulen/ kuning atau kuning hijau sampai purulen dan

kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan dan perlunakan.

Jarang berbau busuk, kecuali bila ada infeksi anaerob. (1)

3. Batuk Darah

Darah yang dikeluarkan penderita mungin berupa garis atau bercak-bercak darah,

gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus).

Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit tuberkulosis atau

initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi

dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Oleh karena itu, proses

tuberkulosis harus cukup lanjut, untuk dapat menimbulkan batuk dengan

ekspektorasi. (1)

Batuk darah massif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen pada

dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi

trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian karena penyumbatan

saluran pernapasan oleh bekuan darah. Batuk darah jarang berhenti mendadak,

karena itu penderita masih terus menerus mengeluarkan gumpalan-gumpalan

darah yang berwarna cokelat selama beberapa hari. (1)

Batuk darah yang disebabkan tuberkulosis paru, pada penerawangan (pemeriksaan

radiologis) tampak ada kelainan kecuali bila penyebab batuk darah tersebut adalah

trakeobronkitis. Sering kali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis

bercampur dahak yang mengandung basil tahan asam dan keadaan ini berbahaya

karena dapat menjadi sumber penyebaran kuman secara bronkogen

(bronkopneumonia).(1)

Batuk darah dapat pula terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh, hal ini

disebabkan oleh robekan jaringan paru atau darah berasal dari bronkiektasis yang

merupakan salah satu penyulit tuberkulosis paru. Pada keadaan ini dahak sering

tidak mengandung basil tahan asam (negatif). (1)

4. Nyeri Dada

Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri

bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah

aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain). (1)

5. Wheezing

11

Page 12: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh

sekret, bronkostenosis, keradangan, jaringan granulasi, ulserasi, dan lain-lain

(pada tuberkulosis lanjut). (1)

6. Dispneu

Dispneu merupakan late symptom dari prose lanjut tuberkulosis paru akibat

adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular

bed/vascular thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi

pulmonal dan korpulmonal. (1)

Gejala-Gejala Umum

1. Panas badan

Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting. Sering kali panas

badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas badan meningkat

atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang menjadi progresif sehingga

penderita merasakan badannya hangat atau muka terasa panas. (1)

2. Menggigil

Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran

panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi suatu reaksi umum yang

lebih hebat. (1)

3. Keringat malam

Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberculosis

paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada

orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini.

Nausea, takikardi, dan sakit kepala timbul bila ada panas. (1)

4. Gangguan menstruasi

Gangguan menstruasi sering terjadi bila proses tuberkulosis paru sudah menjadi

lanjut. (1)

5. Anoreksia

Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi toksemia yang

timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.(1)

6. Lemah badan

Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang tidur, dan

keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan. Karena itu harus dianalisa

dengan baik dan harus lebih berhati-hati apabila dijumpai perubahan sikap dan

12

Page 13: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

temperamen (misalnya penderita yang mudah tersinggung), perhatian penderita

berkurang atau menurun pada pekerjaan, anak yang tidak suka bermain, atau

penderita yang kelihatan neurotik. (1)

II.1.6 Pemeriksaan Fisis

Dasar kelainan anatomis tuberkulosis paru terletak pada lobuli, jadi meliputi

alveoli dan beberapa bronkiolus terminalis (kecuali pada penyebaran hematogen

dimana kelainan terdapat dalam jaringan interstisiel). Tanda-tanda dini berupa

konsolidasi serta didapatkan sekret di bronkus kecil. Karena proses menjalar pelan-

pelan dan menahun, maka biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah

lanjut sehingga kelainan fisik mudah diketahui, berupa: (1)

- Kelainan parenkim yaitu konsolidasi, fibrosis, atelektasis, dan kerusakan

parenkim dengan sisa suatu kavitas.

- Kelainan saluran pernapasan:

Berupa radang dari mukosa disertai dengan penyempitan maupun penimbunan

sekret.

- Kelainan pleura:

Oleh karena proses terletak dekat pleura, maka hampir selalu terjadi reaksi pleura

berupa penebalan atau nyeri pleura.

Jadi, dapat dibayangkan hampir semua jenis proses terdapat di suatu tempat

dan kelainan-kelainan tersebut akan menimbulkan tanda fisik sebagai berikut: (1)

- Perubahan volume paru.

Konsolidasi pada parenkim tidak mengubah volume paru. Fibrosis, atelektasis,

dan kavitas memperkecil volume jaringan paru yang terkena, sehingga menarik

jaringan seperti trakea, mediastinum, fosa supraklavikularis dan infraklavikularis,

ditambah lagi dengan penebalan pleura.

- Perubahan pergerakan pernapasan.

Daerah yang terkena penyakit akan berkurang gerakannya.

- Perubahan penghantaran getaran suara

Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernapasan yang

masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus

suara meningkat. Suara napas menjadi bronko-vesikuler atau bronkial, didapatkan

bronkofoni atau suara bisik yang disebut whispered pectoriloque.

13

Page 14: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Atelektasis obstruktif dan penebalan pleura akan menghambat penghantaran

getaran suara, tetapi atelektasis parsial meningkatkan penghantaran getaran suara. (1)

Sekret yang berada di dalam bronkus akan menimbulkan suara tambahan

berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada.

