s2-2013-340597-chapter1

16

Click here to load reader

Upload: rando-feranda

Post on 23-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

dfhdhnd

TRANSCRIPT

Page 1: S2-2013-340597-chapter1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh proses renegosiasi Kontrak Karya (KK) antara

pemerintah Indonesia dengan PT. Vale Indonesia (PTV) yang berlarut-larut dan berkepanjangan

(protracted). Renegosiasi yang didasarkan pada UU Mineral dan batubara (Minerba) No. 4

Tahun 2009, seharusnya telah selesai 1 tahun setelah pengesahan UU tepatnya Januari 2010.

Pemerintah pun harusnya tidak perlu melakukan renegosiasi lebih lanjut karena UU Minerba

tersebut mengamanatkan harus ada penyesuaian Kontrak Karya dengan UU Minerba paling

lambat setahun setelahnya. Berarti bahwa pada tahun 2010 seluruh KK dan PKP2B telah

disesuaikan mengikuti UU Minerba.

Namun, pada perkembangannya dua tahun setelah jangka waktu amandemen Kontrak

Karya milik sejumlah MNCs pertambangan di Indonesia termasuk PT.Vale Indonesia tidak

melakukan penyesuaian Kontrak Karya sesuai dengan UU Minerba tersebut. Adapun pokok

materi yang direnegosiasikan dalam UU Minerba 2009 antara pemerintah Indonesia dengan

PT.Vale yaitu, pertama; besaran royalti yang harus diberikan kepada negara; kedua, divestasi

saham; ketiga, pembangunan smelter (pemurnian); keempat, luas area eksplorasi dan produksi,

pajak perusahaan, sewa tanah; kelima, pelibatan perusahaan dalam negeri dalam proses

penambangan; keenam yakni perpanjangan Kontrak Karya.1

Tindakan tidak kooperatif dari pemegang KK dan PKP2B menyebabkan proses

renegosiasi menjadi berkepanjangan (protracted negotiations). Diketahui bahwa hingga Juni

2011 atau hampir dua tahun dari jangka waktu yang diberikan untuk penyesuaian kontrak karya,

dari 37 pemegang KK terdapat 5 (lima) pemegang KK diantaranya PT. Vale Indonesia, PT.

Freeport Indonesia, PT. Newmont dan Weda Bay yang menyatakan belum sepakat untuk duduk

di meja perundingan dengan pemerintah Indonesia. Sedangkan pada saat yang bersamaan

terdapat 11 KK yang sepakat pasal-pasal kontrak diamandemen seluruhnya. Sementara, 21 KK

hanya meminta perubahan pasal sebagian. Sementara itu, untuk PKP2B, dari 76 terdapat 63

1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan BatuBara, diakses

melalui, http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%204%202009.pdf, 12 Maret 2013

Page 2: S2-2013-340597-chapter1

pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah sepakat

untuk renegosiasi dan sisanya 13 yang belum setuju.2

Kondisi renegosiasi yang berkepanjangan bahkan berlarut-larut antara pemerintah

Indonesia dengan beberapa perusahaan multinasional besar, direspon Presiden dengan

membentuk Tim Evaluasi Penyesuaian KK dan PKP2B. Tim yang disebut juga tim renegosiasi

ini dibentuk melalui Surat Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2012 dan secara resmi bekerja pada

Januari 2012.3 Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut atas UU Minerba yang tidak diindahkan

oleh PT. Vale Indonesia cs dan guna mengevaluasi dan mempercepat renegosiasi (penyesuain

KK dan PKP2B) dengan perusahaan multinasional.

Pasca dibentuknya Tim Evaluasi Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan, PT. Vale

Indonesia pada Juni 2012 melalui Direkturnya, Nico Kanter, menyatakan bahwa Vale Indonesia

siap untuk melakukan renegosiasi. Namun, faktanya hingga September 2012, diungkapkan oleh

tim renegosiasi bahwa renegosiasi untuk tiga perusahaan yaitu Freeport, Newmont, dan Vale saat

ini masih berlangsung berlarut-larut dan (atau) alot. Belum ada perkembangan berarti dari hasil

renegosiasi tersebut. Pernyataan tersebut diungkapkannya pada Selasa, 18 September 2012 di

Jakarta.4 Padahal seharusnya renegosiasi tuntas Januari 2010.

Khusus untuk PT. Vale, disebutkan pembahasan alot masih berkisar luas wilayah karena

meliputi 3 provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Karena

masalah wilayah, harus melibatkan Pemerintah Daerah.5

Protracted negotiations semakin terlihat ketika pemerintah Indonesia melalui ketua

umum dan ketua harian tim renegosiasi yaitu Hatta Rajasa dan Jero Wacik akan mengumumkan

hasil renegosiasi pada September 2012. Ketika itu, diungkapkan bahwa hasil renegosiasi yang

akan disampaikan belum termasuk perusahaan multinasional yang besar seperti PT. Vale

2 Gustidha Budiarti. Sejumlah Pasal Renegosiasi Masih Alot. Diakses melalui;

http://www.tempo.co/read/news/2011/06/21/090342255/Sejumlah-Pasal-Renegosiasi-Masih-Alot, tanggal 26 April

2013 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Tim Evaluasi Untuk Penyesuaian Kontrak

Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara, diakses melalui

http://prokum.esdm.go.id/keppres/2012/Keppres-3-2012.pdf, 14 Maret 2013 4 Angga Sukma Wijaya. Renegosiasi Kontrak Tambang Masih Alot, diakses melalui:

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/18/090430301/Renegosiasi-Kontrak-Tambang-Masih-Alot, 5 April 2013 5 Ibid.

