refrat selfi

49
EMERGENSI ORTOPAEDI OPEN FRAKTUR, DISLOKASI, KOMPARTEMEN SINDROM, OSTEOMIELITIS Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUDZA – Banda Aceh Oleh : 1. Cut Shelfi Oktarina Harnold , S.Ked (0907101050077) Pembimbing Dr. Safrizal Rahman, Sp.Ot

Upload: cutshelfi

Post on 22-Nov-2015

51 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

refrat

TRANSCRIPT

EMERGENSI ORTOPAEDI OPEN FRAKTUR, DISLOKASI, KOMPARTEMEN SINDROM, OSTEOMIELITIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUDZA Banda Aceh

Oleh :1. Cut Shelfi Oktarina Harnold , S.Ked (0907101050077)

Pembimbing Dr. Safrizal Rahman, Sp.Ot

Bagian / SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala RSUDZABanda Aceh 2013

BAB 1 PENDAHULUAN

Kejadian kegawatan orthopaedi (emergency orthopedics) banyak dijumpai.Penangananemergensi orthopaedi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi untuk menunjang penanganan emergensi orthopedi. Tenaga medis dituntut untukmempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup terkait dengan proses perawatan emergensi orthopaedi yang ditemukan pertama kali di IGD yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat,implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergensi ortopedi, yaitu open fracture, kompatemen sindrom, dislokasi dan osteomielitis akut ( Yasrif, 2007).Kejadian fraktur banyak ditemukan saat ini, begitujugakasusopenfraktur terbuka diIGD. Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi.Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik pada tulang dan struktur disekitarnya yang disebabkan oleh organisme piogenik. Osteomielitis sering ditemukan pada usia dekade I-II, tetapi dapat pula ditemukan pada bayi dan infant. Anak laki-laki lebih sering mengalami penyakit ini dibanding anak perempuan (4:1). Lokasi yang tesering ialah tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, radius, humerus, ulna, dan fibula (Yuliani, 2010). Prevalensikeseluruhan adalah 1 kasusper 5.000 anak. Prevalensi neonataladalah sekitar1 kasusper 1.000.Kejadian tahunanpada pasien dengananemia sel sabit adalah sekitar0,36%. Insidenosteomielitisvertebral adalahsekitar 2,4kasus per100.000 penduduk. Kejadian tertinggi pada Negara berkembang. Tingkat mortalitas osteomielitis adalahrendah,kecualijika sudah terdapat sepsisatau kondisi medis berat yang mendasari (Randall, 2011).Kasus emengensi orthopaedi lain adalah kompartemen sindrom. Kompartemen sindrom ialah dimana terjadinya peningkatan tekanan intra kompartemen (Osteofascial compartement) pada cruris atau pada Antebrachii akibat peningkatan permeabilitas sesudah terjadinya trauma yang dapat menyebabkan oedema dan menghalangi aliran arteri yang menyebabkan iskemi jaringan yang diikuti gejala klinis5 P ( Pain, Pale, Pulseless, Paraestesi, Paralisis). Di Amerika, Ekstremitas distal anterior ialah paling banyak didapati untuk sindrom kompartemen dan dianggap sebagai yang ke 2 paling sering untuk trauma. Dari penelitian McQueen (2000) sindroma kompartemen lebih sering didiagnosa pada pria dibanding wanita. McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosa sindroma kompartemen, 69% pasien yang berhubungan dengan fraktur. Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian dislokasi dan fraktur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Kompartemen sindrom adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Sindroma kompartemen lebih sering di diagnosa pada pria daripada wanita, berdasarkan penelitian McQueen 164 pasien yang didiagnosis sindroma kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagiannya adalah fraktur tibia. (Richard & Abraham, 2007).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 FRAKTUR TERBUKA

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Dimana trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh (Sjamsuhidajat, 2005).Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat (chairuddin rasjad,2008).

Gambar 1. Fraktur terbuka dan tertutup

2.1.1. Klasifikasi fraktur terbuka Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo dan Anderson (Rasjad,2007) :

2.1.2 Manifestasi KlinisManifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan warna (Smeltzer, 2001).Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan dan kelainan bentuk. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tingkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang. Teraba adanya krepitasi Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit, tanda ini dapat terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

2.1.3 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan fisik pada fraktur menurut sjamsuhidayat (2008) :Inspeksi (Look) Bandingkan dengan bagian yang sehat Perhatikan posisi anggota gerak Keadaan umum penderita secara keseluruhan Ekspresi wajah karena nyeri Lidah kering atau basah Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organlain Perhatikan kondisi mental penderita Keadaan vaskularisasi2. Palpasi (Feel)Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangatnyeri. Temperatur setempat yang meningkat Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma , temperatur kulit Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai

3. Pergerakan (Move)Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk menentukan adanya fraktur diantaranya adalah (Reeves, Roux, Lockhart, 2001) : Radiografi pada dua bidang CT Scan, MRI USG dan scan tulang dengan radioisotop2.1.4 PenatalaksanaanManajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan, mengurangi nyeri,mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah kontaminasi serta infeksi misal benda asing dan jaringan nonviable. Hal ini akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat terjadi (Buckley, 2012). Penanganan awal yang dilakukan ialah : Penanganan awal :1. ABCD-Menilaistatuskesadaran,-Bebaskan airway -Bebaskan breathing -Resusitasicairan -Menghentikan perdarahan.2. Cuci lukaMencuci luka dengan larutan NaCl fisiologis yang bertujuan menghilangkan kontaminasi makro dan bekuan darah yang dapat meminimalkan kontaminasi sertakerusakanjaringan (Schaller,2012).3. Debridement dalam golden period(6 jam) dengan general anestesia.Adanya jaringan yang mati akan mengganggu proses penyembuhan luka yang merupakan daerahtempatpembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas (Buckley, 2012).4.ImobilisasiPembidaian dan imobilisasi fraktur merupakan hal yang penting pada emergensi ortopedi. Tujuan pembidaian dan imobilisasi adalah membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan, stabilisasi fraktur, mencegah terjadinya cedera lebih lanjut. (Budiman,2010).Menurut Mansjoer (2002) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : Rekognisi, Reduksi, Retensi dan Rehabilitasi1. Rekognisi ( Pengenalan )Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus sangat jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.2. Reduksi ( manipulasi / reposisi )Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi sesuai dengan anatomisnya. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan (Mansjoer, 2002).

Gambar 2. Weight Traction dan Skeletal Traction

3. Retensi (Immobilisasi)Hal yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dicapai dengan eksternal fiksasi dan internal fiksasi. Fiksasi internal dengan menggunakan plate dan screw, sedangkan eksternal fiksasi dapat menggunakan terapi konservatif seperti gips, traksi kulit ataupun traksi tulang ataupun dengan terapi operatif, misalnya menggunakan fram external fixator.

Gambar 3. Gambar 6. Fiksasi Eksternal dan Fiksasi Internal

4. RehabilitasiMengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).

2.2.1 Osteomilitis Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik pada tulang dan struktur disekitarnya yang disebabkan oleh organisme pyogenik (Randall, 2011). Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa osteomielitis adalah radang tulang yang disebabkan oleh organisme piogenik, walaupun berbagai agen infeksi lain juga dapat menyebabkannya. Hal ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa dan periosteum (Dorland, 2002).Bakteri penyebab osteomielitisakut danlangsungmeliputi:1. Osteomielitishematogenus akut.a. Bayi baru lahir(kurang dari4bulan):S. Aureus, Enterobacter, dan kelompokStreptococcus dan .b. Anak-anak (usia 4bulansampai 4 tahun): Streptococcus dan ,Haemophilusinfluenzae,dan Enterobacter.c. Remaja(usia4tahun sampaidewasa): S.aureus(80%), kelompok Streptococcus , Hinfluenzae,dan Enterobacterd. Dewasa:S.Aureus dankadang-kadangEnterobacter dan Streptococcus.2. Osteomielitis langsung. Umumnya disebabkan oleh S. Aureus, spesies enterobacter, dan spesies pseudomonas. Tusukan melalui sepatu atletik : S. aureus dan spesies pseudomonas. Penyakit sel sabit : staphylococcus dan salmonella (Randall, 2011).

