rhinosinusitis iii

15
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. 23 Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung. 7 Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai muara (ostium) di dalam rongga hidung. 7 Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid. 24 Berikut adalah gambar anatomi sinus paranasal. Universitas Sumatera Utara

Upload: bramanda-sml-tobing

Post on 08-Feb-2016

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Rhinosinus

TRANSCRIPT

Page 1: Rhinosinusitis III

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam

tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.7 Sinus

paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus

etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri.23 Sinus paranasal berfungsi sebagai

pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu

resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mukus

untuk membersihkan rongga hidung.7

Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus

sfenoid dan sinus frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan

lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai muara

(ostium) di dalam rongga hidung.7

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan

sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus

etmoid dan sinus sfenoid.24

Berikut adalah gambar anatomi sinus paranasal.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Rhinosinusitis III

2.2. Pemb

2.2.1. Sinu

Sin

tulang ma

berkemban

15-18 tahu

menghadap

Da

premolar (

molar M3.

gigi geligi

2.2.2. Sinu

Sin

fetus, bera

agian Sinu

us Maksila

nus maksila

aksila.7 Saa

ng mencapa

un. Bentuk s

p ke lateral

sar sinus m

(P1 dan P2)

. Akar-akar

mudah naik

us Frontal

nus frontal t

asal dari sel-

Gamb

s Paranasa

merupakan

at lahir sin

ai ukuran ma

sinus maksi

dan meluas

maksila sang

), molar (M

r gigi terseb

k ke atas me

terletak di o

-sel resesus

bar 2.1. Ana

al

n sinus para

nus maksila

aksimal yai

ila ini adala

ke arah pro

gat berdeka

1 dan M2),

but dapat m

enyebabkan

os frontal d

frontal atau

atomi Sinus

anasal terbe

a bervolum

itu 15 ml (3

ah seperti pi

osesus zygom

atan dengan

kadang-kad

menonjol ke

rinosinusiti

dan mulai te

u dari sel-se

Paranasal

esar dan ter

me 6-8 ml,

4 x 33 x 23

iramid deng

matikus dar

n akar gigi

dang juga g

dalam sinu

is.7

erbentuk sej

el infundibu

rdapat pada

, sinus kem

3 mm) saat

gan bagian

ri maksila.25

rahang atas

gigi taring d

us sehingga

jak bulan k

ulum etmoid

daerah

mudian

berusia

puncak

s, yaitu

dan gigi

infeksi

keempat

d. Sinus

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Rhinosinusitis III

frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal

sebelum usia 20 tahun.7 Volume sinus ini sekitar 6–7 ml (28 x 24 x 20 mm).25

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak

adanya gambaran lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya

infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan

fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah

ini.7

2.2.3. Sinus Etmoid

Sinus etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru

dilahirkan. Pada saat janin yang berkembang pertama adalah sel anterior diikuti oleh

sel posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai umur 12 tahun. Gabungan

sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14 mm). Bentuk sinus

etmoid seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang tipis.25

Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di dalam etmoid anterior

terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium

sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan rinosinusitis frontal

dan peradangan di infindibulum dapat menyebabkan rinosinusitis maksila.7

2.2.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar tengkorak, tidak

berhubungan dengan dunia luar sehingga jarang terkena infeksi.26 Sinus ini terletak

dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.7 Sinus sfenoid dibentuk di dalam

kapsul rongga hidung dari hidung janin dan tidak berkembang hingga usia 3 tahun.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Rhinosinusitis III

Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan volume sekitar 7,5 ml (23 x

20 x 17 mm).25

Sebelah superior sinus sfenoid berbatasan dengan fosa serebri media dan

kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring, sebelah lateral dengan

sinus kavernosus dan a. karotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan

fosa posterior di daerah pons.7

2.3. Defenisi Rinosinusitis Kronik

Rinosinusitis kronik adalah suatu peradangan mukosa hidung dan sinus

paranasal yang terjadi lebih dari 12 minggu.27 Kriteria rinosinusitis kronik menurut