Page 3: S2-2013-340597-chapter1

Indonesia, PT. Freeport dan Newmont.6 Secara tegas sebagai representasi pemerintah Indonesia,

Hatta Rajasa menyatakan bahwa renegosiasi KK masih berjalan alot untuk ketiga perusahaan

multinasional tersebut.7

Bahkan hingga Mei 2013, Asosiasi Pertambangan Indonesia merilis laporan bahwa

renegosiasi untuk PT. Vale masih belum ada perkembangan signifikan salah satunya yaitu

wilayah.8 UU Minerba yang mensyaratkan luas areal pertambangan dikurangi menjadi 25 ribu,

diklaim sangat krusial bagi karena harus mengurangi lahannya diatas 75% atau sekitar 165 ribu

hektare. Oleh karena itu, dengan kondisi tersebut renegosiasi KK antara pemerintah Indnesia

akan terus berkepanjangan mengingat belum ada indikasi selesainya renegosiasi KK diantar

kedua pihak.

Sedangkan menurut beberapa pihak, salah satunya Direktur Eksekutif Indonesia

Resources Studies (IRESS), Marwan, renegosiasi kontrak sangat mudah dilakukan. Apalagi

sudah ada dalam ketentuan Undang-Undang Minerba yang mengatur soal luas wilayah, divestasi,

smelting, dan sebagainya. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah, tinggal dijalankan saja. Karena

itu, harus ditentukan waktu deadline dan sanksi jika mereka melanggar dari ketentuan,

pemerintah harus menutup izinnya9

Senada dengan Marwan, Herman Afif Kusumo, Ketua Presidium Masyarakat

Pertambangan Indonesia (MPI), menyebut tidak benar jika KK dianggap kebal terhadap

renegosiasi. Ia juga tidak percaya kalau kontrak karya ada yang kebal. Prinsipnya, dalam kontrak

harus sama-sama menguntungkan. Ia berargumen bahwa keberhasilan renegosiasi KK telah

dibuktikan oleh Venezuela, Bolivia dan Australia yang baru-baru ini berhasil merenegosiasi

semua KK pertambangan di negaranya.10

6Pemerintah umumkan renegosiasi kontrak tambang pekan depan. Diakses melalui,

http://www.antaranews.com/berita/331448/pemerintah-umumkan-renegosiasi-kontrak-tambang-pekan-depan,

Tanggal 23 Juni 2013 7 Ameidyo Daud. Hatta: Sebagian renegosiasi kontrak karya tambang alot, diakses melalui,

.http://ekbis.sindonews.com/read/2013/04/18/34/739670/hatta-sebagian-renegosiasi-kontrak-karya-tambang-alot, 19

April 2013 8Ignasius Laya. Pemegang Kontrak Karya Belum Sepakati Luas Wilayah Tambang. Diakses melalui,

http://www.ima-api.com/index.php?option=com_content&view=article&id=900%3Apemegang-kontrak-karya-

belum-sepakati-luas-wilayah-tambang&catid=47%3Amedia-news&Itemid=98&lang=id, 11 April 2013 9 Opcit,

http://www.neraca.co.id/index.php/harian/article/17587/Renegosiasi.Kontrak.Karya.Dinilai.Gagal#.UV_vyzdqxKE,

16 April 2013 10

Tak Ada Kontrak Karya Kebal Renegosiasi. Diakses melalui,

http://www.neraca.co.id/harian/article/6756/Tak.Ada.Kontrak.Karya.Kebal.Renegosiasi, 16 April 2013

Page 4: S2-2013-340597-chapter1

Berbeda halnya dalam kasus renegosiasi antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan

multinasional asal Brasil namun, bermarkas di Kanada yakni PT. Vale Indonesia, yang hingga

Agustus 2013 atau empat tahun setelah batas waktu bahkan berkepanjangan. Padahal seharusnya

secara teoritis pun, renegosiasi (tawar-menawar dalam bahasa Gilpin) antara negara berkembang

dengan perusahaan multinasional pada sektor ekstraksi sumber daya alam, diungkapkan oleh

Robert Gilpin dan Streeten bahwa akan mudah dilakukan dan umumnya dimenangkan oleh

negara berkembang. Seperti halnya dengan keberhasilan Bolivia, Venezuela, Ekuador dan

Bolivia menuntaskan secara cepat. Oleh karena itu, menjadi suatu pertanyaan besar jika

renegosiasi antara KK PT. Vale oleh Pemerintah Indonesia berlangsung dengan alot bahkan

terindikasi gagal.

Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian menarik untuk dikaji lebih jauh tentang

renegosiasi yang berlarut-larut dan berkepanjangan (protracted negotiations) dalam kontrak

karya antara pemerintah Indonesia dengan PT. Vale yang yang seharusnya tidak terjadi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat dipahami bahwa meskipun pemerintah

telah melakukan upaya renegosiasi melalui Undang-Undang Mineral dan Batubara, namun pada

perkembangannya tidak direspon positif oleh PT. Vale Indonesia. Bahkan pemerintah Indonesia

membentuk Tim Evaluasi Penyesuaian KK dan PKP2B guna mengevaluasi dan mempercepat

renegosiasi namun, tak kunjung selesai. Renegosiasi yang dijadwalkan harusnya telah

selesai pada awal 2010 atau pasca disahkannnya UU Minerba (12 Januari 2009) tidak juga

selesai hingga perpanjangan kedua pada akhir 2012. Bahkan hingga Agustus 2013 atau tahun

keempat renegosiasi belum juga ada kesepakatan yang dihasilkan. Kondisi renegosiasi KK yang

berlarut-larut dan belum selesai dalam kasus ini kemudian menimbulkan pertanyaan penelitian

yang akan menjadi fokus penelitian, yaitu;

1) Bagaimana dinamika proses renegosiasi KK antara pemerintah Indonesia dengan PT.

Vale Indonesia berlangsung?

2) Mengapa renegosiasi Kontrak Karya PT. Vale Indonesia dengan pemerintah Indonesia

berkepanjangan (protracted)?

Page 5: S2-2013-340597-chapter1

1.3 Studi Literatur

Fenomena renegosiasi sudah beberapa kali muncul pada abad-abad sebelumnya namun,

belum signifikan. Adapun kajian ilmiah tentang topik renegosiasi antara pemerintah dengan

perusahaan multinasional ini masih sangat minim khususnya di Indonesia. Beberapa tokoh

berpengaruh telah menulis tentang topik pentingnya renegosiasi dilakukan. Jozeph Stiglitz

mengemukakan bahwa setiap kontrak-kontrak pertambangan dengan modal asing bila dianggap

terindikasi merugikan kepentingan salah satu pihak (khususnya bagi host country) harus

dinegosiasi ulang.11

Karena kontrak karya yang sudah disepakti bukanlah harga mati.

Kebijakan ekonomi dan politik pemerintahan Indonesia (sejak 40 tahun lalu hingga

pemerintahan berikutnya) kelihatan bahwa regulasi mengenai modal asing di Indonesia memang

perlu untuk diperbaiki, demi kepentingan rakyat. Jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini

maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor

asing. Seperti halnya yang dilakukan oleh Rusia terhadap Shell dan negara-negara di Kawasan

Amerika Latin yang saat ini telah memperoleh 82% keuntungan setelah sebelumnya hanya 18%.

Bahkan Stiglitz mengungkapkan bahwa perusahaan multinasional di Indonesia sebenarnya sadar

bahwa mereka sedang merampok kekayaan negara-negara berkembang. Dan apabila pemerintah

berani untuk negosiasi ulang maka, diyakini pihak Indonesia dapat memperoleh keuntungan

yang lebih banyak.

Amien Rais pun menyatakan bahwa sangat penting untuk melakukan negosiasi ulang

terhadap semua kontrak karya yang ada saat ini. Hal ini mengingat Indonesia yang memiliki

sumber daya alam (SDA) berlimpah, namun belum menikmatinya. Kondisi ini terjadi karena

kontrak karya antara perusahaan asing dengan pemerintah Indonesia hanya menguntungkan

pihak luar.12

Adapun pro-kontra yang menyertai munculnya gagasan renegosiasi atas kontrak

kerjasama atau latar belakang renegosiasi KK dengan perusahaan multinasional, dari berbagai

kalangan akademisi. Legalitas dan tujuan renegosiasi merupakan dua hal yang diperdebatkan

oleh beberapa kalangan. Developmental based oleh sejumlah pemimpin dunia dan law based

oleh Joseph Stiglitz, keduanya menyepakati tentang perlunya dilakukan renegosiasi.

11

Joseph Stiglitz. 2006. Making Globalization Work. New York: W.W. Norton & Company, Inc. 12

Muhammad Amien Rais, Selamatkan Indonesia, Yogyakarta: PPSK, Hal 256; Ratih Keswara. Amien Rais:

Semua kontrak karya wajib negosiasi ulang, diakses melalui,

http://ekbis.sindonews.com/read/2013/04/17/34/739228/amien-rais-semua-kontrak-karya-wajib-negosiasi-ulang, 17

April 2013

Page 6: S2-2013-340597-chapter1

Developmental based perspective yang mendasari beberapa negara seperti Rusia, Argentina,

Aljazair, Maurinatinia, Venezuela, Bolivia (alasan dari Presiden Venezuela, Bolivia dan

Ekuador) dilakukannya negosiasi ulang yaitu untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat. Di

Bolivia misalnya, renegosiasi dilakukan karena didorong oleh protes yang kuat dari, begitu pun

di Ekuador. Di mana renegosiasi dilakukan dengan alasan untuk pembangunan.13

Sementara itu,

presiden Venezuela, Hugo Chaves, telah melakukan hal yang sama yang sangat populer di

negara itu. Chaves berhasil merenegosiasikan bahkan boleh dikatakan nasionalisasi yang

diakuinya untuk tujuan pembangunan. Dana dari perusahaan minyak negara tersebut kemudian

akan digunak untuk membiayai program-program sosial dan kepentingan internasional.

Namun, argumen ini ditentang oleh beberapa pihak yang tidak sepakat bahwa tidak ada

bukti yang jelas bahwa renegosiasi ditujukan atau pun hasilnya untuk percepatan pembangunan.

