css rhinosinusitis finish winda dikie 2003

Upload: dikie-mustofadijaya

Post on 07-Jan-2016

243 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

koas

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Rhinosinusitis (RS) adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis yang terjadi akibat perluasan atau penyebaran suatu rhinitis. Rhinosinusitis juga merupakan permasalahan kesahatan yang penting karena dapat mengganggu kualitas hidup, penurunan produktivitas, maupun keuangan. Istilah RS akhir-akhir ini sering digunakan untuk mengganti istilah sinusitis karena jarang peradangan mukossa sinus yang berdiri sendiri.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arivalagan dkk di RSUP Haji Adam Malik tahun 2013 insidensi RS sering terjadi pada rentang usia 31-45 tahun, lebih sering terjadi pada perempuan yaitu sekitar 54,2%. Rhinosinusitis dapat pula terjadi pada anak-anak, menurut Analysis of US National Health satu dari tujuh anak mengalami RS. Rhinosinusitis lebih dari 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan pada muosa sinus. Rhinosinusitis telah terbukti berkaitan dengan asma dan ekzema atopik, suatu penelitian dari sekelompok mahasiswa dengan RS alergika bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma. Reaksi alergi dianggap diperantarai oleh immunoglobulin, yang berkaitan dengan mekanisme Rs alergika.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan RS antara lain ISPA akibat virus, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan immunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener.

BAB II

ANATOMI

2.1. Hidung

2.1.1.Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari dua bagian, yaitu:

Hidung luar dan hidung dalam, hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan, sedangkan hidung bagian dalam dimulai dari os internum di bagian anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring.

a. Tulang

Kedua os nasale, processus frontalis maxillae, pars nasalis ossis frontalis.

b. Tulang rawan

2 cartilagines nasi laterales, 2 cartilagines alares, 1 cartilagines septi nasi.

Pada permukaan inferior terdapat 2 lubang yaitu nares anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi.

1. Septum nasi

Sebagian berupa tulang dan sebagian lagi berupa tulang rawan.

Membagi cavitas nasi menjadi 2 rongga kanan dan kiri.

Terdiri dari:

a. Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis ( membentuk bagian atas septum nasi.

b. Vomer ( membentuk bagian posteroinferior septum nasi.

c. Cartilago septi nasi

Gambar 2.1. Anatomi tulang hidung

2. Cavitas nasi

Dapat dimasuki lewat nares anterior berhubungan dengan nasofaring melalui kedua choana.

Dilapisi oleh membrane mukosa kecuali vestibulum nasi dilapisi oleh kulit.

2/3 inferior membrane mukosa ( area respiratori

1/3 superior membrane mukosa ( area olfactory.

Batas-batas

Atap ( dibedakan 3 bagian frontonasal, ethmoidal, sphenoidal.

Dasar ( processus palatines maxillae dan lamina horizontal ossis palatine.

Dinding medial ( septum nasi.

Dinding lateral ( concha nasalis.

3. Concha nasalis

Dibagi menjadi concha nasalis superior, media, dan inferior.

Membagi cavitas nasi menjadi 3 lorong, yaitu:

a. Meatus nasalis superior

Sebuah lorong sempit antara concha nasalis superior dan media.

Tempat bermuaranya sinus ethmoidalis superior melalui 1 atau lebih lubang.

b. Meatus nasalis media

Bagian anterosuperior berhubungan dengan infundibulum (jalan penghantar ke sinus frontalis) melalui duktus frontonasalis.

Sinus maxillaries juga bermuara ke meatus ini.

c. Meatus nasalis inferior

Sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap concha nasalis inferior.

Ductus nasolacrimalis bermuara di bagian anterior meatus ini.

Gambar 2.2 Hidung bagian dalam.

4. Vaskularisasi dan Persarafan

a. Perdarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui:

Cabang arteri sphenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri palatine major, arteri labialis superior (area Kiesslbach), arteri ethmoidalis posterior, rami lateralis arterial facialis.

Plexus venosus menyalurkan darah kembali ke vena sphenopalatina, vena facialis, vena ophthalmica.

Gambar 2.3. Pembuluh darah hidung

b. Persarafan

2/3 inferior membrane mukosa ( nerve nasopalatinus cabang maxillary.

Bagian anterior ( nerve ethmoidalis anterior cabang nerve nasociliaris yang merupakan cabang ophthalmica.

Dinding lateral cavitas nasi ( melalui rami nasals nervi maxillary, nerve palatines major, nerve ethmoidalis anterior.

