myasthenia gravis

25
BAB I PENDAHULUAN Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravisyang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)pada kelinci.Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).Pada hampir 90% penderita miastenia gravis,transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR,sehingga lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis1. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular.ini diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular.ini diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis.

Upload: gekwahyu

Post on 15-Jan-2016

80 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Myasthenia Gravis

TRANSCRIPT

Page 1: Myasthenia Gravis

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.

Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia

gravisyang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)pada kelinci.Sedangkan pada

manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction

akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).Pada hampir 90% penderita miastenia

gravis,transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang

diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR,sehingga lokalisasi imun kompleks

(IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis1. Kemudian terdapat

perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya

dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana

antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular.ini diakibatkan adanya hubungan

antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada

miastenia gravis. Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan

fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat

hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular.ini

diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi

terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis.

Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena

berbagai faktor. Salah satudiantaranya adalah kelainan pada transmisi neuromuskular yang

berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga

merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari

membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung

maupun tidak langsung. Sehingga tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan

imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Walaupun terdapat

banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda. Akan tetapi, beberapa

dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang

imunopatogenesis masih sangat kurang.

Page 2: Myasthenia Gravis

BAB II

ISI

Definisi

Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang disebabkan oleh

penyakit autoimun yang didapat dan dikarekteristikan dengan fluktuasi kelemahan patologis

dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau beberap kelompok otot, terutamnya

disebabkan oleh antibodi terhdapa reseptor asetilkolin (AChR) pada post sinaps

neuromuscular junction (Sieb, 2013).

Epidemiologi

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka kejadiannya 20

kasus dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur diatas

50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyait ini dibandingkan pria dandapat terjadi pada

berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28

tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi di usia 60 tahun (Carr, 2010).

Etiologi

Terdapat predisposisi genetik untuk MG. Namun, MG tidak hanya diwarisi karena

genetik, 30% pasien MG mempunyai satu saudara kandung dengan diagnosa MG juga atau

gangguan autoimun yang lain, dan kejadian penyakit autoimun yang lain di MG pasien sangat

tinggi. Predisposisi genetik untuk pasien MG termasuk region MHC kelas I dan II, subunit-α

AChR, rantai IgG yang berat dan ringan dan gen TCR (Ropper, 2014).

Reaksi silang antibodi dengan bakteri dan virus herpes simplex dapat menginduksi

penyakit MG. Pada kasus MG yang diassosiasi dengan timoma, terdapat neurofilament yang

bersaiz sederhana NF-M yang mempunyai AChR-like epitope yang disangka merupakan

etiologi terjadinya MG. Terdapat peningkatan jumlah reseptor NF-M pada sel T di pasien

MG dengan timoma (Ropper, 2014).

Patofisiologi

Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end plate,

molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction

dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membrane postsinaptik.

Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam

serat otot dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan

berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan

memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan

kontraksi. Pada miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di

Page 3: Myasthenia Gravis

motor endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan

pengurangan jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada

motor endplate lebih sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir. Hasilnya

adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari

penelitian antara lain:auto antibodies terhadap reseptor AChR dan menginduksi endositosis,

sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodies sendiri

menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya

asetilkolin dan auto antibodies menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga

menyebabkan hilangnya sejumlah AChR (Yi, 2014).

Gambar 1.1 Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran

autoantibodi terhadap AChR.

Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki

antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia

gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki

beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15%

kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan

tindakan timektomi, timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun,

stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi (Drachman, 2011).

Page 4: Myasthenia Gravis

Manifestasi klinis

Keluhan awal yang biasanya terjadi adalah kelemahan otot spesifik bukan kelemahan

otot yang umum dan kondisinya memburuk biasanya berfluktuasi selama beberapa jam.

Tidak terlalu terlihat pada pagi hari dan biasanya memburuk seiring berjalannya hari

(Ropper, 2014).

Tabel 1.1 Manifestasi klinis pada Miastenia Gravis dari gejala yang sering terjadi sampai pada gejala

yang jarang terjadi.

