refrat
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa
menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Resiko hipoglikemia timbul akibat
ketidaksempurnaan terapi saat ini, dimana kadar insulin diantara dua makan dan
pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis
tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman (King, 2010).
Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting
dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan
glukosa yang berkelanjutan (Noris, 2001). Glukosa merupakan bahan bakar
metabolisme yang utama untuk otak karena otak hanya menyimpan glukosa dalam
jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan
glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari
beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi system saraf pusat, gangguan
kognisi dan koma (Permana, 2007).
Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang
dilaksanakan pada pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat
pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat terapi insulin intensif
dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi
konvensional. Sebaliknya dengan kriteria yang berbeda kelompok the Dusseldorf
mendapat kejadian hipoglikemia yang berat didapatkan pada 28 dengan terapi
insulin intensif dan 17 dengan terapi konvensional (King, 2010).
Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali
hanya dianggap sebagai konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak dapat
dihindari. Walaupun demikian, hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan karena
potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia yang lebih berat (Mansjour, 2010)
Selain koma hipoglikemi, krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut
yang dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2.
Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun
pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk
ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau
1
kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan
yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar
glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni (Omrani, 2004).
B. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui pengertian koma hipoglikemia dan krisis Hiperglikemia
2. Mengetahui manifestasi klinik koma Hipoglikemia dan krisis
Hiperglikemia
3. Mengetahui cara mendiagnosis koma Hipoglikemia dan krisis
Hiperglikemia
4. Mengetahui penatalaksanaan medis koma Hipoglikemia dan krisis
Hiperglikemia
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Krisis Hipoglikemia
1. Definisi
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah
normal. Kadar glukosa darah < 60mg/dl atau kadar glukosa darah <80
mg/dl dengan gejala klinis (ADA, 2009).
Walaupun kadar glukosa plasma puasa pada orang normal jarang
melampaui 99 mg% (5,5 mmol/L), tetapi kadar < 108 mg% (6 mmol/L)
masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan karena eritrosit
mengandung kadar glukosa yang relative lebih rendah. Kadar glukosa
arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena, sedangkan kadar glukosa
darah kapiler diantara kadar arteri dan vena (Gaglia, 2011).
Pada individu normal, sesudah puasa semalaman kadar glukosa
darah jarang lebih rendah dari 4 mmol/L, tetapi kadar kurang dari 50 mg
% (2,8 mmol/L) pernah dilaporkan dijumpai sesudah puasa yang
berlangsung lebih lama. Hipoglikemia spontan yang patologis mungkin
terjadi pada tumor yang mensekresi insulin atau insulin-like growth
factor (IGF). Dalam hal ini diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar
glukosa < 50 mg% atau bahkan 40 mg%. Walaupun demikian berbagai
studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat
terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L) lebih lanjut
diketahui bahwa kadar glukosa darah 55mg% yang terjadi berulang kali
merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih
berat. Gejala hipoglikemi dapat ringan berupa gelisah sampai berat
berupa koma disertai kejang (Perkeni, 2011).
3
2. Penyebab
Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes dan non diabetes
dengan etiologi sebagai berikut:
a) Pada diabetes
1. Overdose insulin
2. Asupan makanan kurang atau output yang berlebihan
3. Aktivitas berlebihan
4. Gagal ginjal
5. Hipotiroid
b) Pada non diabetes
1. Peningkatan produksi insulin
2. Pasca aktivitas
3. Konsumsi makanan yang sedikit kalori
4. Konsumsi alkohol
5. Pasca melahirkan
6. Post gastrectomy
7. Penggunaan obat – obatan dalam jumlah besar
3. Proteksi fisiologi melawan hipoglikemia
Mekanisme kontra regulator glukagon dan epinefrin merupakan dua
hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja
dihati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian
glukoneogenesis. Epineferin selain meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis dihati juga menyebabkan lipolisis dijaringan lemak serta
glikogenolisis dan proteolisis diotot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino
merupakan bahan baku glukogenesis Epinefrin juga meningkatkan
glukoneogenesis diginjal yang pada keadaan tertentu merupakan 25% produksi
glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, walaupun kecil hati juga
menunjukkan kemampuan otoregulasi (Price, 2006).
Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang
berlangsung lama, dengan cara melawan kerja insulin dijaringa perifer serta
4
meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone dan kortisol pada
individu menimbulkan hipoglikemia yang umumnya ringan Corwin, 2000).
Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar
glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila
sekresi glukagon dan epinefrin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak
terjadi (Soewondo, 2009).
Pengaruh sel β pancreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat
sekresi insulin dan turunnya kadar insulin didalam sel β berperan dalam sekresi
glikagon oleh sel α. Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respon
fisiologi utama terhadap hipoglikemia terletak dineuron hipotalamus ventromedial
(VMH). Neuron-neuron di VMH responsive terhadap glukosa, sebagian
responsive terhadap hipoglikemia (Permana, 2007).
Neuron-neuron tersebut diproyeksi ke area yang berkaitan dengan aktivitas
pituitary adrenal dan system simpatis. Tampaknya respon fisiologiutama terhadap
hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang sensitive
terhadapglukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan system saraf otonomik
dan melepaskan hormone-hormon kontra regulator (Permana, 2007).
4. Patofisiologi
5
5. Karakteristik diagnostik hipoglikemia
Karakteristik diagnostik hipoglikemia ditentukan berdasarkan pada trias
wipple sebagai berikut
1. Terdapat tanda – tanda hipoglikemia
2. Kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl
3. Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah
6. Klasifikasi dan manifestasi klinis hipoglikemia
Klasifikasi dan manifestasi klinis dari hipoglikemia sebagai berikut
1. Ringan :
a. Dapat diatasi sendiri dan tidak mengganggu aktivitas sehari – hari
b. Penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf simpatis sehingga
mensekresikan adrenalin, sehingga menyebabkan tremor, takikardia,
palpitasi, gelisah
c. penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf simpatis sehingga merasa
lapar, mual, dan tekanan darah turun.
2. Sedang :
a. Dapat diatasi sendiri, mengganggu aktivitas sehari – hari.
b. Otak mulai kurang mendapat glukosa sebagai sumber energi sehingga
timbul gangguan pada SSP, seperti sakit kepala, vertigo, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, perubahan emosi, perilaku irasional,
penurunan fungsi rasa, gangguan koordinasi gerak, double vision.
3. Berat :
a. Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa
b. Fungsi SSP mengalami gangguan berat, seperti disorientasi, kejang,
penurunan kesadaran.
7. Tujuan tatalaksana hipoglikemia
1. Memenuhi kadar gula darah dalam otak agar tidak terjadi kerusakan
ireversibel.
2. Tidak mengganggu regulasi DM.
6
8. Pedoman tatalaksana hipoglikemia
Menurut PERKENI (2011), pedoman tatalaksana hipoglikemia sebagai berikut:
1. Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl
2. Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (IV) 1 flakon (25cc) Dex 40% (10gr
Dex) dapat menaikkan kadar glukosa kurang lebih 25 – 30 mg/dl.
Bila hipoglikemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanakan
terutama gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap penurunan
glukosa darah. Berdasarkan stadium terapi hipoglikemi:
1. Stadium permulaan (sadar)
a. Berikan gula murni ± 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni
(bukan pemanis pengganti gula dan makanan yang mengandung
karbohidrat.
b. Stop obat hipoglikemi
c. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
d. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
e. Cari penyebab
2. Stadium lanjut (koma hipoglikemi ataub tidak sadar + curiga hipoglikemi)
a. Berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon (= 50 ml) bolus intravena
b. Diberikan cairan dextrose 10% per infuse. 6 jam per kolf
c. Periksa GD sewaktu, kalau memungkinkan dengan glukometer.
Bila GDs < 50 mg/dl, bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, tambahbolus dextrose 40% 25ml IV
d. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian dextrose 40% :
Bila GDs < 50 mg/dl , tambah bolus dextrose 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg/dl, bolus dextrose 40% 25 ml IV
Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus dextrose 40%
Bila GDs >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
dextrose 10%.
e. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs
setiap 2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl,
pertimbangkan mengganti infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
7
Glukosa oral
Ketika diagnosa hipoglikemia sudah ditegakan melalui darah kapiler,
selanjutnya segera diberikan 10-20 g glukosa oral. Sebaiknya diberikan dalam
bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa. Bila
belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g
karbohidrat kompleks (Perkeni, 2011).
Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan gawat, pemberian
madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut dapat dilakukan.
Glukagon intramuscular
Pemberian glucagon 1 mg IM (Intramuscular) biasanya dilakukan oleh
tenga professional terlatih karena responya cepat sama seperti pemberian
glukosa intravena akan terlihat dalam waktu 10 menit. Ketika pasien sudah
sadar dilanjutkan pemberian glukosa 20 gr dan dilanjutkan dengan pemberian
40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada
keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia yang diinduksi alcohol,
pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektivitas glukagon tergantung
dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi (Soewondo, 2009).
Glukagon intravena
Pemberian glukosa dengan konsentrasi 50% harus berhati-hati terlalu
toksik untuk jaringan dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.
Glukosa 20% 75-100 ml atau glukosa 10% 150-200 ml dianggap lebih aman.
Periksa kadar gula lagi, 30 menit sesudah injeksi IV
1. Sesudah bolus 3 atau 2 atau 1 flakon setelah 30 menit dapat diberikan 1
flakon lagi sampai 2 – 3 kali untuk mencapai kadar glukosa ≥ 120 mg/dl.
8
Alogaritma Penatalaksanaan Koma Hipoglikemia:
B. Krisis Hiperglikemia
1. Definisi
Sindroma ini mengandung trias yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan
asidemia. kriteria diagnostic menurut para ahli untuk KAD adalah pH arterial <
7,3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah > 250 mg/dL disertai
ketonemia dan ketonuria moderate (Avery, 2010).
SHH pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz pada tahun 1957.
SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi
dan dihidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan.
Osmolalitas serum dihitung dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)(mEq/L) +
glucosa (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai normalnya adalah 290 ± 5
mOsm/kg air. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda
nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7,3.
Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa
darah > 600 mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering
terjadi pada usia tua atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes
dengan onset lambat.
2. Patogenesis
9
Semua krisis hiperglikemik pada dasarnya adalah defisiensi insulin, relatif
ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin
tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk
menekan ketogenesis. Hiperglikemia sendiri sebenarnya dapat melemahkan
sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk
lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin
kurang (Corwin, 2001).
Pada KAD dan SHH, terjadi peningkatan hormon kontra insulin, seperti
glukagon, katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan disamping kurangnya
insulin yang efektif dalam darah. Hormon-hormon di atas menyebabkan
peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi
glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan
osmolaritas extracellular.
Kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon kontrainsulin
berkombinasi pada keadaan KAD yang mengakibatkan pelepasan/release asam
lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi
asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-hydroxybutyrate [ß-OHB] dan
acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan ketonemia dan asidosis
metabolic (Reinauer, 2011).
KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis
osmotik sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar. Para ahli juga
ada yang mengatakan SHH mungkin juga disebabkan oleh konsentrasi hormon
insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan
yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat (dibuktikan dengan C-
peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, akan tetapi bukti-
bukti untuk teori ini masih lemah. (Gaglia, 2011).
3. Faktor Pencetus
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 terjadi karena ada factor
pencetusnya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :
1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh
infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius,
Abses, Sepsis
10
2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, infark miokard akut,
emboli paru, thrombosis V.Mesenterika.
3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.
4. Heat stroke.
5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, kholesistitis akut, obstruksi
intestinal
6. Obat-obatan : Diuretika, steroid dan lain-lain
Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena penghentian
insulin dan pengobatan yang tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40%
kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1, permasalahan psikologis yang
diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang
mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong penghentian suntikan
insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada
keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam
hypoglikemia dan stres akibat penyakit kronis (Rucker, 2010).
4. Patofisiologi
11
Sindrome hiperglikemia hiperosmolar non ketotik menggambarkan
kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin
menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi
akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan
glycogenesis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar
glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik
cairan intraseluler ke dalam intra vaskuler, yang dapat menurunkan volume cairan
intraseluler. Bila pasien tidak merasa sensasi haus akan menyebabkan kekurangan
cairan (King, 2010).
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal sehingga
timbul glukosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan
(poliuria). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan
dan diikuti hilangnya potasium, sodium dan phospat (Price, 2006).
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi
glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal
tidak dapat menahan hiperglikemia ini, karena ambang batas untuk gula darah
adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemia maka ginjal tidak bisa
12
menyaring air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut
glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria makan sejumlah air hilang dalam urine
yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra seluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasa haus terus menerus, sehingga
pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar
hiperglikemia. Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya
transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan
karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk
melakukan pembakaran dalam tubuh, maka pasien akan merasa lapar sehingga
menyebabkan banyak makan yang disebut polifagia (Corwin, 2000).
Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homeostasis akan
mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan
dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena gangguan transport oksigen
ke otak dan kecenderungan menjadi koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan
viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah,
tromboemboli, infark cerebral dan jantung.
5. Diagnosis
Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala umum adalah haus, kulit terasa hangat dan kering, mual
dan muntah, nafsu makan menurun (penurunan berat badan), nyeri abdomen,
pusing, pandangan kabur , banyak kencing, mudah lelah, polidipsi, penurunan
kesadaran, poliuri.
Gejala-gejala meliputi:
1. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma
2. Poliuria selama 1-3 hari sebelum gejala klinis timbul
3. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau nafas
4. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi)
5. Peningkatan glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 md/dl
6. Kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal
7. Hipernatremia
13
8. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak
adekuat
9. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disoerientasi, kejang
setempat)
10. Kerusakan fungsi ginjal
11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L
12. Kadar CO2 normal
13. Kalium serum biasanya normal
14. Tidak ada ketonemia
15. Asidosis ringan
Pemeriksaan Laboratorik
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH
meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton,
elektrolit, osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas
darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram.
Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan
dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi (ADA, 2009).
HBA1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini
adalah akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM
yang tidak terkontrol ,atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan
baik. Foto thorax harus dikerjakan jika ada indikasi (Reinauer, 2011).
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena
perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular
dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh
karena pergeseran kalium extracellular yang disebabkan oleh kekurangan hormon
insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum
rendah atau low-normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang
berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring
jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium
lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung (Noris, 2010).
14
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas
efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab
perubahan status mental.
6. Terapi
Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit, identifikasi komorbid yang
merupakan faktor presipitasi dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan
monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah
pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik (Perkeni, 2011).
Terapi cairan:
1. Pasien Orang dewasa.
Terapi cairan salah satu tujuannya adalah untuk memperbaiki volume
intravaskular dan extravascular serta mempertahankan perfusi ginjal. Terapi
cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada
insulin.
NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau
lebih besar pada jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa) pada
keadaan kelainan jantung. Pilihan lain untuk mengganti cairan tergantung
pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Pada
umumnya, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium
serum meningkat atau normal. NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang
sama jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka
perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai
pasien stabil dan dapat diberikan secara oral (Askandar, 2010).
Keberhasilan penggantian cairan dapat dipantau dengan me;lihat
hemodinamik yaitu perbaikan dalam tekanan darah, pengukuran input/output
cairan, dan pemeriksaan fisik. Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan
status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk
menghindari overload yang iatrogenic.
2. Pasien berusia < 20 tahun
15
Terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan volume vaskuler
namun harus diperhatikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena
pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam pemberiannya, 1 jam pertama
cairan yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam. Pada
pasien dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal
pemberian tidak melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama pemberian terapi.
Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan dalam
48 jam. Pada umumnya NaCl, 0.45–0.9% (tergantung pada kadar serum
natrium) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan pemeliharaan
selama 24 jam ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan
penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm/kg (Askandar, 2010).
Jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka
perlu diberikan 20–40 mEq/l kalium (2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3
KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi
dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas
(ADA, 2004).
Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat
dengan cepat mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang
iatrogenik, yang dapat mengakibatkan edema cerebral (ADA, 2010).
Terapi Insulin
Jika dalam KAD ringan, insulin reguler diberikan dengan infus intravena
secara bertahap adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada
hipokalemia (K+ < 3.3 mEq/l), maka pemberian insulin intravena secara bolus
dengan dosis 0.15 unit/kgbb, kemudian diikuti pemberian insulin reguler secara
infus intravena (drip) yang kontinu dengan dosis 0.1 unit/kg/jam ( 5–7 unit/jam
pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien
pediatric. Pada pasien pediatric pemberian insulin reguler dengan infus intravena
secara kontinu dengan dosis 0.1 unit/kg/jam. Dosis insulin rendah ini pada
umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75mg/dl,
sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi.
