refrat - neurogenic bladder - santi l
DESCRIPTION
persarafan kandung kemihTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun
menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi
akibat kelainan neurologis. Fungsi bladder normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi
antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks
fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral,
sehingga penyebab neurogenik dari gangguan bladder dapat diakibatkan oleh lesi pada
berbagai derajat.1
Salah satu penelitian pertama prevalensi Neurogenic Bladder di Asia adalah
sebuah survai oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board) pada tahun 1998
yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70% perempuan) dari 11 negara
(termasuk 499 dari Indonesia) ; didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara
umum pada orang Asia adalah sekitar 50,6%. Banyak penyebab dapat mendasari
timbulnya Neurogenic Bladder sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti
sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis;
trauma merupakan penyebab akut serta memberikan manifestasi klasik. Dalam
kesempatan ini dibahas Neurogenic Bladder akibat cedera spinal.2,3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur otot detrusor dan sfingter
Susunan sebagian besar otot polos bladder apabila berkontraksi akan
menyebabkan pengosongan pada bladder. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher
bladder berbeda antara pria dan wanita dimana pria mempunyai distribusi yang sirkuler
dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher bladder yang efektif untuk
mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Sfingter uretra
(rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot lurik berbentuk sirkuler. Pada pria,
rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi
hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang
membentuk dasar pelvis. Pada pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu
discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal
proses miksi.1,2,3
B. Persyarafan bladder dan sfingter
1. Persyarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari serabut
preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral
medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner keluar dari medula spinalis
bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus
parasimpatis di pelvis. Serabut postganglioner pendek berjalan dari pleksus untuk
menginervasi organ-organ pelvis. Tidak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara
serabut postganglioner dan otot polos musculus detrusor. Sebaliknya, serabut
postganglioner mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung
vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmitter
nonkolinergik-nonadrenergik juga ditemukan, namun keberadaannya pada manusia
diragukan.1,2
2. Persyarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
2
Bladder menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis thorakolumbal melalui
n.hipogastrik. Leher bladder menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis
dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran
sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak
berpengaruh pada miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd.
Leher bladder pria banyak mengandung transmitter noradrenergik dan aktivitas simpatis
selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher bladder untuk mencegah ejakulasi
retrograde.2,3
3. Persyarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius
yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada
kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal
sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi
baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada
sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada
kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan perineal
parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3
dan S4 ke dalam n.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke
sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi,
motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai
amplitudo yang sedikit lebih rendah.1,2,3
4. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus
suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini
mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya
dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf
sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis
torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen.
Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi
bladder tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi bladder yang normal.
Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut Aδ bermyelin
3
kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan beberapa
sensasi dari distensi bladder dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi
dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa
dalam medula spinalis sakral sebagai aferen bladder. Hal ini menggambarkan
kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi
viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami
kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras ascending dari bladder dan uretra
berjalan di dalam traktus sphinothalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis
juga berperan pada transmisi dari informasi aferen. 1,2,3
Gambar 1 Persyarafan Bladder4
C. Hubungan dengan susunan saraf pusat
1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-bulbospinal
atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons
merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur
sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan bladder. Pusat miksi
pons berperan sebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input
dari daerah lain di otak.1,2
4
2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus
frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya
sensibilitas bladder atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya
bladder yang hiperrefleksi. 1,2
D. Fisiologi berkemih
Proses normal dalam berkemih meliputi pengisian kandung kemih, penyimpanan,
dan pengosongan. Ginjal menerima hampir 25% dari cardiac output, penyaringan 180L
per hari meskipun hanya sekitar 1L/hari diekskresikan sebagai urin. Filtrat ini diangkut
melalui ureter ke kandung kemih. Ureter, yang kira-kira 25-30 cm, melalui dinding
kandung kemih pada persimpangan ureterovesicular untuk membentuk katup satu arah
yang berfungsi untuk mencegah refluks retrograde urin ke ginjal selama tahap pengisian
dan pengosongan kandung kemih. Kandung kemih menyimpan urin dalam sistem tekanan
rendah dengan kapasitas normal 400-500 cc. Secara anatomis, kandung kemih dibagi
menjadi detrusor (alias sebagai "tubuh" atau "kubah" dari kandung kemih), yang terdiri
dari otot polos, dan dasar, yang meliputi trigonum dan leher kandung kemih yang erat
dengan dasar panggul. Outlet kandung kemih memiliki dua sfingter uretra, yaitu sfingter
internal (otot polos) di leher kandung kemih dan uretra proksimal dan
sphincter eksternal (otot lurik) dari membrane uretra. Pada wanita memiliki mekanisme
sfingter urin kurang kompleks dengan uretra yang lebih pendek.