2.2.2 KlasifikasiBeberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan ostemielitis. Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari timbulnya gejala : akut, subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya berhubungan dengan proses hematogen pada anak. Namun, pada dewasa juga dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya setelah pemasangan prosthesa dan sebagainya (David,1987).Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan. Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus involukrum (David,1987).Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh Waldvogel yang mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan etiologi dan kronisitasnya: hematogen, penyebaran kontinyu (dengan atau tanpa penyakit vaskular) dan kronik. Penyebaran infeksi hematogen dan kontinyu dapat bersifat akut meskipun penyebaran kontinyu berhubungan dengan adanya trauma atau infeksi lokal jaringan lunak yang sudah ada sebelumnya seperti ulkus diabetikum. Cierny-Mader mengembangkan suatu sistem staging untuk osteomielitis yang diklasifikasikan berdasarkan penyebaran anatomis dari infeksi dan status fisiologis dari penderitanya. Stadium 1 medular, stadium 2 korteks superfisial, stadium 3 medular dan kortikal yang terlokalisasi, dan stadium 4 medular dan kortikal difus.a. Osteomielitis hematogenik akutOsteomielitis akut hematogen merupakan infeksi serius yang biasanya terjadi pada tulang yang sedang tumbuh. Penyakit ini disebut sebagai osteomielitis primer karena kuman penyebab infeksi masuk ke tubuh secara langsung dari infeksi lokal di daerah orofaring, telinga, gigi, atau kulit secara hematogen. Berbeda dengan osteomielitis primer, infeksi osteomielitis sekunder berasal dari infeksi kronik jaringan yang lebih superfisial seperti ulkus dekubitum, ulkus morbus hansen ulkus tropikum, akibat fraktur terbuka yang mengalami infeksi berkepanjangan, atau dari infeksi akibat pemasangan protesis sendi. (Adam,2004).Pada awalnya terjadi fokus inflamasi kecil di daerah metafisis tulang panjang. Jaringan tulang tidak dapat meregang, maka proses inflamasi akan menyebabkan peningkatan tekanan intraoseus yang menghalangi aliran darah lebih lanjut. Akibatnya jaringan tulang tersebut mengalami iskemi dan nekrosis. Bila terapi tidak memadai, osteolisis akan terus berlangsung sehingga kuman dapat menyebar keluar ke sendi dan sirkulasi sistemik dan menyebabkan sepsis. Penyebaran ke arah dalam akan menyebabkan infeksi medula dan dapat terjadi abses yang akan mencari jalan keluar sehingga membentuk fistel. Bagian tulang yang mati akan terlepas dari tulang yang hidup dan disebut sebagai sekuester. Sekuester meninggalkan rongga yang secara perlahan membentuk dinding tulang baru yang terus menguat untuk mempertahankan biomekanika tulang. Rongga ditengah tulang ini disebut involukrum (Hidiyaningsih, 2012).Penderita kebanyakan adalah anak laki-laki. Lokasi infeksi tersering adalah di daerah metafisis tulang panjang femur, tibia, humerus, radius, ulna dan fibula. Daerah metafisis menjadi daerah sasaran infeksi diperkirakan karena : 1) daerah metafisis merupakan daerah pertumbuhan sehingga sel-sel mudanya rawan terjangkit infeksi; 2) dan metafisis kaya akan rongga darah sehingga risiko penyebaran infeksi secara hematogen juga meningkat; 3) pembuluh darah di metafisis memiliki struktur yang unik dan aliran darah di daerah ini melambat sehingga kuman akan berhenti di sini dan berproliferasi (Sjamsuhidajat, 2004).Secara klinis, penderita memiliki gejala dan tanda dari inflamasi akut. Nyeri biasanya terlokalisasi meskipun bisa juga menjalar ke bagian tubuh lain di dekatnya. Sebagai contoh, apabila penderita mengeluhkan nyeri lutut, maka sendi panggul juga harus dievaluasi akan adanya arthritis. Penderita biasanya akan menghindari menggunakan bagian tubuh yang terkena infeksi.Etiologi tersering adalah kuman gram positif yaitu Staphylococcus aureus (Sjamsuhidajat, 2004).Gejala klinis osteomielitis akut sangat cepat, diawali dengan nyeri lokal hebat yang terasa berdenyut. Pada anamnesis sering dikaitkan dengan riwayat jatuh sebelumnya disertai gangguan gerak yang disebut pseudoparalisis. Dalam 24 jam akan muncul gejala sistemik berupa seperti demam, malaise, cengeng, dan anoreksia. Nyeri terus menghebat dan disertai pembengkakan. Setelah beberapa hari, infeksi yang keluar dari tulang dan mencapai subkutan akan menimbulkan selulitis sehingga kulit akan menjadi kemerahan. Oleh karenanya, setiap selulitis pada bayi sebaiknya dicurigai dan diterapi sebagai osteomielitis sampai terbukti sebaliknya (Hidiyaningsih, 2012).Pada pemeriksaan laboratorium darah, dijumpai leukositosis dengan predominasi sel-sel PMN, peningkatan LED dan protein reaktif-C (CRP). Aspirasi dengan jarum khusus untuk membor dilakukan untuk memperoleh pus dari subkutan, subperiosteum, atau fokus infeksi di metafisis. Kelainan tulang baru tampak pada foto rongent akan tampak 2-3 minggu. Pada awalnya tampak reaksi periosteum yang diikuti dengan gambaran radiolusen ini baru akan tampak setelah tulang kehilangan 40-50% masa tulang. MRI cukup efektif dalam mendeteksi osteomielitis dini, sensitivitasnya 90-100%. Skintigrafi tulang tiga fase dengan teknisium dapat menemukan kelainan tulang pada osteomielitis akut, skintigrafi tulang khusus juga dapat dibuat dengan menggunakan leukosit yang di beri label galium dan indium (Sjamsuhidajat, 2004).Osteomielitis akut harus diterapi secara agresif agar tidak menjadi osteomielitis kronik. Diberikan antibiotik parenteral berspektrum luas berdosis tinggi selama 4-6 minggu. Selain obat-obatan simtomatik untuk nyeri, pasien sebaiknya tirah baring dengan memperhatikan kelurusan tungkai yang sakit dengan mengenakan bidai atau traksi guna mengurangi nyeri, mencegah kontraktur, serta penyebaran kuman lebih lanjut. Bila setelah terapi intensif 24 jam tidak ada perbaikan, dilakukan pengeboran tulang yang sakit di beberapa tempat untuk mengurangi tekanan intraoseus. Cairan yang keluar dapat dikultur untuk menentukan antibiotik yang lebih tepat (Sjamsuhidajat, 2004).Diagnosis banding pada masa akut yakni demam reumatik dan selulitis. Pada minggu pertama biasanya pasien telah mendapat terapi antibiotik dan analgetik sehingga gejala osteomielitis akut tidak terlihat. Gambaran rongent pada masa ini berupa daerah hipodens di daerah metafisis dan reaksi pembentukan tulang subperiosteal. Gambaran rongent dan klinis yang didapat menyerupai granuloma eosinofilik, tumor Ewing, dan osteosarkoma. Komplikasi dini osteomielitis akut yaitu berupa abses, atritis septik, hingga sepsis, sedangkan komplikasi lanjutnya yaitu osteomielitis kronik, kontraktur sendi, dan gangguan pertumbuhan tulang (Sjamsuhidajat, 2004).b. Osteomielitis SubakutInfeksi subakut biasanya berhubungan dengan pasien pediatrik. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh organisme dengan virulensi rendah dan tidak memiliki gejala. Osteomielitis subakut memiliki gambaran radiologis yang merupakan kombinasi dari gambaran akut dan kronis. Seperti osteomielitis akut, maka ditemukan adanya osteolisis dan elevasi periosteal. Seperti osteomielitis kronik, maka ditemukan adanya zona sirkumferensial tulang yang sklerotik. Apabila osteomielitis subakut mengenai diafisis tulang panjang, maka akan sulit membedakannya dengan Histiositosis Langerhans atau Ewings Sarcoma (Hidiyaningsih, 2012). Brodie AbsesLesi ini, awalnya ditemukan oleh Brodie pada tahun 1832, merupakan bentuk lokal osteomielitis subakut, dan sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi (sekitar 40%) pada dekade kedua. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki. Onset ini sering membahayakan, dan untuk manifestasi sistemik pada umumnya ringan atau tidak ada. Abses, biasanya terlokalisasi di metaphysis dari tibia atau tulang paha, dan dikelilingi oleh sclerosis reaktif. Sesuai teori tidak terdapatnya sekuester, namun gambaran radiolusen mungkin akan terlihat dari lesi ke lempeng epifisis. Abses tulang mungkin menyebrang ke lempeng epifisis namun jarang terlokalisir (Adam, 2004).c. Osteomielitis KronikOsteomielitis kronis merupakan hasil dari osteomielitis akut dan subakut yang tidak diobati. Kondisi ini dapat terjadi secara hematogen, iatrogenik, atau akibat dari trauma tembus. Infeksi kronis seringkali berhubungan dengan implan logam ortopedi yang digunakan untuk mereposisi tulang. Inokulasi langsung intraoperatif atau perkembangan hematogenik dari logam atau permukaan tulang mati merupakan tempat perkembangan bakteri yang baik karena dapat melindunginya dari leukosit dan antibiotik. Pada hal ini, pengangkatan implan dan tulang mati tersebut harus dilakukan untuk mencegah infeksi lebih jauh lagi. Gejala klinisnya dapat berupa ulkus yang tidak kunjung sembuh, adanya drainase pus atau fistel, malaise, dan fatigue. Penderita osteomielitis kronik mengeluhkan nyeri lokal yang hilang timbul disertai demam dan adanya cairan yang keluar dari suatu luka pascaoperasi atau bekas patah tulang. Pemeriksaan rongent memperlihatkan gambaran sekuester dan penulangan baru (Hidiyaningsih, 2012).Penangan osteomielitis kronik yaitu debridemant untuk mengeluarkan jaringan nekrotik dalam ruang sekuester, dan penyaliran nanah. Pasien juga diberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur. Involukrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang telah hancur menjadi sekuester sehingga ekstrimitas yang sakit harus dilindungi oleh gips untuk mencegah patah tulang patologik, dan debridement serta sekuesterektomi ditunda sampai involukrum menjadi kuat (Hidiyaningsih, 2012).

