reportase manajemen obat

28
Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 1 Reportase MANAJEMEN SUPLAI OBAT HARI I Rabu, 6 Agustus 2008 Pengantar Oleh: dr. Jarir At Thobari, PhD Perkenalan course director, narasumber dan peserta Dr. Jarir selaku course director pelatihan manajemen obat memberikan pengantar dalam pembukaan pelatihan manajemen obat. Pelatihan ini diselenggarakan selama dua hari. Hari pertama pelatihan diisi dengan kuliah dari berbagai narasumber dengan topic yang berbeda, mulai dari manajemen suplai obat sampai dengan surveilans obat. Para narasumber yang memberikan materi adalah narasumber yang kompeten dalam bidang farmakoepidemiologi, manajemen obat, praktisi dari rumahsakit, BPOM maupun Kasubdit pengelolaan obat public dan perbekalan kesehatan. Peserta pelatihan terdiri dari 29 orang yang berasal dari berbagai instansi seperti Depkes, DinKes kabupaten/kota, puskesmas, rumahsakit, Bapelkes, Jamsostek dan lain-lain. Pelatihan ini merupakan kelanjutan dari seminar yang adakan pada bulan Juni yang lalu mengenai manajemen obat pada era desentralisasi. Obat merupakan salah satu komponen utama upaya pelayanan kesehatan. Hal ini tidak saja berlaku di pusat pelayanan kesehatan primer tetapi juga di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, obat perlu dikelola secara efektif dan efisien agar dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah RI No.38 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah RI No.41 Tahun 2007, maka diperlukan suatu upaya restrukturisasi yang menyeluruh dalam hal pengelolaan obat. Sehingga perlu diupayakan pelatihan guna meningkatkan kemampuan para pengelola obat di tingkat kabupaten/ kota dalam hal manajemen obat. Pada pelatihan ini diharapkan para peserta mengaplikasikan manajemen obat di berbagai institusi asal, baik Dinas Kesehatan, universitas, rumahsakit maupun Bapelkes. Sebelum pelatihan dimulai para peserta diberikan soal pretest yang memuat pengetahuan manajemen obat seperti, seleksi, pengadaan, penyimpanan dan distribusi. Soal pretest ini berfungsi mengukur kemampuan awal peserta. Keberhasilan pelatihan dilihat dari peningkatan hasil posttest pada akhir pelatihan.

Upload: vega-habsari

Post on 30-Jun-2015

914 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 1 

 

Reportase

MANAJEMEN SUPLAI OBAT

HARI I Rabu, 6 Agustus 2008

Pengantar Oleh: dr. Jarir At Thobari, PhD Perkenalan course director, narasumber dan peserta

Dr. Jarir selaku course director pelatihan manajemen obat memberikan pengantar dalam pembukaan pelatihan manajemen obat. Pelatihan ini diselenggarakan selama dua hari. Hari pertama pelatihan diisi dengan kuliah dari berbagai narasumber dengan topic yang berbeda, mulai dari manajemen suplai obat sampai dengan surveilans obat.

Para narasumber yang memberikan materi adalah narasumber yang kompeten dalam bidang farmakoepidemiologi, manajemen obat, praktisi dari rumahsakit, BPOM maupun Kasubdit pengelolaan obat public dan perbekalan kesehatan. Peserta pelatihan terdiri dari 29 orang yang berasal dari berbagai instansi seperti Depkes, DinKes kabupaten/kota, puskesmas, rumahsakit, Bapelkes, Jamsostek dan lain-lain. Pelatihan ini merupakan kelanjutan dari

seminar yang adakan pada bulan Juni yang lalu mengenai manajemen obat pada era desentralisasi. Obat merupakan salah satu komponen utama upaya pelayanan kesehatan. Hal ini tidak saja berlaku di pusat pelayanan kesehatan primer tetapi juga di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, obat perlu dikelola secara efektif dan efisien agar dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah RI No.38 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah RI No.41 Tahun 2007, maka diperlukan suatu upaya restrukturisasi yang menyeluruh dalam hal pengelolaan obat. Sehingga perlu diupayakan pelatihan guna meningkatkan kemampuan para pengelola obat di tingkat kabupaten/ kota dalam hal manajemen obat.

Pada pelatihan ini diharapkan para peserta mengaplikasikan manajemen obat di berbagai institusi asal, baik Dinas Kesehatan, universitas, rumahsakit maupun Bapelkes. Sebelum pelatihan dimulai para peserta diberikan soal pretest yang memuat pengetahuan manajemen obat seperti, seleksi, pengadaan, penyimpanan dan distribusi. Soal pretest ini berfungsi mengukur kemampuan awal peserta. Keberhasilan pelatihan dilihat dari peningkatan hasil posttest pada akhir pelatihan.

 

Page 2: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 2 

 

 

SESI I SISTEM MANAJEMEN SUPLAI OBAT DI KABUPATEN/KOTA Oleh : Prof Iwan Dwi Prahasto, MMedSc, PhD

Pengantar Burning question : Mengapa diperlukan suplai obat?

1. Menjamin mutu dan keamanan obat. Apakah bapak/ibu berani menjamin mutu? Belum (tidak berani ada yang menjamin)

2. Efisiensi biaya, sangat mahal apabila Puskesmas merencanakan dan mengadakan obat sendiri. Sudahkah efisien? Belum. Mengapa? Ada obat-obat tertentu yang tersedia dengan tidak efisien

Logistik adalah ilmu manajemen suplai yang besar, sesuai dengan jadwal ke orang banyak besar yang berlokasi di tempat yang berbeda.  

Dalam era desentralisasi, berbagai isu manajemen obat muncul antara lain mengenai struktur organisasi, sumber-sumber pembiayaan obat public, pengadaan obat, tingkat kecukupan obat, ketersediaan obat berdasarkan jumlah, jaminan mutu dan monitoring dan supervise pengelolaan obat.

Struktur organisasi setelah desentralisasi terjadi overlapping jabatan fungsional, operator sekaligus sebagai regulator. Kepala gudang juga merangkap sebagai kepala seksi pelayanan farmasi. Sebelum desentralisasi pengelolaan obat dilakukan oleh Gudang Farmasi Kabupaten. Dari segi pembiayaan obat publik hampir sama sebelum/sesudah desentralisasi (ada beberapa yang sama). Sebelum desentralisasi: Inpres/DPD, APBD I, APBD II, Askes, Program Transmigrasi (beberapa) dan Bantuan Luar Negeri (BLN). Setelah desentralisasi: DAU II, DAU I, Askes, Program dan Transmigrasi (beberapa). Masing-masing daerah mempunyai dana pembiayaan untuk obat yang berbeda-beda. Pada daerah kaya, anggaran untuk obat belum tentu besar. Masalah lain yang sering terjadi adalah berkaitan dengan mutu obat yang beredar. Sebelum desentralisasi dilakukan review, sebagian besar sekarang tidak. Tim review berasal dari akademisi, ikatan profesi, ditjen Binkesmas, ditjen POM dan para ahli di bidang klinis. Sekarang, review jarang atau tidak pernah dilakukan sama sekali sehingga jaminan terhadap keamanan obat diragukan. Banyak kasus tejadi

 

Page 3: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 3 

 

penyimpangan item obat diluar DOEN seperti keberadaan ciprofloxacin di puskesmas. Terdapat perbedaan alur pengadaan obat sebelum dan setelah desentralisasi Alur pengadaan obat era sentralisasi : Puskesmas (LPLPO) kemudian direkap ke kabupaten kemudian dilanjutkan ke propinsi diteruskan dirjen POM. BPOM mengadakan kontrak dengan perusahaan farmasi yang men-supply obat. Obat kemudian siap didistribusikan ke propinsi Alur pengadaan obat era desentralisasi desentralisasi : Puskesmas (LPLPO) direkap di tingkat kabupaten. Kabupaten mengadakan perencanaan dan kontrak dengan perusahaan farmasi/PBF untuk pengadaan. Obat siap didistribusikan ke tingkat puskesmas. Alur ini lebih pendek dibandingkan era sentralisasi.

