responsi kasus chronic kidney disease stage v on …

50
RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON HEMODIALISIS Pembimbing : dr. I. G. N. Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD Oleh : Dinda Paramaningtyas S (1702612229) DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DEPARTEMEN/KSM BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH TAHUN 2019

Upload: others

Post on 25-May-2022

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

RESPONSI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON HEMODIALISIS

Pembimbing :

dr. I. G. N. Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD

Oleh :

Dinda Paramaningtyas S (1702612229)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DEPARTEMEN/KSM BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP

SANGLAH

TAHUN 2019

Page 2: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena

atas karunia-Nya, laporan responsi yang berjudul “Chronic Kidney Disease Stage

V on Hemodialisis” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Responsi ini

disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh

bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui

kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat:

1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD – KHOM selaku ketua KSM/Bagian Ilmu

Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD , Denpasar.

2. dr. I Made Susila Susila Utama, Sp.PD- KPTI selaku koordinator pendidikan

di KSM/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.

3. dr. I. G. N. Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD, selaku pembimbing

laporan responsi di RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.

4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan

bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah

kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, 23 November 2019

Penulis

Page 3: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... ..4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6

2.1 Definisi .......................................................................................................... 6

2.2 Klasifikasi .................................................................................................... 6

2.3 Epidemiologi ................................................................................................. 8

2.4 Faktor Risiko ................................................................................................. 9

2.5 Patofisiologi ................................................................................................ 12

2.6 Manifestasi Klinis ....................................................................................... 13

2.7 Diagnosis ..................................................................................................... 14

2.8 Penatalaksanaan ......................................................................................... 16

2.9 Prognosis ..................................................................................................... 25

BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 34

I. Identitas Pasien .............................................................................................. 34

II. Anamnesis .................................................................................................... 34

III. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 36

IV. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 38

V. Diagnosis ..................................................................................................... 43

VI. Penatalaksanaan .......................................................................................... 44

BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 46

BAB V SIMPULAN ............................................................................................. 49

Daftar Pustaka

Page 4: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

4

BAB I

PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

merupakan suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama

(kronis) yaitu lebih dari 3 bulan. Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko

yang kemudian mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan

biasanya berakhir dengan gagal ginjal.1

Definisi CKD berdasarkan The Kidney

Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation

(NKF) adalah kerusakan ginjal secara struktural atau fungsional yang berlangsung

dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih dengan atau tanpa

kerusakan struktur ginjal.2

Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor risiko dengan

patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna. Penderita CKD

memiliki risiko tinggi untuk mengalami penyakit komplikasi, salah satunya adalah

penyakit kardiovaskular yang seringkali menyebabkan kematian. Insiden dan

prevalensi CKD didapatkan semakin meningkat saat ini dan menjadi masalah

kesehatan global.1

Angka peningkatan kasus dialisis di negara barat meningkat 6-8% per tahun

menunjukkan CKD telah menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan.

Peningkatan yang progresif di Amerika Serikat adalah meningkatnya penderita CKD

yang membutuhkan terapi pengganti ginjal dalam dua dekade terakhir.1 Jumlah

penderita CKD di Indonesia sendiri pun makin meningkat. Data IRR pada tahun 2014

mencatat penderita baru CKD sebanyak 17.193 dan khususnya untuk daerah Bali

sebanyak 1.258 pasien.3

Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari,

yang mengakibatkan kerusakan massa ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron

sehingga mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Ginjal memiliki kemampuan

untuk mempertahankan LFG ketika menghadapi cidera sehingga meskipun kerusakan

Page 5: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

5

nefron terjadi secara progresif, LFG dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi

nefron sehat yang tersisa sebagai kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma

seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya

setelah LFG total menurun hingga 50%, yaitu ketika ginjal sudah tidak mampu

mengkompensasi lagi.1

Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal pada CKD menurun dan menyebakan

berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium I

- III umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul

pada stadium IV - V. Manifestasi klinis CKD dapat sesuai dengan penyakit yang

mendasari, adanya sindrom uremia, maupun gejala dari komplikasi yang

ditimbulkan.1

Diagnosis dini CKD sangat penting dilakukan karena prognosisnya akan jauh

lebih baik dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat penurunan

fungsi. Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga

dan lingkungan karena melibatkan modiikasi gaya hidup. Edukasi terhadap pasien

dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat

membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun CKD merupakan

penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat

mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.1

Deteksi CKD pada pasien dengan risiko tinggi sangat penting karena CKD stadium 1-

3 umumnya asimtomatis sehingga dapat memberikan intervensi sebelum penderita

mengalami gagal ginjal atau mencapai stadium yang lebih lanjut dan terjadi

komplikasi akibat CKD.