Pengaturan berkemih melibatkan kortikal, subcortikal, batang otak, sumsum
tulang belakang, dan mekanisme kandung kemih. Daerah kontrol kortikal di frontal dan
cingulated gyri serta daerah subkortikal memberikan pengaruh penghambatan pada
berkemih pada tingkat pons dan rangsang berpengaruh pada sfingter kemih eksternal. Hal
ini memungkinkan kontrol berkemih sehingga biasanya evakuasi kandung kemih dapat
ditunda.
Pusat berkemih pontine (PMC, juga dikenal sebagai Inti Barrington atau wilayah
M) sangat penting untuk koordinasi berkemih. Hal ini dicapai oleh PMC modulasi efek
yang berlawanan dari parasimpatis dan sistem saraf simpatik pada saluran kemih bawah.
5
Di kandung kemih mengosongkan panggung, PMC mengirimkan rangsangan ke sumsum
tulang belakang sacral yang menghasilkan kontraksi detrusor secara bersamaan sekaligus
mengirimkan pengaruh penghambatan terhadap kabel torakolumbalis (simpatis) yang
menghasilkan relaksasi sfingter internal. Efek keseluruhan adalah untuk memungkinkan
evakuasi isi kandung kemih. Sebaliknya, selama fase penyimpanan kandung kemih,
Penghambatan PMC menyebabkan penekanan sumsum tulang belakang sacral yang
menghasilkan detrusor relaksasi sekaligus mengirim rangsang pengaruh terhadap kabel
torakolumbalis (simpatis) yang menghasilkan sfingter uretra internal kontraksi. Efek
keseluruhan adalah untuk memungkinkan mengisi / penyimpanan urin di kandung kemih.
lebih detail dari mekanisme ini akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Informasi Asending sensorik tentang keadaan kandung kemih yang terisi diyakini
mencapai periaqueductal abu-abu (PAG) di mana ia kemudian diteruskan melalui
hipotalamus dan thalamus ke korteks cingulate anterior, insula, dan korteks prefrontal.
Daerah otak ini menghambat PAG, yang sendiri memiliki masukan rangsang ke PMC.
Hipotalamus memiliki pengaruh rangsang di PAG. Ketika sadar keputusan untuk
membatalkan terjadi, korteks prefrontal penghambatan PAG terganggu sekaligus yang
hypothalamus merangsang PAG. Hasil keseluruhan adalah eksitasi PMC yang
memproduksi berkemih. Neuron spinal yang terlibat dalam regulasi berkemih terletak di
komisura dorsal, tanduk dorsal dangkal, dan parasimpatis inti. Interneuron mengirim
rostral proyeksi tetapi juga berfungsi untuk mengatur tulang belakang segmental refleks.
Glutamat berfungsi sebagai pemancar rangsang di tingkat tulang belakang sementara
glisin asam andγ-aminobutyric (GABA) adalah neurotransmitter penghambatan.
Tiga sensorik dan motorik saraf campuran (hipogastrikus, panggul, dan saraf
pudenda) innervasi saluran kemih bawah. Saraf simpatis hipogastrikus membawa otonom
sistem persarafan saraf, saraf panggul membawa parasimpatis otonom sistem persarafan
saraf, dan saraf pudenda mengusung sistem saraf somatik persarafan pada saluran kemih
bawah. Seperti ditunjukkan dalam, sistem saraf simpatik persarafan pada saluran kemih
bawah muncul dari tingkat kabel T11-L2 untuk sinapse di mesenterika inferior dan
pleksus hipogastrikus sebelum melanjutkan melalui hipogastrikus saraf reseptor
adrenergik-toα di leher kandung kemih dan uretra proksimal serta asβ-adrenergik reseptor
6
di kandung kemih fundus. Serabut saraf simpatis juga innervate ganglia parasimpatis di
dinding detrusor dan memiliki efek penghambatan pada ganglia tersebut. Aktivasi aliran
simpatis thoracolumbal menghasilkan norepinefrin rilis di saluran kemih bawah yang
menghasilkan detrusor relaksasi dan leher kandung kemih (sfingter internal) kontraksi.