Masalah lain yang berkembang dengan adanya desentralisasi. Setelah desentralisasi tingkat kecukupan obat berkurang menjadi 12 bulan dari 12- 30 bulan sebelum desentralisasi. Obat program dan Askes memunculkan duplikasi dalam era desentralisasi. Era desentralisasi memunculkan peningkatan penggunaan obat terutama obat branded. The only essensial drugs in primary health care is generic (dulu), sekarang obat branded banyak ditemukan. Era desentralisasi memberikan keuntungan resiko stock out lebih besar dibandingkan era sentralisasi. Akhirnya banyak ditemukan obat-oba trivial. Dari tahun 1998 sampai dengan 2002 terjadi penurunan prosentase kesesuaian obat yang tersedia dengan DOEN. Penjaminan mutu terhadap obat dilakukan dengan mereview certificate of analysis (CoA). Pada era sentralisasi, jaminan mutu dilakukan oleh Badan POM sedangkan pada era desentralisasi jaminan mutu menjadi tanggung jawab Balai POM. Penjaminan mutu oleh Balai POM ditingkat kabupaten/kota belum sepenuhnya dilakukan. Monitoring dan supervisi pengelolaan obat dilakukan oled dinas kesehatan kabupaten/kota. Dinkes berperan ganda sebagai regulator dan operatorpengelolaan obat sehingga monitoringnya belum sepenuhnya dilakukan. Diskusi Pemaparan dari Prof. Iwan memicu munculnya tanggapan dari peserta mengenai seleksi obat dan peningkatan branded drugs. Setiap berapa bulan sekali pihak puskesmas memberikan laporan terhadap dinas daftar penyakit yang terbesar yang terdapat di masyarakat sebagai dasar penyusunan daftar obat. Pada kenyataannya, beberapa obat untuk penyakit tersebut tidak tersedia. Hal tersebut terjadi disebabkan karena alasan dana/anggaran dan proses untuk pengadaan. Tidak pernah ada daerah kaya sekalipun yang membebaskan anggaran untuk kesehatan, khususnya obat. Proses pengadaan

Page 4: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 4 

 

juga tidak bebas karena ada peraturan yang membatasi pengadaan terutama mengenai jumlah dan waktu. Masalah peningkatan branded drug, pada dasarnya disebabkan sadar atau tidak struktur organisasi UPTD men-drive kita untuk konsumerisme sehingga terjadi peningkatan pemakaian obat-obat branded. Obat sebaiknya diseleksi supaya suplai obat di puskesmas. Harusnya ada tim reviewer dengan melibatkan akademisi dan epidemiologist. Proses ini tentunya memerlukan waktu yang lebih lama.

Problem pada ongkos kirim Medan-Nias tinggi, sehingga penyediaan obat menjadi tidak baik. Hal ini menjadi permasalahan yang dirasa paling sulit diatasi. Efeknya obat-obat yang “laku” menjadi sangat mudah mengalami kekosongan. Kondisi yang demikian mengakibatkan posisi dari para supplier menjadi lebih tinggi.

Resume

Suplai obat diperlukan untuk menjamin mutu dan keamanan obat serta efisiensi biaya

SESI II PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN OBAT BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU Oleh : Drs. M.Taufik,S., MM, Apt Pengantar

Obat merupakan salah satu intervensi kesehatan yang paling nyata dan paling dirasakan oleh pasien yang berkunjung ke fasilitas kesehatan. Obat generic lebih dipilih karena harganya yang lebih terjangkau dengan tingkat keamanan, efikasi, kualitas yang terjamin. Undang-undang kesehatan No.23 tahun 1992 mengatur berbagai definisi dan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang lain sperti yang tertuang dalam Pasal 61 yang berbunyi perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya (sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik). Pasal 61 ayat 1 memuat pengelolaan perbekalan kesehatan, yaitu “pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan lainnya yang terjangkau masyarakat”.

Pembicara mengulas lebih lanjut mengenai pengelolaan perbekalan kesehatan seperti yang tertuang dalam pasal 61 ayat 1 dan 2, yang berisi antara lain: pasal 61 ayat pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan

Page 5: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 5 

 

faktor yang berkaitan dengan pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan. Pasal 61 ayat 3, pemerintah membantu penyediaan perbekalan kesehatan yang menurut pertimbangan diperlukan oleh sarana kesehatan. Selain UU No.23 tahun 1992, selanjutnya pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan juga diatur lebih lanjut dalam PP No.78 tahun 1998 yang berisi ayat 1: Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan.

Materi

M. Taufik, Apt menjelaskan lebih lanjut mengenai sasaran program obat dan perbekalan kesehatan, antara lain: Ketersediaan Obat Esensial Generik dan Alkes Dasar di Sarana Pelayanan Kesehatan (95%) dan Anggaran Obat Esensial Generik di Sektor Publik setara US$ 1,00 (Rp 9.000,-) perkapita pertahun. Pelaksanaan program obat dan perbekalan kesehatan tahun 2009 mempunyai beberapa indikator, yaitu: 1) tersedianya Obat dan Alkes Dasar dlm jumlah yg cukup, aman & bermutu di Puskesmas & jaringannya 2) Pemda yg alokasi dana obat < Rp 5.000,- perkapita pertahun berkomitmen untuk meningkatkan alokasi dana penyediaan obat di Kabupaten/Kota. Pemerintah baik pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kesehatan mempunyai tanggung jawab antara lain: menyediakan dana obat untuk masyarakat miskin, obat untuk buffer stock nasional (bencana alam, darurat), obat untuk program kesehatan, mengendalikan harga dan melatih tenaga untuk peningkatan advokasi. Tanggung jawab Dinas Kesehatan tingkat propinsi, antara lain: menyediakan buffer stock propinsi berupa obat sangat esensial, mengelola obat buffer program kesehatan, memfasilatasi advokasi dan melatih tenaga Kabupaten/ Kota. Tanggung jawab yang lebih khusus dilakukan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota, yaitu menyediakan dana alokasi obat berasal dari anggaran APBD II, mengelola obat yang ada, memanfaatkan data yang tersedia utk advokasi, menyediakan dana operasional, membentuk tim perencanaan obat terpadu dan menyelenggarakan elatihan petugas pengelolaan obat di Puskesmas. Kriteria Distribusi Urusan Pmerintahan Antar Tingkat Pemerintahan terdapat 3, yaitu eksternalitas (spill-over), akuntabilitas dan efisiensi. Eksternalitas menyangkut siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Yang berwenang mengurus adalah tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan dampak tersebut (sesuai prinsip demokrasi). Otonomi Daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien dan mencegah High Cost Economy. Efisiensi dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan

Page 6: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 6 

 

(catchment area) yang optimal. Siklus pengelolaan obat dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Grafik 1. Siklus pengelolaan obat

Pengelolaan obat diawali dengan perencanaan yang berupa seleksi obat, kemudian dilanjutkan dengan pengadaan dan penyimpanan. Obat yang disimpan didistribusikan ke puasat-pusat pelayanan kesehatan untuk digunakan oleh pengguna, yaitu pasien.

Penjelasan dari pembicara membuat salah seorang peserta memberikan pertanyaan mengenai banyaknya obat-obat yang ED atau mendekati ED yang dialokasikan dari DinKes kabupaten/kota ke puskesmas. Hal tersebut terjadi karena buffer stock dirasakan tidak cukup membantu. Menanggapi hal tersebut, pembicara yang juga menjabat sebagai Kasubdit Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan bahwa dari pihaknya sudah merencanakan pengadaan yang terpadu dari bawah, alokasi anggaran selalu ada perubahan karena ada propinsi yang tidak butuh kemudian dialokasikan ke prop yang butuh. Data yang digunakan acuan adalah data dari BPS mengenai pendapatan per kapita. Data buffer stock pusat kita informasikan expired date yang ada di pusat. M.Taufik, Apt berharapkan hal tersebut dapat kurangi untuk masa mendatang dan sebagai bahan pembelajaran

Resume

Ketersediaan obat mutlak dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, oleh karena itu, obat harus dikelola dengan benar. Pemerintah tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota mempunyai tanggung jawab masing-masing sehingga eksternalitas (spill-over), akuntabilitas dan efisiensi distribusi selalu terjaga.

Page 7: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 7 

 

SESI III.

PENGAWASAN UNTUK JAMINAN MUTU OBAT PUBLIK

Oleh: Drs. Fanani, Apt

Pengantar

Presentasi oleh Drs. Fanani, Apt diawali dengan menyampaikan tujuan pengawasan Badan POM dan alasan mengapa Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) dilaksanakan, serta disampaikan pula mengenai visi dan misi Badan POM.

