refrat

37
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Resiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, dimana kadar insulin diantara dua makan dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman (King, 2010). Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan (Noris, 2001). Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak karena otak hanya menyimpan glukosa dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi system saraf pusat, gangguan kognisi dan koma (Permana, 2007). Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang dilaksanakan pada pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat terapi insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang 1

Upload: dwi-p-ramadhani

Post on 29-May-2017

218 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa

menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Resiko hipoglikemia timbul akibat

ketidaksempurnaan terapi saat ini, dimana kadar insulin diantara dua makan dan

pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis

tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman (King, 2010).

Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting

dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan

glukosa yang berkelanjutan (Noris, 2001). Glukosa merupakan bahan bakar

metabolisme yang utama untuk otak karena otak hanya menyimpan glukosa dalam

jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan

glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari

beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi system saraf pusat, gangguan

kognisi dan koma (Permana, 2007).

Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang

dilaksanakan pada pasien diabetes tipe 1, kejadian hipoglikemia berat tercatat

pada 60 pasien/tahun pada kelompok yang mendapat terapi insulin intensif

dibandingkan dengan 20 pasien/tahun pada pasien yang mendapat terapi

konvensional. Sebaliknya dengan kriteria yang berbeda kelompok the Dusseldorf

mendapat kejadian hipoglikemia yang berat didapatkan pada 28 dengan terapi

insulin intensif dan 17 dengan terapi konvensional (King, 2010).

Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia yang ringan seringkali

hanya dianggap sebagai konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak dapat

dihindari. Walaupun demikian, hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan karena

potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia yang lebih berat (Mansjour, 2010)

Selain koma hipoglikemi, krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut

yang dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2.

Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun

pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk

ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau

1

Page 2: Refrat

kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan

yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang

berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar

glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni (Omrani, 2004).

B. Tujuan dan Manfaat

1. Mengetahui pengertian koma hipoglikemia dan krisis Hiperglikemia

2. Mengetahui manifestasi klinik koma Hipoglikemia dan krisis

Hiperglikemia

3. Mengetahui cara mendiagnosis koma Hipoglikemia dan krisis

Hiperglikemia

4. Mengetahui penatalaksanaan medis koma Hipoglikemia dan krisis

Hiperglikemia

2

Page 3: Refrat

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Krisis Hipoglikemia

1. Definisi

Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah

normal. Kadar glukosa darah < 60mg/dl atau kadar glukosa darah <80

mg/dl dengan gejala klinis (ADA, 2009).

Walaupun kadar glukosa plasma puasa pada orang normal jarang

melampaui 99 mg% (5,5 mmol/L), tetapi kadar < 108 mg% (6 mmol/L)

masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi

dibandingkan dengan kadar glukosa darah keseluruhan karena eritrosit

mengandung kadar glukosa yang relative lebih rendah. Kadar glukosa

arteri lebih tinggi dibandingkan dengan vena, sedangkan kadar glukosa

darah kapiler diantara kadar arteri dan vena (Gaglia, 2011).

Pada individu normal, sesudah puasa semalaman kadar glukosa

darah jarang lebih rendah dari 4 mmol/L, tetapi kadar kurang dari 50 mg

% (2,8 mmol/L) pernah dilaporkan dijumpai sesudah puasa yang

berlangsung lebih lama. Hipoglikemia spontan yang patologis mungkin

terjadi pada tumor yang mensekresi insulin atau insulin-like growth

factor (IGF). Dalam hal ini diagnosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar

glukosa < 50 mg% atau bahkan 40 mg%. Walaupun demikian berbagai

studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat

terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L) lebih lanjut

diketahui bahwa kadar glukosa darah 55mg% yang terjadi berulang kali

merusak mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih

berat. Gejala hipoglikemi dapat ringan berupa gelisah sampai berat

berupa koma disertai kejang (Perkeni, 2011).