Gambar 2.3. Persarafan hidung

2.1.2.Fisiologi Hidung

Hidung memiliki beberapa fungsi yaitu

1. Sebagai jalan napas.

2. Pengatur kondisi udara dengan mengatur kelembaban udara (dilakukan oleh palut lendir) dan mengatur suhu.

3. Sebagai penyaring dan pelindung (rambut, silia, dan palut lender.

4. Indra penghidu.

5. Resonansi suara.

6. Proses bicara ( pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal ( bersin.

2.2 Sinus Paranasal 2.2.1 Anatomi

Sinus Paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu. Sinus Paranasal adalah perluasan bagain respiratorius cavitas nasi yang berisi udara, kedalam ossacranii berikut: os frontale, os ethmoidale, os spenoidale, dan maxilla. Nama sinus-sinus ini adalah sesuai dengan nama tulang-tulang yang ditempatinya.

1. Sinus Frontalis

Terletak anatara tabula eksterna dan tabula interna ossis frontalis, dibelakang arcus superciliaris dan akar hidung. Masing-masing sinus berhubungan melalui ductus frontonasalis dengan infundibulum yang bermuara di meatus nasalis medius. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang kedua nervus supra-orbitalis.

2. Sinus Ethmoidalis

Terdiri dari beberapa rongga yang kecil, cellulae ethmoidales, di dalam massa lateral os ethmoidale, antara cavitas nasi dan orbita. Cellulae ethmoidales anterior dapat berhubungan secara tidak langsung dengan meatus nasalis medius melalui infundibulum.sinus etmoidalis dipersarafi oleh nervus ethmoidalis anterior dan nervus ethmoidalis posterior cabang nervus nasociliaris.

3. Sinus Sphenoidalis

Yang terpisah oleh sebuah sekat tulang, terletak didalam corpus ossis sphenoidalis dan dapat meluas kedalam ala major dan ala minor ossis sphenoidalis. Sinus spenoidalis terpisah dari beberapa struktur penting hanya oleh lembaran-lembaran tulang yang tipis. Nervus ethmoidalis posterior dan arteria ethmoidalis posterior mengurus persarafan dan pendarahan sinus sphenoidalis.

4. Sinus Maxilaris

Merupakan sinus yang terbesar dari semua sinus paranasales. Rongga-rongga ini berbentuk seperti limas,menempati seluruh badan masing0masing maksila. Puncak sinus maksilaris menjulang ke arah os zygomaticum, alas limas membentuk bagian inferior dinding lateral cavitas nasi. Atap sinus dibentuk oleh dasar orbita, dan dasarnya yang sempit, dibentuk oleh bagian alveolar maxilla.

Gambar 2.4. Sinus paranasal

Muara sinus, yaitu:

1. Sinus grup anterior bermuara ke meatus media:

Sinus maksilaris

Sinus frontalis

Sinus ethmoidalis anterior

2. Sinus grup posterior bermuara ke meatus superior:

Sinus ethmoidalis posterior

Sinus sphenoidalis

3. Canalis nasolacrimalis bermuara ke meatus inferior

Gambar 2.5 Sinus Paranasalis & meatus

2.2.2 Fisiologi Paranasal Sinus1. Sebagai pengatur kondisi udara ( sebagi ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.

2. Sebagai penahan suhu ( penahan panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang beruba-ubah.

3. Membantu keseimbangan kepala ( mengurangi berat tulang muka.

4. Membantu resonansi suara ( mempengaruhi kualitas suara.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara ( pada waktu bersin atau membuang ingus.

6. Membantu produksi mucus ( efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi.

BAB III

RHINITIS3.1.Rinitis Alergik

3.1.1.Definisi

Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopik yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta terjadi pelepasan mediator kimia ketika paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986)

Rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

3.1.2.Epidemiologi

Terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar Amerika pertahun.

Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda. Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur.

3.1.3.Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi.Alergen yang menyebabkan rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) : debu tungau, Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan, kecoa dan binatang pengerat.

Berdasarkan masuknya alergen dibagi atas: 1. Alergen inhalan: masuk bersamaan dengan udara pernapasan.Contoh: tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), jamur (Aspergillus, Altermaria).2. Alergen ingestan: masuk melalui saluran cerna melalui makanan.Contoh: susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang.

3. Alergen injektan: masuk melalui suntikan atau tusukan.Contoh: penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan: masuk melalui kontak kulit/jaringan mukosa.

Contoh: bahan kosmtik, perhiasan. 3.1.4.Klasifkasi

Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Gejala klinik: hidung (rinore) dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). Biasanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim.

Alergen: tepungsari (pollen) dan spora jamur.2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim.

Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu:

1. Intermitten (kadang-kadang): gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu

2. Persisten/menetap: gejala > 4 hari/minggu atau > 4 minggu.Berdasarkan tingkat berat-ringan penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yg mengganggu.