Page 6: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah

suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya berakhir

dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang

ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap

penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi

ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua

kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,

baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat dideteksi melalui

pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-Ratio > 30 mg/g; total

protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit

atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan

histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau

riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60

ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan

struktural ginjal.2

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat

penyakit dan berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit

didasarkan pada LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-

Gault sebagai berikut:

Page 7: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

7

Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus

Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di

atas 80 tahun, berat badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil,

pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush

syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap

(amputasi).1

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2

Tabel 1. Klasfikasi derajat CKD berdasarkan LFG

Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73 m2)

I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat

≥90

II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89

III Penurunan LFG sedang 30 – 59

IV Penurunan LFG berat 15 – 29

V Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:2

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan etiologi

Penyakit Tipe mayor

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular

(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,

neoplasia)

Penyakit vaskular

(renal artery disease, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial

(pielonefritis kronis, batu, obstruksi, keracunan

obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin /takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant gromerulopathy

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Page 8: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

8

Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau

tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau

patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2

Tabel 3. Penyakit sistemik dan kelainan ginjal

Contoh Penyakit Sistemik

yang Mempengaruhi

Ginjal

Contoh Penyakit Ginjal

Primer (tidak disertai

penyakit sistemik yang

mempengaruhi ginjal)

Penyakit glomerular Diabetes, penyakit autoimun

sistemik, infeksi sistemik,

obat, neoplasia (termasuk

amyloidosis)

Glomerulonefritis

diffuse, focal, crescentic

proliferative,

gromerulonekrosis focal

dan segmental, mefropati

membrane, minimal

change disease

Penyakit

tubulointerstitial

Infeksi sistemik, autoimun,

sarcoidosis, obat, urat, toksin

lingkungan, neoplasia

(myeloma)

Infeksi saluran kemih,

batu, obstruksi

Penyakit pembuluh

darah

Aterosklerosis, hipertensi,

iskemia, emboli kolesterol,

vaskulitis sistemik,

mikroangiopati trombotik,

sklerosis sistemik

Associated renal limited

vasculitis, fibromuscular

dysplasia

Penyakit kistik dan

congenital

Penyakit polikistik ginjal,

Alport syndrome, Fabry

disease

Displasia renal, penyakit

kistik medulla,

podositopati

2.1.2 Epidemiologi

Chronic Kidney Disease merupakan penyakit yang sering dijumpai

pada praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-

13% dari populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7

juta pasien yang menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di

Australi mengalami Chronic Kidney Disease.4 Di negara-negara berkembang

lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per

tahun.1

Page 9: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

9

Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang

lebih rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut Riskesdes

2013 prevalensi meningkat seiring bertambahnya umur, pada kelompok umur

35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Sebuah studi yang

dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebayak 12,5%

populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.4

2.1.3 Faktor Risiko

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2000 mencatat

penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada

tabel 4. Walaupun menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014,

hipertensi muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab

lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal

bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.3

Tabel 4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia

Tahun 2000 dan Tahun 2014

Penyebab Insiden Tahun 2000 Insiden Tahun 2014

Glomerulonefritis 46,39% 10%

Diabetes mellitus 18,65% 27%

Obstruksi dan infeksi 12,85% 14%

Hipertensi 8,46% 37%

Sebab lain 13,65% 11%

2.1.4.1 Glomerulonefritis

Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi

progresif dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik.

Kondisi ini dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas

glomerulus dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya

penurunan pada laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun

uremia. Bila progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera

ditangani, maka glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD,

penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit kardiovaskular.5

Page 10: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

10

2.1.4.2 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita

seumur hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin

yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada.

Insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar

glukosa dalam darah.6

Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada

aliran darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh

pembuluh darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam

darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan

terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan

albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin,

dimana hal tersebut tidak seharusnya terjadi.6

Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf

membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk

memberi tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun, apabila sistem saraf

pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak akan dapat

merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung

kemih yang tinggi akan dapat merusak ginjal.7

Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus :

1. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai

dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses

penghancuran sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus

tipe 1 sudah dapat ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga dapat

berkembang pada dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8

Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan

diabetes mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya

muncul diawali dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik yang

Page 11: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

11

terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien

tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan

muncul. Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan

diobati dengan exogenous insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan

diet makanan yang sudah direncanakan.1,8

2. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang

dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari

resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi

glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani

dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada

sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8

Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga

neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan

arteri coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan

komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf

autonomik maupun perifer.8

2.1.4.3 Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan

darah diastolik ≥ 90 mmHg.5 Hipertensi dapat dibedakan menjadi

primer/esensial dan sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi

primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder

apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal.

Penyakit ginjal hipertensif merupakan salah satu penyebab CKD.6

Faktor resiko dari CKD juga dapat dibagi berdasarkan1,6

:

a. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi

sistemik, infeksi saluran kencing, batu kandung kencing, obstruksi

saluran kencing bawah, keganasan, riwayat keluarga CKD, penurunan

massa ginjal, paparan banyak obat, serta berat lahir rendah.

Page 12: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

12

b. Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan

kimia dan kondisi lingkungan dan rendahnya pendidikan.

2.1.4 Patofisiologi

Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau

kerusakan pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti

membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan

komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,

mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula disebabkan oleh mekanisme

progresif yang berlangsung dalam jangka panjang.9

Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi

kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi

struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)

sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti

sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,

yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.

Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses

maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya

diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit

dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-

angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap

terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka

panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth

factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria,

hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual

untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.1

Page 13: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

13

Gambar 1. Patogenesis CKD1

2.1.5 Manifestasi Klinis

Pasien dengan CKD derajat I hingga III dengan LFG >30

mL/menit/1,73 m2 seringkali asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala.

