selasa, 23 november 2010 | media indonesia perang … · ba ngunan kemaliq sebagai tempat yang...

1
D I Pulau Lombok, khususnya Kabu- paten Lombok Ba- rat, Nusa Tenggara Barat (NTB), selain dikenal tradisi Lebaran Topat juga ter- dapat tradisi perang topat. Kedua tradisi tersebut ber- langsung pada waktu dan lokasi yang berbeda serta tidak pernah terlewati setiap tahun. Lebaran Topat berlangsung setiap hari ketujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Semen- tara itu, perang topat berlang- sung setiap tahun sasih keenam menurut kalender Bali atau sasih ketujuh menurut kalen- der Sasak, sekitar November dan Desember. Pada Minggu (21/11), upa- cara perang topat kembali ber- langsung di Desa Lingsar, Ke- camatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, 9 kilometer dari Kota Mataram. Kawasan itu dikenal memiliki tempat persembahyangan unik. Dalam kawasan tersebut berdiri sebuah pura suci Hin- du, berbagi lokasi dengan ba ngunan Kemaliq sebagai tempat yang dikeramatkan sebagian warga suku Sasak. Antara bangunan pura dan bangunan yang terkait dengan sejarah perkembangan Islam di Lombok tadi, meski dibatasi tembok, terhubung dengan sebuah pintu. Kabarnya, kompleks pura beserta Kemaliq tersebut didi- rikan sekitar 1759 oleh Raja Anak Agung Ngurah dari Kerajaan Karangasem Bali yang ketika itu mengusai bagian barat Pulau Lombok. Bangunan pura yang bernama Pura Gaduh tersebut berada di atas, sedangkan Kemaliq di bawah. Kedua bangunan itu diba- ngun permanen serta mencer- minkan arsitektur Bali. Yang membedakan kedua bangunan tersebut adalah bentuknya, Kemaliq sedikit miring 5 dera- jat ke utara mengarah ke barat, sedangkan Pura Gaduh lurus ke barat. Nah, di lokasi itulah setiap tahun diadakan upacara pu- jawali yang berarti maturan yang berlangsung di Pura Gaduh menurut pemahaman Hindu, sedangkan dalam pengertian Sasak mengan- dung arti memuja Wali yang berpusat di Kemaliq Lingsar. Tingginya toleransi Adapun keberadaan bangunan dan pelaksanaan upacara merupakan manifes- tasi betapa tingginya toleransi dalam hidup bermasyarakat para petani anggota Subak dan penduduk yang mendiami Pulau Lombok. Sementara itu, upacara pujawali itu merupa- kan upacara persembahyang- an kepada Tuhan dengan se- gala manifestasinya. Upacara itu dilaksanakan secara bersama antara umat Hindu dan sebagian warga suku Sasak. Di dalam prosesi- nya terdapat sebuah kegiatan yang disebut dengan istilah perang topat. Setelah proses persem- bahyangan selesai, semua sajian kemudian dibawa me- ngitar tiga kali di Kemaliq baru kemudian diupacarai. Adapun Perang topat meru- pakan ritual akhir dari kegiat- an upacara. Ketupat yang dibuat masyarakat Subak baik karena diminta pekaseh mau- pun atas inisiatif sendiri lantas dibawa kemudian dilempar- kan ke warga lain pada sore hari bertepatan dengan rorok kembang waru atau bergugu- rannya kembang pohon waru sekitar pukul 17.00 Wita. Ratusan bahkan ribuan manusia termasuk sejumlah wisatawan asing ambil bagian pada atraksi tersebut. Topat- topat yang digunakan warga untuk saling lempar merupa- kan bagian dari sesajian yang disiapkan masyarakat desa yang terlibat dalam upacara tersebut. Makna dari upacara ritual ini adalah untuk memohon kepada Tuhan agar diberikan rahmat dan karunia kepada hamba-Nya dalam bentuk ke- suburan tanah dan membaik- nya hasil pertanian. Termasuk mendapatkan rezeki bagaikan hujan ketupat yang terjadi pada perang topat. Upacara ini sekaligus juga pencerminan rasa syukur ke- pada Sang Pencipta karena telah memberikan kemakmur- an. “Alhamdulillah perang ini terlaksana dengan baik. Terima kasih kepada wisatawan yang datang menyaksikan,” kata Lalu Syamsuraya dari Kebu- dayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lombok Barat. Tatkala perang topat usai, se- telah berlangsung selama lebih kurang 30 menit, masyarakat kemudian memungut topat- topat yang berserakan di tanah untuk kemudian ditaburkan di sawah mereka atau di tempat- tempat lain yang dijadikan sumber penghasilan. Mereka meyakini, topat, tersebut membawa anugerah serta mengandung air kehidup- an. Biasanya sebelum dan sesudah upacara pujawali dan perang topat ada kemeriahan lain. Yakni berbagai atraksi kesenian tradisional. (N-4) [email protected] SELASA, 23 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Perang Topat, Manifestasi Kerukunan Muslim-Hindu Topat-topat yang digunakan warga untuk saling lempar merupakan bagian dari sesajian yang disiapkan masyarakat desa. Yusuf Riaman Ratusan bahkan ribuan manusia termasuk sejumlah wisatawan asing ambil bagian pada atraksi tersebut.” Nusantara | 7 PERANG TOPAT: Umat Islam dan Hindu berbaur saling lempar topat (ketupat) saat acara tradisi perang topat sebagai rangkaian acara Pujawali di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Gerung, Lombok Barat, NTB, Minggu (21/11). TARI PANJI LINGSAR: Tiga penari membawakan tarian Panji Lingsar yang diangkat dari upacara tradisional Perang Topat di Senggigi, Lombok Barat, NTB, beberapa waktu lalu. ANTARA/BUDI AFANDI ANTARA/AHMAD SUBAIDI

