responsi kasus hsp

33
 RESPONSI KASUS HENOCH SCHONLEIN PURPURA (HSP) Oleh: Liveina (1002005140) Stephanie Patricia (1002005153) Pembimbing dr. Kadek Ayu Lestari, Sp.A DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK BRSU TABANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA JULI 2014

Upload: laurensia-liveina-hartono

Post on 09-Oct-2015

83 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

henoch schonlein purpura-laporan kasus

TRANSCRIPT

  • RESPONSI KASUS

    HENOCH SCHONLEIN PURPURA (HSP)

    Oleh:

    Liveina (1002005140)

    Stephanie Patricia (1002005153)

    Pembimbing

    dr. Kadek Ayu Lestari, Sp.A

    DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

    DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK BRSU TABANAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

    JULI 2014

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena

    berkat rahmat dan karunia-Nyalah maka tinjauan pustaka dan laporan kasus yang

    berjudul Henoch Schonlein Purpura (HSP) ini dapat selesai tepat pada

    waktunya. Adapun tujuan dari penulisan tinjauan pustaka dan laporan kasus ini

    adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik madya di

    bagian/SMF Ilmu Kesehatan anak FK UNUD/BRSU Tabanan.

    Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas ini banyak

    mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini

    penulis bermaksud mengucapkan rasa terima kasih kepada:

    1. dr. KadekAyu Lestari, Sp.A selaku dosen pembimbing dalam

    pembuatan tinjauan pustaka dan laporan kasus ini.

    2. Para dokter dan rekan-rekan dokter muda lainnya yang telah

    membantu dalam penyusunan tinjauan pustaka dan laporan kasus ini

    beserta semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis

    sebutkan satu-persatu.

    Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna.

    Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan sehingga

    dapat dihasilkan tinjauan pustaka dan laporan kasus yang lebih baik di kemudian

    hari.

    Denpasar, Juli 2014

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN DEPAN .......................................................................................... i

    KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

    DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi dan Epidemiologi ........................................................................... 3

    2.2 Etiopatogenesis ............................................................................................. 4

    2.3 Manifestasi Klinis ......................................................................................... 5

    2.3.1 Kulit ..................................................................................................... 6

    2.3.2 Gastrointestinal .................................................................................... 6

    2.3.3 Persendian ............................................................................................ 7

    2.3.4 Renal .................................................................................................... 7

    2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 7

    2.5 Diagnosis ....................................................................................................... 10

    2.6 Diagnosis Banding ........................................................................................ 10

    2.7 Penatalaksanaan ........................................................................................... 11

    2.8 Prognosis ....................................................................................................... 12

    BAB III LAPORAN KASUS

    3.1 Identitas Pasien.............................................................................................. 14

    3.2 Heteroanamnesis ........................................................................................... 14

    3.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................... 17

    3.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 18

    3.5 Diagnosis ....................................................................................................... 19

    3.6 Terapi dan Monitoring Terapi ....................................................................... 19

    3.7 Follow up saat MRS ...................................................................................... 20

    BAB IV PEMBAHASAN

    4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik ................................................................ 24

    4.2 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 25

    4.3 Penatalaksanaan ............................................................................................ 26

  • BAB V PENUTUP

    5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 28

    5.2 Saran .............................................................................................................. 29

    DAFTAR PUSTAKA

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Henoch Schonlein Purpura (HSP) pertama kali dideskripsikan pada tahun

    1801 oleh Heberden yang menemukan nyeri perut, mual, melena, arthralgia,

    purpura, dan hematuria pada anak 5 tahun. Selanjutnya, Schonlein

    mendeskripsikan asosiasi arthralgia dan lesi purpura di kulit pada seorang anak,

    dan menyebutnya peliosis rheumatic. Pada tahun 1837, Henoch melaporkan 4

    orang anak yang mengeluhkan nyeri perut dan mengalami lesi pada ginjal, disertai

    manifestasi pada kulit dan sendi. Sejak saat itu, penyakit tersebut disebut HSP.1

    Penyebab penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, namun diyakini

    paparan terhadap berbagai antigen seperti agen infeksi, vaksinasi, dan obat-obatan

    dapat memicu reaksi imunologi. Manifestasi klinis yang dominan pada penyakit

    ini adalah palpable purpura dan petechiae, arthritis, nyeri perut, dan nefritis. Pada

    kebanyakan pasien pediatric penyakit ini merupakan penyakit self-limited, namun

    perdarahan intestinal yang parah atau intususepsi dapat menjadi komplikasi akut

    yang berbahaya. Prognosis HSP tergantung pada seberapa parah keterlibatan

    ginjal yang terjadi. Gejala pada ginjal yang ditimbulkan, dapat berupa hematuria

    intermiten dan proteinuria hingga sindrom nefrotik-nefritik yang parah.2

    The European League against Rheumatism (EULAR) and the Pediatric

    Rheumatology European Society (PRES) mempublikasi klasifikasi baru untuk

    mendiagnosis vasculitides pada tahun 2008.3 Kriteria konsensus untuk

    mendiagnosis HSP adalah adanya purpura atau petechiae predominan pada

    anggota gerak bagian bawah dan setidaknya salah satu dari gejala sebagai berikut,

    nyeri perut yang menyebar, biopsi yang menunjukan predominan deposisi IgA,

    arthritis akut/arthralgia, dan keterlibatan ginjal berupa hematuria dan/atau

    proteiuria. Kriteria ini memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 87% untuk

    mendiagnosis HSP.1

    Seorang pasien perempuan, berusia 6 tahun, dilaporkan mengalami

    purpura yang predominan pada kaki yang sebelumnya disertai riwayat demam dan

    infeksi saluran pernafasan akut. Makalah ini dibuat untuk mempelajari HSP, baik

  • dari segi diagnosis klinis hingga tata laksana penyakit ini sehingga dapat

    memberikan wawasan bagi pembaca dan penulis.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi dan Epidemiologi

    Henoch-Schnlein purpura (HSP) adalah vaskulitis pada pembuuh darah

    kecil yang dimediasi oleh deposisi kompleks imun immunoglobulin A (IgA).