International Conference on Sinus Disease 1993 yaitu lama gejala > 12 minggu,

jumlah episode serangan akut > 4 kali/tahun dan > 6 kali/tahun (pada anak), serta

reversibilitas mukosa tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan

medikamentosa.10

Rinosinusitis kronik diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena yaitu

rinosinusitis maksila, rinosinusitis frontal, rinosinusitis etmoid dan rinosinusitis

sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila

mengenai semua sinus disebut pansinusitis.7

2.4. Etiologi

Rinosinusitis terjadi akibat proses inflamasi yang umumnya disebabkan

infeksi bakteri. Bakteri seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,

Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Rhinosinusitis III

Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis

juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus

dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).27

Rinosinusitis kronik umumnya merupakan lanjutan dari rinosinusitis akut

yang tidak terobati secara adekuat. Bakteri yang paling umum menjadi penyebab

rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik adalah Streptococcus pneumonia,

Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis.7

2.5. Patofisiologi

Pada dasarnya patofisiologi rinosinusitis kronik terkait dua faktor yaitu

patensi ostium dan klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks

ostiomeatal. Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut

merubah fisiologi sinus dan menimbulkan rinosinusitis. Kegagalan transport mukus

dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis

kronik.28

Rinosinusitis kronik berawal dari adanya sumbatan akibat oedem hasil proses

radang di daerah kompleks ostiomeatal. Sumbatan di daerah kompleks ostiomeatal

menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia menjadi kurang

aktif dan lendir yang diproduksi oleh mukosa sinus menjadi lebih kental.7

Sumbatan yang berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya

hipoksia dan retensi lendir yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob

untuk berkembang biak. Selain itu, bakteri juga memproduksi toksin yang akan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Rhinosinusitis III

merusak silia sehingga terjadi hipertrofi mukosa dan memperberat sumbatan di

kompleks ostiomeatal yang selanjutnya dapat menyebabkan polip atau kista.29

2.6. Gejala Klinis

Menurut The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery

(AAO-HNS) 1997, gejala rinosinusitis kronik dapat dibagi menjadi gejala mayor dan

gejala minor. Gejala mayor yaitu obstruksi hidung/hidung tersumbat, sekret hidung

purulen, nyeri/rasa tertekan pada wajah, gangguan penciuman (hyposmia/anosmia),

dan iribilitas/rewel (pada anak). Gejala minor yaitu sakit kepala, sakit gigi, batuk,

nyeri/rasa penuh ditelinga, demam dan halitosis/bau mulut.10

2.7. Epidemiologi Rinosinusitis Kronik

2.7.1. Distribusi Rinosinusitis Kronik

a. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Orang

Penelitian Hedayati et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran, proporsi

penderita rinosinusitis kronik tertinggi yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun 42%

(21 orang). Penderita terdiri dari 26 laki-laki (52%) dan 24 perempuan (48%), dimana

keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat 48 orang (96%).30

Penelitian Nasution A.T tahun 2007 di RSUP H. Adam Malik Medan

didapatkan 30 penderita rinosinusitis maksila kronik yang terdiri dari 18 (60 %)

perempuan dan 12 (40 %) laki-laki. Setelah dilakukan pemeriksaan kultur jamur dari

sekret sinus maksila didapatkan 15 penderita rinosinusitis maksila kronik dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Rhinosinusitis III

hasil kultur jamur positif. Penderita terdiri dari 6 laki-laki (40,1%) dan 9 perempuan

(59,9%).31

Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita rinosinusitis pada

anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri dari 90 lelaki

(55,2%) dan 73 perempuan (44,8%). Kelompok umur terbanyak yaitu >6 tahun 113

orang (69,3%) dan manifestasi klinis terbanyak adalah batuk 152 orang (93,3%).

Asma ditemukan pada 84 orang (51,5%) dan rinitis alergi 44 orang (27%).32

b. Distribusi Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Tempat dan Waktu

Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika.

Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14 %

penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya.27

Prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7% dan

laki-laki 3,4%. Prevalensi rinosinusitis kronik di Scotlandia Utara dan Karibia Selatan

tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3%.33

Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita

rinosinusitis kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48

orang (39,6%) menderita asma.34 Penelitian See Goh et al (April 2001 – Agustus

2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita rinosinusitis kronik dimana 8 orang

(26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur.35

Di bagian THT RS dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan

bedah sinus endoskopi fungsional pada periode Januari 2005 - Juli 2006 yaitu 21

kasus atas indikasi rinosinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai rinosinusitis dan

30 kasus atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.10

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Rhinosinusitis III

2.7.2. Determinan Rinosinusitis Kronik

a. Faktor Host

a.1. Umur, Jenis Kelamin dan Ras

Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua

kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.10 Hasil penelitian Sogebi et al

(2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan 110 penderita rinosinusitis kronik dengan

distribusi umur yaitu < 18 tahun 21 orang (19,1%) dan ≥ 18 tahun 89 orang (80,9%).

Penderita terdiri dari 54 laki-laki (49,09%) dan 56 perempuan (50,91%), dimana

lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila 55 (70,51%).36

a.2. Riwayat Rinosinusitis Akut

Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan

atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan

edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar.27

Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan menyebabkan regenerasi

epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan

mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.28

a.3. Infeksi Gigi

Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis

maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat

dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah

klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan

menimbulkan infeksi sinus maksila.37

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Rhinosinusitis III

Penelitian Farhat tahun 2004 di RSUP H. Adam Malik Medan, penyakit gigi

yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis maksila adalah abses apikal (71,43%),

diikuti oleh periodontitis (34,29%), gingivitis (20%), fistula oroantal (8,75%), kista

dentigerous (2,86%) dan granuloma periapikal (2,86%).38

Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan desain

Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan infeksi gigi berhubungan secara

bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,000) dan diperoleh nilai

RP=12,36 (CI 95%=3,75-40,75).18

a.4. Rinitis Alergi

Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan

asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada

kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah suatu

penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang diperantarai

oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Gejalanya berupa

hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.40

Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi

menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang

membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga

menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan.

Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.39

Penelitian Eko tahun 2008 di Yogyakarta dengan menggunakan desain Case

Control, hasil analisis statistik menunjukkan rinitis alergi berhubungan secara

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Rhinosinusitis III

bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,003) dan diperoleh nilai

OR=3,95 (CI 95%=1,55-10,11).41

a.5. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya

rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam

kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih

rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.27 Hasil penelitian Primartono

tahun 2003 di Semarang, dari 31 penderita rinosinusitis maksila kronik didapatkan 3

orang (9,7%) dengan diabetes mellitus.18

a.6. Asma

Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik.

Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung sehingga

mengganggu aliran mukus.26 Hasil penelitian Seybt et al tahun 2003 di Georgia, dari

145 penderita rinosinusitis kronik didapatkan 34 orang (23,4%) menderita asma.42

a.7. Kelainan anatomi hidung

Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,

hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran

ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan menggangu

clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.33

Penelitian Munir tahun 2000 di RSUP H. Adam Malik Medan, dari 67 kasus

rinosinusitis maksila kronik ditemukan 58 kasus (86,6 %) dengan kelainan kompleks

ostiomeatal diantaranya adalah pembesaran bula etmoid 21 kasus (36 %), polip pada

konka bulosa dan konka paradoxal 16 kasus (27,6 %), kelainan prosesus unsinatus 10

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Rhinosinusitis III

kasus (17,3), polip pada metus media dan hiatus seminularis 7 kasus (12 %) serta

septum deviasi 4 kasus (6,9 %).43

Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan desain

Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan deviasi septum berhubungan

secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,019) dan

diperoleh nilai RP=4,90 (CI 95%=1,19-20,11).18

a.8. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapat

mengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener atau

sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana

terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya

gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia.

Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi

kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis.