Materi

Sistem pengawasan Badan POM

Sistem pengawasan Badan POM dilakukan bersama-sama antara Produsen, Pemerintah dan Masyarakat. Saat ini masyarakat kian dilatih untuk berpikir dan bersikap kritis dalam mengawasi obat dan makanan. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan dilaksanakan dalam rangka menjamin agar obat dan makanan aman, bermutu dan bermanfaat. Pengawasan itu sendiri bertujuan untuk mencapai suatu perlindungan masyarakat yang optimal.

Sistem pengawasan dilakukan meliputi tahapan kegiatan pre-market maupun post-market. Pengawasan pada kedua tahap ini akan menghasilkan suatu output berupa izin edar yang akan diberikan kepada setiap perusahaan farmasi/pabrik obat. Pengawasan post market dilakukan oleh Badan POM secara periodik, meliputi semua tahap dalam pengawasan.

Good Distribution Practice (GDP) / Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) :

Pada kesempatan ini dijelaskan mengenai Good Distribution Practice (GDP) / Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Standar distribusi obat yang baik diterapkan guna memastikan bahwa kualitas produk yang dicapai melalui CPOB dipertahankan sepanjang jalur distribusi. Drs. Fanani, Apt juga menyampaikan beberapa prinsip dasar GDP yang harus diperhatikan, yakni personalia haruslah seorang yang professional, memiliki pengetahuan ketrampilan dan kemampuan. Selain dari aspek

Page 8: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 8 

 

manusianya, jaga mutu perlu pula dilakukan. Sistem jaga-mutu meliputi: kondisi penyimpanan barang yang sesuai, upaya untuk menghindari kontaminasi dengan produk lain, jaminan produk diserahkan pada pengguna dalam waktu yang tepat, system penelusuran/dokumentasi yang baik bila terjadi kesalahan pada pengelolaan, serta prosedur penarikan yang efektif.

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan GDP, yang meliputi Tempat Penyimpanan Obat dan Penyimpanan. Tempat penyimpanan obat harus sesuai dengan tujuannya, sehingga risiko terjadinya kerusakan obat dapat ditekan seminimal mungkin. Luas tempat penyimpanan cukup memadai/aman, serta perlengkapan yang tersedia harus pula memadai. Dari aspek penyimpanan, “Pemetaan dan Pemantauan Suhu” cukup mendapat perhatian serius dari para peserta. Pada kesempatan ini Drs. Fanani, Apt menjelaskan dengan sangat detail teknis pelaksanaan pemetaan suhu. Beliau mengatakan hal pertama yang harus diperhatikan dalam penyimpanan obat adalah pemetaan suhu, karena hal ini akan menentukan baik atau tidaknya kualitas obat yang disimpan. Dalam hal ini perlu ditentukan satu titik dalam ruangan yang paling panas yang disebut dengan “titik kritis”. Cara menentukannya adalah dengan melakukan serial pengukuran suhu pada pagi-siang-sore hari selama beberapa hari. Dari data inilah akan diperoleh suatu pemetaan suhu terpanas dalam ruangan yang akan menjadi patokan suhu pada tempat penyimpanan obat. Drs. Fanani menekankan pula bahwa cahaya dan ventilasi ruangan tempat menyimpan obat haruslah cukup, diterapkannya Sistem FEFO dan FIFO, tumpukan karton tidak boleh terlalu tinggi, rak dan pallet hendaknya tersedia dalam jumlah yang memadai, kebersihan ruangan terjaga dengan baik, dan hal yang sering terabaikan yakni obat yang disimpan hendaknya tidak menempel pada dinding.

Sempat disinggung pula beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan GDP, yang meliputi prosedur operasional yang mantap untuk dapat menjamin pelaksanaan pengelolaan obat sesuai peraturan, menjamin penyediaan data yang akurat, menjaga tingkat stok, dan melaksanakan dokumentasi/administrasi yang baik. Idealnya dokumentasi/administrasi harus selalu tersedia bila diperlukan, dokumentasi ini termasuk di dalamnya adalah dokumen pengadaan, penjualan, penyimpanan resep, dan recall. Selain dua hal tersebut, inspeksi diri perlu dilakukan untuk memantau pemenuhan terhadap peraturan yang ada. Sedangkan faktor lain yang juga berperan dan perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan GDP adalah pengangkutan. Dalam Pengangkutan kita perlu memperhatikan pengawasan terhadap peralatan dan lokasinya, melakukan catatan pengawasan suhu, kontrol penggunan bahan-bahan dingin, membuat alur pemetaan suhu, serta melakukan kontrak transport dan audit.

Page 9: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 9 

 

Pada sesi ini, sebenarnya banyak sekali materi yang ingin disampaikan oleh pembicara, namun oleh karena terbatasnya waktu, maka tidak semua slide dalam presentasi beliau dibahas secara mendetail. Drs. Fanani, Apt sempat mengulas sepintas mengenai pengelolaan vaksin, mengingat vaksin memiliki tingkat kepentingan yang tinggi serta rentan akan penurunan kualitas apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara tepat. Sebagaimana telah diketahui, obat harus mendapatkan penanganan kondisi sesuai dengan yang disyaratkan bagi obat tersebut sejak dibuat sampai dengan berada di tangan pasien. Cold chain adalah persyaratan agar vaksin selalu memenuhi persyaratan mutu. Kekurangan cold chain yang seringkali dijumpai adalah ditemukannya vaksin yang mengendap. Penelitian menunjukkan bahwa kemasan vial tidak disegel, sehingga vaksin membeku karena bersentuhan langsung dengan es pada saat pengiriman.

Resume

Sistem pengawasan Badan POM dilakukan bersama-sama antara Produsen, Pemerintah dan Masyarakat. Dengan menerapkan Good Distribution Practice (GDP) / Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) diharapkan kualitas produk yang dicapai melalui CPOB dapat dipertahankan sepanjang jalur distribusi. SESI IV SELEKSI, ESTIMASI KEBUTUHAN DAN PENGADAAN OBAT Oleh : Dr.Erna Kristin, M.Si, Apt Pengantar Seleksi obat perlu dilakukan karena terlalu banyak obat yang beredar, sehingga untuk menentukan obat mana yang digunakan mutlak diperlukan seleksi. Seleksi obat memerlukan trik supaya tidak mengalami kerugian dan memberikan keuntungan bagi proses pelayanan kesehatan. Proses seleksi yang biasanya dilakukan oleh para peserta pelatihan adalah berdasarkan prevalensi penyakit dan buffer stock yang ada. Pada tingkat puskesmas, tingkat kebutuhan obat diprioritaskan pada 10 besar penyakit di puskesmas.

Materi

Jumlah obat yang diseleksi tergantung kebutuhan dan besar-kecilnya pelayanan kesehatan. Daftar obat yang ada di

Page 10: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 10 

 

puskesmas jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan RS daerah dan daftar obat di RS daerah jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan DOEN. Seleksi obat yang akan digunakan di suatu UPK harus dilakukan berdasarkan DOEN, komite DOEN, jumlah item dan generik. Penyimpangan yang sering terjadi bahwa puskesmas seringkali meminta obat diluar DOEN. Contoh obat diluar DOEN: antibiotik, obat anti kolesterol, obat asma, obat gastrointestinal dan suplemen makanan. Dr. Erna menambahkan bahwa dalam seleksi obat paling penting adalah pertimbangan mengenai keamanan. Sebaiknya dibuat list daftar obat yang paling aman dengan urutan nomor dengan urutan pertama adalah obat yang paling aman. Misalnya, dibuat daftar NSAID berdasarkan keamanannya. Apabila ada obat baru, sebaiknya jangan dipilih terlabih dahulu. Studi mengenai obat baru belum sebanyak obat lama sehingga sangat beresiko apabila digunakan untuk pelayanan kesehatan. Tidak semua DOEN bisa digunakan untuk semua UPK, DOEN yang digunakan di RS tentunya berbeda dengan DOEN puskesmas.

