rhinoscleroma paper
DESCRIPTION
Rhinoscleroma adalahTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Rinoskleroma adalah penyakit radang kronis granulomatosa yang mulai di
hidung, kemudian dapat meluas ke nasofaring, orofaring, laring dan kadang-kadang
sampai ke trakea dan bronkus.((penatalaksanaaan penyakit dan kelainan THT,
Rhinoscleroma wikipedia) Rinoskleroma merupakan penyakit infeksi granulomatosa
kronik pada hidung yang disebabkan oleh Klebsiella rhinoscleromatis.(THT UI).
Rinoskleroma adalah penyakit granulomatosa hidung yang endemic di Eropa
Selatan dan Tengah dan beberapa daerah Asia. (BOIES) Penyakit ini endemis di
beberapa negara termasuk Indonesia yang kasusnya terutama ditemukan di Indonesia
Timur (THT UI) dengan daerah endemic di : Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan
Bali. .((penatalaksanaaan penyakit dan kelainan THT)
Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin
dengan perbandingan yang kurang lebih sama. .((penatalaksanaaan penyakit dan
kelainan THT)
Diagnosis berdasarkan perjalanan klinis dan pemeriksaan patologi specimen
yang memperlihatkan sel Mikulicz yang khas dan bakteri berbentuk batang dalam
sitoplasma. Juga ditemukan granuloma dan fibrosis. Perlu diberikan terapi antibiotik.
Tindakan bedah hanya diindikasikan untuk memperbaiki jaringan parut berat yang
terbentuk(BOIES)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Karena letaknya yang menonjol ,
hidung merupakan kerangka yang halus rentan dan sering mengalami fraktur
dan trauma jaringan lunak.1,2
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah :1
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung (hip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior).
Gambar 2.1 Anatomi Hidung bagian luar.7
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.1
Kerangka tulang terdiri dari :1,3,8
1. Tulang hidung (os nasal)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa tulang rawan yang
terletak di bawah tulang hidung, yaitu :1,3,8
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
3. Tepi anterior kartilago septum nasi.
Gambar 2.2 Tulang penyusun hidung.9
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Nares posterior atau koana
adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan
terdapat di kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya
dibentuk oleh lamina horizontalis palatum, bagian dalam oleh os sphenoid,
dan bagian luar oleh lamina pterigoideus sphenoid.1,3
Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding media,
lateral, inferior, dan superior.1
Dinding media hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
rawan. Bagian tulang adalah :1,3
1. Lamina perpendikularis os etmoid
2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan adalah :1,3
1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis)
2. Kolumela.
Gambar 2.3 Tulang kartilago pada hidung.9
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa
hidung.1
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.1
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior terletak di di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Meatus inferior adalah yang terbesardi antara
ketiga meatus, mempunyai muara duktus naso-lakrimalis yang terdapat kira-
kira anata sampai belakang batas posterior nostril. Meatus medius terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.1,3
Gambar 2.4 Kavum Nasi terlihat dari lateral.9
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada tiap-tiap sisi hidung; sinus
frontal kanan dan kiri; sinus etmoid kanan dan kiri (antrum Highmore) dan
sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa
yang merupakan lanjutan mukosa hidung; berisi udara dan semua bermuara di
rongga hidung melalui ostium masing-masing.3
2.1.1 Batas Rongga Hidung
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari
os etmoid, tulang ini berlubang – lubang (kribrosa = saringan) tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sphenoid.1
2.1.2 Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama :
1) a. etmoidalis anterior dan 2) a. etmoidalis posterior , cabang dari a.
oftalmika dan 3) a. sfenopalatina, cabang terminal a. maksilarid interna, yang
berasal dari a. karotis eksterna. Septum bagian superior anterior dan dinding
lateral hidung mendapat pendarahan dari a. etmoidalis anterior; a. etmoidalis
posterior yang kecil hanya mendarahi daerah kecil di region superior
posterior. Kedua arteri etmoidalis, setelah meninggalkan a. oftalmika,
menyeberangi lamina kribrosa dan masuk hidung melalui foramen etmoid
anyterior dan posterior, disertao oleh serabut saraf pasangannya. 3
Gambar 2.5 Sistem pendarahan pada hidung.10
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dan a. karotis
interna.1,2
Bagian bawah rongga hidung medapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatine mayor dan a.