Pasien belum mengalami gejala gangguan keseimbangan air ataupun

elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin dan sistem metabolik. Gejala

seringkali mulai muncul pada pasien dengan CKD derajat IV hingga V

dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada

tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering

disebut dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering

memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih awal.2,5

Manifestasi klinis berupa sindroma berkemih pada pasien dengan

CKD derajat V biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi berbagai racun

dengan jenis yang belum diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang

dialami ginjal pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan

Page 14: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

14

tidak jarang bermanifestasi menjadi edema paru dan hipertensi karena volume

cairan meningkat.2,5

Anemia juga seringkali ditemui pada penderita CKD. Anemia pada

CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang

bermanifestasi menjadi gejala-gejala anemia yaitu lemas, penurunan

kemampuan dalam berkegiatan, penurunan fungsi imun, dan penurunan

kualitas hidup. Insiden anemia pada CKD meningkat seiring dengan

menurunnya LFG.11

Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit

kardiovaskular, kejadian baru dari gagal jantung ataupun perburukan dari

penyakit gagal jantung, hingga peningkatan kematian yang disebabkan oleh

sistem kardiovaskular.2,5

Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD,

terutama pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat,

diuraikan sebagai berikut:7

- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade

jantung, yang dapat menyebabkan kematian.

- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian

- Neuropati perifer

- Restless Leg Syndrome

- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare

- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis

- Lemas, malnutrisi

- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea

- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk

perdarahan.

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat

jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu,

Page 15: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

15

biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya

dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan

merubah baik pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis

ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab

yang didapat dari evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa

pemeriksaan laboratorium dan pencitraan ginjal.5

2.1.7.1 Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien CKD meliputi:1

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti hipertensi, diabetes mellitus,

infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hiperurikemi, Lupus

Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.

2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,

pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

3. Gejala komplikasinya antara lain, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,

asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

klorida).

2.1.7.2 Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium CKD meliputi:1

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,

dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.

Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi

ginjal.

3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.

4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

Page 16: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

16

2.1.7.3 Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1

1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati

filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh

kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi

4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.1.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran

ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa

ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,

menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.

Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah

mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,

infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CKD meliputi1:

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya

dapat dilihat pada tabel berikut.1

Tabel 5. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1

Page 17: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

17

Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,

evaluasi pemburukan (progression)

fungsi ginjal, memperkecil risiko

kardiovaskular

2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)

fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 < 15 Terapi pengganti ginjal

2.1.8.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah

sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak

terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan

pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat

terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30%

dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1,2

2.1.8.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD.

Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk

keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan

keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus

urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan

aktivitas penyakit dasarnya.1,2

2.1.8.3 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi

glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1

1. Restriksi Protein.

Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat pada tabel

berikut:1

Page 18: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

18

Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD

Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan

diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada

penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,6-0,8

gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi)

dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan

dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang

terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein

pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan

ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang

disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan

perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan

intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,

karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan

LFG mL/menit Asupan Protein g/kh/hari Fosfat

g/kg/hari

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g

5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3

g asam amino esensial atau asam

keton

≤ 10 g

<60 (Sindrom

Nefrotik)

0,8/kg/hari(=1 gr protein /g

proteinuria atau

0,3 g/kg tambahan asam amino

esensial atau asam keton

≤ 9 g

Page 19: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

19

pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi,

jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan.1,5

Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan

keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena

pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien

HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses

inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit

komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak

adekuat, overhidrasi interdialitik.7

2. Terapi Farmakologis

Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk

memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat

perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus

dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat

terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko

terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama

penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui

berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat

mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1

3. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit

kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi

terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.1

1. Diabetes Mellitus

Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan

obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk

DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.8

Page 20: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

20

2. Hipertensi

Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting

Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II kemudian

dilakukan evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan

kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.1,2

Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama

penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin

reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat

proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya

sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau

terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium

channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.1,2

3. Dislipidemia

Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan

statin.1

4. Anemia

Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada CKD

terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut

berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan

darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang

pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum

tulang, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia

dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap

status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan

adanya hemolisis. Pemberian transfuse pada CKD harus dilakukan secara

hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.

Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan

kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal.1,2

5. Hiperfosfatenemia

Page 21: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

21

Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara

umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena

fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti

susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan

asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah

terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan

pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak

dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium.

Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat

yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah

kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium

mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis

obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid,

dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium

mimetic agent.1,2

6. Kelebihan Cairan

Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema

dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat

seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui

insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan

masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi

adalah Na dan K sebab hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia

jantung yang fatal dan hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan

edema. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung kalium

dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi.

Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .1,2

7. Keseimbangan Asam Basa

Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia

dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah

Page 22: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

22

mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah

hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi: 1

Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta

sayuran rendah kalium;

Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.

Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu: 1,2

Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)

Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)

Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram

glukosa

Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)

8. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l

Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.

Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis

berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.