Begitu pun tujuan renegosiasi tidak disebutkan secara tegas ataupun eksplisit dalam draf hasil

dari renegosiasi.14

Kelompok pro renegosiasi lainnya adalah kaum law based yang diwakili oleh Joseph

Stiglitz. Stiglitz pun tidak sepakat dengan argumen developmental based bahwa tujuan

renegosiasi adalah untuk pembangunan. Stiglitz melihat perlunya renegosiasi karena kontrak

karya dilakukan karena dari dilihat dari segi hukum, isi Kontrak Karya sangat merugikan host

country dan menguntungkan perusahaan multinasional. Khusus untuk renegosiasi yang

dilakukan oleh pemerintah Bolivia, itu dibenarkan berdasarkan usaha merek untuk mewakili

kepentingan rakyat miskin dalam negara.15

Tokoh nasional, Amien Rais pun menyatakan bahwa pentingnya renegosiasi atas kontrak

karya pertambangan di Indonesia, mengingat bahwa

―Perusahaan Multinasional yang ada di Indonesia memberikan kesan bahwa

perusahaan asing itulah yang lebih dominan untuk mengatur tentang perjajian

kontrak karya, sehingga hasil dari perjanjian tersebut cenderung merugikan

Indonesia. Kedaulatan Indonesia sebagai negara pemilik sumber kekayaan alam

yang dieksplorasi oleh perusahaan asing tersebut hilang atau lemah, ini

13

Kerr, J. 2007. Ecuador’s New Energy Minester Calls for Renegotioation of Contracts, But Not Nationalization.

Global Insight 14

Michael Likosky. 2009. Contracting and regulatory issues in the oil and gas and metallic minerals

industries. diakses melalui, unctad.org/en/docs/diaeiia20097a1_en.pdf ,21 April 2013 15

Joseph E. Stiglitz. 2006. Who Owns Bolivia? Daily Times

Page 7: S2-2013-340597-chapter1

menunjukkan bahwa negara kita masih terjajah oleh sikap kolonialisme dari

perusahaan tersebut‖16

Padahal seharusnya suatu negara yang memiliki natural resources yang besar

mempunyai hal yang lebih kuat atau besar dalam hal menetukan kriteria pembagian hasil

keuntungan.17

Singkat kata Amien Rais menyatakan bahwa negara dengan penguasaan SDA

yang besar akan memiliki bargaining position yang lebih kuat daripada perusahaan

multinasional dalam pembagian hasil keuntungan dan juga kewajiban-kewajiban apa yang harus

dilaksanakan oleh MNCs yang mengeksplorasi kekayaan alam di negara host country.

Pernyataan Amien Rais tersebut diperkuat oleh sikap pemerintah ketika menghadapi

renegosiasi kontrak karya PT. Vale Indonesia saat ini. Menteri Koordinasi Perekonomian

menyatakan bahwa dalam rengosiasi kontrak karya kita pemerintah tidak boleh memaksa karena

ini adalah renegosiasi kontrak.18

Kondisi tersebut secara langsung menegaskan kebenaran dari

argumen kedua Amien Rais, bahwa perusahaan multinasonal cukup berpengaruh bahkan

terhadap pengambilan keputusan pemerintah.

Sedangkan pihak yang kontra dengan dilakukannya renegosiasi datang dari beberapa

pihak. Salah satunya yaitu Kolo dan Walde menyatakan bahwa renegosiasi bertentangan dengan

kepentingan negara-negera berkembang dan hanya ditempuh dalam keadaan luar biasa. Argumen

tentang ―kesucian kontrak karya‖ digunakan sebagai alasan mengapa negara berkembang tidak

berkepentingan atas renegosiasi. Apabila KK direnegosiasi berarti bahwa pemerintah tidak

menghormati kesucian KK. Bukan hanya itu, pertaruhan atas kredibilitas, reputasi, rasa takut

dikucilkan, terisolasi merupakan alasan yang cukup bagi mereka untuk tetap menghormati

kontrak karya yang telah ada.

Terkait dengan legalitas atas kontrak karya yang akan direnegosiasi turut diperdebatkan.

Muchlinski melihat bahwa di satu sisi, dalam kondisi tertentu legalitas renegosiasi secara

internasional tidak perlu diragukan lagi.19

Namun di satu sisi, renegosiasi ini tentu bertentangan

dengan hukum internasional dan hukum nasional.

16

Opcit, Amien Rais. 17

ibid 18

Harian Rakyat Merdeka. Renegosiasi Kontrak Karya Tambang Jalan Di Tempat

http://ekbis.rmol.co/read/2012/05/14/63752/Renegosiasi-Kontrak-Karya-Tambang-Jalan-Di-Tempat-, diakses

tanggal 21 April 2013 19

Muchlinski, P.T. 1995. Multinational Enterprises And The Law. Oxford Blackwell. P. 497

Page 8: S2-2013-340597-chapter1

Terlepas dari pro-kontra tujuan ataupun legalitas dilakukannya renegosiasi, William A.

Stoever dalam risetnya berjudul Renegotiations: The Cutting Edge of Relation and MNC &

LDC,20

menyoroti tentang kekhawatiran MNC atas perubahan sikap negara host country yang

umumnya merupakan negara-negara berkembang (less develop country). LDC umumnya akan

mulai mengatur aktivitas mereka bahkan menginginkan kontrol lebih atas aktivitas mereka.

