referat skizoren
TRANSCRIPT
Skizofrenia
A. Definisi
Skizofrenia: berasal dari bahasa yunani, “schizein/skizo” yang berarti “terpisah/ terpecah”
dan “Phren/frenia” yang berarti “jiwa”. Oleh karena itu, penderita skizofrenia adalah orang
yang mengalami keretakan jiwa atau kepribadian. Pada skizofrenia terjadi ketidakserasian
antara afek, kognitif dan perilaku (Hawari, 2006).
B. Etiologi (Kaplan, 2010)
A. Faktor Biologis
1) Neuropatologi
Daerah otak utama yang terlibat adalah struktur limbik, lobus frontalis, ganglia
basalis, otah tengah, talamus, dan batang otak.
a. Sistem limbik
Sistem limbik yang berperan dalam pengendalian emosi. Pada sampel otak
skizofrenia postmortem telah ditemukan suatu penurunan ukuran daerah
termasuk amigdala, hipokampus, dan girus para hipokampus. Karena
penurunan ukuran tersebut, emosi yang timbul sulit untuk di kendalikan.
b. Ganglia basalis
Ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan. Pasien skizofrenia
mempunyai pergerakan yang aneh (gaya berjalan kaku, menyeringaikan
wajah dan sterotipik) bahkan tanpa adanya gangguan pergerakan akibat
medikasi. Hal ini dapat terjadi karena sedikitnya neuron-neuron akibat
berkurangnya volume otak terutama didaerah globus pallidus dan substansia
nigra. Selain itu, reseptor dopamine tipe 2 (D2) meningkat jumlahnya di
daerah caudatus, putamen, dan nucleus accumbens.
c. Lobus frontalis
1) Ganglia basalis berhubungan timbal balik dengan lobus frontalis, dengan
demikian meningkatkan kemungkinan bahwa kelainan pada fungsi lobus
frontalis yang terlihat pada beberapa pemeriksaan pencitraan otak
mungkin disebabkan oleh patologi di dalam ganglia basalis, bukan di
dalam lobus frontalis itu sendiri.
2) Peningkatan aliran darah yang lebih kecil ke korteks frontalis dorsolateral
saat melakukan prosedur aktivasi psikologis.
3) Penurunan metabolisme glukosa di lobus frontal.
4) Atropi lobus frontalis, berhubungan dengan gejala negatif skizofrenia.
5) Penurunan volume korteks prefrontal dorsolateral, sehingga
menyebabkan deficit fungsi yang menimbulkan gejala mimik.
d. Atropi lobus temporal medial bilateral, yaitu girus parahipokampus, girus
hipokampus, dan amigdala
e. Pelebaran ventrikel ketiga dan ventrikel lateral yang stabil dan kadang terlihat
sebelum onset penyakit, sehingga mengurangi volume otak.
f. Gangguan transmisi neuronal (sirkuit) akibat aliran darah yang sedikit atau
disfungsi traktus thalamocortical, dan penurunan ukuran corpus callosum
yang menimbukan gejala positif dan negatif, serta gangguan kognitif.
2) Herediter
Seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga
menderita skizofrenia dan kemungkinan seseorang menderita skizofrenia adalah
berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut. Beberapa gen
yang dijumpai pada penderita skizofrenia, antara lain 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q,
15q, dan 22q. Adanya mutasi gen dystrobrevin DTNBP 1 dan Neureglin 1
berhubungan dengan munculnya gejala negatif pada penderita skizofrenia. Selain
itu, kepribadian schizoid, skizotipal, dan paranoid memiliki kemungkinan besar
dalam timbulnya skizofrenia.
3) Gangguan anatomik
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomis di otak berperan terhadap kejadian
skizofren yaitu lobus temporal, sistem limbik dan reticular activating sistem.
Ventrikel penderita skizofrenia juga lebih besar daripada populasi normal.