2.2.3 Manifestasi KlinisOsteomielitis hematogenous biasanya memiliki progresivitas gejala yang lambat. Osteomielitis langsung (direct osteomyelitis) umumnya lebih terlokalisasi dengan tanda dan gejala yang menonjol. Gejala umum dari osteomielitis meliputi :1. Osteomielitis hematogenus tulang panjang Demam yang memiliki onset tiba-tiba tinggi (demam hanya terdapat dalam 50% dari osteomielitis pada neonatus). Kelelahan. Rasa tidak nyaman. Irritabilitas. Keterbatasan gerak (pseudoparalisis anggota badan pada neonatus). Edema lokal, eritema dan nyeri.2. Osteomielitis hematogenus vertebral Onset cepat. Adanya riwayat episode bakterimia akut. Diduga berhubungan dengan insufisiensi pembuluh darah disampingnya. Edema lokal, eritema dan nyeri. Kegagalan pada anak-anak untuk berdiri secara normal.3. Osteomielitis kronik Ulkus yang tidak sembuh. Drainase saluran sinus. Kelelahan kronik. Rasa tidak nyaman.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Demam (terdapat pada 50% dari neonatus). Edema. Teraba hangat. Fluktuasi. Penurunan dalam penggunaan ekstremitas (misalnya ketidakmampuan dalam berjalan jika tungkai bawah yang terlibat atau terdapat pseudoparalisis anggota badan pada neonatus). Kegagalan pada anak-anak untuk berdiri secara normal. Drainase saluran sinus (biasanya ditamukan pada stadium lanjut atau jika terjadi infeksi kronis) (Randall, 2011).2.2.4 Pemeriksaan Penunjang Menurut Randal, 2011 pemeriksaan penunjang pada pasien dengan osteomielitis yakni : a. Pemeriksaan darah lengkapJumlahleukositmungkintinggi,tetapiseringnormal. Adanya pergeseran ke kiribiasanya disertai dengan peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear. Tingkat C-reaktif protein biasanya tinggi dannonspesifik; penelitian ini mungkin lebihberguna daripadalajuendapan darah (LED) karena menunjukan adanya peningkatan LED pada permulaan. LED biasanya meningkat(90%), namun,temuan inisecara klinis tidak spesifik. CRP dan LEDmemiliki peranterbatasdalam menentukan osteomielitis kronis seringkali didapatkan hasil yang normal.LED dan CRP sebaiknya diperiksa secara serial setiap minggu untuk memantau keberhasilan terapi. Pasien dengan peningkatan LED dan CRP yang persisten pada masa akhir pemberian antibiotik yang direncanakan mungkin memiliki infeksi yang tidak dapat ditatalaksana secara komplit. C-Reactive Protein (CRP) adalah suatu protein fase akut yang diproduksi oleh hati sebagai respon adanya infeksi, inflamasi atau kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan proses di mana tubuh memberikan respon terhadap injury. Jumlah CRP akan meningkat tajam beberapa saat setelah terjadinya inflamasi dan selama proses inflamasi sistemik berlangsung. Sehingga pemeriksaan CRP kuantitatif dapat dijadikan petanda untuk mendeteksi adanya inflamasi/infeksi akut. Berdasarkan penelitian, pemeriksaan Hs-CRP dapat mendeteksi adanya inflamasi lebih cepat dibandingkan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). Terutama pada pasien anak-anak yang sulit untuk mendapatkan jumlah sampel darah yang cukup untuk pemeriksaan LED (Hidiyaningsih, 2012).Sedangkan LED adalah merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan memasukkan darah kita ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi LED-nya. Tinggi ringannya nilai pada LED memang sangat dipengaruhi oleh keadaan tubuh kita, terutama saat terjadi radang. Nilai LED meningkat pada keadaan seperti kehamilan (35 mm/jam), menstruasi, TBC paru-paru (65 mm/jam) dan pada keadaan infeksi terutama yang disertai dengan kerusakan jaringan. Jadi pemeriksaan LED masih termasuk pemeriksaan penunjang yang tidak spesifik untuk satu penyakit. Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam rematik, artritis dan nefritis. LED yang cepat menunjukkan suatu lesi yang aktif, peningkatan LED dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas, sedangkan LED yang menurun dibandingkan sebelumnya menunjukkan suatu perbaikan (Hidiyaningsih, 2012).Perbedaan pemeriksaan CRP dan LED: Hasil pemeriksaan Hs-CRP jauh lebih akurat dan cepat. Dengan range pengukuran yang luas, pemeriksaan Hs-CRP sangat baik dan penting untuk: mendeteksi inflamasi/infeksi akut secara cepat (6-7 jam setelah inflamasi). Hs-CRP meningkat tajam saat terjadi inflamasi dan menurun jika terjadi perbaikan sedang LED naik kadarnya setelah 14 hari dan menurun secara lambat sesuai dengan waktu paruhnya. Pemeriksaan Hs-CRP dapat memonitor kondisi infeksi pasien dan menilai efikasi terapi antibiotika.