Penyempitan saluran pernapasan menimbulkan ronki kering, dan jika penyempitan ini

disertai kavitas, dapat terdengar suara yang disebut hollow sound sampai amforik. (1)

II.1.7 Pemeriksaan Laboratorium

Adapun pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang

diagnosa tuberkulosis antara lain:

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang

sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan

bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor

cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan

biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang menggunakan sputum, cara

pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan

harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi). (1,3)

Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO

merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union

Againts Tuberculosis and Lung Disease) :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif

- Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan

- Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)

- Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)

- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)

2. Cairan Pleura

Cairan pleura diperoleh dengan melakukan fungsi percobaan pada kasus-kasus

yang diduga tuberkulosis disertai dengan efusi pleura (dengan pemeriksaan fisik)

dan dilakukan pemeriksaan baik makroskopis maupun mikroskopis. (1,3)

3. Darah

Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah

yang normal tidak dapat mengesampingkan proses tuberkulosis aktif. Jumlah

14

Page 15: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

leukosit dapat normal atau sedikit meningkat pada proses yang aktif. Pada

penyakit tuberkulosis berat sering disertai dengan anemia derajat sedang, bersifat

normositik dan sering disebabkan defisiensi besi. (1,3)

4. Uji Tuberkulin

Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan guna menunjukkan reaksi imunitas seluler

yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama dengan basil

tuberkulosis. Banyak cara yang dipakai, tapi yang paling sering adalah cara

mantoux. Robert Koch (1890) membuat old tuberculin dari filtrat kultur basil

tuberkulosis dan kemudian penelitian ini dilanjutkan oleh F.B. Siebert (1926)

dengan cara memurnikan hasil kultur yang diperoleh menjadi purified protein

derivate of tuberculin (PPD). Disamping untuk menunjukkan infeksi dengan basil

tuberkulosis uji tuberkulin dapat dipakai untuk: (1)

- Mencari kelompok beresiko tinggi untuk tuberkulosis

- Pra vaksinasi sebelum disuntik dengan BCG

- Tuberculous surveillance untuk menemukan insidens dan prevalensi infeksi

tuberkulosis

II.1.8 Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi memperkuat dugaan adanya penyakit tuberculosis paru

lebih dini. Gambaran kelainan radiologi paru karena proses tuberculosis sudah tampak

lebih dahulu kira-kira 2-3 tahun sebelum ada gejala klinik. Tetapi diagnosa definitif

tuberkulosis paru tidak dapat dibuat atas dasar gambaran radiologi saja karena masih

banyak penyakit paru lain yang merupakan gambaran mirip tuberkulosis. (1)

Macam-macam Gambaran Kelainan Paru(1)

1. Tuberkulosis paru menahun. Sering dijumpai pada segmen posterior atau apikal

dari lobus superior atau pada segmen superior dari lobus inferior. Pada

tuberkulosis paru menahun, tampak campuran bermacam-macam proses di paru,

yaitu proses tuberkulosis lama yang sebagian jaringan paru telah mengalami

penyembuhan disertai dengan proses baru di sekitarnya, sehingga pada suatu

daerah tampak gambaran fibrosis, kavitas, kelainan noduler dengan bermacam-

macam ukuran serta proses eksudatif.

15

Page 16: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

2. Kelainan akibat penyebaran hematogen, bersifat difus atau simetris kecil-kecil

(milier), jadi berbeda dengan penyebaran bronkogen yang tidak simetris dan

setempat.

3. Tuberkulosis paru akut dengan gambaran menyerupai proses pneumonia karena

infeksi banal yang tidak mudah sembuh jika tidak diberi terapi spesifik.

Ada konsolidasi homogen yang mengenai satu segmen/lobus, yang dsebabkan

oleh obstruksi endobronkial. X-foto thoraks hanya dapat menunjukkan adanya

kelainan di paru seperti luasnya proses, lokalisasi dan macam perubahan yang

terjadi tetapi tidak dapat mengetahui etiologinya. Sedangkan luas proses yang

tampak pada foto thoraks dinyatakan sebagai berikut, sesuai dengan “American

Thoracic Society” dan “National Tuberculosis Association”: (1)

4.1. Lesi minimal (minimal lesion)

Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru

dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal

junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau

korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.

4.2. Lesi sedang (moderately advanced)

Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan

densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru. Atau

jumlah seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru

4.3. Lesi luar (far advanced)

Kelainan lebih luas dari lesi sedang

II.1.9 Diagnosis

Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkulosis paru cukup mudah dikenal mulai

dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai

dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah

menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964

diagnosis pasti tuberculosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium

tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. (1,3)

Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas

laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Diagnosis tuberculosis

paru masih banyak ditegakkan dengan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan

diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap

16

Page 17: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis

tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status

radiologis, dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien

tuberkulosis paru: (1,3)

- Pasien dengan sputum BTA positif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya

secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan,

atau 2. Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai

dengan gambaran TB aktif, atau 3. Satu sedian sputumnya positif disertai biakan

yang positif.

- Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya

secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi

gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif, atau 2. Pasien yang pada

pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,

tetapi pada biakannya positif.

II.1.10 Klasifikasi

Terdapat beberapa klasifikasi seperti : (1,3)

- Pembagian secara patologis

o Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)

o Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)

- Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum)

aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)

- Pembagian secara radiologis (luas lesi)

o Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu

paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

o Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih

dari 4 cm. jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.

Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.

o Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi

keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan

klinis, radiologis, dan mikrobiologis :

- Tuberkulosis paru

17

Page 18: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

- Bekas tuberkulosis paru

- Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a.) tuberkulosis paru

tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain

positif. b.) tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA

negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk

TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1.

Status bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA,

4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status

kemoterapi, riwayat pengobatan dengan anti tuberkulosis. (3)

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:(1,3)

Kategori I, ditunjukkan terhadap:

- Kasus baru dengan sputum positif

- Kasus baru dengan bentuk TB berat

Kategori II, ditunjukkan terhadap:

- Kasus kambuh

- Kasus gagal dengan sputum BTA positif

Kategori III, ditunjukkan terhadap:

- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas

- Kasus TB ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I

Kategori IV, ditunjukkan terhadap: TB kronik

II.1.11 Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan TB telah bermula bahkan sejak sebelum

Robert Koch menemukan basil tuberkulosis di tahun 1882. Mula-mula hanya

dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi keluhan yang ada, antara lain dengan

mendirikan sanatorium-sanatorium di berbagai tempat. Masa ini dikenal dengan

”battle againts symptom”. Setelah itu, berkembang pula upaya pembedahan, yang

pada dasarnya adalah menangani kaviti sehingga disebut era ”battle againts cavity”.