Sering terjadi

Jarang terjadi

Otot-otot Gejala

Ocular Ptosis dan penglihatan

ganda

Wajah Kesulitan mengunyah,

menelan, dan berbicara

Leher Kesulitan mengangkat

kepala saat posisi telentang

Ekstremitas proksimal Kesulitan mengangkat

lengan setinggi bahu dan

kesulitan berdiri dari posisi

duduk dengan bantuan

tangan

Pernapasan Gangguan pernapasan dan

kesulitan untuk bangundari

posisi tertidur 

Ekstremitas distal Kelemahan saat

mengenggam dan

kelemahan

pada pergelangan dan kaki

Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan

diplopia. Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular.

Mungkin ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Ocular MG

dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan membahayakan yang

dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot bola mata . Jika meliputi kelopak

mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai ptosis; yang mengenai otot extraocular maka pasien

akan melihat dobel pada arah otot yang lemah (Ropper, 2014).

Page 5: Myasthenia Gravis

Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat onset penyakit

mereka. Pasien merasakan penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya tidak terlihat

beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat kearah lateral dan ke

atas, biasanya memburuk saat pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala

tersebut hilang apabila satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan

pada satu otot ekstraokular atau beberapa kombinasi otot. Ptosis biasanya yang paling

menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yang

tidak ptosis akan mengalami ptosis jika mata yang ptosis di buka dengan menggunakan jari

(Hering fenomena). Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap

gangguan motilitas okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal,

harus mengarahkan kecurigaan pada myasthenia gravis MG (Drachman, 2011).

Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya

kedua gejala terjadi bersama-sama. Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi

saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai. Dengan adanya sensasi wajah

normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan

gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat (Drachman, 2011).

Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari MG

yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas terhadap

upaya pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan

kelopak mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama

penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi

mungkin mengeluh kesulitan menjaga mata terbuka, kondisi ini kadang-kadang bingung

dengan kelemahan myasthenic. Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan

blefarospasme, dan penutupan kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi

simultan pada kelopak mata bawah. Kelemahan Orbicularis Oris merupakan

ketidakmampuan pasien untuk mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika

pemeriksa menekan pipi adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa

yang disebut " myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui

sedotan, atau meledakkan balon (Drachman, 2011).

Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh kelemahan lidah, yang

paling mudah dinilai oleh kekuatan mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam. Dalam

kasus ringan MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan,

seperti menjelang akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik tidak khas pada

Page 6: Myasthenia Gravis

MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari

atrofi ini (Drachman, 2011).

Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam mengunyah karena

kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter), sedangkan pembuka rahang tetap

kuat. Ketika kelemahan parah, rahang mungkin tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan

tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling serius dari myasthenia adalah disfagia

karena kelemahan otot lidah dan faring posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan

lebih sulit untuk ditelan dari yang padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan

dingin. Adakalanya pasien untuk menggunakan es batu untuk meminum cairan yang

dibutuhkan. regurgitasi cairan ke hidung dapat menjadi masalah jika ada kelemahan otot

palatal. Ketidakmampuan untuk menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan

faring dan membutuhkan suktion mulut.. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini,

sebuah sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen gizi

(Drachman, 2011).

Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot yang

menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta untuk menahan

kepala ke atas. Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG daripada ekstensor leher. Pasien

telentang sangat mengalami kesulitan dalam mengangkat kepala dari bantal. Jalan napas

dapat menjadi terhambat oleh penutupan glotis, yang disebabkan oleh kelemahan otot rangka

yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat dideteksi dengan adanya “stridor”, selama

dalam usaha inspirasi dan dapat meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah

pasien membutuhkan intubasi endotrakeal (Drachman, 2011).

Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. pasien myasthenic

dengan insufisiensi pernapasan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas

paten dikatakan crisis. kelumpuhan Vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum

saluran udara terhambat oleh sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu

lemah. Batuk membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang

terutama dengan cepat dapat menjadi tidak efektif pada MG. Bahkan jika jalan napas paten,

otot yang digunakan untuk inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin terlalu

lemah untuk menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas

vital (> 20 ml / kg berat badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan respirasi

mekanis. Karena kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam masa krisis tidak

mungkin terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Biasanya,

pasien duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan efek gravitasi pada diafragma.