    Beberapa literatur menyebutkan HSP merupakan vaskulitis yang paling sering

    terjadi pada anak-anak, disebutkan insidennya bervariasi dari 6,1 sampai 6,5 per

    100.000.4 Karakteristik dari penyakit ini meliputi vaskulitis pada kulit, sendi

    saluran cerna, dan ginjal.1

    HSP lebih sering ditemukan pada anak-anak berusia 5-15 tahun, jarang

    ditemukan pada orang dewasa dan bayi. Onset usia menjadi faktor penting untuk

    menentukan derajat penyakit dan prognosisnya.5 Gejala klinis sering kali atipikal

    pada usia yang ekstrem. Derajat penyakit menjadi lebih berat pada dewasa,

    sedangkan pada anak usia di bawah 2 tahun jarang ditemukan nefritis atau

    komplikasi pada abdomen. Sebuah studi di Bistrol menyebutkan bahwa insiden

    HSP lebih rendah secara signifikan pada anak-anak kulit hitam dibandingkan

    anak-anak kulit putih dan anak-anak Asia.6 Sedangkan berdasarkan jenis kelamin,

    rasionya antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.6

    HSP lebih sering didiagnosis pada musim dingin, gugur, dan semi

    dibandingkan dengan musim panas. Hal ini mendukung pandangan yang

    menyatakan bahwa infeksi memiliki peran dalam pathogenesis penyakit ini.7

    Sebuah penelitian kohort di Itali disebutkan bahwa sebanyak dua per tiga dari

    pasien HSP mengalami infeksi pemicu terjadinya penyakit ini. 63 dari 150

    mengalami infeksi saluran nafas akut dan 37 dari 150 anak mengalami infeksi

    lainnya atau demam.7 Banyak organisme yang dikatakan menjadi faktor

    presipitasi HSP, namun Streptococcus hemolytic Grup A B menjadi organisme

    yang paling banyak ditemukan.8

    Organisme lain yang dapat diidentifikasi meliputi hepatitis A dan B,

    cytomegalovirus, HIV, adenovirus, Mycoplasma, Herpes simplex, Helicobacter

    pylori, Toxacara canis, Human parvovirus B19, varicella, and scarlet fever.

  • Beberapa obat-obatan juga dikatakan memicu HSP meskipun belum ada

    penelitian yang dapat membuktikan hal ini.6

    2.2 Etiopatogenensis

    HSP disebutkan sebagai sebuah penyakit yang dimediasi kompleks IgA

    meskipun hingga saat ini pathogenesis penyakit masih belum jelas.9 IgA adalah

    immunoglobulin utama yang secara langsung melawan antigen virus dan bakteri

    pada sistem imun area mukosa. Kompleks IgA dibentuk dan terdeposisi pada

    kulit, usus, dan glomeruli ginjal, memicu respons inflamasi daerah lokal.

    Peningkatan konsentrasi serum IgA dapat ditemukan pada lebih dari

    setengah pasien dengan HSP.8 Tingginya serum IgA ini sendiri tidak menjadi

    faktor predisposisi pasien menderita HSP. Terdapat dua subklas IgA, yaitu IgA1

    dan IgA2, di mana hanya IgA1 yang terlibat dalam pathogenesis HSP. Hal ini

    berhubungan dengan multiple O-linked glycosylation, penyimpangan glikosisasi

    yang ditunjukkan pada HSP.9

    Penelitian lebih penting dilakukan untuk

    mengetahui apakah penyimpangan glikosilasi IgA merupakan penyebab atau

    akibat dari HSP.10

    Glikosilasi IgA yang menyimpang tidak dibersihkan oleh hati

    dengan baik sehingga rentan terjadi agregat kompleks makromolekul. Hal ini

    mengakibatkan akumulasi pada sirkulasi dan terdeposisi pada dinding pembuluh

    darah kecil dan mencetuskan lesi inflamasi melalui jalur alternatif dan lectin

    komplemen dan aktivasi sel langusng.9 Vaskulitis leukositoklastik kemudian

    terbentuk dan mengakibatkan nekrosis pembuluh darah kecil. Hal ini

    mengakibatkan ekstravasasi darah dan cairan ke jaringan sekitar, yang

    bermanifestasi sebagai gejala spesifik terhadap organ yang terlibat.

    Semua pasien HSP memiliki kompleks imun IgA1 yang bersirkulasi,

    namun hanya pasien dengan manifestasi nefritis yang memiliki imun kompleks

    bermassa molekul besar yang mengandung IgA1 dan IgG. Kompleks tersebut

    diekskresikan pada urin pada sebagian pasien sehingga berpotensi menjadi marker

    spesifik terhadap penyakit ini.

    Tumor necrosis factor- (TNF-) adalah sebuah sitokin yang diproduksi

    oleh makrofag dan T cells saat respon imun berlangsung. Sitokin ini mungkin

  • berkaitan dengan vaskulitis yang terjadi pada HSP. Penelitian Besbas et al,

    menunjukkan bahwa pada fase akut HSP ditemukan level TNF- yang tinggi pada

    jaringan dan plasma. TNF- memicu reaksi antigen pada sel endothelial yang

    menyebabkan meningkatnya afinitas ikatan IgA dan menghasilkan inflamasi

    vaskuler. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan antigen

    spesifik. Level endothelin secara signifikan lebih tinggi pada fase akut HSP,

    namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut signifikansi dari peningkatan

    endothelin tersebut.9,10

    2.3 Manifestasi Klinis

    Ruam di kulit menjadi penanda awal pasien dengan HSP. Keterlibatan

    organ lain dapat muncul bersamaan dengan ruam, atau bermanifestasi setelah

    beberapa hari atau beberapa minggu. Banyak kasus HSP didahului infeksi saluran

    pernafasan akut, oleh karena itu HSP dapat didahului beberapa gejala sistemik

    seperti demam dan malaise. Sebuah studi menyebutkan nyeri perut atau arthritis

    muncul setelah 1-14 hari ruam muncul. Namun, penelitian Calvino et al

    menyatakan bahwa 30-43% mengalami gejala pada sendi dan perut 1-14 hari

    sebelum ruam muncul. Hal ini dapat mengaburkan diagnosis sehingga terjadi

    tindakan-tindakan yang tidak perlu seperti laparotomy atu orchidectomy pada

    pasien yang mengalami nyeri perut atau nyeri skrotal.

    Gejala-gejala ekstrarenal dilaporkan merupakan self-limited disease yang

    akan membaik dalam 2 minggu pada 83% pasien, dan hampir seluruh pasien

    membaik dalam 6-8 minggu. Kekambuhan seringkali terjadi, meskipun biasanya

    lebih ringan dan durasinya lebih singkat dari kejadian primernya. Biasanya

    kekambuhan berhenti terjadi setelah 4 bulan.

    Dalam sebuah systematic review dari 12 studi, 91% pasien yang

    mengalami gejala pada ginjal mengalami kekambuhan dalam 6 minggu setelah

    gejala pada ginjal pertama kali muncul, sedangkan 97% pasien dalam 6 bulan.

    Nefritis cenderung ringan dan self-limited, namun beberapa anak menjadi

    penyakit ginjal yang persisten dan dapat berkembang menjadi end-stage renal

    disease. Prognosis HSP baik pada pasien tanpa penyakit ginjal, namun perdarahan

  • saluran cerna atau intussusepsi dapat menyebabkan komplikasi akut. Pada HSP

    dengan keterlibatan ginjal prognosisnya tidak dapat diprediksi, morbiditas jangka

    panjang pada ginjal dapat bermanifestasi bahkan hingga bertahun-tahun setelah

    pemulihan.