3

Page 4: Refrat

2. Penyebab

Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes dan non diabetes

dengan etiologi sebagai berikut:

a) Pada diabetes

1. Overdose insulin

2. Asupan makanan kurang atau output yang berlebihan

3. Aktivitas berlebihan

4. Gagal ginjal

5. Hipotiroid

b) Pada non diabetes

1. Peningkatan produksi insulin

2. Pasca aktivitas

3. Konsumsi makanan yang sedikit kalori

4. Konsumsi alkohol

5. Pasca melahirkan

6. Post gastrectomy

7. Penggunaan obat – obatan dalam jumlah besar

3. Proteksi fisiologi melawan hipoglikemia

Mekanisme kontra regulator glukagon dan epinefrin merupakan dua

hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja

dihati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian

glukoneogenesis. Epineferin selain meningkatkan glikogenolisis dan

glukoneogenesis dihati juga menyebabkan lipolisis dijaringan lemak serta

glikogenolisis dan proteolisis diotot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino

merupakan bahan baku glukogenesis Epinefrin juga meningkatkan

glukoneogenesis diginjal yang pada keadaan tertentu merupakan 25% produksi

glukosa tubuh. Pada keadaan hipoglikemia yang berat, walaupun kecil hati juga

menunjukkan kemampuan otoregulasi (Price, 2006).

Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang

berlangsung lama, dengan cara melawan kerja insulin dijaringa perifer serta

4

Page 5: Refrat

meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone dan kortisol pada

individu menimbulkan hipoglikemia yang umumnya ringan Corwin, 2000).

Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar

glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila

sekresi glukagon dan epinefrin dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak

terjadi (Soewondo, 2009).

Pengaruh sel β pancreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat

sekresi insulin dan turunnya kadar insulin didalam sel β berperan dalam sekresi

glikagon oleh sel α. Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa respon

fisiologi utama terhadap hipoglikemia terletak dineuron hipotalamus ventromedial

(VMH). Neuron-neuron di VMH responsive terhadap glukosa, sebagian

responsive terhadap hipoglikemia (Permana, 2007).

Neuron-neuron tersebut diproyeksi ke area yang berkaitan dengan aktivitas

pituitary adrenal dan system simpatis. Tampaknya respon fisiologiutama terhadap

hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang sensitive

terhadapglukosa teraktivasi dan kemudian mengaktifkan system saraf otonomik

dan melepaskan hormone-hormon kontra regulator (Permana, 2007).

4. Patofisiologi

5

Page 6: Refrat

5. Karakteristik diagnostik hipoglikemia

Karakteristik diagnostik hipoglikemia ditentukan berdasarkan pada trias

wipple sebagai berikut

1. Terdapat tanda – tanda hipoglikemia

2. Kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl

3. Gejala akan hilang seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah

6. Klasifikasi dan manifestasi klinis hipoglikemia

Klasifikasi dan manifestasi klinis dari hipoglikemia sebagai berikut

1. Ringan :

a. Dapat diatasi sendiri dan tidak mengganggu aktivitas sehari – hari

b. Penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf simpatis sehingga

mensekresikan adrenalin, sehingga menyebabkan tremor, takikardia,

palpitasi, gelisah

c. penurunan glukosa (stresor) merangsang saraf simpatis sehingga merasa

lapar, mual, dan tekanan darah turun.

2. Sedang :

a. Dapat diatasi sendiri, mengganggu aktivitas sehari – hari.

b. Otak mulai kurang mendapat glukosa sebagai sumber energi sehingga

timbul gangguan pada SSP, seperti sakit kepala, vertigo, gangguan

konsentrasi, penurunan daya ingat, perubahan emosi, perilaku irasional,

penurunan fungsi rasa, gangguan koordinasi gerak, double vision.

3. Berat :

a. Membutuhkan orang lain dan terapi glukosa

b. Fungsi SSP mengalami gangguan berat, seperti disorientasi, kejang,

penurunan kesadaran.

7. Tujuan tatalaksana hipoglikemia

1. Memenuhi kadar gula darah dalam otak agar tidak terjadi kerusakan

ireversibel.