4) Teori Biokimia
a. Hipotesis dopamin
Rumusan paling sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik,
sehingga menimbulkan gejal positif. Teori ini timbul dari pengamatan :
1) Aktivitas antipsikotik dari obat-obat neuroleptik misalnya fenotiazin
bekerja dengan memblokade reseptor dopamin pasca sinaps (tipe D2).
2) Obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik misalnya
amfetamin akan memperburuk skizofrenia karena amfetamin melepaskan
dopamin sentral.
Teori ini tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan
oleh :
1) Terlalu banyak pelepasan dopamin.
2) Terlalu banyak reseptor dopamin.
3) Kombinasi kedua hal di atas.
4) Keterlibatan jalur dopamin di otak yaitu jalur mesokortikal, jalur
tubuloinfundibular, jalur mesolimbik.
b. Hipotesis serotonin
Serotonin telah telah mendapat banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia
sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai aktifitas
berhubungan dengan serotonin yang kuat misalnya clozapine, risperidone,
ritanserin). Secara spesifik, antagonis pada reseptor serotonin (5-
hidroksitriptamin) tipe 2 (5-HT2) telah disadari penting untuk menurunkan
gejala psikotik dalam menurunkan perkembangan gangguan pergerakan
berhubungan dengan antagonisme-D2. Seperti yang telah dinyatakan dalam
penelitian mengenai gangguan mood, aktifitas serotonin telah berperan dalam
perilaku bunuh diri dan impulsif yang juga dapat ditemukan pada pasien
skizofrenia.
c. Hipotesis norepinefrin
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik jangka
panjang menurunkan aktifitas neuron noradrenergik di lokus cereleus dan
bahwa efek terapeutik dari beberapa antipsikotik mungkin melibatkan
aktifitas pada reseptor adrenergik-1 dan adrenergik-2. Walaupun hubungan
antara aktifitas dopaminergik dan noradrenergik masih belum jelas, semakin
banyak data yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi
sistem dopaminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem
noradrenegik mempredisposisikan pasien untuk sering relaps.
d. Hipotesis asam amino
Neurotransmiter asam amino inhibitor gamma-aminobutyric acid (GABA)
juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah
konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia
mengalami kehilangan neuron GABA-ergik di dalam hipokampus. Hilangnya
neuron inhibitor GABA-ergik secara teoritik dapat menyebabkan
hiperaktifitas neuron dopaminergik dan noradrenergik. Neurotransmiter asam
amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat dalam dasar biologis
untuk skizofrenia.
e. Teori Neuropeptide
Dua zat neuropeptide, cholecystokinin dan neurotensin ditemukan di berbagai
daerah otak penderita skizofrenia. Konsentrasi zat ini berubah pada keadaan
psikosis.
f. Teori Glutamat
Pada pasien skizofrenia terdapat inhibisi pelepasan neurotransmitter
glutamate, hal ini penting perannya dalam menimbulkan gejala akut
skizofrenia.
g. Asetilkolin dan Nikotin
Penurunan jumlah reseptor muskarinik dan nikotinik di daerah caudatus-
putamen, hipokampus, korteks prefrontal menyebabkan kekacauan regulasi
sistem neurotransmitter, sehingga timbul disfungsi kognitif pada pasien
skizofrenia.
5) Psikoneuroimunologi
Penurunan produksi interleukin-2 sel T, penurunan jumlah dan responsivitas
limfosit perifer, kelainan pada reaktivitas selular dan humoral terhadap neuron,
dan adanya antibodi yang diarahkan ke otak (antibrain antibodies) paling banyak
dikaitkannya dengan terjadi skizofrenia
6) Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin antara kelompok
pasien skizofrenia dan kelompok subyek kontrol normal. Beberapa data
menunjukkan penurunan konsentrasi luteinizing hormone-follicle stimulating
hormone (LH/ FSH), kemungkinan dihubungkan dengan onset usia dan lamanya
penyakit. Dua kelainan tambahan yang dilaporkan adalah penumpulan pelepasan
prolaktin dan hormon pertumbuhan terhadap stimulasi gonadotropin releasing
hormone (GnRH) atau thyrotropin-releasing hormone (TRH) dan suatu
penumpulan pelepasan hormon pertumbuhan terhadap stimulasi apomorphine
yang mungkin dikorelasikan dengan adanya gejala negatif.