2. Sedang-berat: bila terdapat 1 atau lebih dari gangguan tsb di atas.

3.1.5.Patofisiologi

Terdapat 3 fase yang terjadi pada proses alergi. Fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor. Pada fase sensitisasi, awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.

Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3,IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE. Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE pada permukaan sel mast melalui FcR.

Pada fase aktivasi, terjadi ikatan silang antara dua atau lebih IgE melalui FcR yang mengakibatkan aktivasi sel mast dan basofil. Maka akan terjadi degranulasi sel mast dengan akibat terlepasnya mediator alergis. Mediator yang terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Histamin juga merangsang nervus vidianus sehingga terjadi gatal hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan pembengkakan mukosa dan terjadi gejala sumbatan hidung.

Fase efektor terdiri dari reaksi fase akut cepat dan reaksi fase akut lambat. Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC sel mast juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.

Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.

3.1.6.Diagnosis

Bagian ini terutama membahas alergi dalam kaitannya dengan jaringan hidung dan sinus paranasalis. Respon alergi biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung, dan renore yang encer dan banyak. Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen seperti yang terjadi pada rhinitis infeksiosa. Awitan gejala timbul cepat setelah paparan alergen, dapat berupa mata atau palatum yang gatal berair. Biasanya dapat terungkap suatu pola musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu, asap, atau inhalan lain. Gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen atau insomnia dapat juga memberi kesan suatu alergen yang ditelan, serta membedakan pasien-pasien ini dari penderita rhinitis virus. Perbedaan penting lainnya adalah rhinitis alergika umumnya berlangsung lebih lama dari rhinitis virus. Pada pasien dengan diatesis alergika, sering kali terdapat alergi atau asma dalam keluarga. Seperti pada rinitis virus, maka sinusitis bakterialis akut juga dapat timbul sekunder akibat sumbatan ostia dan pengumpulan sekret.

Diagnosis alergi hidung harus ditegakkan dengan pemeriksaan sistematik termasuk anamnesis yang teliti serta sebagian atau semua hal-hal berikut ini :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja dan sering kali serangan tidak terjadi dari hasil pemeriksaan fisik.

Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Pasien juga perlu ditanya mengenai gangguan alergi selain yang menyerang hidung seperti asma, ekzema, urtikaria atau sensitivitas obat. Saat-saat dimana gejala sering timbul dapat membantu menentukan alergi musiman. Juga perlu mengaitkan awitan gejala dengan perubahan lingkungan ditempat kerja atau di rumah. Sangat penting untuk mengetahui riwayat pengobatan sebelumnya dan riwayat alergi makanan.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Wajah

Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.

Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.

b. Hidung

Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya banyak sekret yang encer, konka tampak membengkak.

Jika terdapat infeksi penyerta, sekret dapat bervariasi mulai dari encer dan mukoid hingga kental dan purulent. Dan pada saat yang sama mukosa menjadi merah dan meradang, terbendung atau bahkan kering sama sekali.

Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi. Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit granulomatus.

Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.

c. Telinga, mata dan orofaring

Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.

Pada pemeriksaan mata Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral yang disertai dengan produksi air mata. d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati

e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma

f. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi

3. Pemeriksaan Sitologi Hidung

Pemeriksaan laboratorium (invitro), pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan penyaring atau pelengkap terhadap pemeriksaan lain. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

4. Hitung eosinofil dalam darah tepi

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan pemeriksaan IgE total (Prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal. Kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk predileksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay test)

5. Uji kulitAlergen penyebab dapat juga dicari secara invivo dengan uji kulit. Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab, juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (challenge test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada challenge test, makanan yang dicurigai diberikan pada penderita setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization test atau intra cutaneus provocative food test. (IPFT). Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain jenis alergen penyebab, juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan reaksi akibat alergen tersebut.

6. Tes penunjang lainnya

Yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesifik dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme linked immuno assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergen alergen dengan tingkat skor 1+ s/d 4+.

3.1.7.Penatalaksanaan Penatalaksanaan

Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :

a. Penghindaran alergen.

Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mast tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam praktiknya sangat sulit mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.

b. Pengobatan medikamentosa

Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.

Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

Tabel 3.1. Efek terapi terhadap gejala-gejala rinitis

BersinRinoreaSumbatan hidungGatal hidungKeluhan mata

H1-antihistamin

- oral

- intranasal

- intaokular ++

++

0++

++

0+

+

0+++

++

0++

0

+++

Kortikosteroid

- intranasal++++++++++++++

Kromolin

-Intranasal

-Intraokular+

0+

0+

0+

00

++

Dekongestan

- Intranasal

- Oral0

0

0

0++++

+0

00

0

Antikolinergik0++000

Anti-leukotrin0+++0++

c. Imunoterapi spesifik

Imunoterapi spesifik efektif 80-90% jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 (g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.