2. Tidak mengganggu regulasi DM.

6

Page 7: Refrat

8. Pedoman tatalaksana hipoglikemia

Menurut PERKENI (2011), pedoman tatalaksana hipoglikemia sebagai berikut:

1. Glukosa diarahkan pada kadar glukosa puasa yaitu 120 mg/dl

2. Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (IV) 1 flakon (25cc) Dex 40% (10gr

Dex) dapat menaikkan kadar glukosa kurang lebih 25 – 30 mg/dl.

Bila hipoglikemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanakan

terutama gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap penurunan

glukosa darah. Berdasarkan stadium terapi hipoglikemi:

1. Stadium permulaan (sadar)

a. Berikan gula murni ± 30 gr (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni

(bukan pemanis pengganti gula dan makanan yang mengandung

karbohidrat.

b. Stop obat hipoglikemi

c. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam

d. Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)

e. Cari penyebab

2. Stadium lanjut (koma hipoglikemi ataub tidak sadar + curiga hipoglikemi)

a. Berikan larutan dextrose 40% sebanyak 2 flakon (= 50 ml) bolus intravena

b. Diberikan cairan dextrose 10% per infuse. 6 jam per kolf

c. Periksa GD sewaktu, kalau memungkinkan dengan glukometer.

Bila GDs < 50 mg/dl, bolus dextrose 40% 50 ml IV

Bila GDs < 100 mg/dl, tambahbolus dextrose 40% 25ml IV

d. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian dextrose 40% :

Bila GDs < 50 mg/dl , tambah bolus dextrose 40% 50 ml IV

Bila GDs < 100 mg/dl, bolus dextrose 40% 25 ml IV

Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus dextrose 40%

Bila GDs >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip

dextrose 10%.

e. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs

setiap 2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl,

pertimbangkan mengganti infuse dextrose 5% atau NaCl 0,9%.

7

Page 8: Refrat

Glukosa oral

Ketika diagnosa hipoglikemia sudah ditegakan melalui darah kapiler,

selanjutnya segera diberikan 10-20 g glukosa oral. Sebaiknya diberikan dalam

bentuk tablet, jelly atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa. Bila

belum ada jadwal makan dalam 1-2 jam perlu diberikan tambahan 10-20 g

karbohidrat kompleks (Perkeni, 2011).

Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan gawat, pemberian

madu atau gel glukosa lewat mukosa rongga mulut dapat dilakukan.

Glukagon intramuscular

Pemberian glucagon 1 mg IM (Intramuscular) biasanya dilakukan oleh

tenga professional terlatih karena responya cepat sama seperti pemberian

glukosa intravena akan terlihat dalam waktu 10 menit. Ketika pasien sudah

sadar dilanjutkan pemberian glukosa 20 gr dan dilanjutkan dengan pemberian

40 g karbohidrat dalam bentuk tepung untuk mempertahankan pemulihan. Pada

keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia yang diinduksi alcohol,

pemberian glukagon mungkin tidak efektif. Efektivitas glukagon tergantung

dari stimulasi glikogenolisis yang terjadi (Soewondo, 2009).

Glukagon intravena

Pemberian glukosa dengan konsentrasi 50% harus berhati-hati terlalu

toksik untuk jaringan dapat menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.

Glukosa 20% 75-100 ml atau glukosa 10% 150-200 ml dianggap lebih aman.

Periksa kadar gula lagi, 30 menit sesudah injeksi IV

1. Sesudah bolus 3 atau 2 atau 1 flakon setelah 30 menit dapat diberikan 1

flakon lagi sampai 2 – 3 kali untuk mencapai kadar glukosa ≥ 120 mg/dl.

8

Page 9: Refrat

Alogaritma Penatalaksanaan Koma Hipoglikemia:

B. Krisis Hiperglikemia

1. Definisi

Sindroma ini mengandung trias yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan

asidemia. kriteria diagnostic menurut para ahli untuk KAD adalah pH arterial <

7,3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah > 250 mg/dL disertai

ketonemia dan ketonuria moderate (Avery, 2010).

SHH pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz pada tahun 1957.

SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi

dan dihidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan.