Sistem saraf parasimpatis persarafan ke bawah saluran kemih muncul dari inti
detrusor di S2- Tingkat kabel S4 yang melewati panggul saraf neuron parasimpatis
kolinergik di ganglia di detrusor. Asetilkolin dilepaskan oleh aktivasi ini neuron
menghasilkan kontraksi detrusor melalui M2 dan M3 muscarinic reseptor aktivasi,
meskipun reseptor M1 adalah juga hadir terminal saraf inprejunctional. Persarafan
parasimpatik dalam uretra proksimal menyebabkan oksida nitrat
akan dirilis di sana yang menghasilkan relaksasi otot polos uretra. Aktivasi keluar
parasimpatis sakral memproduksi asetilkolin dan oksida nitrat dalam kemih bawah
saluran yang menghasilkan detrusor kontraksi dan relaksasi proksimal uretra.
Somatik saraf sistem persarafan ke eksternal sfingter uretra muncul dari kemaluan
(Onuf 's) inti di tingkat kabel S2-S4 yang kemudian melewati saraf pudenda ke
striatedmuscle sfingter. Supraspinal pusat, yang biasanya berada di bawah kontrol
sukarela, menghasilkan pengaruh rangsang pada inti pudenda selama kandung kemih
mengisi panggung untuk menghasilkan sfingter uretra eksterna dan dasar panggul
kontraksi untuk membantu menjaga nafsu, sementara selama tahap berkemih kandung
kemih ini turun pengaruh dihambat untuk menghasilkan lantai uretra dan relaksasi
panggul yang memfasilitasi pengosongan kandung kemih.
Informasi aferen pada keadaan kandung kemih mengisi ditransmisikan dari serat
sensorik padat suburothelial dan pleksus otot. Beberapa serat sensorik dapat
memperpanjang melalui urothelium ke dalam rongga kandung kemih untuk
mentransduksi rangsangan baik fisik dan kimia. Sebagian besar ini aferen sensorik
Aδfibers mielin kecil dan unmyelinated serat C. Para Aδfibers menanggapi dinding
kandung kemih distensi dan memicu berkemih, sedangkan serat C menanggapi stimulus
yang menyakitkan. Sebagian besar serat aferen kandung kemih berjalan di saraf panggul
ke sacral ganglia akar dorsal, dan setelah transduksi sinyal ini di tanduk dorsal sumsum
7
tulang belakang, informasi ini sensorik ditransmisikan rostrally ke wilayah PAG, seperti
yang dijelaskan sebelumnya. Selama tahap mengisi kandung kemih, pusat supraspinal
menghasilkan penghambatan pusat berkemih pontine, yang menghasilkan peningkatan
torakolumbalis simpatik out-flow dengan penekanan simultan sacral keluar parasimpatik
pada saluran kemih bawah. ini supraspinal Pusat juga memproduksi aliran rangsang
melalui saraf puden-dal untuk menghasilkan eksternal uretra sfingter kontraksi. Efek
keseluruhan dalam fisiologi kandung kemih normal adalah detrusor relaksasi otot polos,
leher kandung kemih otot polos kontraksi, dan saluran kencing sfingter otot rangka
eksternal kontraksi yang memungkinkan penyimpanan tekanan rendah dari urin dalam
kandung kemih tanpa kebocoran.
Selama fase pengosongan kandung kemih, yang supraspinal penghambatan aliran
pusat 'ke pusat berkemih pontine ditekan, mengakibatkan penurunan aliran simpatis
thoraks dengan peningkatan simultan sacral outflow parasimpatis pada saluran kemih
bawah. Itu outflow rangsang pusat supraspinal 'melalui pudenda saraf ditekan
memproduksi sfingter uretra eksterna relaksasi. Efek keseluruhan dalam fisiologi
kandung kemih normal adalah detrusor kontraksi otot polos, leher kandung kemih halus
relaksasi otot, dan saluran kencing eksternal sfingter skeletal relaksasi otot yang
memungkinkan evakuasi urin disimpan dalam kandung kemih.
E. Definisi Neurogenic bladder
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi bladder akibat kerusakan sistem saraf
pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa berupa
bladder tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder)
maupun bladder terlalu aktif dan melakukan pengosongan bladder berdasar refleks yang
tak terkendali (overactive bladder) 3,7 Disfungsi kandung kemih neurogenik dapat
mempersulit berbagai kondisi neurologis.