Upload: dinhlien

Post on 15-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DI Pulau Lombok, khususnya Kabu-paten Lombok Ba-rat, Nusa Tenggara

Barat (NTB), selain dikenal tradisi Lebaran Topat juga ter-dapat tradisi perang topat.

Kedua tradisi tersebut ber-langsung pada waktu dan lokasi yang berbeda serta tidak pernah terlewati setiap tahun.

Lebaran Topat berlangsung setiap hari ketujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Semen-tara itu, perang topat berlang-sung setiap tahun sasih keenam menurut kalender Bali atau sasih ketujuh menurut kalen-der Sasak, sekitar November dan Desember.

Pada Minggu (21/11), upa-cara perang topat kembali ber-langsung di Desa Lingsar, Ke-camatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, 9 kilometer dari Kota Mataram. Kawasan itu dikenal memiliki tempat persembahyangan unik.

Dalam kawasan tersebut berdiri sebuah pura suci Hin-du, berbagi lokasi dengan ba ngunan Kemaliq sebagai tempat yang dikeramatkan

sebagian warga suku Sasak.Antara bangunan pura dan

bangunan yang terkait dengan sejarah perkembangan Islam di Lombok tadi, meski dibatasi tembok, terhubung dengan sebuah pintu.

Kabarnya, kompleks pura beserta Kemaliq tersebut didi-rikan sekitar 1759 oleh Raja Anak Agung Ngurah dari Kerajaan Karangasem Bali yang ketika itu mengusai bagian barat Pulau Lombok. Bangunan pura yang bernama Pura Gaduh tersebut berada di atas, sedangkan Kemaliq di bawah.

Kedua bangunan itu diba-ngun permanen serta mencer-minkan arsitektur Bali. Yang membedakan kedua bangunan tersebut adalah bentuknya, Kemaliq sedikit miring 5 dera-jat ke utara mengarah ke barat, sedangkan Pura Gaduh lurus ke barat.