Indikasi imunoterapi spesifik subkutan

Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional

Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan farmakoterapi

Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi

Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan

Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik oral

Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.

Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi subkutan

Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan

Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.

d. Imunoterapi non-spesifik

Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.

e. Edukasi

Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme imunopsikoneurologis.

f. Operatif

Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

3.1.8.Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi alergis.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatab rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

3.2. Rinitis Non-Alergika

3.2.1. Rhinitis Vasomotor

Gangguan vasomotor hidung adalah didapatkannya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.

Etiologi belum diketahui secara pasti, namun diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor. Saraf otonom mukosa hidung berasal dari nerve vidianus yang mengandung serat saraf simpatis dan parasimpatis menyebabkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar. Sedangkan rangsangan pada serat saraf simpatis menyebabkan efek sebaliknya.

Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung kontemporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. Pada pasien rhinitis vasomotor, mekanisme pengaturan ini hiperaktif dan cenderung saraf parasimpatis lebih aktif.

Faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah :

a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis seperti ergotamine, clorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokontrktor topical.

b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang dan makanan yang pedas dan panas.

c. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.

d. Faktor psikis, seperti cemas, tegang.

3.2.1.1Manifestasi Klinis

Hidung tersumbat tergantung posisi pasien (bergantian kiri dan kanan), rinore yang mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala memburuk pada pagi hari atau baru bangun tidur(perubahan suhu, udara lembab, asap rokok dan sebagainya). Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan dibedakan mejadi dua golongan, yaitu golongan obstruksi dan golongan rinore. Prognosis golongan obstruksi lebih baik daripada rinore.

3.2.1.2Diagnosis

1. Anamnesis ( dicari factor yang memepengaruhi keseimbangan vasomotor, dan disingkirkan kemungkinan rhinitis alergi

2. Rhinoskopi anterior ( gambaran klasik berupa mukosa hidung edema, konka merah gelap tetapi dapat juga pucat, permukaan konka licin atau berbenjol, sekret mukoid biasanya sedikit. Namun pada golongan rinore, secret yang ditemukan secret serosa yang banyak jumlahnya.

3. Laboratorum ( dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada secret hidung akan tetapi dalam jumlah sedikit.

4. Tes Kulit ( biasanya negatif

3.2.1.3Penatalaksanaan

1. Menghindari penyebab2. Pengobatan simtomatis a. dekongestan oralb. kauterisasi konka yang hipertrofi dengan memakai AgNO3 25% atau triklor asetat,c. kortikosteroid topikal seperti budesonide 2x1 dengan dosis 100-200 mikrogram sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit 2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topical baru dalam larutan aqua seperti flutikason proprionat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg.

3. Operasi

Dengan bedah beku, elektrokauterisasi dan konkotomi konka inferior4. Neurektomi n. Vidianus.Melakukan pemotongan pada nerve vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi ini tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi seperti sinusitis, diploplia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia, anestesis infraorbital dan anestesis palatum.3.2.2. Rhinitis Medikamentosa

3.2.2.1 Definisi

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor, sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

3.2.2.2Etiologi

Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).

3.2.2.3Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan (iritant), sehingga harus berhati-hati memakai vasokonstriktor topikal. Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu dan akan berfungsi kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang berulang dan dalam waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga timbul obstruksi. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut, sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah, dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan, maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan.

Oleh karena itu, obat vasokonstriktor topikal sebaiknya yang isotonik dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5 serta pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes hidung dalam waktu lama, ialah:

1. silia rusak,

2. sel goblet berubah ukurannya,

3. membrane basal menebal,

4. pembuluh darah melebar,

5. stroma tampak edema,

6. hipersekresi kelenjar mukus, dan

7. lapisan periosteum menebal.

3.2.2.4Gejala dan Tanda

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin, edema konka tidak berkurang.

3.2.2.5Terapi1. Hentikan pemakaian obat tetes atau obat semprot hidung.

2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion) beri kortikosteroid secara penurunan bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari, (misalnya hari ke-1 = 40 mg, hari ke-2 = 35 mg, dan seterusnya).

3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).

Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien dirujuk ke dokter THT.

3.2.3. Rinitis Hipertrofi

3.2.3.1Etiologi

Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dari rhinitis alergi dan vasomotor.

3.2.3.2Gejala dan Tanda

Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen, dan sering ada keluhan nyeri kepala.

