refrat kehamilan tb fina bgt 2

Upload: robertus-hajai

Post on 07-Jan-2016

243 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

df

TRANSCRIPT

Referat

Kepada yth.

Dibacakan hari/tanggal: Rabu / 7 Mei 2014KEHAMILAN DENGAN TUBERKULOSIS PARUOleh:Robertus HajaiPembimbing

dr. Joice Kaeng, SpOG(K)Program Pendidikan Dokter Spesialis IBagian Obstetri GinekologiFakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

2014BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO), insidens TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta dan 3,6 juta di antaranya menginfeksi wanita. TB merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pada wanita, yaitu sekitar 700.000 kematian setiap tahun, dan sepertiga dari kematian tersebut terjadi pada wanita usia subur. Suatu penelitian lain yang dilakukan di UK pada tahun 2008, insidens TB pada kehamilan adalah 4,2 per 100.000 kehamilan. TB pada kehamilan dapat bermanifestasi sebagai TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. Pada 2 penelitian yang dilakukan di UK, 53% dan 77% dari wanita hamil dilaporkan mengalami TB ekstrapulmoner.1Indonesia belum mempunyai data prevalensi TB pada perempuan hamil. Di poliklinik tuberkulosis Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun 2006 dan 2007 terdapat 0,2% perempuan hamil yang mengidap TB. Angka tersebut sebanding dengan prevalensi TB pada masyarakat umum. Untuk itu diasumsikan bahwa penyebaran TB pada perempuan hamil minimal tidak berbeda dengan sebaran di kalangan masyarakat. Oleh karena itu usaha penapisan seharusnya dapat dilakukan pada populasi perempuan hamil mengingat risiko yang lebih tinggi yang akan didapat oleh ibu dan janin.2Periode prenatal dengan jadwal pemeriksaan berkala yang telah ditetapkan oleh WHO memberi kesempatan untuk membantu usaha ini dengan melakukan pemeriksaan dan pengobatan, terutama pada perempuan hamil yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi penyakit ini. Pada perempuan hamil TB memberi pengaruh pada kehamilan dan janin terkait dengan keterlambatan pengobatan. Lebih dari 90% perempuan hamil dengan TB aktif muncul dari populasi perempuan hamil dengan infeksi tuberkulosis yang tidak diobati. Mortalitas perinatal pada perempuan hamil yang menderita TB enam kali lebih tinggi jika dibandingkan kontrol dengan insidens prematuritas dan berat badan lahir rendah meningkat dua kali lipat. Diagnosis dan pengobatan yang terlambat berhubungan dengan meningkatnya morbiditas ibu empat kali lebih tinggi.3,4TBC pada kehamilan mempunyai gejala klinis yang serupa dengan TBC perempuan tidak hamil. Diagnosis mungkin ditegakkan terlambat karena gejala awal yang tidak khas. Keluhan yang sering ditemukan batuk, demam, malaise, penurunan berat badan dan hemoptisis.Pemeriksaan penunjang dalam hal ini pemeriksaan uji tuberkulin diikuti oleh foto toraks merupakan pemeriksaan yang dianjurkan pada kelompok TBC risiko tinggi. Faktor lain yang berperan adalah pemberian regimen terapi yang tepat. Risiko yang dihadapi oleh ibu dan janin lebih besar bila tidak mendapatkan pengobatan TBC dibandingkan risiko pengobatan itu sendiri.

Pemberian regimen yang tepat dan adekuat akan memperbaiki kualitas hidup ibu, mengurangi efek samping obat anti tuberculosis (OAT) terhadap janin dan mencegah infeksi yang terjadi pada bayi yang baru lahir.5,6,7BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menular dan dapat menyerang berbagai organ dalam tubuh, dan terutama menyerang paru. Infeksi ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.12.2 Etiologi dan Mikrobiologi Tuberkulosis

Penyebab dari penyakit tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis,yang mempunyai karakteristik mikrobiologi yaitu bersifat an aerobic, non-spore-forming, nonmotile bacillus, merupakan salah satu dari lima anggota Mycobacterium tuberculosis complex, di mana yang lain adalah: M. bovis, M. ulcerans, M. Africanum, and M. microti, akan tetapi M. tuberculosis adalah yang bersifat pathogen pada manusia.12.2 Patofisiologi TuberkulosisTuberkulosis dapat menyerang hampir semua organ tubuh, tetapi yang biasa diserang adalah paru (lebih kurang 80%). Pada pasien pengidap HIV, pola dari infeksi TBC ini agak berbeda, yang mana cenderung terjadi TBC extrapulmonal. Hampir semua infeksi TBC disebabkan oleh penularan melalui inhalasi dari partikel-partikel yang infeksius yang dikeluarkan oleh pasien pengidap TBC lewat batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan tissue yang mengandung kuman TBC. Cara penularan lain yang mungkin terjadi yaitu lewat mulut dengan mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi dan bisa juga melalui implantasi langsung melalui kulit yang tidak intact atau melalui conjunctiva. Aerosolized tuberculosis particles dengan besar partikel antara 1-5m dapat dibawa ke udara bebas dan dapat menyebar ke tempat yang jauh dan dapat menginfeksi orang-orang di sekitarnya. Setelah sampai di paru, maka terjadi reaksi dari tubuh, terjadi proses fagositosis oleh makrofag paru, terjadi reaksi granulomatous, yang mana kemudian menimbulkan pembentukan Ghons focus. Basil TBC ini tetap berada dalam kondisi dorman dalam Ghons focus ini untuk waktu yang lama, yang mana suatu saat dapat berubah menjadi reaktif terutama bilamana seseorang mengalami kondisi immunocompromised atau mengidap penyakit lain yang melemahkan sistem imunnya.1,82.4 Tuberkulosis pada Kehamilan