Osmolalitas serum dihitung dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)(mEq/L) +

glucosa (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai normalnya adalah 290 ± 5

mOsm/kg air. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda

nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7,3.

Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa

darah > 600 mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering

terjadi pada usia tua atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes

dengan onset lambat.

2. Patogenesis

9

Page 10: Refrat

Semua krisis hiperglikemik pada dasarnya adalah defisiensi insulin, relatif

ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin

tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk

menekan ketogenesis. Hiperglikemia sendiri sebenarnya dapat melemahkan

sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk

lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin

kurang (Corwin, 2001).

Pada KAD dan SHH, terjadi peningkatan hormon kontra insulin, seperti

glukagon, katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan disamping kurangnya

insulin yang efektif dalam darah. Hormon-hormon di atas menyebabkan

peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi

glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan

osmolaritas extracellular.

Kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon kontrainsulin

berkombinasi pada keadaan KAD yang mengakibatkan pelepasan/release asam

lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi

asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-hydroxybutyrate [ß-OHB] dan

acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan ketonemia dan asidosis

metabolic (Reinauer, 2011).

KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis

osmotik sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar. Para ahli juga

ada yang mengatakan SHH mungkin juga disebabkan oleh konsentrasi hormon

insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan

yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat (dibuktikan dengan C-

peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, akan tetapi bukti-

bukti untuk teori ini masih lemah. (Gaglia, 2011).

3. Faktor Pencetus

Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 terjadi karena ada factor

pencetusnya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :

1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh

infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius,

Abses, Sepsis

10

Page 11: Refrat

2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, infark miokard akut,

emboli paru, thrombosis V.Mesenterika.

3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.

4. Heat stroke.

5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, kholesistitis akut, obstruksi

intestinal

6. Obat-obatan : Diuretika, steroid dan lain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena penghentian

insulin dan pengobatan yang tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40%

kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1, permasalahan psikologis yang

diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang

mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong penghentian suntikan

insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada

keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam

hypoglikemia dan stres akibat penyakit kronis (Rucker, 2010).

4. Patofisiologi

11

Page 12: Refrat

Sindrome hiperglikemia hiperosmolar non ketotik menggambarkan

kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin

menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi

akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan

glycogenesis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar

glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik

cairan intraseluler ke dalam intra vaskuler, yang dapat menurunkan volume cairan

intraseluler. Bila pasien tidak merasa sensasi haus akan menyebabkan kekurangan

cairan (King, 2010).

Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal sehingga

timbul glukosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan

(poliuria). Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan

dan diikuti hilangnya potasium, sodium dan phospat (Price, 2006).

Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi

glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal

tidak dapat menahan hiperglikemia ini, karena ambang batas untuk gula darah

adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemia maka ginjal tidak bisa

12

Page 13: Refrat

menyaring air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut

glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria makan sejumlah air hilang dalam urine

yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra seluler, hal ini akan

merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasa haus terus menerus, sehingga

pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun

mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar

hiperglikemia. Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya

transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan

karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk

melakukan pembakaran dalam tubuh, maka pasien akan merasa lapar sehingga

menyebabkan banyak makan yang disebut polifagia (Corwin, 2000).

Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homeostasis akan

mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan

dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena gangguan transport oksigen

ke otak dan kecenderungan menjadi koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan

viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah,

tromboemboli, infark cerebral dan jantung.

5. Diagnosis

Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala umum adalah haus, kulit terasa hangat dan kering, mual

dan muntah, nafsu makan menurun (penurunan berat badan), nyeri abdomen,

pusing, pandangan kabur , banyak kencing, mudah lelah, polidipsi, penurunan

kesadaran, poliuri.

