referat sle syarafina
DESCRIPTION
SLETRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan sebutan SLE atau
LES berbagai istilah lainnya seperti penyakit dengan seribu wajah, merupakan salah satu
penyakit reumatik autoimun yang memerlukan perhatian khusus baik dalam mengenali
tampilan klinis penyakitnya hingga pengelolaannya.
Kedua jender dapat diserang oleh penyakit ini, dimana predominansi lebih menonjol
pada perempuan di usia reproduktif. Juga mengenai semua ras walau lebih banyak terlihat
pada perempuan di Asia, atau mereka yang berkulit hitam di Amerika.
Perjalanan penyakit LES ini sangatlah dinamis sehingga seringkali menyulitkan
diagnosis manakala profesional medik dihadapi pada tampilan gejala atau keluhan yang tidak
lengkap. Pengenalan dini akan kemungkinan seseorang terkena penyakit ini sangatlah penting,
mengingat angka kematian dapat terjadi dengan cepat terkait aktivitas penyakitnya di tahun-
tahun pertama. Sementara itu, penyulit lanjut terutama pada sistim kardiovaskular dan
terganggunya berbagai fungsi organ seiring dengan melajunya perjalanan alamiah penyakit ini
pun memberikan kontribusi yang besar bagi morbiditas maupun mortalitas pasien dengan LES
atau sering disebut sebagai orang dengan lupus (ODAPUS).
Manifestasi yang beragam, seringkali tidak disadari oleh profesional medik yang
menghadapi pasien tersebut. Tidak jarang, selama berhari-hari, berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun pasien didiagnosis berdasarkan manifestasi yang
dominan terlihat seperti anemia, glomerulonefritis, dermatitis acneiform, dan sebagainya.
Manifestasi yang muncul dapat terjadi dengan rentag waktu yang panjang. Kelambatan dalam
menegakkan diagnosis akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan pengelolaan maupun
kesintasan pasien dengan LES.
1
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui secara lebih mendalam
mengenai penatalaksanaan penyakit Lupus Eritematosus Sistemik.
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan referat ini, pembaca diharapkan dapat mengetahui dan
memahami secara mendalam mengenai penatalaksanaan penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik.
2
BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem
kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing
(misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh
sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun
(antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan.
2.2 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari target
organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti multiple
sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering menyulitkan
dalam penegakkan diagnosa.
Gejala klinis yang sering muncul antara lain:
Kulit Ruam, sariawan, rambut rontok
Persendian Nyeri, kemerahan, bengkak
Ginjal Kelainan urin, gagal ginjal
Membran Radang selaput paru (pleurisitis), selaput jantung (pericarditis),
selaput dindiing perut (peritonitis)
Darah Anemia, leukopenia, trombositopenia
3
Paru-paru Batuk, sesak nafas
Sistem Saraf Kejang, psikosa
Gejala non spesifik:
1. Fatigue/lelah merupakan gejala yang paling sering muncul
2. Weight Loss/penurunan berat badan
3. Weight Gain/penambahan berat badan. Dapat disebabkan oleh pembengkakan pada
kedua tungkai atau pembersaran perut akibat organ ginjal yang terkena
4. Fever/demam – indikasi saat lupus menjadi aktif
5. Swollen Glands/pembengkakan kelenjar
Gejala spesifik:
Untuk membantu membedakan Lupus dari penyakit lainnya, American College of
Rheumatology telah menentukan 11 kriteria gejala, yaitu:
Diagnosa Lupus ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 gejala dari 11 kriteria sbb:
1. Malar rash - ruam merah berbatas tegas di daerah wajah dan leher
2. Discoid rash - bercak merah dikulit yang berhubungan dengan scalling dan
penyumbatan folikel rambut
3. Photosensitivity – ruam kulit kemerahan setelah terpapar sinar matahari
4. Mucosal ulcers – sariawan-sariawan kecil di daerah mukosa rongga mulut dan
hidung
5. Serositis – peradangan di lapisan serosa paru-paru, jantung, dan dinding perut
6. Arthritis – peradangan sendi, merupakan manifestasi yang paling sering timbul
4
7. Renal disorder – gangguan ginjal, biasanya terdeteksi dari pemeriksaan darah rutin
dan analisis urin
8. Neurological disorder – gangguan sistem saraf, gejala dapat berupa kejang atau
psikosa
9. Haematological disorder – gangguan sel darah, dapat bermanifestasi sebagai:
anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, trombositopenia
10. Immunological disorder – kelainan hasil pemeriksaan LE cells, anti- DNA dan
antibody anti-Sm
11. Anti-Nuclear Antibody (ANA test) – sebagai pertanda aktifnya Lupus bila
ditemukan dalam darah pasien.
Gambar 1: discoid rash Gambar 2: kerontokan rambut
5
Gambar 3: ruam kulit Gambar 4: butterfly rash
2.3 ETIOLOGI
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor, yaitu:
genetik, hormonal dan lingkungan.
o Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai
riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita penyakit tidak
terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid
atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25%
6
pada saudara kembar dari pasien yang menyandang lupus.
o Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Sebagian besar penyandang wanita dalam
usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti
sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik
secara invitro maupun invivo. Sehinggan harus benar-benar dipertimbangkan
pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada
Odapus.
o Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus, diantaranya
adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini
dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun mulai
terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel tubuhnya sendiri.
Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus.
Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan racun
termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya lupus.
Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya seperti arthritis
reumathoid dan multiple sclerosis.
7
Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan
manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya
gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari dan
menggunakan tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah namun
mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat.
2.4 KLASIFIKASI
Penilaian Aktivitas Penyakit
Penilaian klinis aktivitas penyakit sama pentingnya dengan hasil tes laboratorium.
Kelelahan, demam atau perubahan emosi dapat menjadi indikasi aktifnya lupus, seperti juga
munculnya ruam atau nyeri sendi. Pemantauan aktifitas penyakit sangat diperlukan untuk
menentukan agresifitas penatalaksanaan lupus dan dosis obat yang dibutuhkan. Hal ini dapat
dimonitor dari banyaknya organ tubuh pasien yang terkena dan tes laboratorium yang sesuai
untuk memantau aktifitas penyakit misalnya pemeriksaan tes fungsi ginjal,atau fungsi paru,
jumlah sel darah putih (leukosit), sel darah merah (hemoglobin) atau bahkan laju endap darah
(LED).
Berbagai indeks penilaian derajat penyakit telah dikembangkan dan digunakan oleh
para spesialis, namun aktivitas penyakit yang terus berubah dan kerusakan jaringan yang
terjadi menyulitkan untuk membedakan pengaruh dari peradangan aktif atau akibat kerusakan
yang terbentuk.
Sehingga pada prakteknya, lupus dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu: ringan, sedang, dan
berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul.
1. Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya
matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan warna pada ujung
8
jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan. Seringkali gejala tersebut
cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala
ini.
Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi alasan
digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak maksimal.
Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid
yang tinggi harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih
besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat
keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada
orang dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan
sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan.
2. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang selaput
jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau
leukopenia.
Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan
penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian
menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk
menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan
20mg prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau lebih.
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat
imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate.
Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia,
tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal
harus digunakan secara hati-hati. Obat-obat immunosupresan ini membutuhkan
waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul,sehingga dalam periode tersebut steroid
masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien
9
sudah dapat istabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera
diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit.
3. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke
dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan
obat immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin
dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau
mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi
dosis steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu:
induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar
penyakit tetap terkontrol.
Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin
intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi). mengalami
penurunaan penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu tapi banyak yang masih
percaya bahwa pengobatan tersebut sangat membantu pada lupus akut, penyakit
berat, dan sebagian lupus yang mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama
rituximab sangat menjanjikan dan cenderung memainkan bagian penting dalam
pengelolaan penyakit sedang dan berat.
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan
secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan
upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter
konsultan, terutama ahli reumatologi.