    2.3.1 Kulit

    Ruam khas HSP adalah palpable purpura yang distribusinya simetris pada

    ekstensor, tungkai bawah dan bokong. Beberapa kasus melibatkan lengan, wajah

    dan telinga tetapi biasanya hanya sekitar batang tubuh. Purpura HSP dapat berupa

    petechiae, ekimosis besar, dan dapat didahului dengan urtikaria atau eritematosa,

    makulopapular lesi. Lesi bulosa yang parah jarang terjadi pada anak-anak, hanya

    sekitar 2% dari pasien.

    2.3.2 Gastrointestinal

    Kejadian keterlibatan gastrointestinal dilaporkan umumnya antara 50-75% dari

    kasus dengan presentasi yang paling umum adalah nyeri perut kolik. Gejala lain

    termasuk muntah dan perdarahan gastrointestinal bermanifestasi sebagai darah

    samar pada tinja atau tampak secara makroskopik. Perdarahan gastrointestinal

    masif jarang ditemukan, hanya dilaporkan pada sekitar 2% dari pasien. Gejala

    tersebut merupakan hasil dari edema dan perdarahan dinding usus akibat

    vaskulitis. Intususepsi juga merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun

    penting untuk ditegakkan segera karena keterlambatan manajemen dapat

    mengakibatkan usus iskemik. Enteropati, pankreatitis, dan hidrops kandung

    empedu dapat juga terjadi. Harus diingat bahwa edema sekunder akibat

    hipoalbuminemia mungkin terjadi karena sindrom nefrotik atau kehilangan

    protein pada enteropati atau kombinasi keduanya.

    2.3.3 Persendian

    Arthritis atau athralgia terjadi pada 15-25% kasus namun hingga 82% pasien

    mengalami gejala pada persendian selama penyakit berlangsung. Arthritis

    biasanya mengenai persendian besar pada anggota gerak bagian bawah termasuk

    lutut, pergelangan kaki, tumit, dan panggul. Namun tidak menutup kemungkinan

    anggota gerak atas juga terlibat. Pada sebuah review retrospektif 100 pasien, 72%

  • pasien mengalami gejala pada sendi tumit dan pergelangan kaki, 50% pasien

    mengalami gejala pada lutut, 26% pasien mengalami gejala pada tangan dan

    pergelangan tangan, dan 10% pada sendi siku. Gejala yang terjadi meliputi nyeri

    sendi, bengkak dan penurunan range of movement. Meskipun keterlibatan sendi

    tampak memperberat penyakit, namun hal ini tidak menyebabkan kerusakan

    permanen.

    2.3.4 Renal

    Keterlibatan ginjal pada HSP dilaporkan terjadi pada 12-92% kasus. Penyakit

    ginjal bermanifestasi sebagai hematuria, proteinuria, sindrom nefrotik/nefritis,

    renal impairment, dan hipertensi. Kondisi ini berkembang dalam 4 minggu pada

    75-80% kasus dan dalam 3 bulan pada 97-100% kasus. Pada kasus yang tidak

    khas, insiden peyakit ginjal yang berat meliputi nefritis akut, sindrom nefrotik,

    atau renal impairment 5-7%. Hipertensi dapat terjadi pada kasus yang melibatkan

    ginjal. Apabila penyakit ginjal tidak membaik saat HSP membaik, diperlukan

    investigasi lebih lanjut.

    2.4 Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan penunjang pada kasus HSP ditujukan untuk menyingkirkan

    diagnosis banding dan mendeteksi komplikasi penyakit HSP. Pemeriksaan

    penunjang yang umum dilakukan antara lain:1,11

    - Pemeriksaan kadar IgA dalam serum

    Pemeriksaan kadar IgA dalam serum bukan merupakan pemeriksaan spesifik

    untuk HSP, namun adanya peningkatan kadar IgA dapat mengarahkan

    diagnosis penyakit HSP dibanding tipe vaskulitis lain. Kadar IgA serum yang

    meningkat dapat ditemui pada 25 50% kasus HSP, namun besarnya

    peningkatan tidak sebanding dengan beratnya gejala HSP.

    - Pemeriksaan darah lengkap

    Pada HSP umumnya didapatkan kadar trombosit yang meningkat. Kadar

    hemoglobin yang rendah mungkin ditemui jika terjadi perdarahan saluran

    cerna atau hematuria berat akibat komplikasi HSP. Leukositosis dijumpai

    pada kasus kasus HSP yang didasari oleh adanya infeksi bakteri.

  • - Urinalisis

    Urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya hematuria ataupun proteinuria

    yang menjadi salah satu kriteria diagnosis untuk HSP.

    - Pemeriksaan gangguan fungsi pembekuan darah

    Pemeriksaan seperti PPT (Plasma Prothrombin Time), APTT (Activated

    Partial Thromboplastin Time),dan CT (clotting time) dapat dilakukan untuk

    menyingkirkan kemungkinan purpura akibat gangguan pembekuan darah.

    Pada HSP umumnya ditemui fungsi pembekuan darah yang normal.

    - Pemeriksaan laju endap darah

    Laju endap darah merupakan pertanda non spesifik dari adanya proses

    inflamasi. Pada 60% kasus HSP dapat ditemui laju endap darah yang

    meningkat.

    - Pemeriksaan kadar serum kreatinin (SC) dan kadar urea dalam darah (Blood

    Urea Nitrogen / BUN)

    Kadar BUN-SC akan meningkat pada beberapa kasus HSP dengan penurunan

    fungsi filtrasi glomerulus akibat adanya kerusakan pembuluh darah ginjal.

    - Pemeriksaan faktor XIII dalam plasma

    Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus yang atipiikal. Aktivitas faktor

    XIII dalam plasma dilaporkan menurun pada 70% pasien HSP, terutama pada

    pasien yang memiliki gejala gastrointestinal yang berat. Kaneko et al (2004)

    mengatakan bahwa faktor XIII dapat menjadi salah satu marker yang dapat

    membantu menegakkan diagnosis HSP, bahkan sebelum onset purpura

    muncul. Namun studi lebih lanjut mengenai faktor XIII masih diperlukan.

    - Pemeriksaan antineutrofil cytoplasmic antibodies (ANCA)

    Pada HSP, tidak ada peningkatan ANCA. Hal ini dapat membedakan HSP

    dengan vasculitides tipe ANCA positif.

    - Pemeriksaan darah samar

    Hasil positif dari Occult faecal blood test mungkin menunjukkan adanya

    perdarahan saluran cerna terkait HSP.

  • Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk diagnosis HSP, namun

    mungkin perlu dilakukan pada kasus kasus HSP dengan kecurigaan komplikasi

    pada organ lain seperti ginjal, saluran cerna dan otak. Pemeriksaan ultrasound

    (USG) berguna sebagai skrining bila ditemui gejala nyeri perut yang hebat. USG

    dapat mendeteksi adanya intususepsi atau perforasi usus. USG ginjal juga dapat

    melihat adanya kelainan ginjal yang biasa ditemui pada kasus HNP yang berat.