Di tahun 1940an barulah ditemukan obat streptomisin, yang kemudian INH,

18

Page 19: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Pyrazinamid, Etambutol dan Rifampisin yang memulai era paling baru dalam

penanganan TB, yaitu ”battle againts TB bacilly”.(9)

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak

zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang

kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4).

Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat

anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan

Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian

diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek

yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Etambutol selama 6 bulan.(9)

Berbagai variasi regimen telah diperkenalkan selama ini. Pada dasarnya

semuanya mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase awal

intensif biasanya diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase lanjutan dapat

diberikan 2 obat saja baik setiap hari maupun intermitten. Pada tahun 1997 WHO

telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai keadaan penyakit TB.(9)

Tabel II.2 Jenis dan Dosis OAT(12)

Tahap awal (intensif)

o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara

langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif

tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular

dalam kurun waktu 2 minggu.

o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2

bulan.

Tahap Lanjutan

19

Page 20: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama

o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

di Indonesia:

o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

o Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT dan peruntukannya

a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

• Pasien baru TB paru BTA positif.

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

• Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), paduan OAT ini diberikan untuk pasien

BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

• Pasien kambuh

• Pasien gagal

• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

II.1.12 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek

samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.(6)

Evaluasi Klinis(6)

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap 1 bulan

Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada

tidaknya komplikasi penyakit

20

Page 21: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis

Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan) (6)

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis

o Sebelum pengobatan dimulai

o Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

o Pada akhir pengobatan

Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan) (6)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :

Sebelum pengobatan

Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan

kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinis(6)

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan

darah lengkap

Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula

darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping

pengobatan

Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada

keluhan)

Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan

audiometri (bila ada keluhan)

Evaluasi keteraturan berobat(6)

Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan

diminum/tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting

penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.

Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga, dan

lingkungannya.

Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi

Kriteria sembuh(6)

21

Page 22: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir

pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan

Bila ad fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh(6)

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal

dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui

kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.

Mikroskopis BTA dahak 3,6,12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah

dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,12,24 bulan setelah dinyatakan sembuh

(bila ada kecurigaan TB kambuh).

II.2. Permasalahan DOTS

Sejak 1995 program Pemberantasan Penyakit TB di Indonesia mengalami

perubahan manajemen operasional dengan penyesuaian pada strategi global yanng

direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia

– WHO joint Evaluation dan National Tuberculosis Programme in Indonesia pada

April 1994. Dalam program ini prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan

dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah

meluasnya resistensi kuman TB di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara

mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal

pengobatan.10 Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah

diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat.

Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan

DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat

jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari. Indonesia adalah negara high

burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug

susceptibility data akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat

penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TB

melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi

untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas maka banyak

pasien yang didiagnosis oleh Rumah Sakit (RS) memiliki resiko tinggi dalam kegagalan

pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya

penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi strategi DOTS.

22

Page 23: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi

TBC dengan kuman yang bersifat multi-drugs resistant (MDR).10,11

II.3. Putus dari Pengobatan OAT

II.3.1. Faktor Risiko Putus dari Pengobatan OAT

Menurut penelitian kohort yang dilakukan Rio (2008) terdapat beberapa faktor

risiko yang menyebabkan terjadinya putus dari pengobatan OAT yaitu:

a. Rendahya status ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh kepala keluarga.

Pasien putus pengobatan kebanyakan berasal dari keluarga yang mempunyai

penghasilan yang rendah. Hal ini terjadi karena mereka tidak mempunyai kenderaan

dan tidak mampu untuk menyediakan biaya untuk berobat ke rumah sakit.12,13

b. Rendahnya tingkat pendidikan. Didapati bahwa pasien yang tidak pandai membaca

sulit untuk mengakses informasi yang diberikan oleh pelayanan kesehatan. Hal ini

juga turut berhubungan dengan rendahnya ekonomi dan menyebabkan pasien putus

dari pengobatan OAT.12,13

c. Stigma sosial yang menyebabkan pasien merasa malu sekiranya orang disekeliling

tahu bahwa mereka menderita TB dan memilih untuk berobat di tempat yang jauh

dari tempat tinggal mereka. Kondisi jarak yang jauh menyebabkan terjadinya

ketidakberaturan berobat dan menyebabkan mereka malas untuk meneruskan

pengobatan OAT.12,13

II.3.2. Alasan Putus dari Pengobatan OAT

Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI

(Departemen Kesihatan Indonesia) Jakarta pada tahun 1996-1999 menunjukkan bahwa

kasus putus pengobatan OAT adalah cukup besar yakni sebanyak 20,4% (53 kasus) dari

220 kasus. Alasan putus pengobatan OAT dapat dilihat pada tabel II.3.

No. Alasan Kasus (%)

1. Pasien tidak kembali 69,8

2. Spesimen ulangan tidak dikirim 11,3

3. Penderita bosan berobat 5,3

4. Efek samping OAT 5,3

5. Meninggal 5,3

23

Page 24: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

6. Pindah berobat 3,0

Tabel II.3. Alasan kasus putus dari pengobatan OAT

Alasan drop out terutama (69,8%) adalah pasien tidak kembali untuk kunjungan

ulang (follow up); antara lain karena pulang kampung tanpa pemberitahuan

sebelumnya. Terdapat 3 pasien (5,3%) yang tidak melanjutkan terapi karena bosan

selain terdapat 3 pasien yang meninggal karena sepsis dan hepatitis.14

II.3.3. Efek Putus Pengobatan OAT

Putus pengobatan OAT menimbulkan beberapa implikasi seperti: 12,14

1. Multidrugs-Resistent in Tuberculosis (MDR-TB)

Keadaan ini terjadi apabila pasien tidak mengambil obat sesuai dengan yang

diresepkan oleh dokter. Hal ini menyebabkan kuman TB resisten terhadap antibiotik

yang diberikan sebelumnya sehingga antibiotik tersebut tidak lagi dapat membunuh

kuman TB. MDR-TB biasanya terjadi pada pasien yang :

(a) terinfeksi dengan seseorang yang telah mengalami MDR-TB.

