isi neurogenic bladder
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis
spesifik ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan
suatu gangguan fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Fungsi bladder
normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonomi
dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor
dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral,
sehingga penyebab neurogenik dari gangguan bladder dapat diakibatkan oleh
lesi pada berbagai derajat.1
Salah satu penelitian pertama prevalensi Neurogenic Bladder di Asia
adalah sebuah survai oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board)
pada tahun 1998 yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70%
perempuan) dari 11 negara (termasuk 499 dari Indonesia) ; didapatkan bahwa
prevalensi Neurogenic Bladder secara umum pada orang Asia adalah sekitar
50,6%. Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya Neurogenic Bladder
sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis
ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis; trauma
merupakan penyebab akut serta memberikan manifestasi klasik. Dalam
kesempatan ini dibahas Neurogenic Bladder akibat cedera spinal.2,3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur otot detrusor dan sfingter
Susunan sebagian besar otot polos bladder apabila berkontraksi
akan menyebabkan pengosongan pada bladder. Pengaturan serabut
detrusor pada daerah leher bladder berbeda antara pria dan wanita dimana
pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut
membentuk suatu sfingter leher bladder yang efektif untuk mencegah
terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Sfingter
uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot lurik berbentuk sirkuler.
Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara
pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara
anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pada
pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu discharge tonik
konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses
miksi.1,2,3
B. Persyarafan bladder dan sfingter
1. Persyarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari
serabut preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada
kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut
2
preganglioner keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal
anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus
parasimpatis di pelvis. Serabut postganglioner pendek berjalan dari
pleksus untuk menginervasi organ-organ pelvis. Tidak terdapat
perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglioner dan
otot polos musculus detrusor. Sebaliknya, serabut postganglioner
mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung
vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies
transmitter nonkolinergik-nonadrenergik juga ditemukan, namun
keberadaannya pada manusia diragukan.1,2
2. Persyarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Bladder menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis
thorakolumbal melalui n.hipogastrik. Leher bladder menerima
persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing
dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran
sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi
lumbal saja tidak berpengaruh pada miksi meskipun pada umumnya
akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher bladder pria banyak
mengandung transmitter noradrenergik dan aktivitas simpatis selama
ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher bladder untuk mencegah
ejakulasi retrograde.2,3
3. Persyarafan somantik (N.pudendus)
3
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian
dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis
pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai
nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang
menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai
diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu
penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing
menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan
persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut motorik dari
sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam n.pudendus
dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal
dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara
elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut
lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah.1,2,3
4. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan
berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung
sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi
P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat
mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan
sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga pasang
saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan
4
pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang
berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi bladder
tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi bladder yang
normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak
bermyelin dan serabut Aδ bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik
tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan beberapa sensasi dari
distensi bladder dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan
sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan
memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral
sebagai aferen bladder. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari
daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi
viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang
telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras
ascending dari bladder dan uretra berjalan di dalam traktus
sphinothalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis juga
berperan pada transmisi dari informasi aferen. 1,2,3
5
Gambar 1 Persyarafan Bladder4
C. Hubungan dengan susunan saraf pusat
1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yng mengatur miksi melalui refleks spinal-
bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan
bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana
refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan
pengisian atau pengosongan bladder. Pusat miksi pons berperan sebagai pusat
pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain
di otak.1,2
2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
6
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian
anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa
urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas bladder atau retensi urine.
Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya bladder yang hiperrefleksi. 1,2
D. Fisiologi pengaturan fungsi sfingter bladder
1. Pengisian urine
Pada pengisian bladder, distensi yang timbul ditandai dengan adanya
aktivitas sensor regang pada dinding bladder. Pada bladder normal, tekanan
intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari
aktivitas detrusor dan active compliance dari bladder. Inhibisi dari aktivitas
motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan
medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance bladder kurang
diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh Selain
akomodasi bladder, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas
otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi
dibandingkan tekanan intravesikal dan urinetidak mengalir keluar5,6
2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari
distensi bladder yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif
terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak diketahui
dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan
lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi bladder. Inhibisi tonus simpatis
7
pada leher bladder juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal
diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan
bladder yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas
sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi. 5,6
E. Definisi Neurogenic bladder
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi bladder akibat kerusakan
sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih.