Pada fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan

mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan

stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.44

b. Faktor Agent

Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti

Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis,

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus,

Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Rhinosinusitis III

oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus) dan

jamur (Aspergillus dan Candida).27

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu

polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran

hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila

berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin

akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini

membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian

menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut.29

2.8. Pencegahan

2.8.1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang

yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit.45 Upaya

yang dapat dilakukan yaitu memberikan imunisasi lengkap kepada bayi,

meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi, dan

meminimalkan kontak dengan orang yang sedang mengalami influenza atau penyakit

saluran pernafasan lainnya untuk menghindari penularan.46

2.8.2. Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang

telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari

komplikasi.45 Upaya yang dilakukan antara lain :

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Rhinosinusitis III

a. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.7 Anamnesis yaitu riwayat gejala yang diderita sudah lebih

dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2

kriteria minor.10 Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan dengan rinoskopi

anterior dan posterior serta pemeriksaan nasoendoskopi. Tanda khas ialah adanya pus

di meatus media (pada rinosinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau

meatus superior (pada rinosinusitis etmoid posterior dan sfenoid).7

Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis diantaranya

adalah foto polos, CT Scan (Computed Tomography Scanning), sinuskopi,

pemeriksaan mikrobiologi, tes resistensi, tomografi komputer dan MRI (Magnetic

Resonance Imaging). Foto polos umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus

besar seperti sinus maksila dan frontal. Jika terjadi kelainan akan terlihat

perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.

Penegakaan diagnosis rinosinusitis dapat dilakukan lebih sempurna dengan

menggunakan alat CT Scan karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus serta

adanya penyakit pada hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun

karena harganya mahal, CT Scan hanya digunakan sebagai penunjang diagnosis

rinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai

panduan operator saat melakukan operasi sinus.

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil

sekret dari meatus medius/superior untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna.

Sinuskopi dilakukan dengan menggunakan alat endoskop dengan cara menembus

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Rhinosinusitis III

dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior untuk melihat kondisi sinus

maksila dan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. Pemeriksaan

tomografi komputer dan MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan kompilkasi orbita

dan intrakranial.

b. Pengobatan

Pengobatan pada rinosinusitis kronik pada prinsipnya adalah memperbaiki

drainase dan menormalkan kembali atau membuang lapisan mukosa yang telah

mengalami kerusakan. Pengobatan pada rinosinusitis kronik terbagi 2 yaitu :

b.1. Penggunaan obat

Obat yang digunakan meliputi obat anti alergi dan dekongestan, obat

mukolitik untuk mengencerkan sekret, obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeri,

dan obat antibiotik. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah golongan pinisilin

seperti amoksilin, diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.7

b.2. Operasi

Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi pembedahan, yaitu

mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena.

Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus etmoid

dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau

dari luar hidung (ekstranasal). Drainase sekret pada sinus sfenoid dapat dilakukan

dari dalam hidung (intranasal) dan sinus frontal dapat dilakukan dengan operasi

Killian.29

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Rhinosinusitis III

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini untuk

rinosinusitis kronik yang memerlukan operasi. Prinsipnya ialah membuka sumbatan

di daerah kompleks osteomeatal dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.7

2.8.3. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan

mengadakan rehabilitasi.45 Upaya yang dapat dilakukan antara lain : makan makanan

yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mempercepat

penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan antibiotik.46

2.9. Komplikasi

Kompikasi yang terjadi pada rinosinusitis kronik yaitu berupa komplikasi

orbita dan intrakranial. Komplikasi orbita biasanya disebabkan oleh rinosinusitis

etmoid, frontal dan maksila. Hal ini dikarenakan letak sinus yang berdekatan dengan

mata (orbita) sehingga infeksi pada sinus dapat menyebar ke mata melalui

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang timbul yaitu berupa edema

palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, dan abses orbita.

Komplikasi intarakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau

subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Selain itu, komplikasi yang

dapat terjadi pada rinosinusitis kronik yaitu osteomilitis yang timbul akibat

rinosinusitis frontal dan maksila.7

Universitas Sumatera Utara