10
2.5 DIAGNOSIS
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
KRITERIA BATASAN
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung
tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratorik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut
dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
Pleuritis
Pericarditis
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didenger oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura
atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 0.5 gram per hari atau > 3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic
11
neurologi (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan
hematologik
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b. Leukopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
c. Lomfopenia <1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-obatan
Gangguan
imunologik
Anti-DNA: antibodi terhadap ntitive DNA dengan titer yang abnormal ataub. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Smatauc. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3. Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Antibody
antinuclear
positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat
yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang
12
diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh: SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
13
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia <20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.
2.6 PENATALAKSANAAN
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:
1. Edukasi dan konseling
2. Program rehabilitasi
3. Pengobatan medikamentosa
o OAINS
4. Antimalaria
5. Imunosupresan / Sitotoksik
6. Terapi lain
Edukasi dan konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik,
mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan
secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
14
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat
pemakaian obat-obatan.
Butir-butir Penjelasan Terhadap Penderita SLE
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet,
mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi
rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat
kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya
suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya
obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung,
yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak
berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak
keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.
Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung
maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya
masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama
lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari
dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan
15
sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar
pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi
yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain
Tabel 2. Terapi Medikamentosa pada Penderita Lupus Eritematosus Sistemik
Jenis Obat Dosis Jenis
Toksisitas
Evaluasi
Awal
Pemantauan
Klinis
Pemantauan
Laboratorium
OAINS/NSAID Tergantung
OAINS/NSAID
Perdarahan
saluran cerna,
hepatotoksik,
sakit kepala,
hipertensi,
aseptic
meningitis,
nefrotoksik.
Darah rutin,
kreatinin,
urin rutin,
AST/ALT
Gejala
gastrointestinal
Darah rutin,
kreatinin, AST/
ALT setiap 6
bulan
Kortikosteroid Tergantung
derajat SLE
Cushingoid,
hipertensi,
dislipidemi,
osteonecrosis,
hiperglisemia,
katarak,
osteoporosis
Gula darah,
profil lipd,
DXA,
tekanan
darah
Tekanan darah Glukosa
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Funduskopi dan
16
Hidroksiklorokuin
(3,5-4
mg/kg/BB/hr)
200-400 mg/hr
keluhan GIT,
rash, myalgia,
sakit kepala,
anemi
hemolitik pada
pasien dengan
defisiensi
G6PD
mata, G6PD
pada pasien
berisiko
lapangan pandang
mata setiap 3-6
bulan
Azatriopin 50-150 mg/hr,
dosis terbagi 1-
3, tergantung
BB
Mielosupresif,
hepatotoksik,
gangguan
lomfoprolifera
tif
Darah tepi
lengkap,
kreatinin,
AST/ALT
Gejala
mielosupresif
Darah tepi
lengkap setiap 1-2
minggu dan
selanjutnya 1-3
bulan interval.
AST setiap tahun
dan pap smear
secara teratur
Siklofosfamid Per oral: 50-150
mg/hari.
IV: 500-750
mg/m2 dalam
Dextrose 250
ml, infus selama
1 jam
Mielosupresif,
gangguan
limfoprolifera-
tif, keganasan,
imunosupresi,
sistitis
hemoragik,
infertilitas
sekunder
Darah tepi
lengkap,
hitung jenis
leukosit, urin
lengkap.
Gejala
mielosupresif,
hematuria dan
infertilitas
Darah tepi
lengkap dan urin
lengkap setiap
bulan, sitologi
urin dan pap
smear setiap
tahun seumur
hidup
Metotreksat 7.5–20mg/
minggu, dosis
tunggal atau
terbagi3. Dapat
diberikan pula
melalui injeksi
Mielosupresif,
fibrosis
hepatik,
sirosis,
infiltrat
pulmonal dan
fibrosis
Darah tepi
lengkap, foto
toraks,
serologi
hepatitis B
dan C pada
pasien risiko
tinggi, AST,
fungsi hati,
kreatinin
Gejala
mielosupresif,
sesak nafas, mual
dan muntah, ulkus
mulut
Darah tepi
lengkap terutama
hitung trombosit
setiap4-8 minggu,
AST / ALT dan
albumin tiap 4-8
minggu, urin
lengkap dan
kreatinin
17
Siklosporin A 2.5–5 mg/kg
BB, atau sekitar
100– 400 mg
per hari dalam 2
dosis,
tergantung BB
Pembengkaka
n, nyeri gusi,
peningkatan
tekanan darah,
peningkatan
pertumbuhan
rambut,
gangguan
fungsi ginjal,
nafsu makan
menurun,
tremor.