    Endoskopi digunakan untuk mengevaluasi perdarahan saluran cerna dan

    neuroimaging digunakan bila ada kecurigaan keterlibatan serebral.1,11

    Biopsi kulit, mukosa lambung atau ginjal dapat dilakukan untuk

    menegakkan diagnosis HSP. Temuan tipikal dari hasil biopsi jaringan tersebut

    berupa deposit IgA yang menyebar, dan sering disertai dengan adanya IgG atau

    C3 dalam mesangium dengan infiltrat selular. 1,11

    2.5 Diagnosis

    Diagnosis HSP dapat ditegakkan melalui gejala klinis berdasarkan kriteria dari

    konsensus European League against Rheumatism (EULAR) dan the Pediatric

    Rheumatology European Society (PRES) tahun 2008 dengan sensitivitas sebesar

    100% dan spesifisitas sebesar 87% untuk diagnosis HSP. Kriteria diagnosis HSP

    yaitu adanya purpura atau petekie yang predominan pada tungkai bawah diikuti

    dengan salah satu dari tanda berikut: adanya nyeri perut yang menyebar, arthritis /

    arthralgia akut, deposisi predominan IgA pada hasil biopsi, dan keterlibatan ginjal

    seperti hematuria dan/atau proteinuria.1

    2.6 Diagnosis Banding

    Anak anak dibawah 17 tahun dengan palpable purpura dan keterlibatan

    multisistem (gastrointestinal, ginjal dan sendi) tanpa adanya trombositopenia

    mengarahkan diagnosis ke HSP. Diagnosis banding untuk HSP antara lain: 1,12

    - Immunologic trombocytopenia purpura (ITP). Trombositopenia yang ditemui

    pada ITP merupakan pembeda utama ITP dengan HSP dimana kadar

    trombosit pada HSP normal atau meningkat.

  • - Erupsi Obat, Urtikaria dan Eritema Multiformis. Manifestasi kulit pada

    penyakit tersebut dapat menyerupai lesi pada HSP. Namun pada HSP,

    predileksi lesi khas predominan pada tungkai bawah dan harus disertai salah

    satu dari kriteria diagnosis lainnya. Bila diagnosis masih diragukan, diagnosis

    HSP harus dikonfirmasi dengan biopsi kulit atau ginjal.

    - Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Inflamasi vaskuler sekunder akibat

    SLE dapat menyerupai HSP. Pemeriksaan antibodi DNA double stranded dan

    antinuklear dapat menyingkirkan diagnosis SLE.

    - Cutaneous Leucocytoclastic angiitis. Pada penyakit ini, tidak terjadi

    vaskulitis sistemik dan jarang mengenai saluran cerna. Pada hasil biopsi juga

    tidak tampak deposisi IgA.

    - Granulomatosis Wegener, dibedakan dengan HSP dari pemeriksaan ANCA

    dimana pada granulomatosis wegener ditemukan ANCA positif.

    - Nefropati IgA. Adanya purpura yang teraba pada HSP dapat menyingkirkan

    diagnosis nefropati IgA.

    - Chrons Disease. Pada Chrons disease terjadi inflamasi pada usus dengan

    gejala nyeri perut yang dapat menyerupai nyeri perut pada HSP. Namun pada

    Chrons disease ini tidak terdapat palpable purpura.

    2.7 Penatalaksanaan

    HSP dapat membaik dengan sendirinya (self-limiting) pada 94% pasien.

    Terapi yang diberikan merupakan terapi simtomatis. Tirah baring dan terapi

    analgesik diberikan pada pasien dengan nyeri sendi akut dan nyeri perut.

    Acetaminophen dapat menjadi pilihan pengobatan. Pemberian aspirin sebaiknya

    dihindari. Non steroidal anti inflammatory (NSAID) sebaiknya dihindari terutama

    pada pasien dengan keterlibatan ginjal dan saluran cerna. Cairan intravena dapat

    diberikan pada pasien dengan nyeri abdomen hebat dan muntah. 1,12

    Kortikosteroid oral diindikasikan pada pasien dengan rash yang berat,

    edema, nyeri abdomen hebat tanpa mual muntah, dan keterlibatan ginjal, skrotum

    serta testis. Prednison atau methylprednisolone dapat diberikan dengan dosis awal

    1-2 mg/kgBB per hari selama satu hingga dua minggu. Selanjutnya, dosis

  • diturunkan secara bertahap menjadi 0,5 mg/kgBB/hari untuk satu minggu

    selanjutnya. Steroid intravena dapat diberikan apabila pasien tidak toleran

    terhadap steroid oral.12

    Menurut beberapa studi, terapi steroid dapat meringankan gejala

    gastrointestinal, mengurangi rekurensi HSP, dan mengurangi progresivitas

    kerusakan ginjal. Steroid juga dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan

    gastrointestinal atau intususepsi. Ronkainen et al (2006) melakukan sebuat

    randomized controlled trial (RCT) dan prednison daikatakan mampu mengurangi

    gejala dan durasi nyeri perut serta gejala sendi dan mempercepat perbaikan

    nefritis ringan pada pasien HSP.

    Plasmapharesis atau terapi imunoglobulin intravena dosis tinggi

    direkomendasikan untuk pasien dengan perburukan fungsi ginjal. Pasien dengan

    keterlibatan ginjal yang parah sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi dan dilakukan

    biopsi ginjal. Beberapa studi juga mengatakan bahwa dapson atau colchicine

    dapat memberikan manfaat untuk pasien HSP kronis. 12

    Pasien HSP dengan perdarahan gastrointestinal dan komplikasi pulmonal

    jarang ditemui. Namun bila terjadi hal demikian, intervensi seperti pembedahan

    mungkin dilakukan jika ada indikasi. Steroid intravena pada kasus HSP dengan

    perdarahan saluran cerna hanya merupakan terapi suportif jangka pendek untuk

    mengurangi gejala, namun tidak memperbaiki perdarahan saluran cerna yang

    terjadi.11

    Selain terapi simtomatis, pemberian faktor XIII secara intravena dapat

    dilakukan sebagai terapi adjunctive pada pasien HSP. Faktor XIII berkorelasi

    dengan keparahan gejala gastrointestinal pada pasien serta kadarnya ditemukan

    rendah pada pasien HSP. Beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Fukui

