referat myasthenia gravis 2

37
BAB I PENDAHULUAN Miastenia gravis adalah salah satu penyakit sistem neuromuskuler yang relatif jarang terjadi. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AChR) pada kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AChR). Selama kurun waktu dua puluh tahun, penyakit ini telah dipelajari oleh para neurolog dari segi patofisiologi dan imunologi. Hasilnya, para neurolog tersebut mengklasifikasikan penyakit ini ke dalam penyakit autoimun. 1 Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan angka kejadian sebanyak 20 orang menderita Miastenia Gravis didapat atau Acquired Myasthenia Gravis dari 100.000 populasi. Akan tetapi, penyakit ini sering tidak terdiagnosis sehingga angka kejadian diperkirakan lebih banyak dari data tersebut. Penyakit autoimun ini memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu kelemahan otot yang bersifat fluktuatif, memburuk ketika beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Pada 2/3 pasien, keterlibatan otot-otot ekstrinsik okular merupakan gejala awal yang berlanjut mengenai otot-otot bulbar dan ekstremitas sehingga mengakibatkan miastenia gravis general atau generalized myasthenia gravis (gMG). 2 1

Upload: rizkyaisyahsoraya

Post on 09-Dec-2015

119 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

neurologi

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah salah satu penyakit sistem neuromuskuler yang relatif

jarang terjadi. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang

gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AChR) pada

kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan

kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor

(AChR). Selama kurun waktu dua puluh tahun, penyakit ini telah dipelajari oleh para

neurolog dari segi patofisiologi dan imunologi. Hasilnya, para neurolog tersebut

mengklasifikasikan penyakit ini ke dalam penyakit autoimun.1

Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan angka kejadian sebanyak 20

orang menderita Miastenia Gravis didapat atau Acquired Myasthenia Gravis dari

100.000 populasi. Akan tetapi, penyakit ini sering tidak terdiagnosis sehingga angka

kejadian diperkirakan lebih banyak dari data tersebut. Penyakit autoimun ini memiliki

beberapa karakteristik yang khas, yaitu kelemahan otot yang bersifat fluktuatif,

memburuk ketika beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Pada 2/3 pasien,

keterlibatan otot-otot ekstrinsik okular merupakan gejala awal yang berlanjut

mengenai otot-otot bulbar dan ekstremitas sehingga mengakibatkan miastenia gravis

general atau generalized myasthenia gravis (gMG).2

Sebagian besar pasien miastenia gravis berespon baik terhadap terapi

imunosupresif, termasuk prednisone dan imunosupresif lainnya, seperti azathioprine,

cyclosporine, dan mycophenolate mofetil. Agen penghambat cholinesterase hanya

mampu menghilangkan gejala yang bersifat sementara dan tidak mampu untuk

menghilangkan penyebab miastenia gravis. Pada 10-15% pasien yang memiliki

timoma mendapatkan keuntungan dengan tindakan timektomi, namun peran

timektomi pada nonthymomatus MG masih dalam perdebatan. Pada krisis miastenik,

yang refrakter terhadap terapi imunosupresif atau pasien dengan persiapan timektomi,

plasmapheresis (PLEX) dan immunoglobulin IV (IVIg) digunakan untuk mecapai

perbaikan yang cepat.3

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Neuromuscular Junction

A. Anatomi Neuromuscular Junction

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan

fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf

secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus

serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut

neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular4.

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut

terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat

saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),

dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

Gambar 1. Anatomi Neuromuscular Junction4

B. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post

sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina

basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat

dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi.4

2

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin

(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat

diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal

terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).4

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong

asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi

menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian

dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan

terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan

mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan

berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada

membran post sinaptik.4

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap

berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:5

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin →Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang

disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap

berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel

dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar

10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)

akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate

miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat

transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang

sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari

ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial

dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke

dalam rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke

dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang

menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR)

dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2

3

molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan

mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang

memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan

menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.

Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di

dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf

sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh

enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O → Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis

rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di

mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran

yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5

protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan

gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah

melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran

post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat

pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial

lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan

terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan

kontraksi otot.4

4

Gambar 2. Struktur dan Fisiologi Neuromuscular Junction6

5

II.2 Miastenia Gravis

A. Definisi

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-

menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena

adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.

Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan

pulih kembali.7

B. Epidemiologi

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui dengan angka

kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi di US, namun penyakit ini merupakan

penyakit autoimun yang sering ditemukan bila dibandingkan dengan penyakit

autoimun lain. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun.

Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada

berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu

pada usia 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60

tahun.2

C. Etiologi

Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan

penyakit-penyakit lain, seperti tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan lupus

eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi merangsang

pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan

mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis

disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit

autoimun.8

Pada penyakit miastenia gravis, ditemukan adanya antibodi yang menduduki

reseptor acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan

serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine

reseptor antibodi yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses

imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif

menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis.9

6

Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula timus yang abnormal.

Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita

lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat germinativa di glandula timus seperti

juga ditemukan pada penderita lupus eritematosus sistemik, tirotoksikosis,

miksedema, penyakit Addison dan anemia hemolitik eksperimental pada tikus.

Gambaran histologik otot yang terkena terdiri dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor

rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada mayoritas penderita miastenia gravis.

Kombinasi dengan arthritis rheumatid, lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis,

Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai pada beberapa penderita miastenia gravis.9

Terdapat 4 kelas miastenia gravis berdasarkan etiologinya:10

1. Autoimun didapat

2. Transient neonatal yang disebabkan oleh transfer pasif antibody anti-AChR dari

ibu

3. Drug induced: D-penicillamine

Obat lain yang dapat menyebabkan myasthenia-like weakness, yaitu curare,

aminoglikosida, quinine, procainamide, dan calcium-channel blocker.

4. Sindrom miastenik kongenital ( defisiensi AChR, slow channel syndrome, dan fast

channel syndrome)

D. Patofisiologi

Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan

otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah

reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu untuk

kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk

pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu

yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang

dibutuhkan untuk kegiatan fisik.8

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup

timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia

gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,

dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada

serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal

inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan

7

miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik

asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia

gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada

serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin

pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.7

Gambar 3. Patofisiologi Miastenia Gravis6

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi

yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T

pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ

sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti

hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan

gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam

berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area

imunogenik utama pada subunit alfa.11,12

8

Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor

asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi

neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin

terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin

pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada

membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan

untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.11,12

E. Klasifikasi

Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis

dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain:8

Golongan I : Miastenia Okular

Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular

yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.

Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.

Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan

Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian

menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot-otot respirasi

biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi dalam dua

tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.

Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat

Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot

okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai

reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan

akan berkembang menjadi krisis miastenia.

Golongan IV : Krisis miastenia

Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot

yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan

keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III

yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama menderita

infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan

adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang

disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan

penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada

9

golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran

nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada

saat menstruasi.

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia

gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:13

Tabel 1. Klasifikasi Miastenia Gravis

Kelas Subkelas Gejala

I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat

menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta

adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat

kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau

keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot

aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan

otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

tingkat sedang.

IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot

anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat

ringan.

IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami

kelemahan dalam berbagai derajat

IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot

aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara

predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,

otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan

feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

10

F. Gambaran Klinis

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi

pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.

Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan

berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain

adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah

satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan

oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia gravis otot

levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak

normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis miastenia gravis.7

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti

dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula timbul

kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum

molle, dan laring sehingga timbul paresis dari pallatum molle yang akan

menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat

keluar dari hidungnya.14

Gambar 4. Gambaran Klinis Miastenia Gravis7

G. Diagnosis

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis

suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal

dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam

11

berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas

normal.12,14

Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer

dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya

selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.14 Pada pemeriksaan fisik,

terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti

berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang

bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan

mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat

terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.

Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan

penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang

dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan

pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.7,14

Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan

otot-otot anggota tubuh bawah. Muskulus Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot

pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep

lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali

terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan

melakukan plantar fleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.14

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang

dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat

darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring

dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal

serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat

terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi

pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.7,14

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak

hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta biasanya

kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.Hal ini merupakan tanda

yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada

muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu

pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan

12

adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan

abduksi.7,14

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan

dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama

kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang

terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk

mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis.

Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh

beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga

tidak tampak lagi.11,14

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes

antara lain:

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak

terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.

Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang

lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila

kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera

lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat

seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.7,12,14

2. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara

intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 1⁄4 atau 1⁄2 mg). Bila kelemahan

itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala-gejala seperti misalnya

ptosis, strabismus, atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.7,12,14

3. Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3

tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan

juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila

kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,

strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. 7,12,14

4. Laboratorium

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

13

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita

timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang

penting pada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM

Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40

tahun.14

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR

Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk

anti-MuSK Ab.14

Antistriational antibodies

Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine

(RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan miastenia

gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu

kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia

gravis. Hal ini disebabkan dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis

menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada

otot rangka dan otot jantung penderita.14

Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu

miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari

penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia

okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.

Pada pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-

AChR antibody.14

5. Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik:7,14

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa

peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum

single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.

Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval

interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)

14

dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat

direkam oleh jarum perekam).

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor

asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

Gambar 5. Stimulasi berulang saraf dari subjek kontrol normal (A) dan pasien dengan

myasthenia gravis (B) menggambarkan suatu klasik decremental respon. Tanggapan

yang diperoleh dengan rangsangan berulang pada saraf ulnar pada 3 Hz, rekaman dari

digiti minimi otot. (C) Sebuah penurunan menonjol terlihat pada pasien lain dengan

MG. Membandingkan amplitudo yang pertama potensial dengan potensi keempat

(panah), ada penurunan 24%. (D) Segera setelah 30 detik dari latihan, penurunan

tersebut sekarang jauh lebih sedikit (''perbaikan penurunan tersebut''). (E) Empat

menit setelah latihan penurunan tersebut kini memburuk (32%) dibandingkan dengan

istirahat dasar (kelelahan postactivation).12

H. Tatalaksana

Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase

misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat

kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1

tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan

bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai

15

aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos

dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan

myoneural junction. Efek muskarinik seperti kolik abdomen, diare dan hiperhidrosis

dapat diatasi dengan pemberian atropin. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan

prednison diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai

100 mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.

Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan perlahan-

lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan selang 1 hari

merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma.8

Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai

berikut :

1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan 3x1

tab sehari (dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari timbulnya

nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.

2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu diberikan

0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mgr. Prostigmin

secara i.m).

3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).

4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).

5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)

Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase

inhibitor). Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat

mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan “central

nervous system effect”. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat

menimbulkan krisis kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan pernafasan

yang timbul antara lain : bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis otot-otot dada dan

depresi pusat pernafasan (sentral).15

Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.

Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi

imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang

dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu

menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita

miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat

16

memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat

tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya

kekambuhan.16

Terapi jangka pendek untuk intervensi keadaan akut meliputi:

1. Plasma Exchange (PE)

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon

dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada

situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi

ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa

krisis.7,14

PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau

pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar

untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume

plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan

larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan

untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan

hingga lebih dari 10 minggu. 7,14

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama

pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat

menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai

faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan

merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan

pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. 7,14

2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating

aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari

IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi

respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena

pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari

terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. 7,14

IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua

terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.

Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama

17

antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak

menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. 7,14

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1

gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa

penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak

dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG

adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga

tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,

mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. 7,14

Pengobatan farmakologi jangka panjang, meliputi:

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk

pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai

tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid

dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. 7,14

Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek

terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Kortikosteroid

diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari

sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki

peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan

imun pada miastenia gravis.7,14

Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari

titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis

yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis

maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering

pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan

timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta

hipertensi.7,14

2. Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif

terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat

dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek

terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.14

18

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.

Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.

Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh

tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan

dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangat lambat, dengan

respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi

pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat

imunomodulasi yang lain.14

3. Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-

helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi

antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam

dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan

azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas

dan hipertensi.14

Tindakan Bedah

Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama

diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang dari

5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya jelek. Pada

wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan membaik atau akan

terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan untuk timektomi yaitu:

1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang optimal

dilanjutkan sampai saat operasi.

2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka harus

dilakukan trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan respirasi

dapat diberikan pada saat pascabedah.

3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan dosis

rendah dan disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis

sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma dengan atau tanpa miastenia gravis

sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara

kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus

19

dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian

miastenia gravis.17

Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus

kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada

miastenia gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomy ini adalah tercapainya

perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus

dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.17

Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki

peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya

bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang

seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu

satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang

permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya

besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari

jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung

dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh

tahun setelah pembedahan.17

I. Penyulit

Ada 2 penyulit yang penting yaitu :

1. Krisis Kolinergik

Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat secara berlebihan oleh obat-obat

antikolinesterase. Gejala kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat dan pupil

miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat deteriorasi yang

bersifat temporer.9

Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari obat-obat

antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok Pada neuromuscular junction

yang pada akhirnya akan menimbulkan kelemahan pada otot. Dapat diketahui dengan

anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita sedang menggunakan obat-obat

antikolinesterase, gejala gangguan pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum

obat-obat antikolinesterase, setelah penderita merasa kelemahan yang bertambah pada

otot dan penderita meminum obat lagi lalu keadaan semakin memburuk. Ditemukan

miosis, hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan bila diraba dan

kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan yang cepat dan dangkal

20

secepatnya dipasang endotrakeal tube dan diberika pula pernafasan buatan atau

dipasang respirator dengan tekanan positif.15

2. Krisis Miastenia

Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya deteriorasi, terutama terjadi

pada keadaan pascabedah, partus, infeksi atau dengan mempergunakan obat-obat

yang memperberat keadaan miastenia. Bila ragu-ragu dapat digunakan endofronium.

Terdapat perbaikan yang bersifat sempurna. Penderita miastenia gravis yang

menderita krisis miastenik bila kelemahan otot-otot penderita terus meluas sampai

pula mengenai otot-otot pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita

terlalu lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis miastenik dapat pula

timbul bial seorang penderita telah diberikan obat-obat seperti kinin, luminal,

diazepam, neomisin, sulfas magnesium. Penderita dengan krisis miastenik dapat

diberikan prostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m.15

Terapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase dihentikan

sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil.

Segera diberikan atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular

setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari 3 mm. Pada krisis

miastenia diberikan neostigmin 1-2,5 mg intramuskular.15

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius sering

menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator palpebra

jelas lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okular adakalanya masih bisa bergerak

normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan test

Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya pada

sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik, kedua

kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah

menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan

jelas.15

Mula timbulnya dengan ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa

minggu sampai bulan ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan

suara sengau (paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul

setiap hari menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit

juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas

dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan kesulitan

21

menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena

diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai pada

tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga

kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian otot-otot anggota gerak berikut

otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya

tidak lebih memburuk lagi.15

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Howard JF. Myasthenia Gravis: A Manual for the Health Care Provider. USA:

Myasthenia Gravis Foundation of America. 2008; p.8

2. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, et al. Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi

Pub. Corporation. Autoimmune Disease. 2012; p.1-10

3. Statland JM, Ciafaloni E. Myasthenia Gravis: Five New Things. New York:

Departement of Neurology, University of Rochester Medical Center. 2013; p.

126-32

4. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary [Online]. 2008 [cited January 23,

2015]; Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/

detail_myasthenia_gravis.htm

5. R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa

Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1999;

p. 816-35

6. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia Gravis: Past, Present, and

Future. The Journal of Clinical Investigation. Vol.116, No.11. 2006;p. 2843-51

7. James F.H. Epidemiology and Pathophysiology. In: Myasthenia Gravis A Manual

For Health Care Provider. Ed.1. USA: Myasthenia Gravis Foundation of America.

2008;p.8- 14.

8. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2005;p. 327-32.

9. Priguna S, Mahar M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

2006;p. 348

10. Thanvi BR, Lo TCN. Update on Myasthenia Gravis. Postgrad Med J 2004;80; p.

690-700

11. Romi F, Gilhus N E. Myasthenia Gravis Clinical, Immunological,and Therapeutic

Advances. 2005;111: p. 134-41

12. Matthew, N. Meriggioli, M.D, Chief, Karen L,editors. Myasthenia Gravis.

Diagnosis. In: Seminars in Neurology. Chicago: Department of Neurological

Sciences, Rush University. 2004

13. Jaretzki A III, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al. Myasthenia gravis:

Recommendations for Clinical Research Standards. Task Force of the Medical

23

Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America. Ann

Thorac Surg. 2000;70:p. 327–34

14. John C. Keesey, MD. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.

In: Muscle and Nerve. Ed. 29. USA: Department of Neurology, UCLA School of

Medicine, Los Angeles. 2004;.p.484- 505.

15. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga

University Press. 1991;p. 301-5

16. Benny dewa. Miastenia Gravis [Online]. 2008 [cited January 23, 2015]. Available

at: www.miasteniagravisneurologi.com/120708

17. Ali Y N, Javad S. Clinical Feature, Diagnostic Approach and Therapeutic

Outcome in Myasthenia Gravis Patient with Thymectomy. 2009;18;p. 21-5

24