Keadaan ini bisa berupa bladder tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk
miksi (underactive bladder) maupun bladder terlalu aktif dan melakukan
pengosongan bladder berdasar refleks yang tak terkendali (overactive
bladder) 3,7
F. Etiologi
A. Kelainan pada sistem saraf pusat :8
1. Alzheimer’s disease
2. Meningomielocele
3. Tumor otak atau medulla spinalis
4. Multiple sclerosis
5. Parkinson disease
6. Cedera medulla spinalis
7. Pemulihan stroke
8
B. Kelainan pada sistem saraf tepi : 8
1. Neuropati alkoholik
2. Diabetes neuropati
3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
5. Defisiensi vitamin B12
G. Patologi
Gangguan bladder dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung
jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :2,3,9
A. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi
dan seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus
frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada
umumnya akan berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan
hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi
periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus
atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi bladder yang
hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila
terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunteer.
B. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan
bagian sacral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi
9
kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa
keadaan yang mungkin terjadi antara lain adalah:
1. Bladder yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi
normal akan menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi
yang akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang
kecil dari volume bladder.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului
kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan
otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi
akan menghambat miksi sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal
yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan dilatasi saluran
kencing bagian atas.Urine dapat keluar dari bladder hanya bila
kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter
sehingga aliran urine terputus-putus.
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga
pengosongan bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila
dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan
volume residu pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi
10
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder
yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume
tambahan untuk terjadinya kontraksi bladder. Penderita mengeluh
mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit.
C. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun
ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi bladder dan
hilangnya sensibilitas bladder. Proses pendahuluan miksi secara volunteer
hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang,
bladder menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah
parsial. Compliance bladder juga hilang karena hal ini merupakan suatu
proses aktif yang tergantung pada utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari
peregangan bladder terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan karena
informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui
n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter
mengganggu mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher bladder
memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi
selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga
stress inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.
H. Gejala
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi,
frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan
11
yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang
dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia
detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun
suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan
patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan
kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan
lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis bagian sakral, DDS dapat
menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia
detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan
kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat
kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.
Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi
pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat
timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini
sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan
timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter
yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan
dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan
overflow.7,8,10
I. Evaluasi dan Penatalaksanaan
A. Evaluasi
12
Pendekatan sistematis untuk mengetahui masalah gangguan miksi
selama rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal
yang penting karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah
komplikasi urologis dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi
penilaian saluran kencing bagian atas, penilaian pengosongan bladder dan
deteksi hiperrefleksia detrusor.3,7,8,10
1. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing
bagian atas, gangguan ginjal merupakan hal yang potensial
mengancam penderita. Penilaian ditujukan untuk menilai fungsi ginjal
dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan radiologis harus meliputi
urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk menilai saluran
bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks
vesikoureteral.
2. Penilaian pengosongan bladder
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat
pertama pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu
urine lebih dari 100 ml dikatakan bermakna.
3. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan
membantu menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS
yang signifikan. Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi
dengan baik denganmenggunakan filling cystometrogram (CMG).
13
Pada orang normal, kandung kencing dapat mengakomodasi pengisian
bladder bahkan pada kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada
penderita dengan hiperrefleksia bladder, terjadi peningkatan tekanan
yang spontan pada pengisian.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan
sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral sparing.
Adanya tonus anal, reflex anal dan refleks bulbokavernosus hanya
menandakan utuhnya konus danlengkung refleks lokal. Didapatkannya
kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter
dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang
inkomplit. Pada lesi medulla spinalis, dalam hari pertama sampai 3
atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah
lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok
spinal. Dalam periode ini, bladder bersifat arefleksi danmemerlukan
drainase periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan
menggunakan 4 oz air dingin steril suhu 4oC tidak akan menimbulkan
aktifitas refleks bladder. Tes air es dikatakan positif bila pengisian
dengan air dingin segera diikuti dengan pengeluaran air kateter dari
bladder. Drainase bladder yang adekuat selama fase syok spinal akan
dapat mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari
bladder yang arefleksi.
B. Penatalaksanaan
14
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi bladder adalah untuk
mempertahankan fungsi gunjal dan mengurangi gejala.
1. Penatalaksanaan gangguan pengosongan bladder dapat dilakukan dengan
cara :
Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi
perianal
Kompresi eksternal dan penekanan abdomen, crede’s manoeuvre
Clean intermittent self-catheterisation
Indwelling urethral catheter
2. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor
Bladder training (bladder drill)
Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
3. Penatalaksanaa operatif
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan
kelainan neurologis kongenital atau cedera medula spinalis.