(b) ketidakberaturan minum obat.

(c) putus pengobatan sebelum kuman TB dibasmi.

(d) pasien yang relaps setelah mendapat pengobatan TB.

Kadangkala kuman TB resisten terhadap lebih dari satu antibiotik. Untuk

menangani kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standar pengobatan TB

yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, atau levofloxacin. Sangat

disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan

(Felton, 2005).

2. Kematian

Menurut Rio (2008), pengobatan yang tidak komplit merupakan faktor risiko

yang terpenting yang menyebabkan kematian pada penyakit TB. Pada penelitian yang

dijalankan oleh Rio de Janeiro pada tahun 2007, dari 320 pasien yang meninggal

sebanyak 18.2% adalah pasien yang putus dari pengobatan OAT yang sebelumnya.

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

III.1 Kerangka Konsep

24

Page 25: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Gambar III.1 Kerangka konsep penelitian

III.2 Definisi Operasional

a. Putus dari pengobatan OAT

Definisi : Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

Cara Ukur : Pencatatan melalui data sekunder yang di dapapatkan dari rekam medis

pasien TB di RSUD Labuang Baji Makassar

Alat Ukur : Rekam Medik

Skala Pengukuran : Nominal

b. Prevalensi

Definisi : Prevalensi adalah jumlah total kasus lama dan kasus baru yang putus

dari pengobatan TB per jumlah total kasus yang TB pada tahun tersebut

Cara Ukur : Pencatatan melalui data sekunder yang didapatkan dari rekam medis

pasien TB di RSUD Labuang Baji

25

Pasien yang putus dari pengobatan OAT

Prevalensi

Jenis Kelamin

Umur

Status Pendidikan

Cara Pembayaran

Bulan putus obat

Page 26: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Prevalensi pasien putus OAT =Jumlah Pasien PutusObat

Jumlah PasienTB Paru x 100%

Alat Ukur : Rekam Medik

Skala Pengukuran : Rasio

c. Jenis Kelamin

Definisi : Jenis kelamin pasien TB Paru yang tercantum dalam data rekam medik

Cara ukur : Observasi rekam medik

Alat ukur : Rekam medik

Hasil Ukur : a. Pria

b. Wanita

Skala ukur : Nominal

d. Umur

Umur didefinisikan sebagai usia warga yang terhitung sejak lahir sampai saat yang

tertera pada rekam medik.

Kriteria objektif :

a. < 1 tahun e. 15 - 19 tahun

b. 1 - 4 tahun f. 20 – 44 tahun

c. 5 - 9 tahun g. 45 – 59 tahun

d. 10 – 14 tahun h. >60 tahun

e. Status Pendidikan

Definisi : Tingkat pendidikan yang terakhir yang ditamatkan pasien:

1.Tidak bersekolah

2.SD

3.SMP

4. SMA

5. Diploma 3

6. Perguruan Tinggi

Cara ukur : Observasi rekam medik

Alat ukur : Rekam medik

26

Page 27: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Skala ukur : Nominal

f. Cara Pembayaran

Definisi : Cara pasien yang berobat TB melakukan pembayaran

1. Asuransi

2. Pembayaran secara langsung

Cara ukur : Observasi rekam medik

Alat ukur : Rekam medik

Skala ukur : Nominal

g. Bulan putus obat

Definisi : Bulan dimana pasien mulai berhenti berobat atau tidak datang kontrol ke

RSUD Labuang Baji Makassar pada waktu yang ditetapkan dan setelah 60 hari dari

tanggal yang telah ditetapkan untuk penderita datang kontrol

Kriteria objektif :

- Januari - Juli

- Februari - Agustus

- Maret - September

- April - Oktober

- Mei - November

- Juni - Desember

BAB IV

METODE PENELITIAN

IV.1 Jenis Penelitian

27

Page 28: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional

dimana pada penelitian ini dilakukan observasi data untuk menggambarkan tentang

prevalensi Pasien putus obat OAT di RSUD Labuang Baji, Makassar dan retrospektif

dikarenakan pengumpulan data berdasarkan data sekunder, yakni rekam medik pasien.

IV.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji,

Makassar. Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada

tanggal 5 – 17 April2014.

IV.3 Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian.(35) Populasi penelitian adalah

seluruh pasien dengan diagnosis Tuberkulosis yang putus obat di Rumah Sakit

Umum Daerah Labuang Baji, Makassar selama periode Januari 2013 sampai

Desember 2013.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan diambil.(36)

Besar sampel yang digunakan ialah dengan metode total sampling, dimana sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua populasi yang sesuai dengan

kriteria penelitian.

3. Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi

1) Seluruh pasien Tuberkulosis yang tercatat dalam rekam medis di RSUD

Labuang Baji Makassar

b. Kriteria Eksklusi

1) Terdapat variabel yang tidak lengkap dalam rekam medik pasien TB Paru

minimal 80%.

IV.4 Cara Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode total sampling

yaitu semua populasi dijadikan sampel

IV.5 Jenis dan Sumber Data

28

Page 29: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder adalah data yang

telah diolah atau diperoleh dari rekam medis, dokumen atau laporan tertulis yang dapat

dipandang sangat relevan dengan penulisan proposal penelitian ini seperti dokumen

atau arsif data Dinas Kesehatan, Puskesmas dan data Statistik.