B. Faktor Psikososial
1. Teori Psikoanalitik
Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi dalam
perkembangan yang terjadi lebih awal yang menyebabkan perkembangan
neurosis. Freud juga mendalilkan bahwa adanya defek ego juga berperan dalam
gejala skizofrenia. Jadi, konflik intrapsikis yang disebabkan dari fiksasi awal dan
defek ego, yang mungkin disebabkan oleh hubungan objek awal yang buruk,
merupakan awal mula timbulnya gejala psikotik.
2. Teori Psikodinamika
Penelitian pada kembar monozigotik secara berulang menunjukkan bahwa faktor
lingkungan dan psikologis mempunyai kepentingan dalam perkembangan
skizofrenia.
3. Teori Belajar
Menurut ahli teori belajar, anak-anak yang kemudian menderita skizofrenia
mempelajari reaksi dan cara berpikir yang irasional dengan meniru orangtuanya
yang mungkin memiliki masalah emosionalnya sendiri yang bermakna. Hubungan
interpersonal yang buruk dari orang skizofrenia, menurut teori belajar, juga
berkembang karena dipelajarinya model yang buruk selama masa anak-anak.
C. Faktor Risiko (Kaplan, 2010)
1. Faktor genetik
2. Faktor psikososial
a. Teori tentang pasien individual : adanya defek ego dan regresi dalam respon
terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain menyebabkan seseorang rentan
terhadap stres (teori psikoanalisis).
b. Teori Psikodinamika : defek stimulus lingkungan mempengaruhi hubungan
interpersonal sehingga menimbulkan stres.
c. Teori Belajar : Reaksi dan cara berfikir irasional orang tua yang mempunyai
masalah emosional bermakna juga dapat ditiru oleh anak-anak mereka
d. Teori tentang keluarga : keluarga patologis memberikan stres emosional sehingga
rentan menderita skizofrenia. Kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih
sayang di tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya
identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan
sosial pada penderita skizofrenia.
e. Teori-teori sosial : Pengaruh industrialisasi dan urbanisasi menyebabkan stres.
3. Status sosial ekonomi
4. Stress
D. Penegakan Diagnosa (Kaplan, 2010)
a. Menurut PPDGJ III
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) gangguan isi pikir:
“Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kulitasnya berbeda; atau
“Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar (withdrawal); dan
“Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
(b) Delusi
“delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dati luar; atau
“delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar;(tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);
“delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), ataau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia
lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
a) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
d) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja
social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
b. Menurut DSM IV
Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian
waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil):
1. waham
2. halusinasi
3. bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
4. perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5. gejala negatif, yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition)
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau
halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau pikiran
pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya.
Disfungsi sosial/pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan
satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan
diri, adalah jelas dibawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa
anak-anak ata remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal,
akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
Durasi : tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6
bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (kurang jika diobati dengan berhasil)
yang memenuhi kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala
prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual, tanda gangguan
mungkin dimanifestasikan hanya oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang
dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang diperlemah (misalnya, keyakinan yang
aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).
Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood: gangguan skizoaefktif dan
gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: 1. Tidak ada episode
depresif berat, manik, atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase
aktif; 2. Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya adalah
relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis
langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu
kondisi medis umum
Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika terdapat riwayat adanya
gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan
skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk
sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil).
E. Diagnosis Multiaxial (PPDGJ, )
Penilaian multiaksial
Aksis I
Aksis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan pusat perhatian
klinis.
Aksis II
Aksis II mengandung gangguan kepribadian dan retardasi mental. Penggunaan mekanisme
pertahanan yang menjadi kebiasaan dapat dituliskan dalam aksis II.
Aksis III
Aksis III menuliskan tiap gangguan fisik atau kondisi medis umum yang diketemukan disamping
gangguan mental. Jika suatu gangguan medis adalah sebagai penyebab atau secara penyebab
berhubungan dengan suatu gangguan mental, gangguan mental karena kondisi umum dituliskan
pada aksis I dan kondisi mental umum dituliskan pada aksis I maupun aksis III.
Aksis IV
Aksis IV digunakan untuk memberikan kode pada masalah psikologis dan lingkungan yang secara
bermakna berperan pada perkembangan atau eksaserbasi gangguan sekarang.
Aksis V
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi (GAF, global assesment of functioning)
dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional pasien selama periode waktu
tertentu.
Penegakan diagnosis skizofrenia berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik status mental
(Kaplan, 2010).
F. Patogenesis dan Patofisiologi Skizofrenia
Gambar. Patogenesis dan Patofisiologi Skizofrenia (Silbernagl, 2007)
Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di
korteks prefrontalis, dan pada pasien tipe II (negativisme) terdapat penurunan sejumlah
neuron (penurunan jumlah substansia grisea). Selain itu, migrasi neuron abnormal
selama perkembangan otak secara patofisologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel piramidal telah ditemukan pda korteks
prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dedrit mengandung sinaps glutaminergik,
sehingga transmisi glutamineriknya terganggu. Selain itu, pada area yang terkena,
pembentukan GABA dan atau jumlah neuron GABAnergik tampaknya berkurang
sehingga penghambatan sel piramidal menjadi berkurang.
Makna patofisologis khusus dikaitkan dengan dopamin. Availabilitas dopamin atau
agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia. Penghambatan
pada reseptor dopamin-D2 telak sukses digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia..
Di sisi lain, penurunan reseptor D2 yang ditemukan pada korteks prefrontalis dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia., seperti
kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan
dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan dopamin yang meningkat dan ini tidak
memiliki efek patogenetik.
Dopamin berperan sebagai transmiter melalui beberapa jalur (Silbernagl , 2007):
a. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik)
b. Jalur dopaminergik ke korteks (sistem mesokorteks) mungkin penting dalam
perkembangan skizofrenia
c. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamin mengatur pelepasan hormon hipofisis
(terutama pelepasan prolaktin)
d. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sitem nigrostriatum
Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia. Kerja
serotonis yang berlebihan dapat menimbulkan halusinasi dan banyak obat antipsikotik
akan menghambat reseptor 5-HT2A.
G. Tipe – tipe skizofrenia berdasarkan PPDGJ III (Kaplan, 2010)
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam
PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi
masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
Sebagai tambahan :
1. Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau
bunyi tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-
lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.
2. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien
skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode
pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan
biasanya mencapai kehidupan social yang dapat membantu mereka melewati
penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien
katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi
yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon emosional, dan perilakunya
dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak
ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik
paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam
situasi social. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis
mereka dan tetap intak.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku
menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir
(self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks),
keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
c. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling)
serta inkoheren.
d. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak
(drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa
tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi
yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak
lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia ini disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
3. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang
berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan
afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan
pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang
lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan,
hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).
Seringkali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan
kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak
terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2
minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :
a. Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-
verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara,
dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative
tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya
gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang
cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan
social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan
adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan
maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
- gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya. Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala
utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang
sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan
akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia
mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
Tipe – tipe skizofrenia berdasarkan Subtipe lain
Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya (yang
tidak berdasarkan DSM IV TR), antara lain :
a. Bouffe delirante (psikosis delusional akut).
Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas dasar lama
gejala yang kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan diagnosis
gangguan skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi Perancis melaporkan bahwa
kira-kira empat puluh persen diagnosis delirante berkembang dalam penyakitnya
dan akhirnya diklasifikasikan sebagai media skizofrenia.
b. Skizofrenia laten.
Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat
konseptualisasi diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat
sakit mental untuk mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi
diagnostik skizofrenia yang luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat
dapat mendapatkan diagnosis skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten
sering merupakan diagnosis yang digunakan gangguan kepribadian schizoid dan
skizotipal. Pasien tersebut mungkin kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh
atau gangguan pikiran tetapi tidak terus menerus memanifestasikan gejala
psikotik. Sindroma juga dinamakan skizofrenia ambang (borderline skizofrenia) di
masa lalu.
c. Oneiroid.
Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin
pasien sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan
tempat. Istilah “skizofrenik oneiroid” telah digunakan bagipasien skizofrenik yang
khususnya terlibat didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan
keterlibatan didalam dunia nyata. Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus
berhati-hati dalam memeriksa pasien untuk adanya suatu penyebab medis atau
neurologist dari gejala tersebut.
d. Parafrenia.
Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk “skizofrenia paranoid”.
Dalam pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang
memburuk secara progresif atau adanya system waham yang tersusun baik. Arti
ganda dari istilah ini menyebabkannya tidak sangat berguna dalam
mengkomunikasikan informasi.
e. Pseudoneurotik.
Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti
kecemasan, fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan
pikiran dan psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia,
panambivalensi dan kadang-kadang seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien
yang menderita gangguan kecemasan, mereka mengalami kecemasan yang
mengalir bebas (free-floating) dan yang sering sulit menghilang. Didalam
penjelasan klinis pasien, mereka jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.
Berdasarkan klasifikasi menurut T.J.Crow :
a. Skizofrenia Tipe I.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif
yaitu asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya
pembicaraan. Disertai dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang
relatif baik terhadap pengobatan.
b. Skizofrenia tipe II.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom negative
yaitu pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi
pembicaraan, penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya
motivasi, anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai
dengan kelainan otak struktural pada pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap
pengobatan.
H. Komplikasi (Kaplan, 2010)
1. Pikiran dan perilaku bunuh diri
2. Perilaku yang merusak diri
3. Malnutrisi
4. Kebersihan yang buruk
5. Depresi
6. Penyalahgunaan alkohol, obat-obatan atau resep obat
7. Kemiskinan
8. Gelandangan
9. Penahanan
10. Konflik keluarga
11. Ketidakmampuan untuk bekerja atau bersekolah
12. Menjadi korban atau pelaku kejahatan kekerasan
I. Penatalaksanaan
Non farmakologis
1. Terapi Psikososial
Terapi psikososial pada umumnya lebih efektif diberikan pada saat penderita
berada dalam fase perbaikan dibandingkan pada fase akut. Terapi ini meliputi
terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi
individual (Kaplan, 2010).
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif
didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang
diharapkan, seperti hak istimewa di rumah sakit, dengan demikian frekuensi
perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara
sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan (Kaplan,
2010).
Terapi perilaku memiliki tiga model pelatihan keterampilan sosial pada
penderita skizofrenia, yaitu :
1) Model keterampilan dasar
Model keterampilan dasar sering juga disebut dengan istilah keterampilan
motorik, merupakan model pendekatan yang mengidentifikasi disfungsi
perilaku sosial, kemudian dipilah menjadi tugas-tugas yang lebih
sederhana, dipelajari melalui pengulangan, dan elemen-elemen terasebut
dikombinasikan menjadi perbendaharaan fungsional yang lebih lengkap.
2) Model pemecahan masalah sosial
Model pemecahan masalah sosial dilaksanakan melalui modul-modul
pembelajaran seperti manajemen medikasi, manajemen gejala, rekreasi,
percakapan dasar, dan pemeliharaan diri.
3) Cognitive remediation
Penatalaksaanaan gangguan kognitif pada penderita skizofrenia bertujuan
meningkatkan kapasitas individu untuk mempelajari berbagai variasi dari
keterampilan sosial dan dapat hidup mandiri. Strategi penatalaksanaan
meliputi langsung pada defisit kognitif yang mendasari dan terapi kognitif
perilaku terhadap gejala psikotik. Penatalaksanaan langsung terhadap
defisit kognitif yang mendasari meliputi pengulangan latihan, modifikasi
instruksi berupa instruksi lengkap dengan isyarat dan umpan balik segera
selama latihan. Sedangkan terapi kognitif perilaku terhadap gejala psikotik
bertujuan mengidentifikasikan gejala spesifik dan menggunakan strategi
coping kognitif untuk mengatasinya. Contohnya seperti strategi distraksi,
reframing, self reinforcement, test realita, atau tantangan secara verbal.
