refrat (2)

30
Refrat Anestesiologi Penilaian Jalan Nafas: Perkiraan Kesulitan Jalan Nafas Pembimbing: dr Rizal Zainal, SpAn Oleh : Amir shahmi (54071001108) Febi Stevi Aryani (54071001093) Felly Novelia (54071001120) Ferawaty (54071001038)

Upload: naina-shin-hye

Post on 29-Nov-2015

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: refrat (2)

Refrat Anestesiologi

Penilaian Jalan Nafas: Perkiraan Kesulitan Jalan Nafas

Pembimbing:

dr Rizal Zainal, SpAn

Oleh :

Amir shahmi (54071001108)

Febi Stevi Aryani (54071001093)

Felly Novelia (54071001120)

Ferawaty (54071001038)

Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya

2011

Page 2: refrat (2)

BAB I

PEMBUKAAN

Keahlian dalam manajemen jalan napas sangat penting dalam setiap spesialisasi

kedokteran. Mempertahankan jalan napas yang paten sangat penting untuk oksigenasi dan

ventilasi yang adekuat dan kegagalan dalam melakukannya walau dalam waktu yang singkat

akan mengancam nyawa.

Kegawatan respirasi adalah kecederaan terkait anestesi yang paling biasa terjadi diikuti

kecedaraan dental. Tiga penyebab utama dari kegawatan respirasi adalah ventilasi inadekuat,

intubasi esofagus dan intubasi trakea yang sulit. 17% dari kegawatan terkait pernapasan

disebabkan kesulitan intubasi trakea. Faktanya, 28% dari semua kematian terkait anestesi

disebabkan ketidakmampuan operator dalam memberikan ventilasi dan intubasi.1

Kata-kata ‘jalan napas’ dalam kegunaan sehari-hari merujuk kepada jalan napas atas yaitu

rongga udara ekstrapulmoner yang terdiri dari hidung, mulut, faring, laring, trakea dan

bronkus besar. Jalan napas yang sulit adalah kondisi dimana terdapat masalah dalam

mewujudkan atau mempertahankan pertukaran gas melalui sungkup, jalan napas buatan atau

keduanya. Kemungkinan adanya kesulitan jalan napas harus dikenali pasti sebelum tindakan

anestesi akan memberi waktu untuk persiapan selengkapnya, pemilihan instrumen yang baik

serta teknik dan partisipasi ahli yang berpengalaman dalam penanganan jalan napas sulit.

2

Page 3: refrat (2)

BAB II

Penilaian

Penilaian jalan napas sulit pada pasien harus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan

fisik yang komprehensif.

1. Anamnesis

Faktor pengobatan, anestesi atau operasi bisa menjadi indikasi jalan napas sulit.

Beberapa kondisi yang mempersulit jalan napas ditunjukkan dalam Tabel 1. Faktor-

faktor anestesi yang bisa menyebabkan jalan napas sulit antara lain edema, luka bakar,

perdarahan, stenosis trakea atau esofagus, kompresi atau perforasi, pneumothorax atau

aspirasi isi lambung.

3

Page 4: refrat (2)

Tabel 1- Kondisi-kondisi mempersulit jalan napas

Congenital

Pierre-robin syndrome

Treacher-collins

syndrome

Goldenhar’s syndrome

Mikrognathia, Mikroglosia, sumbing palatum mole

Defek aurikular dan okular, hipoplasia malar dan mandibular

4

Page 5: refrat (2)

Down’s syndrome

Kippel-feil syndrome

Goiter

Pertumbuhan yang jelek atau tidaknya ‘nasal bridge’, makroglosia

Fusi kongenital dari berbagai tulang servikal, gerakan leher yang terbatas

Kompresi trakea, deviasi laring atau trakea

5

Page 6: refrat (2)

Infeksi

Supraglottis Croup

Abses (intraoral,

retrofaringeal)