a. KulturKultur dari luka superficialatau saluran sinussering tidak berkorelasi denganbakteriyang menyebabkanosteomielitisdan memilikipenggunaan yang terbatas.Darahhasil kultur, positif pada sekitar 50% pasien denganosteomielitishematogen. Bagaimanapun,kultur darahpositif mungkin menghalangi kebutuhan untuk prosedurinvasiflebih lanjut untuk mengisolasi organisme. Kultur tulang daribiopsiatau aspirasimemiliki hasil diagnostiksekitar77%pada semuastudi.

2.2.5 PenatalaksanaanPengobatan AntibiotikOsteomielitis akut harus diobati segera. Biakan darah diambil dan pemberian antibiotika intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan. Karena Staphylococcus merupakan kuman penyebab tersering, maka antibiotika yang dipilih harus memiliki spektrum antistafilokokus. Jika biakan darah negatif, maka diperlukan aspirasi subperiosteum atau aspirasi intramedula pada tulang yang terlibat. Pasien diharuskan untuk tirah baring, keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan, diberikan antipiretik bila demam, dan ekstremitas diimobilisasi dengan gips. Perbaikan klinis biasanya terlihat dalam 24 jam setelah pemberian antibiotika. Jika tidak ditemukan perbaikan, maka diperlukan intervensi bedah (Skinner, 2003).Terapi antibiotik biasanya diteruskan hingga 6 minggu pada pasien dengan osteomielitis. Antibiotik berasal dari Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA). bead ke dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer, jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang (Carek, 2001).Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan. Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanllen dapat dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang fagositik. Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup (Carek, 2001).Osteomyelitis kronik lebih sukar diterapi, terapi umum meliputi pemberian antibiotik dan debridemen. Pada steomyelitis kronik, terapi dengan antibiotik diberikan secara parenteral selama 2 sampai 6 minggu. Meskipun, tanpa debridemen yang adekuat, osteomyelitis kronik tidak berespon terhadap kebanyakan regimen antibiotik, berapa lama pun terapi dilakukan.Menurut Hadiyaningsih, 2012 Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh : 1. Pemberian antibiotik yang tidak cocok dengan mikroorganisme penyebabnya2. Dosis yang tidak adekuat3. Lama pemberian tidak cukup4. Timbulnya resistensi5. Kesalahan hasil biakan6. Pemberian pengobatan suportif yang buruk7. Kesalahan diagnostik8. Pada pasien yang imunokompromaise