Hal yang tidak kalah menarik yang disampaikan Dr.Erna adalah estimasi kebutuhan. Estimasi kebutuhan melalui metode perhitungan mutlak diperlukan supaya obat diadakan dalam jumlah yang tepat. Apabila persediaan terlalu banyak, maka biaya yang dikeluarkan untuk penyimpanan, resiko kerusakan atau pemusnahan jumlahnya jauh lebih besar. Kasus inilah yang terjadi di Aceh pada saat pasca tsunami. Banyak donor luar negeri yang memberikan bantuan dalam bentuk obat. Sebagian besar obat tersebut tidak memenuhi syarat untuk pelayanan kesehatan sehingga harus dimusnahkan. Metode yang digunakan untuk perhitungan kebutuhan obat, antara lain: Population based, Consumption based dan Service based. Diantara ketiganya, yang paling feasible adalah consumption based. Population based masih sulit karena surveillance masih sulit, jumlah obat per package masih sulit. Metode consumption sekarang menjadi sulit karena terjadi pergeseran musim. Metode ini biasanya memperkirakan dari kebutuhan sebelumnya. Contohnya: obat B permintaannya tinggi karena digunakan untuk subtitusi obat A, maka pola konsumsi obat B biasanya meningkat pada permintaan periode berikutnya. Kasus yang saat ini sedang hangat di tengah dunia kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya penggunaan obat branded dan suplemen makanan. Food supplement lebih berbahaya karena studi masih terbatas sedangkan vitamin perlu review yang baik.

  Inventori maksimum

   

Page 11: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 11 

 

1    Pusat   stok kerja 12 bln, stok pengaman 2 bl

         

2    GFK  stok kerja 3 bln, stok

pengaman 2 bln

         

3   RS.

Kabupaten   Puskesmas  

Unit pelayanan

lain  

stok kerja 3 bln, stok pengaman 2 bln

             

4    Pustu       stok kerja 1 bln

Diagram diatas merupakan metode suplai obat pipeline. Pemaparan lebih lanjut adalah mengenai lead time yang sangat bervariasi antara kabupaten satu dengan kabupaten yang lain. Lead time pada umumnya berkisar antara 3-4 bulan tetapi ada juga yang mencapai 9 bulan tergantung kondisi geografis dan sarana transportasi untuk mencapai daerah tersebut. Lama tidaknya lead time dipengaruhi juga oleh stok nasional. Biaya untuk pengadaan obat bisa menjadi lebih besar apabila terdapat hidden cost. Hidden cost bisa berasal dari obat yang kedaluarsa, packing yang tidak kuat. Packing yg kecil lebih boros dibandingkan dengan yang besar tetapi perlu diperhatikan jumlah maksimal yang diperbolehkan.

Materi yang disampaikan oleh Dr.Erna membuat para peserta menjadi antusias dengan memberikan berbagai tanggapan. Kunci pengadaan obat adalah seleksi dan penghitungan kebutuhan obat dengan berbagai metode. Mana metode penghitungan kebutuhan yang paling  tepat?    Menanggapi hal tersebut Dr.Erna menjawab dengan idealis bahwa pertama, yang anda harus tahu adalah 10 besar daftar penyakit, studi surveillance, pedoman pengobatan yang harus ditaati dalam UPK (1 buku dengan berbagai drug of choice). Pedoman pengobatan ini dijadikan bahan pemikiran untuk penyusunan rencana pengadaan. Misal: penggunaan antibiotik tinggi, dikemudian hari harus ada kebijakan yang berkaitan dengan ini. Kasus pengobatan ISPA yang diberi obat kotrimoxazol, bukan amoxicillin juga membuat peserta memberikan tanggapan lebih lanjut.  Setelah diagnosis ditegakkan, maka dilakukan pengobatan berdasarkan standard yang ada. Pada kasus ISPA, drug of choice yang dapat digunakan adalah Amoxicillin, Kotrimoxazol, Azithromisin dsb. Pada kasus tersebut dibenarkan apabila tidak ada Amoxicillin. Review dilakukan dengan cross check kebutuhan obat paling banyak dengan drug of choice untuk penyakit yang dibutuhkan. Di Negara kita, satu penyakit mempunyai drug of choice lebih dari 1

Page 12: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 12 

 

sedangkan di Negara Eropa kecil, pedoman dibuat hanya 1 obat saja sehingga lebih mudah.

Resume

Prinsip dasar seleksi adalah harus menjamin bahwa obat yang diseleksi atau dipilih benar-benar memiliki manfaat terapi yang jauh lebih besar dibandingkan risikonya, serta merupakan obat terbaik diantara kompetitornya.

 

 

 

SESI V DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN OBAT Oleh : dr.Sulanto Danu Saleh R, SpFK Pengantar

Problem yang bisa dilihat dari desentralisasi dalam penerimaan. Masalah penerimaan Obat dan Logistik Medis (OLM) yang sering dihadapi antara lain : ketidak sesuaian barang yang diterima dan diadakan, batas kedaluwarsa yang pendek ( < 1 tahun ), waktu tunggu yang molor, tidak disertai dokumen barang (serifikat analisa; syarat penyimpanan dll). Kita harus bisa menentukan permasalahan kemudian mencoba memecahkan masalahnya. Obat merupakan komoditi yang unik dan spesifik yang memerlukan perlakuan khusus yang berbeda dengan komoditi lain. Pada sesi ini akan disampaikan tentang bagaimana manajemen OLM agar “pasukan tempur kesehatan” terdukung dengan OLM yang mencukupi dan memadai sehingga berhasil mengatasi serangan penyakit serta melindungi masyarakat dari penyakit. dr. Sulanto memaparkan bahwa pelatihan ini mempunyai dengan tujuan para peserta dapat menerapkan dalam lingkungan kerja mereka dalam bidang, antara lain:

1. Proses penerimaan Obat dan Logistik Medik 2. Infrastruktur, sarana & prasarana pergudangan OLM 3. Sistem penyimpanan dan penempatan OLM digudang

 

Page 13: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 13 

 

4. Pendistribusian OLM ke Unit-Unit Pelayanan Kesehatan 5. Pencatatan dan laporan OLM yang teratur.

Disamping hal diatas, diharapkan peserta pelatihan juga dapat : 1. Menyusun rencana kegiatan pemecahan permasalahan yang dihadapi 2. Kegiatan pemecahan permasalahan 3. Melakukan monitoring dan evaluasi selama melaksanakan kegiatan pemecahan

permasalahan pada storaging dan distribusi OLM. Materi

dr.Sulanto memaparkan fungsi penerimaan-penyimpanan dan Distribusi mempunyai berbagai fungsi penting, antara lain:

1. Menerima OLM sesuai dengan yang diadakan dalam keadaan utuh, tidak rusak sesuai dengan yang ditulis pada Surat Perintah kerja (SPK)

2. Menempatkan OLM sesuai dengan tempat dan persyaratannya 3. Memelihara dan mengamankan OLM yang ada digudang 4. Menyalurkan OLM keunit-unit pelayanan diwilayah tersebut 5. Melakukan pencatatan dan pelaporan periodik

Untuk memberikan memberikan penjelasan mengenai alur penerimaan-penyimpanan dan distribusi OLM dapat dilihat pada gambar 1 dibawah.

Setelah OLM diterima, tentunya logistic tersebut harus disimpan dengan standar dan metode tertentu. Pembicara menjelaskan bahwa saat ni terdapat 4 metode, yaitu FIFO (First In First Out), FEFO (First Expired First Out), Pergerakan Barang (Fast / Slow moving), Farmakologik – Alfabetik. Metode alfabetik sebaiknya jangan dilakukan, lebih baik dilakukan farmakologis. Apabila terjadi kesalahan pengambilan obat tidak fatal akibatnya. Metode FIFO dilakukan untuk obat yang tidak ada ED-nya, FEFO untuk yang ada ED-nya. Pencatatan terhadap obat yang disimpan harus senantiasa dilakukan dengan teliti. Seringkali obat sisa tidak dicatat di gudang RS/kabupaten sehingga mengakibatkan obat yang disimpan tidak sama dengan yang dilaporkan. Apabila laporan digunakan untuk perencanaan maka berakibat terjadi overstock.

Distribusi OLM harus senantiasa memperhatikan hal-hal sebagai berikut: sistem distribusi : push atau pull

1. peta wilayah yang menjadi yang yang harus diliput. 2. route / jalan dan alternatifnya yang akan dilalui 3. alat transport yang akan digunakan 4. keamanan selama perjalanan 5. persyaratan OLM yang diangkut (suhu, kelembaban, dll)

Page 14: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 14 

 

MANAJEMEN OBAT & LOGISTIK MEDIS ( OLM )

PEMILIHAN /SELEKSI OBAT - BF

PENYEDIAAN / PENGADAAN

PENYIMPANAN &PENYIMPANAN &DISTRIBUSIDISTRIBUSI

PENGGUNAAN /DRUG USE

MANAJEMENMANAJEMENSUPPORT:SUPPORT:--organisasiorganisasi & & mekanismemekanisme--sumbersumber dayadaya manusiamanusia--SIMSIM--financingfinancing

Hal yang penting dari materi ini, menurut dr.Sulanto adalah identifikasi terhadap permasalahan penerimaan, penyimpanan dan distribusi obat. Setelah permasalahan jelas, dibuat Plan of Action (POA) untuk mengatasi permasalahan tersebut. POA ini perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.