Ludwig’s Angina

Edema laring

Distorsi jalan napas dan trismus

Distorsi jalan napas dan trismus

Arthritis

Rheumatoid arthritis

Ankylosing

spondylitis

ankylosis sendi temporomandibular, artritis krikoaterinoid, deviasi laring, mobilisasi

terbatas pada tulang servikal

Ankylosis tulang servikal, ankylosis sendi temporomandibular (jarang), mobilisasi

terbatas pada tulang servikal

Tumor jinak

Cystic higroma,

lipoma,adenoma,goiter

Stenosis atau deviasi jalan napas, fiksasi laring atau jaringan sekitarnya karena infiltrasi

atau fibrosis dari irradiasi

Tumor ganas, cedera

wajah, cedera

servikal, trauma

laring/ trakea

Edema jalan napas, hematom, fraksi maksila, mandibula dan tulang servikal yang tidak

stabil.

Obesitas Leher pendek dan tebal, jaringan tebal dalam orofaring, apnea tidur

Akromegali Makroglosia, prognathisme

Luka bakar akut Edema jalan napas

2. Pemeriksaan fisik, umum dan regional

Penilaian secara global harus meliputi:

i. Kepatenan lubang hidung: periksa massa di dalam lubang hidung (contoh:

polyp), deviasi nasal septum dll.

ii. Bukaan mulut paling kecil: 2 jari diantara rahang atas dan bawah

iii. Gigi: gigi seri atas dan gigi taring dengan atau tanpa overbite yang membatasi

garis sumbu oral atau faring selama laringoskopi terutama orang dengan basis

lidah yang besar, mereka bisa mendapat kesulitan selama laringoskopi

langsung atau saat ventilasi bag-mask. Pada kondisi edentolous , di sisi lain,

6

Page 7: refrat (2)

lebih mudah dalam menyesuaikan poros namun obstruksi hipofaringeal oleh

lidah dapat terjadi.

iv. Langit-langit: langit-langit yang melengkung tinggi atau panjang dan mulut

yang sempit mungkin akan menimbulkan kesulitan.

v. Menilai kemampuan pasien untuk menonjol rahang bawah antara gigi luar

seri atas (Prognathism).

vi. Gerakan Temporo-mandibula bersama: terbatas karena adanya ankilosis ,

fibrosis, tumor, dll.

vii. Pengukuran ruang submental (gambar 2) (hyomental / thyromental panjang

idealnya seharusnya > 6 cm).

Gambar 2- Ruang submental

viii. Leher pasien: Leher pendek dan tebal sering dikaitkan dengan kesulitan

intubasi. Massa di leher, panjang leher, mobilitas leher dan kemampuan

menanggapi posisi kaku harus diamati.

ix. Suara serak/stridor atau dengan riwayat trakeostomi bisa disebabkan stenosis.

x. Setiap penyakit sistemik atau bawaan yang membutuhkan perhatian khusus

pada manajemen jalan nafas (Misalnya kegagalan pernapasan, penyakit arteri

koronari signifikan, acromegaly, dll).

xi. Penilaian umum habitus tubuh dapat memberikan informasi penting.

xii. Infeksi saluran napas (misalnya epiglottitis, abses, croup, bronchitis,

pneumonia).

xiii. Kondisi fisiologis: Kehamilan dan obesitas.

7

Page 8: refrat (2)

Penting juga bagi operator untuk mengenali kesulitan menggunakan sungkup

ventilasi karena sungkup ventilasi adalah sangat penting. Beberapa faktor

spesifik yang mempengaruhi:

i. Adanya jenggot: Kesulitan dalam memfiksasi sungkup/bisa juga

diakibatkan adanya kelainan yang mendasari misalnya kanker rahang

ii. Indeks massa tubuh: Pasien dengan BMI> 26 Kgm2-2 mungkin sulit

untuk diventilasi dengan sungkup

iii. Kurangnya gigi: Sulit untuk melakukan fiksasi

iv. Umur dan mendengkur: Pasien yang berumur lebih dari 55 tahun

dengan riwayat berdengkur kemungkinan terkait dengan berbagai

derajat apnea tidur obstruktif dan sulit untuk diventilasi dengan

sungkup

v. Perhiasan yang dipakai dibibir, lidah, pipi, dagu, alis, mata dan telinga

juga dapat menimbulkan kesulitan saat di ventilasi.