Kondisi tersebut diakui akan berujung pada renegosiasi. Dan renegosiasi yang dilakukan

seringkali tidak seperti yang diharapakan khususnya harus sesuai dengan kepentingan LDC. Hal

ini terjadi karena dengan perencanaan yang matang diikuti dengan intervensi yang kuat dari

MNC selama proses renegosiasi berlangsung.

Meskipun riset tersebut sudah cukup lama dilakukan yakni pada 1979, namun masih

relevan untuk digunakan pada beberapa kondisi renegosiasi yang terjadi saat ini. Juga

diungkapkan bahwa berlanjutnya tawar-menawar tetap merupakan ciri hubungan antara

perusahaan-perusahaan dan pemerintah-pemerintah tuan rumah. Perusahaan berusaha

mendapatkan konsesi sebanyak mungkin dari ekonomi tuan rumah, seperti peningkatan

permintaan pajak yang menguntungkan, dan proteksi perdagangan, dan negara tuan rumah

berupaya menerapkan persyaratan kerja para perusahaan. MNC, misalnya, mungkin diminta.

Secara tegas, Gilpin menyatakan bahwa terdapat persekutuan antara kepentingan-

kepentingan bisnis domestik dan asing maupun intervensi home country yang dapat mengancam

otonomi negara dan lemahnya posisi negara host country dalam renegosiasi. Namun bagaimana

pun juga,bahwa hampir setiap pertentangan, pemerintah tuan rumahlah (host country) yang

menang. Dan host country telah belajar bagaimana mengeksploitasi MNC demi tujuan-tujuannya

sendiri.21

Akan tetapi, adanya perubahan fungsi, peran dan kapasitas LDC dapat mematahkan

argumen Stoever dan Gilpin. Salah satu buktinya adalah hasil riset dari Michael Likosky tentang

keberhasilan renegosiasi KK perusahaan multinasional di Bolivia, ekuador dan Venezuela serta

Irak.22

Penelitian ini juga fokus membahas tentang jenis-jenis KK pada sektor pertambangan

minyak dan mineral, dan sejarah konsesi pertambangan tradisional.

20

William A. Stover. 1979. Renegotiations: The Cutting Edge of Relation and MNC & LDC.Columbia Journal of

World Business; Spring 79, Volume Issue I P. 5 21

Haris Munandar dan Dudy Priatna (penerjemah). 2002. Tantangan Kapitalisme Global. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada 22

Opcit, Michael Likosky

Page 9: S2-2013-340597-chapter1

Secara lebih spesifik Arianto Sangaji dalam bukunya berjudul ―Buruk Inco, Rakyat

Digusur; Ekonomi Politik Pertambangan Indonesia‖.23

Dalam tulisannya tersebut, Sangaji

menjelaskan tentang dampak nyata dari keberadaan PT. Inco terhadap aspek ekonomi, sosial,

budaya dan lingkungan. Ia juga memaparkan tentang PT. Inco yang selalu dipersepsikan salah

oleh sebagian besar orang. Selama ini, PT. Inco dalam persepsi masyarakat yang baik tanpa

cacat. Namun, kondisi yang sebenarnya sangat bertolakbelakang dengan yang dipersepsikan.

Penelitian Sangaji ini pun, hanya berkutat pada dampak yang ditimbulkan oleh PT. Vale dan

tidak membahas tentang perlunya renegosiasi dengan perusahaan tersebut.

Oleh karena itu, berdasarkan riset-riset terdahulu tentang renegosiasi Kontrak Karya

perusahaan multinaisonal dengan pemerintah, belum ada peneliti yang spesifik mengkaji tentang

penyebab alotnya sebuah renegosiasi kontrak karya antara pemerintah dengan perusahaan

multinasional. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis akan mencoba mengkaji mengapa

renegosiasi antara negara dengan peruhaaan multinasional itu berlangsung alot, dengan studi

kasus renegosiasi kontrak karya PT. Vale Indonesia dengan pemerintah Indonesia. Riset ini

diharapkan dapat memperkaya kajian ekonomi politk global khususnya tentang perusahaan

multinasional dalam renegosiasi KK dengan host country. Karena sebenarnya aneh, ketika kajian

tentang negosiasi dan renegosisi antara perushaan multinasional dengan pemerintah di

Indonesia. Mengingat Indonesia yang notabenenya merupakan salah satu rumah besar bagi

perusahaan multinasional pertambangan yang umumnya merugikan.

1.4 Kerangka Pemikiran

Dalam membahas tulisan dengan judul ―Dinamika Renegosiasi Negara Dengan

Perusahaan Multinasional (studi kasus: Pemerintah Indonesia dengan PT. Vale Dalam

Renegosiasi Kontrak Karya”), maka penulis berangkat dari dasar pemikiran dan teori yang harus

dipahami sebagai guideline yaitu; pertama, renegosiasi. kedua, teori tawar-menawar usang

(obsolescing bargain model theory). Kedua pemikiran tersebut saling berkaitan dan mendukung

satu dengan yang lain.

23

Arianto Sangaji. 2002. Buruk Inco, rakyat digusur: ekonomi politik pertambangan Indonesia. Indonesia: Pustaka

Sinar Harapan.