Berbagai opini dari praktisi medis mengenai tuberkulosis pada kehamilan secara singkat direfleksikan sebagai suatu kondisi kesehatan masyarakat yang signifikan. Hal tersebut digambarkan dengan pisau bermata dua, sisi pertama adalah efek tuberkulosis pada kehamilan dan pola perkembangan neonatus, sisi lainnya merupakan efek kehamilan terhadap perkembangan tuberkulosis. Tuberkulosis tidak hanya menyumbang proporsi yang signifikan dalam beban penyakit global, juga merupakan kontributor yang signifikan untuk kematian ibu, merupakan salah satu penyakit dari tiga penyebab utama kematian di kalangan wanita usia 15-45 tahun. Angka insiden TB pada kehamilan tidak tersedia di banyak negara karena banyak faktor perancu. Namun demikian, diperkirakan bahwa kejadian TB pada wanita hamil akan sama tingginya pada populasi umum, dengan kejadian mungkin lebih tinggi di negara berkembang.92.4.1 Efek Kehamilan pada Tuberkulosis

Peneliti dari zaman Hippocrates telah menyatakan kekhawatiran mereka tentang efek tak diinginkan yang mungkin ada pada kehamilan dengan TB paru. Terjadinya TB diyakini sebagai akibat dari peningkatan tekanan intraabdomen terkait dengan kehamilan. Keyakinan ini dipegang secara luas sampai awal abad keempat belas. Peneliti seperti Hedvall dan Schaefer menunjukkan tidak adanya keuntungan maupun efek samping dari kehamilan terhadap progresi TB. Namun, kehamilan yang berurutan dapat memberikan efek negatif yaitu menimbulkan reaktivasi tuberkulosis laten.

Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa diagnosis tuberkulosis pada kehamilan mungkin lebih sulit dilakukan, karena gejala awalnya mungkin dianggap berasal dari kehamilan. Penurunan berat badan yang berhubungan dengan penyakit juga mungkin tertutupi oleh kenaikan berat badan normal pada kehamilan.92.4.2 Efek Tuberkulosis terhadap KehamilanEfek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tingkat keparahan penyakit, umur kehamilan saat didiagnosis TB, adanya penyebaran ekstrapulmoner, koinfeksi HIV dan pengobatan yang diberikan. Prognosis paling buruk terjadi pada wanita dengan koinfeksi HIV.Kegagalan pengobatan juga memperburuk prognosis.

Namun, data mengenai efek TB terhadap maternal dan luaran neonatal masih belum jelas. Beberapa penelitian mengatakan bahwa dengan pengobatan yang tepat dalam jangka waktu yang benar, infeksi TB tidak memberikan efek negatif terhadap kehamilan. Dari suatu penelitian prospektif di India, tidak ada perbedaan pada komplikasi kehamilan pada wanita yang didiagnosis TB dan diterapi dengan wanita hamil yang tidak terkena TB.Namun, terdapat suatu pengecualian pada wanita hamil yang terlambat memulai terapi TB, terjadi peningkatan mortalitas neonatus dan tingginya angka prematur. Dalam penelitian, diagnosis dan terapi TB dimulai pada umur gestasi antara 13 dan 24 minggu (67%). Hasil dari terapi seperti konversi sputum, stabilisasi penyakit dan angkat terjadinya relaps hampir sama dengan penderita TB yang tidak hamil, Namun dalam penelitian ini, ibu hamil yang terinfeksi TB, tidak terinfeksi HIV. Pada wanita hamil dengan HIV, efek dari TB lebih berkaitan dengan infeksi HIV daripada keadaan kehamilannya.9,10Berlawanan dengan penelitian di atas, sebuah review retrospektif di Taiwan, ibu hamil yang didiagnosis TB mengalami peningkatan risiko terjadinya kelainan pada kehamilan dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi TB. Pada ibu hamil dengan TB mempunyai angka persentase berat lahir rendah dan bayi yang lebih kecil daripada usia gestasi yang tinggi, namun tidak ada perbedaan mengenai kelahiran prematur pada dua kelompok tersebut. Meskipun demikian, diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.TB masih menjadi penyebab morbiditas dan mortilitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi HIV.9,10Komplikasi obstetrik lainnya yang dilaporkan adalah abortus spontan, uterus yang kecil, peningkatan berat badan hamil yang tidak optimal.Lainnya adalah lahir prematur, berat badan lahir rendah, dan meningkatnya mortalitas neonates, seperti yang sudah disebutkan diatas.Diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.TB masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi HIV.Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan meningkatkan morbiditas sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran premature meningkat sebanyak sembilan kali lipat.92.5 Tuberkulosis pada Neonatus