3. Tes khusus untuk penilaian

A. Kriteria anatomi

I. Sehubungan dengan lidah/ukuran faring

Mallampatti test2: Klasifikasi Mallampati (gambar 3) berkorelasi dengan ukuran

lidah ke ukuran faring. Tes ini dilakukan dengan pasien dalam posisi duduk, kepala

dalam posisi netral, mulut terbuka lebar dan lidah dijulurkan secara maksimal.

Pasien tidak seharusnya disuruh fonasi karena bisa menyebabkan kontraksi dan

peninggian langit-langit lunak (soft palate) yang mengarah ke gambaran palsu.

Klasifikasi dibagi berdasarkan kemampuan lidah menutupi visibilitas struktur

faring dan dibagi menjadi tiga kelas:

Kelas I : Langit-langit lunak, tenggorokan; uvula, anterior dan pilar posterior

kelihatan.

Kelas II : Langit-langit lunak, tenggorok dan uvula kelihatan

Kelas III : Langit-langit lunak dan dasar uvula kelihatan.

8

Page 9: refrat (2)

Dimodifikasi Samsoon dan Young (1987) 3, klasifikasi kelas IV ditambahkan.

Kelas IV : Hanya langit-langit keras terlihat. Langit-langit lunak tidak terlihat sama

sekali.

Gambar 3- Klasifikasi Mallampati

Untuk menghindari tes positif palsu atau negatif palsu, pemeriksaan ini harus

diulang dua kali. Metode penilaian ini secara tidak langsung mengevaluasi

proporsionalitasnya karena tidak mungkin untuk mengukur ukuran dari bagian

belakang lidah yang relatif terhadap kapasitas orofaring. Jika dasar lidah sebanding

dengan orofaring berarti tidak ada faktor yang mengganggu dan pemaparan dari

inlet glottis tidak akan sulit. Basis yang tidak proporsional dan dasar lidah yang

besar sehingga menutupi laring menghalang pemaparan dari laring.4

II. Ekstensi Sendi Atlanto Oksipital (AO)

Menilai kemampuan membuat posisi sniffing atau Magill untuk intubasi,

sebagai contoh oral, faring dan aksis laring dalam garis lurus yang sejajar. Pasien

diminta untuk menahan kepala, menghadap langsung ke depan, kemudian pasien

diminta untuk mengekstensikan kepala secara maksimal dan pemeriksa

memperkirakan sudut yang dilalui oleh penutupan permukaan gigi atas. Pengukuran

dapat dilakukan cara sederhana yaitu perkiraan visual atau yang lebih akurat dengan

menggunakan goniometer.

9

Page 10: refrat (2)

Tingkatan dalam pengurangan sudut ekstensi dibagi menjadi:

Gred I :>35o

Gred II : 22°-34

Gred III : 12°-21°

Gred IV : < 12°

Sudut normal ekstensi kepala adalah 35 ° atau lebih (gambar 5) 5,6

Gambar 5- Sudut normal ekstensi kepala

III. Ruang Mandibula

i. Jarak Tiromental (tes Patil) 7 (gambar 6) merupakan jarak dari dagu ke tepi tiroid

ketika pasien mengekstensikan lehernya secara maksimal. Pengukuran ini membantu

dalam menentukan aksis laring yang jatuh di garis aksis faring ketika sendi atlanto

oksipital dalam posisi ekstensi.