Pada pemeriksaan akan ditemukan konka hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang hipertrofi. Akibatnya saluran udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang banyak biasanya ditemukan diantara konka inferior dan septum , dan juga di dasar rongga hidung.

3.2.3.4Terapi

Harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya tinitis hipertrofi dan kemudian memberikan pengobatan yang sesuai. Untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertrofi konka dapat dilakukan kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam triklorasetat) atau dengan kauter listrik (elektrokauter). Bila tidak menolong, dilakukan luksasi konka atau bila perlu dilakukan konkotomi.

3.2.4. Rinitis Sika

3.2.4.1 Insidensi

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga ditemukan pada pasien yang menderita anemia, peminum alcohol, dan gizi buruk.

3.2.4.2Gejala dan Tanda

Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis.

Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada.

3.2.4.3Terapi

Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Dapat diberikan pengobatan lokal, berupa obat cuci hidung.

3.2.5. Rinitis Spesifik

Rinitis karena infeksi spesifik, antara lain:

1. Rhinitis difteri

a. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Dapat primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok. Dapat akut atau kronik.

b. Gejala

Gejala rhinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada paralisis.

Rinitis difteri kronis gejalanya lebih ringan dan akhirnya dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan kronis masih menular.

c. Tanda

Pada hidung ada sekret yang bercampur darah, mungkin ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan krusta coklat di nares dan kavum nasi.

d. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.

e. Terapi

Diberikan ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler. Pasien harus diisolasi sampai pemeriksaan kuman negatif.

2. Rhinitis atrofi (ozaena)a. Definisi

Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

b. Insidensi

Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk.

c. Etiologi

Banyak teori mengenai etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi, antara lain:

Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan adalah Staphilococcus, Streptococcus, dan Pseudomonas aeruginosa.

Defisiensi Fe

Defisiensi vitamin A

Sinusitis kronik

Kelainan hormonal

Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

Mungkin penyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa faktor penyebab.

d. Gejala

Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat.

e. Tanda

Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, secret purulen berwarna hijau, dan krusta berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsy konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan ujiresistensi kuman, dan tomografi computer (CT Scan) sinus paranasal.

f. Terapi

Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pembedahan.

Terapi konservatif

Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan.

Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang dapat digunakan adalah larutan garam hipertonik. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari. Jika sukar mendapatkan larutan di atas, dapat dilakukan pencucian rongga hidung dengan 100 cc air hangat tang dicampur dengan 1 sendok makan (15 cc) larutan betadin atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air hangat. Dapat diberikan vitamin A 3 kali 50.000 unit dan preparat Fe selama 2 minggu.

Terapi operatif

Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi. Teknik operasi antara lain penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara dan pengeringan secret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali normal. Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum

Akhir-akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering dilakukan pada kasus rhinitis atrofi. Dengan melakukan pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami osteomyelitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi fentilasi, dan drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa.

g. Histopatologi

Tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapian submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi dan atrofi, serta jumlahnya berkurang dan bentuknya menjadi kecil.

3. Rhinitis sifilis

a. Etiologi

Penyebab rhinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum.

b. Gejala

Rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa dengan rhinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak pada mukosa. Pada rhinitis sifilis tertier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.

c. Tanda

Pada pemeriksaa klinis didapatkan secret mukopurulen yang berbau dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana.

d. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologi dan biopsy.

e. Terapi

Diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.

4. Rhinitis tuberkulosa

a. Definisi

Rinitis tuberkulosa merupakan infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Sering dengan peningkatan kasus tuberculosis (new emerging disease) yang berhubungan dengan kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya.

b. Tanda

Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.

Pada pemeriksaan klinis terdapat secret mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

c. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung.

d. Histopatologi

Ditemukan sel datia Langerhans dan limfositosis

e. Terapi

Diberikan antituberkulosis dan obat pencuci hidung.

5. Rhinitis jamur

a. Definisi

Rinitis jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau non-invasif. Rinitis jamur invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi mukosa yang lebih berat. Rinolith ini sebenarnya adalah bola jamur (fungus ball). Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.

b. Tanda

Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propia. Jika terjadi invasif jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung, atau kultur jamur, misalnya Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor.

Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya secret mukopurulen, mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black eschar).

c. Terapi

Terapi tipe non-invasif adalah mengangkat seluruh bola jamur. Pemberian obat jamur sistemik maupun topical tidak diperlukan.

Terapi tipe invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan pemberian anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung secara rutin dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat diolesi dengan gentian violet. Untuk infeksi jamur invasif, kadang-kadang disperlukan debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan nekrotik sangat luas, dapat terjadi destruksi yang memerlukan tindakan rekonstruksi.