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.1,2
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.
fasialis.1,2
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.labialis superior dan a. palatine mayor,
yang disebut plesus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistkasis, terutama pada anak-anak.1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.1,2
2.1.3 Sistem Limfatik
Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang
pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh
bagian anterior hidung, yaitu vestibulum dan daerah prekoana.2
Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas natomi hidung,
menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang, yaitu
saluran superior , media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka
media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas
tuba eustacius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar
hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal
dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di
sepanjang pembuluh jugularis interna.2
2.1.4 Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris , yang
berasal dari n. oftalmikus.1
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.1
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. maksila, serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari . petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.1
Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada
sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.1
2.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :1
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara , penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal.
2.2.1 Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah
kea rah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau
arkus.1
Udara yang dihirup akan mengalami himudifikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit
penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya.1
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37˚C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Udara dihangatkan
oleh permukaan konka dan septum yang luas dengan total area kira-kira 160
cm2.1,11
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu
dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan reflex bersin.1
2.2.2 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum.1
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat.1
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti
perbedaan rasa manis strawberry, jeruk, pisangm atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa. Berkurangnya
indra penghidu sering dipersepsi sebagai menurunnya indra pengecapan.1,2
2.2.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).1
Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.1
Elemen yang bergetar adalah lipatan pita suara, yang umumnya disebut
pita suara. Pita suara menonjol dari dinding lateral laring kea rah tengah
glottis; pita suara ini diregangkan dan diatur posisinya oleh beberapa otot
spesifik pada laring itu sendiri.11
Selama pernafasan normal, pita akan terbuka lebar agar aliran udara
mudah lewat. Selama fonasi, pita menutup bersama-sama sehingga aliran
udara di antara pita tersebut akan menghasilkan getaran (vibrasi). Kuatnya
getaran terutama ditentukan oleh deerajat peregangan pita suara, tetapi juga
oleh bagaimana kerapatan pita suara satu sama lain dan oleh massa pada
tepinya.11
2.2.4 Fungsi Statik dan Mekanik
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di
sebelah posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans,
merupakan kerja silia yang menggerakkan lapisan mucus dengan partikel
yang terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan
yang luas antara udara inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan mukusnya,
lapisan mucus berupa selubung sekret kontinu yang sngat kental, meluas ke
seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba esutacius, faring, dan seluruh
cabang bronkus.2
Lapisan atas dari lapisan mucus yang amat tipis ini kaya akan
glikoprotein, lebih kental, dengan kekuatan tegangan yang memungkinkan
gerakan kaku silia ke depan untuk mempertahankan gerakan lapisan ke
posterior dalam aliran kontinu. Lapisan bawah, lapisan perisiliaris lebih encer,
menimbulkan sedikit hambatan terhadap gerak pemulihan silia
(membengkok). Lapisan mucus diperbaharui oleh kelenjar submukosa dua
atau tiga kali dalam satu jam.2
Mukus hidung di samping berfungsi sebagai alat transportasi partikel
yang tertimbun dari udara indspirasi, juga memindahkan panas, normalnya
mucus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasim
serta melembabkan udara inspirasi dengan llebih dari satu liter uap setiap
harinya. Namun, bahkan dengan jumlah uap demikian sering kali tidak
memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering, sering kali terdapat
di rumah-rumah dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini dapat
berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung.
Derajat kelembaban selimut mucus ditentukan oleh stimulasi saraf pada
kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. 2
Lapisan mucus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah,
juga merupakan sawar terhadap allergen, virus dan bakteri. Sejumlah
immunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian agaknya oleh sel
plasma yang normal terdapat dalam jaringan tersebut.2
2.2.5 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.1
2.2.5 Rinoskleroma
2.3.1 Definisi
Rinoskleroma adalah penyakit radang kronis granulomatosa yang
mulai di hidung, kemudian dapat meluas ke nasofaring, orofaring, laring dan kadang-
kadang sampai ke trakea dan bronkus. .((penatalaksanaaan penyakit dan kelainan
THT, medscape rhinscleroma clinical presentation) Penyakit berjalan lambat, dimulai
sebagai reaksi radang akuit dini dengan rinore purulen yang berbau busuk.
Selanjutnya terbentuk krusta hidung dan nodula-nodula keras, tumbuh lambat dan
tidak peka, yang akhirnya dapat menyumbat hidung. Hidung bawah dan bibir atas
menjadi menonjol bila tidak diobati, menimbulkan deformitas yang luas. (BOIES,
Text book of THT)
2.3.2 Sejarah
Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra (1870).