SESI VI.

PENGGUNAAN OBAT

Oleh: Dr. Jarir At Thobari, Ph.D

Pengantar

Sesi kuliah dengan topik “Penggunaan Obat” diawali dengan burning questions: ‐ Bagaimanakah penggunaan obat di daerah anda? Rasional atau tidak? ‐ Biasanya, pada aspek apa penggunaan obat di daerah yang anda temui menjadi

tidak rasional? ‐ Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan penggunaan obat yang tidak

rasional?

Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat secara medik dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Data menunjukkan bahwa insidensi kematian di Amerika oleh karena Peresepan Obat dibandingkan dengan insidensi kematian akibat kecelakaan oleh karena alat transportasi apapun menunjukkan hasil lebih tinggi angka kematian karena peresepan yang tidak rasional. Kondisi yang demikian mungkin pula

Page 15: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 15 

 

terjadi di Indonesia, namun oleh karena ketidaktersediaan data yang baik maka hal ini seolah-olah tidak dijumpai. Oleh karena alasan inilah banyak para praktisi medis baik di tingkat Puskesmas maupun Rumah Sakit tidak menyadari pentingnya suatu penggunaan obat yang rasional.

Beberapa contoh penggunaan obat yang tidak rasional adalah “shot gun therapy”. “Shot gun therapy” mendasarkan terapi berdasar symptom yang dijumpai pada pasien, tanpa mempertimbangkan kausa apa yang mengakibatkan keadaan tersebut. Hal ini mengakibatkan adanya suatu polifarmasi. Saat dr. Jarir menyampaikan bahasan “shot gun therapy” muncul satu diskusi menarik dari peserta. Salah satu peserta pelatihan menyampaikan kondisi nyata di Nias. Ada seorang dokter spesialis penyakit dalam memberikan terapi selalu polifarmasi, padahal dia adalah seorang ahli dalam bidangnya, bagaimana hal semacam itu bisa terjadi? Kondisi ini ditanggapi oleh pembicara dengan menyampaikan secara bijak bahwasanya bukan berarti seorang ahli akan selalu benar dalam peresepan. Hal semacam inilah yang menjadi stimulan bagi Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia untuk mencetak dokter-dokter baru dengan nilai lebih “mampu memberikan peresepan yang rasional”.

Contoh lain dari penggunaan obat yang tidak rasional adalah pemberian obat yang keliru untuk indikasi spesifik, misalnya pemberian antiinflamasi non steroid untuk demam (ibuprofen untuk mengobati campak akan menimbulkan efek samping perdarahan yang justru lebih potensial menyebabkan keadaan bahaya bila dibandingkan dengan penyakit campak itu sendiri). Pemberian dosis, cara, frekuensi, dan lama pemberian yang tidak tepat juga merupakan bentuk lain dari penggunaan obat yang tidak rasional, contohnya adalah pemberian antibiotika selama 3 hari tanpa memperhatikan jenis antibiotikanya. Satu hal yang sangat penting diperhatikan oleh kalangan medis maupun non-medis adalah pemberian informasi mengenai obat secara tepat kepada pasien. Sebagian besar pasien memahami bahwa pemberian obat 3x sehari berarti obat diminum saat pagi, siang dan sore hari. Padahal bila dilihat dari farmakokinetik obat, hal ini tidaklah benar. Sehingga pemberian informasi kepada pasien merupakan satu mata rantai peresepan yang tidak boleh dilupakan.

Beberapa contoh lain penggunaan obat yang tidak rasional adalah pemberian obat dengan risiko yang lebih besar daripada manfaat, misalnya kortikosteroid untuk

Page 16: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 16 

 

faringitis, peresepan obat mahal, misal Sefalosporin untuk ISPA, serta pemberian injeksi yang tidak perlu. Harus selalu diingat apa sajakah indikasi pemberian obat secara injeksi.

Obat-obat yang sering digunakan secara tidak rasional di Puskesmas adalah antibiotika, steroid, injeksi, antihistamin, luminal, ekspektoran. Sedangkan penyakit-penyakit yang sering diobati secara tidak rasional di Puskesmas antara lain adalah ISPA, diare, myalgia, gastrointestinal, penyakit kulit

Adapun beberapa dampak negatif yang muncul akibat penggunaan obat secara tidak rasional adalah pemborosan dari segi biaya, ketidaksembuhan pasien, risiko terjadinya efek samping obat, ketidakpatuhan, adanya resistensi terhadap obat, serta mutu pelayanan kesehatan yang menurun. Disampaikan pula oleh dr. Jarir Atthobari, Ph.D

beberapa alasan yang mengakibatkan suatu pengobatan menjadi tidak rasional, antara lain karena training yang tidak adekuat, kurangnya suatu pendidikan berkelanjutan dan supervisi, adanya aktivitas promosi dari perusahaan-perusahaan farmasi, kurangnya waktu yang dimiliki oleh dokter karena banyaknya pasien yang harus ditangani, tekanan dari pasien, serta kurangnya manajemen.

Dalam melakukan manajemen pengobatan terhadap pasien ada suatu Standard Operating Procedure yang harus diikuti oleh seorang dokter. Standard Operating Procedures ini bagaikan sebuah mata rantai yang saling terhubung satu sama lainNamun mata rantai ini seringkali terputus pada Pemberian Informasi kepada pasien. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya miss-perception pasien mengenai aturan, cara, ataupun dosis minum obat.

Page 17: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 17 

 

STANDARD OPERATING PROCEDURE

Anamnesis

Penegakan diagnosis

Pemilihan intervensi pengobatan

Penulisan resep

Pemberian informasi

Tindak lanjut pengobatan

Pemeriksaan

Suatu pengobatan yang rasional harus selalu berupaya tepat dalam diagnosis, pasien, indikasi, pemilihan obat, dosis, rute, lama pemberian obat, tindak lanjut, serta dalam hal pemberian informasi. Bila semua hal ini dapat tepat sasaran maka penggunaan obat secara rasional dapat dicapai. Lalu, bagaimanakah cara meminimalkan risiko penggunaan obat yang tidak rasional?

1. Cari selalu informasi yang up-date: obat manakah yang paling efikaseus 2. Buat daftar obat sederhana yang tidak duplikatif 3. Penggunaan obat baru harus mempertimbangkan bukti-bukti yang cukup 4. Penggunaan obat kombinasi hanya diberikan bila 2 jenis obat memang terbukti

lebih baik daripada obat tunggal 5. Pilih obat yang merupakan drug of choice untuk penyakit tersebut 6. Pilih obat yang mudah didapat, terjangkau, dan compliance 7. Gunakan selalu pedoman pengobatan

Dalam membawakan materinya, dr. Jarir Atthobari, Ph.D lebih banyak mengajak para peserta pelatihan untuk secara aktif berdiskusi. Pertanyaan berikutnya yang kemudian dilemparkan pemateri dalam diskusi yang membahas Penggunaan Obat Rasional ini adalah “Mengapa Pedoman Pengobatan diperlukan?”. Disini pemateri menjelaskan bahwa oleh karena setiap diagnosis memiliki alternatif terapi, maka perlu dibuat suatu pedoman yang mengatur hal ini. Selain itu, adanya individual preference dalam peresepan mengakibatkan perlunya suatu pedoman pengobatan, dan setiap penyakit mempunyai drug of choice-nya sendiri-sendiri. Selain itu, adanya perbedaan dalam pola peresepan juga menyebabkan suatu Pedoman Pengobatan menjadi sangat diperlukan. Tujuan dari dibuatnya suatu pedoman pengobatan adalah antara lain

Page 18: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 18 

 

adalah untuk mempertahankan mutu pelayanan pengobatan, sebagai standard profesi, pengaman hukum, logistik, langkah dalam kebijakan obat serta dalam pengelolaan obat. Adapun kriteria dari Pedoman Pengobatan harus meliputi hal-hal berikut, memuat hal pokok (diagnosis, terapi), isi dapat diandalkan, jelas, praktis, sederhana, berisi penyakit-penyakit utama, sesuai dengan tingkat pelayanan, tidak saling bertentangan, memiliki format yang praktis, dinamis, dan dapat dimasyarakatkan.