IV.6 Pengolahan Dan Penyajian Data

Pengolahan dan analisa data dibagi dalam beberapa tahap, yaitu pengumpulan

data, pengolahan data, penyajian data, analisis/interpretasi data dan pengambilan

kesimpulan.(37) Dalam penelitian ini, setelah data dikumpulkan dan dicatat kemudian

diolah menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution).

IV.7 Etika Penelitian

Menjaga kerahasiaan identitas pribadi pasien yang terdapat pada data rekam medis,

sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam penelitian ini

29

Page 30: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

V.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua minggu yaitu mulai tanggal 5 Mei 2014 –

24 Mei 2014 dengan mengambil data sekunder dari rekam medis pasien TB Paru di

bagian rekam medik RSUD Labuang Baji, Makassar. Sampel dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien dengan diagnosis TB Paru yang berobat di poli paru RSUD

Labuang Baji, Makassar selama rentang waktu bulan Januari 2013 sampai Desember

2013. Dari 194 pasien yang menderita tuberkulosis, ada 27 buah rekam medik yang

tidak ditemukan. Dari 167 buah rekam medik pasien dengan TB Paru yang diperiksa,

tidak ada sampel yang terekslusi oleh karena variabel yang diteliti semua lengkap di

dalam rekam medik pasien.

Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data rekam medik, maka dapat

disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :

V.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang baji, Makassar yang

terletak di bagian selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar tepatnya di Jalan

Dr.Ratulangi No. 81 Makassar.Rumah Sakit ini juga menjadi rumah sakit Tipe B dan

juga sebagai pusat rujukan region gerbang Selatan, mencakup Kabupaten Gowa,

Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, termasuk untuk masyarakat yang

berdomisili di sisi selatan Kota Makassar. Dikeluarkannya Perda Pemerintah Daerah 

Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2002 yang merubah status dari RSUD non

pendidikan menjadi BP RSUD Labuang Baji yang berada dibawah dan bertanggung

jawab langsung kepada Gubernur Sulawesi Selatan, namun sebelumnya RSUD

Labuang Baji telah Terakreditasidengan 5 (lima) bidang pelayanan Kemudian dengan

dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 pada tanggal 21 Juli 2008

dengan merubah struktur organisasi RSUD Labuang Baji dari bentuk badan menjadi

Rumah Sakit Umum.

30

Page 31: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

V.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

V.1.2.1 Prevalensi Pasien Putus Obat Periode Januari-Desember 2013

Berdasarkan hasil penelitian pada 161 rekam medis dengan diagnosis TB Paru yang

berobat di Poliklinik Paru RSUD Labuang Baji, Makassar pada tahun 2013 didapatkan pasien

yang

1. Prevalensi Pasien Putus Obat

=Jumlah Pasien PutusObat

Jumlah PasienTB Paru x 100%

= 27161

x 100%

= 16,8%

Penderita TB Paru di

RSUD Labuang Baji

Periode Januari-

Desember 2013

Menjalani Pengobatan OAT Putus Pengobatan OAT

Frequency Percent Frequency Percent

134 83.2 27 16.8

Tabel V.1 Distribusi frekuensi pasien TB Paru di RSUD Labuang Baji Periode Januari-

Desember 2013

Dari hasil pengumpulan data didapatkan sebanyak 161 pasien TB Paru yang

memenuhi kriteria menjadi sampel penelitian, terdiri dari penderita TB yang putus dari

pengobatan OAT adalah sebanyak 27 orang (16,8%) dan sebanyak 134 orang (83,2%)

penderita TB yang menjalani pengobatan OAT.

V.1.2.2. Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis KelaminDalam Pengobatan OAT Putus Pengobatan OAT

Frequency Percent Frequency Percent

Laki-laki 87 64.9 17 63.0

Perempuan 47 35.1 10 37.0

Total 134 100.0 27 100.0

Tabel V.2 Distribusi frekuensi TB Paru berdasarkan jenis kelamin

31

Page 32: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Berdasarkan tabel V.2 di atas, penderita TB yang putus dari pengobatan OAT

lebih banyak pada kelompok lelaki (64,9%) begitu juga pada penderita TB yang

menjalani pengobatan lebih banyak pada kelompok lelaki (63,0%).

V.1.2.3 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur

UmurMenjalani Pengobatan OAT Putus Pengobatan OAT

Frequency Percent Frequency Percent

15-19 10 7.5 1 3.7

20-44 70 52.2 18 66.7

45-59 34 25.4 5 18.5

>60 20 14.9 3 11.1

Total 134 100.0 27 100.0Tabel V.3 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan kelompok umur

Berdasarkan tabel V.3 di atas, penderita TB yang putus dari pengobatan OAT

lebih banyak pada kelompok umur 20-44 tahun (66,7%) begitu juga pada penderita TB

yang menjalani pengobatan lebih banyak pada kelompok umur 20-44 tahun (52,2%).

V.1.2.4 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Status Pendidikan

Status PendidikanMenjalani Pengobatan OAT Putus Pengobatan OAT

Frequency Percent Frequency Percent

Tidak Sekolah 1 0.7 1 3.7

SD 30 22.4 4 14.8

SMP 31 23.1 7 25.9

SMA 67 50.0 12 44.4

D3 1 0.7 1 3.7

S1 4 3.0 2 7.4

Total 134 100.0 27 100.0

Tabel V.4 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan status pendidikan

32

Page 33: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Berdasarkan table V.4 tersebut, pasien yang mendapat pendidikan sampai SMA

mencatat angka yang tertinggi (44,4%), disusuli dengan SMP (25,9%), kemudian SD

(14,8%), seterusnya S1(7,4%), Tidak Bersekolah (3,7%) dan terakhir D3 (3,7%).