Penyesuaian kedua sumbu sulit jika jarak TM <ruas jari 3 atau <6 cm orang dewasa;

6-6,5 cm tidak terlalu sulit, sementara >6,5cm adalah normal.

10

Gambar 4-Ruang Atlanto Oksipital

Page 11: refrat (2)

Gambar 6- Jarak Tiromental

ii. Jarak Sterno-mental : Savva (1948) 8

Perkiraan jarak dari tepi suprasternal ke dagu dengan menyelidiki korelasinya

terhadap klasifikasi Mallampati, tonjolan rahang, jarak antara insisor dan jarak

tiromental. Pengukuran ini dilakukan dengan cara kepala ekstensi secara maksimal

dan mulut ditutup. Penilaian kurang dari 12 cm memprediksi sulit dilakukan

intubasi.

iii. Jarak Mandibulo-hioid9 (gambar 7)

Mengukur panjang mandibula dari dagu (mental) ke hioid yang memiliki nilai

harus paling sedikit 4 cm atau tiga ruas jari. Diketahui bahwa laringoskopi menjadi

lebih sulit karena peningkatan jarak vertikal antara mandibula dan tulang hyoid.

Gambar 7- Jarak hioid dan dagu

11

Page 12: refrat (2)

iv. Jarak Inter-insisivus

Ini adalah jarak antara gigi seri atas dengan gigi seri bawah(gambar 8).

Normalnya adalah 4,6 cm atau lebih, sedangka <3,8cm dapat terjadi kesulitan jalan

napas.

Gambar 8- Insisivus

Wilson dkk10 mengembangkan sistem skor lain, dimana mereka membaginya

menjadi 5 variabel yaitu berat,kepala, gerakan leher dan rahang, resesi mandibula,

atau tidak adanya gigi buck. Skor resiko dikembangkan antara 0 sampai 10. Mereka

menemukan bahwa semakin tinggi skor resiko, semakin besar akurasi prediksi

dengan lebih rendah proporsi positif palsu.

Arne dkk11 membuat sistem penilaian baru yang berdasarkan analisis

multifaktor. Selain indikator Wilson dkk di atas, penilaian ini juga meliputi ada atau

tidak adanya patologi pada jalan nafas. Sensitivitas dan spesifitas sistem penilaian

ini di atas 90%.

Penilaian jalan nafas berdasarkan skor LEMON (gambar 9)

Skor maksimal 10 poin dengan memberikan 1 point untuk masing-masing

LEMON, berikut ini kriterianya :

L = Look externally / penampilan luar (trauma wajah, gigi seri besar, jenggot atau

kumis, lidah besar)

E = Evaluate / Evaluasi aturan 3-3-2 (jarak insisivus jarak-3 ruas jari, hyoid- mental

jarak-3 ruas jari, tiroid-ke-mulut jarak-2 ruas jari)

M = Mallampati (skor Mallampati > 3).

O = Obstruction / obstuksi (adanya kondisi seperti epiglottitis, peritonsillar abses,

trauma).

N = Neck mobility / mobilitas leher (keterbatasan mobilitas pada leher)

12

Page 13: refrat (2)

Pasien yang termasuk kelompok intubasi sulit memiliki skor LEMON yang lebih

tinggi. 12,13

Gambar 9 : Metode penilaian jalan napas LEMON; 1 = jarak inter-insisor

dengan jari, 2 = jarak hioid-mental dengan jari, 3 = jarak tiroid dan dasar

mulut dengan jari

B. Laringoskopi Langsung dan Bronkoskopi Fiberoptik

Kesulitan dalam intubasi dapat diklasifikasikan menurut tampilan yang diperoleh

selama laringoskopi (gambar 10) langsung ke 4 nilai. 4 nilai dari laringoskopi

didefinisikan oleh Cormack dan Lehane (1984). 14

Tabel 2- Nilai visualisasi laringoskopi

Gred I Visualisasi seluruh bukaan laring

Gred II Visualisasi hanya komisura posterior dari bukaan

laring

Gred III Visualisasi hanya epiglotis

Gred IV Visualisasi hanya soft palate

Gred III dan IV adalah indikasi sulit intubasi

Gambar 10- Gred visualisasi laringoskopi

13

Page 14: refrat (2)