Pada saat sesi pertanyaan dibuka, cukup banyak peserta pelatihan yang tampak antusias untuk bertanya atau sekedar memberikan tanggapannya. Pertanyaan yang diajukan yakni mengenai cara praktis mengendalikan dan memantau penggunaan obat yang rasional. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pesrta dari NTB ini dr. Jarir mempersilahkan peserta dari Kotamadya Yogyakarta untuk membagi kiat yang dimiliki oleh Kotamadya Yogyakarta. Di Yogyakarta dilakukan MTP di tingkat Puskesmas, dan monitoring terhadap penyakit terbanyak disejajarkan dengan penggunan obat terbanyak, dianalisis apakah sudah sesuai atau belum. Kemudian dilakukan pula pendataan 10 penyakit terbanyak di Puskesmas. Pertanyaan kedua yang diajukan oleh peserta pelatihan adalah cara melakukan sosialisasi penggunaan obat yang rasional. Salah satu alternatif yang diajukan adalah melalui ajang pertemuan rutin. Dalam pertemuan rutin ini dilakukan sosialisasi program penggunaan obat rasional. Perlu pula dibuat suatu buku penggunaan obat rasional serta edukasi pada Puskesmas berdasar angka insidensi penyakit tertinggi di Puskesmas (misal: kasus DM merupakan kasus dengan angka kejadian tertinggi, maka Puskesmas diajak berdiskusi dengan para pakar DM untuk mengetahui bagaimanakah terapi rasional pada DM).

Diskusi selanjutnya mendiskusikan resep yang dibuat berdasarkan resep nyata yang pernah diketahui oleh salah satu peserta untuk diagnosis Ulkus Peptikum, yang berupa pemberian Cimetidine 10 tablet dengan pemberian 3 kali sehari, Amoxicilin 10 tablet pemberian 3 kali sehari dan Metronidazole 10 tablet dengan pemberian 3 kali sehari . Dalam diskusi ini para peserta cukup antusias membahas rasional/tidaknya resep yang dituliskan.

SESI VII.

MANAJEMEN OBAT BENCANA

Oleh: Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt

Pengantar

Page 19: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 19 

 

“Start berawal dari pola penyakit”, itulah hal pertama yang disampaikan oleh Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt dalam presentasinya. Sebagaimana kita ketahui bersama, setiap bencana mempunyai karakteristik dan akibat yang berbeda, sehingga hal ini akan sangat mempengaruhi manajemen obat selama terjadinya bencana.

Bencana mempunyai makna yang sangat luas, antara lain berakibat fungsi normal dan kehidupan masyarakat yang terganggu. Umumnya bencana melampaui kemampuan mekanisme masyarakat untuk dapat mengatasinya, sehingga untuk dapat kembali menjadi normal diperlukan bantuan dari semua pihak.

Materi

Dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berdasarkan Kepmenkes RI No.1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan, disebutkan bahwa pengelolaan obat bencana pada dasarnya tidak akan membentuk sarana dan prasarana khusus, melainkan memberdayakan sarana-prasarana pemerintah daerah sampai propinsi dan masyarakat termasuk swasta. Dalam kesempatan ini Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt juga menjelaskan mengenai aspek legal lain yang mengatur manajemen obat saat terjadi bencana, yakni SK Menkes dan Kesos 979/Menkes/IX/2001 yang kutipannya menyebutkan “….tidak akan membentuk sarana dan prasarana khusus, ……memberdayakan pemerintah, masyarakat, swasta”

Sebelum menentukan obat (use) saat disaster tetap diperlukan suatu pola untuk mengetahui jenis penyakit. Pada titik inilah diperlukan suatu rapid assessment untuk mendapatkan semua data awal yang diperlukan, meliputi realita karakter masing-masing bencana, luas dan dalamnya dampak yang ditimbulkan (sehingga menjadi pedoman untuk pengelolaan obat dari penetapan pola penggunaan, seleksi, pengadaan, penyimpanan, dan juga distribusi). Disampaikan pula oleh Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt bahwa saat ini telah disusun suatu Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana yang diterbitkan oleh Depkes RI tahun 2007.

Organisasi yang terkait dalam manajemen obat bencana, sesuai dengan tahap-tahap bencana yang terjadi itu sendiri. Organisasi ini meliputi Perencana yang dalam hal ini adalah Depkes, Dinkes cq pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan kab kota, serta Pelayanan yakni pos kesm Pustu, Puskesmas, RS, sarana kesehatan (swasta, TNI, POLRI). Dijelaskan lebih lanjut oleh pemateri bahwa dalam manajemen bencana, pendekatan yang dilakukan mengikuti tahapan acute response, rehabilitation, reconstruction, risk reduction. Manajemen obat yang meliputi langkah-langkah sistematis pada keadaan bencana dilakukan sesuai dengan tahap-tahap bencana yang terjadi, yang meliputi 3 tahapan yakni tahap persiapan, tahap terjadinya bencana, dan tahap pasca bencana dan rehabilitasi. Pada tahap persiapan dilakukan penyusunan dan penyebarluasan pedoman, koordinasi sektor terkait , serta pengalokasian buffer stok dengan rincian 20-30% rutin/bukan rawan bencana dab 100% di daerah rawan bencana. Pada tahap terjadinya bencana dilakukan penilaian kebutuhan secara cepat

Page 20: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 20 

 

(jumlah pengungsi, jenis kelamin, usia), serta penyediaan obat dan perbekalan kesehatan. Sedangkan pada tahap pasca bencana dan rehabilitasi tugas manajemen merupakan tugas dari pemerintah kabupaten/kota di tempat bencana tersebut terjadi.

Pengelolaan Obat Saat Bencana

Pengelolaan obat saat bencana meliputi tahapan-tahapan berikut, penggunaan obat, seleksi obat, pengadaan obat, penyimpanan obat, distribusi obat, serta pencatatan dan pelaporan. Dra. Endang Budhiarti, MPhar, Apt menjelaskan bahwa ketika bencana terjadi, pada 1x24 jam pertama permintaan untuk obat seharusnya telah mulai dilakukan, dalam hal ini sangat penting untuk memperhatikan titik kritis yakni waktu/saat-saat kritis obat sangat diperlukan, dan pada 1x24 jam berikutnya distribusi harus sudah dilakukan. Pencatatan dan pelaporan dilakukan dengan menggunakan formulir dan kartu (formulir kebutuhan dan kartu stok). Nomor Batch harus diperhatikan, bila nomor Batch tidak ada, maka dianggap membahayakan masyarakat.

DistribusiDepkes

DinkesPropinsi

PKM RSU YankesSwasta

YankesTNI/Polri

PustuPoskoKes

Depkes Kab/Kota(UPOPPK)

Jalur pengirimanJalur permintaan

Penanganan Obat dari Donor

Pengetahuan dan kewaspadaan seorang Apoteker sangat diperlukan untuk melakukan seleksi pada saat menerima bantuan obat dan perbekalan kesehatan pada saat bencana. Dalam hal penanganan obat dari donor, seringkali muncul masalah-masalah antara lain berupa ketidaksesuaian obat yang tersedia dengan situasi yang ada, baik dari sisi pola penyakit, nama obat yang asing, serta adanya perbedaan standar obat. Selain itu masalah lain yang terjadi adalah adanya gap bahasa, kualitas obat yang di bawah standar : ED, donor tidak ikut prosedur, permasalahan mengenai nilai obat vs pajak impor, dan juga jumlah yang tidak sesuai yang tentu saja akan menimbulkan biaya untuk pemusnahan obat.

Page 21: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 21 

 

Pada sesi diskusi dibahas mengenai buffer stock daerah-daerah rawan bencana. Buffer stock tidak hanya dilakukan pada daerah-daerah rawan bencana, daerah yang tidak pun perlu memahami buffer stock. Dalam sesi ini muncul pula berbagai pertanyaan menarik yang diajukan oleh para peserta pelatihan, antara lain bagaimana kontrak dengan lembaga non-pemerintah dan bagaimana sistem pembayarannya, apakah sebelum kejadian atau setelah kejadian (obat terpakai). Ada pula peserta yang meminta tanggapan dari Dra. Endang

Budhiarti, MPhar, Apt mengenai menolak obat dari donor dengan alasan tidak darurat.