V.1.2.5 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Cara Pembayaran

Cara PembayaranMenjalani Pengobatan OAT Putus Pengobatan OAT

Frequency Percent Frequency Percent

Asuransi

Jamkesmas 23 17.2 5 18.5

Jamkesda 68 50.7 17 63.0

Askes 16 11.9 2 7.4

Jaminan

Kesehatan

Nasional

3 2.2 1 3.7

Jamsostek 4 3.0 0 0,0

Umum 20 14.9 2 7.4

Total 134 100.0 27 100.0

Tabel V.5 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan Cara Pembayaran

Berdasarkan tabel V.5 di atas, penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih

banyak pada mereka yang melakukan pembayaran secara asuransi (92,6%) berbanding

dengan penderita yang melakukan pembayaran secara langsung , begitu juga pada

penderita TB yang menjalani pengobatan lebih banyak pada mereka yang melakukan

pembayaran secara asuransi (85,1%).

V.1.2.6 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Bulan Putus Obat

33

Page 34: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Grafik V.1 Distribusi frekuensi TB Paru berdasarkan bulan putus obat

Berdasarkan grafik V.1 di atas, penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih

banyak pada bulan september yaitu sebanyak 5 orang (18,5%), kemudian pada bulan

oktober sebanyak 4 orang (14,8%), pada bulan juni dan agustus masing-masing

sebanyak 3 orang (11,1%), dan pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei dan Juli

masing-masing sebanyak 2 orang (7,4%)

V.2. Pembahasan

V.2.1. Karakteristik Responden

Selama dua minggu penelitian yang dijalankan di Rumah Sakit Umum Daerah

Labuang Baji, didapatkan sejumlah 161 kasus yang terdiri dari 27 pasien yang putus

dari pengobatan OAT dan 134 kelompok yang menjalani pengobatan OAT . Prevalensi

pasien yang putus dari pengobatan OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji

adalah 16,8%.

Sementara menurut penelitian Nani dan Retno (2007) berdasarkan Studi Kasus

Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI (Departemen Kesihatan

Indonesia) Jakarta pada tahun 1996- 1999 menunjukkan bahwa jumlah penderita TB

yang putus dari pengobatan adalah sebanyak 20,4 % yang disebabkan pelbagai alasan

34

Page 35: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

seperti bosan berobat ,pindah berobat, spesimen ulang tidak dikirim dan efek samping

OAT.15 Penelitian mengenai Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru yang Meninggal di

Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa dari semua penderita TB yang meninggal

dari 109 yang meninggal akibat TB sebanyak 19 (17,5 %) orang yang pernah berobat

dan putus dari pengobatan OAT ( Herryanto, 2002). Sementara menurut penelitian yang

dijalankan di Banda Aceh tahun 2001- 2002 angka putus berobat penderita TB paru di

Kota Banda Aceh tahun sebesar 21,5% yang disebabkan pelbagai faktor seperti

pekerjaan, pengetahuan, dan efek samping obat OAT.15 Data pada Dinas Kesehatan

Propinsi Jawa Timur tahun 2004 menunjukkan 15% dari penderita TB paru yang

diobati di seluruh Puskesmas di Jawa Timur yang mempergunakan program

pengobatan strategi “DOTS”, tidak melanjutkan pengobatan sampai selesai dengan

persentanse tiap daerah tingkat ialah : Bangkalan(37%), Sidoarjo(29%), Lamongan

(27%), Sumenep (24%), Situbondo (23%), Gresik (22%). Sementara pada tahun 2005

total yang putus pengobatan adalah sebesar 14% dengan daerah terbanyak adalah

Ngawi (38%), Jember (36%), Bangkalan (28%), Kabupaten Malang (25%), Gresik

(20%) (Tahan , 2005). 15

Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan penderita TB yang putus dari pengobatan

OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji selama tahun 2013 lebih banyak

pada kelompok lelaki (64,9%) begitu juga dengan penderita TB yang menjalani

pengobatan OAT lebih banyak pada kelompok lelaki ( 63%).

Peningkatan angka putus pengobatan OAT lebih tinggi pada kelompok lelaki

pada kasus mungkin disebabkan jumlah pasien laki-laki pada penderita TB lebih tinggi

pada lelaki berbanding perempuan. Selain itu, hal ini juga mungkin disebabkan

perbedaan persepsi sakit pada laki-laki berbanding wanita. Laki- laki lebih berpendapat

mereka kuat untuk melawan kesakitan yang dialami sehingga mereka tidak mahu untuk

melanjutkan pengobatan OAT. Laki-laki juga berpendapat bahwa mereka adalah

tunggak keluarga sehingga masa yang mereka ada lebih diperuntukkan untuk bekerja

demi menyara keluarga mereka berbanding ke rumah sakit untuk meneruskan

pengobatan OAT yang memerlukan masa yang lama dan membebankan keluarga dari

segi keuangan.16

Berdasarkan penelitian Biomed Central (BMC) Public Health pada tahun 2010

yang dijalankan di kawasan terpencil di Provinsi Shaanxi penderita yang putus dari

pengobatan banyak pada kelompok lelaki (67,3%) karena lelaki perlu bekerja untuk

menanggung keluarga sehingga lelaki lebih mudah untuk putus dari pengobatan TB.