Posisi optimal untuk keseteraan mulut, faring dan laring yang didapatkan dengan

cara fleksi leher dan ekstensi kepala pada bagian atlantooksipital adalah sangat

penting.5,15

C. Penilaian Radiografi

I. Foto polos tulang16,17,18

Gambar bagian servikal lateral pasien dengan kepala dalam posisi neutral diperlukan

untuk pengukuran-pengukuran berikut:

Gambar 11- Foto polos kepala dan leher

i. Jarak mandibula hioid- peningkatan jarak mandibula hioid mengindikasikan

peningkatan kesulitan laringoskopi9

ii. Kedalaman anterior posterior dari mandibula- White dan Kandler (1975)18 telah

membuktikan bahwa kedalaman posterior mandibula adalah pengukuran yang

penting dalam menentukan tingkat kesulitan laringoskopi

iii. Hubungan diantara sudut mandibula dan tulang hioid dengan servikal vetebra dan

pengkelasan laringoskop- peningkatan kesulitan laringoskopi ditemukan bila

mandibula cenderung menjadi lebih rostral dan tulang hioid menjadi lebih kaudal.

Posisi sudut mandibular bagaimanapun lebih penting

iv. Jarak atlantooksipital- jarak A-O adalah faktor utama yang membatasi ekstensi leher

dan kepala. Lebih besar jarak A-O, lebih banyak ruang yang tersedia untuk

mobilisasi kepala untuk laringoskopi dan intubasi

14

Page 15: refrat (2)

v. Jarak C1-C2 – laringoskopi adalah sulit dilakukan karena ketidakmampuan untuk

mengangkat epiglottis dari dinding posterior faring disebabkan menyatu langsung

dengan tulang hioid oleh ligamenhio-epiglotis

II. Fluoroskopi untuk foto dinamis (mobilitas tulang belakang, malacia jalan napas,

emfisema)

III. Esofagogram (inflamasi, benda asing, massa ekstensif atau cincin vaskular)

Gambar 12- Esofagogram

IV. Ultrasonografi (menilai massa mediastinal anterior, limfadenopati, membedakan kista

dengan massa dan sellulitis dari abses)

V. MRI (anomali kongenital, kompresi jalan napas vaskular)

VI. Intubasi video-optikal

D. Kemungkinan Jalan Napas Sulit pada Pasien Diabetik

Kemungkinan jalan napas sulit pada pasien diabetik dan non-diabetik adalah berbeda.

i. Palm print 19,20: pasien didudukkan; telapak tangan dan jari dicat dengan tinta biru,

pasien kemudian diarahkan untuk mengecap seluruh tangan tadi pada sehelai kertas

putih polos di atas permukaan yang keras.

0- Semua falang keliatan jelas

1- Tidak jelas pada interfalang 4 dan 5

15

Page 16: refrat (2)

2- Tidak jelas pada interfalang 2 sampai 5

3- Hanya ujung jari yang jelas keliatan

ii. Prayer sign 19,21: pasien diarahkan untuk merapatkan kedua telapak tangan

Gambar 13- Prayer sign

+ Jika ada jarak antara kedua tangan

- Jika tiada jarak antara kedua tangan

E. Indikator sulit intubasi

Tanda-tanda klasik yang menyebabkan operator sulit melakukan intubasi bisa

disimpulkan seperti berikut:

i. Mobilisasi fleksi ekstensi kepala dan leher yang jelek22,23

ii. Malposisi mandibula dan adanya gigi yang menonjol

iii. Jarak atlanto-oksipital yang kecil, pengecilan atau pengurangan ruang antara C1 dan

oksiput18

iv. Ukuran lidah yang besar- lebih terkait dengan rasio panjang anterior lidah dengan

panjang dagu atau mandibula3,25

F. Enam standar dalam mengevaluasi jalan napas

i. Mobilitas temporomandibular – 1 jari (gambar 14)