Page 7: Myasthenia Gravis

Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai masalah pernapasan mungkin memiliki

kelemahan otot pernapasan yang mengganggu tidur mereka dan dengan demikian

menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang hari. Terkadang sebuah

penelitian tidur berguna dalam mengidentifikasi masalah tersebut (Drachman, 2011).

Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari kelemahan otot pada

MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan inkontinensia urin mengklaim bahwa itu

diringankan oleh obat antikolinesterase. Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan

prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan inkontinensia. Jika, seperti biasanya

dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus selama operasi, suatu sfingter eksternal yang

lemah mungkin tidak dapat melakukan kontraksi refleks selama batuk atau regangan

(Drachman, 2011).

Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk transmisi

neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal pada MG, meskipun

beratnya keterlibatan biasanya asimetris. Kelemahan otot ekstrimitas atas proksimal di mana

kesulitan dalam mengangkat lengan untuk mencuci atau menyikat rambut, berpakaian,

memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan kelemahan bahu dan lengan. kelelahan otot

ekstremitas atas dapat diuji secara semikuantitatif dengan kemampuan timing pasien untuk

menahan lengan ke depan saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah

karakteristik dari congenital slow-channel myasthenic syndrome (Drachman, 2011).

Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan menaiki tangga

atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. kelelahan otot tungkai dapat diuji

dengan meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di atas yang lain hingga 50 kali,

penilaian langsung dari kekuatan fleksor pinggul akan memperlihatkan peningkatan

kelemahan dari otot-otot aktif pada MG, dibandingkan dengan sisi tidak aktif (Drachman,

2011).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan yang

terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan pada miopati proksimal dari

pada kelemahan otot distal. Kelemahan otot-otot ekstremitas pada khususnya yang timbul

sebagai sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya 10% saja (Drachman, 2011).

Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk (Ropper, 2014):

a. Kelelahan, kurang tidur 

b. Stres, kecemasan, Depresi

c. Kelelahan, gerakan berulang

d. Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim

Page 8: Myasthenia Gravis

e. Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata)

f. Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan

beberapaantibiotik 

g. Minuman beralkohol

h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah

i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin

tetaptimbul sebentar setalah penyakit / infeksi tersebut sembuh.

j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.

Diagnosis

A. Pemeriksaan Fisik

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai

berikut (Drachman, 2011):

a. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan

akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.

Penderita menjadi anartris dan afonis.

b. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama

kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada

ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan

kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

c. Uji kelelahan otot

Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk

berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).

Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena

ptosis dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan

menjaga kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak mata

berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya. Tanda kedutan

kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasien diarahkan

untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengan cepat

dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih keatas

ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,

mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot.

Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupan

kelopak mata secara volunter.

Page 9: Myasthenia Gravis

Muscle Grading Chart

Musle Gradation Description

5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh

4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang

3-sedang ROM penuh melawan gravitasi

2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi

1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi

0-nol Tanpa kontraksi

Tes Lainnya (Ropper, 2014) :

a. Tensilon atau Prostigmin tes

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat

reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah

tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya

kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh

miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang

lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat

singkat. Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat

secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan

itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,

strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

b. Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet

lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh

miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah

berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala

miastenik tidak  bertambah berat.

B. Pemeriksaan Laboratorium

a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia

gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita

miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni

menunjukkan hasil tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien

thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR

antibody (Drachman, 2011).

Page 10: Myasthenia Gravis

a. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini

menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam

usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40

tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkanhasil positif (Drachman, 2011).

b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab

negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-

MuSK Ab (Ropper, 2014).

c. Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi

yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung

penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan

ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan

miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu

kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasienmuda dengan miastenia

gravis (Drachman, 2011).

C. Imaging

a. Chest x-ray

foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada

roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian

anterior mediastinum. Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya

thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk

mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada

penderita dengan usia tua (Drachman, 2011).

b. MRI Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat

digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf

otak (Drachman, 2011).

Penatalaksanaan

Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.

Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan

penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada

Page 11: Myasthenia Gravis

miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata,

perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.Penatalaksanaan miastenia gravis dapat

dilakukan dengan obat obatan, timomektomiataupun dengan imunomodulasi dan

imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan

miastenia gravis (Ropper, 2014).

Terapi pemberian antibiotik yang dikombainasikan dengan imunosupresif

danimunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat

terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi

terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset

lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya

kekambuhan (Drachman, 2011).

Plasma Exchange (PE)

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang

menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin

secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang

mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta

trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE (Drachman, 2011)..

Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa

krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien

yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Belum ada regimen standar untuk terapi ini,

tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi

untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin(5%) dengan larutan salin yang

disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE

akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu

(Drachman, 2011).

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan

natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini diakibatkan terjadinya pergeseran

cairan selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor

pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatu

keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen

plasma tidak diperlukan (Drachman, 2011).

Intravena Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan

mampu memodulasi respon imun.Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara

Page 12: Myasthenia Gravis

klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.Produk

tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif

aman untuk diberikan secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-

4 hari setelah memulai terapi (Barth, 2011).

Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama

antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan

IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.Sehingga IVIG diindikasikan

pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang

cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu (Barth, 2011).

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1

gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan

level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan

pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike

symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi

pada 24 jam pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,

sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat (Barth, 2011).

Intravena Metilprednisolone(IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon,

maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka

pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon

terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada

terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.

Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau

tidak dapat digunakan (Mantagazza, 2011).

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk

pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem

imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi

kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3

bulan.Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid akanmulai tampak dalam waktu 2-3

minggu setelah inisiasi terapi (Sanders, 2010).

Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer

antibodinya.Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan

pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi

Page 13: Myasthenia Gravis

diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di

tempat kelainan imun pada miastenia gravis (Sanders, 2010).

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat

menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal

penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada

pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek

samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi (Sanders,

2010).

Azathioprine

Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang

memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine

merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara

umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif

lainnya.Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif

terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi (Mantagazza, 2011).

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3

mg/kgbb/hari.Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal

tercapai.Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-

36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya

juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain (Mantagazza, 2011).

Cyclosporine

Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Dosis awal

pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper.

Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi

antibodi.Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi

(Sieb, 2013).

Cyclophosphamide (CPM)

Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan

obat lainnya.CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan

secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin (Mantagazza, 2011).

Timektomi (Surgical Care)

Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan

kejadian miastenia gravis.Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang

Page 14: Myasthenia Gravis

mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis.Banyak ahli saraf memiliki

pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi

miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak

dapat dibuktikan oleh standar yang seksama (Ropper, 2014).

Timek tomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak

tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun

1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari

kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien,dimana beberapa

ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung

dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari

semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun

setelah pembedahanadalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Secara umum,

kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah timektomi

dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta

obat-obatan) (Ropper, 2014).

Prognosis

Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31% MG yang mendapat pengobatan,

angka kematian 4%. 40% hanya gejala okuler. Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, > 50%

kasus berkembang ke myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan

<10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut

rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis (MG) okular.

Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai generalized myasthenia

gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia gravis (MG) menunjukkan bahwa

kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk (Drachman, 2011).

Page 15: Myasthenia Gravis

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan

abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan

disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama

kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan

dari synaptic transmission atau pada neuromuscular  junction.

Penyebab pasti gangguan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis tidak

diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan

kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang paling banyak

berperanan. Gejala awal biasanya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia.

Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin

ptosis unilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata . Ptosis biasanya yang

paling menonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Diagnosis dapat ditegakkan

berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Lab penunjang.

Tujuan pengobatan myasthenia gravis (MG) adalah untuk mencapai tiga tujuan penting:

transmisi neuromuskuler yang optimal, mengurangi atau menetralisir konsekuensi dari reaksi

autoimun, dan memodifikasi riwayat alami myasthenia gravis (MG) dengan menginduksi

remisi, didefinisikan sebagai kondisi permanen hilangnya gejala tanpa pengobatan.