    (1989) megatakan bahwa administrasi faktor XIII memberikan perbaikan nyata

    pada gejala HSP dalam 3 hari. Studi lain oleh Davin (2011) melaporkan adanya

    perbaikan drastis pada gejala berat dari sistem gastrointestinal, pulmonal dan

    srebral setelah dilakukannya plasma exchange. 1,12

  • 2.8 Prognosis

    Sebagian besar kasus HSP dapat membaik dengan sendirinya, prognosis

    umumnya baik dengan five-year survival rates sebesar 95%. Satu dari tiga pasien

    mengalami relaps dengan durasi yang lebih singkat dan gejala yang lebih ringan,

    umumnya dalam waktu 4 bulan dan megenai organ yang sama. Prognosis pasien

    berdasarkan pada usia saat onset penyakit, keterlibatan organ ginjal, keterlibatan

    organ kulit, ketidakseimbangan imunoglobulin, dan keterlibatan neurologis. 12

    Beberapa faktor prognosis buruk pada pasien HSP antara lain: 12

    Usia lebih dari 8 tahun

    Sering relaps

    Kadar serum kreatinin yang lebih tinggi pada onset penyakit

    Proteinuria lebih dari 1 gram per hari

    Adanya hematuria dan anemia saat diagnosis

    Hipertensi

    Membranoproliferaive glomerulonephritis

    Adanya demam

    Adanya purpura diatas garis pinggang

    Adanya peningkatan laju sedimentasi

    Peningkatan konsentrasi IgA dengan penurunan konsentrasi IgM saat

    diagnosis

    Kadar faktor XIII yang rendah

  • BAB III

    LAPORAN KASUS

    3.1 Identitas Pasien

    Nama : NPRS

    Tanggal Lahir : 13 April 2008

    Umur : 6 tahun 2 bulan 24 hari

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Alamat : Br. Dinas Tengah Kangin Kerambitan

    MRS : 7 Juli 2014 (pukul 13.00 WITA)

    Tanggal Pemeriksaan : 10 Juli 2014 (pukul 14.00 WITA)

    3.2 Heteroanamnesis (Ibu Kandung Pasien)

    Keluhan Utama : Demam

    Riwayat Penyakit Sekarang

    Pasien datang ke poliklinik anak BRSU Tabanan diantar oleh orangtua.

    Pasien dikeluhkan demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (MRS) yaitu

    hari Rabu tanggal 2 Juli 2014. Demam dikatakan menetap sepanjang hari, sempat

    turun jika diberikan obat penurun panas. Demam terukur mencapai 38C. Demam

    disertai dengan keluhan batuk pilek serta mual dan muntah.

    Batuk dan pilek dialami sejak 3 hari sebelum MRS (4 Juli 2014), dirasakan

    sepanjang hari. Batuk dikatakan berdahak dengan dahak yang sulit dikeluarkan.

    Pilek dirasakan berupa sekret encer berwarna bening. Pasien juga sempat

    mengalami mual dan muntah sebanyak 3 kali pada tanggal 3 Juli 2014. Muntah

    berupa sari makanan yang dikonsumsi dengan volume sekitar 100 cc setiap kali

    muntah.

    Dua hari sebelum MRS (5 Juli 2014), demam dirasakan tidak membaik,

    dan muncul bercak bercak kemerahan yang meninggi di sekitar lutut kanan dan

    kiri pasien. Bercak kemerahan dikatakan muncul dengan sendirinya, tanpa rasa

    gatal atau nyeri. Demam saat itu terukur 39,5C dan pasien mendapatkan

  • paracetamol suppositori di UGD BRSU Tabanan. Pasien juga disarankan untuk

    cek darah lengkap.

    Satu hari sebelum MRS (6 Juli 2014), demam tidak kunjung membaik.

    Bercak kemerahan yang meninggi pada kulit dirasakan semakin menyebar hingga

    ke seluruh tubuh terutama pada daerah punggung dan bokong. Suhu pasien

    terukur 39,7C di UGD dan diberikan obat parasetamol dan dexamethason.

    Pada hari Senin, 7 Juli 2014, pasien dirasakan sudah tidak demam, namun

    bercak kemerahan dirasakan semakin memberat dengan warna lesi bertambah

    merah dibanding hari sebelumnya. Pasien disarankan rawat inap untuk

    penanganan lebih lanjut.

    Nafsu makan pasien sejak awal demam hingga MRS dirasakan berkurang.

    Minum pasien juga dikatakan berkurang dengan dengan total cairan masuk sekitar

    1000 cc per hari. Buang air kecil normal, warna kuning jernih, dan frekuensi rata

    rata 5 kali sehari dengan volume total sekitar 700 cc setiap harinya. Buang air

    kecil terakhir 2 jam sebelum MRS. Buang air besar dikatakan normal sekali sehari

    dengan konsistensi padat warna kecoklatan.

    Saat MRS hari kedua dan ketiga (8-9 Juli 2014) lesi dikatakan sempat

    berubah menjadi merah kehitaman.

    Riwayat Penyakit Dahulu dan Riwayat Pengobatan

    Pasien belum pernah menderita keluhan penyakit yang sama sebelumnya.

    Sebelum MRS, pasien sempat berobat ke puskesmas dan UGD BRSU Tabanan

    karena keluhan yang dirasakan. Pasien sempat diberikan obat penurun panas yang

    dimilikinya di rumah saat hari pertama demam. Pasien juga sempat mendapat

    terapi antibiotik (cefadroxil), parasetamol suppositori, penambah daya tahan tubuh

    (immunos), dan dexamethason.

    Riwayat Keluarga

    Saudara sepupu pasien dikatakan pernah mengalami keluhan yang sama dan

    sempat dirawat inap karena keluhan tersebut. Adik pasien dikatakan batuk dan

  • pilek sejak tiga hari sebelum pasien demam. Riwayat penyakit seperti alergi,

    asma, dermatitis atopik pada keluarga disangkal.

    Riwayat Sosial

    Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pasien tinggal bersama

    orangtua dan saudara kandungnya. Sirkulasi udara dan kebersihan rumah pasien

    dikatakan cukup bagus. Saat ini pasien duduk di kelas I SD. Ayah pasien seorang

    pegawai swasta dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga.

    Riwayat Persalinan

    Pasien lahir normal dibantu oleh bidan di BRSU Tabanan dengan umur kehamilan

    ibu 38 minggu. Berat badan pasien saat lahir 3250 gram, panjang badan saat lahir

    50 cm. Ibu pasien lupa lingkar kepala pasien saat lahir. Ketika lahir pasien segera

    menangis dan tidak ditemukan adanya kelainan.

    Riwayat Imunisasi

    Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap yaitu BCG sebanyak 1 kali,

    polio sebanyak 4 kali, Hepatitis B sebanyak 4 kali, DPT sebanyak 3 kali dan

    imunisasi campak.

    Riwayat Nutrisi

    Pasien mendapatkan ASI eksklusif selama 2 tahun Makanan pelengkap ASI

    seperti bubur cair mulai diberikan saat pasien berumur 4 bulan. Nasi lembek mulai

    diberikan sejak usia 6 bulan dan pada usia 9 bulan pasien sudah mulai makan nasi.

    Riwayat Tumbuh Kembang

    Berat badan lahir : 3250 gram

    Panjang badan lahir : 50 cm

    Berat badan sekarang : 22 kg

    Menegakkan kepala : 3 bulan

    Membalik badan : 4 bulan

  • Duduk : 5 bulan

    Merangkak : 8 bulan

    Berdiri : 12 bulan

    Berbicara : 13 bulan

    Berjalan : 15 bulan

    3.3 Pemeriksaan Fisik

    Status Present (10/07/2014)

    KU : Lemah

    Kesadaran : Compos mentis

    Nadi : 94 x/menit, reguler, isi cukup

    Respirasi : 32 x/menit

    Suhu aksila : 36,8oC

    Berat badan : 22 kg

    Status General (10/7/2014)

    Kepala : Normocephali

    Mata : anemis -/- , ikterus -/-

    THT : Telinga : sekret (-)

    Hidung : sekret (-), nafas cuping hidung (-)

    Tenggorok : Tonsil T 1/ T1 Hiperemis (-)

    Faring hiperemis (-)

    Thorax : Simetris (+) Retraksi (-)

    Cor : S1S2 tunggal reguler normal, murmur (-)

    Pulmo : Vesikuler +/+, wheezing -/-, ronki -/-

    Abdomen : Distensi (-), bising usus (+) normal

    Ekstremitas : Hangat (+), edema (-)

    Kulit : Tampak lesi purpura di seluruh tubuh dengan diameter sekitar 2

    mm, dominan pada bagian kaki. Papula eritema sudah tidak

    tampak.

  • 3.4 Pemeriksaan Penunjang

    1. Darah Lengkap 7 Juli 2014

    Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

    WBC 4,4 103/L 4 10

    Neu % 39,9 (rendah) % 50-70

    Lym % 37,4 % 20-40

    Mono % 18,90 (tinggi) % 2-8

    Eos % 0,790 % 0-3

    Baso % 2,980 (tinggi) % 0-1

    Neu # 1,750 (rendah) 103/L 2-6,9

    Lym # 1,640 103/L 0,6-3,4

    Mono # 0,829 103/L 0-0,9

    Eos # 0,2 103/L 0,07

    Bas # 0,114 103/L 0-0,2

    RBC 4,81 106/L 4,0-5,0

    HGB 12,9 g/dL 12,0 16,0

    HCT 38,6 % 36,0 46,0

    MCV 79,9 (rendah) fL 80,0 100,0

    MCH 26,2 pg 26,0 34,0

    MCHC 32,9 g/dL 32,0 36,0

    RDW 10,7 (rendah) % 11,5 14,5

    PLT 175 103/L 150 450

    MPV 9,1 fL 7,2-11,1

    2. Widal 7 Juli 2014

    No. Parameter Hasil Nilai Rujukan

    1. Salmonella paratyphi A-O (+) 1/80 NEGATIF

    2. Salmonella paratyphi B-O (+) 1/160 NEGATIF

    3. Salmonella paratyphi C-O (+) 1/160 NEGATIF

    4. Salmonella typhi O (+) 1/80 NEGATIF

  • 5. Salmonella paratyphi A-H (-) NEG NEGATIF

    6. Salmonella paratyphi B-H (+) 1/80 NEGATIF

    7. Salmonella paratyphi C-H (-) NEG NEGATIF

    8. Salmonella typhi H (+) 1/80 NEGATIF

    3. Serum 11 Juli 2014

    Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

    BUN 11 mg/dL 8-18

    Kreatinin 0,4 mg/dL 0,6-1,1

    3.5 Diagnosis

    Suspek Henoch Schonlein Purpura + typhoid fever

    3.6 Terapi dan Monitoring Terapi

    - IVFD D5 NS ~18 tpm

    - Dexamethason 3 x cc iv

    - Biofos 3 x cth I p.o

    - Hidrokortison zalf 1%/5 g

    - Cefixime 2 x 2/3 cth p.o

    - Diit bubur tinggi kalori tinggi protein rendah serat

    3.7 Follow up saat MRS

    Tanggal Subyektif, Obyektif,

    Assesment

    Terapi dan Planning

    Diagnosis

    8 Juli 2014

    (7.30 WITA)

    Subyektif

    Panas hari ke VII, tidak

    demam sejak MRS, bintik

    merah timbul sejak panas

    hari ke III membaik, gatal

    (-), makan (+), minum (+),

    Terapi

    - IVFD D5 NS ~18 tpm

    - Dexamethason 3 x cc

    iv

    - Biofos 3 x cth I p.o

    - Hidrokortison zalf 1%/5 g

  • muntah (-), batuk (+)

    Obyektif

    St.Present

    N : 100x/menit

    RR : 20x/menit

    Tax : 36OC

    St. General

    Mata : anemis -/-

    THT : dbn

    Thorax : Simetris (+)

    Cor : S1S2 normal reguler,

    murmur (-),

    Pulmo : Ves +/+, Rh -/-,

    Wh -/-

    Abdomen : Distensi (-),

    BU (+) normal,

    Ekstremitas : hangat,

    edema (-)

    Kulit: tampak

    makulopapula merah

    kehitaman di seluruh tubuh

    uk. 0,2 x 0,2 cm,

    Assessment

    Suspek Henoch Schonlein

    Purpura + typhoid fever

    - Anbacim 3 x 500 iv

    - Diit bubur tinggi kalori

    tinggi protein rendah serat

    Tanggal Subyektif, Obyektif,

    Assesment

    Terapi dan Planning

    Diagnosis

    10 Juli 2014

    (07.30 WITA)

    Subyektif

    Panas hari ke IX, tidak

    Terapi

    - IVFD D5 NS ~18 tpm

  • demam sejak MRS, bintik

    merah timbul sejak panas

    hari ke III membaik, gatal

    (-), makan (+), minum (+),

    muntah (-)

    Obyektif

    St.Present

    N : 94x/menit

    RR : 32x/menit

    Tax : 36,8OC

    St. General

    Mata : anemis -/-

    THT : dbn

    Thorax : Simetris (+)

    Cor : S1S2 normal reguler,

    murmur (-),

    Pulmo : Ves +/+, Rh -/-,

    Wh -/-

    Abdomen : Distensi (-),

    BU (+) normal,

    Ekstremitas : hangat,

    edema (-)

    Kulit: tampak purpura di

    seluruh tubuh uk. 0,2 x 0,2

    cm.

    Assessment

    Suspek Henoch Schonlein

    Purpura + typhoid fever

    - Dexamethason 3 x cc

    iv

    - Biofos 3 x cth I p.o

    - Hidrokortison zalf 1%/5 g

    - Cefixime 2 x 2/3 cth p.o

    - Diit bubur tinggi kalori

    tinggi protein rendah serat

    11 Juli 2014

    (07.30 WITA)

    Subyektif

    Panas hari ke X, tidak

    demam sejak MRS, bintik

    Terapi

    - IVFD D5 NS ~18 tpm

    - Dexamethason 3 x cc

  • merah timbul sejak panas

    hari ke III membaik, gatal

    (-), makan (+), minum (+),

    muntah (-)

    Obyektif

    St.Present

    N : 80x/menit

    RR : 24x/menit

    Tax : 35,6OC

    St. General

    Mata : anemis -/-

    THT : dbn

    Thorax : Simetris (+)

    Cor : S1S2 normal reguler,

    murmur (-),

    Pulmo : Ves +/+, Rh -/-,

    Wh -/-

    Abdomen : Distensi (-),

    BU (+) normal,

    Ekstremitas : hangat,

    edema (-)

    Kulit: tampak purpura di

    seluruh tubuh uk. 0,2 x 0,2

    cm

    Assessment

    Suspek Henoch Schonlein

    Purpura + typhoid fever

    iv

    - Biofos 3 x cth I p.o

    - Hidrokortison zalf 1%/5 g

    - Cefixime 2 x 2/3 cth p.o

    - Metilprednisolon 3 x 1

    tab (4mg) p.o

    - Diit bubur tinggi kalori

    tinggi protein rendah serat

  • BAB IV

    PEMBAHASAN

    4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

    Dari hasil anamnesis didapatkan pasien perempuan berusia 6 tahun datang

    ke poliklinik anak BRSU Tabanan tanggal 7 Juli 2014 dengan keluhan utama

    demam sejak tanggal 2 Juli 2014 disertai batuk pilek dan mual muntah. Tiga hari

    setelah demam, muncul bercak kemerahan yang meninggi di sekitar lutut pasien

    dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh keesokan harinya dengan daerah

    predominan pada kaki, bokong dan punggung. Lesi dikatakan tidak gatal maupun

    nyeri. Riwayat penyakit yang sama serta riwayat alergi disangkal.

    Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 10 Juli ditemukan keadaan umum

    pasien lemah dengan kesadaran compos mentis, serta tidak ada demam dengan

    suhu aksila 36,80C. Status generalis kepala, mata, THT, thorax, abdomen serta

    ekstremitas dalam batas normal, tidak ada kelainan. Pada kulit tampak lesi

    purpura di seluruh tubuh dengan diameter sekitar 2 mm. Lesi dominan pada

    bagian kaki dan makulopapul eritema sudah tidak tampak.

    Teori mengatakan ruam di kulit dapat menjadi penanda awal pasien dengan

    HSP. Ruam yang muncul dapat berupa ruam khas palpable purpura pada tungkai

    bawah dan bokong.12

    Gejala ruam pada pasien tersebut telah memenuhi kriteria

    utama diagnosis HSP. Namun untuk menegakkan diagnosis HSP, diperlukan salah

    satu tanda berikut, antara lain: adanya nyeri perut yang menyebar, arthritis /

    arthralgia akut, deposisi predominan IgA pada hasil biopsi, dan keterlibatan ginjal

    seperti hematuria dan/atau proteinuria.1

    Pada pasien ini keluhan nyeri perut maupun nyeri sendi atau bengkak pada

    sendi disangkal. Penurunan range of movement juga tidak ditemui pada pasien ini.

    Keluhan kencing berdarah atau kencing berbusa disangkal oleh pasien. Hal ini

    menunjukkan tidak adanya keterlibatan ginjal pada kasus ini. Kemungkinan lain

    adalah belum terjadinya gangguan ginjal pada pasien karena berdasarkan literatur,

    disebutkan bahwa manifestasi penyakit ginjal berkembang dalam 4 minggu pada

    75-80% kasus dan dalam 3 bulan pada 97-100% kasus.12

  • Temuan lain dari anamnesis dengan pasien yaitu adanya keluhan demam

    pada awal onset penyakit, disertai batuk dan pilek. Hal ini mungkin menjadi salah

    satu faktor yang menyebabkan timbulnya vaskulitis sistemik, sesuai dengan hasil

    beberapa studi yang menyebutkan bahwa dua per tiga pasien HSP mengalami

    infeksi pemicu. Dari sebuah hasil studi kohort pada pasien anak dengan HSP

    didapatkan 63 dari 150 pasien mengalami infeksi saluran pernafasan akut dan

    sebagian kecil anak mengalami infeksi lainnya atau demam.8

    Diagnosis banding SLE tidak dipilih sebagai diagnosis banding utama

    karena pada pasien tidak ditemui riwayat demam berkepanjangan, fatigue,

    malaise, malar rash dan penurunan berat badan seperti yang umum terjadi pada

    pasien SLE. Diagnosis banding erupsi obat, urtikaria dan eritema multiform dapat

    disingkirkan melihat predileksi lesi yang khas pada tungkai bawah dan bokong

    pasien serta riwayat alergi serta dermatitis atopik pada pasien disangkal.

    Pada kasus seperti ini, bila ada kecurigaan HSP namun kriteria diagnosis

    dari anamnesis dan pemeriksaan fisik belum terpenuhi, dapat dilakukan biopsi

    jaringan kulit atau ginjal untuk menegakkan diagnosis.1,12

    Namun pada pasien ini,

    belum dilakukan biopsi jaringan sehingga diagnosis HSP masih diragukan /

    suspek.

    4.2 Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien antara lain pemeriksaan

    darah lengkap, pemeriksaan widal serta pemeriksaan BUN serum dan kreatinin

    serum. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap ditemukan kadar leukosit, erotrosit,

    hemoglobin serta trombosit yang normal. Kadar trombosit pasien yaitu sebesar

    195.000 mg/dL. Tidak adanya trombositopenia pada pasien ini dapat

    menyingkirkan diagnosis banding Immunologic Trombositopenia Purpura (ITP)

    Dari hasil pemeriksaan widal ditemukan salmonella paratyphi B-O dan C-O

    yang sedikit meningkat dengan kadar +1/160, mengindikasikan adanya infeksi

    kuman salmonella pada pasien. Adanya gejala demam disertai mual muntah juga

    mendukung adanya infeksi kuman salmonella. Infeksi tersebut dapat pula menjadi

    salah satu faktor pemicu timbulnya vaskulitis sistemik pada HSP.

  • Kadar BUN dan kreatinin serum pasien normal menunjukkan tidak adanya

    gangguan ginjal pada pasien saat ini, sehingga prognosis pasien dapat dikatakan

    cukup baik. Beberapa faktor prognosis buruk pada pasien HSP antara lain usia

    lebih dari 8 tahun, kadar kreatinin serum yang tinggi pada onset penyakit, adanya

    hematuria atau proteinuria, adanya membranoproliferative

    glomerulonephritis,sering relaps gejala, adanya purpura diatas garis pinggang,

    serta adanya demam.

    4.3 Penatalaksanaan

    Kebutuhan cairan pasien berdasarkan rumus Holiday Segar adalah 1540 ml,

    dihitung berdasarkan berat badan pasien yatu 22 kg. 10 kg pertama dikalikan 100

    ml didapatkan 1000 ml. 10 kg berikutnya dikalikan 50 ml didapatkan 500 ml. 2 kg

    sisanya dikalikan 20 ml didapatkan 40 ml. Apabila dijumlahkan, kebutuhan cairan

    per harinya adalah 1540 ml. Pasien hanya mampu minum 1000 mL per hari serta

    nafsu makan pasien dikatakan menurun, sehingga diberikan tambahan cairan

    intravena berupa drip D5 NS 18 tetes per menit.

    Terapi lain yang diberikan pada pasien ini antara lain cefuroxime 3 x 500

    mg secara intravena selama 2 hari, dilanjutkan dengan cefixime 2 x cth per oral.