Gambar 14- mobilitas temporomandibular

16

Page 17: refrat (2)

ii. Inspeksi mulut orofaring, klasifikasi Mallampati – 2 jari (gambar 3)

iii. Pengukuran jarak mento-hyoid (4cm) pada dewasa – 3 jari (gambar 7)

iv. Pengukuran jarak di antara dagu dan tiroid – 4 jari

v. Kemampuan memfleksikan kepala ke arah dada, mengekstensikan kepala tepat di

atlantooksipital dan kepala dirotasi ke arah kanan dan kiri – 5 pergerakan

vi. Hidung simetris dan rongga hidung terbuka bebas.

G. Penilaian cepat jalan napas

i. Bisakah pasien membuka mulut dengan luas?

Mengindikasikan pergerakan sendi temporo mandibular

ii. Bisakah pasien mengeluarkan lidah secara maksimal?

Inspeksi bagian posterior dari mulut

iii. Kemampuan pasien mendorong rahang ke depan?

Mengindikasikan kenyamanan manuver laringoskop

iv. Bisakah pasien mengekstensikan kepala dan menggerakkan kepala ke kiri dan

kanan?

Mengindikasikan pergerakan leher

Untuk pergerakan pada sendi atlantooksipital, arahkan pasien untuk

meletakkan dagu di atas dada, kedua telapak tangan diletakkan di belakang leher

sambil menekan leher ke bawah dan kepala digerakkan ke atas.

17

Page 18: refrat (2)

H. Penilaian jalan napas pada anak-anak

Gambar 15- Perbandingan anatomi jalan napas dewasa dan anak-anak

Penilaian jalan napas sulit pada pasien anak sama seperti orang dewasa yang dimulai

dengan anamnesis dan seterusnya pemeriksaan-pemeriksaan yang komprehensif.

Anamnesis

Pertanyaan mengenai keluhan berdengkur, apneu, somnolen pada siang hari,

stridor, suara serak dan pertanyaan terkait operasi sebelumnya atau terapi radiasi

pada bagian leher harus dilakukan. Informasi ini bisa mengindikasikan hipoksemia

dan hipertensi pulmonal. Anamnesis juga harus mempunyai informasi terkait

riwayat anestesi terutama cedera orofaring, kerusakan gigi, intubasi trakealsadar dan

penundaan operasi pasca anestesi.

Pemeriksaan Fisik :

Terfokus pada anomali wajah, kepala, leher dan tulang belakang

Evaluasi ukuran dan bentuk kepala, gambaran kasar wajah; ukuran dan simetri dari

mandibula, ada tidaknya bentuk patologis dari mandibula, ukuran lidah serta batas

pergerakan (ROM) lidah, rahang, kepala dan leher.

Ada tidaknya retraksi (suprasternal/infrasternal/sternal/interkostal) harus

diperhatikan karena merupakan gejala obstruksi jalan napas.

18

Page 19: refrat (2)

Suara napas- bising inspirasi menandakan obstruksi jalan napas ekstratorakal

sedangkan bising napas ekspirasi disebabkan lesi intratorakal. Bising pada inspirasi

dan ekspirasi menandakan adanya lesi pada bukaan toraks.

Memeriksa gas darah dan saturasi Oksigen penting untuk menilai kemampuan

pasien berkompensasi dengan masalah jalan napas.

Determinasi CO2 transkutan.

Banyak peneliti coba mengembangkan metode untuk memprediksi kesulitan

laringoskopi pada kelompok umur ini. Metode-metode seperti itu telah diteliti pada

orang dewasa tetapi mempunyai variabel sensitifitas pada anak-anak.