Penderita skizofrenia menggunakan strategi ini untuk menemukan dan
menguji kualitas disfungsi dari keyakinan yang irasional.
b. Terapi berorintasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan
dalam keadaan remisi parsial. Keluarga tempat pasien skizofrenia kembali
seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun
intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang
dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama
dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga mendorong sanak saudaranya
yang terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat.
Rencana yang terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang
sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya
(Kaplan, 2010).
Terapi keluarga bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai
skizofrenia. Materi yang diberikan berupa pengenalan tanda-tanda
kekambuhan secara dini, peranan dari pengobatan, dan antisipasi dari efek
samping pengobatan, dan peran keluarga terhadap penderita skizofrenia.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa
menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan
bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam
penelitian terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps
tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5-10 % dengan terapi
keluarga (Kaplan, 2010).
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan perhatian pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin
terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika, tilikan, atau
suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien
skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya
dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
(Kaplan, 2010).
Terapi kelompok meliputi terapi suportif, terstruktur, dan anggotanya terbatas,
umumnya 3-15 orang. Kelebihan terapi kelompok adalah kesempatan untuk
mendapatkan umpan balik segera dari teman kelompok, dan dapat mengamati
respon psikologis, emosional, dan perilaku penderita skizofrenia terhadap
berbagai sifat orang dan masalah yang timbul.
d. Psikoterapi individual
Psikoterapi individual yang diberikan pada penderita skizofrenia bertujuan
sebagai promosi terhadap kesembuhan penderita atau mengurangi penderitaan
pasien. Psikoterapi ini terdiri dari fase awal yang difokuskan pada hubungan
antara stres dengan gejala, fase menengah difokuskan pada relaksasi dan
kesadaran untuk mengatasi stres kemudian fase lanjut difokuskan pada
inisiatif umum dan keterampilan di masyarakat dengan mempraktekkan apa
yang telah dipelajari
2. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, perilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar (Kaplan, 2010).
Tujuan utama perawatan di rumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan
efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan
penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumah sakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien tentang
skizofrenia. Selain anti psikosis, terapi psikososial ada juga terapi lainnya yang
dilakukan di rumah sakit yaitu Elektro Konvulsif Terapi (ECT).
Pada pelaksanaan Terapi ini dibutuhkan persiapan sebagai berikut (Maramis,
2009):
1) Pemeriksaan jantung, paru, dan tulang punggung
2) Penderita harus puasa
3) Kandung kemih dan rektum perlu dikosongkan
4) Gigi palsu, dan benda-benda metal perlu dilepaskan
5) Penderita berbaring telentang lurus di atas permukaan yang datar dan agak
keras
6) Bagian kepala yang akan dipasang elektroda (antara os. frontal dan os.
temporalis) dibersihkan
7) Diantara kedua rahang diberi bahan lunak dan disuruh agar pasien
menggigitnya
Frekuensi dilakukannya terapi ini tergantung dari keadaan penderita dapat diberi
(Maramis, 2009):
1) 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari
2) 2-3 kali seminggu pada keadaan yang lebih ringan
3) Maintenance tiap 2-4 minggu
Dahulu sebelum jaman psikotropik dilakukan 12-20 kali tetapi sekarang tidak
dianut lagi. Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan
bagi pasien yang karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan
antipsikotik atau tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik. Kontra
indikasi terapi ECT adalah dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit
tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada
pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah
tumor otak. Sebagai komplikasi terapi ini dapat terjadi luksasio pada rahang,
fraktur pada vertebra, robekan otot-otot, dapat juga terjadi apnea, amnesia dan
terjadi degenerasi sel-sel otak.
a. Farmakologis
Antipsikosis atau neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut dan kronik.