Darah tepi
lengkap,
kreatinin,
urin lengkap,
LFT
Gejala
hipersensitifitas
terhadap castor oil
(bila obat
diberikan injeksi),
tekanan darah,
fungsi hati dan
ginja
Kreatinin, LFT,
darah tepi lengkap
Miklofenolat
mofetil
1000-2000 mg
dalam 2 dosis
Mual, diare,
leukopenia
Darah tepi
lengkap,
feses
lengkap
Gejala
gastrointestinal
seperti mual,
muntah.
Darah tepi
lengkap terutama
leukosit dan
hitung jenisnya
OAINS: obat anti inflamasi non steroid, AST/ALT: aspartate serum transaminase/ alanine serum
transaminase, LFT:liver function test
*hidroksiklorokuin saat ini belum tersedia di Indonesia.
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid, merupakan pengobatan yang efektif
untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati
karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi
ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke.
Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20
minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
18
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan
obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi
dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah:
Dosis rendah : 7.5 mg prednisone atau setara perhari
Dosis sedang : > 7.5 mg, tetapi 30 mg prednisone atau setara perhari
Dosis tinggi : > 30 mg, tetapi 100 mg prednisone atau setara perhari
Dosis sangat tinggi : > 100 mg prednisone atau setara perhari
Terapi pulse : 250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa
hari
Indikasi Pemberian Kortikosteroid
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah
sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna
untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.
Tabel 3. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi
19
*Klinis; retensi natrium dan air, kalium berkurang
symbol: - tidak; ++ tinggi, +++ tinggi ke sangat tinggi, ++++ sangat tinggi
Tabel 4. Efek Samping yang Sering Ditemui pada Pemakaian Kortikosteroid
HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal; OAINS, obat anti inflamasi non steroid
Cara Pemberian Kortikosteroid
Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi
atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram
20
metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut.
Indikasi pulse metilprednisolon:
1. Neuro psikiatri lupus berat (kejang, penurunan kesadaran, mielitis
transversa, cerebrovaskular accident, psikosis, sindrom otak organic,
mononeuritis multipleks)
2. Nefritis lupus WHO kelas III, IV atau V dengan progresivitas aktivitas
penyakit
3. Gangguan hematologi (Trombositopenia refrakter berat dengan perdarahan,
anemia hemolitik)
4. Hemoragik pulmonal yang berat
5. Vaskulitis generalisata
Kontraindikasi:
1. Diketahui hipersensitivitas / alergi terhadap obat pulse terapi
2. Sedang mengalami infeksi akut (merupakan kontraindikasi relatif), jika sangat
dibutuhkan, pemberian pulse dilakukan segera setelah pemberian antibiotic
3. Hipertensi (jika tekanan darah sudah diturunkan dengan obat antihipertensi
pemberian pulse dapat dilakukan)
Cara pengurangan dosis kortikosteroid
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi segera
setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan
terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan
21
lama terapi, serta respon klinis.
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2
minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3
minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah
untuk mengontrol aktivitas penyakit.
Sparing agen kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis
KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai
sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate.
Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping KS.
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena
risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik
dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil.
Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini
kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan
untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat
untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko
cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan.
4. Immunosupresan
o Azathioprine: Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi
biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem
kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia
dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan efek obat bisa
menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine
dianggap aman digunakan selama kehamilan.
22
o Mycophenolate mofetil: Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat
sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan
lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat
ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun
kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia
subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnya
waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi
yang direncanakan.
o Methotrexate: Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan
sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel- sel sistem
kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan
jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama
dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan
sariawan cukup sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang
abnormal kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama
kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi.
o Cyclosporin: Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin serum
merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga pemantauan tekanan
darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama
kehamilan dalam dosis efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan
darah dan fungsi ginjal.
o Cyclophosphamide: Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang
mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan
efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid
saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat
dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai infus
intravena. sesuai dengan keparahan penyakit.
23
Efek samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi,
kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko
keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada
pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum
konsepsi.
o Rituximab: Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam
perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan
methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi.
Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini
Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.
5. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
o Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan
terapi konvensional
o Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis
o Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid
o Danazol pada trombositopenia refrakter
o Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada SLE
ringan
o Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan
obat lainnya
o Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat
24
o Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit
sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia)
o Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb)
o Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
Obat-obat yang dapat digunakan sesuai manifestasi penyakit:
1. Ruam kulit
Sun block/tabir surya
Topikal kortikosteroids
2. Nyeri danbengkak pada sendi
Analgesik sederhana seperti: Parasetamol, NSAID
Topikal analgesic
Amitriptiline: golongan antidepresan yang diresepkan bersama analgesik pada
pasien sekunder fibromyalgia untuk mengatasi stress akibat rasa nyeri yang
berkepanjangan
3. Mata kering
Tetes air mata buatan untuk mengatasi kekeringan bola mata
4. Sariawan dan kekeringan rongga mulut
Salivary substitute: air liur buatan dalam bentuk cair atau semprot berbahan
dasar methylcellulose atau gastric mucin
25
Obat kumur steroid
5. Trombositopeni
Danazol (Danocrine) atau vincristine (Oncovin) adalah terapi jangka panjang
bagi penderita trombositopenia berat
6. Osteoporosis
Vitamin D
Kalsium
7. Risiko penyakit jantung coroner
Asam folat
Obat penurun kadar lemak darah
Rekomendasi
Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, rehabilitasi medik dan medika
mentosa
Pemberian terapi kotrikosteroid merupakan lini pertama, cara penggunaan, dosis dan
efek samping perlu diperhatikan
Terapi pendamping (sparing agent) dapat digunakan untuk memudahkan menurunkan
dosis kortikosteroid, mengontrol penyakit dasar dan mengurangi efek samping KS.
Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya
a. Pengobatan SLE Ringan: Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan
dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas
tercapai, yaitu:
26
Obat-obatan:
Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan
Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan
nyeri dan inflamasi
Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5
mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan
Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15).
b. Pengobatan SLE Sedang: Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE
ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan
tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa: Pilar pengobatan sama seperti pada
SLE ringan kecuali pada penggunaan obat- obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam
nyawa diperlukan obat-obatan seperti:
Glukokortikoid Dosis Tinggi: Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60
mg / hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian
diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena
500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik: Terdapat beberapa obat kelompok
27
imunosupresan/sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin,
siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu
seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali
diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan/ sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Algoritma Penatalaksanaan SLE
Algoritme penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Terapi SLE sesuai dengan keparahan manifestasinya.
TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh
KS adalah kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat anti inflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.
Pemantauan
Batasan operasional pemantauan adalah dilakukannya observasi secara aktif
menyangkut gejala dan tanda baru terkait dengan perjalanan penyakit dan efek pengobatan /
28
efek sampingnya, baik yang dapat diperkirakan maupun tidak memerlukan pemantauan yang
tepat. Proses ini dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah:
a. Anamnesis:Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat,
nyeri dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap kali
pasien SLE datang berobat
b. Fisik:Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa, lesi
vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan fisik yang baik. Bantuan
pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan bila dicurigai adanya
perburukan fungsi mata atau jika klorokuin/ hidroksiklorokuin diberikan
c. Penunjang:Hematologi (darah rutin), analisis urin, serologi, kimia darah dan radiologi
tergantung kondisi klinis.
Sistim Rujukan dan Fungsi Konsultatif
Batasan operasional rujukan kasus SLE ditujukan bagi dokter umum, internis atau ahli
lain yang memerlukan kepastian diagnosis, pengelolaan pada kasus yang tidak responsif
terhadap pengobatan yang diberikan, adanya kekambuhan pada pasien yang telah tenang
(remisi) ataupun kasus SLE sedang berat dan keterlibatan organ vital, guna pengelolaan
spesialistik.
Terdapat 4 (empat) tugas utama sebagai dokter umum di perifer atau pusat pelayanan
kesehatan primer, yaitu:
1. Waspada terhadap kemungkinan penyakit SLE ini di antara pasien yang dirawatnya
dan melakukan rujukan diagnosis
2. Melakukan tatalaksana serta pemantauan penyakit SLE ringan dan kondisinya stabil
(pasien SLE tanpa keterlibatan organ vital dan atau terdapat komorbiditas)
3. Mengetahui saat tepat untuk melakukan rujukan ke ahli reumatik pada kasus SLE
29
4. Melakukan kerjasama dalam pengobatan dan pemantauan aktivitas penyakit pasien
SLE derajat berat.
SLE pada Keadaan Khusus
I. SLE dan Kehamilan
Kesuburan penderita SLE sama dengan populasi wanita bukan SLE. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya ringan, tetapi
jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika
nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang
mengalami kekambuhan.
Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada
penderita dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti
fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca persalinan sangat
penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6 bulan
aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus nefritis
jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat mengurangi
kekambuhan lupus selama hamil.
2. Medikamentosa:
a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi 7,5 mg/hari
prednison atau setara.
b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh kehati-hatian.
30
Table 4 . Obat-obatan pada Kehamilan dan Menyusui
Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan SLE
- Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau simptomatik)
- Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)
- Gagal jantung
- Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)
- Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP (Hemolitic anemia, elevated liver function test, low platelet) walaupun sudah diterapi dengan aspirin dan heparin
- Stroke dalam 6 bulan terakhir
- Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir
Pengaruh kehamilan pada SLE terhadap fetus adalah adanya kemungkinan
peningkatan risiko terjadi fetal heart block (kongenital) sebesar 2%. Kejadian ini berhubungan
dengan adanya antibodi anti Ro/SSA atau anti La/SSB.
31
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, J., Nasution, A.R., Kalim, H., Sidabutar, R.P., Diagnosis dan Terapi Lupus
Eritematosus Sistemik, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IDI.
Eugene Braunwald, Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper, Stephen Hauser, Dan L. Longo, J.
Larry Jameson. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke 15. Mc.Graw Hill.
New York, 2001 : 1922 – 1927
Gunadi R, Dewi S, Kamijoyo L, Pramudiya R. Diagnosis dan terapi penyakit Reumatik.
Jakarta. Sagung Seto. 2006.
Hahn, B.H., Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13, EGC Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta, 2000.
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia. 2006 : 1214–1220.
Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Glucocorticoid therapy. In: Firestein GS, Budd RC, Harris ED,
McInnes IB, Ruddy S, Sergent JS. Editors. Kelley’s Textbook of rheumatology. 8th ed.
Philadelphia. WB Saunders Elsevier. 2009:863-881
Kasjmir Y I, Handono K, Wijaya LK, et al. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik dalam
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta, 2011: 01 – 46.
Lahita RG. The clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In:Lahita RG, Tsokos
G, Buyon J, Koike T. Editors. Systemic Lupus erythematosus, 5th ed. San Diego.
Elsevier; 2011: 525-540.
Rahmat Gunadi, Sumartini Dewi, Laniyati Hamijoyo, Riardi Pramudiyo. Diagnosis dan Terapi
Penyakit Reumatik Cetakan ke 1. Sagung Seto. Jakarta, 2006: 21 – 35.
Ruiz-Irastorza G. Khamashta MA. Lupus and pregnancy: ten questions and some answers.
Lupus 2008; 17; 416-420.
32
Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic lupus erythematosus.
In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia.
Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA, Ogryzlo MA. The
bimodal mortality pattern of systemic lupus erythematosus. Am J Med 1976; 60:221-5.
33