riski miranda putri_memory

7
Memory By: Riski Miranda Putri “Bagaimana rencanamu hari ini?”ujar pria paruh baya itu kepada anaknya. Sang anak, hanya terdiam sembari mengigit apel merah dalam genggamann Sang pria tak lagi bertanya, ia malah sibuk dengan waffle yang sedang digoreng “Bukan urusan ayah.” Ujar anak itu akhirnya. Pria paruh baya itu menoleh, lalu kemudian dia menggumam “Ya, memang bukan urusanku.” a lalu ban meninggalkan sang anak yang masih sibuk sendiri dalam pikirannya. “!yah...” Sang pria paruh baya menoleh. “"angan kha#atirkan aku. !ku sudah de#asa dan bisa hidup sendiri. Urus aja kehidupan ayah sendiri.” Sebagai pensiunan pega#ai negeri yang tak memiliki usaha di usia senja, $aniel tak banyak pilihankegiatan apalagi semenjak mendiang istrinya mendahuluinya ke surga. Berkebun, memasak, merapikan rumah, hal%hal yang di masa muda selalu diserahkan kepada istrinya. &ubungannya dengan "ose, anak semata#ayangnya, juga tidak pernah berjalan mulus, bahkan sebelum ibu "ose meninggal. "ose hanya menghabiskan #aktu di rumah pada pagi dan meninggalkan pria paruh baya itu sendiri di rumah “"ose, kau carilah calon istri. Biar ayah tak mengurus kehidupanmu.” “!ku sudah memilikinya. 'ami berencana menikah akhir tahun ini.” “Baiklah, kau ba#a dia kesini. !ku ingin melihat seperti apa pilihan anak $aniel lalu tersenyum singkat. “!da yang ingin kau makan untuk malam ini? !yah akan ke supermarket untuk membeli beberapa barang yang habis.” “(idak. (erimakasih. !ku akan pulang larut hari ini.” )))

Upload: miranda-riski

Post on 05-Oct-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

LLL

TRANSCRIPT

Memory

By: Riski Miranda Putri

Bagaimana rencanamu hari ini?ujar pria paruh baya itu kepada anaknya. Sang anak, hanya terdiam sembari mengigit apel merah dalam genggamannya. Sang pria tak lagi bertanya, ia malah sibuk dengan waffle yang sedang digorengnya.

Bukan urusan ayah. Ujar anak itu akhirnya. Pria paruh baya itu menoleh, lalu kemudian dia menggumam Ya, memang bukan urusanku. Ia lalu bangkit, meninggalkan sang anak yang masih sibuk sendiri dalam pikirannya.Ayah...

Sang pria paruh baya menoleh. Jangan khawatirkan aku. Aku sudah dewasa dan bisa hidup sendiri. Urus aja kehidupan ayah sendiri.

Sebagai pensiunan pegawai negeri yang tak memiliki usaha di usia senja, Daniel tak banyak pilihan kegiatan apalagi semenjak mendiang istrinya mendahuluinya ke surga. Berkebun, memasak, merapikan rumah, hal-hal yang di masa muda selalu diserahkan kepada istrinya.

Hubungannya dengan Jose, anak sematawayangnya, juga tidak pernah berjalan mulus, bahkan sebelum ibu Jose meninggal. Jose hanya menghabiskan waktu di rumah pada pagi dan meninggalkan pria paruh baya itu sendiri di rumah.

Jose, kau carilah calon istri. Biar ayah tak mengurus kehidupanmu.

Aku sudah memilikinya. Kami berencana menikah akhir tahun ini.

Baiklah, kau bawa dia kesini. Aku ingin melihat seperti apa pilihan anakku. Daniel lalu tersenyum singkat.

Ada yang ingin kau makan untuk malam ini? Ayah akan ke supermarket untuk membeli beberapa barang yang habis.

Tidak. Terimakasih. Aku akan pulang larut hari ini.***

Keju, basil, tomat, daging asap, roti. Ah, apalagi yang terlupa? Ujar Daniel kepada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat apalagi yang mesti ada dalam belanjaannya.

Ada lagi, kek? Tegur Keyla, kasir yang sudah sangat mengenal Daniel. Daniel hanya menyunggingkan senyum lalu menggeleng.

Semuanya 250 ribu, kek. Daniel lalu merogoh sakunya. Dimana dompetnya?

Sebentar. Kurasa ada disini. Ujar Daniel sembari meraba saku kiri celananya. Nihil.

Ya sudah. Pakai uang saya dulu, kek. Nanti kakek ganti setibanya kakek di rumah.

Oh, terimakasih. Kau memang gadis yang cantik dan baik hati.