BAB IV

SINUSITIS4.1 Sinusitis

4.1.1 Definisi

Suatu keadaan inflamasi yang melibatkan membran mukosa dari sinus paranasal serta cairan yang terdapat pada sinus. Sesuai anatomi, sinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.Berdasarkan perjalanan penyakitnya sinusitis dibagi menjadi : sinusitis akut (gejala < 4 minggu), sinusitis subakut (gejala 4-12 minggu), sinusitis kronik (gejala > 12 minggu).

4.1.2.Etiologi

Penyebab sinusitis tergantung dari klasifikasi sinusitis yaitu akut dan kronis.

Penyebab sinusitis akut, yaitu:

a. rinitis akut

b. infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut

c. infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2 (dentogen)

d. berenang dan menyelam

e. trauma, dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

f. barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa

Penyebab sinusitis kronis, yaitu:

a. polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung

b. alergi dan defisiensi imunologi juga dapat menyebabkan perubahan mukosa hidung

c. infeksi baik oleh virus maupun bakteri

d. obstruksi osteomeatal complex

e. kelainan anatomi

4.1.3.Predisposisi

Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertropi konka medial, benda asing di hidung,polip, serta tumor di dalam rongga hidung merupakan factor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu rhinitis kronis serta rhinitis aelrgi juga menyebabkan obstruksi ostium isnus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri.

Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin, serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.

4.1.4.Patofisiologi

Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi patofisiologi dari penyakit sinus, yaitu keutuhan dari ostia, fungsi silia, dan kualitas dari sekresi nasal. Berkurangnya ukuran ostia akan menyebabkan berkurangnya kadar oksigen pada sinus. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi pada sinus. Keadaan hipoksia ini juga dapat mengganggu sistem imunitas akibat terganggunya fungsi sel PMN dan produksi imunoglobulin serta pembersihan mukosilier. Hal yang mempengaruhi keutuhan dari ostia antara lain nasal polyposis, deviasi septal, edema mukosa, alergi, serta concha bullosa.

Rongga sinus tergantung pada sistem tranport mukosilier untuk menciptakan lingkungan yang bebas bakteri. Sinus dilapisi oleh epitel kolumner bertingkat semu. Epitel ini akan membersihkan dari mukus, bakteria serta zat-zat asing dari area itu. Fungsi silia dapat terganggu pada keadaan hipoksia ( yang terjadi pada obstruksi ostium). Sel bersilia dapat hilang atau rusak akibat polutan pernafasan, trauma pembedahan dan penyakit sinus kronik.

Perubahan dari komposisi mukus dapat terjadi pada pasien dehidrasi atau cyctic fibrosis. Produksi mukus dari sel goblet dapat meningkat akibat dari iritan pernafasan, polutan, alergen serta udara dingin. Serta peningkatan viskositas dari mukus. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pembersihan silia dan menjadikan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. 4.1.5.Klasifikasi

Klasifikasi sinusitis, yaitu :

1. Sinusitis akut

Bila gejala berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu.

2. Sinusitis subakut

Bila gejala berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan.

3. Sinusitis kronis

Bila gejala berlangsung lebih dari 3 bulan.

4.2.Sinusitis Akut

4.2.1.Definisi

Penyakit ini dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks oatiomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi dapat merupakan penyebaran dari infeksi gigi.

4.2.2.Etiologi

Etiologi sinusitis akut, yaitu:

a. Rinitis akut b. Infeksi faring (faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut)c. Infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas, serta premolar P1 dan P2 (dentogen)d. Berenang dan menyelam e. Trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal f. Barotrauma 4.2.3.Manifestasi Klinis

4.2.3.1Gejala Subjektif

1.Gejala sistemik

a. Demam

b. Rasa lesu 2. Gejala lokala. Pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. b. Hidung tersumbat c. Rasa nyeri pada sinus yang terkena, kadang-kadang ada nyeri alih (referred pain)Pada sinusistis maksilaris nyeri dirasakan dibawah kelopak mata dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di telinga depan.

Nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius. Kadang-kadang dirasakan nyeri di bola mata atau di belakangnya dan nyeri akan tampak bila mata digerakan. Nyeri alih dirasakan di pelipis (parietal)

Pada sinusitis frontalis rasa nyeri terlokalisir di dahi atau dirasakan nyeri di seluruh kepala.

Rasa nyeri pada sinusitis sphenoid di vertex, oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid.