Transmisi TB ibu ke anak dapat terjadi di dalam uterus dengan penyebaran hematogen melalui vena umbilikus dan aspirasi atau menelan cairan amnion yang terinfeksi dan juga selama proses kelahiran melalui kontak dengan cairan amnion yang terinfeksi atau sekresi genital. Infeksi post-partum dapat terjadi melalui penyebaran di udara atau melalui cairan susu yang terinfeksi dari lesi tuberkulosis aktif di payudara. Walaupun transmisi melalui ASI dapat diabaikan, bayi dari ibu dengan TB aktif masih dapat terinfeksi melalui penyebaran lewat udara.Jika ibu baru saja didiagnosa, belum di terapi, dan TB aktif, maka ibu harus dipisahkan dari anaknya untuk mencegah penularan. Diagnosis TB pada neonatus bukan hal yang mudah, kecurigaan klinis terhadap gejala non spesifik dan sulit dibedakan dengan gejala kongenital lainnya merupakan hal penting. Pada TB kongenital, gejala terlihat pada umur 2 dan 3 minggu. Diagnosis definitif yaitu dengan kultur M.tuberkulosis dari jaringan atau cairan. Gambaran radiologi dada yang abnormal sering ditemukan, setengahnya memberikan gambaran pola miliar.Jika terdiagnosa TB aktif, harus diberikan terapi penuh. Jika tidak terdiagnosis TB aktif, maka diberikan profilkasis isoniazid.1Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang jarang terjadi sementara itu risiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis kongenital merupakan hasil penyebaran hematogen melalui vena umbilkal ke hati janin atau melalui penelanan atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Fokus primer terbentuk di hati dengan adanya keterlibatan nodus limfe periportal. Basil tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda pada dewasa yang 80% infeksi primer terjadi di paru.

Tuberkulosis kongenital mungkin sulit dibedakan dengan infeksi neonates atau infeksi kongenital dengan gejalan yang mirip pada umur dua sampai tiga minggu. Gejala-gejalanya adalah hepatosplenomegaly, repiratory distress, demam, dan limfadenopati.Abnormalitas radiografi dapat terlihat namun secara umum terlihat belakangan. Diagnosis tuberkulosis neonates ditegakkan dengan kriteria diagnosis Cantwell et al, yaitu adanya kompleks primer hepar/ granuloma kaseseosa pada biopsy hepar perkutaneus saat kelahiran, plasenta yang terinfeksi, atau tuberkulosis traktus genital maternal, dan lesi saat minggu pertama kehidupan. Kemungkinan transmisi setelah kelahiran harus disingkirkan dengan menelaah semua riwayat kontak termasuk kontak dengan tenaga medis dan penjenguk.

Sebanyak setengah dari neonatus dengan tuberkulosis kongenital meninggal dunia terlebih lagi pada kasus yang tidak diterapi.2.6 Diagnosis Tuberkulosis pada Kehamilan

Untuk mendiagnosis kondisi tersebut, riwayat paparan terhadap individu dengan batuk kronis atau berkunjung ke daerah endemik tuberkulosis harus diperoleh. Riwayat gejala, mirip dengan gejala yang dialami oleh wanita tidak hamil. Perhatian harus ditingkatkan mengingat gejala pada ibu hamil tidak spesifik, yaitu keringat di malam hari, demam di malam hari, batuk darah, penurunan berat badan yang progresif, dan batuk kronis selama lebih dari tiga minggu. Tahap penting dalam membuat diagnosis pada kehamilan yaitu untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk infeksi TB dan gejala-gejala infeksi.1Pemeriksaan rutin terhadap TB selama masa kehamilan bukan merupakan suatu standar yang dilakukan diberbagai tempat pelayanan, dan hal ini menjadi salah satu faktor keterlambatan diagnosis dan meningkatkan angka mortalitas maternal. Pada suatu penelitian di Soweto, Afrika Selatan, pemeriksaan penyaring TB dengan menanyakan beberapa pertanyaan saat melakukan kunjungan antenatal dirasakan mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, direkomedasikan cara tersebut dilakukan di daerah dengan prevalensi HIV tinggi, dimana angka infeksi TB pada wanita hamil juga tinggi dalam keadaan tersebut.

Alat diagnositik yang biasa digunakan adalah pemeriksaan sputum bakteri tahan asam, kultur sputum, dan spesimen lainnya, dan radiografi dada. Tes tuberkulin mempunyai nilai diagnosis pada infeksi laten TB, kecuali di daerah dengan prevalensi dan insiden TB yang tinggi.

Pada wanita hamil dengan gejala dan tanda TB, harus dilakukan tes tuberkulin. Tes tersebut sudah dinyatakan aman untuk dilakukan pada ibu hamil. Namun, masih diperdebatkan mengenai sensitivitas tuberkulin saat kehamilan.Penelitian awal mengatakan bahwa adanya penurunan sensitivitas tuberkulin saat kehamilan, sementara itu penelitian terakhir mengatakan tidak adanya perbedaan antara populasi hamil dan tidak hamil.