Hari ini Daniel akan memasak pizza. Masakan itu adalah satu-satunya masakan yang dia hapal luar kepala. Setelah menyiapkan dough, ia mulai sibuk dengan saus tomat, basil, daging asap. Tiga puluh menit berlalu dan pemandangan kini berganti dengan satu pan pizza hangat.

Terdengar suara klakson mobil. Sepertinya Jose pulang cepat hari ini. Tak lama kemudian Jose masuk, menghampirinya di dapur dan mencomot pizza.

Ayah melupakan sesuatu.

Dahi Daniel berkerut. Apa?

Bagaimana ini bisa dinamakan pizza jika tidak ada keju di dalamnya?

***

Hari ini hari yang cerah, terutama bagi Daniel yang telah sekian lama tak menghirup udara pagi yang bersih. Hari ini ia memutuskan untuk berkebun dan menanam beberapa bunga daisy yang bibitnya ia beli entah kapan. Daisy adalah bunga favorit mendiang istrinya dan menanam bunga ini seperti menanam kembali nostalgia manis bersamanya.

Ah, wanitaku. Kau pasti senang jika aku memenuhi taman kita dengan Daisy kesukaanmu.

Ia lalu menuju gudang dan mengambil peralatan berkebun miliknya.

Apa yang harus kulakukan terlebih dahulu? Mencangkul atau menebar pupuk?

Ia lalu menebar pupuk asal lalu menyiraminya dengan air.

***

Ayah... ujar Jose memulai pembicaraan saat mereka berdua sudah duduk di ruang keluarga. Daniel yang sibuk dengan headline dalam koran paginya yang baru sempat dibaca sekarang sontak mengangkat kepala dan memindahkan pandangannya ke Jose.

Ada apa, anakku?

Besok aku akan membawanya ke rumah. Kuharap ayah tidak membuatnya merasa tak nyaman.

Bawa saja dulu wanitamu dan biar Ayah yang memutuskan akan bersikap seperti apa padanya.

Jose terdiam. Udara di sekeliling mereka seketika terasa menggantung. Daniel yang memahami situasi tak nyaman itu segera membuka suara Kau tenang saja. Aku akan bersikap baik padanya.

Apa ayah melupakan sesuatu? tegur Jose saat membuka lemari es.

Apa itu?

Aku tidak suka selada dan kurasa ayahpun juga. Ujarnya sembari menunjukkan tumpukan selada yang dibeli Daniel.

Entahlah. Aku juga bingung kenapa aku bisa membelinya.

Jose mendengus. Iya kesal dengan sikap Ayahnya akhir-akhir ini. Membeli barang yang tidak diperlukan dan melupakan hal penting yang mesti dilakukan. Lupa membawa dompet, lupa resep pizza. Apa ayah sudah pikun? Pikirnya dalam hati.

Ayah menanam bunga kesukaan ibumu.

Kurasa ayah tak memiliki bibit mawar di gudang.

Bukannya ibumu menyukai Daisy?

Ayah ingat hari ini hari apa? ucap Jose kemudian, mengalihkan pembicaraan.

Tentu saja. Hari ini hari rabu. Atau kamis? koreksinya.

Jose menggeleng pelan. Disorientasi waktu seperti ini pun sudah hampir kronis. Ini hari Selasa, Ayah.

Setelah sepenggal pembicaraan itu mengudara, tiba-tiba terdengar suara Kurt Cobain menggema. Jose segera mengangkatnya.

Halo? Ya? Jose segera menjauhi ayahnya, lalu berbicara dengan seseorang di seberang sana. Kurasa kita perlu membatalkan rencana kita esok. Ditekannya end call.

Siapa?

Hanna.

Kenapa kau membatalkan rencanamu?

Tidak apa-apa. Selamat malam, Yah. Ujar Jose dingin, sembari bergerak menuju kamarnya. Dia lalu menelpon Hanna kembali.

Kita bisa bertemu? Ada yang ingin kutanyakan padamu.

***

Kupikir ayahmu terkena Demensia Alzheimer. Penyakit itu membuat sel otak ayahmu menyusut dan salah satu dampaknya adalah sebagian memory-nya menghilang. Ujar Hanna kemudian setelah sekitar lima belas menit mendengar penjelasan Jose.

Entahlah. Aku sendiri pikir itu penyakit menua biasa.

Kau harus menemaninya, menjaganya. Menjadi lupa adalah hal yang paling menyedihkan bagi seseorang, terutama bila hanya dalam ingatan dia bisa memiliki orang yang dicintainya.

Maksudmu?