2.2.6 PembedahanBila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan adjuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen. Pada beberapa kasus, infeksi sudah terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya tindakan terbaik adalah amputasi dan pemasangan prothesa. Bila proses akut telah dikendalikan, maka terapi fisik harian dalam rentang gerakan diberikan. Kapan aktivitas penuh dapat dimulai tergantung pada jumlah tulang yang terlibat. Pada infeksi luas, kelemahan akibat hilangnya tulang dapat mengakibatkan terjadinya fraktur patologis (Hidiyaningsih, 2012).Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak. Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik (Adam, 2004).Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik (Adam, 2004).Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi.Indikasi dilakukannya pembedahan ialah :1. Adanya sequester2. Adanya abses3. Rasa sakit yang hebat4.Bila mencurigakan adanya perubahan kearah keganasan (karsinoma Epidermoid)

a. Sequestrektomi dan Kuretase Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi dan eksisi, untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta, dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan, eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan datang. Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode yang panjang dan dimonitor dengan ketat (Canale, 2007).

b. Transfer jaringan lunakTransfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%. Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia. Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada penanganaan osteomyelitis kronik dengan penggunaan transfer jaringan bebas mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler dapat mengandung otot yang menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan osteocutaneous. Debridement awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu meningkatkan angka keberhasilan teknik ini (Adam, 2004).Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang. Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan adalah bila involukrum telah cukup kuat; mencegah terjadinya fraktur pasca pembedahan (Canale, 2007).

b. Graft Tulang TerbukaPapineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut:1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya infeksi; 3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna 4. Drainase yang adekuat5. Immobilisasi yang adekuat; 6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik. Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut :(1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.

c. Teknik lizarofTeknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas (Canale, 2007).2.3.1 Sindrom KompartemenSindrom kompartemen adalah kasus serius yang sangat mengancam kehidupan yang terjadi oleh karena komplikasi dari trauma ekstremitas. Fraktur,Patah tulang, luka bakar, dan cedera arterial adalah penyebab dari sindrom kompartemen akut. Sindrom kompartemen berkembang bila terdapat peningkatan tekanan dalam ruangan jaringan tertutup, dimana terdapat kondisi kompartemen otot terikat oleh selubung fasia padat dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan aliran darah yang masuk melalui pembuluh otot-otot dan saraf. Kompartemen di daerah lengan dan kaki paling rentan mengalami sindrom tersebut, tapi hampir semua masa otot yang dikelilingi oleh fasia beresiko mengalami kompartemen sindrom. Lokasi yang paling sering mengalami kompartemen sindrom selain kaki bagian bawah termasuk tangan, lengan bawah, lengan, bahu, punggung, paha, dan kaki ( Peron and Brady, 2003).Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Pada saat tekanan intra kompartmen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah nyeri, parestesia, paresis disertai denyut nadi yang hilang (Frederick et all, 2003).

2.3.2 Etiologi Penyebab terjadinya kompartemen sindrom yakni : a. Peningkatan volume kompartemen :-peningkatan permeabilitas kapiler, akibat syok, luka bakar dan trauma langsung -peningkatan tekanan kapiler, akibat adanya latihan ataupun obstruksi vena. -hipertrofi otot -perdarahan b. penurunan volume kompartemen: - Balutan yang terlalu keras

2.3.2 Manifestasi Klinis Sindrom kompartemen dapat didiagnosis berdasarkan pengetahuan resiko, keluhan subjektif dan adanya suatu tanda- tanda fisik dan gejala klinis. Adapun faktor resiko pada sindroma kompartemen meliputi fraktur yang berat, trauma pada jaringan lunak dan penggunaan bebat (15,16).Adapun manifestasi klinis dari sindrom kompartmen menurut Paula, 2007 : Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada pulsasi), Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh)2.3.3 Pemeriksaan Fisik dan PenunjangPada pemeriksaan fisik didapatkan ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi(pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasadan lemah; nervus dan otot terlibatpada kompartemen yang terinfeksi).Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu cara untuk menegakkan diagnosis, Biasanya pengukuran tekanan kompartemen dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran yang dari pemeriksaan fisik tidak memberi hasil yang memuaskan, Adapun pengukuran tekanan kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik injeksi ataupun wick kateter ( Townsend dan Pink P, 2005) Prosedur pengukuran tekanan kompartemen, antara lain (Amendola, 2003) : a. Teknik injeksi Teknik injeksi adalah kriteria diagnostik standart yang seharusnya menjadi prioritas utama jika terdapat keraguan dalam penentuan diagnostis. Alat yang dibutuhkan pada teknik ini ialah spuit 20 cc, three way tap, tabung intravenam normal saline steril, manometer air raksa ( untuk mengukur tekanan darah). Cara menggunakan teknik ini ialah : 1. Atur spuit dengan plunger pada posisi 15cc. Tandai salin sampai mengisi setengah tabung, kemudian tutup three way tab dan tahan normal salin dalam tabung. 2. Melakukan anastesi lokal pada kulit namun tidak sampai menginfiltrasi otot, kemudian masukkan jarum 18 kedalam otot yang diperiksa., lalu hubungkan tabung dengan manometer air raksa dan buka three way tap. 3. Dorong plunger dan tekanan kan meningkat secara lambat kemudian baca manometer air raksa.