Di Amerika serikat, neurogenik bladder mempengaruhi 40-90% dari orang dengan
multiple sclerosis, 37-72% dari mereka dengan Parkinsonisme, dan 15% dari
merekadengan stroke. Detrusor hyperreflexia terlihat dalam 50 - 90% dari orang dengan
8
multiple sclerosis, sementara yang lain 20 - 30% memiliki detrusor areflexia. Ada lebih
dari 200.000 orang dengan cedera tulang belakang, dan 70-84% dari individu memiliki
setidaknya beberapa derajat disfungsi kandung kemih. Disfungsi kandung kemih juga
sering terjadi pada spina bifida, yang mempengaruhi sekitar 1 per 1.000 kelahiran hidup.
Vesicoureteralreflux mungkin terjadi pada 40% anak dengan spina bifida pada usia 5, dan
sampai 61% dari muda orang dewasa dengan spina bifida pengalaman inkontinensia.
Penyebab umum lainnya yaitu kandung kemih neurogenik termasuk diabetes mellitus
dengan neuropati otonom, gejala sisa operasi panggul, dan cauda equina sindrom karena
tulang belakang lumbal yang patologi.
F. Etiologi
A. Kelainan pada sistem saraf pusat :8
1. Alzheimer’s disease
2. Meningomielocele
3. Tumor otak atau medulla spinalis
4. Multiple sclerosis
5. Parkinson disease
6. Cedera medulla spinalis
7. Pemulihan stroke
B. Kelainan pada sistem saraf tepi : 8
1. Neuropati alkoholik
2. Diabetes neuropati
3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
5. Defisiensi vitamin B12
G. Patologi
Gangguan bladder dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang
terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :2,3,9
9
A. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh
aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial,
ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat hilangnya
inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor,
demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus
atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi bladder yang hiperrefleksi.
Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai
proses miksi secara volunteer.
B. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral
medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan
pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain
adalah:
1. Bladder yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan
menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan
kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume bladder.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor. Pada
keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan
sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan
intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran kencing
bagian atas.Urine dapat keluar dari bladder hanya bila kontraksi detrusor berlangsung
lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus-putus.
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan
bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan disinergia
akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi
10
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder yang hiperrefleksi
menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk terjadinya kontraksi
bladder. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.
C. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun ekstradural
akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi bladder dan hilangnya sensibilitas
bladder. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme untuk
menimbulkan kontraksi detrusor hilang, bladder menjadi atonik atau hipotonik bila
kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance bladder juga hilang karena hal ini
merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari
peregangan bladder terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan karena informasi
aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui n.hipogastrikus ke daerah
thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme penutupan namun
jaringan elastik dari leher bladder memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk
mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang,
sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.
H. Gejala
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi
dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya
frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan
(localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras
dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai
keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan
urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis
antara pons dan medulla spinalis bagian sakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat
retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi
dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga
dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf
pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi
pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat
11
hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan
dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi
LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress
inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi
kronik dengan overflow.7,8,10
I. Evaluasi dan Penatalaksanaan
A. Evaluasi
Pendekatan sistematis untuk mengetahui masalah gangguan miksi selama
rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting karena
penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis dan kerusakan
ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian
pengosongan bladder dan deteksi hiperrefleksia detrusor.3,7,8,10
1. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas, gangguan
ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk
menilai fungsi ginjal dan deteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi
urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran bagian atas dan
menyingkirkan kemungkinan adanya refluks vesikoureteral.
2. Penilaian pengosongan bladder
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama
pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100 ml
dikatakan bermakna.
3. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu
menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan. Kontraksi
abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan baik denganmenggunakan filling
cystometrogram (CMG). Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi
pengisian bladder bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada
penderita dengan hiperrefleksia bladder, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada
pengisian.
4. Pemeriksaan neurologis
12
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk
mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, reflex anal dan refleks
bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus dan lengkung refleks lokal.
Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter
dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang inkomplit. Pada
lesi medulla spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh
refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan
dengan fase syok spinal. Dalam periode ini, bladder bersifat arefleksi dan memerlukan
drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 40 C
air dingin steril suhu 40C tidak akan menimbulkan aktifitas refleks bladder. Tes air es
dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air
kateter dari bladder. Drainase bladder yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat
mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari bladder yang arefleksi.
B. Penatalaksanaan
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi bladder adalah untuk mempertahankan
fungsi gunjal dan mengurangi gejala.
1. Penatalaksanaan gangguan pengosongan bladder dapat dilakukan dengan cara :
Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal
Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre
Clean intermittent self-catheterisation
Indwelling urethral catheter
2. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
Bladder training (bladder drill)
Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
3. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan neurologis
kongenital atau cedera medula spinalis.