Dua tipe tes kulit tuberkulin yang dibahas yaitu :1- Tes Tine

Tes ini menggunakan beberapa jarum yang sudah dicelupkan pada bakteri TB yang sudah dimurnikan, disebut dengan old tuberculin (OT). Kulit ditusuk dengan jarum tersebut dan reaksi dianalisa 48-72 jam kemudian. Namun tes ini tidak lagi popular kecuali untuk uji penyaring pada populasi yang besar.

- Tes Mantouk

Injeksi intradermal derivat protein yang sudah dimurnikan sebanyak 0.1 mL (5 tuberculin units), dan reaksi kulit dianalisis 48-72 jam kemudian berdasarkan diameter indurasi terbesar yang terbentuk. Tes ini lebih akurat daripada tes tine.

Positif palsu dapat terjadi pada pasien yang sudah mendapatkan vaksin BCG, yang sudah mendapatkan pengobatan untuk tuberkulosis, ataupun pasien yang sudah terinfeksi dengan spesies mycobacterium lainnya. Negatif palsu dapat terjadi karena sistem imun yang menurun dan kesalahan teknis.

Pemeriksaan radiologi dada dengan penutup di bagian perut dapat dilakukan setelah tes kulit tuberkulin, walaupun pemeriksaan radiografi dada tertunda karena kekhawatiran akan efek radiasi terhadap janin.Pemeriksaan mikroskopik sputum atau specimen lain untuk bakteri tahan asam masih menjadi dasar diagnosis untuk TB dalam kehamilan. Tiga contoh sputum harus diperiksa untuk smear, kultur, dan uji kerentanan obat. Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tetapi kadang tidak mudah mendapatkan sputum terutama pada penderita yang tidak batuk, atau ada batuk tetapi non produktif. Dalam hal ini 1 hari sebelum pemeriksaan sputum penderita disuruh minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleksi batuk. Dapat juga dengan memberikan obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.1Bila sputum didapat kadang kuman BTA susah ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses ini terbuka keluar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila ditemukan sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Pewarnaan bakteri tahan asam menggunakan Ziehl-Neelsen, flouresen, Auramine-Rhodamine, dan teknik Kinyoun.Pemeriksaan dengan mikroskop floresen light emitting diode (LED) baru-baru ini diperkenalkan untuk meningkatkan kepastian diagnosis.Menurut laporan WHO mengenai pengendalian TB secara global, pemeriksaan TB terdeteksi positif sebanyak 68%.Pemeriksaan dengan pewarnaan mungkin tidak kuat untuk diagnosis, karena hasil yang negatif mungkin dapat luput.Individu dengan basil yang sedikit, pemeriksaan mikroskopis tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Radiografi dada dan penilaian suara napas merupakan alat bantu penting untuk membuat diagnosis dari pemeriksaan mikroskop TB yang negatif. Namun, gambaran radiografi dada dapat normal pada 14% pasien dengan kultur TB positif. TB ekstrapulmonar juga jarang terjadi pada kehamilan, dan klinisi harus segera mencurigai apabila terdapat gejala atipikal.

Kultur tradisional dengan menggunakan media Lowenstein-Jensen memakan waktu sekitar 4-6 minggu. Namun, mungkin dapat berguna untuk kasus yag meragukan dan dalam terapi tuberkulosis yang diduga resisten. Saat ini terdapat alat diagnostik baru yang didukung oleh WHO, yaitu kultur dengan media cairan bactec.

Konfirmasi terhadap infeksi M.tuberkulosis masih sulit dilakukan, dengan teknologi yang tidak akurat dan ketinggalan jaman.Pengembangan teknologi masih menjadi prioritas utama. Interferon-c release assays dan the Ouanti-FERON-TB Gold In-Tube assay telah digunakan untuk diagnosis infeksi laten TB. Pemeriksaan tersebut telah ditingkatkan spesifisitasnya dan keakuratan diagnosis nya, selain itu juga tidak terpengaruh oleh vaksinasi BCG atau infeksi oleh mycobacteria non-tuberkulosis. The Ouanti-FERON-TB Gold In-Tube assay aman digunakan pada ibu hamil namun belum divalidasi untuk digunakan pada ibu hamil.11Kontrol terhadap infeksi merupakan hal penting dalam kontrol penyebaran TB, dimana infeksius hanya ketika di paru atau laring, dan tidak menyebar dengan kontak singkat.Anggota keluarga dari ibu hamil yang terinfeksi harus diberikan informasi mengenai cara penyebaran dan perlu dilakukan tes penyaring.2.7 Tatalaksana TB pada Kehamilan

Penatalaksanaan pasien TBC pada kehamilan tidak berbeda dengan TBC tanpa kehamilan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pemberian OAT yang bisa menimbulkan efek teratogenik terhadap janin. Penatalaksanaan secara umum terbagi atas penderita dengan TBC aktif dan TBC laten.1,2Wanita hamil dengan TBC aktif biasanya diterapi dengan tidak mempertimbangkan trisemester kehamilan. OAT yang digunakan tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Golongan utama OAT seperti isoniazid, rifampisin, etambutol digunakan secara luas pada wanita hamil. Obat-obat tersebut dapat melalui plasenta dalam dosis rendah dan tidak menimbulkan efek teratogenik pada janin. Pada pemberian isoniazid sebaiknya diberikan piridoksin 50 mg/hari untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Pemeriksaan fungsi hati sebaiknya dilakukan saat pemberian isonizid dan rifampisin. Pemberian vitamin K dilakukan pada akhir trismester ketiga kehamilan dan bayi yang baru lahir.