Apabila plasma glukosa tidak menurun sebanyak 50 mg/dl pada jam pertama,
periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat dinaikan dua kali lipat
16
tiap jam sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam
dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk
SHH, dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit/kg (3–6 units/jam), dan
dextrose (5–10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin
atau konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar
glukosa sampai asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada
SHH membaik (Noris, 2010).
Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4 jam
untuk memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan
pH vena. Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang. pH
vena (pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat
diikuti, untuk memonitor resolusi asidosis (Omrani, 2004).
Insulin reguler baik secara subkutan maupun intramuskular tiap jam adalah
sama efektif seperti pemberian intravena dalam menurunkan glukosa darah dan
benda keton pada KAD yang ringan. Pada tahap pertama diberikan dosis dasar
sebanyak 0.4–0.6 units/kgbb, dibagi menjadi 2 tahap, separuh sebagai suntikan
bolus intravena, dan setengah secara subkutan atau intramuskular. Kemudian 0.1
unit/kg insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular (ADA, 2010).
Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat
serum > 18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih
NPO (Nothing Per Oral), insulin intravena yang kontinyu dan penggantian cairan
dilanjutkan dan ditambah dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap
4 jam (Avery, 2010).
Ketika pasien sudah bisa makan (peroral), jadwal multiple-dose harus
dimulai menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin
kerja menengah atau lama untuk mengendalikan glukosa plasma. Pemberian
insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam setelah regimen campuran insulin
dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup (Askandar, 2010).
Pasien dengan diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis seperti sebelum
mereka terkena serangan KAD atau SHH. Pada pasien diabetes yang baru, total
insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–1.0 unit, dibagi menjadi sedikitnya dua
17
dosis dalam bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai
suatu dosis optimal yang diinginkan. Akan tetapi perlu diingat bahwa dosis insulin
ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita - penderita DM tipe 2 yang
bisa diberi obat antihiperglikemia oral dan pengaturan diit (ADA, 2004).
Kalium
Penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar dalam darah dibawah 3
mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium (2/3 KCl
dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan
konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang
menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian,
kalium penggantian harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi
insulin harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari
aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan (Askandar, 2010).
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai
sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin,
koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi
kalium serum (Rucker, 2010).
Bikarbonat
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi.
Pada pH > 7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang
tanpa penambahan bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan
adanya keuntungan atau perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan
pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1. Tidak
ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada KAD
dengan pH < 6.9.
Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi
sangat bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium
bikarbonat. Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum;
oleh karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti
diuraikan di atas dan harus dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah
18
vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus
diulangi tiap 2 jam jika perlu (King, 2010).
Fosfat
Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat
berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal
membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD, dan
pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat
tanpa adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung
dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia,
penggantian fosfat kadan gkadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi
fosfat serum < 1.0 mg/dl. Bila diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat
ditambahkan ke larutan pengganti. (Permana, 2008).
Alogaritma
19
7. Komplikasi
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan
komplikasi akibat pengobatan. Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah
hipoglikemia dalam kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan,
hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin dan terapi asidosis dengan
bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin intravena
setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan.
Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi disebabkan oleh
penggunaan larutan saline berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan
asidosis metabolik non-anion gap yang sementara dimana khlorida dari cairan
intravena menggantikan anion yang hilang dalam bentuk sodium dan garam-
kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia ini adalah sementara dan
secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau oliguria yang
ekstrim (Soewondo, 2009).
20
Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan
komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA.
Umumnya terjadi pada anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga
dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur
duapuluhan. Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada
SHH. Secara klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran,
dengan letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia, dan gagal
nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan
ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak ditemukan Bila terjadi gejala
klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku , angka kematian tinggi (>
70%), dengan hanya 7–14% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen.
Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan
oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi
penurunan cepat SHH (Gambert dan Pinkstaff, 2006).
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat
terapi KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan
osmotik koloid yang mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan
penurunan compliance paru-paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu
gradien oksigen alveoloarteriolar yang lebar pada saat pengukuran analisa gas
darah awal atau ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi
untuk terjadinya edema paru (Asman, 2006).
8. Pencegahan
Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan perawatan medik yang
baik, edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama
belum timbulnya penyakit. Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal
ini meliputi informasi spesifik pada:
a. Kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan
b. target glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit
c. mengobati demam dan infeksi
d. inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung
karbohidrat dan garam.
21
e. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk tidak pernah
menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat mulai sakit.
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan
anggota keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti
mengukur dan mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah
ketika glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan
dan denyut nadi permenit, dan berat badan. Pengawasan yang cukup dan sangat
membantu dari staff atau keluarga dapat mencegah terjadinya SHH dalam kaitan
dengan keadaan dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali
atau menghindari kondisi ini.
Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien mengenai tanda dan
gejala new-onset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-obatan yang
memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring glukosa dapat mengurangi
kejadian dan beratnya SHH (Rucker, 2010).
III. KESIMPULAN
1. Untuk mencegah timbulnya komplikasi menahun, ancaman timbulnya
hipoglikemia merupakan faktor limitasi utama dalam kendali glikemia pada
pasien DMT 1 dan DMT 2 yang mendapat terapi insulin.
2. Dengan mengenal gejala awal hipoglikemia pasien dan keluarga dapat
mencegah kejadian hipoglikemia yang lebih berat.
3. Ketidakmampuan pasien mengenal gejala dini hipoglikemia menyebabkan
pasien terhadap kejadian hipoglikemia.
4. Hipoglikemia akut harus segera diterapi dngan pemberian glukosa oral 10-20
g dalam bentuk larutan. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian
glukagon 1 mg IM atau 75-100 ml larutan glukosa intrvena 20% merupakan
terapi yang efektif.
22
5. krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin, relatif
ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.
6. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain Infeksi, penyakit vaskular
akut, penyakit serebrovaskuler, infark miokard akut, emboli paru, thrombosis
V.Mesenterika, trauma, luka bakar, hematom subdural, Heat stroke, kelainan
gastrointestinal: Pankreatitis akut, kholesistitis akut, obstruksi intestinal dan
obat-obatan : Diuretika, steroid.
7. Sindrom hiperglikemia hiperosmolar non ketotik menggambarkan
kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon.
8. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi,
sehingga terapi untuk krisis hiperglikemi dengan rehidrasi, pemberian Insulin,
Kalium, Fosfat dan Bikarbonat.
23
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2009. Limitations of A1C as The Recomended Means of Diagnosing Diabetes. Diabetes Care. 32 (7).
Asman 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: balai
penerbit FKUI.
Askandar. 2010. Basic Principles of Parenteral Nutrition for Diabetic Patients. Surabaya.
Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus. American Diabetes Association. Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.
Avery, Robert. 2010. Acidosis And Alkalosis. Robert A very reviews.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly.
Med Cli N Am 88: 1063-1084, 2011.
Gambert & Pinkstaff. 2006. Emerging Epidemic : Diabetes in Older Adults : Demography, Economic Impact, and Pathofisiology. Diabetes Spectrum Vol 19, No 4
King, Michael W. 2010. Definition of Diabetic Ketoacidosis. Medical Biochemistry.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius.
Noris and Engelgau. 2010. Effectiveness of Self-Management Training in type 2 diabetes, a systemic review of rando. Diabetes care.
Omrani, Gholamhoessin R., et al. 2004. Hyperglicemic crisis in patients with diabetes. Diabetes Care 2001; 24:131-53
Perkeni, 2011. Konsensus pengelolaan diabetes mellitus di Indonesia. Perkeni, Jakarta.
Permana, Hikmat. 2007. Komplikasi kronik Dan Penyakit Penyerta Pada Diabetes Melitus. Divisi Endokrinologi and Metabolisme, departemen penyakit dalam, fakultas kedokteran universitas Padjajaran, Bandung.
Peterson & Shulman. 2009. Etiology of insulin resistence. Am J Med. 119: 10S-16S
24
Price, sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Reinauer, Hans and Patricia Kaiser. 2011. Diabetes mellitus : The Long way of standardization of HbA1c to the level of highest metrological order. German Medical Science, vol. 9. 1-4.
Rucker, W. Donald. 2010. Diabetic Ketoacidosis. Emergency Medicine.
Soewondo, Pradana. 2009. Koma hiperosmolar hiperglikemia non ketotik. Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : Interna Publishing FKUI.
25