J. Rehabilitasi Neurogenic Bladder
Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya mengembalikan
fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal atau ke fungsi optimalnya
13
sesuai dengan kondisi. Mencegah/mengurangi infeksi saluran kemih, mencegah
komplikasi saluran kemih lebih lanjut akan menurunkan angka kematian, terutama pada
penderita cedera medula spinalis. Gagal ginjal merupakan penyebab utama kematian pada
pasien cedera medula spinalis. Untuk mencegah komplikasi tersebut, diupayakan
mempertahankan fungsi pengosongan kandung kencing dengan residu urine seminimal
mungkin, mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam sistem saluran kemih, serta
eradiksi dini terhadap infeksi saluran kemih yang mungkin terjadi. Ketiga upaya tersebut
tercakup dalam penatalaksanaan neurogenic bladder yang akan dibahas, yang bertujuan
mempertahankan fungsi ginjal secara efektif sehingga penderita cedera medulla spinalis
dapat mandiri mengatur kandung kencingnya.
Tujuan rehabilitasi:
1. Kelancaran aliran urine mulai dari ginjal
bebas kateter bladder dan uretra
menghilangkan obstruksi uretra
2. Keadaan abakterial
sterile intermittent catherization
pengosongan bladder secara sering dan teratur
3. Pengosongan bladder secara tuntas pada setiap masa pengosongan dengan cara
mengembangkan/ meningkatkan kekuatan ekspulsi pada waktu yang cukup, sesuai
dengan yang dibutuhkan.
Hal-hal yang tercakup dalam pengertian bladder training :
1. Kateterisasi intermiten
2. Pengaturan dan pengontrolan masuknya cairan ke dalam tubuh
3. Refleks stimulasi terhadap bladder
4. Crede manuever
5. Bantuan medikamentosa yang dapat mempunyai efek terhadap bladder.
Hal tersebut dapat diatur kombinasinya sesuai kondisi neruogenic bladder.
Kontra indikasi bladder training:
- Sistitis berat
- Pielonefritis
- Gangguan/kelainan uretra
14
- Hidronefrosis
- Vesicourethral reflux
- Batu traktus urinarius
- Penderita tidak kooperatif
Program kateterisasi kontinyu
Kateterisasi kontinyu tidaklah fisiologis karena bladder selalu kosong, sehingga
kehilangan potensi sensasi miksi; terjadi atrofi serta penurunan tonus otot bladder;
ditambah lagi dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu dianjurkan program
kateterisasi intermiten. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan bebas kateter
berkisar antara 3 - 278 hari atau sekitar 8-10 minggu, jika tidak ada obstruksi.
Paremeter keberhasilan
1) Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar, baik secara spontan,
dengan bantuan stimulasi refleks ataupun dengan crede/valsava manuever secara mudah.
2) Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml. Tak didapat perubahan patologis
pada saluran kemih.
3) Penderita bebas kateter.
Program Kateterisasi Intermiten
Metoda ini dengan teknik non touch pertama kali diperkenalkan oleh Guttmann.
Karena hasilnya memuaskan, cara ini dengan cepat diikuti oleh klinik-klinik lain. Pada
saat ini hampir seluruh klinik di seluruh dunia menganggap kateterisasi intermiten
merupakan method of choice. Sebagian kecil penulis meragukan perbedaannya
dibandingkan dengan metoda lain.
Keberatan atau kerugian tersebut antara lain adalah:
a) Bahaya distensi bladder tetap ada.
b) Risiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang.
c) Risiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal
uretra (flora normal).
Terhadap bahaya-bahaya tersebut diajukan beberapa cara pencegahan:
a) Restriksi cairan. Bila penderita dirawat dalam ruangan ber-AC, maka jumlah
cairan total yang dapat diberikan ialah 1500 ml/hari, dibagi rata tiap 2 jam. Kateterisasi
dilakukan tiap 6 jam. Berdasarkan ketentuan ini maka pada tiap kateterisasi akan
15
diperoleh urin tidak lebih dari 500 ml. Bila ternyata lebih, maka pemberian cairan
dikurangi atau frekuensi kateterisasi ditambah. Tentunya restriksi cairan ini harus
disesuaikan bila ruang perawatan tanpa AC.
b) Risiko trauma uretra dapat dicegah, paling tidak dikurangi dengan menggunakan
kateter jenis lunak yang biasanya dibuat dari bahan polivinil. Sebaiknya dengan ujung
bulat (misalnya kateter Jacques polivinil no. 14 Fr).
c) Sebelum pemasangan, baik pada kateter maupun uretra diberi pelumas terlebih
dahulu. Jangan sekali-kali memasang kateter pada seorang penderita pria dalam keadaan
refleksi ereksi.
d) Pencegahan infeksi dilakukan dengan teknik "non touch". Di samping itu berikan
cairan antibiotika/ antiseptika ke dalam bladder setiap habis kateterisasi; bahan yang
dipergunakan bervariasi antara satu klinik dengan klinik lainnya.