    Antibiotik diberikan karena dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta

    pemeriksaan penunjang ditemukan kemungkinan infeksi kuman salmonella.

    Biofos 1 x cth diberikan sebagi terapi adjuvan untuk mempertahankan imunitas

    pasien.

    Terapi untuk HSP sendiri bersifat simtomatis. Pemberian antiinflamasi

    golongan kortikosteroid seperti dexamethason ditujukan untuk meringankan

    gejala penyakitnya seperti rash di seluruh tubuhnya. Dosis awal yang umum

    diberikan yaitu 2 mg/kgBB per hari selama satu hingga dua minggu. Selanjutnya,

    dosis diturunkan secara bertahap menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.12

    Pada pasien ini,

    diberikan dexamethason 3 x 0,5 mL secara intravena. Selain dexamethason

    intravena, pasien juga mendapat hidrokortison zalf 1%/5 g yang dioleskan pada

    daerah dengan lesi yang dominan. Lesi dikatakan membaik empat hari setelah

  • pemberian steroid. Selanjutnya pasien diberikan methylprednisolone per oral

    dengan dosis 3 x 4 mg.

    Diet lunak berupa bubur dan rendah serat diberikan karena pasien sempat

    mengalami mual muntah sebelum masuk rumah sakit. Diet yang diberikan berupa

    diet tinggi karbohidrat dan tinggi protein untuk memenuhi kebutuhan

    pertumbuhan pasien anak.

  • BAB V

    PENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Pasien perempuan usia 6 tahun dengan keluhan utama demam disertai

    batuk pilek dan mual muntah dan muncul bercak kemerahan meninggi sejak hari

    ketiga demam didiagnosis dengan suspek Henoch Schonlein Purpura (HSP)

    dengan demam thypoid. Diagnosis demam thypoid ditegakkan berdasarkan

    anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis HSP

    dicurigai karena adanya lesi yang khas berupa palpable purpura dengan predileksi

    pada tungkai bawah, bokong dan punggung pasien. Namun masih belum

    ditegakkan karena tidak adanya salah satu dari tanda seperti arthralgia/arthritis,

    nyeri abdomen menyebar, keterlibatan ginjal berupa proteinuria dan/atau

    hematuria, dan deposisi IgA predominan pada hasil biopsi jaringan. Infeksi kuman

    salmonella dan infeksi saluran pernafasan akut yang dialami pasien diduga

    merupakan faktor pemicu terjadinya vaskulitis sistemik dengan manifestasi HSP.

    Terapi yang diberikan pada pasien bersifat simtomatis berupa steroid

    sebagai antiinflamasi untuk mengurangi gejala rash yang dialami. Terapi

    antibiotik diberikan atas indikasi infeksi kuman salmonella. Biofos diberikan

    sebagai terapi adjunctive diberikan untuk memperbaiki daya tahan tubuh pasien.

    Prognosis pasien baik tanpa adanya keterlibatan ginjal saat ini.

    5.2 Saran

    Saran yang dapat diberikan mengenai penulisan karya dan laporan kasus

    ini adalah :

    1. Pada pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk mendeteksi

    adanya hematuria atau proteinuria pada pasien. Sebaiknya pada pasien

    juga dilakukan biopsi kulit untuk melihat adanya deposisi IgA pada

    jaringan guna menegakkan diagnosis HSP.

  • 2. Praktisi kedokteran diharapkan lebih memahami mengenai kriteria

    diagnosis dan perjalanan penyakit HSP agar dapat melakukan tatalaksana

    sesuai dengan teori yang ada.

    3. Tenaga kesehatan dan masyarakat diharapkan lebih proaktif terhadap tanda

    dan gejala dari penyakit HSP sehingga pratktisi kedokteran mampu

    memberi terapi yang tepat dan cepat.

    4. Bagi praktisi keilmiahan untuk lebih sering mengangkat HSP sebagai tema

    dalam penulisan keilmiahan, baik berupa gagasan tertulis, penelitian,

    maupun laporan kasus.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Jauloha O, Henoch-Schnlein purpura in children.. Acta Univ. Oul. D 2012;

    1151

    2. Aalberse J, Dolman K, Ramnath G, Pereira R & Davin J. Henoch-Schnlein

    purpura in children: an epidemiological study among Dutch paediatricians on

    incidence and diagnostic criteria. Ann Rheum Dis 2007;66:16481650.

    3. Ozen S, Pistorio A, Iusan S, Bakkaloglu A, Herlin T, Brik R, Buoncompagni

    A, Lazar C, Bilge I, Uziel Y, Rigante D, Cantarini L, Hilario M, Silva C,

    Alegria M, Norambuena X, Belot A, Berkun Y, Estrella A, Olivieri A,

    Alpigiani M, Rumba I, Sztajnbok F, Tambic-Bukovac L, Breda L, Al-Mayouf

    S, Mihaylova D, Chasnyk V, Sengler C, Klein-Gitelman M, Djeddi D, Nuno

    L, Pruunsild C, Brunner J, Kondi A, Pagava K, Pederzoli S, Martini A &

    Ruperto N. EULAR/PRINTO/PRES criteria for Henoch-Schnlein purpura,

    childhood polyarteritis nodosa, childhood Wegener granulomatosis and

    childhood Takayasu arteritis. Ann Rheum Dis 2010;69: 798806.

    4. Penny K, Fleming M, Kazmierczak D & Thomas A. An epidemiological

    study of Henoch-Schnlein purpura. Paediatr Nurs 2010;22: 3035.

    5. Lahita RG. Influence of age on Henoch Schonlein purpura. Lancet

    1997;350:1116-7.

    6. Tizard EJ, Hamilton-Ayres MJJ. HenochSchonlein purpura. Arch Dis Child

    Educ Pract Ed 2008;93:18.

    7. Trapani S, Micheli A, Grisolia F, et al. Henoch-Schonlein Purpura in

    childhood: epidemiological and clinical analysis of 150 cases over a 5 year

    period and review of literature. Semin Arthritis Rheum 2005;35:14353.

    8. Calvino MC, Llorca J, Garcia Porrua C, et al. Henoch-Schonlein purpura in

    children from Northwestern Spain. Medicine (Baltimore) 2001;80:27990.

    9. Lau K, Suzuki H, Novak J & Wyatt R (2010) Pathogenesis of Henoch-

    Schnlein purpura nephritis. Pediatr Nephrol 25: 1926.

    10. Saulsbury F. Henoch-Schnlein purpura. Curr Opin Rheumatol 2010;22: 598

    602.

  • 11. Sinclair P. Henoch-Schnlein purpura-a review. Current Allergy & Clinical

    Immunology, August 2010 Vol 23, No. 3

    12. Sohagia AB, Gunturu SG, Tong TR, Hertan HI. Henoch-Schnlein purpura- a

    case report and review of literature. Gastroenterology Research and Practice

    Volume 2010.