Resistensi terhadap obat-obat TBC pertama kali terjadi di United States pada awal tahun 1990 yang mana diikuti terjadinya epidemic dari tahun 1985 sampai tahun 1992. (Centers for Disease Control and Prevention, 2007b). Oleh karena itu Centers for Disease Control and Prevention (2003a) merekomendasikan pemakaian 4 jenis obat untuk inisiasi pengobatan pada pasien dengan tuberkulosis yang simptomatik, yaitu isoniazid, rifampin, pyrazinamide, and ethambutol. Pada kasus kehamilan dengan multidrug resistant (MDR) digunakan pirazinamid, akan tetapi pirazinamid tidak digunakan secara rutin pada wanita hamil karena terdapat efek teratogenik. Paraaminosalisilat (PAS) telah digunakan secara aman pada wanita hamil akan tetapi obat tersebut ditoleransi tubuh secara buruk. Bilamana diperlukan dapat diberikan obat TBC lini kedua.1,2Tuberkulosis laten adalah pasien dengan uji tuberkulin positif dan secara klinis tidak ada tanda-tanda terjadi tuberkulosis aktif. Terapi pada TBC laten tergantung faktor risiko dan hasil konversi uji tuberkulin. Pemberian terapi pada TBC laten biasanya ditunda sampai 2-3 bulan setelah kelahiran. Pada pasien yang mempunyai risiko kontak dengan individu BTA positif dan infeksi HIV, terapi diberikan setelah trisemester pertama pada kehamilan dengan konversi uji tuberkulin positif dalam 2 tahun terakhir. Sedangkan pada wanita hamil dengan TBC laten yang sebelumnya telah diterapi secara adekuat tidak memerlukan terapi profilaksis isoniazid. Akan tetapi pada kondisi atau lingkungan yang berisiko TBC laten dapat diberikan terapi yang aman dengan INH (isoniazid) 300 mg sekali sehari atau 2 kali dalam seminggu selama selama 6-12 bulan (kurang lebih 9 bulan), sebaiknya disertai pemberian vitamin B6 (pyridoxine).1,2Penatalaksanaan TBC pada wanita hamil harus diberikan secara tepat dan adekuat, serta

mencegah timbulnya efek samping teratogenik pada janin. Pasien TBC aktif dengan sputum BTA positif diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan pada populasi risiko TBC rendah. Pada populasi dengan risikoTBC tinggi dan adanya resisten obat anti TBC tinggi perlu penambahan pirazinamid.

Pasien dengan uji tuberkulin positif, sputum BTA negatif, biakan negatif dan foto toraks menunjukkan infiltrat atau adanya kavitas, diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan. Sedangkan bila pada foto toraks terlihat proses penyakit yang telah menyembuh (terdapat kalsifikasi pada kelenjar getah bening dan lesi parenkim), dilakukan observasi pada pasien. Pengobatan diberikan secara tepat setelah melahirkan atau diberi pengobatan profilaksis dengan isoniazid dan piridoksin selama 9 bulan yang dimulai pada trisemester kedua kehamilan.

Pasien dengan konversi uji tuberkulin terbaru positif, foto toraks normal serta pemeriksaan bakteriologis negatif, maka dilakukan observasi selama kehamilan, pengobatan diberikan setelah melahirkan atau dengan pemberian profilaksis isoniazid dan piridoksin selama 9 bulan dimulai pada trisemester kedua kehamilan. Pasien dengan resistensi organisme maka diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid sesuai dengan uji sensitivitas. Pada pasien dengan ketidakmampuan mentoleransi isoniazid dan rifampisin, maka diberikan etambutol atau obat lain yang tersedia.1,22.7.1 Obat Antituberkulosis selama Kehamilan

OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan yaitu obat lini pertama (first line) dan obat lini kedua (second line). Yang merupakan OAT lini pertama adalah Rifampisin, Isoniazid (INH), Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA), sedangkan yang termasuk OAT lini kedua adalah Streptomisin, Kanamisin, Etionamid, Kapreomisin, Fluoroquinolones, Amoxycillin/Clavulanic Acid, Para-Aminosalicylic Acid (PAS), Amikacin, Ethionamide and Prothionamide, serta Cycloserine.11,12,13,14,15

Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting cell). Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis sehingga menekan proses awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra dan ekstra sel. Pada konsentrasi 0,005 -0,2 mg/l akan menghambat pertumbuhan M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat beberapa Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara in vitro, rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M. tuberculosis dan juga mempunyai mekanisme post antibiotic effect terhadap bakteri gram negatif. Diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna, absorpsi rifampisin dapat berkurang bila diberikan bersama makanan. Absorpsi rifampisin akan berkurang 30% jika diberikan bersama dengan antasida. Pemberian antasida akan meningkatkan PH lambung dan akan mengurangi proses dissolution rifampisin sehingga akan menghambat absorpsi. Rifampisin dengan mudah didistribusikan ke sebagian besar organ, jaringan, tulang, cairan serebrospinal dan cairan tubuh lainnya termasuk eksudat serta kavitas tuberkulosis paru. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada urin, saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg BB, ikatan protein plasma 60-80%, waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang bila terdapat gangguan fungsi hepar. Metabolisme terjadi melalui deasetilasi dan hidrolisis, sedangkan ekskresinya terutama melalui empedu. Dapat melewati barier plasenta dan dapat dijumpai konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati plasenta dengan kadar yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke-3 rasio konsentrasi pada tali pusat dan ibu besarnya 0,12 - 0,33. Studi yang dilakukan pada tikus, hewan pengerat dan kelinci dengan pemberian dosis 2,5 - 10 kali dosis yang masuk ke uterus tidak menunjukkan peningkatan kelainan kongenital. Pada 442 perempuan hamil yang minum rifampisin, termasuk 119 perempuan yang terpajan selama trismester pertama tidak terdapat peningkatan kelainan janin secara bermakna. Beberapa studi yang menunjukkan insidens malformasi rata-rata 1,8 - 4,4% pada 204 kehamilan. Pada kelinci telah dilaporkan terjadi spina bifida dan cleft palates. Efek samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin antara lain: sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang dan sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah dan kadang-kadang diare. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping pada bayi baru lahir juga didapatkan hemorrhagic disease of the newborn sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.11Isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting

dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses aktif. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak tinggi, berat molekul rendah dan melalui plasenta serta mudah mencapai janin dengan kadar hampir sama dengan ibu. Pada penelitian, setelah pemberian INH dosis 100 mg jangka pendek sebelum kelahiran didapatkan rasio konsentrasi tali pusat dan ibu sebesar 0,73. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik (asetilator cepat/lambat) yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Waktu paruh berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antara 75-95%diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin, meskipun konsentrasi yang melewati plasenta cukup besar. Pada studi yang dilakukan pada hewan tidak menunjukkan retardasi

pertumbuhan serta peningkatan malformasi pada tikus dan kelinci dengan dosis 60 kali dosis

manusia. Efek samping berat berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus hilang. Efek samping yang ringan dapat berupa: tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (dengan dosis 5-10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks). Efek samping pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic disease of the newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K sebelum kelahiran.11Etambutol (EMB) merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III). Arabinosyl transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan unsur esensial

dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl transferase III lebih kuat dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan untuk menjadikan EMB-CAB operon. Hal ini menyebabkan metabolisme sel terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis arabinoglycan mengubah barier sel, lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang bersifat seperti rifampisin