Bladder UMN (Upper Motor Neuron)
Pada tahap akut pengosongan bladder dilakukan dengan cara kateterisasi
intermiten. Dua hari kemudian lakukan pemeriksaan refleks bulbokavernosus dan tes air
dingin. Bila belum ada respons, evaluasi diulang tiap 72 jam. Setelah percobaan-
percobaan tersebut positif, latihan bladder dimulai. Caranya adalah dengan ketokan pada
dinding abdomen daerah suprapubis setiap 2 jam. Tindakan yang dimaksudkan untuk
merangsang refleks miksi ini harus dilakukan oleh penderita di luar jam-jam tidur
(kecuali penderita tetraplegi).
Pada jam-jam tidur pekerjaan diambil alih oleh perawat Bila jumlah urin yang
dapat dikeluarkan melalui cara ini kira-kira sebanyak jumlah urin yang didapat melalui
kateter, maka pada jadual tersebut tak perlu kateterisasi. Jika kurang, kateterisasi tetap
dilakukan. Mudah dipahami bahwa makin efisien refleks
miksi, makin kurang frekuensi kateterisasi. Kateterisasi dapat dihentikan sama sekali bila
keadaan ini sudah tercapai, restriksi cairan dapat dilonggarkan. Kadang-kadang bladder
training tak memberikan hasil memuaskan:biasanya disebabkan oleh dua kemungkinan:
1. Kontraksi otot detrusor kurang efisien
2. Sfingter uretra kurang efisien
Bladder LMN (Lower Motor Neuroni)
16
Prosedur rehabilitasi bladder LMN biasanya tidak sulit. Miksi spontan
dilaksanakan dengan manipulasi Crede dengan hasil memuaskan. Hanya sedikit penulis
yang meragukan efektifitasnya. Di samping itu biasanya penderita masih mempunyai
kemampuan mengejan sehingga dapat membantu evakuasi urin. Langkah-Langkah
Pelaksanaan Program Kateterisasi Intermiten :
Menentukan tipe bladder UMN, LMN atau campuran;
caranya:
- Lakukan pemeriksaan ACR/BCR
- Tentukan fase shock sudah terlewati atau belum (dribble)
- Bila telah dribble, lakukan pengukuran IBV (Initial Bladder Volume) yaitu
mengukur jumlah urin spontan, residu urin dan dengan tapping/express.
- Lakukan pemeriksaan IWT (Ice Water Test)
Bila hasil positif; berarti fungsi otot detrusor masih baik. Dari hasil pemeriksaan
di atas dapat ditentukan jenis/tipe bladder dan jumlah cairan yang diminum.
Jika IBV > 400 ml, minum 125 ml/2 jam
Jika IBV < 400 ml, minum 150 ml/2 jam
Kateterisasi dilakukan setiap 6 jam. Sebelum menjalani program ini sebaiknya
dilakukan pemeriksaan antara lain : urine, kultur dan sensitifitas, serum kreatin dan serum
urea nitrogen, bila perlu pemeriksaan radiologi maupun uretro sistografi.
Setelah menjalani program kateterisasi intermiten, bila residu urine < l00 ml,
frekuensi kateterisasi dikurangi dan jumlah urin ditambah. Ditunggu sampai 3 kali
berturut-turut. Demikian seterusnya sampai bebas kateter. Apabila terdapat kendala,
misalnya sampai 7 hari sisa urin masih lebih dari 200 ml atau bila dalam 2 hari program
tanda-tanda miksi spontan negatif, dapat diberi urocholin dengan dosis maksimum 100
mg/hari. Dimulai dengan 15-60 mg/hari dibagi 3 dosis. Dosis awal : 5 mg (3x5 mg)
diobservasi tiap 2 hari. Bila respon kurang, dosis dapat ditingkatkan sampai dosis efektif.
Pemberian dihentikan bila sisa urine menetap sampai 1 minggu. Untuk mengatasi
kendala-kendala tersebut, pemberian obat-obatan dapat dipertimbangkan.