35

Page 36: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

Walaubagaimanapun, menurut penelitian yang dijalankan oleh Rio pada tahun 2008

masih tidak dapat dikenal pasti hubungan jantina dengan faktor putus berobat, namun

pada penelitian tersebut pria lebih sering putus berobat berbanding wanita. Menurut

Waisbord (2005) dalam penelitian yang dijalankan di negara Bangladesh dan Vietnam

menyatakan bahwa alasan untuk wanita untuk menangguhkan pengobatan OAT adalah

karena apabila mereka didiagnosa menghidap TB mereka akan dipinggirkan oleh

keluarga dan beresiko tinggi untuk diceraikan oleh suami mereka sehingga mereka

mengambil keputusan untuk menghentikan pengobatan. Namun pada penelitian yang

dijalankan di China dan India golongan perempuan lebih peka untuk mendapatkan

pengobatan berbanding kaum lelaki sehingga jarang bagi golongan mereka untuk putus

dari pengobatan OAT.17 Sebaliknya alasan golongan lelaki untuk putus dari pengobatan

OAT pada studi yang dijalankan di Vietnam dan India, alasan untuk laki-laki putus dari

pengobatan OAT adalah takut akan biaya individual yang dikenakan pada pemeriksaan

dan pengobatan.17 Selain itu, menurut penelitian yang dijalankan di Banda Aceh tahun

2001-2003 golongan laki-laki (72%) lebih sering putus dari pengobatan OAT

berbanding dengan perempuan. Namun menurut buku Tuberkulosis Klinik (2002) tidak

terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkulosis. 17

Berdasarkan status pendidikan , penderita TB yang putus dari pengobatan OAT di

Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji selama tahun 2013 terbagi atas tidak

bersekolah, SD, SMP, SMA, D3 dan S1. Jumlah pasien yang mendapat pendidikan

sampai SMA mencatat angka yang tertinggi (44,4%), disusuli dengan SMP (25,9%),

kemudian SD (14,8%), seterusnya S1(7,4%), Tidak Bersekolah (3,7%) dan terakhir D3

(3,7%). Kelompok SMA mencatat jumlah tertinggi dalam status pendidikan mungkin

disebabkan kelompok ini juga mencatatkan angka tertinggi berdasarkan dari semua

kasus TB.

Menurut penelitian mengenai Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan

Minum Obat Anti Tuberkulosis tahun 2005 mencatatkan penderita yang menamatkan

pendidikan sampai SMA mencatatkan angka tertinggi yaitu sebanyak 59 % ( Tahan,

2005) Namun berdasarkan penelitian yang dijalankan oleh Rio (2008) didapati bahwa

penderita dengan status pendidikan rendah sulit untuk mengakses informasi yang

diberikan oleh pelayanan kesehatan sehingga mereka tidak kembali untuk melanjutkan

pengobatan. Hal ini juga berhubungan dengan rendahnya ekonomi dan menyebabkan

pasien putus dari pengobatan OAT. Namun, dalam penelitian yang dilakukan pada

penderita TB di Rumah Sakit Haji Adam Malik selama tahun 2009, tidak dapat

36

Page 37: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

dihubungkan tingkat pendidikan dengan status ekonomi pasien karena dalam rekam

medis penderita tidak tercantum jumlah pendapatan kepala keluarga penderita.

Sebaliknya, hal yang dicantumkan di dalam rekam medis penderita adalah cara

pembayaran penderita sama ada melalui asuransi ataupun dengan pembayaran secara

langsung. Menurut Waishbord tahun 2005, penelitian yang dijalankan di Tazmania

menunjukkan pada beberapa komuniti, pasien yang berpendidikan rendah lebih

memilih untuk berobat secara tradisional dan ke apotek untuk mengambil obat yang

bersifat simptomatik dari meneruskan program DOTS sehingga mereka tidak kembali

lagi untuk berobat setelah kunjungan pertama. Selain itu, menurut penelitian Goodman

(2001) yang dikutip oleh Amalia (2009) menyatakan bahwa seseorang yang

berpendidikan tinggi dapat lebih memelihara tingkat kesehatannya daripada seseorang

yang berpendidikan lebih rendah. Orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih mudah

untuk menjaga kesehatan dilingkungannya.15,16,17

Berdasarkan data cara pembayaran pasien TB di Rumah Sakit Umum Daerah

Labuang Baji tahun 2013, didapatkan data penderita yang putus dari pengobatan OAT

lebih banyak pada penderita yang melakukan pembayaran secara asuransi (92,6%)

berbanding dengan penderita yang melakukan pembayaran secara langsung , begitu

juga pada penderita TB yang menjalani pengobatan lebih banyak pada mereka yang

melakukan pembayaran secara asuransi (85,1%).

Hal tersebut mungkin terjadi karena Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji

adalah rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah, jadi kebanyakan pasien yang datang

berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji adalah mereka yang

berpendapatan rendah sampai sederhana. Namun, jika ditinjau perbedaan antara

penderita yang putus dari pengobatan OAT dengan penderita yang menjalani

pengobatan OAT, prevalensi penderita yang melakukan pembayaran secara umum

lebih tinggi pada penderita yang putus dari pengobatan OAT berbanding dengan

dengan penderita yang menjalani pengobatan OAT. Hal tersebut berkemungkinan

disebabkan oleh beban biaya yang lebih tinggi untuk melakukan pemeriksaan dan

pengobatan TB sehingga mereka mengambil keputusan untuk berhenti berobat.Hal

yang sebaliknya terjadi pada penderita yang mempunyai asuransi karena beban biaya

mereka dikurangi oleh pihak asuransi sehingga mereka langsung tidak terbeban untuk

meneruskan pengobatan OAT . Pernyataan di atas disokong oleh penelitian Biomed

Central (BMC) Public Health pada tahun yang dijalankan di kawasan terpencil di

Provinsi Shaanxi menunjukkan bahwa sebanyak 39,3 % penderita TB yang putus

37

Page 38: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

berobat tidak mempunyai asuransi medik sehingga mereka terpaksa menanggung

sendiri biaya yang dikenakan oleh rumah sakit seperti pemeriksaan, pengobatan OAT,

dan pengobatan untuk mengatasi efek samping akibat pengobatan TB. Penelitian yang

juga dilakukan China mendapati bahwa biaya pengobatan yang mahal dan kesulitan

keuangan menyebabkan penderita menangguhkan pengobatan OAT. Hal tersebut

disebabkan penderita terpaksa meminjam uang untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan akibat tidak mempunyai asuransi medis.17

Berdasarkan data bulan putus obat pasien TB di Rumah Sakit Umum Daerah

Labuang Baji tahun 2013, didapatkan penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih

banyak pada bulan september yaitu sebanyak 5 orang (18,5%), kemudian pada bulan

oktober sebanyak 4 orang (14,8%), pada bulan juni dan agustus masing-masing

sebanyak 3 orang (11,1%), dan pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei dan Juli

masing-masing sebanyak 2 orang (7,4%).