Ibumu dan kau, Jose Nathaniel , putra kecilnya yang telah beranjak dewasa. Tidakkah kau pikir bahwa dia merasa kesepian dan sebuah pelukan anak laki-laki mungkin obat terbaik yang bisa dimilikinya.

Apa yang mesti kulakukan?

Bantu dia menjalani hidup. Hidupkan kenangan yang pernah ada dan ciptakan kenangan indah yang baru bersamanya. Sederhana saja.

Itu terlalu dramatis. Kau tahu aku kaku akan hal itu.

Mulailah. Demi ayahmu.

Lalu, kau mau menemaniku menghidupkan kenangan itu dan membuat satu untuk kita? Jose lalu menarik tangan Hanna dan membawa wanita itu dalam pelukannya. Hanna mengangguk pelan dan tenggelam dalam rengkuh erat Jose yang membuatnya selalu merasa nyaman.

Suara Kurt Cobain kembali menggema. Halo? Oke aku segera kesana.

Kenapa?

Ayah lupa jalan pulang.

Jose dan Hanna lalu segera menuju kantor polisi tak jauh dari kafe.

Ayah jangan pergi kemana-kemana jika tak ada aku. Sergah Jose kemudian saat menemukan ayahnya duduk di sudut kantor polisi.

Aku bosan.

Hanna lalu tersenyum Tuan Daniel, kurasa anak anda benar. Dia hanya takut kalau terjadi apa-apa dengan anda.

Kau wanita itu? Yang disukai anakku? Hanna segera menoleh ke arah Jose dan mendapati Jose menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Iya. Bagaimana kalau kita minum teh bersama?

Aku suka earl grey.

***

Mereka bertiga menghabiskan secangkir teh pada sebuah toko donat franchise ternama. Membicarakan semuanya, dari A sampai Z. Jose sendiri lebih banyak diam, meski sesekali dia terlihat memanggut, menggeleng dan menyumbang tawa kecil dari bibirnya. Sementara Daniel dan Hanna sibuk dengan percakapan mereka, Jose mengamati ayahnya dalam diam, mengamati sosok tua yang telah membesarkannya.

Kau tidak suka teh?

Dia menyukai teh, sepertiku. Ucap Daniel percaya diri.

Ayah, aku tidak suka teh. Apa ayah lupa? gumam Jose geram. Lagi-lagi, ayahnya melupakan sesuatu, bahkan tentang kesukaannya.

Seingatku kau menyukai teh, Jose.

Terserah ayah.

Hmm, mungkin sekarang Jose tidak lagi menyukai teh, Mister Daniel. Dia menyukai kopi pekat, dengan satu sendok kecil gula.

Yah, semua itu bisa saja berubah seiring waktu.

Dimana ibumu? Apa dia memberitahumu kenapa datang terlambat? ucap Daniel kemudian.

Ayah, ibu sudah lama meninggal.

Kau tidak perlu membohongiku. Suara Daniel mulai meninggi.

Ayah yang pelupa tapi kenapa aku yang dituduh berbohong?

Hanna lalu memandangi kedua ayah dan anak itu bergantian. Mereka terlihat sama-sama keras kepala. Harus ada yang mencairkan es diantara dinding hati mereka.

Bagaimana anda biasanya menghabiskan hari anda, Mister Daniel? Hanna lalu mengganti topik pembicaaan dan membuat Daniel terdistorsi dari kekesalan tersirat Jose yang didapati Hanna dari ekor matanya.

***

Terimakasih untuk tehnya. Kau memang manis. Dan mulai sekarang kau mesti memanggilku ayah Ucap Daniel sebelum meninggalkan Jose dan Hanna berdua. Hanna hanya mengangguk sopan dan memberi salam perpisahan seadanya.

Terimakasih. Ucap Jose pelan.

Untuk?

Mau bersikap baik kepada ayahku yang pikun itu.

Hei, bagaimanapun juga dia ayahmu.

Aku lelah menghadapinya.

Apa dia pernah lelah mengajarimu merangkak, berdiri lalu berjalan? Tentu tidak, kan? Kau hanya perlu bersabar sedikit. Semua ini tentu tidak setimpal atas apa yang telah dia lakukan kepadamu selama ini. Berbaktilah selagi ada waktu, sebelum kau meratapi waktu yang tak akan pernah kembali lagi.

Maafkan aku.

Kau tidak perlu meminta maaf dariku. Kita akan bersama-sama merawat ayahmu.

Ayahku? Ayah kita! Goda Jose yang kemudian membuat pipi Hanna bersemu merah muda.

Ya, sebentar lagi dia akan menjadi ayah kita berdua.

*FIN*