Page 10: S2-2013-340597-chapter1

1. Renegosiasi

Munculnya tekanan dalam negeri untuk memperbaharui dan mengatur ulang

keberadaan perusahaan multinasional dan kemunculan gelombang resource nationalism,

telah menggiring Indonesia untuk melakukan renegosiasi Kontrak Karya. Renegosiasi

dilakukan mengingat pemutusan kontrak secara sepihak jelas bukan pilihan yang tepat. Oleh

karena itu, pemerintah melalui Undang-Undang Mineral Baru No. 4 tahun 2009 akan

melakukan renegosiasi KK dan PKP2B. Dalam perjanjian internasional sebenarnya telah

dijelaskan bahwa semua perjanjian KK yang dilakukan oleh negara dan perusahaan

multinasional bila dalam perjalannya menimbulkan kerugian di salah satu pihak maka

perjanjian KK tersebut dapat direnegosiasi, jadi KK tersebut bukan suatu harga mati.24

Dalam artian inilah renegosiasi menjadi alternatif yang paling sesuai untuk

mengadaptasi berbagi konteks, baik alam, komersial maupun politik pada saat masa kontrak

berlangsung. Renegosiasi memungkinkan kedua belah pihak untuk dapat tetap bekerjasama

dengan cara yang saling menguntungkan dan lebih dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Secara etimologi renegosiasi berasal dari kata negosiasi yang berarti suatu proses

tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu

pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain atau

penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa.25

Sedangkan dalam oxford dictionary, renegosiasi berarti menegosiasiakan kembali sesuatu

untuk mengubah persyaratan asli.26

Renegosiasi adalah praktek yang sangat umum dan dikenal oleh hampir semua

sistem hukum yang berkembang. Hak dan kewajiban dalam melakukan renegosiasi kontrak

kerjasama yang sedang berjalan mendapat pengakuan yang jelas, terutama dengan adanya

perkembangan-perkembangan baru yang tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak

memungkinkan salah satu atau kedua belah pihak untuk memenuhi ketentuaan-ketentuan

dalam kontrak. Artinya, sekalipun mengandung ketentuan-ketentuan yang sangat mengikat,

tidak berarti bahwa kontrak tidak memiliki fleksibilitas.27

25

Kamus Besar Bahasa Indonesia 26

http://oxforddictionaries.com/definition/english/renegotiate 27

Kolo, Abba and Thomas W. Walde. Renegotiation and contract adaptation in the international investment

projects; Applicable Legal Principles and and Industry Practice. Diakses melalui, http://www.transnational-dispute-

management.com/samples/freearticles/tv1-article, 3 Mei 2013

Page 11: S2-2013-340597-chapter1

Adapun secara etimologi renegosiasi yang berasal dari kata negosiasi dalam

prakteknya tidak semudah yang diharapakan. Dalam beberapa kasus seringkali terjadi

kondisi negosiasi yang berlarut-larut (protracted negotiations) diantara para pihak yang

terlibat.

2. Obsolescing Bargain Model (tawar-menawar usang)

Renegosiasi (atau tawar-menawar dalam bahasa Gilpin) antara pemerintah atau host

country dengan perusahaan multinasional, diungkapkan oleh Raymond Vernon bahwa akan

mengikuti ―pola/model tawar menawar usang‖. Masing-masing pihak akan berusaha

menarik konsesi maksimum dari pihak lain.28

Teori Obsolescing bargain yang pertama kali

dikembangkan oleh Vernon pada tahun 1970-an, membuat suatu model yang

menggambarkan hubungan negara dengan perusahaan multinasional ketika melakukan

tawar-menawar. Model tersebut dikenal dengan obsolescing bargain model (OBM). Model

ini akan menganalisis hubungan tawar-menawar negara dengan perusahaan multinasional

dalam beberapa aspek yaitu tujuan, sumber daya, kendala masing-masing pihak.29

Diungkapkan oleh Lorraine Eden, OBM merupakan model yang paling terkenal untuk

menganalisis hubungan tawar menawar diantara kedua pihak.30

OBM menyatakan bahwa pada awal masuknya perusahaan multinasional ke negara

tuan rumah (host country), perusahaan akan berada dalam posisi tawar yang lebih kuat.

Dengan firm specific advantage seperti besarnya modal, teknologi dan kemampuan

menegerial atau sumber daya manusia yang skillful.31

Pada kondisi tersebut, host country

akan tergantung pada MNC.

28

Raymond Vernon. 1971. Sovereignty at Bay: The Multinational Spread of US Enterprises. New York:

Basic Books. 29

Raymond Vernon.1977. Strom Over The Multinational: The Real Issue. Cambrige MA: Harvard University Press;

Kobirin Stephen. 1987. Testing the Bargaining Hypothesis in the Manufacturing sector in Developing Countries.

International Organization 41:604-38; Brewer, Thomas. 1992. An Issue Area Approach to the Analysis of

Multinaitonal Corporation- Government Relations. Jurnal of International Business Studies 23:295-309; Grosse,

Robert and Jack N. Behreman. 1992. Theory in International Business; Grosse, Robert. 1996. The Bargaining

Relationship Between Foreign Multinational Enterprises and Host Governments In Latin America. The Internatinal

Trade Journal 10:467-99 30

Eden Lorraine, at al. 2004. From The Obsolescing Bargain to The Political Bargain Model. Dipresentasikan pada

seminar ―International Business and Government Relations in the 21 Century‖ Thunderbird, Phoenix AZ, 5 Januari

2004 31

Teece dan Pisano, dikutip dari Eden Lorraine, at al. 2004. From The Obsolescing Bargain to The Political

Bargain Model. Dipresentasikan pada seminar ―International Business and Government Relations in the 21 Century‖

Thunderbird, Phoenix AZ, 5 Januari 2004

Page 12: S2-2013-340597-chapter1

“A host state has weak bargaining position before an MNC enters because the

MNC can persue other options and the host state must provide incentive to attract

the initial investment. The MNC’s bargaining power stems from its sophisticated

technology, brand-name identication, access to capital, product diversity and

ability to promote exports. Thus, the inital investment agreement favors the MNC,

After the investment is made. However. The host state has more bargaining

leverage because the MNC commits itself to immobile resources. The host state

can treat these resources as a “hostage” and it gains bargaining, technology and

managerial skill through spinoff from the foreign investment. Theus, the host state

may try to renegotiate the original bargain and gain more favorable terms with

the MNC.....”32

Akan tetapi, setelah investasi berlangsung, bargain power bergeser ke ekonomi tuan

rumah atau host country. Negara dengan sumber daya yang dimilikinya dalam istilah

Vernon Country specific advantage seperti ekonomi (akses terhadap ekonomi lokal, buruh

murah), sosial, politik dan sumber daya alam yang berlimpah.33

Dan pada saat itu,

pemerintah akan mencoba untuk melakukan renegosiasi atas kontrak karya yang asli dengan

harapan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

“.......In these industries (natural resources industries), nationalizations

have been more common and host state have been more successful in

demanding higher taxes, more processing of goods, joint marketing, and

the employmnet of local people in management..”34

Terdapat tiga hal pokok yang diuraikan OBM dalam proses renegosiasi. Pertama,

kendala renegosiasi. Proses renegosiasi yang berlangsung diungkapkan akan menghadapi

kendala yang menyebabkan renegosiasi berkepanjangan bahkan bisa gagal, baik dari

domestik maupun internasional. Kendala dalam proses renegosiasi atau tawar menawar

antara pemerintah dengan perusahaan multinasional bersumber dari adanya kendala

ekonomi dan politik baik domestik maupun internasional. Untuk host country, yang dapat

menjadi hambatan renegosiasi bersumber dari restriksi oleh suatu perjanjian internasional

yang diikuti oleh negara, lemahnya legitimasi pemerintah, tidak stabilnya politik lokal dan

pemerintah, dan hambatan penyesuaian pada neraca pembayaran.

32

Vernon, dikutip dari Theodore H. Cohn. 2005. Global Political Economy Theory and Practice. USA: Pearson

Education, Inc. Hal 263-264 33

Opcit, Eden Loireene 34

Stephen J. Kobirin, dikutip dariTheodore H. Cohn. 2005. Global Political Economy Theory and Practice. USA:

Pearson Education, Inc. Hal 263-264

Page 13: S2-2013-340597-chapter1

Sedangkan dari sisi MNC, iklim ekonomi dan politik lokal dan internasional.

Hambatan tersebut dapat berupa legal restriction misalnya UU ataupun peraturan lainnya;

perjanjian dengan host country;home country; larangan dari lead firm; adanya pihak ketiga

baik domestik maupun global berupa intervensi dari negara lain dan ataupun lembaga

intenasional. Negara ataupun organisasi yang terlibat dalam proses renegosiasi merupakan

pihak-pihak berkepentingan atas perusahaan eksistensi keberadaan perusahaan

multinasional.

Dalam kasus renegosiasi KK PT.Vale Indonesia, hambatan ataupun faktor-faktor

tersebut akan dipaparkan pada penjelasan selanjutnya di Bab III. Dan akan dianalisis lebih

lanjut sebagai penyebab alotnya renegosiasi KK PT.Vale dengan pemerintah Indonesia pada

Bab IV.

Kedua, proses renegosiasi antara negara dengan perusahaan multinasional sifatnya

konfliktual namun berpotensi untuk positive sum game. Berarti bahwa kedua pihak

berpotensi untuk memperoleh keuntungan. Hubungan kedua pihak yang konfliktual selama

proses renegosiasi terjadi karena perbedaan tujuan diantara keduanya. Tujuan dari MNC

sendiri adalah mencari pasar, sumber daya alam dan manusia, serta efisiensi produksi

sedangkan host country memiliki tujuan dengan landasan ekonomi yaitu peningkatan

pendapatan melalui peningkatan royalti, pajak, bea keluar maupun peningkatan

kesejahteraan masyaratkatnya, tujuan politk dan sosial.35

Ketiga,sumber daya. Sumber daya merupakan faktor yang dapat menentukan tarik

menarik dan penentu renegosiasi antara pemerintah dengan perusahaan multinasional.

Sumber daya tersebut dapat menjadi bargaining power kedua pihak selama proses

renegosiasi, jika sumber daya tersebut tidak dimiliki oleh pihak lain-lawan. Host country

memiliki sumber daya yang disebut oleh Raymond Vernon sebagai country specific

adventages (CSA’s) seperti ekonomi, social dan politik untuk menarik FDI. Beberapa

CSA’s diinterpretasikan sebagai akses terhadap pasar lokal, sumber daya alam yang

melimpah, upah buruh yang murah dan lain-lain. Apabila host country mampu menahan

sumber daya tersebut, yang jelas diinginkan oleh MNC maka, hal tersebut akan menjadi

35

Vernon, di kutip dari Eden Lorraine, at al. 2004. From The Obsolescing Bargain to The Political Bargain Model.

