referat sle

36
ABSTRAK Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit jaringan ikat, etiologinya tidak jelas diketahui dan termasuk soluble immune complexes disease, di mana gambaran klinisnya cukup luas dan melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa faktor predisposisi seperti kelainan genetika, infeksi virus, maupun kelainan hormonal. LES ditandai dengan lesi autoimun disertai pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan organ seperti sendi, paru, otot, jantung,dan berbagai jaringan sistemik lain termasuk ginjal. Antibodi ini berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan. 1

Upload: dina-malisa-nugraha-md

Post on 05-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

GHGJJJJJJJJJJJJJJJJGGYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYTTTTTTTTT

TRANSCRIPT

ABSTRAKFaktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit jaringan ikat, etiologinya tidak jelas diketahui dan termasuk soluble immune complexes disease, di mana gambaran klinisnya cukup luas dan melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan eksaserbasi.

Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa faktor predisposisi seperti kelainan genetika, infeksi virus, maupun kelainan hormonal. LES ditandai dengan lesi autoimun disertai pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan organ seperti sendi, paru, otot, jantung,dan berbagai jaringan sistemik lain termasuk ginjal. Antibodi ini berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.BAB IPENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan pria 5,5-9:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor kelas II yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3.

Dalam 30 tahun terakhir ini, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama didunia. Prevalensinya di berbagai negara sangat bervariasi. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, asia, dan hispanik daripada orang kulit putih. Dan terdapat juga tendensi familial. Kini tercatat sekitar 5 juta pasien Lupus tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya bertambah sebanyak 100.000 pasien baru. Di Indonesia jumlah penderita Lupus yang tercatat sebagai anggota YLI (Yayasan Lupus Indonesia) sebanyak 789 orang, tetapi jika kita melakukan penelitian yang lebih mendalam akan didapatkan jumlah pasien Lupus di Indonesia akan lebih besar dari pada di Amerika (+ 1.500.000 orang).Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di bagian Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); selama periode 5 tahun (1972-1976), ditemukan 1 kasus SLE dari 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 insiden rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan kriteria ARA yang telah diperbaiki.

BAB IITINJAUAN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

II.1. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian, terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktorial, dan ini mencakup faktor genetik, lingkungan, dan hormonal terhadap respon imun.

Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat yang juga menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada saudara kembar identik pasien SLE (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non identik (2-9%). Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaiatan dengan haplotip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikat komplemen telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.Sistem neuroendokrin ikut berperan malalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Penelitian telah menunjukkan bahwa sistem neuroendokrin dengan sistem imun saling mempengaruhi secar timbal balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang sistem imun.

Patogenesis SLE dihipotesiskan sebagai berikut:

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas sebagian yang diduga adalah hormon seks, sinar ultraviolet, dan berbagai macam infeksi.Pada SLE, auto antibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon, dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas auto antigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan komplek imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun diluar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ tersebut seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya.

Bagian terpenting dari patogenesis ini adalah terganggunya mekanisme regulassi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

II.2. Manifestasi KlinikManifestasi penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit ini seringkali terjadi tidak bersamaan. Seseorang dapat selama beberapa lama hanya mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinins lain seperti fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya memenuhi kriteria SLE.Gejala Konstitusional

Kelelahan. Kelelahan merupakan keluhan yang umum dujumpai pada pasien SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lain. Kelelahan ini agak sulit dinilai sebab banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahanseperti adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan aktivitas penyakit SLE ini maka diperlukan pemeriksaan lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respon terhadap pemberian steroid atau latihan.

Penurunan berat badan. Keluhan ini dijumpai pada sebagian pasien SLE dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.

Demam. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti lekositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.

Lain-lain. Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada pasien SLE dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran KGB, bengkak, sakit kepala, mual, dan muntah.Interpretasi dari Manifestasi klinis Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa. Pembahasan umum dan Manifestasi sistemik Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna (Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.Manifestasi MuskuloskeletalKebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan; keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan kadar creatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot dan peradangan pada biopsy dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glucocoticoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot; efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif

Manifestasi Penyakit KulitLupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau lainnya. Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanent rusak. Lesi dapat memburukkan rupa, terutama pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar hidung the buterfly rash), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibody terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (lupus profundus). Bercak dapat ringan atau berat;p mereka dapat menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.

Manifestasi RenalNephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis. Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan irrversibel. Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.

Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis

Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluorescence

Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis

Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.

Class III: Focal Lupus Nephritis

Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada

Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis

Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis

Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerularfocal sclerosing lupus nephritis

Class IV: Diffuse Lupus Nephritis

Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus.

Class IV-S (A): Lesi aktif Lupus nephritis diffuse segmental proliferative

Class IV-G (A): Lesi aktif Lupus nephritis diffuse global proliferative

Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut lupus nephritis diffuse segmental sclerosing

Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut lupus nephritis diffuse global sclerosing

Class V: Membranous Lupus Nephritis

Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.

Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis

90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual

Manifestasi Sistem SarafAda banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang. Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan; terapi immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.

Oklusi VaskulerPrevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack endocarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL (lihat dibawah) dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam investigasi.

Manifestasi PulmonerManifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan perawatan suportif. Manifestasi Penyakit Jantung Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus myocarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.

Manifestasi HematologikManifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi, dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi. Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat. Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya ditangani dengan strategi tambahan.

Manifestasi Gastrointestinal Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan.

Manifestasi Okuler Sindrom Sicca (Sindrom Sjgren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk katarak dan glaucoma.

II.3. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

Pemeriksaan AutoantibodiTabel 2. Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

AntibodyPrevalensi, %Antigen yang DikenaliClinical UtilityAntinuclear antibodies

98

Multiple nuclear

Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE

Anti-dsDNA

70

DNA (double-stranded)

Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.

Anti-Sm

25

Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.

Anti-RNP

40

Kompleks protein pada U1 RNA Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE. Anti-Ro (SS-A)

30

Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa

Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis. Anti-La (SS-B)

10

47-kDa protein pada hY RNABiasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritisAntihistone

70

Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin)

Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.

Antiphospholipid

50

Phospholipids,2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin

Tiga tes tersedia ELISA untuk cardiolipin dan 2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antierythrocyte

60

Membran eritrosit

Diukur sebagai tes Coombs langsung; terbentuk pada hemolysis.

Antiplatelet

30

Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet.

Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE

Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor)

60

Neuronal dan permukaan antigen limfosit

Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.

Antiribosomal P

20

Protein pada ribosome

Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay.

(Tabel 2) Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada pemeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis.

Pemeriksaan Staandar untuk DiagnosisPemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan

Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan PenyakitSangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung. Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA, beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan, karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes mellitus

III.4. DiagnosisKriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 3 dibawah ini :

NoGejalaPengertian

1Malar Rash (Butterfly rash)Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)

2Discoid rashBercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi

3FotosensitivitasPaparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak

4Ulkus oralTermasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan

5Arthritisarthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

6SerositisPleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura

7Gangguan GinjalProteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler

8Gangguan neurologikPsikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

9Gangguan hematologikAnemia atau leucopenia hemolytic (

10Gangguan ImunologisAnti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid

11Antibodi AntinuklearJumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya.

Tabel 3.Kriteria klinis untuk diagnosis SLE

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody. Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2). Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibody pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibody.

Gambar 2. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLEIII.5. Penatalaksanaan Systemic Lupus ErythematosusTidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi. Sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.

Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak Membahayakan Nyawa

Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia. Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi renal. Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah siklooksigenase-2 secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark myokard. Acetaminophen untuk mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik, namun NSAIDs dapat lebih efektif pada beberapa pasien, dan perbandingan antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid belum diketahui. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan. Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan antimalaria sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.

SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus Nephritis

Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.52 mg/kg per hari PO atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.51 mg/kg prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi (4060 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat; penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga 20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna (Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV, berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid (infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)

Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya menunjukkan stadium III atau IV (klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi glukokortikoid dan siklophosphamide mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan harapan hidup. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari gangguan ovarium, merupakan efek umum dari terapi siklophosphamide, dapat dikurangi dengan terapi agonist hormone gonadotropin-releasing sebelum pemberian siklophosphamide. Penelitian di Eropa menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7 tahun. Pada umumnya mayoritas pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu dapat belaku untuk etnis lainnya. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon dengan baik. Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih controversial. Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6 bulan diikuti dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti dengan azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau myciophenolate. Pada umumnya, siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan jika sudah terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan penyakit diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus nephritis terhadap siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan infeksi oportunis.

Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.