HARI II Kamis, 7 Agustus 2008

SESI I.

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN OBAT

Oleh: Anis Fuad, S.Ked, DEA

Pengantar :

Sesi I pada Pelatihan Manajemen Suplai Obat hari kedua diawali dengan burning question “Mengapa Sistem Informasi Obat diperlukan?”. Para peserta kemudian memberikan jawabanya yang sedikit banyak menyiratkan alasan perlunya suatu Sistem Informasi Obat yang selanjutnya disampaikan oleh Anis Fuad, S.Ked, DEA selaku pemateri pada sesi tersebut. Ada tiga alasan mengapa suatu Sistem Informasi Obat diperlukan, yakni untuk kepentingan pengawasan terhadap penggunaan obat, mencegah ketidaktersediaan obat, serta untuk mendukung mutu pelayanan.

Materi :

Sistem Informasi merupakan gabungan dari berbagai subsistem yang saling terkait dengan tujuan yang sama untuk mengolah data menjadi informasi guna mendukung pengambilan keputusan. Aktivitas dalam manajemen informasi meliputi pengumpulan data, pengiriman data, pengolahan data, serta analisis data yang akhirnya nanti akan bermanfaat dalam penggunaan informasi dalam perencanaan dan manajemen. Dalam Sistem Informasi dikenal suatu istilah Piramida Sistem Informasi. Piramida ini menunjukkan stratifikasi kegiatan dalam sistem informasi. Pada level bawah lebih banyak kegiatan transaksi, di level atasnya lebih mengarah pada level manajerial, level

Page 22: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 22 

 

atasnya lagi adalah untuk pengambilan keputusan. Pengembangan sistem informasi obat haruslah dilakukan secara komprehensif yang meliputi semua level.

Adapun komponen-komponen yang terlibat dalam sistem informasi adalah Sumber Daya Manusia, data, prosedur, sistem yang ada serta teknologi informasi yang meliputi perangkat keras dan juga perangkat lunak. Dari sisi data, kendala yang dijumpai adalah sistem koding masih berbeda-beda antar tempat. Sistem koding untuk penyakit telah ada satu baku aturan yakni dengan menggunakan ICD-10, namun koding untuk obat masih belum seragam. Bila menilik negara tetangga kita Malaysia, di negara tersebut telah dijumpai keseragaman untuk pengkodean obat. Sistem Informasi Obat merupakan suatu subsistem dari Sistem Pelayanan Kesehatan. Sistem Informasi Obat diupayakan terintegrasi dengan sistem-sistem yang lain dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. Sistem obat berbeda fungsi di setiap level dan dapat saja berbeda sesuai penggunanya.

Page 23: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 23 

 

Beberapa kalangan seringkali mempertanyakan apakah penyimpanan data dengan sistem komputerisasi tidak bertentangan dengan UU Praktek Kedokteran. Ditilik dari substansinya, sistem penyimpanan data dengan secara terkomputerisasi tidak bertentangan dengan UU Praktek Kedokteran, meskipun hingga saat ini aturan pelaksanaannya belum ada.

Dalam presentasinya, pemateri pada kesempatan ini Bapak Anis Fuad, S.Ked, DEA menyampaikan bahwa bagimana Sistem Informasi Obat telah berjalan di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Di Kabupaten ini telah tersedia jaringan koneksi antara Dinkes dengan Puskesmas yang menghubungkan secara real time 20 Puskesmas dengan Dinkes, dimana dalam 15 menit data pasien yang masuk ke Puskesmas dapat terintegrasi langsung di Dinkes.

Pada kesempatan ini dijelaskan pula oleh Bapak Anis Fuad, S.Ked, DEA mengenai teknologi penyimpanan data dengan menggunakan Smart Card yang relatif memiliki harga yang murah, yakni 10.000 rupiah untuk setiap itemnya, teknologi lain yang juga sempat disinggung adalah dengan menggunakan barrcode yang telah lebih banyak digunakan bila dibandingkan dengan smart card.

Dalam akhir presentasinya, pemateri menyampaikan bahwa secara umum fungsi SIM Obat adalah meliputi fungsi transaksional berupa elayanan pasien dan inventory, serta fungsi manajemen/taktis. Dalam melaksanakan sistem ini, sangatlah mungkin dijumpai suatu sistem yang gagal/tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa penyebab dari sistem informasi yang gagal ini antara lain adalah software yang tidak lengkap serta SDM tidak memadai.

Pada sesi diskusi, ada usulan dari peserta pelatihan untuk meminta bantuan dari Perguruan Tinggi dalam hal ini adalah PMPK untuk dapat disediakan software SIM. Hal ini ditanggapi dengan baik oleh Bapak Anis Fuad, S.Ked, DEA selaku pemateri, PMPK menyediakan satu CD demo untuk dapat dibawa pulang oleh masing-masing peserta pelatihan. Ada pula peserta pelatihan yang mengajukan pertanyaan terkait dengan sistem billing yang menggunakan teknologi informasi. Untuk Puskesmas mungkin tidak masalah, namun bagaimana bila di RS yang lebih crowded. Pertanyaan ini ditanggapi oleh pemateri bahwa pada prinsipnya tidak ada perbedaan dalam penggunaan TI antara Puskesmas maupun rumah sakit. Dalam akhir diskusi Bapak Anis Fuad, S.Ked, DEA mengingatkan bahwa pengembangan sistem informasi harus disertai dengan upaya-upaya preventif terhadap kemungkinan dari kendala-kendala yang ada.

Page 24: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 24 

 

Resume

SIM obat merupakan komponen pendukung, meski demikian tetap diperlukan suatu manajemen yang terintegrasi guna mendukung terlaksananya suatu Sistem Pelayanan Kesehatan yang baik.

SESI II.

SURVEILANS EFEK SAMPING OBAT

Oleh: dr. Jarir At Thobari, Ph.D

Pengantar

Tidak jauh berbeda dengan sesi-sesi sebelumnya, pada sesi terakhir dari rangkaian materi yang disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Obat tanggal 6-7 Agustus 2008 ini diawali dengan suatu burning question dari dr. Jarir Atthobari, Ph.D “Mengapa efek samping obat harus diperhatikan?”. Seperti yang telah diketahui, setiap obat memilki efek klinik dan adverse efek, baik yang ringan maupun berat, yang diketahui ataupun tidak diketahui. Efek samping ini sangat mungkin baru akan muncul pada karakteristik-karakteristik tertentu (misalnya ketika kondisi gagal ginjal maka adverse effect baru muncul).

Adapun tujuan dari disampaikannya materi mengenai Surveilans Efek Samping Obat adalah agar para peserta pelatihan memahami pentingnya surveilans (post marketing) obat, memahami metode dalam surveilans efek samping obat, dan mampu menerapkan metode surveilans obat di kabupaten/kota.

Materi

Mengawali presentasinya dr. Jarir Atthobari, Ph.D menyampaikan bahwa Surveilans Keamanan Produk Terapeutik Pasca Pemasaran bertujuan untuk membandingkan antara Risk dan Benefit. Tentu saja selalu diupayakan agar benefit yang diperoleh jauh lebih besar daripada risk yang ada. Lalu mengapa kita harus tahu melakukan survey setelah obat dipasarkan? Sebelum suatu obat diizinkan untuk diedarkan atau dipasarkan, maka obat tersebut sudah harus melalui tahap yang disebut dengan pre-marketing study yang meliputi aspek efficacy, safety, dan quality dari obat. Perlu dipahami bersama bahwa uji pre-klinik obat pada hewan maupun uji klinik pada manusia yang dilakukan sebelum obat tersebut diedarkan belum sepenuhnya dapat mengungkap semua aspek mengenai efek samping dari obat tersebut. Hal inilah yang menjadi kelemahan premarketing trial. Kelemahan-kelemahan lain dari premarketing trial diantaranya adalah subyek pada uji klinik yang terbatas, kondisi subyek yang cenderung homogen, durasi uji klinik sangat terbatas, informasi tentang reaksi efek samping yang serius, efek samping obat pada penggunaan yang kronik, atau efek

Page 25: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 25 

 

penggunaan obat pada special grup seperti anak-anak, orang tua dan wanita hamil umumnya tidak diketahui, serta informasi tentang interaksi dengan obat lain yang

sangat terbatas.