Obat Untuk Retensio Urine
A. Jenis Penyekat Alfa
Cara Kerja:
17
1) Merelaksasi otot polos
2) Meningkatkan urinary flow rate pada obstruksi akibat spasme
Efek samping: Sedasi, dizziness, hipotensi postural, depresi, nyeri kepala, mulut kering,
mual, takhkardi dan palpitasi
Obat yang dipakai:
1. Alfuzozin HCl 2,5 mg/tbl
Dosis 2,5 mg tiga kali sehari dengan max lOmg/hari
2. Indoramin 20 mg/tbl
Dosis 20 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan setiap 2 minggu 1 tbl. sampai 100
mg/hari
3. Prazosin HCl (Minipress® 1 mg/2 mg/tbl.)
Dosis 0,5 mg dua kali sehari dapat ditingkatkan setiap 3-7 hari sampai max 2x2 mg.
4. Terazosin HCl (Hytrin® 1 mg/2 mg/tbl)
Dosis awal 1 mg saat tidur dapat ditingkatkan 1 mg setiap minggu sampai max lOmg/hari
dosis tunggal. Jika pasien mengeluh pusing, suruh tetap tidur sampai pusingnya hilang.
B. Jenis Para Simpatomimetik
Cara kerja:
1) Meningkatkan efek muskarinik
2) Meningkatkan aktivitas m. detrusor
3) Pada keadaan tidak ada obstruksi jalan keluar bladder, peranannya untuk
mengatasi retensio urine terbatas.
Efek samping : Keringat, bradikardi, kolik intestinal
Obat yang dipakai:
1. Carbachol 2 mg/tbl
2. Bethanechol chloride Urecholin lOmg/tbl). Dosis 3-4 x 10-25mg _ jam sebelum
makan
3. Distigmine bromide 5 mg/tbl. Dosis 5 mg/hari atau 2 hari _ jam sebelum makan
TERAPI FARMAKOLOGIS INKONTINENSIA URINAE
Bersifat anti muskarinik untuk meningkatkan kapasitas bladder dengan mengurangi
kontraksi m. detrusor yang tidak stabil. Efek samping : mulut kering, pandangan kabur,
glaukoma. Obat yang dipakai:
18
1. Flavoxate HCl lOOmg/tbl
Indikasi: Inkontinensia, disuria, spasme bladder akibat kateterisasi. Dosis : 3 x 200
mg/hari
2. Oxybutynin HCl 2,5 mg/5 mg/tbl.
Indikasi: Inkontinensia, Neurogenic Bladder instability nocturnal enuresis. Dosis : 2-3 x
5 mg/hari maksimum. 4x5 mg/hari. Untuk orang tua dosis dimulai dari 2x2,5 mg perhari
dengan dosis maksimum 2x5 mg/hari; untuk anak di atas usia 5 tahun dimulai dari 2x2,5
mg/hari maksimum.3x5 mg/hari. Hati hati pada: gagal ginjal/hepar, hipertiroid, penyakit
jantung, hipertrofi prostat, kehamilan dan menyusui. Kontraindikasi: obstruksi/atoni
intestinal atau bladder glaucoma
3. Propantheline bromide
Dosis: 2-3 x 15-30 mg/hari satu jam sebelum makan.
4. Ani depresan trisiklik
Imipramine HCl (Tofranil 25 mg/tbl). Indikasi: Inkontinensia, noctural enuresis. Dosis :
1-3 x 25 mg/hari dapat ditingkatkan bertahap setiap minggu sampai maksimum 6-8
tbl/hari. Untuk enuresis pada anak-anak di atas 5 tahun diberikan dosis tunggal setelah
makan malam; usia 5-8 tahun: 1 tbl, usia 8-12 tahun: 1-2 tbl usia 12 tahun : sampai
maksimum 3 tbl. Jangan diberikan bersama obat MAO. Toleransi terhadap alkohol
berkurang, bila terjadi reaksi kulit, stop pemberian agranulositosis, hati-hati pada
kehamilan. Kontraindikasi tidak diketahui; relatif pada penyakit jantung, gangguan
bladder akibat obstruksi, glaucoma.
Jika bladder training dan obat-obatan masih belum berhasil baik,beberapa
prosedur konservatif non operatif, dapat dipertimbangkan.