Gejala-gejala meliputi:

1. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma

2. Poliuria selama 1-3 hari sebelum gejala klinis timbul

3. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau nafas

4. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi)

5. Peningkatan glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 md/dl

6. Kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal

7. Hipernatremia

13

Page 14: Refrat

8. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak

adekuat

9. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disoerientasi, kejang

setempat)

10. Kerusakan fungsi ginjal

11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L

12. Kadar CO2 normal

13. Kalium serum biasanya normal

14. Tidak ada ketonemia

15. Asidosis ringan

Pemeriksaan Laboratorik

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH

meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton,

elektrolit, osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas

darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram.

Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan

dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi (ADA, 2009).

HBA1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini

adalah akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM

yang tidak terkontrol ,atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan

baik. Foto thorax harus dikerjakan jika ada indikasi (Reinauer, 2011).

Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena

perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular

dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh

karena pergeseran kalium extracellular yang disebabkan oleh kekurangan hormon

insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum

rendah atau low-normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang

berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring

jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium

lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung (Noris, 2010).

14

Page 15: Refrat

Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas

efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab

perubahan status mental.

6. Terapi

Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi dehidrasi,

hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit, identifikasi komorbid yang

merupakan faktor presipitasi dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan

monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah

pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik (Perkeni, 2011).

Terapi cairan:

1. Pasien Orang dewasa.

Terapi cairan salah satu tujuannya adalah untuk memperbaiki volume

intravaskular dan extravascular serta mempertahankan perfusi ginjal. Terapi

cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada

insulin.

NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau

lebih besar pada jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa) pada

keadaan kelainan jantung. Pilihan lain untuk mengganti cairan tergantung

pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Pada

umumnya, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium

serum meningkat atau normal. NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang

sama jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka

perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai

pasien stabil dan dapat diberikan secara oral (Askandar, 2010).

Keberhasilan penggantian cairan dapat dipantau dengan me;lihat

hemodinamik yaitu perbaikan dalam tekanan darah, pengukuran input/output

cairan, dan pemeriksaan fisik. Pada pasien dengan gangguan ginjal atau

jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan

status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk

menghindari overload yang iatrogenic.

2. Pasien berusia < 20 tahun

15

Page 16: Refrat

Terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan volume vaskuler

namun harus diperhatikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena

pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam pemberiannya, 1 jam pertama

cairan yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam. Pada

pasien dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal

pemberian tidak melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama pemberian terapi.

Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan dalam

48 jam. Pada umumnya NaCl, 0.45–0.9% (tergantung pada kadar serum

natrium) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan pemeliharaan

selama 24 jam ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan

penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm/kg (Askandar, 2010).

Jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka

perlu diberikan 20–40 mEq/l kalium (2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3

KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi

dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas

(ADA, 2004).

Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat

dengan cepat mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang

iatrogenik, yang dapat mengakibatkan edema cerebral (ADA, 2010).

Terapi Insulin

Jika dalam KAD ringan, insulin reguler diberikan dengan infus intravena

secara bertahap adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada

hipokalemia (K+ < 3.3 mEq/l), maka pemberian insulin intravena secara bolus

dengan dosis 0.15 unit/kgbb, kemudian diikuti pemberian insulin reguler secara

infus intravena (drip) yang kontinu dengan dosis 0.1 unit/kg/jam ( 5–7 unit/jam

pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien

pediatric. Pada pasien pediatric pemberian insulin reguler dengan infus intravena

secara kontinu dengan dosis 0.1 unit/kg/jam. Dosis insulin rendah ini pada

umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75mg/dl,

sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi.

Apabila plasma glukosa tidak menurun sebanyak 50 mg/dl pada jam pertama,

periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat dinaikan dua kali lipat

16

Page 17: Refrat

tiap jam sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam

dicapai.

Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk

SHH, dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit/kg (3–6 units/jam), dan

dextrose (5–10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin

atau konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar

glukosa sampai asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada

SHH membaik (Noris, 2010).

Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4 jam

untuk memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan

pH vena. Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang. pH

vena (pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat

diikuti, untuk memonitor resolusi asidosis (Omrani, 2004).

