resiko intususepsi setelah vaksinasi rotavirus pada bayi di amerika

Upload: ratiya-primanita

Post on 13-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Journal Reading

TRANSCRIPT

Resiko Intususepsi setelah Vaksin Rotavirus

pada Bayi-bayi di Amerika Serikat

Abstrak

Latar Belakang

Pusat studi internasional telah mengidentifikasi sebuah peningkatan terhadap resiko terjadinya intususepsi setelah pemberian vaksin dengan vaksin generasi kedua Rotavirus RotaTeq (RV5, vaksin pentavalen) dan vaksin Rotarix (RV1, vaksin monovalen). Kami mempelajari hubungan tersebut pada bayi-bayi di Amerika Serikat.Metode

Studi ini mencakup data dari bayi-bayi yang berumur 5.0 minggu sampai 36.9 minggu yang telah terdaftar pada tiga rencana kesehatan di Amerika Serikat yang berpastisipasi ke dalam Mini-Sentinel program yang di sponsori oleh Food and Drugs Administrations (FDA). Kasus-kasus intususepsi yang berpotensial dan terdapat penggunaan vaksin dari tahun 2004 sampai pertengahan 2011 diidentifikasi secara keseluruhan mengenai prosedur dan kode-kode diagnostik. Rekam - rekam medis dikaji ulang untuk mengkonfirmasi angka kejadian intususepsi dan status vaksin rotavirus. Analisis primer menggunakan metode self controlled risk-interval yang mencakup hanya anak-anak yang divaksin. Analisis sekunder menggunakan metode kohort yang mencakup anak-anak yang tervaksin dan tidak tervaksin-waktu.Hasil

Analisis mencakup 507,874 dosis pertama dan 1,277,556 dosis total dari RV5 dan 53,638 dosis pertama dan 103,098 dosis total dari RV1. Kekuatan statistik untuk analisis RV1 lebih rendah dibandingkan analisis RV5. Angka berlebih kasus-kasus intususepsi per 100,000 penerima dosis pertama RV5 meningkat secara signifikan, keduanya baik pada analisis primer (resiko penyebab, 1.1 [95% interval kepercayaan, 0.3 sampai 2.7] untuk resiko 7- day dan 1.5 [95% CI, 0.2 smpai 3.2] untuk resiko 21-day dan pada analisis sekunder ( resiko penyebab, 1.2 [ 95% CI, 0.2 sampai 3.2] untuk resiko 21-day). Tidak ada peningkatan resiko yang signifikan setelah dosis 2 atau 3. Hasil untuk analisis primer RV1 tidak signifikan, namun pada analisis sekunder menunjukan resiko yang signifikan setelah pemberian dosis 2.Kesimpulan