Nah, di lokasi itulah setiap tahun diadakan upacara pu-jawali yang berarti maturan yang berlangsung di Pura Gaduh menurut pemahaman Hindu, sedangkan dalam pengertian Sasak mengan-dung arti memuja Wali yang

berpusat di Kemaliq Lingsar.

Tingginya toleransiA d a p u n k e b e r a d a a n

bangun an dan pelaksanaan upacara merupakan manifes-tasi betapa tingginya toleransi

dalam hidup bermasyarakat para petani anggota Subak dan penduduk yang mendiami Pulau Lombok. Sementara itu, upacara pujawali itu merupa-kan upacara persembahyang-an kepada Tuhan dengan se-gala manifestasinya.

Upacara itu dilaksanakan secara bersama antara umat Hindu dan sebagian warga suku Sasak. Di dalam prosesi-nya terdapat sebuah kegiatan

yang disebut dengan istilah perang topat.

Setelah proses persem-bahyangan selesai, semua sajian kemudian dibawa me-ngi tar tiga kali di Kemaliq baru kemudian diupacarai.

Adapun Perang topat meru-pakan ritual akhir dari kegiat-an upacara. Ketupat yang dibuat masyarakat Subak baik karena diminta pekaseh mau-pun atas inisiatif sendiri lantas dibawa kemudian dilempar-kan ke warga lain pada sore hari bertepatan dengan rorok kembang waru atau bergugu-rannya kembang pohon waru sekitar pukul 17.00 Wita.

Ratusan bahkan ribuan manusia termasuk sejumlah wisatawan asing ambil bagian pada atraksi tersebut. Topat-topat yang digunakan warga untuk saling lempar merupa-kan bagian dari sesajian yang disiapkan masyarakat desa yang terlibat dalam upacara tersebut.

Makna dari upacara ritual ini adalah untuk memohon kepada Tuhan agar diberikan rahmat dan karunia kepada hamba-Nya dalam bentuk ke-suburan tanah dan membaik-

nya hasil pertanian. Termasuk mendapatkan rezeki bagaikan hujan ketupat yang terjadi pada perang topat.

Upacara ini sekaligus juga pencerminan rasa syukur ke-pada Sang Pencipta karena telah memberikan kemakmur-an.

“Alhamdulillah perang ini terlaksana dengan baik. Terima kasih kepada wisatawan yang datang menyaksikan,” kata Lalu Syamsuraya dari Kebu-dayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lombok Barat.

Tatkala perang topat usai, se -telah berlangsung selama lebih kurang 30 menit, masyarakat kemudian memungut topat-topat yang berserakan di tanah untuk kemudian ditaburkan di sawah mereka atau di tempat-tempat lain yang dijadikan sumber penghasilan.

Me reka meyakini, topat, tersebut membawa anugerah serta mengandung air kehidup-an. Biasanya sebelum dan sesudah upacara pujawali dan perang topat ada kemeriahan lain. Yakni berbagai atraksi kese nian tradisional. (N-4)

[email protected]

SELASA, 23 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Perang Topat, Manifestasi Kerukunan Muslim-Hindu

Topat-topat yang digunakan warga untuk saling lempar merupakan bagian dari sesajian yang disiapkan masyarakat desa.

Yusuf Riaman

Ratusan bahkan ribuan manusia termasuk sejumlah wisatawan asing ambil bagian pada atraksi tersebut.”

Nusantara | 7

PERANG TOPAT: Umat Islam dan Hindu berbaur saling lempar topat (ketupat) saat acara tradisi perang topat sebagai rangkaian acara Pujawali di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Gerung, Lombok Barat, NTB, Minggu (21/11).

TARI PANJI LINGSAR: Tiga penari membawakan tarian Panji Lingsar yang diangkat dari upacara tradisional Perang Topat di Senggigi, Lombok Barat, NTB, beberapa waktu lalu.

ANTARA/BUDI AFANDI

ANTARA/AHMAD SUBAIDI