Insulin reguler baik secara subkutan maupun intramuskular tiap jam adalah

sama efektif seperti pemberian intravena dalam menurunkan glukosa darah dan

benda keton pada KAD yang ringan. Pada tahap pertama diberikan dosis dasar

sebanyak 0.4–0.6 units/kgbb, dibagi menjadi 2 tahap, separuh sebagai suntikan

bolus intravena, dan setengah secara subkutan atau intramuskular. Kemudian 0.1

unit/kg insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular (ADA, 2010).

Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat

serum > 18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih

NPO (Nothing Per Oral), insulin intravena yang kontinyu dan penggantian cairan

dilanjutkan dan ditambah dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap

4 jam (Avery, 2010).

Ketika pasien sudah bisa makan (peroral), jadwal multiple-dose harus

dimulai menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin

kerja menengah atau lama untuk mengendalikan glukosa plasma. Pemberian

insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam setelah regimen campuran insulin

dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup (Askandar, 2010).

Pasien dengan diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis seperti sebelum

mereka terkena serangan KAD atau SHH. Pada pasien diabetes yang baru, total

insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–1.0 unit, dibagi menjadi sedikitnya dua

17

Page 18: Refrat

dosis dalam bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai

suatu dosis optimal yang diinginkan. Akan tetapi perlu diingat bahwa dosis insulin

ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita - penderita DM tipe 2 yang

bisa diberi obat antihiperglikemia oral dan pengaturan diit (ADA, 2004).

Kalium

Penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar dalam darah dibawah 3

mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium (2/3 KCl

dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan

konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang

menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian,

kalium penggantian harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi

insulin harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari

aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan (Askandar, 2010).

Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai

sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin,

koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi

kalium serum (Rucker, 2010).

Bikarbonat

Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi.

Pada pH > 7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang

tanpa penambahan bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan

adanya keuntungan atau perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan

pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1. Tidak

ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada KAD

dengan pH < 6.9.

Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi

sangat bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium

bikarbonat. Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.

Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum;

oleh karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti

diuraikan di atas dan harus dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah

18

Page 19: Refrat

vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus

diulangi tiap 2 jam jika perlu (King, 2010).

Fosfat

Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat

berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal

membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD, dan

pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat

tanpa adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung

dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia,

penggantian fosfat kadan gkadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan

jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi

fosfat serum < 1.0 mg/dl. Bila diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat

ditambahkan ke larutan pengganti. (Permana, 2008).

Alogaritma

19

Page 20: Refrat

7. Komplikasi

Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan

komplikasi akibat pengobatan. Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah

hipoglikemia dalam kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan,

hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin dan terapi asidosis dengan

bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin intravena

setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan.

Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi disebabkan oleh

penggunaan larutan saline berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan

asidosis metabolik non-anion gap yang sementara dimana khlorida dari cairan

intravena menggantikan anion yang hilang dalam bentuk sodium dan garam-

kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia ini adalah sementara dan

secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau oliguria yang

ekstrim (Soewondo, 2009).

20

Page 21: Refrat

Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan

komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA.

Umumnya terjadi pada anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga

dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur

duapuluhan. Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada

SHH. Secara klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran,

dengan letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara

cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia, dan gagal

nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan

ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak ditemukan Bila terjadi gejala

klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku , angka kematian tinggi (>

70%), dengan hanya 7–14% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen.

Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan

oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi

penurunan cepat SHH (Gambert dan Pinkstaff, 2006).

Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat

terapi KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan

osmotik koloid yang mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan

penurunan compliance paru-paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu

gradien oksigen alveoloarteriolar yang lebar pada saat pengukuran analisa gas

darah awal atau ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi

untuk terjadinya edema paru (Asman, 2006).

8. Pencegahan

Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan perawatan medik yang

baik, edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama

belum timbulnya penyakit. Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal

ini meliputi informasi spesifik pada:

a. Kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan

b. target glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit

c. mengobati demam dan infeksi

d. inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung

karbohidrat dan garam.

21

Page 22: Refrat

e. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk tidak pernah

menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat mulai sakit.

Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan

anggota keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti

mengukur dan mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah

ketika glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan

dan denyut nadi permenit, dan berat badan. Pengawasan yang cukup dan sangat

membantu dari staff atau keluarga dapat mencegah terjadinya SHH dalam kaitan

dengan keadaan dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali

atau menghindari kondisi ini.

Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien mengenai tanda dan

gejala new-onset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-obatan yang

memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring glukosa dapat mengurangi

kejadian dan beratnya SHH (Rucker, 2010).

III. KESIMPULAN

1. Untuk mencegah timbulnya komplikasi menahun, ancaman timbulnya

hipoglikemia merupakan faktor limitasi utama dalam kendali glikemia pada

pasien DMT 1 dan DMT 2 yang mendapat terapi insulin.

2. Dengan mengenal gejala awal hipoglikemia pasien dan keluarga dapat

mencegah kejadian hipoglikemia yang lebih berat.

3. Ketidakmampuan pasien mengenal gejala dini hipoglikemia menyebabkan

pasien terhadap kejadian hipoglikemia.

4. Hipoglikemia akut harus segera diterapi dngan pemberian glukosa oral 10-20

g dalam bentuk larutan. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian

glukagon 1 mg IM atau 75-100 ml larutan glukosa intrvena 20% merupakan

terapi yang efektif.

22

Page 23: Refrat

5. krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin, relatif

ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.

6. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain Infeksi, penyakit vaskular

akut, penyakit serebrovaskuler, infark miokard akut, emboli paru, thrombosis

V.Mesenterika, trauma, luka bakar, hematom subdural, Heat stroke, kelainan

gastrointestinal: Pankreatitis akut, kholesistitis akut, obstruksi intestinal dan

obat-obatan : Diuretika, steroid.

7. Sindrom hiperglikemia hiperosmolar non ketotik menggambarkan

kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon.

8. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi,

sehingga terapi untuk krisis hiperglikemi dengan rehidrasi, pemberian Insulin,

Kalium, Fosfat dan Bikarbonat.

23

Page 24: Refrat

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2009. Limitations of A1C as The Recomended Means of Diagnosing Diabetes. Diabetes Care. 32 (7).

Asman 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: balai

penerbit FKUI.

Askandar. 2010. Basic Principles of Parenteral Nutrition for Diabetic Patients. Surabaya.

Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus. American Diabetes Association. Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.

Avery, Robert. 2010. Acidosis And Alkalosis. Robert A very reviews.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly.

Med Cli N Am 88: 1063-1084, 2011.

Gambert & Pinkstaff. 2006. Emerging Epidemic : Diabetes in Older Adults : Demography, Economic Impact, and Pathofisiology. Diabetes Spectrum Vol 19, No 4

King, Michael W. 2010. Definition of Diabetic Ketoacidosis. Medical Biochemistry.

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius.

Noris and Engelgau. 2010. Effectiveness of Self-Management Training in type 2 diabetes, a systemic review of rando. Diabetes care.

Omrani, Gholamhoessin R., et al. 2004. Hyperglicemic crisis in patients with diabetes. Diabetes Care 2001; 24:131-53

Perkeni, 2011. Konsensus pengelolaan diabetes mellitus di Indonesia. Perkeni, Jakarta.

Permana, Hikmat. 2007. Komplikasi kronik Dan Penyakit Penyerta Pada Diabetes Melitus. Divisi Endokrinologi and Metabolisme, departemen penyakit dalam, fakultas kedokteran universitas Padjajaran, Bandung.

Peterson & Shulman. 2009. Etiology of insulin resistence. Am J Med. 119: 10S-16S

24

Page 25: Refrat

Price, sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Reinauer, Hans and Patricia Kaiser. 2011. Diabetes mellitus : The Long way of standardization of HbA1c to the level of highest metrological order. German Medical Science, vol. 9. 1-4.

Rucker, W. Donald. 2010. Diabetic Ketoacidosis. Emergency Medicine.

Soewondo, Pradana. 2009. Koma hiperosmolar hiperglikemia non ketotik. Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : Interna Publishing FKUI.

25