RV5 dihubungkan dengan kira-kira 1.5 ( 95% CI, 0.2 sampai 3.2) kasus intususepsi per 100,000 penerima dosis pertama. Analisis sekunder RV1 memberi kesan sebuah resiko yang berpotensi, meskipun studi RV1 belum jelas. Resiko-resiko ini harus diperhatikan untuk menunjukan keuntungan-keuntungan vaksin rotavirus. ( Disponsori oleh Food and Drug Administration.)Pada tahun 1999, vaksin rotavirus tetravalen rhesus-manusia (RotaShield, Wyeth Lederly) ditarik dari pasar Amerika Serikat dalam satu tahun setelah ijin dicabut karena berhubungan dengan intususepsi. Excess resiko intususepsi diperkirakan sekitar 1 hingga 2 kasus per 10,000 penerima vaksin. Pada tahun 2006 dan 2008, vaksin rotavirus pentavalen bovine-human reassortant (RV%; RotaTeq; Merck) dan vaksin rotavirus monovalen human (RV1; Rotarix; GlaxoSmith Kline) telah memiliki ijin setelah evaluasi dalam percobaan klinik yang melibatkan lebih dari 60,000 bayi-bayi, dimana telah menyediakan statistik yang cukup kuat untuk mengijinkan deteksi resiko intususepsi setelah vaksin RotaShield. Di negara-negara yang menggunakan vaksin rotavirus terbaru ini, angka kejadian gastroenteritis dan diare berat telah berkurang secara signifikan.Setelah diijinkan, studi ditujukan ke luar Amerika Serikat mulai mengarah pada hubungan RV5 dan RV1 dengan intususepsi, meskipun resiko keduanya terlihat jauh lebih rendah dari RotaShield. Hingga saat ini, U.S post-licensure studi tentang keamanan RV5 tidak menunjukan peningkatan yang signifikan pada resiko intususepsi. Bagaimanapun juga peningkatan kecil pada resiko tidak dapat disingkirkan. RV1 kurang umum digunakan di Amerika Serikat, dan tidak ijin yang secara adekuat yang diterbitkan dari studi U.S post-licensure mengenai keamanan vaksin ini.Atas dasar kejadian yang darurat dari hubungan dengan intususepsi dan peduli mengenai kurangnya kekuatan statistik dalam studi dasar Amerika Serikat yang telah diarahkan, Pusat Evaluasi Biologi dan Penelitian dari Food and Drug Administration (FDA) mengusulkan studi RV5 dan RV1 dalam program the Post-Licensure Rapid Immunization Safety Monitoring (PRISM), sebuah komponen dari Mini-Sentinel program yang dikembangkan untuk menuju survey yang aktif mengenai keamanan produk medis.Metode

Populasi Studi

Populasi studi ini terdiri dari anak berusia 5.0 hingga 36.9 minggu (umur yang direkomendasikan untuk vaksinasi dan waktu yang adekuat untuk di ikuti perkembangannya) dimana merupakan anggota Aetna, HealthCore, atau Rencana Kesehatan Humana antara Januari 2004 dan Septemper 2011.

Metode Studi

Kami menggunakan kedua metode, metode self- controlled risk-interval (SCRI) dan metode kohort. Salah satu keuntungan dari metode yang terdahulu, yaitu telah dijadikan sebagai metode utama, yang menjadi dasar kontrol untuk semua faktor potensial pasti yang membingungkan, seperti jenis kelamin, ras, dan kelompok etnik dan faktor predisposisi kronik. Keuntungan lainnya adalah bahwa ini hanya menggunakan data dari anak-anak yang terekspose, dengan demikian akan meminimalisir potensial terjadinya klasifikasi yang terlewat yang akan mengarah kepada data yang tidak lengkap pada pajanan vaksin. Metode kohort telah memiliki kekuatan statistik yang lebih kuat dibandingkan metode SCRI, karena besarnya angka sejarah dan tidak terpajan orang-waktu digunakan pada pembuatan laporan kasus. Meskipun demikian, kemampuan untuk mengontrol kekacauan pada metode ini tidak sebaik dengan metode SCRI. Metode kohort mungkin juga menjadi subjek yang mengarah pada dugaan nol tidak terklasifikasinya pajanan jika beberapa vaksinasi terlewat. Tantangan terbesar dalam studi vaksin rotavirus dan intususepsi yang sangat membingungkan adalah usia, dimana keduanya sangat bergantung pada usia. Umur yang direkomdasikan untuk vaksinasi yaitu 2, 4 dan 6 bulan untuk RV5 dan umur 2 dan 4 bulan untuk RV1, dan insiden intususepsi pada rawat inap di Amerika terus-menerus meningkat 2 kasus dari 100,000 orang per tahun dengan usia 26 sampai 29 minggu, kemudian turun hingga 26 kasus dari 100,00 per tahun dengan usia 52 minggu.Pajanan Vaksin