dan ofloksasin. Dinding sel Mycobacterium spp sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme di penjamu. Dinding sel Mycobacterium terdiri dari mycolic acid, arabinoglycan dan peptidoglycan. Dinding sel merupakan lapisan lipid bilayer dan asimetris. Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Etambutol pada konsentrasi 1-5 g/ml akan menghambat pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro. Etambutol ini tetap menekan pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Etambutol dosis 15 mg/kg BB ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik, sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB bersifat bakterisidal. Penggunaan etambutol tunggal, ditemukan sputum basil tahan asam (BTA) negatif dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari kasus dan frekuensi relaps lebih tinggi. Efektivitas pada hewan coba sama dengan isoniazid. Invivo, sukar menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnya lambat. Resistensi bakteri terhadap etambutol terjadi akibat mutasi embB, embA dan embC, kode untuk arabinosyl transferase. Resistensi ini timbul bila etambutol diberikan tunggal. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di saluran cerna. Makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 25 mg/kg BB menghasilkan kadar plasma sekitar 2-5 g/ml dalam 2-4 jam, kurang dari 1 g dalam 24 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam dan dapat memanjang sampai 8 jam pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Etambutol secara bebas melewati plasenta dengan cord to maternal serum ratio adalah 0,75. Penelitian pada kelinci terdapat efek monoftalmia sedangkan pada tikus terjadi penurunan kesuburan. Rata-rata malformasi yang dilaporkan pada 638 bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat etambutol selama kehamilan adalah 2,2%. Secara teori etambutol menyebabkan kemungkinan toksisitas pada mata. Hal ini diyakinkan kembali dengan penilaian pada 6 janin yang mengalami abortus pada minggu 5 - 12 kehamilan, tidak didapatkan gangguan pada sistem optik embrional.11Pirazinamid (PZA) adalah suatu prodruk, yang memerlukan konversi enzim pirazinamidase (dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi bentuk aktif asam pirazinoat, masuk ke dalam sitoplasma M. tuberculosis secara difusi pasif, mengalami konversi oleh enzim nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam pirazinoat (POA). PZA lebih aktif terhadap basil tuberkel semidorman karena sistem pompa efluks yang lemah dibandingkan dengan basil sedang bertumbuh cepat, di mana pompa efluks lebih aktif. Peradangan akut akan menurunkan pH akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal ini menguntungkan aktivitas PZA. Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH lingkungan basil tuberkel yang berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA. Kuman dalam keadaan dorman tidak dapat dipengaruhi karena pada saat itu ambilan PZA tidak terjadi. Banyak penelitian menyatakan daya sterilisasi obat ini dalam makrofag, dengan konsentrasi 20g/ml menghambat basil tuberculosis intraseluler. Efek bakteriostatik atau bakterisidal terhadap M. tuberculosis tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta lamanya paparan terhadap makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis. Pada berbagai studi dan laporan tidak ditemukan efek teratogenik yang bermakna pada hewan dan malformasi janin pada pasien yang telah diterapi. Penggunaan PZA pada wanita hamil telah direkomendasikan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disease secara rutin, namun di Amerika dilarang karena tidak adanya data yang adekuat mengenai efek teratogeniknya. Efek samping utama dari penggunaan obat ini adalah hepatitis, juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Pemberian intermiten dapat mengurangi kejadian tersebut. Efek samping lain adalah anoreksia, mual, muntah, disuri, demam dan reaksi hipersensitivitas.11Streptomisin melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan amnion serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. Efek samping yang dilaporkan dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksisiti. Tuli kongenital telah dilaporkan terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang pasti tentang mekanisme ototoksisiti dengan pajanan selama kehamilan. Hasil penelitian menggunakan audiogram menunjukkan 50 anak tidak mengalami gangguan, 2 dari 33 anak dengan kehilangan pendengaran, sampai 4 dari 13 anak dengan tes kalorifik tidak normal. Hal ini merupakan kejadian ototoksisiti yang berasal dari pajanan selama dalam kandungan. Penelitian lain menyimpulkan streptomisin dapat menyebabkan kerusakan sistem vestibular dan kerusakan nervus kranialis ke 8. Pada negara berkembang dianjurkan tidak menggunakan streptomisin selama kehamilan. Dosis streptomisin 0,75 - 1 g/hari selama 14-21 hari selanjutnya 1g 3 kali seminggu secara intramuscular.11Kanamisin merupakan obat lini kedua dan merupakan variasi dari aminoglikosida, mempunyai efek samping yang sama dengan streptomisin dan sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan kecuali pada MDR. Dosis yang diberikan 15 mg/kg, BB diberikan 3-5 kali seminggu intramuscular. Etionamid mempunyai penetrasi yang baik ke semua jaringan termasuk cairan serebrospinal. Pada penelitian yang dilakukan pada tikus dan kelinci tidak ditemukan peningkatan kerusakan system saraf pusat. Pada tikus putih didapatkan efek pada tulang rangka (dosis 5-10 kali normal) sedangkan terjadi retardasi pertumbuhan pada hewan pengerat.Fluoroquinolones (Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Moxifloxicin and Norfloxacin) tidak terbukti meningkatkan kejadian kelahiran abnormal dalam penggunaannya. Akan tetapi pada percobaan menggunakan binatang dengan ciprofloxacin dilaporkan adanya risiko kerusakan dari articular cartilage dan subsequent juvenile arthritis dengan penggunaan jangka pendek serta diperkirakan terjadi kerusakan dari sendi pada penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan dalam penggunaannya.11Amoxycillin/Clavulanic Acid, belum terbukti adanya efek teratogenik pada percobaan binatang. Amoxycillin/clavulanic acid biasa dipakai pada kehamilan trimester akhir sebagai profilaksis pada wanita dengan prolonged rupture of membranes tanpa adanya laporan yang merugikan, akan tetapi tidak banyak laporan pada penggunaan trimester pertama kehamilan. Amoxycillin/clavulanic acid memiliki peran kecil pada pengobatan wanita hamil dengan MDR-TB dan tidak cukup tersedia alternatifnya.1Etionamid dinyatakan potensial bersifat teratogenik dan sebaiknya dihindari penggunaan pada kehamilan kecuali jika dibutuhkan pada kasus MDR-TB. Efek samping lainnya seperti hepatitis, neuritis optic dan neuritis perifer. Dosis 0,5 - 1 gram/hari dalam dosis terbagi.11Kapreomisin merupakan obat lini kedua yang diberikan secara intramuskular. Kapreomisin secara umum merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil, hanya digunakan dengan pertimbangan benar-benar terhadap risiko dan kegunaannya. Biasanya obat ini digunakan untuk MDR-TB 3 kali seminggu. Obat ini dilaporkan bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus yang hamil.11Cycloserine juga merupakan obat lini kedua untuk TBC kehamilan. Obat ini tidak terbukti bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus, akan tetapi tidak cukup bukti dari studi pada manusia utnutk konfirmasi keamanan obat ini untuk wanita hamil. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.11Para-Aminosalicylic Acid (PAS) dilaporkan belum cukup bukti keamanannya pada pemakaian untuk kehamilan baik studi pada manusia maupun pada binatang. Hanya pernah ada satu studi dari 123 pasien yang mendapatkan PAS, melaporkan adanya angka kejadian abnormalitas pada anggota tubuh dan telinga yang lebih tinggi dibandingkan OAT lain. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.11Amikacin adalah obat yang tergolong aminoglycosides, yang mana semua obat golongan ini berpotensi menimbulkan nephrotoxisitas dan ototoxisitas pada fetus dan penggunaannya tidak direkomendasikan pada wanita hamil. Oleh karena itu penggunaan obat ini pada kehamilan seharusnya merupakan pilihan akhir setelah benar-benar mempertimbangkan untung ruginya.112.7.2 Pengobatan TB pada Wanita Menyusui

Konsensus umum menyatakan bahwa meskipun terdapat konsentrasi kecil dari obat antituberkulosis disekresi lewat air susu ibu, hal ini tidak menjadi kontraindikasi bagi ibu untuk menyusui anaknya. Konsentrasi dari OAT yang diekskresi lewat ASI ini rendah dan tidak membahayakan bagi bayi. Bahkan bilamana bayi membutuhkan pengobatan untuk penyakit aktif yang terjadi pada bayinya atau terapi profilaksis diberikan sesuai guidelines terapi pada anak.