Kegunaannya pada psikoneuresis dan penyakit psikosomatik belum jelas.
Prinsip-prinsip Terapetik
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan pada pengobatan adalah sebagai berikut
(Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010):
1) Klinisi menentukan gejala sasaran yang akan diobati
2) Antipsikotik yang telah bekerja dengan baik (pada pengobatan sebelumnya)
harus digunakan lagi
3) Lama percobaan 4-6 minggu pada dosis yang adekuat
4) Antipsikotik lebih dari 1 dalam satu waktu jarang dilakukan
5) Pasien diberikan dosis efektif serendah mungkin
J. Prognosis
Gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia (Kaplan dan
Saddock, 2010) digambarkan di bawah ini.
a. Skizofrenia prognosis baik
Berkaitan dengan onset lambat, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial,
seksual dan pekerjaan pramorbid yang baik, gejala gangguan mood (terutama
gangguan depresif), menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung
yang baik dan gejala positif.
b. Skizofrenia prognosis buruk
Berkaitan dengan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat
sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang buruk, perilaku menarik diri, austistik,
tidak menikah, bercerai, atau janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem
pendukung yang buruk, gejala negatif, tanda dan gejala neurologist, riwayat trauma
prenatal, tidak ada remisi dalam tiga tahun, sering relaps dan riwayat penyerangan.
D. AFEK
a. Definisi Afek dan Jenis Afek
Afek merupakan respons emosional saat sekarang, yang dapat dinilai melalui
ekspresi wajah, pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuhnya (bahasa tubuh). Afek
mencerminkan situasi emosi sesaat. Afek juga dapat tidak konsisten dengan emosi yang
dikatakan penderita (American Psychiatric Association, 2000).
1. Afek yang sesuai (appropriate) merupakan kondisi dimana irama emosional adalah
harmonis dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan yang meneyertai. Afek ini luas
atau penuh, dimana rentang emosional lengkap di ekspresikan secara sesuai.
2. Afek yang tidak sesuai (inappropriate) merupakan suatu kondisi
ketidakharmonisan antara irama perasaan emosional dengan gagasan, pikiran, atau
pembicaraan yang menyertainya.
3. Afek tumpul merupakan gangguan pada afek yang dimanifestasikan oleh penurunan
yang berat dengan intensitas irama perasaan yang diungkapkan keluar, ketika diberi
stimulasi untuk tertawa atau sedih hanya sedikit ekspresi wajah yang keluar.
4. Afek terbatas merupakan penurunan irama perasaan yang kurang berat dari afek
tumpul tetapi jelas menurun.
5. Afek datar merupakan tidak ada atau hampir tidak ada tanda ekspresi afek, suara
monoton dan wajah tidak bergerak.
6. Afek labil merupakan perubahan iramam perasaan yang cepat dan tiba-tiba yang
tidak berhubungan dengan stimuli eksternal.
7. Afek luas merupakan afek pada rentang normal, yaitu ekspresi emosi yang luas
dengan sejumlah variasi yang beragam dalam ekspresi wajah, irama suara maupun
gerakan tubuh, serasi dengan suasana yang dihayatinya.
8. Afek menyempit merupakan nuansa ekspresi emosi yang terbatas. Intensitas dan
keluasan dari ekspresi emosinya berkurang, yang dapat dilihat dari ekspresi wajah dan
bahasa tubuh yang kurang bervariasi.