Klasifikasi Mallampati dan Cormack and Lehane Grading

Ukuran lidah yang relatif terhadap rongga mulut dan faring seperti yang ada

dalam klasifikasi Mallampati dan hubungannya dengan telihatnya glottis pada

laringoskopi yang ditetapkan oleh Cormack dan Lohane telah dinilai oleh Kopp et al

(1995).26 Klasifikasi Mallampati tidak memprediksi dengan akurat tampak glottis

yang jelek sewaktu laringoskopi langsung pada pasien anak. Klasifikasi Mallampati

yang cocok juga sulit didapatkan karena kurangnya kerjasama pasien bayi dan balita.

Penilaian ruang mandibular adalah yang paling cocok untuk anak-anak di atas lima

tahun.

Nilai panjang tiomental, hiomental dan mandibular horizontal tidak berlaku

pada pasien anak. Ini memberikan kekurangan kepada operatordan meningkatkan

posibilitas jalan napas sulit yang tidak terduga. Maka dengan itu, pengambilan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik sangat diperlukan untuk mempersiapkan

kemungkinan terjadinya jalan napas sulit.

Beberapa tes bisa dilakukan untuk memprediksi jalan napas sulit pada pasien anak27:

i. Foto polos- mengevaluasi nasofaring, faring, lesi subglotis dan trakea

ii. CT scan dan MRI- mendeteksi atresia koanal, malformasi limfatik pada leher dan

massa mediastinal

iii. Endoskopi- menilai secara fungsional dan mendiagnosa kejadian patologi di

nasofaring, supraglotis, subglotis dan glotis.

19

Page 20: refrat (2)

iv. Fluoroskopi- menilai masalah patologi dinamika. Contohnya disfungsional jalan

napas terutama pada stridor, batuk dan disfagia

v. USG- membantu evaluasi kelainan jalan napas organik dan fungsional. Menilai

kondisi dinamis patologi tertentu

vi. Penilaian Fungsi Paru- menyediakan informasi penting mengenai kepatenan jalan

napas

Banyak kondisi pengobatan dan operasi serta sindroma kongenital dikaitkan

dengan jalan napas sulit pada pasien dewasa dan anak-anak. Tehnik untuk menilai

jalan napas pada orang dewasa sudah diteliti tetapi tidak banyak penelitian yang

dijalankan pada anak-anak. Tehnik yang bagus jika dilakukan pada pasien dewasa

belum tentu bagus untuk pasien anak-anak. Intinya, kesulitan dalam membina

rapport dengan pasien anak-anak menyebabkan operator susah mendapatkan

informasi-informasi penting terkait masalah anestesi.

20

Page 21: refrat (2)

BAB III

KESIMPULAN

Tidak satu pun tes jalan napas yang mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi

untuk memprediksi kejadian jalan napas sulit. Maka dengan itu, diperlukan pemeriksaan

dengan beberapa tes. Bagaimanapun beberapa pasien dengan jalan napas sulit belum tentu

bisa dikenal pasti walaupun telah dievaluasi dengan lengkap dan rinci sebelum operasi. Ahli

anestesi harus selalu siap dengan berbagai rencana untuk penanganan jalan napas sulit dalam

kondisi gawat tidak terduga.

21

Page 22: refrat (2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Benumof JL. Definition and incidence of difficult airway. In : Benumof JL. Editor. Airway management : Principles and practice. St Louis Mosby 1996: 121-125 (Ch 6).

2. Mallampati SR, Gatt SP, Gugino LD, Waraksa B, Freiburger D, Liu PL. A Clinical sign to predict difficult intubation; A prospective study. Can Anaesth Soc J 1985; 32: 429-434.

3. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation : a retrospective study. Anaesthesia 1987; 42: 487-490.