Idealnya ibu dan anak dipisahkan terlebih dahulu sampai terjadi konversi dari BTA sputum. Akan tetapi hal ini tidak bisa dilakukan terutama di negara berkembang. Oleh karena itu menyusui tetap dilakukan, yang menjadi kontraindikasi adalah bilamana terjadi tuberculous breast abscess.1,22.8 Pencegahan Tuberkulosis

Vaksin BCG telah menjadi kebijakan imunisasi nasional di banyak negara untuk memberikan imunitas aktif sejak masa anak, terutama negara dengan beban yang tinggi. Wanita non-immune yang bepergian ke negara-negara endemik juga harus divaksinasi. Perlu diketahui bahwa kontraindikasi vaksin BCG adalah wanita hamil.

Pencegahan penyakit TBC tidak hanya berhenti pada vaksin BCG mengingat penyakit ini merupakan penyakit yang dipengaruhi lingkungan sekitar. Perbaikan kehidupan dengan ventilasi yang baik dan menghindari kehidupan overcrowded perlu didorong. Perbaikan status gizi merupakan aspek penting dalam pencegahan. Wanita hamil dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk TB yang akan mempengaruhi outcome maternal dan perinatal. Pada tahun 2009, sebanyak 1,1 juta orang terdiagnosis dengan koinfeksi. Oleh karena itu, pencegahan primer HIV/AIDS merupakan langkah utama dalam pencegahan tuberkulosis kehamilan. Untuk itu diperlukan uji penapisan untuk wanita hamil dengan risiko tinggi bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala klinis. Bagaimanapun juga, individualisasi pasien dan keputusan klinis yang rasional diperlukan untuk memutuskan waktu yang tepat untuk memberikan Isoniazid preventive therapy (IPT) pada wanita hamil dengan risiko tinggi. Komitmen pemerintah sangat diperlukan sehingga WHO dan lembaga-lembaga internasional yang terlibat memerangi tuberculosis.10BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak mempengaruhi manifestasi klinis dan progresitivitas tuberkulosis bila diterapi dengan tepat dan adekuat. Penggunaan regimen pengobatan yang tepat dan adekuat dapat memperbaiki kualitas hidup ibu hamil dan menghindari efek samping ke janin dan bayi yang baru lahir. Penggunaan obat streptomisin dan obat lini kedua dihindari pada wanita hamil karena efek samping terhadap janin, kecuali dalam keadaan MDR.DAFTAR PUSTAKA1. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2005.2. Laksmi Maharani, Biran Affandi, Tjandra Yoga Aditama, Joedo Prihartono. Profil perempuan hamil penderita tuberkulosis di poliklinik tuberkulosis Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia Baladewa Jakarta Pusat.Indones J Obstet Gynecol 2009;33-4:210-53. Ghosh K, Chowdhury J, Ghosh K. Tuberculosis and female reproductive health.Journal of Postgraduate Medicine. 2011;57(4):307.

4. Mnyani C, McIntyre J. Tuberculosis in pregnancy. BJOG: An International Journal of Obstetrics &Gynaecology. 2011 Jan;118(2):22631.

5. Loto OM, Awowole I. Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Journal of Pregnancy. 2012;2012:17.

6. The Global Plan to Stop Tb 2011-2015: Transforming the Fight Towards Elimination of Tuberculosis, World Health Organization, Geneva, Switzerland, 2010.7. Kothari A, Girling J. Tuberculosis and pregnancy: result of a study in a high prevalence. Eur J Obstet Gynecol 2006; 126: 48-55.8. Pathways to Better Diagnostics for Tuberculosis; A Blueprint for Development of TB Diagnostics, World Health Organization,Geneva, Switzerland, 2009.9. Sofie Rifayani, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RSHS, Bagian Pertama (Obstetri). Edisi 2. Bagian Obgin RSHS. 2005.10. Gupta, U. Nayak, M. Ram et al., Postpartum tuberculosis incidence and mortality among HIV-infected women and their infants in Pune, India, 2002-2005, Clinical Infectious Diseases, vol. 45, no. 2, pp. 241249, 2007.11. Lambrou, dkk: The John Hopkin Manual of Gynecology and Obstetric : Kelainan Kardiopulmonar dan Kehamilan, 1999, 122.

12. Sulaiman Sastrawinata, dkk. Obstetri Patologi. Cetakan Pertama. EGC: Jakarta. 2005.

13. Kapita Selekta Kedokteran 1. Jakarta. Media Aesculapsus. Mochtar, Rustam. 1998.

14. Sinopsis Obstetri. Jakarta, EGC Prawirohardjo, Sarwono. 2008.15. Ilmu Kebidanan. Jakarta. PT.Bina Pustaka Somantri, Irman. 2007.1