Milkulitz menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini dan Von Frisch
menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini.
Infeksi biasanya dimulai dari bagian anterior hidung sebagai plak submukosa yang
lembut, meluas secara bertahap menjadi bodul padat yang tidak sensitive, dan dalam
beberapa tahun akan mengisi dan menyumbat hidung. Bila tidak diterapi akan meluas
ke bibir atas dan hidung bawah sehingga menimbulkan deformitas yang luas.
(medscape rhinoscleroma, oxford)
2.3.3 Epidemiologi
Rinoskleroma adalah penyakit granulomatosa hidung yang endemik di
Eropa Selatan dan Tengah dan beberapa daerah Asia. Walaupun sebelumnya jarang
ditemukan di Amerika Serikat, namun insiden rinoskleroma telah meningkat di
daerah Barat dan Barat Daya. (BOIES) Kelainan ini banyak ditemukan di Eropa
Tengah dan Tenggara, Afrika Utara, Amerika Tengah dan Selatan, India, Pakistan,
serta Indonesia dengan daerah endemik : Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Bali. .
((penatalaksanaaan penyakit dan kelainan THT, THT UI, DermNet NZ, Text book of
THT)
Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur dan pada kedua jenis
kelamin dengan pebandingan yang kurang lebih sama. .((penatalaksanaaan penyakit
dan kelainan THT) Penyakit ini terbentuk karena terhirup droplet atau bahan yang
terkontaminasi dan muncul pada usia 10 – 30 tahun. (DermNet NZ, wikipedia)
2.3.4 Etiologi
Penyakit ini merupakan penyakit granulomatosa kronik pada hidung
yang disebabkan Klebsiella rhinoscleromatis. (THT UI) Klebsiella adalah sebuah
genus gram negatif yang dapat mengubah tempat, gram negatif bentuk batang.
Klebsiella pneumonia pertama kali ditemukan oleh Carl Friedlander. Carl Friedlander
adalah patologis dan mikrobiologis dari Jerman yang membantu penemuan bakteri
penyebab pneumonia pada tahun 1882. (Teenoz, johns Hopkins microbiology,)
Klasifikasi Klebsiella
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Orde : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Klebsiella
Species : Klebsiella pneumonia
Klebsiella ozaenae
Gambar bakteri Klebsiella (teenoz)
Bakteri Klebsiella terdapat di mana- mana. Koloninya bisa ditemukan di kulit,
kerongkongan, ataupun saluran pencernaan. Sebenarnya, bakteri golongan ini
mungkin saja ada sebagai flora alami ‘penghuni” usus besar dan kecil. Adapun
pergerakan bakteri ini ke organ lain dikaitkan dengan lemahnya daya tahan penderita.
(teenoz)
2.3.5 Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh Klebsiella rhinoscleromatis ini
terutama melibatkan hidung namun kemudian dapat meluas ke daerah pernapaasan
atas termasuk laring. Penyakit berjalan lambat, dimulai sebagai reaksi radang akut
dini dengan rinore purulen yang berbau busuk. Selanjutnya terbentuk krusta hidung
dan nodula-nodula keras, tumbuh lambat dan tidak peka, yang akhirnya dapat
menyumbat hidung. Hidung bawah dan bibir atas menjadi menonjol bila tidak
diobati, menimbulkan deformitas yang luas. (BOIES)
Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun
granulomatosa dari submukosa dengan gambaran histopatologis yang khas, berupa
hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan ikat di bawah epitel berbentuk
trabekula dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan vakuola pada sitoplasma. Sel-sel
ini mempunyai inti di tepi dan di dalam vakuola terdapat banyak basil berbentuk
batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari Von Frisch. Disamping itu terdapat
pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan histiosit. Sel-sel besar dengan vakuola dan
basil-basil tersebut kemudian dikenal dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini
menurur Fischer dan Hoffman penting dalam menegakkan diagnosis penyakit
rinoskleroma. (histopatology india)
2.3.6 Stadium
Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadium, yang
menunjukkan gambaran khas adalah stadium granulomatosa : (histopatology india,
johns Hopkins microbiology, Medscape rhinoscleroma workup)
Stadium kataral / atropik
Metaplasi skuamos dan infiltrasi subepitel nonspesifik dari sel PMN dengan
jaringan granulasi
Stadium granulomatosa
Gambaran diagnostic ditemukan pada stadium ini berupa sel radang kronik,
Russel body, hiperplasi pseudo epiteliomatosa, histiosit besar bervakuola yang
mengandung Klebsiella Rhinoscleromatis (Mikulicz sel).
Stadium Sklerotik
Fibrosis yang luas, yang menyebabkan stenosis dan kelainan bentuk.
2.3.7 Gejala Klinik
Perjalanan penyakitnya terjadi dalam 3 tahap, yaitu : (THT UI,
DermNet NZ, Penatalaksanaan penyakit dan kelainan THT, CURRENT, Text book
of THT)
1. Tahap Kataral atau Atrofi
Terjadi perubahan pada dasar hidung, septum dan konka yang menyerupai
rhinitis atrofi yaitu terbentuk krusta disertai ingus yang berbau busuk.
Dapat berlangsung berbulan-bulan dan biasanya belum terdiagnosis.
2. Tahap Granulomatosa
Mukosa hidung membentuk massa peradangan terdiri dari jaringan ikat,
membentuk jaringan granulasi atau seperti polip. Dapat menyebabkan
destruksi tulang dan tulang rawan sehingga menyebabkan deformitas
puncak hidung dan septum, dan bisa menyebabkan epistaksis. Jaringan
ikat ini sering meluas keluar dari nares anterior atau ke sinus paranasal,
nasofaring, faring atau saluran napas bawah. Timbul jaringan granulasi
yang membentuk nodul non-ulseratif yang berwarna kemerahan dan
kenyal, lama-kelamaan berubah menjadi lebih pucat dank eras. Tahap ini
berlangsung berbulan-bulan atau bertahun
3. Tahap Sklerotik atau Sikatriks
Terjadi pergantian jaringan granulasi menjadi fibrotik dan sklerotik yang
dapat menyebabkan penyempitan saluran napas. Terjadi adhesi dan
stenosis sehingga dapat menyebabkan peubahan bentuk hidung.
Kelainannya dapat meluas ke sinus maksila, sakus lakrimalis, nasofaring,
palatum durum, trakea dan bronkus utama. Penyebaran ke kelenjar getah
bening sangat jarang. Kerusakan tulang yang luas mungkin terjadi dan
meskipun jarang, penyakit ini dapat berubah menjadi ganas. Pada satu
pasien ketiga tahap itu mungkin dapat ditemukan bersamaan.
Gambaran rinoskleroma (NEJM)
2.3.8 Diagnosis
Diagnosis rinoskleroma mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi di
tempat non endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatous lain.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan bakteriologik dan
gambaran histopatologi yang sangat khas dengan adanya sel-sel Mikulicz. (THT UI,
BOIES) Pada pemeriksaan patologi specimen yang memperlihatkan sel Mikulicz
yang khas dan bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma. Juga ditemukan
granuloma dan fibrosis.(BOIES)
Gambar . Gambara histopatologi dari rhinoscleroma (Wikipedia)
Diagnosis dapat ditegakkan dengan : (DermNet NZ, histopatologi india,
NEJM, penatalaksanaan penyakit dan kelainan THT)
1. Pemeriksaan histopatologi
Ditemukan jaringan granulasi submukosa dan yang karakteristik
adalah ditemukannya sel plasma, limfosit, eusinofil dan diantaranya
tersebar sel-sel Mikulicz yaitu sel-sel yang besar, intinya di tengah dan
sitoplasmanya mempunyai vakuol yang berisi basil Frisch. Juga
didapati Russel bodies yang berasal dari sel plasma. Klebsiella
rhinoscleromatis dapat ditemukan pada 50-60% kasus, dengan
menggunakan blood agar atau Mc Conkey agar
2. Pemeriksaan bakteriologik
Dengan menemukan kumsn penyebab dari biakan bahan biopsy.
Organisme juga dapat dilihat dibawah mikroskop dengan
menggunakan Gram, Giemsa, dan pewarnaan silver
3. Pemeriksaan Serologis
Dengan tes pengikatan komplemen (complemen fixation test)
berdasarkan reaksi serum penderita dengan suspense kuman Klebsiella
rhinoscleromatis.
2.3.9 Diagnosis Banding (Medscape rhinoscleroma DD, histopatology india,
Text book of THT, wikipedia
- Actinomycosis
- Leishmaniasis
- Leprosy
- Tuberkulosa
- Syphilis
- Wegener Granulomatosis
- Verrucous Carcinoma
- Basal Cell Carcinoma
2.3.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya mencakup terapi anti biotik jangka panjang serta
tindakan bedah untuk obstruksi pernapasan. Antibiotik direkomendasikan antara lain
tetrasiklin, kloramfenikol, trimetoprim-sulfametoksazol, siprofloksasin, klindamisin
dan sefalosporin. Pemberian antibiotik paling kurang selama 4 minggu, ada yang
sampai berbulan-bulan. (THT UI, BOIES, Wikipedia, histopatology india, oxford,
Dermnet NZ, NEJM) Antibiotik yang bermanfaat adalah Streptomisin dan Tetrasiklin
dosis tinggi yang diberikan paling kurang selama 4-6 minggu dan dapat diteruskan
sampai 2 kali biakan dari bahan biopsy negatif, Streptomisin dapat diberikan 1 gram
perhari selama 28 hari. (penatalaksanaan penyakit dan kelainan THT, CURRENT,
Text book of THT)
Pembedahan diperlukan untuk mengangkat jaringan granulasi dan
sikatriks, Seringkali juga perlu dilakukan operasi plastik untuk memperbaiki jalan
napas atau deformitas. Tindakan bedah hanya diindikasikan untuk memperbaiki
jaringan parut berat yang terbentuk (THT UI, BOIES, histopatology india, DermNet
NZ, penatalaksanaan penyakit dan kelainan THT, Text book of THT)
2.3.11 Komplikasi (Wikipedia)
- Sepsis
- Perdarahan
- Obstruksi saluran napas atas
- Stenosis subglotis
- Asphyxia
2.3.12 Prognosis
Penyakit ini jarang bersifat fatal kecuali bila menyumbat saluran napas, tetapi
rekurensinya tinggi, terutama bila pengobatan tidak tuntas. (THT UI) 8 dari 11 pasien
tidak mengalami kekambuhan . Dan terdapat 3 lainnya mengalami kekambuhan
setelah dilakukan biopsy yang kedua kalinya . (Oxford) Tingkat kekambuhan juga
dapat tinggi karena organisme penyebab rinoskleroma dapat dorman. (CURRENT)
Kekambuhan dapat terjadi pada 25 % kasus setelah dilakukan terapi antibiotik dan
terapi pembedahan dalam 10 tahun. (Medscape Rhinoscleroma follow up,
Rhinoscleroma follow up)
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi AA, Hadjat B, Iskandar N. Penatalaksanaan Penyakit dan
Kelainan Teinga Hidung Tenggorokan. 2003. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
2. Anonymous. Rhinoscleroma. Diunduh dari :
https://en.wikipedia.org/wiki/Rhinoscleroma
3. Soepardi EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. Edisi Keenam. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
4. Boies G, Daniel, Adam GL, Higler PA, Wijaya C, Effendi H, Santono
RAK, dkk. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 1997. Jakarta
5. Gambar anatomi hidung bagian luar diunduh dari :
http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/
2013/12/1386251620582813881.jpg
6. Ballenger JJ. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jilid 1
Edisi 12. Binarupa Aksara. 1997. Jakarta Barat
7. Rukmini S, HErawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. Jakarta
8. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jilid Satu. Edisi 22.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. Jakarta
9. Gambar Sistem Pendarahan Hidung diunduh dari :
http://idai.or.id/wp-content/uploads/2015/04/antm-hdg-1.jpg
10. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2008. Jakarta
11. Schwart. Rhinoscleroma. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1055113-overview
12. Maqbool M. Textbook of Ear Nose and Throat Disease. EDisi 9. 2001.
Jitender P Vij. India
13. Ovetchkine P. Rodriguez D. Grant A. Puel A. Bustamante J. etc.
Rhinoscleroma : A Franch National Retrospective Study of
Epidemiological and Clinical Features. Diunduh dari :
http://cid.oxfordjournals.org/content/47/11/1396.full
14. Dermnet NZ. Rhinoscleroma. Diunduh dari :
http://www.dermnetnz.org/bacterial/rhinoscleroma.html
15. Anonymous. Identifikasi Klebsiella. Diunduh dari :
http://teenozhealthanalyst.blogspot.co.id/2012/03/identifikasi-
klebsiella.html
16. Baisden B. The Johns Hopkins Microbiology Newsletter. Diunduh dari :
17. Roy S. Pathology of Rhinoscleroma. Diunduh dari :
http://www.histopathology-india.net/Rhinoscleroma.htm
18. Stone CK, Humphries R. Current Emergency Diagnosis & Treatment.
Fifth Edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2005. Texas
19. Cazares JP. Rhinoscleroma. Diunduh dari :
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMicm1411602