Dipresentasikan pada seminar ―International Business and Government Relations in the 21 Century‖ Thunderbird,

Phoenix AZ, 5 Januari 2004

Page 14: S2-2013-340597-chapter1

bargaining power bagi host country. Pada kasus renegosasi KK Vale Indoesia akan

dijabarkan pada Bab II.

Sedangkan perusahaan multinasional memiliki sumber yang dapat dimanfaatkan

sebagai ―senjata‖ ketika bernegosiasi dengan host country, seperti; teknologi yang sulit

untuk ditiru, modal, sumber daya manusia yang terampil, brand dan trade secret.36

Komponen bargaining power tersebut disebut sebagai firm specific adventages (FSA). OBM

mengasumsikan bahwa semakin bernilai sumber daya suatu pihak maka, pihak lawan akan

semakin tertarik untuk menguasainya namun akan makin sulit.

Adapun hasil yang renegosiasi (tawar-menawar) tersebut tergantung pada tujuan,

sumber daya (bargaining power) dan faktor hambatan baik domestik maupun internasional.

Semakin besar bargaining power dan semakin baik bargaining position salah satu pihak

maka semakin besar peluangnya untuk mendapatkan tujuannya. Dan semakin sedikit

hambatan ekonomi dan politik dari domestik dan internasional maka semakin berpotensi

untuk diuntungkan atau menang dalam proses renegosiasi tersebut.

1.5 Argumen Utama

Perbedaan kepentingan antara pemerintah Indonesia dengan PT. Vale dan karena

ekonomi politik internasional dan domestik telah menyebabkan protrated negotiations bahkan

gagal secara konstitusional. Faktor ekonomi politik internasional dan domestik telah

menyababkan renegosiasi berkepanjangan dapat dijabarkan dalam beberapa poin seperti tarik

ulur antara kepentingan pemerintah daerah, pusat dan kelompok bisnis; dan internasional, berupa

internvensi home country, negara lain yang berkepentingan dan organisasi internasional

1.6 Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metodelogi kualitatif dengan

tipe eksploratif. Dengan mengandalkan data-data sekunder dari library research dan data primer

dari hasil wawancara dan data-data kepustaakaan baik yang berasal dari jurnal, buku, koran,

majalah dan internet.

Penelitian kepustakaan akan dilakukan di beberapa tempat yang dianggap memiliki

koleksi literature yang dapat mendukung penelitian ini, diantaranya:

36

Ibid, hal 12

Page 15: S2-2013-340597-chapter1

1) Perpustaan Pusat Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta

2) Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin

3) Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta.

4) Perpustakaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta

Sedangkan wawancara akan dilakukan di beberapa instansi yang terkait dengan kasus ini,

diantaranya:

1) Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara

2) Kantor Gubernur Sulawesi Selatan-Bagian ESDM

3) Badan Koordinasi Penanaman Modal Sulawesi Selatan

4) Dinas Pertambangan Pemerintah Sulawesi Selatan

5) Bernardus Irmanto sebagai Wakil Presiden DirekturPT. Vale

1.7 Jangkauan Penelitian

Jangkauan dari penelitian dengan topik Dinamika Renegosiasi antara Negara-

Perusahaan Multinaisonal (Pemerintah Indonesia dengan PT. Vale Dalam Renegosiasi Kontrak

Karya), yakni sejak 2009 (diundangkannya UU Minerba No. 4 tahun 2009) yang merupakan

momentum dimulainya renegosiasi antara pemerintah Indonesia dengan seluruh perusahaan

multinaisonal termasuk PT. Vale hingga Agustus 2013. penelitian ini pun tidak mengabaikan

data-data sebelum periode penelitian yang sifatnya urgen.

1.8 Sistematika Penulisan

Pada bab I penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, dimana juga akan

berbicara mengenai alasan ketertarikan penulis meneliti topik renegosiasi kontrak karya PT Vale.

Bab ini juga akan berisi rumusan masalah yang menjadi titik tolak penelitian ini. Rumusan

masalah tersebut memungkinkan bagi pembaca untuk mengetahui fokus penelitian. Selain itu,

juga akan dipaparkan kerangka konseptual yang akan digunakan sebagai sudut pandang untuk

membedakan kasus ini. Dan untuk memperkaya referensi bacaan terkait topik penelitian juga

akan dipaparkan beberapa penelitian sebelumya dalam literature review.

Pada Bab II akan dijelaskan mengenai kebijakan ekonomi politik sumber daya alam

Indonesia, rezim baru pertambangan Indonesia yaitu UU Minerba No. 4 2009 yang menjadi

Page 16: S2-2013-340597-chapter1

acuan dilakukannya renegosiasi kontrak karya pertambangan; bargaining power Indonesia dalam

melakukan renegosiasi; dan perusahaan multinasional.

Kemudian pada Bab III akan menguraikan tentang latar belakang renegosiasi dan

dinamika proses renegosiasi kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT.Vale

Indonesia. Untuk melihat dinamika renegosiasi KK antara pemerintah Indonesia dengan Vale

Indonesia, maka akan dibagi dalam beberapa periode mulai tahun 2009 hingga agustus 2013.

Bab IV akan membahas lebih dalam tentang dinamika proses renegosiasi KK antara

pemerintah Indonesia dengan PT.Vale dan alotnya renegosiasi serta faktor penyebab.

Bab V, akan berisi kesimpulan dan saran dari peneliti sesuai dengan akar permasalahan

yang diangkat.