Vaksinasi dengan RV5 dan dengan RV1 telah teridentifikasi dalam data administratif pada Current Procedural Terminology (CPT) dengan kode 90680 dan 90681, secara resmi. Kami mencoba mencari rekam medis untuk mengesahkan pajanan vaksin pada semua bayi dengan kasus intususepsi yang ditetapkan untuk dipastikan atau memungkinkan (lihat definisi dibawah ini), tanpa memandang ada tidaknya catatan vaksin rotavirus sebelumnya dalam data elektronik.OutcomesKasus-kasus yang berpotensi terjadinya intususepsi pada umur 5.0 hingga 36.9 minggu, tanpa melihat status imunisasi, telah diidentifikasi dalam data administrative dengan data dasar 3 kode baik pada pasien rawat inap maupun pasien departemen gawat darurat (IGD): International Classification of Disease, Ninth Revision (ICD-9) kode 560.0 ( intususepsi) atau 543,9 ( penyakit lain dan penyakit appendix tidak spesifik, termasuk intususepsi) atau CPT kode 74283 (terapi enema, kontras atau udara). Hanya diagnosis pertama yang dimasukkan.Status kasus di tentukan oleh ajudikasi yang didasarkan pada rekapan lengkap rekam medis. Kasus tidak dimasukkan jika tidak terlihat adanya tanda-tanda intususepsi atau diagnosis alternatif yang telah dibuat setelah bedah atau udara atau kontras cair enema. Tiap kasus-kasus yang berpotensial ditelaah ulang satu demi satu oleh ajudikator; dua ajudikator utama merupakan dokter spesialis anak, dan ajudikator ketiga adalah dokter spesialis penyakit dalam.

Para ajudikator tidak mengetahui riwayat imunisasi pasien dan diinstruksikan untuk mengklasifikasikan kasus-kasus intususepsi dengan menggunakan kriteria Brighton Collaboration. Kasus level 1 merupakan kasus-kasus intususepsi yang telah dikonfirmasi berdasarkan kriteria bedah, radiologi atau otopsi dan digunakan dalam analisis primer. Peraturan klasifikasi dipisahkan oleh Brighton kasus level2, dimana ditetapkan berdasarkan kriteria yang menampilkan sedikit bukti langsung dari intususepsi, dengan diferensiasi lebih lanjut ke dalam kasus level 2A ( mereka yang dianggap memiliki kemungkinan untuk terjadi intususepsi berdasarkan pada hasil radiografi abdomen yang positif, samar atau rancu [ USG, foto polos, atau CT]) dan kasus level 2B (mereka yang berada di kriteria level 2 tapi secara jelas tidak terjadi intususepsi yang dibuktikan oleh hasil radiologi yang normal). Kasus level 2A dikombinasikan dengan kasus belum selesai, untuk catatan yang dinyatakan adanya diagnosis intususepsi namun berisi bukti yang tidak cukup untuk mengijinkan klasifikasi kasus, diklasifikasikan sebagai mungkin intususepsi dan termasuk dalam analisis sensitivitas. Level 3 merupakan level paling rendah akan kepastian terjadinya intususepsi dan dinyatakan dengan setidaknya terdapat 4 kriteria klinis non spesifik. Kasus level 3 tidak dimasukan dalam analisis. Semua ketidaksesuaian dalam klasifikasi diselesaikan dengan konsensus.Analisis Statistik

Pada metode SCRI, kami menggunakan 2 alternatif interval resiko, 1 hingga 7 hari setelah vaksinasi dan 1 hingga 21 hari setelah vaksinasi dan sebuah kontrol dengan interval dari hari ke 22 hingga hari ke 42. Kami membandingkan angka kasus intususepsi pada interval-interval resiko dan interval kontrol setelah setiap dosis dan setelah semua dosis dikombinasikan. Hanya kasus-kasus intususepsi yang terjadi dalam wakti 42 hari setelah vaksinasi yang dimasukan. Untuk jangka kompensasi, kami menggunakan latar belakang berdasarkan umur oleh Tate et al dari rumah sakit U.S data dari the Health Cost and Utilization Project (HCUP) untuk 11 tahun dimana tidak ada vaksin rotavirus yang digunakan. Hal ini diperkirakan berdasarkan pada 3463 kasus dan cukup akurat, membuat hal tersebut lebih dipilih untuk digunakan dibandikan dengan fungsi resiko yang diperkirakan dari studi populasi dalam metode kohort (dijelaskan dibawah ini).

Dalam metode kohort, dimana merupakan pendekatan kedua kami, mengekspos orang-waktu ditetapkan sebagai orang-waktu dalam 1 hingga 21 hari setelah vaksinasi rotavirus. Orang-waktu yang tidak terpapar termasuk waktu selama umur 5.0 hingga 36.9 minggu diantara bayi yang tidak tervaksinasi dan vaksinasi dan 21 hari setelah dosis apapun dari vaksin rotavirus apapun. Kami menggunakan model regresi Poisson yang memasukan tambahan untuk umur dengan penggunaan fungsi resiko kuadrat. Data dari studi populasi itu sendiri digunakan untuk umur tambahan sangat bertolak belakang dengan meteodde yang digunakan dalam metode SCRI dengan ketidakpastian dalam tingkat age-dependent dimasukan ke dalam akun oleh regresi. Waktu kalender, berbagai fungsi umur, dan beberapa interaksi di periksa selama pembentukan model. Umur, jenis kelamin, rekan kerja dan status pajanan dipertahankan sebagai kovariat mandiri dalam model akhir.

Sejak resiko intususepsi beragam oleh umur dalam minggu, resiko tambahan mungkin sangat bergantung pada umur anak pada saat divaksinasi. Kami menampilkan resiko tambahan rata-rata pada dasar yang diobservasi pada distribusi umur dari anak tervaksinasi. Resiko tersebut dikalkulasikan sebagai angka kasus berlebih dari intususepsi per 100,00 dosis teradministrasi, mengacu pada formula 100,00 x o dari kasus-kasus pada jendela resiko x [1- (1 : resiko relatif )] : [no. dosis vaksin x C], dimana C merupakan proporsi dari kasus-kasus yang berpotnsi untuk kami mampu masukan ke dalam diagram. Dengan memasukan C dalam persamaan, kami memasukan resiko penyebab untuk diagram yang hilang. Kami menghitung 95% keyakinan interval menggunakan metode Krishnamoorthy and Lee.

Kami menekankan resiko penyebab daripada resiko relatif pada hasil, karena resiko penyebab lebih relevan dari klinis dan sudut pandang pusat kesehatan umum dan kurang sensitiv dari perbedaan dalam panjang dari interval resiko. Dalam membandingkan perkiraan resiko kami dalam studi lain, kami kadang-kadang menggunakan resiko relatif, karena studi yang kami bandingkan hasilnya dilaporkan hanya resiko relatif atau karena membandingkan resiko penyebab diantara negara-negara dengan latarbelakang yang berbeda untuk intususepsi dapat menjadi salah arah.

Untuk memastikan bahwa penemuan kami kuat, kami menggunakan metode alternatif untuk penambahan umur dalam analisis post hoc. Untuk metode SCRI, kami menggunakan funsi resiko kuadrat dari orang-waktu yang tidak terpajan kohort sebagai alternatif, dan untuk metode kohort, kami menggunakan tingkat dari Tate et al. Untuk tambahan, kami mengarahkan sebua seri analisis sensitif, yang mana digambarkan dalam Supplementary Apependix.

Untuk mengidentifikasi onset intususepsi dalam 1 hingga 42 hari setelah vaksinasi rotavirus, kami menggunakan statistik temporal scan, metode self-controlled, dengan hanya anak yang tervaksinasi yang telah memiliki intususepsi 1 hingga 42 hari setelah terpajan yang dimasukan ke dalam analisis. Kami mengevaluasi semua resiko yang berpotensial mulai dari hari 1 hingga hari ke 14 setelah vaksinasi dan akhir 1 hingga 21 hari setelah vaksinasi. Statistik tes adalah kemungkinan maksimum yang diperoleh dari interval-interval ini. Untuk menambahkan umur, kami menggunakan tingkat HCUO dari Tate et al untuk mengacak hari dari umur pada onset intususepsi berdasarkan pada kurva insidensi age-dependent, dengan tujuan untuk memperoleh distribusi statistik tes dibawah hipotesis nol. Sebagai contoh, untuk anak yang mendapat vaksin pada hari ke 100 umurnya, kasus acak di tentukan satu hari dalam umur pada interval 101 hingga 142 hari untuk kurva insidensi dalam interval tersebut. Analisis diarahkan dengan menggunakan perangkat lunak SaTScan.HASILDosis vaksin terdaftar