4.2.3.2 Gejala Objektif

1. Pemeriksaan fisik Tampak pembengkakan di daerah muka. Pembengkakan pada sinus maksilaris terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinus frontalis tampak pembengkakan pada kelopak mata atas, pada sinus ethmoid jarang timbul pembengkakan kecuali bila ada komplikasi2. Pemeriksaan rinoskopi anteriorMukosa konka hiperemis, dan edema. Pada sinusitis maksilaris, sinusitis frontalis, sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medianus. Sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior

3. Pemeriksaan rinoskopi posterior

Tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip)4.2.4.Diagnosis

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan transiluminasi

Sinus yang sakit menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermaksa bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram bila dibandingkan dengan sinus yang normal.2. Pemeriksaan radiologik

Posisi Waters, PA dan lateral Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.

3. Pemeriksaan mikrobiologik

Sebaiknya diambil secret dari meatus medius atau meatus superior. Dapat ditemukan flora normal atau kuman patogen

a. pneumococcus,

b. streptococcus,

c. Staphylococcus,

d. haemopilus influenza

e. virus atau jamur 4.2.5.Penatalaksanaan1.Medikamentosaa. Antibiotik 10-14 hari, golongan penisillin

b. Dekongestan lokal berupa tetes hidung

Untuk memperlancar drainase sinus

c. Analgetika ( menghentikan rasa sakit2.Pembedahan

Jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intracranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

4.3.Sinusitis Subakut

4.3.1.Definisi

Sinusitis yang bila gejala berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan. 4.3.2.Manifestasi Klinis4.3.2.1Gejala Subjektif

Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan sudah reda)4.3.2.2Gejala Objektif

1. Rinoskopi Anteriortampak sekret purulen di meatus medius atau sueorior 2. Rinoskopi Posteriortampak sekret purulen di nasofaring 3. Pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit suram atau gelap 4.3.3.Penatalaksanaan1. Mula-mula diberikan medikamentosa a. Berupa antibiotik spektrum luas atau yang sesuai dengan tes resistensi kuman selama 10-14 harib. Obat-obat simtomatis berupa dekongestan lokal (obat tetes hidung) untuk memperlancar drainase. Obat tetes hidung hanya boleh diberikan untuk waktu yang terbatas (5 sampai 10 hari) karena jika terlalu lama menyebabkan rhinitis medikamentosac. Analgetik, antihistamin dan mukolitik2. Tindakan diatermi Dengan sinar gelombang pendek (ultra short waves diathermy) sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus.3. Pencucian sinusPada sinus etmoid, frontal, dan sphenoid yang letak muaranya di bawah,dapat dilakukan dengan cara proetz displacement therapy.a. Pungsi dan irigasi sinus maksilaDilakukan untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul dalam rongga sinus maksila. Caranya ialah dengan memakai trokar yang ditusukan di meatus inferior, diarahkan ke sudut luar mata atau tepi atas daun telinga. Selanjutnya dilakukan irigasi sinus dengan larutan garam fisiologis. Sekret akan keluar melaui hidung atau mulut. Pungsi dan irigasi dapat juga dilakukan melalui fosa kanina, Pada kasus yang meragukan, pungsi dapat digunakan sebagai tindakan ada atau tidaknya secret di sinus maksila.b. Antrosnomi

Dibuat lubang pada meatus inferior yang menghubungkan rongga hidung dengan antrum (sinus maksila). Lubang itu diapakai untuk penghisapan sekret dan ventilasi sinus maksila. Ada yang berpendapat bahwa antrostomi bermanfaat untuk drainase secret karena aliran sekret dalam maksila akan selalu menurut gerakan silia ke arah ostiumnya di bagian atas dinding medial sinus.

c. Tindakan Pencucian Proetz

Pada prinsipnya membuat tekanan negatif pada rongga hidung dan sinus paranasal untuk dapat menghisap sekret keluar. Diteteskan larutan vasokonstriksor (HCL efedrin 0,5-1,5%) untuk membuka ostium yang kemudian masuk ke dalam sinus. HCL efedrin akan mengurangi edema mukosa dan tercampur dengan sekret di dalam rongga sinus, kemudian dihisap keluar. Sementara itu, pasien harus mengatakan kak-kak-kak supaya palatum mole terangkat sehingga ruangan antara nasofaring dan orofaring tertutup. Dengan demikian cairan tidak dapat masuk ke orofaring. Sedangkan ruang nasofaring, hidung, serta sinus menjadi satu rongga yang bertekanan negatif pada saat penghisapan, sehingga sekret mudah keluar. Tindakan intranasal lain yang mungkin diperlukan untuk menghilangkan faktor predisposisi, operasi koreksi septum bila terdapat deviasi septum, pengangkatan polip bila terdapat polip dan konkotomi parsial atau total bila ada hipertropi konka. Prinsipnya ialah supaya drainase secret menjadi lancar.

4.4. Sinusitis Kronis

4.4.1. Definisi

Sinusitis yang bila gejala berlangsung lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.