2.1.8.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

1. Anemia

Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan

produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga

ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah

merahyang pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi

sumsum tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas

aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan

malnutrisi dapat menambah beratnya keadaan anemia.1

Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status

besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme

kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal

sampai target Hb = 10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah

Page 23: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

23

adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati

dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:1

Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO

Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO

ataupun yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi

preparat besi intravena. 1

2. Osteodistrofi Renal

Osteofdistrofi adala istilah yang menggambarkan secara umum semua

kelainan tulang akibat gangguan metabolisme Kalsium karena terjadinya

penurunan fungsi ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara

mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia

diatasi dengan pembatasan asupan fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat

fosfat seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian

bahan kalsium mimetik yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar

paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada

pasien dengan gagal ginjal juga berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. 1,6

Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah

normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena pemakaian kalsitriol

pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan terbentuk garam

fosfat yang mengendap di jaringan lunak dan dinding pembuluh darah

(kalsifikasi metastatik).1,6

Selain itu pemberian kalsitriol juga dapat mengakibatkan penekanan

berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.1,6

2.1.8.5 Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal

Page 24: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

24

Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15

ml/mnt. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau

transplantasi ginjal.

Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens

kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika

klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.

2.1.8.6 Terapi nutrisi pada Pasien Chronic Kidney Diseas

Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium,

yaitu stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan

fungsi ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa

disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif

yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan

sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase

gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien dengan CKD.5,10

Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang

kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk

mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui

monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim

kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari

dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi

yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)

betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi

optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan

elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.5,10

Terapi Nutrisi pada Pasien CKD:5,10

1. Pengaturan asupan protein.

2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari

3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung

jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh

Page 25: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

25

4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total

5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari

6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari

7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari

8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari

9. Besi: 10-18mg/hari

10. Magnesium: 200-300 mg/hari

11. Asam folat pasien HD: 5mg

12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

2.1.9 Prognosis

Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk

mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat akhir dari

penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut bergantung pada umur, penyebab dasar,

dan kesuksesan implementasi pada pencegahan sekunder dan individu dari pasien itu

sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada umumnya adalah untuk

memperlambat progresifitas penurunan fungsi ginjal dan mencegah terjadinya

komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian.6,7

Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.

Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika

disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat menjadi

30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab

CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang

sudah terjadi.2

Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.

Page 26: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

26

Gambar 2. Prognosis CKD Berdasaran LFG dan Kategori Albuminuria

2.1 HEMODIALIS

2.2.1 Definisi

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan

menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi

seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan

mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal

ginjal.4,6 Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan

memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa

minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal

disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen.

Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen dan racun lain

yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.2 Pada

penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian.

Hemodialisis bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal dan tidak

mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang

dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal, tetapi terapi hemodialisa ini

Page 27: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

27

bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal sebagai alat filtrasi dan ekskresi

serta berdampak terhadap kualitas hidup pasien.1, 3

2.2.2 Tujuan Hemodialisis

Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan, yaitu menggantikan

fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam

tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain),

menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang

seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas

hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.4

Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang

melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi

elektrokimia. Tujuan utama hemodialisis adalah untuk mengembalikan

suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari

ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat terlarut

seperti urea dari darah ke dialisat dan dengan memindahkan zat terlarut lain

seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat terlarut dan

berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul kecil seperti

urea akan cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang kompleks

serta molekul besar seperti fosfat, β2 mikroglobulin, dan albumin, dan zat

terlarut yang terikat protein lebih lambat berdifusi. Di samping difusi, zat

terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan

proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan

osmotik, melalui sebuah proses yang dinamakan ultrafiltrasi. Saat ultrafiltrasi

berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat terlarut, tujuan utama

dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan cairan tubuh total.

Terdapat sesi-sesi tiap dialisis, sehingga status fisiologis pasien harus

diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk

masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan komponen

peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk mencapai laju dan

Page 28: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

28

jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan.

Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala yang dikenal sebagai

sindrom uremia, walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun

organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada

kasus uremia.3

2.2.3 Indikasi Hemodialis

Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu hemodialisis

emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut

tindakan dialisis dilakukan pada kegawatan ginjal dengan keadaan klinis

uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria

(produksi urine <50 ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan

EKG, biasanya K >6,5 mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12

meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati

uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115

mmol/I), hipertermia, keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa

melewati membran dialisis.

Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan

berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin

hemodialisis, dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang

mempunyai GFR <15 ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap

baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt,

tergantung gejala klinis, 2) gejala uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea

dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot, 4) hipertensi

yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan, 5) komplikasi metabolik

yang refrakter. 7,9

2.2.4 Prinsip Kerja Hemodialisis

Pada CKD, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam

suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang

terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang

Page 29: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

29

dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen

dialisat. Komparlemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi

larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak

mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang

terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah

dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai

konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses

dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen

cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada

kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi (Gambar

1).

Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut

yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi

lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah.

Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan

konsentrasi di kedua komparlemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di

komparlemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di komparlemen cairan

dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan

darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2).

Page 30: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

30

Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi

kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua komparlemen.

Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya,

selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi

komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini

cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem

komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.

Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat

sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang

terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam

darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus

dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan diaLisat perlu

dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat

membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan melewati

membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil sehingga dapat

menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan

klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat

berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga

agar kurang dari 200 koloni/ml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat.

Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar

natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik

selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih

Page 31: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

31

tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan

kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus

dan pasien akan cenderung untuk minun lebih banyak.

Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini

akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan

darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis

berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin,

heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang

paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus

diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan di mana risiko perdarahan

sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin.

Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap

hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis

yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien

hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam

gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untk terjadinya

kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1 sampai 1,2

kg/BB/hari yang terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan

kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan.

karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak

dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah

air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi

40-l20 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan

tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong

pasien untuk minum.

Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka

morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur

dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan (Kt/V). URR dihitung

dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar

ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali

Page 32: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

32

seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80V. Cara lain

menghitung adekuasi dengan menghitun Kt/V Terdapat rumus Dougirdas

untuk menghitung Kt/V dengan memasukkan nilai ureum pra dan

pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali

seminggu Kt/V dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8.

2.2.5 Komplikasi

Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari

fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal

tahap akhir stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini

mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita

yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi

yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah

gangguan hemodinamik.

1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama

hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah

hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit

punggung, gatal, demam, dan menggigil. 1,3,5

Page 33: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

33

2. Komplikasi Kronis

Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit

jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy,

neurophaty, disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan

perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease.10

Page 34: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

34

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : NMS

Umur : 73 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Denpasar

Agama : Hindu

Bangsa/Suku : Indonesia/Bali

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal MRS : 15 November 2019

Tanggal Pemeriksaan : 20 November 2019

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Bengkak di kedua tungkai

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan rujukan dari RSAD Udayana, Denpasar ke UGD RSUP

Sanglah (15 November 2019) dengan keluhan bengkak pada kedua tungkai. Pasien

mengeluh bengkak dirasakan sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit (10

November 2019). Bengkak awalnya dirasakan muncul terlebih dahulu pada tungkai

kiri dan disusul dengan bengkak pada tungkai kanan, bengkak dirasakan semakin hari

semakin bertambah besar dan semakin mengkilat, tungkai dikatakan tidak terasa nyeri

dan tidak terasa panas. Pasien juga mengeluhkan terdapat nyeri pada kedua lutut sejak

kurang lebih 2 minggu yang lalu, keluhan nyeri ini dikatakan mengakibatkan pasien

sulit untuk berjalan. Lutut terasa nyeri juga dirasakan terasa agak kaku, nyeri pada

Page 35: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

35

lutut lebih dirasakan saat beraktivitas. Demam dikatakan tidak ada, sesak dan batuk

tidak dirasakan oleh pasien.

Selain itu pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak 3 hari sebelum masuk

Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh. Keluhan lemas dikatakan

mengakibatkan pasien enggan untuk beraktivitas. BAK dikatakan ± 4 – 5 hari dalam

sehari, dengan jumlah ± ¼ hingga ½ gelas per hari. Pasien mengatakan mampu

minum sehari sebanyak 2 botol akua sedang. BAB dikatakan normal dan adanya

BAB berwarna hitam disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri perut, mual, muntah,

disangkal oleh pasien.

Ketika dilakukan pemeriksaan, pasien mengeluhkan masih adanya bengkak

pada kedua tungkai dan nyeri pada kedua lutut yang mengakibatkan pasien enggan

untuk beraktivitas. Pasien juga mengatakan merasa lemas dan tidak bertenaga. Lemas

dikatakan terus menerus, tidak membaik walaupun telah beristirahat. Keluhan sesak

disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan

Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 10 tahun yang lalu.

Pasien dikatakan minum obat amlodipin 1x1 dalam sehari namun tidak teratur.

Riwayat penyakit ginjal disangkal oleh pasien. Pasien menyangkal memiliki riwayat

alergi terhadap makanan maupun obat – obatan tertentu.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan hipertensi sejumlah 2

orang. Dikatakan dari keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit

seperti keganasan pada ginjal, diabetes mellitus, serta penyakit paru.

Riwayat Sosial

Pasien merupakan seorang pensiunan PNS. Sebelum sakit, pasien mengatakan

aktivitasnya dalam keseharian ialah diam di rumah, memasak, dan merawat cucu.

Namun semenjak sakit, pasien mengatakan mengalami penurunan aktivitas dan

Page 36: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

36

enggan untuk memasak. Sehari-hari pasien mengatakan makan 3-4 kali per hari,

namun semenjak sakit nafsu makan menurun dan pasien juga mengaku lebih nyaman

untuk beristirahat dibandingkan beraktivitas. Riwayat merokok dan minum –

minuman beralkohol, dan konsumsi obat-obatan terlarang disangkal pasien. Pasien

tinggal satu rumah bersama anak dan menantunya, serta cucunya. Suami pasien

dikatakan telah lama meninggal.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda Vital

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran/GCS : Compos Mentis/E4V5M6

Tekanan Darah : 150/90 mmHg

Nadi : 84 x/menit reguler

Laju Pernafasan : 20 x/menit

Suhu Aksila : 36.2 oC

Skor Nyeri : 1/10

Berat Badan : 74,8 kg

Tinggi Badan : 155 cm

BMI : 31,13 kg/m2

Status Gizi : Obesitas kelas I

Pemeriksaan Umum

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), ikterik (-/-),

reflex pupil (+/+) isokor 3mm/3mm

Leher : JVP PR ±0 pembesaran KGB (-)

THT

Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-)

Hidung : Sekret (-/-)

Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)

Lidah : Oral plaque (-), atropi papil (-)

Page 37: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

37

Bibir : Sianosis (-), kering (-)

Thoraks : Simetris statis dan dinamis

Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi :

Batas kanan jantung : parasternal line dekstra

Batas kiri jantung : midclavicular line V sinistra

Batas bawah jantung : setinggi ICS IV

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)

Palpasi : Vocal fremitus N N , pergerakan simetris

N N

N N

Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - -

+ + - - - -

+ + - - - -

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-), scar (-), meteorismus (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak tidak teraba, nyeri

tekan pada suprapubic (-)

Perkusi : timpani (+)

Ekstremitas : Hangat + + Edema - - CRT < 2 detik

+ + + +

Page 38: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

38

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

3.4.1 Darah Lengkap

Parameter Hasil Satuan Rentang Normal

(15/11) (17/11) (21/11)

WBC 9,76 10,19 12,00 10µ/µL 4,1-11

Ne 7,27

(74,52%)

7,93 (77,88%) 9,76

(81,34%)

10µ/µL

(%)

2,5-7,5 (47-

80%)

Ly 1,56

(16,01%)

1,21 (11,91%) 1,34

(11,18%)

10µ/µL

(%)

1-4 (13-

40%)

Mo 0,46

(4,72%)

0,49 (4,83%) 0,64 (5,34%) 10µ/µL

(%)

0,1- 1,2 (2-11%)

Eo 0,41

(4,22%)

0,44 (4,29) 0,17 (1,39%) 10µ/µL

(%)

0-0,5 (0,0-

5,0%)

Ba 0,05

(4,22%)

0,11 (1,11) 0,09 (0,75%) 10µ/µL

(%)

0- 0,1 (0-2%)

RBC 2,49 2,29 3,56 106/μL 4- 5,2

HGB 6,78 6,64 9,98 g/dL 12-16

HCT 21,81 20,19 30,39 % 36-46

MCV 87,46 88,21 85.29 fL 80-100

MCH 27,17 29,01 28,00 Pg 26-34

MCHC 31,07 32,89 32,84 g/dL 31- 36

RDW 12,60 12,95 12,75 % 11,6-

14,8

PLT 354,20 353,40 333,50 103/μL 150-

440

Page 39: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

39

3.4.2 Kimia Darah, Analisa Gas Darah, dan Elektrolit

Parameter Hasil Satuan Rentang Normal

(15/11) (20/11) (22/02)

SGOT 20,3 - 20,1 U/L 11-27

SGPT 19,10 - 15,10 U/L 11-34

Albumin 3,20 - 3,30 g/dl 3,40-4,80

Glukosa sewaktu 89 - 86 mg/dL 70- 140

BUN 90,40 54,70 39,30 mg/dL 8- 23

Kreatinin 6,39 4,24 4,11 mg/dL 0,7-1,2

Asam urat 8,7 - - mg/dL 2-7

Kalium 4,51 4,49 3,84 mmol/L 3,5- 5,1

Natrium 140 139 134 mmol/L 136- 145

pH 7,27 - - 7,35-7,45

pCO2 23,3 - - mmHg 35,99-45,00

PO2 96,7 - - mmol/L 24,00-30,00

HC03 10,5 - - mmol/L 22,00–26,00

Becf -16,3 - - Mmol/L -2 – 2

S02c 96,7 - - % 95%-100%

e-LFG 9,57 9,93 > = 90

3.4.3 Status Besi

Parameter Hasil

(17/11)

Satuan Rentang

Normal

Serum Iron 40,46 U/L 50-170

TIBC 164,00 U/L 261-478

Ferritin 244,80 g/dl 13-150

Page 40: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

40

3.4.4 Foto Thorax AP Lateral

\

Foto Thorax AP:

Soft tissue tak tampak kelainan

Tulang-tulang: tampak osteofit pada CV thoracalis

Sinus pleura kanan kiri tajam

Diaphragma kanan kiri normal

Cor: besar dan bentuk kesan normal, CTR 52% kalsifikasi aortic knob (+)

Pulmo: tidak tampak kelainan. Tidak tampak pneumotoraks

Tampak terpasang catheter double lumen dengan tip terproyeksi setinggi CV

Th 7

Kesan:

Aortosclerosis

Pulmo tak tampak kelainan, tak tampak pneumotoraks

Spondylosis thoracalis

Page 41: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

41

Terpasang catheter double lumen dengan tip terproyeksi setinggi CV Th 7

Foto USG Abdomen Atas Bawah

Klinis: CKD st V

Hepar: ukuran tidak membesar, permukaan licin, sudut tajam, tepi rata, sistem

vaskuler dan bilier tampak normal, echoparenchym normal

GB: ukuran normal, dindin tidak menebal, tak tampak batu/sludge

Lien: ukuran normal, echoparencym normal

Pankreas: ukuran normal, echoparencym normal

Ginjal kanan: ukuran mengecil, echocortex meningkat, batas sinus cortex tak

jelas, pelviocalyceal sistem tidak melebar, tak tampak batu/massa, tampak

kista (+)

Ginjal kiri: ukuran mengecil, echocortex meningkat, batas sinus cortex tak

jelas, pelviocalyceal sistem tidak melebar, tak tampak batu/massa, tampak

kista (+)

Buli: terisi urine cukup, dinding buli tak tampak menebal, tak tampak

batu/massa

Page 42: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

42

Uterus: sulit dievaluasi, tertutup gas usus

Adnexa kanan kiri: tidak tampak kista/nodul/massa

Kesan:

Nefritis kronik dengan kista multiple bilateral

Organ hepar, gb, lien, pankreas, buli saat ini tak tampak kelainan

Foto Genu Dextra Sinistra AP/ Lateral :

Genu Dextra :

Varus malalignment

Tampak osteophyte pada condylus medialis dan lateralis os femur dan tibia

dextra, dan pada os patella dextra aspek superoposterior

Tampak penyempitan celah sendi femorotibial medial dan lateral

dextra(dominan medial), disertai sclerotik pada plateu tibia medial dan lateral

dextra

Tampak fusi dari os patella dextra dengan distal os femur dextra

Page 43: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

43

Tampak pula deposisi kalsium pada articular cartilage genu dextra

Densitas tulang menurun

Tak tampak erosi /destruksi tulang

Tak tampak jelas soft tissue swelling

Genu Sinistra :

Varus malalignment

Tampak osteophyte pada condylus medialis dan lateralis os femur dan tibia

sinistra, dan pada os patella sinistra aspek superoposterior

Tampak penyempitan celah sendi femorotibial medial dan lateral sinistra

(dominan medial), disertai sclerotik pada plateu tibia medial sinistra dan

subchondral condylus medialis os femur sinistra

Tampak pula deposisi kalsium pada articular cartilage genu sinistra

Densitas tulang menurun

Tak tampak erosi /destruksi tulang

Tak tampak jelas soft tissue swelling

Kesan:

OA genu grade III bilateral (sesuai Kellgren-Lawrence grading system)

dengan CPPD.

Bony ankylosing femoropatellar dextra.

Osteopenia.

3.5. Diagnosis Kerja

1. Chronic Kidney Disease (CKD) stage V ec Nefrosklerosis

- Anemia sedang normokromik normositer

- Hiperurisemia

1. Hipertensi Stadium I

2. Osteoarthritis Genu Bilateral fc III

Page 44: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

44

3.6. Penatalaksanaan

- IVFD NaCl 0.9% 8 tpm

- Diet CKD 35 kkal/kgBB/hari + 0.8 g protein/kgBB/hari

- Allopurinol 100mg tiap 24 jam

- Paracetamol 500-750mg tiap 8 jam PO

- Pro hemodialisa

- Transfusi PRC 2 kolf on HD

- Captropril 12,5 mg tiap 8 jam

- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

3.7. Planning

- Darah Lengkap post transfusi

- Echo full study

3.8. Monitoring

Keluhan dan Tanda-tanda vital

Keseimbangan cairan

3.9. Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad Bonam

Ad Functionam : Dubia ad Malam

Ad Sanationam : Dubia ad Malam

3.10. KIE

Memberikan informasi tentang penyakit dan kondisi pasien pada pasien dan

keluarganya secara lengkap.

Memberikan edukasi tentang obat yang diminum kepada pasien dan keluarga

pasien serta terapi hemodialisis yang harus dilakukan secara rutin.

Page 45: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

45

Mengedukasi keluarga pasien untuk menjaga higienitas pasien dan lingkungan

rumah serta menjaga asupan nutrisi yang bergizi baik dan seimbang dan sesuai

dengan diet pada penyakit ginjal.

Page 46: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

46

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien NMS, perempuan, usia 73 tahun datang dengan keluhan bengkak pada

kedua tungkai sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak awalnya dirasakan

muncul terlebih dahulu pada tungkai kiri dan disusul bengkak pada tungkai kanan,

bengkak dirasakan semakin hari semakin bertambah besar, tungkai dikatakan tidak

terasa nyeri dan tidak terasa panas.

Selain itu, pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak 3 hari sebelum

masuk Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh. Lemas dirasakan

sangat berat sehingga pasien memutuskan lebih banyak diam di rumah dan tidak

bekerja. Keluhan lemas awalnya terasa ringan dan hanya memberat saat melakukan

aktivitas. Keluhan tersebut awalnya membaik dengan istirahat, namun dalam 1

minggu terakhir keluhan tersebut menetap.

Dari anamnesis, keluhan baru dirasakan pertama kalinya oleh pasien. Pasien

menyangkal memiliki riwayat penyakit ginjal, serta diabetes melitus. Pada anamnesis

tersebut juga didapatkan pasien telah memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol

yang telah berlangsung sejak 10 tahun yang lalu yang menjadi salah satu faktor risiko

untuk terjadinya gagal ginjal. Pada pemeriksaan mata, didapatkan konjungtiva pasien

tampak pucat sehingga membuktikan tanda tanda anemis positif dimana ini

merupakan salah satu gejala uremia pada kerusakan fungsi ginjal. Pada pasien,

didapatkan pitting edema positif pada kedua tungkai. Dilakukan penekanan ringan

pada punggung kaki dan pada daerah tersebut didapatkan cekungan yang menetap.

Gambaran laboratorium CKD meliputi1:

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya;

2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin

serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus

Kockcroft-Gault

Page 47: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

47

3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin

(anemia), hiponatremia, hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,

dan asidosis metabolik

4. Kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria dan

eritrosituria.

Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia

sedang normokromik normositer (hemoglobin 9,23 g/dl, MCV 87,60 fL, MCH

28,84 pg). Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar BUN

(54,70 mg/dl), peningkatan kreatinin (4,24 mg/dl) dan penurunan rumus kockroft

gault didapatkan LFG (10,89 ml/menit/1,73 m2).

Pada pemeriksaan analisis gas darah ditemukan adanya asidosis metabolik (pH 7,30,

pCO2 24,0 mmHg, pO2 127,90 mmHg, HCO3 -11,60 mmol/L, BEecf -14,9 mmol/L).

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang,

maka pasien ini didiagnosis dengan CKD Stage V on HD et causa Nefrosklerosis

karena secara klinis dijumpai 2 tanda klasik CKD yaitu anemia dan hipertensi,

ditambah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG <15 ml/menit/1,73m2.

Penyebab Nefrosklerosis dipilih karena penderita memiliki riwayat penyakit

hipertensi tidak terkontrol sejak 10 tahun lalu.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan

stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation, 2010). Selain itu

diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif meliputi:

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid

tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang

tidak terkontrol, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau

peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),

3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi

farmakologis),

4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi renal,

pembatasan cairan dan elektrolit) dan

Page 48: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

48

5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada

pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat

laju filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens

kreatinin kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl)

dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),

walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi

pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal

yang lain adalah trasnplantasi ginjal.

Pada pasien ini diindikasikan untuk inisial HD untuk memperbaiki kondisi

klinis. Pasien juga diberikan diet CKD 1733 kkal/hari dengan 40 gram protein,

diberikan anti hipertensi golongan Ace inhibitor dan Beta Blocker (Captopril 12,5 mg

tiap 8 jam, bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam), diberikan allopurinol untuk nyeri lututnya

100mg tiap 24 jam. Pada pasien ini juga disarankan untuk rutin melakukan

hemodialisis reguler 2 kali dalam seminggu, kemudian pemeriksaan monitoring dan

evaluasi dari kadar hemoglobin selanjutnya ditentukan status anemia dan diberikan

asupan eritropoietin jika perlu, tujuannya mencegah perburukan klinis akibat hipoksia

karena kadar Hb menurun.

Page 49: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

49

BAB V

KESIMPULAN

Penyakit gagal ginjal kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis

dengan etiologi yang beragam yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang

bersifat ireversibel dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional

yang ditandai dengan penurunan LFG abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit

atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan

histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau

riwayat transplantasi ginjal.

Pada kasus ini pasien perempuan, 73 tahun berdasarkan anamnesis ditemukan

adanya bengkak pada kedua tangkai, lemas dan ada riwayat hipertensi yang tidak

terkontrol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konjungtiva pucat yang

merupakan salah satu gejala uremia pada kerusakan fungsi ginjal. Ditemukan juga

pitting edema pada kedua tangkai yang menandakan retensi natrium dan air pada

kerusakan fungsi ginjal. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan penunjang pasien

mengalami anemia sedang normokromik normositer dengan Hb 9,23 mg/dL, MCV

87,60 fl dan MCH 28,84 pg serta terjadi penurunan LFG <15 yang menunjukkan

adanya PGK stadium 5.

Pasien didiagnosis penyakit ginjal kronis stadium V on HD ec Nefrosklerosis

dengan anemia sedang normokromik normositer, hiperurisemia, Hipertensi stadium 1

dan Osteoarthritis Genu Bilateral fc III. Pasien diterapi dengan diet CKD 1733

kkal/hari dengan 40 gram protein, dilakukan hemodialisis, diberikan anti hipertensi

golongan Ace inhibitor dan Beta Blocker (Captopril 12,5 mg tiap 8 jam, bisoprolol

1,25 mg tiap 24 jam), diberikan allopurinol untuk nyeri lututnya 100mg tiap 24 jam.

Page 50: RESPONSI KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON …

50

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;

1035-1040.

2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international

Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice guideline for evaluation

and management of CKD. 2013;3(1).

3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal Registry. 2014.

Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/

4. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your

kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI); 2010.

5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic

Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal 870-

876.

6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and

Management. England: National Institute for Health and Care Excellence; 2014.

hal 1-63.

7. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5. New

York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org

8. Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in

Diabetes-2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical Diabetes.2016

9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.

Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical

nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010

10. Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik. Surabaya:

Gizi Indonesia; 2004.

11. PERNEFRI, 2011. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik.

Jakarta; PB PERNEFRI.