Terdapat 4 sistem surveilans yang dapat digunakan untuk mengetahui efek samping obat, yakni spontaneus reporting system, prescription event monitoring, signal generation, dan yang terakhir adalah record linkage. Dalam presentasinya dr. Jarir Atthobari, Ph.D mencoba menyampaikan masing-masing metode ini melalui suatu diskusi interaktif

bersama dengan para peserta. Pada sistem surveilans yang pertama, yakni spontaneus reporting system, digunakan lembar kuning yang dikirimkan ke Balai POM. Dijelaskan bahwa siapapun tenaga kesehatan dapat berpartisipasi dalam sistem ini. Spontaneus reporting system merupakan pelaporan efek samping obat yang dilakukan bersifat spontaneus-reporting (sukarela) oleh tenaga kesehatan. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, spontaneus-reporting ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan menggunakan formulir kuning yang disediakan oleh Badan POM RI. Formulir ini sudah disirkulasikan ke hampir seluruh sarana pelayanan kesehatan di Indonesia (Puskesmas dan Rumah Sakit).

Sistem yang kedua adalah Prescription Event Monitoring. Metode ini menggabungkan metode public health surveillance dan spontaneous reporting. Metode ini dilakukan terutama untuk obat-obat yang baru atau obat yang penggunaannya berada dalam pengawasan BPOM, atau obat-obat yang bisa menimbulkan efek samping yang berat. Adapun sistem surveilans yang ketiga ialah Signal Generation, dengan metode ini data dapat dikumpulkan dengan melakukan survellance kesehatan melalui pencatatan dan pelaporan yang ada, misalnya dari pencatatan kematian, registrasi kanker, catatan kelainan kongenital bayi, kemudian menghubungkannya dengan penggunaan obat yang pernah diberikan. Sedangkan sisten surveilans yang terakhir adalah Record Linkage. Sistem ini merupakan linkage dari informasi yang spesifik dari pasien mengenai data obat dan penyakit yang disimpan dalam dua dokumen yang berbeda.

Resume

Setiap obat memilki efek klinik dan adverse efek, baik yang ringan maupun berat, yang diketahui ataupun tidak diketahui, sehingga diperlukan suatu Surveilans Keamanan Produk Terapeutik Pasca Pemasaran yang bertujuan untuk membandingkan antara

Page 26: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 26 

 

Risk dan Benefit. Tentu saja selalu diupayakan agar benefit yang diperoleh jauh lebih besar daripada risk yang ada.

DISKUSI

Sesi yang penting di hari kedua pelatihan ini adalah sesi diskusi yang membahas permasalahan-permasalahan yang ada dalam manajemen obat dan pemecahan permasalahan tersebut. Peserta dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok I terdiri dari peserta yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, Jamsostek dan Bapelkes sedangkan kelompok II terdiri peserta dari universitas.

Setelah sesi diskusi selesai, 1 jam kemudian para peserta diminta memperesentasikan hasil diskusi masing-masing kelompoknya. Permasalahan yang ada dalam manajemen obat antara lain kebijakan/regulasi, struktur organisasi, sumber daya manusia (SDM) dan anggaran/pendanaan.

Penggalian lebih lanjut mengenai kebijakan/regulasi menemukan bahwa terdapat beberapa masalah, yaitu harga obat, perijinan dan pedoman pengobatan. Pedoman pengobatan disosialisasikan sampai ke tingkat Puskesmas. Sebaiknya, kesesuaian pengobatan dengan pedoman pengobatan senantiasa diawasi. Reward atau punishment diberikan pada pihak yang mematuhi atau melanggar pedoman tersebut. Badan POM selain sebagai pembuat kebijakan juga sebagai pelaksana. Policy dari pusat ketika pengadaan obat tertentu, formularium tekadang tidak match dengan obat yang ada. Meskipun ada SK generic dan branded tetapi banyak juga yang melanggar. Pengalaman di kabupaten Bantul tahun 2007, obat generik kosong. Pada waktu itu, Dinas Kesehatan kabupaten mengganti obat generik dengan obat lain dengan harga tidak lebih dari 3 kali harga obat generik. Ketika pemeriksaan BPK, kita dianggap melakukan kesalahan. Masalah perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat (Menteri Kesehatan) selaku lembaga pemerintah departemen juga seringkali menjadi masalah. Pencabutan sementara ijin edar obat dari PBF dilakukan oleh Badan POM sedangkan yang memberikan ijin edar adalah BinFar, DeKes RI.

Peserta training juga berpendapat bahwa struktur organisasi juga bermasalah dan sangat bervariasi. Variasi terjadi mulai dari pusat sampai dengan tingkat kabupaten, bahkan fungsi pengelola obat sangat berbeda, ada yang merangkap. Seksi yang melakukan pengelolaan obat juga merangkap sebagai pengawas juga. Seksi yang melakukan operasional dan pengawasan terhadap dirinya sendiri. Bentuknya ada yang UPTD Farmasi, seksi Farmakmin, Sie Instalasi Farmasi, sie Yankes. Di dinas kesehatan

Page 27: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 27 

 

kabupaten/kota melakukan pengawasan obat karena POM tidak bekerja hingga tingkat kabupaten/kota. 

Sumber daya manusia pengelolaan obat yang kompeten mengelola obat kurang, karena banyak SDM yang background-nya berbeda. Overlapping tugas pengelola obat dimana operator juga berfungsi sebagai regulator. SDM non farmasist menjadi kendala karena memerlukan training khusus dan terkadang dijumpai di puskesmas adah duplikasi obat. Petugas memberikan obat yang kandungan zat aktifnya sama. Anggaran untuk obat juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Sekarang ini, target anggaran obat rata-rata 1 US$ sedangkan WHO 2 US$ sedangkan anggaran riil masih kurang. Jumlah kunjungan pasien digunakan sebagai tolok ukur alokasi anggaran belanja obat, sehingga sering terjadi pengobatan tidak rasional. Teknis penyimpanan obat tidak dianjurkan kabupaten/kota secara alfabetis, akan tetapi hal ini yang paling banyak ditemukan di gudang kabupaten/kota. Teknis pemetaan gudang dan peralatan/sarana penyimpanan belum memadahi untuk mengontrol kualitas obat, seperti thermometer yang otomatis mengukur suhu apabila pemadaman listrik terjadi.

Dalam forum ini, juga membahas pemecahan untuk berbagai permasalahan dalam diskusi. Sebaiknya Departemen Kesehatan membuat standar/pedoman pengobatan didalamnya tercantum obat dan harganya. Pedoman pengobatan ini seharusnya di-up date setiap tahun sehingga selalu sesuai dengan perkembangan pengobatan dan harga obat. Pusat sebaiknya membuat keputusan untuk mengalokasikan biaya realokasi obat dari satu propinsi ke propinsi lain. Hal ini untuk pemecahan masalah apabila salah satu propinsi mengalami stock out obat sedangkan propinsi lain kelebihan stock. Biaya realokasi memungkinkan terjadinya subsidi silang antar propinsi. Masalah perijinan seharusnya dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan Perpres mengenai pengadaan agar ditegaskan dengan SK Menkes, supaya pelaksanaan di daerah bisa lebih mudah.

Strukur pengelolaan obat dapat bervariasi, tetapi fungsinya harus khusus tidak boleh OVERLAPPING. Fungsional operator merangkap sebagai regulator akan mengurangi kontrol terhadap kualitas obat. Beban petugas pengelola obat tidak ditambah dengan tugas lain yang tidak menunjang pengelolaan obat. Dari sisi kuantitas, SDM perlu ditambah sesuai dengan kompetensinya. SDM yang mengelola obat mempunyai latar belakang pendidikan farmasi. Selain itu, juga diperlukan pelatihan dan bimbingan teknis bagi semua tenaga yang mengelola obat.

Anggaran untuk pembelian obat yang dinilai terlalu kecil sebaiknya memerlukan pembahasan. Sebaiknya pada saat pembahasan anggaran dilakukan advokasi yang

Page 28: Reportase Manajemen Obat

Pertemuan Tahunan ke-7 Desentralisasi Kesehatan 2008 | Yogyakarta, 6-8 Agustus 2008 28 

 

didukung data. Ditingkat pusat, antara Menkes-Mendagri sebaiknya duduk bersama membahas anggaran kesehatan.