b. Psikopatologi Afek Inappropriate
Faktor-faktor pencetus skizofrenia faktor genetik, gangguan perkembangan,
penyalah gunaan obat-obatan, stress, serta permasalahan psikosial, dapat berpengaruh pada
otak. Faktor-faktor pencetus tersebut menyebabkan proses penyaluran impuls melalui
neurotransmitter di otak terganggu, salah satu neurotransmitter yang terganggu pada
penderita skizofren adalah neurotransmitter dopamin. Dopamin merupakan
neurotransmitter otak yang berperan dalam perasaan dan mood, dopamin juga berperan
penting pada area otak yang mengatur emosi dan tingkah laku seperti area tegmentum
ventral, bagian medial dan anterior sistem limbik, hipokampus, nukleus amígdala, nukleus
kaudatus anterior dan lobus prefrontalis. Penderita skizofren cenderung memiliki dopamin
yang berlebih, hiperdopaminergik pada sistem mesolimbik (jalur area tegmentum ke
sistem limbik) berperan pada gejala positif, sedangkan hipodapinergik akibat peningkatan
serotonergik pada mesocortical (jalur area tegmentum ke frontal cortex) dan nigrostriatal
(jalur substansia nigra ke ganglia basalis) berperan pada gejala negatif. Reseptor
dopaminergik yang ditemukan dengan densitas tinggi pada penderita skizofren adalah
receptor D2. Bila kadar dopamin tidak seimbang, maka akan menyebabkan gejala negatif
(gangguan emosi, gangguan afek, anhedon) dan gejala positif (halusinasi, delusi, gangguan
pemikiran) (Price, 2006 ; Sherwood, 2001).
Afek inappropriate merupakan suatu kondisi ketidakharmonisan antara irama
perasaan emosional dengan gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertainya, afek
ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan dopamin tersebut, karena dopamin ternyata
berpengaruh langsung terhadap perasaan emosi dan mood. Afek inappropriate ini dapat
terlihat karena ide-ide penderita skizofren dengan afek yang muncul benar-benar terputus.
Afek inappropriate terjadi akibat adanya penyimpangan dari hubungan normal antara
perasaan emosi dengan ekspresi afek, seringkali afek ini tampak terlihat dibuat-buat, kaku
dan dibawah kendala yang aneh. Penderita terkadang terlihat gembira namun ekspresi
wajah terlihat rapuh dan lemah tidak ceria, ataupun penderita terlihat mengalami
kesedihan hingga meneteskan air mata, namun emosi tidak memiliki kedalaman seolah-
olah penderita sedang mengenakan topeng kesedihan yang dapat hilang setiap saat
(American Psychiatric Association, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and statistic manual ofmental disorders
(DSM-IV-TR). Washington DC : American Psychiatric Association
Ganong, William F. 2003. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 20, Jakarta: EGC
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC
Maramis, W.F.1994. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor:
Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Ikawati, Zullies. 2009. Lecture Notes : Skizophrenia. Yogyakarta : UGM
Kaplan, Harold I., Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1. Jakarta :
Binarupa Aksara.
Dadang Hawari. 2006. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta : Gaya
Baru.
W.F., Maramis dan Maramis AA. 2009. Gangguan Mood Pada Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
PPDGJ.
Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC.
Patofisiologi skizofrenia dihubungkan dengan genetik dan lingkungan. Faktor genetik dan
lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya skizofrenia. Neurotransmitter yang
berperan dalam patofisiologinya adalah DA, 5HT, Glutamat, peptide,norepinefrin (Price, 2006).
Pada pasien skizofrenia terjadi hiperreaktivitas sistem dopaminergik (hiperdopaminergia
pada sistem mesolimbik →berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem
mesocortis dan nigrostriatal→berkaitan dengan gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal)
Reseptor dopamin yang terlibat adalah reseptor dopamin-2 (D2) yang akan dijumpai peningkatan
densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia. Peningkatan aktivitas sistem
dopaminergik pada sistem mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap gejala positif.
Sedangkan peningkatan aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada
sistem mesocortis yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif (Ikawati, 2009; Maramis,
1994)
Adapun jalur dopaminergik saraf terdiri dari beberapa jalur :
a. Jalur nigrostriatal: dari substansia nigra ke basal ganglia: fungsi gerakan, EPS
b. Jalur mesolimbik: dari tegmental area menuju ke sistem limbik memori, sikap, kesadaran,
proses stimulus.
c. Jalur mesokortikal: dari tegmental area menuju ke frontal cortex kognisi, fungsi sosial,
komunikasi, respons terhadap stress.
d. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary pelepasan prolaktin (Ikawati,
2009)