38

Page 39: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan

1. Dari penelitian yang dijalankan didapatkan sejumlah 161 penderita yang terdiri

dari 27 (16,8%) penderita TB yang putus dari pengobatan OAT .

2. Menurut penelitian ini, didapatkan persentase penderita TB yang putus dari

pengobatan pada kelompok laki-laki lebih tinggi berbanding kelompok perempuan

yaitu 64,9%.

3. Menurut penelitian ini, didapatkan persentase penderita TB yang putus dari

pengobatan pada kelompok umur 20-44 lebih tinggi yaitu 66,7%

4. Menurut hasil penelitian ini berdasarkan status pendidikan, didapatkan persentase

penderita yang putus dari pengobatan OAT paling tinggi pada kelompok SMA

(44,4%).

5. Berdasarkan penelitian ini , menunjukkan bahwa penderita yang melakukan

pembayaran secara ansuransi (92,6%) lebih sering untuk putus berobat berbanding

yang melakukan pembayaran secara langsung.

VI.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang telah dipaparkan

sebelumnya, maka saran-saran yang diajukan adalah sebagai berikut.

1. Perlunya peran aktif pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan dalam upaya

pencegahan dan penangggulangan TB agar tidak meluas lebih banyak lagi di kalangan

masyarakat

2. Perlunya peran serta staf medis dalam memberikan pelayanan kesehatan dan akses

pengetahuan kesehatan kepada masyarakat luas berupa penyuluhan tentang bahaya

TB, meningkatkan kinerja para pengawas menelan obat (PMO) agar lebih aktif lagi

dalam mengawasi para penderita TB, untuk mencegah penularan dan komplikasi lebih

lanjut dari TB, sehingga meningkatkan angka kesembuhan penderita TB, dan

39

Page 40: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

mengintensifkan penemuan penderita TB baru agar mencegah penularan yang lebih

luas

3. Pihak RSUD Labuang Baji juga harus memastikan bahwa setiap pasien yang datang,

baik pasien kasus baru ataupun pasien yang sudah mendapat pengobatan sebelumnya

agar memiliki pengawas minum obat (PMO) yang selalu memantau dan mengawasi

pengobatan yang telah diberikan agar tepat dan optimal. Hal ini juga sangat

penting dalam menekan angka kejadian TB kasus baru dan TB-MDR yang sulit

diobati.

4. Bagi pihak RSUD Labuang Baji Makassar, diharapkan untuk memperhatikan

kelengkapan dan keseragaman pengisian data penderita serta sistem penyimpanan

rekam medik yang baik, untuk kepentingan pencatatan dan pelaporan dalam rangka

meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan perencanaan untuk perbaikan

program kesehatan di masa mendatang.

5. Perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan teratur untuk periode tertentu agar

mendapatkan hasil yang lebih akurat mengingat mengingat periode penelitian yang

sempit dan angka kejadian TB yang terus berubah tiap tahunnya.

40

Page 41: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul. Tuberkulosis Paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu

Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.2005

2. Departemen Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-

2014. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.2011

3. Sudoyo, W. Aru, dkk. Tuberkulosis Paru. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi

IV. Jakarta: Penerbit FK-UI. 2007

4. Departemen Kesehatan RI. Situasi Epdemiologi TB di Indonesia. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI.2010

5. Djitowiyono, Sugeng, Jamil, Akhmad. Hubungan Pendekatan Strategi DOTS

(Directly Observed Treatment Short-course) dengan Kepatuhan Berobat Pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kalasan Sleman 2008. Yogyakarta: Jurnal

Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. 2008

6. Yunus, Faisal, dkk. Tuberkulosis. IPD’S Compendium of Indonesian Medicine 1st

edition 2009. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2009

7. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan. Gerakan Terpadu Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Disampaikan pada Seminar Sehari TB Paru dalam

rangka Peringatan Hari TB Sedunia ke 117. Jakarta: Mei 1999

8. Burman WJ, Dalton CB, et al. A Cost Effectiveness Analysis of Directly Observed

Therapy vs Self Adminstered Therapy for Treatment of Tuberculosis. CHEST 1997

112:63-70

9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI.2007

10. WHO Global Tuberculosis Incidence 2012 [internet] 2013 Nov 8 [cited 2013 Nov

23]. Available from :

http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/Global_TBincidence_2012.png

11. WHO. Global Tuberculosis Report 2013 [pdf]. Genewa: 2013 [cited 2013 Nov 23].

Available from:

http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/index.html

12. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Indonesia. Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia. 2006

13. Alur Sentra DOTS BBKPM Makassar [internet] [cited 2013 Nov 23]. Available from:

http://balaiparumakassar.com/pengenalan-sentra-dots/

41

Page 42: PRevalensi Pasien Putus Obat Anti Tuberkulosis Di RSUD Labuang Baji Periode 2013 QWABSCJDBACJBADJCBJdsaCJKdaCJadnXC

14. Rio, DJ. 2007.Factors associated with treatment failure, dropout and death in cohort

or tuberculosis patients in Refice, Pernambuco State, Brazil. Available from:

http://www.scielosp.org

15. Shaikh, B.T., 2004. Health Seeking Behaviour and Health Service Utilization in

Pakistan: Challenging The Policy Makers. Journal of Public Health,27 (1): 49–54.

Available from: http://jpubhealth.oxfordjournals.org

16. Subdirektorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization, 2008.

Hari TB Sedunia. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi

Kesehatan.

17. Sudoyo, et al., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II , Edisi keempat.

Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

42