Tindakan-tindakan tersebut ialah:
a) Anestesi mukosa bladder
Berlawanan dengan bladder normal, pada neurogenic bladder, kontraksi otot detrusor
kadang-kadang justru mengakibatkan aktivasi impuls tonik pada sfingter uretra; akibatnya
sfingter uretra menjadi sulit terbuka. Di pihak lain keadaan tonik sfingter uretra secara
reflektoris akan mengakibatkan inhibisi kontraksi otot detrusor, sehingga kontraksi makin
lemah, jadi timbul keadaan kontraksi otot sulit terbuka. Pemberian anestesi lokal ke
19
dalam bladder diharapkan dapat mengurangi rangsangan, sehingga refleks miksi tidak
berlebihan. Dianjurkan mengulangi prosedur ini tiap hari untuk kira-kira dua minggu.
b) Blok n. pudendus
Prosedur ini diindikasikan pada keadaan sfingter uretra terlampau spastik. Dengan blok n.
pudendus bilateral diharapkan impuls tonik pada sfingter uretra berkurang.Secara
reflektoris kontraksi otot detrusor juga diharapkan lebih efisien, Bahan yang biasa
dipergunakan adalah larutan fenol atau lignokain.
Follow Up
Follow up harus teratur dan berkesinambungan. Pada tahun pertama dapat
dilakukan tiap 2-3 bulan. Pada tahun-tahun selanjutnya mungkin cukup tiap 4-6 bulan.
Patokan ini untuk penderita dengan bladder yang tergolong memuaskan (residu < 80 ml).
Untuk penderita dengan bladder yang tergolong tidak memuaskan (> 150 ml) ada
baiknya lebih sering memeriksakan diri, karena volume residual urine yang besar
mempunyai kecenderungan menyebabkan reinfeksi (potensi wash-out rendah).
Pada dasarnya hal-hal yang perlu dilakukan pada follow up ialah :
1. Urinalisis
2. Ada tidaknya hambatan arus miksi. Dinilai dari catatan titik terjauh pancaran urin.
3. Kultur urin
Biasanya spesimen diambil dari urin pancaran tengah midstream urine). Perlu ditekankan
bahwa ada tidaknya infeksi bladder yang membakat jangan didasarkan atas gejala klinis:
pada penderita paraplegi/tetraplegi biasanya secara subjektif terlambat ketimbang orang
normal. Pedoman berikut patut dipergunakan sebagai referensi:
a. Bila jumlah koloni < 104 per ml, dianggap tak ada infeksi
b. Bila jumlah koloni > 105 per ml, infeksi sudah membakat sehingga perlu
pemberian terapi adekuat.
c. Bila jumlah koloni antara 104-105 per ml, meragukan sehingga perlu kultur ulang.
4. Residual urine
Diharapkan volume residual urine berkurang, paling tidak menetap. Bila ternyata
bertambah, maka harus dilakukan evaluasi ulang, terutama untuk menilai efisiensi
kontraksi otot detrusor dan ada tidaknya resistensi outflow yang bertambah
20
5. Tes fungsi ginjal
6. IVP/sistouretrografi ada kalanya perlu dilakukan atas indikasi. Umumnya follow
up membutuhkan rawat inap selama 1-2 hari; suatu spinal unit yang baik selalu
menyediakan beberapa tempat tidur kosong untuk maksud tersebut.
21
BAB III
PENUTUP
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi bladder akibat kerusakan sistem saraf
pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa berupa
bladder tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder)
maupun bladder terlalu aktif dan melakukan pengosongan bladder berdasar refleks yang
tak terkendali (overactive bladder).
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan
inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya
frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan
(localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras
dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai
keadaan patologis. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti
pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi
seperti pada lesi susunan saraf pusat. Inkontenensia urine dapat timbul akibat
hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.
Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya mengembalikan
fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal atau ke fungsi optimalnya
sesuai dengan kondisi.
22
Daftar Pustaka
1. Faiz and Moffat. At a Glance ANATOMI. Jakarta: Erlangga, 2004.
2. Snell, RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta :
EGC, 2006.
3. Waxman, Stephan G. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi Twenty-Sixth
Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.
4. Benevento B.T. and Marca L. Sipski..Neurogenic Bladder, Neurogenic Bowel,
and Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 2002; 82 (6): 601-
612.
5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC, 2007.
6. Sheerwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC, 2001.
7. Rackley R. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In :
http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 15 Agustus 2014).
8. Ropper, Allan H and Brown Robert H. Adams and Victor’s Principles of
Neurology Eighth Edition. New York: McGraw-Hill, 2005.
9. Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R
et al. Neurological rehabilitation. New York: Churchil Livingstone, 1993.
10. Greenfield, et al. Essentials of Surgery: Scientific Principles and Practice 2nd
Edition. New York: McGraw-Hill, 1997.
23
11. Luthfie S.H. Penatalaksanaan Rehabilitasi Neurogenic Bladder. CDK 2008; 65(6):
337-41.
24