laporan kasus rhinosinusitis

44
BAB 1 PENDAHULUAN Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis. Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat di ikuti infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus maksila dan etmoid, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intra kranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit di obati. 1

Upload: putrii-joan

Post on 16-Feb-2016

479 views

Category:

Documents


64 download

DESCRIPTION

rhinosinusitis

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan kasus Rhinosinusitis

BAB 1PENDAHULUAN

Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung

dan sinus paranasalis. Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan

dalam praktek dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab

gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah selesma

(common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang

selanjutnya dapat di ikuti infeksi bakteri.

Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila

mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena

ialah sinus maksila dan etmoid, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus

sphenoid lebih jarang lagi. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena

menyebabkan komplikasi ke orbita dan intra kranial, serta menyebabkan

peningkatan serangan asma yang sulit di obati.

Rinosinusitis diklasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut,

rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronik. Insiden rinosinusitis di Amerika

Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa. Kasus

rinosinusitis kronis itu sendiri sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai

22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah 200.000 orang dewasa

Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung

dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau

sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera

1

Page 2: Laporan kasus Rhinosinusitis

Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama

dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung

dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-

Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut

adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30%

mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Sinusitis

pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran

nafas atas 6 – 8 kali per tahun dan diperkirakan 5%– 10% infeksi saluran nafas

atas akan menimbulkan sinusitis.1

2

Page 3: Laporan kasus Rhinosinusitis

BAB 2STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA

1. Nama : M. yusuf

2. Umur : 13 tahun

3. Jenis kelamin : Laki-laki

4. Suku : Aceh

5. Agama : Islam

6. Pekerjaan : Pelajar

7. Alamat : Kr. seupeng

8. Tanggal Pemeriksaan : 4 November 2013

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Hidung tersumbat dikedua bagian hidung

Keluhan Tambahan : bersin–bersin, nyeri bagian wajah menjalar ke

kepala, ingus turun ke tenggorok.

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli THT dengan keluhan

hidung tersumbat dikedua hidung sejak 5 bulan yang lalu. Selain itu

pasien juga sering mengeluh bersin-bersin dipagi hari dan juga mengeluh

nyeri di bagian pipi kiri dan kanan dan berlanjut ke bagian kepala,

keluhan dirasakan hilang timbul dan semakin memberat rasa nyeri sangat

terasa memberat bila kepala ditundukkan. Pasien juga mengaku ada

gangguan pada hidung seperti sulit bernafas terutama saat tidur dan

mengeluarkan cairan kental jernih yang hilang timbul, keluhan sering

timbul di pagi hari atau dipicu oleh debu. Pasien juga pernah merasa

3

Page 4: Laporan kasus Rhinosinusitis

seperti tertelan ingus. Demam (-) batuk (-), nyeri menelan (-), gangguan

pada telinga (-).

3. Riwayat penyakit dahulu : Alergi

4. Riwayat penyakit keluarga : disangkal

C. STATUS GENERALIS :

1. Keadaan Umum : Baik

2. Keadaan Penyakit : Sedang

3. Kesadaran : Compos Mentis

4. Tekanan Darah : 110/70 MmHg

D. STATUS LOKALIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, telinga dan

tenggorok tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat

mukosa di kavum nasi kiri dan kanan livide, krusta (-), sekret (-), massa (-), konka

inferior hipertropi, septum deviasi ke kanan. Pada pemeriksaan rinoskopi

posterior terdapat post nasal drip. Pada pemeriksaan cavum oris dalam batas

normal, tonsil palatina T1/T1, mukosa faring hiperemis. Selanjutnya dilakukan

pemeriksaan foto polos SPN posisi water’s, didapatkan perselubungan (radio

opak) di kedua sinus maksila.

4

Page 5: Laporan kasus Rhinosinusitis

Pemeriksaan foto polos SPN

E. DIAGNOSA DAN TERAPI

Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan dari hasil ronten SPN

didapatkan diagnosa Rhinosinusitis Kronis. Pasien diterapi dengan antibiotik,

dekongestan, analgetic dan mukolitik.

5

Page 6: Laporan kasus Rhinosinusitis

BAB 3TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal

2.1.1 Embriologi sinus paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2

bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus.

Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus

sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak

lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak

lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun

perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus

frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang

lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan

berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada

umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2

2.1.2 Sinus Maksila

Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah medial

orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian

terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi.

Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah

erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18

tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang

6

Page 7: Laporan kasus Rhinosinusitis

terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan

puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut Moris pada

buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7–8 x 4–6 mm

dan untuk usia 15 tahun 31–32 x 18–20 x 19–20 mm. Sinus maksila merupakan

sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6–8 ml, sinus

kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,

yaitu 15 ml saat dewasa.

Perdarahan pada sinus maksila meliputi cabang arteri maksilaris termasuk

infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri greater palatine

serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan vena yang

mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan plexus vena

pterygoid.

Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris (V2) yang

mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior nasal dan cabang

superior alveolar dari nervus infraorbita.3

Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:

a. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum,

prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian

kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksila merupakan dinding lateral

hidung dimana terdapat ostium sinus yang menghubungkan sinus maksila

dengan infundibulum ethmoid. Ostium ini terletak pada bagian superior dari

dinding medial, biasanya pada pertengahan posterior dari infundibulum, sekitar

7

Page 8: Laporan kasus Rhinosinusitis

9 mm ke arah posterior duktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium

berlanjut ke lamina papyracea dari tulang etmoid.

b. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang yang

tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis.

c. Dinding posterior–inferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan dibentuk

oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum durum. Dinding

posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporal dan fossa pterigomaksila1.

d. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang berhadapan dengan

fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit pipi.4

Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak

letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan pada dewasa letaknya 4- 5

mm dibawah dasar cavum nasi.

Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa

sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat

menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan

sinusitis.5

2.1.3 Sinus Frontal

Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan

kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses. Sinus ini

jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua setelah kelahiran,

kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal pada tulang frontal

dan telah lengkap pada usia remaja.

8

Page 9: Laporan kasus Rhinosinusitis

Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus ini.

Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan volume

6 sampai 7 ml. Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan

supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yang

mengalir kedalam sinus kavernosus.

Sensasi mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangan

supratroklear nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (V1).

Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital dan akar

hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midline dengan

ukuran masing-masing yang bervariasi. Sinus frontal sangat berhubungan erat

dengan tulang etmoid anterior.

Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior obliq dan posterior

dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita. Ostium alami dari sinus

ini terletak di anteromedial dari dasar sinus. Sel-sel infraorbita bisa terobstruksi

dan membentuk mukokel yang terisolasi dari ostium dan sinus etmoid.6

2.1.4 Sinus Etmoid

Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah

kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah

meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat

setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak.

Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.

Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground

lamella), konka superior dan konka suprema .

9

Page 10: Laporan kasus Rhinosinusitis

Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia

dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x

20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya

mengandung 10–15 sel persisi dengan total volume 14–15 ml.

Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri

etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis

interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yang

mengalir kedalam sinus kavernosus.

Inervasi persarafan dari sinus etmoid ini berasal dari cabang posterolateral

hidung dari nervus maksilaris (V2) dan cabang nervus etmoidalis dari nervus

optalmikus (V1).

Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi dan merupakan

subjek penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yang tipis dengan

jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasan dengan dinding

medial orbita (lamina papyracea) dan bagian medial dari kavum nasi.

Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan

midline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila.

Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatus media,

sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus superior.6

2.1.5 Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yang

merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi,

yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess.

10

Page 11: Laporan kasus Rhinosinusitis

Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak dan

mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini mengalami

pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15 tahun.

Sinus sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septum

intersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan 14

x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml.

Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri

etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan

pleksus pterigoid. Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari cabang

nervus etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal dan

sfenopalatina dari nervus maksilaris.

Sinus sfenoid ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri

karotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus.

Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris

dari nervus kranialis kelima dan ke-enam.

Dibagian superior terletak lobus frontalis dan bagian olfaktori. Dibagian

posterior terdapat fosa pituitari. Nervus dan pembuluh darah sfenopalatina terletak

didepan dari sinus sfenoid ini, sedangkan nervus vidianus terletak dibagian

inferiornya.5

11

Page 12: Laporan kasus Rhinosinusitis

2.2 Fisiologi Sinus Paranasal

Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan masih

belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal

tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan

tulang muka.

Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat

membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,

melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan

penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanya

berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit.6

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan,

sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan

rongga hidung.

12

Page 13: Laporan kasus Rhinosinusitis

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000

volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk

pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai

vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung.

2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi

kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-

organ yang dilindungi.

3. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan

memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini

dianggap tidak bermakna.

4. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan

ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif,

lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan

tingkat rendah.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

13

Page 14: Laporan kasus Rhinosinusitis

6. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini

keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategi.4

2.3 Mukosa Sinus Paranasal

Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang

berkesinambunagn dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis

dari epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar,yaitu epitel torak bersilia, epitel torak tidak

bersilia, sel basal dan sel goblet. Sel-sel bersilia memiliki 50-200 silia per sel.

Data penelitian menunjukan sel ini berdetak 700-800 kali per menit, dan

pergerakan mukosa pada suatu tingkat 9 mm per menit.

Sel tidak bersilia ditandai oleh mikrovili yang menutupi daerah apikal sel

dan berfungsi untuk meningkatkan area permukaan. Ini penting untuk

meningkatkan konsentrasi dari ostium sinus. Fungsi sel basal belum diketahui.

Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat bertindak sebagai suatu sel

stem. Sel goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk viskositas dan

elastisitas mukosa. Sel goblet dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis

dimana rangsangan saraf parasimpatis menghasilkan mukus yang kental dan

rangsangan saraf simpatis bekerja sebaliknya. Lapisan epitel disokong oleh suatu

dasar membran yang tipis, lamina propia, dan periosteum.3

14

Page 15: Laporan kasus Rhinosinusitis

BAB 3RINOSINUSITIS

3.1 Definisi Rinosinusitis

Rinosinusitis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang

dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita, dan sesuai dengan 2

kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.

Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip,

gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham, nyeri

telinga, batuk, demam, halitosis.

Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis

maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai

beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus

paranasal disebut pansinusitis.

Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis

etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang.7

3.2 Etiologi Rinosinusitis

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip

hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan

kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,

diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan penyakit fibrosis kistik.8

15

Page 16: Laporan kasus Rhinosinusitis

3.3 Patofisiologi Rinosinusitis

Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan

perluasan infeksi dari hidung. Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan

manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya

tidak pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung.

Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang

merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan

penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM. Seperti

peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase

sehingga terjadi sinusitis.

Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa

atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit

sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya.

Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM,

berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini

berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat

lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih.

Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu

sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan

terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena

gangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi

kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan

media yang baik untuk tumbuh kuman patogen.

16

Page 17: Laporan kasus Rhinosinusitis

Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi

dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine,

proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain-

lain.9

3.4 Gejala dan tanda klinis

1. Gejala Subjektif

a. Nyeri

Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.

Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari

lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh

mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-

gigi ini.10

b. Sakit kepala

Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis.

Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya

kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya.

Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu

tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat

17

Page 18: Laporan kasus Rhinosinusitis

kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari,

sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas

kesisi lainnya.

Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan

badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap

saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.

Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan

berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan

pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam

rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.11

c. Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada

penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah.

d. Gangguan penghidu

Indra penghidu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang

tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya

penghidu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius

didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung

terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghidu.

Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal

nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat

kembali normal setelah infeksi hilang.12

18

Page 19: Laporan kasus Rhinosinusitis

2. Gejala Objektif

a. Pembengkakan dan udem

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi

pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari

mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.

b. Sekret nasal

Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,

sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.

Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan

kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya

merupakan tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid

anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius13.

3.5 Pemeriksaan Rinosinusitis

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah

sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi

posterior.14

19

Page 20: Laporan kasus Rhinosinusitis

2. Transluminasi

Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai

untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan

radiologik tidak tersedia.

3. Pemeriksaan radiologi

a. Foto rontgen sinus paranasal

Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan

Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika

ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa.

Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas

yang paralel dengan dinding sinus.

Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus

alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi

atau daerah periodontal.

Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya

batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak .14

20

Page 21: Laporan kasus Rhinosinusitis

b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal

Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada

penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-

Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.

CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan

visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,

rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,

lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek

osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.

CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan

sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk

digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.

Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi

Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,

Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 :

Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.14

4. Nasoendoskopi

Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan

karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan

faktor lokal penyebab sinusitis.

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi,

meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau

tumor.15

21

Page 22: Laporan kasus Rhinosinusitis

3.6 Diagnosis Rinosinusitis

Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of

Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah

rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau

lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih.

Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor skor diberi

skor 2 dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai

berikut; Gejala Mayor: Nyeri sinus = skor 2, Hidung buntu = skor 2, Ingus

purulen = skor 2, Post nasal drip = skor 2, Gangguan penghidu = skor 2,

Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala = skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri

telinga = skor 1, Batuk = skor 1, Demam = skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor

total gejala klinik = 16 Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan

menjadi dua, yaitu; sedang-berat (skor ≥8), dan ringan (skor <8) dengan Skor total

gejala klinik: skala nominal.1

3.7 Penatalaksanaan

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti

deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,

polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan

penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan.

Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial

yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.

a. Medikamentosa

1. Antibiotika

22

Page 23: Laporan kasus Rhinosinusitis

Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan

sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada

terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin

sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan

antibiotik diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.

Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti

siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada

bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol.

Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi

kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan

pemeriksaan nasoendoskopi maupun.16

2. Terapi Medik Tambahan

Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal

mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik

dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan

sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.

Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.

Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus

dilakukan dengan hati-hati.

Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan

hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama

(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.

23

Page 24: Laporan kasus Rhinosinusitis

Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih

dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian

juga kemungkinan imunoterapi.

Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik

yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine,

fexofenadine dan loratadine.

Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan

kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin,

sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan

perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.

Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan

non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal,

keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius

hilang .

Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.

Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa

keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat

membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot

merata.16

b. Penatalaksanaan Operatif

Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan

optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan

bedah.

24

Page 25: Laporan kasus Rhinosinusitis

Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,

Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

(BSEF) dapat dilaksanakan Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan

usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami.17

Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka

berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-

Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan

normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga

drainase dapat sembuh kembali.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat

dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan

konservatif yang lebih efektif dan fungsional.

Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang

sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya

kelainan patologi dirongga-rongga sinus.

Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap

berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.15

3.8 Komplikasi Rinosinusitis

Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan

antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:

A. Osteomielitis dan abses subperiostal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.

25

Page 26: Laporan kasus Rhinosinusitis

B. Kelainan Orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).

Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila .

Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.

Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses

subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus

kavernosus.

C. Kelainan Intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus

kavernosus.

D. Kelainan Paru

Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal

disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul

asma bronkial.18

26

Page 27: Laporan kasus Rhinosinusitis

BAB 4KESIMPULAN

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek

dokter sehari sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan

kesehatan tersering seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah selesma (common

cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang

selanjutnya dapat di ikuti infeksi bakteri.

Gejala yang paling sering di keluhkan ialah nyeri kepala, obstruksi hidung

dan adanya sekret hidung berupa serosa, dan pada pemeriksaan fisik di dapatkan

nyeri tekan pada sinus yang terkena. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior di

temukan mukosa livide, dan konka hipertropi. Dan pada pemeriksaan rontgen

SPN tampak gambaran radio opak pada sinus yang terkena. Penatalaksanaan

untuk rinosinusitis bisa secara konservatif dan operatif.

27

Page 28: Laporan kasus Rhinosinusitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Darmawan, S., dkk, 2005. Gambaran Klinis Pasien Sinusitis di Departemen FKUI RSCM 1998-2004. Media Medika Indonesia Volume 40 Nomor 3.

2. Ballenger jj, 1997. Infeksi Sinus Paranasal Penyakit Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Jakarta: Bina Aksara.

3. Suejipto D, Mangkusumo,. 2010. Anatomi hidung dan sinus paranasal Jakarta: EGC.

4. Stammberger, H., Lund, V.J., 2008. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In: Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold, 1318-1320.

5. Broek, P.V.D, Feenstra L., 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta: EGC, 99-100.

6. Soepardi EA., Iskndar N., Baharuddin., Restuti 2010 Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

7. Benninger, M.S., 2008. Rhinosinusitis. In: Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold, 1439-1445.

8. Fokkens W, et al, 2007. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology 45 Supplement 20.

9. Hedayati, et al, 2010. Prevalence of Fungal Rhinosinusitis Among Patients with Chronic Rhinosinusitis From Iran. Journal de Mycologie Medicale 261.

10. Lane., A.P. and Kennedy, D.W., 2003. Sinusitis and Polyposis. In: Snow.,J.B.

11. Manor, Y. et al., 2010. Late signs and symptoms of maxillary sinusitis after sinus augmentation, School of Dental Medicine, Tel-Aviv University

12. Triolit Z, 2004. Hubungan Kelainan anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Dengan Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis Berdasarkan Gambaran CT-Scan Sinus Paranasal dan Temuan Durante Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Dalam: Tesis Bagian THT-KL FK Universitas Sumatera Utara Medan.

28

Page 29: Laporan kasus Rhinosinusitis

13. BECKER W, at all, Inflamation Of Sinuses Clinical As Pects Of Desease Of Thenose An Throar, A Pocket Reference Second Edition, Thiem.

14. Hilger, peter. A 1997, Penyakit Sinus Paranasal Boeis Buku Ajar Penyakit THT Jakarta: EGC.

15. HTA Indonesia, 2006. Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia.

16. Varonen, H., 2003. Acute rhinosinusitis in primary care: a comparison of symptoms, signs, ultrasound, and radiography. Rhinology Journal.

17. Lund, V.J. and Jones, J.R., 2008. Surgical management of rhinosinusitis. In: Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold, 1481-1495.

18. Giannoni, C.M. and Weinberger D.G., 2006. Complications of Rhinosinusitis. In: Bailey, B.J., et al. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 495-504.

.

29