Analisis termasuk 1,277,556 dosis RV5, dimana 507,874 merupakan dosis pertama dan 103,098 dosis RV1, dimana 53,638 merupakan dosis pertama. Distribusi dosis RV5 dan dosis RV1 terdaftar sangat sama dengan rekan kerja dalam studi. Hasil dari diagram mengenai status vaksinasi bayi dengan konfirmasi kasus intususepsi ditunjukan dalam Figure S1 dalam Supplementary Appendix.Kasus Intususepsi

Dalam waktu umur yang ditargetkan, 343 kasus yang berpotensi terjadi intususepsi telah diidentifikasi dalam data elektronik. Rekam medis untuk 267 kasus ini (78%) telah dikaji ulang dan diklasifikasikan dalam Brighton atau modified Brighton levels of diagnostic certainty: level 1, 124 kasus; level2A, 10 kasus; level2B, 10 kasus; level 3, 11 kasus; belum selesai, 2 kasus; dan tidak termasuk dalam aturan, 110 kasus. Nilai prediksi positif dari penemuan kasus yaitu 46 % ( 124 kasus dari 267 kasus). Diagram untuk anak dengan sisa 76 kasus yang berpotensi (22%) tidak dapat diterima.Perkiraan Resiko

RV5

Pada analisis SCRI, resiko penyebab intususepsi setelah dosis pertama sanagn meningkat secara signifikan untuk kedua periode resiko (1.1 [95% interval terpercaya {CI}, 0.3 hingga 2.7} untuk periode resiko 7 hari, dan 1.5 [95% CI, 0.2 hingga 3.2] untuk periode resiko 21 hari. Tidak ada peningkatan yang signifikan dalam resiko setelah dosis ke 2 dan 3. Dalam analisis kohort (dengan interval resiko 21 hari), terdapat resiko penyebab yang signifikan setelah dosis 1 (1.2 [95% CI, 0.2 hingga 3.2}) namun tidak terlihat setelah dosis berikutnya. (Tabel 1).

RV1

Setelah dosis 1, hanya ada 1 kasus intusepsi dalam resiko interval dan tidak ada kasus dalam interval kontrol. Resiko penyebab pada analisis SCRI juga tidak signifikan untuk dosis manapun. Meskipun demikian, analisis kohort menunjukan resiko penyebab yang signifikan setelah dosis 2 (7,3 [95% CI, 0.8 hingga 22.5]). (Tabel 2).

Pengaturan Umur AlternatifHasil pengaturan umur alternatif ditampilkan pada tabel 1 dan 2; hasil setelah dosis 1 RV5 juga ditampilkan dalam Figure 1. Dalam keduanya, baik analisis SCRI dan analisis kohort, ketika fungsi resiko kuadrat dari studi populasi digunakan daripada Tate et al, perkiraan resiko dosis 1 lebih rendah. Meskipun demikian, perkiraan resiko penyebab cukup kuat, dengan perkiraan resiko penyebab setelah dosis 1 RV5 antara 1.1 hingga 1.5 kasus per 100,00 penerima dosis pertama vaksin.

Kelompok Onset IntususepsiDalam analisis dosis 1 dan semua dosis RV5, temporal statistic scan menunjukan signifikan kelompok onset intususepsi yaitu 3 hingga 7 hari setelah vaksinasi (P = 0.008 untuk dosis 1; P = 0.004 untuk semua dosis). Hanya ada satu kasus intususepsi setelah vaksinasi dosis1 RV1; oleh karena itu, tidak ada data yang cuku untuk analisis onset setelah dosis 1. Untuk semua dosis 1 RV1, terdapat kelompok signifikan pada hari ke 4 setelah vaksinasi ( P