4. Mallampati SR. Clinical assessment of airway. Anesthesiol Cl N America 1995; 13(2): 301-306.

5. Banister FB, Mc Beth RG. Direct laryngoscopy and tracheal intubation. Lancet 1964; 2: 651.

6. Bellhouse CP, Dove C. Criteria for estimating likelihood of difficulty of endotracheal intubation with the Macintosh laryngoscope. Anaesth intensive care 1988; 16: 329.

7. Patil VU, Stehling LC, Zauder HL. Predicting the difficulty of intubation utilizing an intubation guide. Anaesthesiology, 1983; 10: 32.

8. Savva D. Prediction of difficult tracheal intubation. Br J Anaesth 1994;73: 149-153.9. Chou HC, Wu TL. Mandibulohyoid distance in difficult laryngoscopy. Br J

Anaesth 1993; 71: 335-9.10. Wilson ME, Spiegelhalter D, Robertson JA et al. Predicting difficult

intubation. Br J Anaesth 1988; 61: 211-16.11. Arne J, Descoins P, Bresard D, Aries J, Fuseiardi J. A new clinical score

to predict difficult intubation. Br J Anaesth 1993; 70 (suppl) : A1.12. Murphy MF, Walls RM. The difficult and failed airway. In : Manual of

emergency airway management. Chicago : Lipincott. Williams and Wilkins 2000: 31-9.

13. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW. Can an airway assessment score predict difficulty at intubation in the emergency department? Emerg Med J 2005; 22: 99-102.

14. Cormack RS, Lehane J. Difficult tracheal intubation in obstetrics. Anaesthesia 1984; 39: 1105-1111.

15. Gillespie NA. Endotracheal anaesthesia. Ed.2, Madison Univ. of Wisconsin Press 1950.16. Londy F, Norton ML. Radiologic techniques for evaluation and

management of the difficult airway. In; Norton ML, Brown ACD, eds; Atlas of the difficult airway. St. Louis; Mosby Yearbook Inc 1991; 55-66.

17. Samra SK, Schork MA, Guinto FC. A study of radiologic imaging techniques and airway grading to predict a difficult endotracheal intubation. J Clin Anesth 1995; 7: 373-379.

18. White A, Kander PL. Anatomical factors in difficult direct laryngoscopy. Br J Anaesth 1975; 47: 468-73.

19. Reissell E, Orko R, Maunuksela EL Lindgren L. Predictability of difficult laryngoscopy in patients with long term diabetes mellitus. Anaesthesia 1990; 45: 1024-1027.

22

Page 23: refrat (2)

20. Nadal JLY, Fernandez BA, Ecsobar IC et al. Palm print as a sensitive predictor of difficult laryngoscopy in diabetics. Acta Anaesthesiol Scand 1998; 42: 199-203.

21. McLennan S, Yue D, Marsh M et al. The prevention and reversibility of tissue non-enzymatic glycosylation in diabetes. Diabetic Medicine 1986; 3: 141-146.

22. Cass NM, James NR, Lines V. Difficult direct laryngoscopy complicating intubation for anaesthesia. Br Med J 1956; 1: 488.

23. Brechner VL. Unusual problems in the management of airways. 1. Flexion-extension mobility of the cervical spine. Anesth Analg 1968; 47: 362.

24. Block C and Brechner VL. Unusual problems in airways management II. The influence of the temporo-mandibular joint, the mandible and associated structures on endotracheal intubation. Curr Res Anesth 1971; 50: 114.

25. McIntyre JWR. Continuing medical education : The difficult endotracheal intubation; A prospective study. Can Anaesth Soc J 1985; 32: 429

26. Kopp VJ, Bailey A, Valley RD et al. Utility of the Mallampati classification for predicting difficult intubation in paediatric patients. Anesthesiology 1995; 83: A1146.

27. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult paediatric airway. Anesth Cl N America 1998; 16(4): 725-741.

23