Table 4. Medications for the Management of SLE

MedicationDose RangeDrug InteractionsSerious or Common Adverse EffectsNSAIDs, salicylates (Ecotrina and St. Joseph's aspirina approved by FDA for use in SLE)

Doses toward upper limit of recommended range usually required

A2R/ACE inhibitors, glucocorticoids, fluconazole, methotrexate, thiazides

NSAIDs: Higher incidence of aseptic meningitis, transaminitis, decreased renal function, vasculitis of skin; entire class, especially COX-2-specific inhibitors, may increase risk for myocardial infarction

Salicylates: ototoxicity, tinnitus

Both: GI events and symptoms, allergic reactions, dermatitis, dizziness, acute renal failure, edema, hypertension

Topical glucocorticoids

Mid-potency for face; mid to high potency other areas

None known

Atrophy of skin, contact dermatitis, folliculitis, hypopigmentation, infection

Topical sunscreens

SPF 15 at least; 30+ preferred

None known

Contact dermatitis

Hydroxychloroquinea (quinacrine can be added or substituted)

200400 mg qd (100 mg qd)

None known

Retinal damage, agranulocytosis, aplastic anemia, ataxia, cardiomyopathy, dizziness, myopathy, ototoxicity, peripheral neuropathy, pigmentation of skin, seizures, thrombocytopenia

Quinacrine usually causes diffuse yellow skin coloration

DHEA (dehydroepiandrosterone)

200 mg qd

Unclear

Acne, menstrual irregularities, high serum levels of testosterone

Methotrexate b (for dermatitis, arthritis)

1025 mg once a week, PO or SC, with folic acid; decrease dose if CrCl

Acitretin, leflunomide, NSAIDs and salicylates, penicillins, probenecid, sulfonamides, trimethoprim

Anemia, bone marrow suppression, leucopenia, thrombocytopenia, hepatotoxicity, nephrotoxicity, infections, neurotoxicity, pulmonary fibrosis, pneumonitis, severe dermatitis, seizures

Glucocorticoids, orala (several specific brands are approved by FDA for use in SLE)

Prednisone, prednisolone: 0.51 mg/kg per day for severe SLE

0.070.3 mg/kg per day or qod for milder disease

A2R/ACE antagonists, antiarrhythmics class III, 2,cyclosporine, NSAIDs and salicylates, phenothiazines, phenytoins, quinolones, rifampin, risperidone, thiazides, sulfonylureas, warfarin

Infection, VZV infection, hypertension, hyperglycemia, hypokalemia, acne, allergic reactions, anxiety, aseptic necrosis of bone, cushingoid changes, CHF, fragile skin, insomnia, menstrual irregularities, mood swings, osteoporosis, psychosis

Methylprednisolone sodium succinate, IVa (approved for lupus nephritis)

For severe disease, 1 g IV qd x 3 days

As for oral glucocorticoids

As for oral glucocorticoids (if used repeatedly); anaphylaxis

CyclophosphamidebIV

725 mg/kg q month x 6; consider mesna administration with dose

Allopurinol, bone marrow suppressants, colony-stimulating factors, doxorubicin, rituximab, succinylcholine, zidovudine

Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, hemorrhagic cystitis (less with IV), carcinoma of the bladder, alopecia, nausea, diarrhea, malaise, malignancy, ovarian and testicular failure

Oral

1.53 mg/kg per day

Decrease dose for CrCl

Mycophenolate mofetilb

23 g/d PO; decrease dose if CrCl

Acyclovir, antacids, azathioprine, bile acidbinding resins, ganciclovir, iron, salts, probenecid, oral contraceptives

Infection, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, lymphoma, lymphoproliferative disorders, malignancy, alopecia, cough, diarrhea, fever, GI symptoms, headache, hypertension, hypercholesterolemia, hypokalemia, insomnia, peripheral edema, transaminitis, tremor, rash

Azathioprineb

23 mg/kg per day PO; decrease frequency of dose if CrCl

ACE inhibitors, allopurinol, bone marrow suppressants, interferons, mycophenolate mofetil, rituximab, warfarin, zidovudine

Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, pancreatitis, hepatotoxicity, malignancy, alopecia, fever, flulike illness, GI symptoms

DAFTAR PUSTAKAAlbar Z. Lupus eritematosus sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1996.p.150-60.

Albar Z, dkk. Lupus eritematosus sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, edisi Ke-IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2006.p.1214-21.

Hahn, BH. Systemic Lupus Eritematosus. Harrisons principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill; 2005. P 1960-1968.18