Gambar 4 . Teknik Injeksi

b. Teknik wick kateter Wick kateter dan sarung plastiknya dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter dan tabungnya diisi oleh three-way yang dihubungkan dengan trancuder. Sebelumnya sangat perlu untuk memastikan bahwa tidak ada gelembung udara dalam sistem tersebut karena memberi hasil yang rendah atau mengaburkan pengukuran. Ujung kateter harus dapat menghentikan suatu meniskus air sehingga dapat dipastikan dan diketahui bahwa dalam jaringan tersebut dilewati suatu trocar besar, kemudian jarumnya ditarik dan kateter dibalut ke kulit. Cara menggunakannya ialah : 1. Masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot 2. Tarik jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik, 3. Balut wick kateter ke kulit dan dorong sarung plastik kembali, isi sistem dengan normal salin yang mengandung heparine dan ukur tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa ulang patensi dari kateter dengan tangan menekan otot. Hilangkan semua tekanan eksternal pada otot yang diperiksa dan ukur tekanan kompartemen.

Gambar 5. Teknik Wick kateter.

2.3.4 Penatalaksanaan Penanganan sindroma kompartemen meliputi :1. Terapi medikal / non bedah (Wallace, 2007) : Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindati karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia. Pada kasus penurunan volume kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut kontriksi dilepas. Mengoreksi hipoferfusi dengan cara kristaloid dan produk darah. Pemberian manitol, vasodilator atau obat golongan penghambat simpatetik. 2. Terapi pembedahan / operatif . Fasciotomi adalah pengobatan operatif sindroma kompartemen dengan stabilisasi fraktur dan perbaikan pembuluh darah. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam (Walace, 2007). Terapi untuk sindroma kompartemen akut maupun kronik biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka ( ditutup dengan pembalut steril) dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian, apabila terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen kalau jaringan sehat luka dapat dijahit (tanpa regangan), atau skinss gratft untuk menutup luka (Andrew L, 2007).

2.4 Dislokasi 2.4.1 Definisi

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi. Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi. Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan,secara anatomis (tulang lepas dari sendi) Keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. Berpindahnya ujung tulang patah, karena tonus otot, kontraksi cedera dan tarikanDislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi (Sjamsuhidajat,2005).

2.4.2 Klasifikasi Menurut Sjamsuhidajat, 2005 Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut1.Dislokasi congenitalTerjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan2.Dislokasi patologikAkibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang3.Dislokasi traumatic.

Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.

Berdasarkan tipe kliniknya dislokasi traumatik dibagi :1.Dislokasi AkutUmumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi2.Dislokasi Berulang.Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.

Tipe-tipe cedera persendian menurut Aplley, 1995 : Contusio Terjadi akibat trauma langsung pada persendian, yang mengakibatkan sinovial membran memberikan reaksi berupa peninggian produksi cairan sendi ;pembuluh darah sinovial dapat pecah yang mengakibatkan hemarthrosis. Ligamentous Sprain Sprain dikarakteristikkan dengan adanya pembengkakan lokal, nyeri apabila sendi yang terlibat digerakkan karena ligamen yang cedera tertarik. Pengobatan bertujuan untuk melindungi ligamen yang cedera. Immobilisasi yang komplit jarang dibutuhkan kecuali bila nyerinya hebat. Pergerakan aktif sangat dibutuhkan tidak hanya untuk mencegah kekakuan sendi, namun juga untuk melatih otot-otot yang bersifat protektif terhadap sendi tersebut. Subluxations Terjadi pergeseran pada permukaan sendi sehingga menjadi tidak normal lagi, namun masih ada kontak. Dislocations Terjadi pergeseran permukaan sendi hingga tidak ada lagi kontak antara kedua permukaan sendi tersebut secara total. Fraktur Dislokasi Subluksasi atau Dislokasi yang disertai dengan fraktur.2.4.3 manifestasi klinik Menurut Sjamsuhidajat,2005 manifestasi klinis dari dislokasi ialah :- Nyeri- perubahan kontur sendi- perubahan panjang ekstremitas- kehilangan mobilitas normal- perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi- deformitas- kekakuan

2. Pemeriksaan klinis.- Deformitas.terdapat kelainan bentuk misalnya hilangnya tonjolan tulang normal, misalnya deltoid yang rata pada dislokasi bahu, Perubahan panjang ekstremitas, Kedudukan yang khas pada dislokasi tertentu, misalnya dislokasi posterior sendi panggul kedudukan sendi panggul endorotasi, fleksi dan abduksi.- Nyeri- Funtio laesa gerak terbatas.