J. Rehabilitasi Neurogenic Bladder
Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya
mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal
atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.
Mencegah/mengurangi infeksi saluran kemih, mencegah komplikasi saluran
kemih lebih lanjut akan menurunkan angka kematian, terutama pada penderita
cedera medula spinalis. Gagal ginjal merupakan penyebab utama kematian pada
15
pasien cedera medula spinalis. Untuk mencegah komplikasi tersebut, diupayakan
mempertahankan fungsi pengosongan kandung kencing dengan residu urine
seminimal mungkin, mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam sistem
saluran kemih, serta eradiksi dini terhadap infeksi saluran kemih yang mungkin
terjadi. Ketiga upaya tersebut tercakup dalam penatalaksanaan neurogenic bladder
yang akan dibahas, yang bertujuan mempertahankan fungsi ginjal secara efektif
sehingga penderita cedera medulla spinalis dapat mandiri mengatur kandung
kencingnya.
Tujuan rehabilitasi:
1. Kelancaran aliran urine mulai dari ginjal
bebas kateter bladder dan uretra
menghilangkan obstruksi uretra
2. Keadaan abakterial
sterile intermittent catherization
pengosongan bladder secara sering dan teratur
3. Pengosongan bladder secara tuntas pada setiap masa pengosongan dengan
cara mengembangkan/ meningkatkan kekuatan ekspulsi pada waktu yang
cukup, sesuai dengan yang dibutuhkan.
Hal-hal yang tercakup dalam pengertian bladder training :
1. Kateterisasi intermiten
2. Pengaturan dan pengontrolan masuknya cairan ke dalam tubuh
3. Refleks stimulasi terhadap bladder
4. Crede manuever
16
5. Bantuan medikamentosa yang dapat mempunyai efek terhadap bladder.
Hal tersebut dapat diatur kombinasinya sesuai kondisi neruogenic bladder.
Kontra indikasi bladder training:
- Sistitis berat
- Pielonefritis
- Gangguan/kelainan uretra
- Hidronefrosis
- Vesicourethral reflux
- Batu traktus urinarius
- Penderita tidak kooperatif
Program kateterisasi kontinyu
Kateterisasi kontinyu tidaklah fisiologis karena bladder selalu kosong,
sehingga kehilangan potensi sensasi miksi; terjadi atrofi serta penurunan tonus
otot bladder; ditambah lagi dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu
dianjurkan program kateterisasi intermiten. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai keadaan bebas kateter berkisar antara 3 - 278 hari atau sekitar 8-10
minggu, jika tidak ada obstruksi.
Paremeter keberhasilan
1) Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar, baik secara
spontan, dengan bantuan stimulasi refleks ataupun dengan crede/valsava
manuever secara mudah.
2) Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml. Tak didapat perubahan
patologis pada saluran kemih.
17
3) Penderita bebas kateter.
Program Kateterisasi Intermiten
Metoda ini dengan teknik non touch pertama kali diperkenalkan oleh
Guttmann. Karena hasilnya memuaskan, cara ini dengan cepat diikuti oleh klinik-
klinik lain. Pada saat ini hampir seluruh klinik di seluruh dunia menganggap
kateterisasi intermiten merupakan method of choice. Sebagian kecil penulis
meragukan perbedaannya dibandingkan dengan metoda lain.
Keberatan atau kerugian tersebut antara lain adalah:
a) Bahaya distensi bladder tetap ada.
b) Risiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang.
c) Risiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung
distal uretra (flora normal).
Terhadap bahaya-bahaya tersebut diajukan beberapa cara pencegahan:
a) Restriksi cairan. Bila penderita dirawat dalam ruangan ber-AC, maka
jumlah cairan total yang dapat diberikan ialah 1500 ml/hari, dibagi rata
tiap 2 jam. Kateterisasi dilakukan tiap 6 jam. Berdasarkan ketentuan ini
maka pada tiap kateterisasi akan diperoleh urin tidak lebih dari 500 ml.
Bila ternyata lebih, maka pemberian cairan dikurangi atau frekuensi
kateterisasi ditambah. Tentunya restriksi cairan ini harus disesuaikan bila
ruang perawatan tanpa AC.
b) Risiko trauma uretra dapat dicegah, paling tidak dikurangi dengan
menggunakan kateter jenis lunak yang biasanya dibuat dari bahan
18
polivinil. Sebaiknya dengan ujung bulat (misalnya kateter Jacques
polivinil no. 14 Fr).
c) Sebelum pemasangan, baik pada kateter maupun uretra diberi pelumas
terlebih dahulu. Jangan sekali-kali memasang kateter pada seorang
penderita pria dalam keadaan refleksi ereksi.
d) Pencegahan infeksi dilakukan dengan teknik "non touch". Di samping itu
berikan cairan antibiotika/ antiseptika ke dalam bladder setiap habis
kateterisasi; bahan yang dipergunakan bervariasi antara satu klinik dengan
klinik lainnya.
Bladder UMN (Upper Motor Neuron)
Pada tahap akut pengosongan bladder dilakukan dengan cara kateterisasi
intermiten. Dua hari kemudian lakukan pemeriksaan refleks bulbokavernosus dan
tes air dingin. Bila belum ada respons, evaluasi diulang tiap 72 jam. Setelah
percobaan-percobaan tersebut positif, latihan bladder dimulai. Caranya adalah
dengan ketokan pada dinding abdomen daerah suprapubis setiap 2 jam. Tindakan
yang dimaksudkan untuk merangsang refleks miksi ini harus dilakukan oleh
penderita di luar jam-jam tidur (kecuali penderita tetraplegi).
Pada jam-jam tidur pekerjaan diambil alih oleh perawat Bila jumlah urin
yang dapat dikeluarkan melalui cara ini kira-kira sebanyak jumlah urin yang
didapat melalui kateter, maka pada jadual tersebut tak perlu kateterisasi. Jika
kurang, kateterisasi tetap dilakukan. Mudah dipahami bahwa makin efisien refleks
miksi, makin kurang frekuensi kateterisasi. Kateterisasi dapat dihentikan sama
sekali bila keadaan ini sudah tercapai, restriksi cairan dapat dilonggarkan.
19
Kadang-kadang bladder training tak memberikan hasil memuaskan:biasanya
disebabkan oleh dua kemungkinan:
1. Kontraksi otot detrusor kurang efisien
2. Sfingter uretra kurang efisien
Bladder LMN (Lower Motor Neuroni)
Prosedur rehabilitasi bladder LMN biasanya tidak sulit. Miksi spontan
dilaksanakan dengan manipulasi Crede dengan hasil memuaskan. Hanya sedikit
penulis yang meragukan efektifitasnya. Di samping itu biasanya penderita masih
mempunyai kemampuan mengejan sehingga dapat membantu evakuasi urin.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Program Kateterisasi Intermiten :
Menentukan tipe bladder UMN, LMN atau campuran;
caranya:
- Lakukan pemeriksaan ACR/BCR
- Tentukan fase shock sudah terlewati atau belum (dribble)
- Bila telah dribble, lakukan pengukuran IBV (Initial Bladder Volume) yaitu
mengukur jumlah urin spontan, residu urin dan dengan tapping/express.
- Lakukan pemeriksaan IWT (Ice Water Test)
Bila hasil positif; berarti fungsi otot detrusor masih baik. Dari hasil
pemeriksaan di atas dapat ditentukan jenis/tipe bladder dan jumlah cairan yang
diminum.
Jika IBV > 400 ml, minum 125 ml/2 jam
Jika IBV < 400 ml, minum 150 ml/2 jam
20
Kateterisasi dilakukan setiap 6 jam. Sebelum menjalani program ini
sebaiknya dilakukan pemeriksaan antara lain : urine, kultur dan sensitifitas, serum
kreatin dan serum urea nitrogen, bila perlu pemeriksaan radiologi maupun uretro
sistografi.
Setelah menjalani program kateterisasi intermiten, bila residu urine < l00
ml, frekuensi kateterisasi dikurangi dan jumlah urin ditambah. Ditunggu sampai 3
kali berturut-turut. Demikian seterusnya sampai bebas kateter. Apabila terdapat
kendala, misalnya sampai 7 hari sisa urin masih lebih dari 200 ml atau bila dalam
2 hari program tanda-tanda miksi spontan negatif, dapat diberi urocholin dengan
dosis maksimum 100 mg/hari. Dimulai dengan 15-60 mg/hari dibagi 3 dosis.
Dosis awal : 5 mg (3x5 mg) diobservasi tiap 2 hari. Bila respon kurang, dosis
dapat ditingkatkan sampai dosis efektif. Pemberian dihentikan bila sisa urine
menetap sampai 1 minggu. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pemberian
obat-obatan dapat dipertimbangkan.
Obat Untuk Retensio Urine
A. Jenis Penyekat Alfa
Cara Kerja:
1) Merelaksasi otot polos
2) Meningkatkan urinary flow rate pada obstruksi akibat spasme
Efek samping: Sedasi, dizziness, hipotensi postural, depresi, nyeri kepala, mulut
kering, mual, takhkardi dan palpitasi
Obat yang dipakai:
1. Alfuzozin HCl 2,5 mg/tbl
21
Dosis 2,5 mg tiga kali sehari dengan max lOmg/hari
2. Indoramin 20 mg/tbl
Dosis 20 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan setiap 2 minggu 1 tbl.
sampai 100 mg/hari
3. Prazosin HCl (Minipress® 1 mg/2 mg/tbl.)
Dosis 0,5 mg dua kali sehari dapat ditingkatkan setiap 3-7 hari sampai
max 2x2 mg.
4. Terazosin HCl (Hytrin® 1 mg/2 mg/tbl)
Dosis awal 1 mg saat tidur dapat ditingkatkan 1 mg setiap minggu sampai
max lOmg/hari dosis tunggal. Jika pasien mengeluh pusing, suruh tetap
tidur sampai pusingnya hilang.
B. Jenis Para Simpatomimetik
Cara kerja:
1) Meningkatkan efek muskarinik
2) Meningkatkan aktivitas m. detrusor
3) Pada keadaan tidak ada obstruksi jalan keluar bladder, peranannya untuk
mengatasi retensio urine terbatas.
Efek samping : Keringat, bradikardi, kolik intestinal
Obat yang dipakai:
1. Carbachol 2 mg/tbl
2. Bethanechol chloride Urecholin lOmg/tbl). Dosis 3-4 x 10-25mg _ jam
sebelum makan
22
3. Distigmine bromide 5 mg/tbl. Dosis 5 mg/hari atau 2 hari _ jam sebelum
makan
TERAPI FARMAKOLOGIS INKONTINENSIA URINAE
Bersifat anti muskarinik untuk meningkatkan kapasitas bladder dengan
mengurangi kontraksi m. detrusor yang tidak stabil. Efek samping : mulut kering,
pandangan kabur, glaukoma. Obat yang dipakai:
1. Flavoxate HCl lOOmg/tbl
Indikasi: Inkontinensia, disuria, spasme bladder akibat kateterisasi. Dosis :
3 x 200 mg/hari
2. Oxybutynin HCl 2,5 mg/5 mg/tbl.
Indikasi: Inkontinensia, Neurogenic Bladder instability nocturnal enuresis.
Dosis : 2-3 x 5 mg/hari maksimum. 4x5 mg/hari. Untuk orang tua dosis
dimulai dari 2x2,5 mg perhari dengan dosis maksimum 2x5 mg/hari; untuk
anak di atas usia 5 tahun dimulai dari 2x2,5 mg/hari maksimum.3x5
mg/hari. Hati hati pada: gagal ginjal/hepar, hipertiroid, penyakit jantung,
hipertrofi prostat, kehamilan dan menyusui. Kontraindikasi:
obstruksi/atoni intestinal atau bladder glaucoma
3. Propantheline bromide
Dosis: 2-3 x 15-30 mg/hari satu jam sebelum makan.
4. Ani depresan trisiklik
23
Imipramine HCl (Tofranil 25 mg/tbl). Indikasi: Inkontinensia, noctural
enuresis. Dosis : 1-3 x 25 mg/hari dapat ditingkatkan bertahap setiap
minggu sampai maksimum 6-8 tbl/hari. Untuk enuresis pada anak-anak di
atas 5 tahun diberikan dosis tunggal setelah makan malam; usia 5-8 tahun:
1 tbl, usia 8-12 tahun: 1-2 tbl usia 12 tahun : sampai maksimum 3 tbl.
Jangan diberikan bersama obat MAO. Toleransi terhadap alkohol
berkurang, bila terjadi reaksi kulit, stop pemberian agranulositosis, hati-
hati pada kehamilan. Kontraindikasi tidak diketahui; relatif pada penyakit
jantung, gangguan bladder akibat obstruksi, glaucoma.
Jika bladder training dan obat-obatan masih belum berhasil baik,beberapa
prosedur konservatif non operatif, dapat dipertimbangkan.
Tindakan-tindakan tersebut ialah:
a) Anestesi mukosa bladder
Berlawanan dengan bladder normal, pada neurogenic bladder, kontraksi
otot detrusor kadang-kadang justru mengakibatkan aktivasi impuls tonik
pada sfingter uretra; akibatnya sfingter uretra menjadi sulit terbuka. Di
pihak lain keadaan tonik sfingter uretra secara reflektoris akan
mengakibatkan inhibisi
kontraksi otot detrusor, sehingga kontraksi makin lemah, jadi timbul
keadaan kontraksi otot sulit terbuka. Pemberian anestesi lokal ke dalam
bladder diharapkan dapat mengurangi rangsangan, sehingga refleks miksi
tidak berlebihan. Dianjurkan mengulangi prosedur ini tiap hari untuk kira-
kira dua minggu.
24
b) Blok n. pudendus
Prosedur ini diindikasikan pada keadaan sfingter uretra terlampau spastik.
Dengan blok n. pudendus bilateral diharapkan impuls tonik pada sfingter
uretra berkurang.Secara reflektoris kontraksi otot detrusor juga diharapkan
lebih efisien, Bahan yang biasa dipergunakan adalah larutan fenol atau
lignokain.
Follow Up
Follow up harus teratur dan berkesinambungan. Pada tahun pertama dapat
dilakukan tiap 2-3 bulan. Pada tahun-tahun selanjutnya mungkin cukup tiap 4-6
bulan. Patokan ini untuk penderita dengan bladder yang tergolong memuaskan
(residu < 80 ml). Untuk penderita dengan bladder yang tergolong tidak
memuaskan (> 150 ml) ada baiknya lebih sering memeriksakan diri, karena
volume residual urine yang besar mempunyai kecenderungan menyebabkan
reinfeksi (potensi wash-out rendah).
Pada dasarnya hal-hal yang perlu dilakukan pada follow up ialah :
1. Urinalisis
2. Ada tidaknya hambatan arus miksi. Dinilai dari catatan titik terjauh
pancaran urin.
3. Kultur urin
Biasanya spesimen diambil dari urin pancaran tengah midstream urine).
Perlu ditekankan bahwa ada tidaknya infeksi bladder yang membakat
jangan didasarkan atas gejala klinis:
25
pada penderita paraplegi/tetraplegi biasanya secara subjektif terlambat
ketimbang orang normal. Pedoman berikut patut dipergunakan sebagai
referensi:
a. Bila jumlah koloni < 104 per ml, dianggap tak ada infeksi
b. Bila jumlah koloni > 105 per ml, infeksi sudah membakat sehingga
perlu pemberian terapi adekuat.
c. Bila jumlah koloni antara 104-105 per ml, meragukan sehingga perlu
kultur ulang.
4. Residual urine
Diharapkan volume residual urine berkurang, paling tidak menetap. Bila
ternyata bertambah, maka harus dilakukan evaluasi ulang, terutama untuk
menilai efisiensi kontraksi otot detrusor dan ada tidaknya resistensi
outflow yang bertambah
5. Tes fungsi ginjal
6. IVP/sistouretrografi ada kalanya perlu dilakukan atas indikasi. Umumnya
follow up membutuhkan rawat inap selama 1-2 hari; suatu spinal unit yang
baik selalu menyediakan beberapa tempat tidur kosong untuk maksud
tersebut.
26
BAB III
PENUTUP
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi bladder akibat kerusakan
sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih.
Keadaan ini bisa berupa bladder tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk
miksi (underactive bladder) maupun bladder terlalu aktif dan melakukan
pengosongan bladder berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder).
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,
retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat
menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat
timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi
urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Retensi dapat juga
timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga
dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi
susunan saraf pusat. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia
detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.
Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya
mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal
atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.
27
Daftar Pustaka
1. Faiz and Moffat. At a Glance ANATOMI. Jakarta: Erlangga, 2004.
2. Snell, RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.
3. Waxman, Stephan G. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.
4. Benevento B.T. and Marca L. Sipski..Neurogenic Bladder, Neurogenic Bowel, and Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 2002; 82 (6): 601-612.
5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC, 2007.
6. Sheerwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC, 2001.
7. Rackley R. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In : http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 20 Agustus 2013).
8. Ropper, Allan H and Brown Robert H. Adams and Victor’s Principles of Neurology Eighth Edition. New York: McGraw-Hill, 2005.
9. Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New York: Churchil Livingstone, 1993.
10. Greenfield, et al. Essentials of Surgery: Scientific Principles and Practice 2nd
Edition. New York: McGraw-Hill, 1997.
11. Luthfie S.H. Penatalaksanaan Rehabilitasi Neurogenic Bladder. CDK 2008; 65(6): 337-41.
28