4.4.2. Etiologi

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drenase sekret akan terganggu. Drenase secret yang terganggu dapat menyebabkan siliarusak dan seterusnya.

Gambar 4.1. Etiologi sinusitis kronis

4.4.3. Manifestasi Klinis 4.4.3.1Gejala Subjektif

Gejala subjektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari:

a. gejala hidung dan nasofaring, berupa secret di hidung dan secret pasca nasal (post nasal drip)b. gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok

c. gejala teling, yaitu pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba Eustachius

d. adanya nyari/sakir kepala

e. gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis

f. gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronchial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis

g. gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.

Kadang-kadang gejala sangat ringan hanya terdapat secret di nasofaring yang mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang terus-menerus akan mengakibatkan batuk kronik.

Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya stasis vena. 4.4.3.2Gejala Objektif

1. Pemeriksaan klinis Tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah.

2. Rinoskopi anterior

Sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior.

3. Rinoskopi posteriorSekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

4. Pemeriksaan mikrobiologik

Biasanya merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridians, H. influenza, dan kuman anaerob Peptosteptokokus dan Fusobakterium.

4.4.4. Diagnosis1. Aanamnesis yang cermat, 2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior 3. Pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal

4. Pemeriksaanradiologik

5. Pungsi sinus maksila

6. Sinoskopi sinus maksila

7. Pemeriksaan histopatplogik dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi

8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-endoskopi

9. Pemeriksaan CT-Scan

4.4.5. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

a. Antibiotika untuk mengatasi infeksi

Diberikan selama sekurang-kurangnya 2 minggu

b. Obat-obat simtomatis

2. Diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus yang sakit

3. Tindakan untuk memperbaiki drenase dan pembersihan secret dari sinus yang sakit.

4. Pembedahan

Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitisetmoid, frontal, atau sfenois dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak secret purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal

a. Pembedahan radikal

Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi radikal, yaitu mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila yang dilakukan operasi Caldwell-Luc, sedangkan yang bisa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal).

Drenase secret pada sinus frontal dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dengan operasi dari luar (ekstranasal), seperti pada operasi Killian. Drenase sinus sphenoid dilakukan dari dalam hidung (intranasal)

b. Pembedahan tidak radikal

Akhir-akhir ini dikembangkan operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penymbatan dan infeksi, sehingga ventilasi melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal.

4.4.6. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. komplikasi yang dapat terjadi ialah:

a. Osteomyelitis dan abses subperiosteal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila dapat timbul fistula ororantral.

b. Kelainan orbita

Disebabkan oleh sinu paranasal yang berdekatandengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, slulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.

c. Kelainan paru

Seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapatjuga timbul asma bronchial.4.5 Sinusitis Dentogen

4.5.1 Definisi

Merupakan salah satu penyakit penyebab penting sinusitis kronik.Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatasInfeksi gigi rahang atas (infeksi apical akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal) mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maxilla kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk4.5.2 Tatalaksana

Gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat Antibiotic yang mencakup bakteri anaerob Seringkali dilakukan irigasi sinus maksila4.6 Sinusitis Jamur

4.6.1 Definisi

Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak jarang ditemukan.

4.6.2 Etiologi

Aspergillus dan Candida4.6.3 Insidensi

Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian antibiotic, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan, dan radioterapi4.6.4 Faktor predisposisi

Diabetes mellitus Neutropenia Penyakit AIDS Perawatan yang lama di rumah sakit4.6.5 Tatalaksana

Gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat Antibiotic yang mencakup bakteri anaerob Seringkali dilakukan irigasi sinus maksilaDAFTAR PUSTAKA1. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

2. Bailey, Byron J. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-3. Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.

3. Hilger PA. Anatomi dan fisiologi terapan. Dalam : Boies, Adams, Higler, penyunting. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 173-88.

4. Stedmans Medical Dictionary, Edisi ke-28. Lippincott William & Wilkins.

5. The Washington Manual Otolaryngology Survival Guide. Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.6. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis Diagnosis and management for clinician: A Synopsis of Recent Consensus Guidlines. Mayo clin proc. 2011:86(5);427-43. 7. Emilia J, Idris N, Ilyas M, Liyadi F, Perkasa MF, Bahar B. Korelasi Variasi Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis berdasarkan Rhinosinusitis Kronik. FK Unhas. 2013:1-10.8. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran Rhinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2011. E-jurnal FK USU. 2013:1(1);1-6.polusi udara

Silia rusak

alergi dan defisiensi imunologik

obstruksi mekanik

gangguan drenase

perubahan mukosa

infeksi kronis

pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna