resume (masalah pernafasan atas non-infeksi)

21
Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 1 RESUME MASALAH PERNAFASAN ATAS NON – INFEKSI Dwi Puji Putranti || 20120320071 Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 1. EPISTAKSIS a. Definisi Epistaksis adalah perdarahan akut lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring yang merupakan gejala dari suatu kelainan yang dapat berhenti sendiri. Biasanya disebut mimisan. [1] b. Klasifikasi Epistaksis Berdasarkan letak anatomis, epistaksis dapat dibagi menjadi : - Epistaksis Anterior Gambar 1. Epistaksis Anterior. [2] Perdarahan yang bersumber dari pleksus Kiesselbach yang diakibatkan dari anastomosis beberapa pembuluh darah septum anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi, selain itu

Upload: thanty-putrantii-wijayanti

Post on 23-Oct-2015

46 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

TRANSCRIPT

Page 1: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 1

RESUME MASALAH PERNAFASAN ATAS NON – INFEKSI

Dwi Puji Putranti || 20120320071

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

1. EPISTAKSIS

a. Definisi

Epistaksis adalah perdarahan akut lubang hidung, rongga hidung

atau nasofaring yang merupakan gejala dari suatu kelainan yang dapat

berhenti sendiri. Biasanya disebut mimisan.[1]

b. Klasifikasi Epistaksis

Berdasarkan letak anatomis, epistaksis dapat dibagi menjadi :

- Epistaksis Anterior

Gambar 1. Epistaksis Anterior.[2]

Perdarahan yang bersumber dari pleksus Kiesselbach yang

diakibatkan dari anastomosis beberapa pembuluh darah septum

anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi, selain itu

Page 2: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 2

bersumber juga dari bagian depan konka inferior yang terbuka

terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma yang

sebabkan ulkus, ruptur, dan perdarahan.[1]

- Epistaksis Posterior

Gambar 2. Epistaksis Posterior.[2]

Perdarahan bersumber dari arteri sfenopalatina atau arteri

etmoid posterior. Sering ditemukan pada pasien hipertensi,

arteriosklerosis, atau pasien dengan penyaki kardiovaskuler.[1]

c. Patofisiologi

Epistaksis disebabkan rupturnya pembuluh darah kecil yang

mengalami distensi dalam membran mukosa pada area hidung.[3]

Epistaksis dapat terjadi karena trauma ringan (mengeluarkan ingus,

bersin kuat, mengorek hidung, trauma kecelakaan) juga dapat disebabkan

trauma gas, pembedahan, dan benda asing. Kelainan patologis seperti

infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma

spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.

Tumor (karsinoma) dapat menyebabkan epistaksis berat. [1]

Page 3: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 3

Pada usia lanjut, terjadi perubahan progresif otot pembuluh darah

tunika media menjadi jaringan kolagen yang menyebabkan fibrosis

intertisial sampai menjadi jaringan parut. Perubahan ini menyebabkan

gagalnya kontraksi pembuluh darah dan menjadikan epistaksis lebih lama.[1]

Pada usia muda dan dewasa, epistaksis disebabkan tipis dan

lemahnya pembuluh darah yang dapat disebabkan iskemia lokal atau

trauma. [1]

d. Intervensi Keperawatan

Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi

duduk, jika sudah parah dibaringkan dengan diberikan bantal pada

punggung, kecuali dalam keadaan syok.[1]

Memantau TTV dan membantu mengontrol perdarahan.

Menyiapkan tisu dan basin emesis (bengkok) untuk kemungkinan

perdarahan yang berlebihan. Penyuluhan pasien saat pulang untuk tidak

bersin yang amat kuat, mengejan, hindari tempat tekanan tinggi (terlalu

bawah / tinggi), trauma nasal, melembabkan jalan udara nasal.[3]

2. FRAKTUR HIDUNG

a. Definisi

Fraktur hidung adalah perubahan anatomis dan fisiologis akibat

adanya trauma pada hidung dan area sekitar hidung.[4]

Page 4: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 4

b. Patofisiologi

Fraktur hidung biasanya disebabkan oleh trauma seperti

kecelakaan lalu lintas, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan

olahraga. Letak hidung sebagai bagian yang paling menonjol dari wajah

juga menjadi penyebab hidung sering mengalami trauma. Deformitas

tulang hidung pada fraktur hidung memungkinkan timbulnya obstruksi

jalan napas akibat tulang hidung yang patah menghalangi masuknya udara

ke saluran napas.[3],[5]

Faktor resiko fraktur hidung antara lain struktur hidung anterior

yang rapuh karena tersusun atas tulang rawan, posisi dan susunan tulang

yang rapuh membuat hidung tidak tahan terhadap hantaman keras. [5]

c. Klasifikasi Fraktur Hidung

- Klasifikasi Stranc & Robertson

Klasifikasi yang mempertimbangkan dampak dan

kerusakan hidung yang terkait tanpa memperhatikan

pertimbangan radiologi. Klasifikasi tersebut adalah :

1. Luka tipe I

Fraktur pada tulang hidung bagian depan dan bawah

lebih rendah daripada rongga hidung yang menyebabkan

tulang hidung mengalami avulsi dari kartilago lateralis atas

dan terkadang terjadi dislokasi septum bagian superior dan

kartilago. [5]

2. Luka tipe II

Jenis cedera pada tulang hidung eksternal, septum

nasal, dan tulang belakang hidung anterior yang

Page 5: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 5

menyebabkan pelebaran / penyimpangan bentuk hidung

dan hilangnya pusat kedudukan posisi hidung. [5]

3. Luka tipe III

Jenis cedera yang melibatkan struktur tulang hidung

yang lebih dalam dan juga melibatkan sebagian kecil

tengkorak kepala. [5]

- Klasifikasi Harisson

Fraktur yang melibatkan tulang hidung dibagi menjadi 3

kategori tergantung pada derajat kerusakan, dan pengelolaannya.

- Luka kelas I

Kerusakan (fraktur) nasal yang sangat kecil. Garis

fraktur parallel ke dorsum dan sendi pada poin tulang nasal

menebal. Luka kelas 1 tidak menyebabkan perpindahan

tulang nasal yang begitu besar walaupun pasti masih

terlihat adanya displacement. Pemeriksaan radiologi

tentang gambaran adanya fraktur bisa muncul, bisa juga

tidak.

Secara klinis, tanda dan gejala yang muncul adalah

kemerahan dan krepitus pada area nasal yang terkena.

- Luka kelas II

Patah tulang pada kelas 2 mempengaruhi perubahan

kosmetik karena area fraktur juga mengenai prosesus

frontal pada hidung (pembentuk maxilla). Fraktur juga

mengenai septum nasal. fraktur yang terjadi menyebabkan

fraktur komunitiva,sehingga deviasi semakin jelas.

Khasnya pada fraktur ini akan tampak gambaran seperti

huruf C.

Page 6: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 6

- Luka kelas III

Gambar 3. Kompleks NOE.[6]

Merupakan fraktur hidung paling parah. Fraktur di

kelas ini dikenal dengan nama naso orbito etmoidalis

(NOE). The naso-orbito-ethmoid kompleks terdiri dari

pertemuan beberapa tulang: (1) tulang frontal, (2) tulang

hidung, (3) tulang rahang, (4) tulang lakrimal, (5) tulang

ethmoid, dan (6) tulang sphenoid.[5],[6]

d. Jenis – jenis Fraktur

1. Fraktur Lateral

Fraktur terjadi pada salah satu sisi hidung saja.

Gambar 4. Fraktur Lateral. [7]

Page 7: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 7

2. Fraktur Bilateral

Fraktur lateral yang disertai dislokasi septum nasal

(tulang nasal dan maksilaris terputus)

Gambar 5. Fraktur Bilateral.[7]

3. Fraktur Direct Frontal

fraktur os nasal dan os frontal sehingga

menyebabkan desakan dan pelebaran pada dorsum nasalis.

Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu suaranya.

Gambar 6. Fraktur Direct Frontal.[7]

4. Fraktur Comminuted

Fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa

fragmen. Fraktur ini akan menimbulkan deformitas dari

hidung yang tampak jelas.

Page 8: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 8

Gambar 7. Fraktur Comminuted.[7]

e. Tanda & Gejala

- Laserasi hidung

- Epistaksis (membrane mukosa rupture)

- Jaringan lunak hidung ekimosis dan udem yang menyebar ke

kelopak mata atas dan bawah

- Deformitas hidung.[5],[7]

f. Intervensi Keperawatan

Instruksikan pasien untuk memasang kantung es pada hidung

selama 20 menit sehari sampai pembengkakan

menghilang.Ketidakmampuan untuk bernapas melalui hidung akibat

obstruksi yang disebabkan oleh fraktur, membuat pasien bernapas melalui

mulut yang akhirnya mulut menjadi kering. Bilaskan mulut untuk

melembabkan merman mukosa dan mengurangi rasa darah yang

mongering.[3]

Page 9: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 9

3. POLIP NASAL

a. Definisi

Polip nasal merupakan adanya masa edematous pada sinus

paranasales pada mukosa hidung akibat inflamasi (Erbek et.al, 2007).

Polip nasal terdiri dari jar. Ikat longgar, edema, sel – sel inflamasi, dan

beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel,

terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet

(Fokkens et al,2007).

b. Patofisiologi

Gambar 8. Polip Nasal (massif).[8]

Polip hidung berasal dari reaksi alergik yang terjadi pada mukosa

hidung. Polip berasal dari pembengkakan lapisan mukosa hidung atau

sinus yang akhirnya menonjol dan turun ke rongga hidung akibat gaya

berat.[8]

Cairan edema polip mengandung cairan interseluler dan sel radang

(netrofil, eosinophil). Rhinitis, sinusitis, iritasi, dan sumbatan hidung

akibat kelainan anatomic merupakan faktor predisposisi polip.[9]

Proses peradangan yang lama dari reaksi alergik menyebabkan

munculnya edema mukosa di meatus medius yang kemudian akan terisi

Page 10: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 10

oleh cairan interseluler. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang terbentuk

akan semakin membesar dan turun kedalam rongga hidung yang akhirnya

membentuk polipoid.[10]

Selain itu, vasodilatasi pembuluh darah yang lama pada sub

mukosa menyebabkan edema mukosa yang selanjutnya terdorong ke sinus

(biasanya sinus maksilla lalu sinus ethmoid). Polip bisa terdorong karena

adanya gaya dorong dari bersin dan pengeluaran secret berulang yang

biasanya diderita orang dengan rhinitis alergik.[11]

c. Tanda dan Gejala

Gejala utama pada polip hidung adalah rasa tersumbat yang tidak

menghilang yang dapat menyebabkan hiposmia dan anosmia. Bila polip

menyumbat paranasal akan menyebabkan sinusitis. Pada tampilan luar,

hidung penderita tampak lebih mekar dari ukuran normal.[8]

Pada penderita polip dengan asma, gejalanya dapat berupa batuk

kronik dan suara mengi (wheezing).[8]

Jika penyebabnya alergi, maka tanda dan gejalanya :

1. Gejala Primer

- Bersin

- Iritasi hidung

- Postnasal drip

- Rinhorea purulent

2. Gejala sekunder

- Bernapas melalui mulut

- Suara sengau

- Halitosis

Page 11: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 11

- Gangguan tidur

- Penurunan kualitas hidup.[8]

d. Stadium Polip (Mackay dan Lundt, 1997)

1. Stadium I : Polip masih terbatas di meatus media

2. Stadium II : Polip sudah melewati meatus media tapi

belum memebuhi rongga hidung.

3. Stadium III : Polip sudah memenuhi rongga hidung

4. TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL) [17]

a. Definisi

Fraktur yang terjadi pada tulang wajah yakni tulang frontal,

temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila, dan mandibula.

b. Etiologi

1. Pada Orang Dewasa

- Kecelakaan lalu – lintas (40% - 45 %)

- Penganiayaan / perkelahian (10% - 15%)

- Olahraga (5% - 10%)

- Jatuh (5 %)

- Lain – lain (5% - 10%).[12]

2. Pada Anak – Anak

- Kecelakaan lalu lintas (10% - 15%)

- Penganiayaan / perkelahian (5% - 10%)

- Olahraga (50% - 65%)

- Jatuh (5% - 10%).[12]

Page 12: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 12

c. Klasifikasi

1. Fraktur Kompleks Nasal

Fraktur pada daerah hidung yang biasanya

melibatkan septum nasal dan kribiform ethmoid. Fraktur

dapat meluas ke prosesus frontal maksila serta posterior

dinding medial orbital. Displacement terjadi bergantung

pada arah gaya trauma yang didapatkan. Biasanya trauma

dialami tulang hidung yang berlekatan dengan maksila.

2. Fraktur Komplek Zigomatik

Fraktur zigomatik mempengaruhi tulang frontal,

temporal, dan maksila karena saling berkaitan satu sama

lain. Etiologi paling umum pada fraktur jenis ini adalah

pukulan pada daerah inferolateral pada tulang pipi.

Arkus zigomatik merupakan bentuk fraktur yang

berlainan dari fraktur tulang sutura zigomatikus

sebelumnya. Fraktur arkus zigomatikus terjadi karena

takikan pada arkus yang hanya bisa dilihat dalam

pandangan submentokonverteks.

Gambar 9. PandanganFrontal Fraktur ZigomatikKompleks.

Gambar 10. PandanganSubmentokonverteks FrontalFrakturZigomatik Kompleks.

Page 13: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 13

3. Fraktur dento – alveolar

Fraktur wajah yang terjadi pada pelepasan gigi atau

displacement mahkota gigi dengan atau tanpa terbukanya

saluran pulpa.