2.4.4 pemeriksaan penunjang - Pemeriksaan radiologis.Untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur, pada dislokasi lama pemeriksaan radiologis lebih penting oleh karena nyeri dan spasme otot telah menghilang.

2.4.5 Penatalaksanaan 1.Penanganan yang dilakukan pada saat terjadi dislokasi adalah melakukan reduksi ringan dengan cara menarik persendian yang bersangkutan pada sumbu memanjang. Tindakan reposisi ini dapat dilakukan ditempat kejadian tanpa anasthesi, misalnya dislokasi siku, dislokasi bahu dan dislokasi jari.

2. Jika tindakan reposisi tidak bisa dilakukan dengan reduksi ringan, maka diperlukan reposisi dengan anasthesi lokal dan obat obat penenang misalnya Valium.

3. Jangan memaksa melakukan reposisi jika penderita mengalami rasa nyeri yang hebat, disamping tindakan tersebut tidak nyaman terhadap penderita, dapat menyebabkan syok neurogenik, bahkan dapat menimbulkan fraktur.

4. Dislokasi sendi dasar misalnya dislokasi sendi panggul memerlukan anasthesi umum. Dislokasi setelah reposisi, sendi diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil, beberapa hari beberapa minggu setelah reduksi gerakan aktif lembut tiga sampai empat kali sehari dapat mengembalikan kisaran sendi, sendi tetap disangga saat latihan.- Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat.- Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi.- Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil.- Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi- Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.

BAB IIIKESIMPULAN

Emergensi ortopedi merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa dan hilangnya fungsi dari organ tertentu di bidang ortopedi, seperti ekstremitas dan persendian. Emergensi ortopedi disampaikan sekitar 20% pasienyang datang ke rumah sakit membutuhkan suatu penanganan atau tindakan awal yang cepat serta dibutuhkan keterampilan seseorang dokter. Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi, teknikreduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera sertapemahaman tentang pembacaan radiologi, membuat dan menginterpretasikan suatu hasil radiologi yang dibutuhkan dalam penanganan terhadap kasus emergensi ortopedi. Beberapa emergensi ortopedi dalam lingkup dunia kedokteran yang menjadi prioritas dan penanganan khusus, yaitu : open fracture, dislokasi, osteomyelitis akut, dan compartement syndrome.

DAFTAR PUSTAKA

Carek P.J., Dickerson L.M., dan Sack J.L. Diagnosis and Management of Osteomyelitis. American Academy of Family Physicians. 2001.Grace P, Borley N., 2006. At a Galance, Ilmu bedah. Edisi ketiga.Jakarta: Erlangga.Randall W King, MD, FACEP; Chief Editor: Rick Kulkarni. Osteomyelitis in Emergency Medicine.Availablefrom:http://emedicine.medscape.com/article/785020overview#showallYarsif Watampone. 2007. BukupengantarIlmuBedahOrtopedied.III. Makassar

Paula Richard. 2007. Compartemen syndrom, Extremity. Avaiblie at http://www.emedicine.com

Apley, AG. 1995. Prinsip Fraktur Dalam Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley, Edisi 7. Jakarta : Widya Medika

Smeltzer, S.C., 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and Suddarth., Editor Monica Ester, Edisi 8 (Alih Bahasa Agung Waluyo). Jakarta : EGC.

Reeves CJ, Roux G, Lockhart R, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 1 (Penerjemah Joko Setyono). Jakarta : Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2002. Kapita Selekta Medika Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Randall W King, MD, FACEP; Chief Editor: Rick Kulkarni. Osteomyelitis in Emergency Medicine. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/785020-overview#showallDavid R, Barron BJ, Madewell JE. Osteomyelitis: Acute and Chronic. Radio Clin North Am 1987;25:1171-1201.Hidyaningsih, Referat Osteomielitis. Jakarta:2012. h : 10-24Adam, Greenspan. Orthopedic Imaging: A Practical Approach, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2004.Sjamsuhidajat, Wim de jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi revisi. EGC: Jakarta.Song, Kit M ; Sloboda, John F. Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2001.Frederick A. 2007. Compartemental syndromes. Avaible at http://www.wikipedia.org. Accessed on June 4th.Townsend M Courtney, Beau Champ. 2004. Acute compartment syndrome in Textbook of surgery. ED 17th. Elsevier Saunders. USA. 2004 p :554-7. Pink P Mitchell, Abraham Edward. 2005. Compartment syndrome in Textbook of critical care. Ed 5th. Elsevier Saunders. USA. P: 2099.

Amendola, Bruce Twaddle. 2003. Compartment Syndrome in Skeletal trauma basic science, management, and reconstruction. Vol 1. Ed3rd. Saunders. P :268 -92.

Wallace Stephen. Compartment syndrome, lower extremity. Avaible at http://.emedicine.com. Accesed on june 4th 2007.

Andrew L, Chen. Compartment Syndrome. Avaible at http://www.medlineplus.com. Accessed on may 28th. 2007.

.