Gambar 10. Injuri Dento – Alveolar.

Etiologi fraktur jenis ini adalah trauma pada

jaringan lunak bibir atas pada gigi incisor yang

menyebabkan pecahnya satu atau lebih gigi.

Fraktur pada alveolus dapat berhubungan atau tidak

berhubungan dengan injuri gigi.

Gambar 11. Cedera Tulang Alveolar

Page 14: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 14

4. Fraktur Maksila

- Le Fort I

Gambar 12. Fraktur Le Fort I

Garis frakturnya transversal pada eahang

atas melalui lubang piriform diatas alveolar ridge, di

lantai atas sinus maksilaris, dan meluas ke posterior

yang melibatkan pterygoid plate.

- Le Fort II

Gambar 13. Fraktur Le Fort II

Fraktur jenis ini melibatkan fraktur pada

nasal. Fraktur horizontal berkaitan dengan dinding

sinus, fraktur pyramidal berkaitan dengan sutura –

sutura, dan pada zigomatikus, daerah nasofrontalis

yang sering terkena.

Page 15: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 15

- Le Fort III

Gambar 14. Fraktur Le Fort III

Disebut juga fraktur kraniofasial karena

bagian tengah wajah (basis kranial) benar – benar

terpisah. Tanda – tanda klinis yang dapat diamati

adalah cedera kranioserebral dan trauma

intracranial.

5. Fraktur Mandibula

Pasien dengan fraktur mandibular biasanya tidak

menyadari adanya fraktur, namun mereka menyadari

setelah adanya rasa nyeri saat mengunyah dan termasuk

juga mati rasa pada daerah saraf trigeminal. Temuan kunci

diagnosis fraktur mandibular adalah temuan mobilitas

tulang mandibular saat dipalpasi

- Fraktur Mandibula Simpisis

Gambar 16. Fraktur Mandibula Simpisis

Page 16: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 16

Fraktur terbuka yang terjadi di area medial

mandibular. Pada saat dipalpasi, tulang mandibular

dapat bergerak (mobilitas).

- Fraktur Angulus Mandibula

Gambar 17. Fraktur Angulus Mandibula

Fraktur terbuka yang terjadi pada daerah

lekukan mandibular (pada area gigi graham). Saat

dipalpasi tulang yang fraktur ini juga dapat

bergerak.

- Fraktur Ramus Mandibula

Gambar 18. Fraktur Ramus Mandibula

Fraktur yang terjadi pada bagian atas

lekukan mandibular yang secara anatomis melekat

pada membrane mukosa pipi.

Page 17: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 17

- Fraktur Kondilar Mandibula

Gambar 19. Fraktur Kondilar Mandibula

Fraktur yang mengenai perlekatan antara

mandibular dan maksila. Dapat berupa fraktur

tunggal kondilar atau bergabung dengan

subkondilar. Kedua posisi anatomis ini saling

berhubungan.

5. TRAUMA LEHER

a. Definisi

Trauma leher adalah benturan yang mengenai bagian leher akibat

trauma benda tajam dan benda tumpul. Pada kejadian yang sangat parah

dapat terjadi trauma tembus leher.[14]

b. Etiologi

- Luka tembak

- Luka sayatan

- Luka kecelakaan berburu

- Luka kecelakaan lalu lintas (luka benda tumpul)

Berdasarkan objek penyebab :

- Alat penusuk / pembacok

- Alat penembak cedera lebih berat.[13]

Page 18: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 18

c. Klasifikasi

Gambar 20. Zona Horizontal Leher.[15]

- Zona I

Trauma yang mengenai daerah trakea, esophagus, a. karotis

komunis, v. jugularis interna, a. subklavia, a. innominate, a.

vertebralis, fleksus brakhialis, tiroid dan medulla spinalis.

- Zona II

Trauma pada daerah antara bagian bawah kartilago krikoid

sampai angulus mandibular yang didalamnya ada laring, trakea,

esofagus, a.karotis, v. kugularis interna, a. vertebralis, medula

spinalis, n.laringeus rekuren dan saraf kranial. [15]

- Zona III

Trauma yang terletak antara angulus mandibula sampai

dasar tengkorak yang didalamnya terdapat a. Karotis interna

bagian distal, v. Jugularis interna, a. vertebralis, cabang-cabang

a. karotis eksterna, faring, kelenjar parotis, medula spinalis dan

saraf kranial IX – XII. [15]

Page 19: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 19

d. Manifestasi Klinis[16]

Berdasarkan struktur yang terlibat dengan trauma , tanda dan

gejala yang muncul adalah :

Struktur yang terlibat Tanda & Gejala

Pembuluh darah

(Pada zona I tanpa gejala)

SyokHematomaPerdarahanNadi lemah atau menghilangBruit atau thrill di leher

Laringotrakeal Emfisema subkutis

Sumbatan jalan nafas

Sucking wound

Hemoptisis

Dyspnea

Faringoesofagus

(cedera esophagus zona I jarangmenimbulkan gejala)(Cedera esophagus zona II gejala

muncul beberapa jam

Emfisema subkutis

HematemesisDisfagia

odinofagia

Tabel 1. Gejala dan tanda trauma tembusleher berdasarkan struktur yang terlibat.

Berdasarkan beratnya trauma :

1. Trauma tidak stabil

Tanda dan gejalanya antara lain deficit neurologi

(penurunan kesadaran, paralise), gangguan respirasi

(hemothorax, pneumothorax), syok, perdarahan yang massif,

dan hematom yang luas.[13]

2. Trauma stabil

Gejala dapat berupa nyeri, disartria, suara serak, disfagia,

odinofagia, hemoptisis, drooling dan demam. Kadang-kadang

pasien juga mengeluhkan hilangnya sensasi daerah

wajah.[13]

Page 20: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 20

DAFTAR PUSTAKA

1. Munir, Delfitri., Haryono, Yuritna, Rambe, Andrina Y.M. Epistaksis. Majalah

Kedokteran Nusantara ; 39 : 274 – 278.

2. Google Image Result :

http://www.google.com/imgres?newwindow=1&biw=1366&bih=623&tbm=isch&tbnid=fYdr6Tu

SBX0pgM:&imgrefurl=http://chirpstory.com/li/42345&docid=a0XP4nzN5GU9DM&imgurl=http:

//pbs.twimg.com/media/A_H7ySCCAAAJ0AX.jpg&w=600&h=450&ei=pHO0Uuu2K8epyAGVt

4GgCQ&zoom=1&ved=1t:3588,r:6,s:0,i:99&iact=rc&page=1&tbnh=173&tbnw=231&start=0&n

dsp=18&tx=181&ty=36

3. Smeltzer, Suzanne .C., Bare Brenda .G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Edisi 8 Volume 1. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.

4. Arsyad, Soepardi., Efiaty., Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung

– Tenggorok – Kepala – Leher. FK – Universitas Indonesia, Jakarta 2001 : 161 –

164.

5. Thiagarajan, Balasubramanian., Ulaganathan, Venkatesan. Fracture Nasal Bones.

Otolaryngology Journal. 2013 ; 3 : 1-16.

6. Image Result : http://emedicine.medscape.com/article/1283798-overview#a04

7. Rubinstein B, Strong B. Management of nasal fracture. Arch Fam Med. 2000; 9 :

738-742.

8. Mangunkusumo,Endang dan Retno S. Wardani. 2007. Polip Hidung. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VI. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI. Hal. 123-5.

Page 21: Resume (Masalah Pernafasan Atas Non-Infeksi)

Resume Masalah Pernapasan Atas Non-infeksi 21

9. Adams, George, Lawrence Boies and Peter Hiegler. 1997. Rhinosinusitis

Alergika. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok ed.VI. Philadelphia:

W.B. Saunders. Hal.210-217.

10. Mansjoer,Arif., Kuspuji, Triyanti., Rakhmi, Savitri, dkk. 2001. Polip Hidung.

Kapita Selekta Kedikteran ed.III jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal:

113-4.

11. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007.

Polip Hidung dan Sinus Paranasal (Dewasa) Penatalaksanaan. Guideline

Penyakit THT di Indonesia. Hal.58.

12. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih bahasa, Purwanto,

Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222.

13. McQuone S, Eisele DW. Penetrating trauma of the neck. In : Eisele DW,

McQuone S, eds. Emergencies of the head and neck. St. Louis; Mosby 2000.p.

183-94.

14. H. Nurbaiti Iskandar. Prof, Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorokan, Fakultas

kedokteran Universitas Indonesia, Hlm 366 dan hlm 411

15. Stewart MG. Penetrating Face and Neck Trauma. In : Bailey BJ, Johnson JT, eds.

Head and Neck SurgeryOtolaryngology. 4th ed. Philadelphia; Lippincott

Williams&Wilkins Publisers; 2006.p.1017-26.

16. Ruckenstein MJ. Comprehensive review of Otolaryngology, 1st ed.Philadelphia;

Saunders. 2004.

17. Anonim. Insidensi Fraktur Maksilofasial Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada

Pengendara Sepeda Motor yang dirawat di RSUP .H. Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara