myasthenia gravis laporan

60
TUGAS FARMAKOLOGI BLOK HEMATOIMUNOLOGY “MYASTHENIA GRAVIS” Disusun Oleh : Kelompok Tutorial 13 & 14 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 1

Upload: belda-evina

Post on 29-Nov-2015

191 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

definisi , etiologi, patogenesis, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana MG

TRANSCRIPT

Page 1: Myasthenia Gravis Laporan

TUGAS FARMAKOLOGI

BLOK HEMATOIMUNOLOGY

“MYASTHENIA GRAVIS”

Disusun Oleh :

Kelompok Tutorial 13 & 14

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2013

1

Page 2: Myasthenia Gravis Laporan

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr. wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur Kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang

Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan

Tugas Farmakologi : Myastenia Gravis ini dengan baik dan tepat waktu.

Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah pada Blok

Hematoimunologi. Kepada para dosen yang terlibat dalam mata kuliah

farmakologi dalam blok ini, Kami mengucapkan terima kasih atas segala

pengarahan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyusun laporan ini

dengan baik.

Tiada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa terdapat banyak

kekurangan dalam penulisan laporan ini, baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan

sebagainya. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut.

Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan

keterampilan kami. Selain itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami

harapkan, guna kesempurnaan laporan ini dan perbaikan bagi kita semua.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan

untuk kita semua.

Wassalammu’alaikum wr. wb.

Bandar Lampung, 2 Oktober 2013

Penulis

2

Page 3: Myasthenia Gravis Laporan

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i

KATA PENGANTAR ………………………………………………...... ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………... iii

ABSTRAK ……………………………………………………………. 1

BAB I. PENDAHULUAN

BAB II. ISI

2.1 Definisi Miasthenia Gravis

2.2 Sejarah Miasthenia Gravis

2.3 Epidemiologi Miasthenia Gravis

2.4 Etiologi Miasthenia Gravis

2.5 Fisiologi Kontraksi Otot

2.6 Patofisiologi Miasthenia Gravis

2.7 Manifestasi Klinis Miasthenia Gravis

2.8 Klasifikasi Miasthenia Gravis

2.9 Diagnosis Miasthenia Gravis

2.10 Diagnosis Banding Miasthenia Gravis

2.11 Penatalaksanaan Miasthenia Gravis

BAB III. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

3

Page 4: Myasthenia Gravis Laporan

ABSTRAK

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun yang

disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada

neuromuscular junction. Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan

progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai

dengan kelelahan saat beraktivitas. Sebelum memahami tentang miastenia gravis,

pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction

sangatlah penting. Membran pre-sinaptik (membran saraf), membran post-sinaptik

(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk

neuromuscular junction. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat

penting pada patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan

produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Penatalaksanaan miastenia

gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan

imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang

baik pada kesembuhan miastenia gravis.

4

Page 5: Myasthenia Gravis Laporan

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada

manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang

gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)

pada kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis,

ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari

acetylcholine receptor (AchR). Pada hampir 90% penderita miastenia gravis,

transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang

diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR,sehingga lokalisasi imun

kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis.

Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi

dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat

hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi

neuromuskular.ini diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas,

dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis.

Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat

terjadi karena berbagai faktor. Salah satu diantaranya adalah kelainan pada

transmisi neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-

Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis

autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik

merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun

tidak langsung. Sehingga tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan

imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini.

Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang

berbeda-beda. Akan tetapi, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat

pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang.

5

Page 6: Myasthenia Gravis Laporan

BAB II

ISI

2.1 Definisi Miasthenia Gravis

Istilah Myasthenia adalah bahasa Latin untuk kelemahan otot, dan

Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah satu jenis

penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu

sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-

jaringannya sendiri. Health Community dalam sebuah website-nya

mendefinisikan Myasthenia Gravis sebagai penyakit autoimun kronis yang

berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot skelet adalah serabut-serabut

otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang

berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan

yang cepat (fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas,

dan membaik setelah istirahat.

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun pada saraf

perifer akibat adanya antibody terhadap reseptor postsinaps asetilkolin (Ach)

pada neuromuscular junction. Penurunan jumlah reseptor Ach menyebabkan

gejala khas penyakit ini, yaitu penurunan kekuatan otot secara progresif

pada penggunaan otot secara berulang. Kekuatan otot akan pulih secara

cepat setelah periode istirahat atau setelah diberikan obat antikolinesterase.

Miastenia gravis ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan

progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan

disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Kelemahan otot terutama diamati

pada otot yang dipersrafi oleh nuclei motorik dari batang otak, seperti otot

okuler, mastikasi, fasial, dan lingual, namun ada juga pasien yang

mengalami kelemahan tergeneralisasi.

2.2 Sejarah Miasthenia Gravis (MG)

6

Page 7: Myasthenia Gravis Laporan

Thomas Willis pertama kali menggambarkan seorang pasien dengan

MG pada tahun 1672. Dijelaskan ada banyak kasus jarang lainnya selama

tahun tersebut dan pada tahun 1900, Campbell dan Bramwell

mengumpulkan 60 kasus MG dari kepustakaan. Penyebab dari penyakit

Myasthenia Gravis ini masih merupakan misteri, sampai pada tahun 1960

ketika Simpson mengemukakan bahwa Myasthenia Gravis disebabkan oleh

antibody yg melawan reseptor asetilkolin. Pada tahun 1973 Patrick dan

Lindstrom mengemukakan bahwa MG adalah murni autoimun, dengan

memperlihatkan bahwa kelinci yang diimunisasi dengan torpedo reseptor

asetilkolin menjadi mengalami Myasthenia.

Jolly (1895) adalah yang pertama kali menggunakan nama

Myasthenia Gravis, dimana ia menambahkan istilah pseudoparalitika untuk

menunjukkan kekurangan dari perubahan struktur pada autopsi. Adalah Jolly

juga yang semula mendemonstrasikan bahwa kelemahan Myasthenia dapat

ditimbulkan kembali dengan stimulasi paradis yang berulangkali dari syaraf

motor yang bersangkut paut dan bahwa “kelelahan” otot akan masih

membalas kepada stimulasi galvanis. Dengan menarik, ia menganjurkan

penggunaan dari physostigmin sebagai bentuk pengobatan, tetapi obat itu

diberhentikan sampai Reman (1932) dan Walker (1934) mendemonstrasikan

nilai pengobatan dari obat tersebut.

Campbell dan Bramwell (1900) dan Oppenheim (1901) masing-

masing menganalisa lebih dari 60 kasus dan merealisasikan konsep klinis

dari penyakit. Hubungan antara Myastenia Gravis dan tumor kelenjar tymus

pertama kali dicatat oleh Laquer dan Weigert pada tahun 1901, dan pada

tahun 1949 Castleman dan Norris menggambarkan secara terperinci

perubahan patologis lain di dalam kelenjar.

Pada tahun 1905 Buzzard mengumumkan seluk beluk analisa

klinikopathologis dari penyakit, ia berkomentar atas dua hal yaitu kelainan

pada thymis dan penyusupan dari lymphositis (disebut lymphorrhages)

dalam otot. Ia mendalilkan bahwa sebuah agen beracun menyebabkan

kelemahan otot, lymphorrhages, dan luka thymis. Ia juga mengomentari

hubungan dekat dari Myasthenia Gravis dengan penyakit Graves dan

7

Page 8: Myasthenia Gravis Laporan

penyakit Addison, yang juga sekarang betul-betul dipertimbangkan memiliki

dasar autoimun. Pada tahun 1960, Simpson, Nastuk dan teman-teman

sekerjanya berteori bahwa mekanisme autoimun pasti berlaku dalam

Myasthenia Gravis. Akhirnya pada tahun 1973, sifat dasar autoimun dari

Mysthenia Gravis diteguhkan melalui serangkaian penelitian oleh Patrick

dan Lindstrom, Fambrough, Lennon, and Engel dan teman-teman sekerja

mereka.

2.3 Epidemiologi Miasthenia Gravis

Myasthenia Gravis (MG) menyerang 1-7 dari 10.000 orang di AS.

MG menyerang semua kelompok usia. Puncak Insidensi didapatkan pada

wanita berusia 20-30 tahun dan pria berusia 50-60 tahun. Secara umum,

wanita lebih sering diserang daripada pria, dengan rasio 3:2. Prevalensi MG

meningkat dalam dua decade terakhir, terutama karena peningkatan rentang

hidup pasien dan perbaikan dalam kemampuan diagnosis dini. Awitan MG

pada usia muda lebih sering dijumpai pada orang Asia. Morbiditas dari

penyakit ini terjadi akibat penurunan kekuatan otot yang dapat menyebabkan

aspirasi, peningkatan kejadian pneumonia. Instabilitas, dan kegagalan napas

jika tidak diobati. Morbiditas juga dapat terjadi akibat efek samping dari

pengobatan.

2.4 Etiologi Miasthenia Gravis

Myasthenia Gravis disebabkan oleh adanya antibodi yang

merintangi, merubah bahkan merusak penerimaan zat asetilkolin, sehingga

hal ini menghalangi terjadinya kerja otot. Antibodi ini dihasilkan oleh sistem

imun tubuh sendiri. Itulah sebabnya Myasthenia Gravis dimasukkan dalam

golongan penyakit autoimun.

Myasthenia Gravis Foundation of America menjelaskan penyebab

dari penyakit ini sebagai berikut :

8

Page 9: Myasthenia Gravis Laporan

Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang timbul

dalam otak. Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati syaraf-syaraf

menuju tempat dimana syaraf-syaraf bertemu dengan serabut otot. Serabut

syaraf tidak benar-benar berhubungan dengan serabut otot. Ada tempat atau

jarak antara keduanya, tempat ini disebut persimpangan neuromuskular.

Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf bagian

akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang disebut

asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada diantara

serabut syaraf dan serabut otot (persimpangan neuromukcular) menuju

serabut otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup

atau mengkerut ketika reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada

Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor

asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan

dan merintangi reseptor asetilkolin.

Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam

sistem imun. Biasanya antibodi secara langsung menolak protein-protein

asing yang disebut antigen yang menyerang tubuh.Protein-protein ini

termasuk juga bakteri dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk melindungi

dirinya dari protein-protein asing ini. Untuk alasan yang tidak dimengerti,

sistem imun pada orang dengan Myasthenia Gravis membuat antibodi

melawan reseptor pada persimpangan neuromuscular. Antibodi tidak normal

dapat ditemukan dalam darah pada banyak orang-orang dengan Myasthenia

Gravis. Antibodi menghancurkan reseptor dengan lebih cepat dibanding

tubuh bisa menggantikan mereka lagi. Kelemahan otot terjadi ketika

asetilkolin tidak dapat menggerakkan reseptor pada persimpangan

neuromuskular.

Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat

juga penjelasan mengenai kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus

dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di

bawah tulang dada, memainkan peranan penting dalam mengembangkan

system imun pada awal kehidupan. Sel-sel ini membentuk bagian dari

system normal imun tubuh. Kelenjar ini sedikit besar pada saat bayi, tumbuh

9

Page 10: Myasthenia Gravis Laporan

secara berangsur-angsur sampai masa pubertas, dan kemudian menjadi

mengecil dan digantikan dengan pertumbuhan bersama usia.

Pada orang-orang dewasa dengan Myasthenia Gravis, kelenjar

thymus tidak normal. Ini mengandung beberapa kelompok dari indikasi sel

imun dari lymphoid hyperplasia. Kondisi ini umumnya hanya ditemukan

pada limpa dan tunas getah bening pada saat reaksi aktif imun. Beberapa

orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma atau tumor pada

kelenjar thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi berbahaya.

Hubungan antara kelenjar thymus dan Myasthenia Gravis masih belum

sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus

mungkin memberikan instruksi yang salah mengenai produksi antibodi

reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang transmisi neuromuskular.

2.5 Fisiologi Kontraksi Otot Rangka

2.5.1 Anatomi Neuromuscular Junction

Pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari

neuromuscular junction sangatlah penting sebelum memahami

tentang miastenia gravis. Tiap-tiap serat saraf secara normal

bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus

serat otot rangka motor end-plate. Ujung-ujung saraf membuat suatu

sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan

neuromuscular. Membran presinaptik (membran saraf), membran

post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-

bagian pembentuk neuromuscular junction. Bagian terminal dari

saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal

bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di

sepanjang serat saraf.

10

Page 11: Myasthenia Gravis Laporan

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction

Gambar 2. Anatomi suatu Neuromuscular Junction

2.5.2 Fisiologi Neuromuscular Junction

11

Page 12: Myasthenia Gravis Laporan

Gambar 3. Fisiologi Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan

membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nano meter

dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis

dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh

cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal

presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin

(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal

namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps

yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal

suatu lempeng akhir motorik (motor end plate) (Howard, 2008;

Newton, 2008).

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-

kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke

dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh

terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian

dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai

12

Page 13: Myasthenia Gravis Laporan

pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan

bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam

celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps

dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran

post sinaptik (Howard, 2008; Newton, 2008).

Menurut Murray (1999) secara biokimiawi keseluruhan proses

pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap,

yaitu :

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf

dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang

mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil

terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam

vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps

merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis

yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam

keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter

yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan

secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature

yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat

transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran

Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan

aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini

memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang

melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam

rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat

melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut

(junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end

13

Page 14: Myasthenia Gravis Laporan

plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan

kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau

2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini

akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran

dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi

membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi

membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini

selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di

dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang

serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan

dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi

berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam

lamina basalis rongga sinaps.

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui

mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan

kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin

merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera

terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5

protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein

beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan

natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut,

sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post

sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial

setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory

postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan

gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial

aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi

otot (Howard, 2008; Newton, 2008).

14

Page 15: Myasthenia Gravis Laporan

2.5.3 Kontraksi Otot Rangka

Mekanisme terjadinya kontraksi otot rangka mulai dari

dilepaskannya neurotransmitter ke motor-end-plate sampai pada

relaksasi otot rangka. Saat impuls saraf mencapai neuromuscular

junction, sekitar 300 vesikel asetilkolin dilepaskan dari membrane

presinaps ke membrane sel otot yang mempunyai reseptor

asetilkolin. Protein-protein membrane di membrane presinaps diduga

merupakan voltage-gated calcium channel karena apabila potensial

aksi telah mencapai terminal akson, celah ini akan terbuka dan Ca2+

berdifusi ke membrane presinaps yang akan menyebabkan vesikel

asetilkolin tergerak menuju membrane presinaps dan selanjutnya

akan dikeluarkan melalui mekanisme eksositosis.

Asetilkolin yang telah dilepaskan terikat di reseptor asetilkolin

pada membrane sel otot. Membrane ini merupakan acetylcholine-

gated ion channel yang akan terbuka bila ada asetilkolin yang

melekat. Ach-gated ion channel akan terbuka sehingga

memungkinkan ion-ion positif untuk masuk, seperti Na+, K+, dan

Ca2+. Ion negative tidak bisa memasuki membrane karena didalam

membrane terdapat muatan negative yang kuat sehingga terjadi

reaksi tolak menolak. Influx Na+ yang massif membuat potensial

aksi local di serat otot yang segera menginisiasi potensial aksi pada

membrane sel otot dan akhirnya terjadi kontraksi otot.

Asetilkolin yang dilepaskan ke sinaps akan terus mengaktivasi

reseptor asetilkolin selama keberadaanya di sinaps tersebut. Akan

tetapi, asetilkolin cepat dipindahkan karena sebagian besar di

degradasi oleh enzim asetilkolinesterase yang terdapat pada lamina

basalis, dan yang sebagian lagi berdifusi keluar dari membrane

sinaps.

Potensial aksi disebarkan melalui tubulus transverses yang

menembus seluruh serabut otot. Potensial aksi di tubulus transviersus

menyebabkan reticulum sarcoplasma mengeluarkan ion Ca2+ di

15

Page 16: Myasthenia Gravis Laporan

tempat dekat dengan myofibril dan akan menyebabkan kontraksi.

Ca2+ berdifusi ke myofibril terdekat dan berikatan dengan troponin

C dan terjadilah kontraksi.

Jika aktivitas listrik local berhenti, Ca2+ dikembalikan ke

kantong lateral reticulum sarcoplasma melalui mekanisme pompa

Ca2+-ATPase. Aktivitas listrik terhenti jika asetilkolinesterase yang

menyingkirkan asetilkolin dari neuromuscular junction. Jika tidak

ada Ca2+ ditempat myofibril, troponin-tropomiosin bergeser ke sisi

aktif aktin sehingga tidak dapat melekat pada kepala myosin (aktin

kembali ke posisi semula) dan terjadilah relaksasi otot.

2.6 Patofisiologi Miasthenia Gravis

Pada MG, kelainan dasar yang terjadi adalah penurunan reseptor Ach

(AChR) yang tersedia pada membrane postsinaps. Perubahan ini

menyebabkan terjadinya penurunan efisensi dari transmisi neuromuscular.

Walaupun Ach dilepaskan secara normal dari ujung saraf, potensial listrik

yang dihasilkan pada end-plate sangat kecil sehingga gagal untuk

menghasilkan potensial aksi. Kegagalan ini dapat mengakibatkan kelemahan

pada kontraksi otot.

Gambar 4. Patofisiologi Myastenia Gravis

16

Page 17: Myasthenia Gravis Laporan

Abnormalitas neuromuscular yang terjadi pada MG terjadi akibat

adanya respon autoimun yang dimediasi oleh antibody anti-AChR yang

spesifik Antibodi anti-AChR menyebabkan penurunan jumlah AChR yang

tersedia pada neuromuscular junction melalu tiga mekanisme: (1) terjadi

percepatan turnover AChR akibat cross-link dan endositosis reseptor; (2)

blockade situs aktif AChR yang secara normal berikatan dengan ACh; dan

(3) kerusakan pada membrane otot postsinaps oleh antibody yang berikatan

dengan komplemen. Pada pasien akan mulai muncul gejalan saat AChR

berkurang sampai 30% dari jumlah normalnya.

Sensitivitas terhadap Ach berkurang sebanyak 34-46% pada MG

onset dini dan 60-80% pada MG kronik. Analisis ultrastructural

memperlihatkan bahwa hampir semua junctional fold pada pasien dengan

onset dini masih intak. Akan tetapi, pada enplate MG kronik, junctional fold

tersebut sudah mengalami kerusakan dan digantikan oleh debris membrane

vesikuler. Jadi, penurunan sensitivitas terhadap Ach yang terjadi pada awal

penyakit MG terjadi akibat inaktivasi atau maskin reseptor oleh

autoantibody. Pada pasien MG kronik, penurunan sensitivitas tersebut

terjadi akibat kombinasi 2 faktor: (1) masking AChR oleh autoantibody, dan

(2) dekstruksi reseptor pada junctional fold akibat reaksi humoral dan

seluler.

Hal yang menginisiasi respon autoimun pada MG sampai saat ini

belum diketahui. Akan tetapi, timus terlihat memegang peran penting dalam

proses ini. Ditemukan timus yang abnormal pada sekitar 75% pasien dengan

MG, sekitar 65% memiliki timus yang hiperplastik, dengan pusat germinal

yang aktif. Sepuluh persen pasien memiliki tumor timus (timoma). Sel

seperti otot dalam timus (sel mioid), yang memiliki AChR pada

permukaannya, dapat berperan sebagai sumber autoantigen dan mencetuskan

reaksi autoimun dalam kelenjar timus.

2.7 Manifestasi Klinis Miasthenia Gravis

17

Page 18: Myasthenia Gravis Laporan

Gambaran klinis yang khas dari MG adalah kelemahan otot.

Kelemahan yang terjadi semakin berat jika otot tersebut digunakan secara

berulang dan terjadi perbaikan pada istirahat. Distribusi kelemahan otot pada

MG memiliki pola yang khas. Otot cranial, khususnya kelopak mata dan otot

ekstraokuler adalah otot yang paling sering terkena dampak penyakit ini,

sehingga diplopia dan ptosis menjadi keluhan utama yang turun temurun

ditemukan (pada sekitar 60% pasien).

Diplopia biasanya terjadi saat pasien melakukan konvergensi visual

atau menatap ke atas. Kelemahan fasial menyebabkan pasien kesulitan

tersenyum. Kelemahan pada otot-otot pengunyah menjadi semakin jelas,

terutama jika otot tersebut digunakan terlalu lama, seperti saat mengunyah

daging. Suara dapat menjadi sengau akibat terjadinya kelemahan palatum.

Pasien juga dapat mengalami disartria karena kelemahan otot lidah.

Kesulitan dalam menelan dapt terjadi sebagai akibat dari gangguan pada

palatum, lidah, atau faring, sehingga memudahkan terjadinya regusgitasi

nasal atau aspirasi makanan.

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang

berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila

sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah

pada siang

hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat

(Howard, 2008). Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

* Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus

okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis.

Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun

ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap

lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis

miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan

kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala (Howard, 2008).

18

Page 19: Myasthenia Gravis Laporan

Gambar 4. Gejala Ptosis pada pasien MG

* Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot

wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas (Howard, 2008). Sewaktu-

waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut

penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari

otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran

menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara

sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar

dari hidungnya.

Pada sekitar 85% pasien, kelemahan menjadi tergeneralisasi dan

melibatkan otot-otot tungkai. Kelemahan tungkai biasanya terjadi pada otot-

otot proksimal dan asimetris. Walaupun terdapat kelemahan otot deep

tendon reflrxes masih normal. Bila kelemahan respirasi memberat, pasien

membutuhkan bantuan respirasi. Keadaan ini dinamakan krisis miastenik.

2.8 Klasifikasi Miasthenia Gravis

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia

gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Klas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup

mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

19

Page 20: Myasthenia Gravis Laporan

2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya

kelemahan ringan pada otototot lain selain otot okular.

3) Klas IIa, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.

Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

4) Klas IIb, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau

keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial

lebih ringan dibandingkan klas IIa.

5) Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan

otot-otot lain selain otototot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

6) Klas IIIa, mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang

ringan.

7) Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau

eduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh,

otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

8) Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam

derajat yang berat, sedangkan otototot okular mengalami kelemahan dalam

berbagai derajat.

9) Klas IVa, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan

atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat

ringan.

10) Klas IVb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau

keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-

otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.

Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

11) Klas V, penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya

gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan

tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas,

gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot

tampaknya agak menurun.

20

Page 21: Myasthenia Gravis Laporan

Menurut Ngurah (1991) Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara

lebih sederhana seperti dibawah ini :

1) Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

2) Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot

untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota

tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

3) Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan

otototot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat

meninggal dunia.

2.9 Diagnosis Miasthenia Gravis

Diagnosis Miastenia Gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik yang khas, dan pemeriksaan penunjang diantaranya tes

antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibody AChR dan CT-scan atau

MRI toraks untuk melihat adanya timoma.

2.9.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan

diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul

dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi

bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak

kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas

normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya

kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan

menyebabkan timbulnya a- mask-like face dengan adanya ptosis dan

senyum yang horizontal (Howard , 2008).

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan

miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-

otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di

hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama

21

Page 22: Myasthenia Gravis Laporan

yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia

gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan

makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan

penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otototot rahang

pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup

mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan

tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi

gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher (Howard , 2008).

Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering

dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot

anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan

otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari

otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali

mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh

dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi

kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan

dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan

plantarfleksi jari-jari kaki (Howard, 2008). Kelemahan otot-otot

pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal

ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi

cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta

diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan

berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otototot faring dapat

menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang

ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut

sangat diperlukan (Howard , 2008).

Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot

ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi

oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat

penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada

22

Page 23: Myasthenia Gravis Laporan

muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya

suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan

terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai

nistagmus pada mata yang melakukan abduksi (Howard ,

2008).

Menurut Ngurah (1991) untuk penegakan diagnosis miastenia gravis,

dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang

keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah

lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan

afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara

terusmenerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara

penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita

disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan

kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Menurut Ngurah (1991) untuk memastikan diagnosis miastenia

gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain :

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride),

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena,

bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg

tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan

hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya

kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu

benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan

segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus

diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon

sangat singkat.

2. Uji Prostigmin (neostigmin),

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat

secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½

23

Page 24: Myasthenia Gravis Laporan

mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis

maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau

kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

3. Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam

kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per

tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia

gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan

bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi

prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

2.9.2 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibody

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk

mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat

hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita

miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita

dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes

antiasetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien

thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false

positive anti-AChR antibody(Howard, 2008). Menurut

(Howard , 2008) rata-rata titer antibody pada pemeriksaan

antiasetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh

Tidall, di sampaikan pada tabel berikut :

24

Page 25: Myasthenia Gravis Laporan

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih

tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang

parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan

untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM)

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita

miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada

sekitar 84% pasien yang menderita thymomadalam usia

kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan

usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan

hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang

menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia

gravis seronegarif).

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis

menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola

cross-striational pada otot rangka dan otot jantung

penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada

25

Page 26: Myasthenia Gravis Laporan

reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini

selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan

miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR

antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan

adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia

gravis.

2. Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan

dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen

thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa

pada bagian anterior mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat

menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga

terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk

mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia

gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan

sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila

diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari

penyebab defisit pada saraf otak.

3. Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada

transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah

reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat

adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

26

Page 27: Myasthenia Gravis Laporan

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan

kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat

mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval

interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada

motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah

potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh

jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi

pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber

density yang normal.

2.10 Diagnosis Banding Miasthenia Gravis

Menurut Ngurah (1991) dan Howard (2008). Beberapa diagnosis

banding untuk menegakkan diagnosis miasteniagravis, antara lain :

a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus

III pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :

- Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

- Infiltrasi karsinoma

- anaplastik dari nasofaring

- Aneurisma di sirkulus

- arteriosus Willisii

- Paralisis pasca difteri

- Pseudoptosis pada trachoma

b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan

adanya suatu sklerosis multipleks.

c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan

kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan

ke;emahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,

terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter,

terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan

27

Page 28: Myasthenia Gravis Laporan

suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS

sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi

neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi

hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada

miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada

LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin

tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya

sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan

depolarisasi.

2.11 Penatalaksanaan Miasthenia Gravis

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang

pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling

dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi

imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.

Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.

Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu

dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin (Howard , 2008). Terapi

imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian

antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya

mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.

Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan

kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi

memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya

kekambuhan (Lewis, 1995).

Penatalaksanaan MG meliputi :

A. Anticholinesterase

Anticholinesterase (contohnya mestinon) memperkenankan

asetilkolin untuk tinggal pada persimpangan neuromuskular lebih lama dari

biasanya sehingga dengan begitu, lebih banyak tempat penerima yang bisa

diaktifkan. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan

28

Page 29: Myasthenia Gravis Laporan

kolinesterase sehingga asetilkolin tak segera dihancurkan. Akibatnya,

aktivitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90 % dari

kekuatan dan daya tahan semula. Selain neostigmin (Prostigmin), dapat juga

digunakan piridostigmin (Mestinon) dan ambenonium klorida (Mytelase),

yang merupakan obat-obat analog sintetik lain dari fisostigmin (Eserine).

Obat-obat ini tidak melakukan apapun untuk menyembuhkan MG,

tapi obat-obatan ini dapat memberikan pertolongan sementara untuk

menolong pasien menjadi lebih baik. Beberapa otot mungkin membaik

untuk beberapa jam ketika yang lainnya mungkin tidak merespon atau

bahkan bertambah lemah dengan obat-obatan ini.

B. Corticosteroid dan Immunosuppressant

Kortikosteroid (contohnya prednisone) dan immunosupresan

(contohnya imuran) bisa digunakan untuk menekan reaksi tidak normal dari

sistem imun yang terjadi pada MG. Di antara preparat steroid, prednisone

paling sesuai untuk Myasthenia Gravis, dan diberikan sekali sehari selang-

seling untuk menghindari efek samping.

Pada kasus yang berat, prednisone dapat diberikan dengan dosis awal

yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin

ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan

agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis,

maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan

memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisone

secara mendadak harus dihindari.

C. Immunoglobulin

Immunoglobulin (IVIg) dimasukkan ke dalam pembuluh darah

terkadang digunakan juga untuk mempengaruhi fungsi atau produksi dari

antibodi yang tidak normal.

Penggunaan immunoglobulin melalui pembuluh darah, sama dengan

pertukaran plasma, yakni untuk menghasilkan perbaikan yang lebih cepat

29

Page 30: Myasthenia Gravis Laporan

untuk menolong pasien melalui periode sulit dari kelemahan Myasthenia

atau sebelum menjalani pembedahan.

Pengobatan ini memiliki keuntungan yaitu tidak memerlukan

peralatan khusus untuk jalan masuk ke pembuluh darah. Dosis yang umum

adalah 400 mg/kg per hari untuk 5 hari berturut-turut (total dosis = 2 g/kg).

Perbaikan terjadi pada sekitar 70 % dari pasien, dimulai sekitar 4 sampai 5

hari setelah pengobatan dan dilanjutkan beberapa minggu sampai beberapa

bulan. Pengobatan ini tidak memiliki pengaruh yang konsisten pada nilai

atau kadar sirkulasi antibodi AChR.

C. Plasmapheresis

Plasmapheresis atau pertukaran plasma mungkin juga berguna pada

pengobatan MG. Cara ini memindahkan atau mengangkat antibodi tidak

normal dari plasma darah. Kemajuan pada kekuatan otot mungkin terlihat

jelas tetapi biasanya tidak bertahan lama karena produksi antibodi yang tidak

normal masih terus berlanjut. Ketika plasmapheresis dilakukan, ini akan

memerlukan pertukaran yang berulang-ulang. Pertukaran plasma mungkin

khususnya berguna pada saat kelemahan MG yang sangat hebat atau

sebelum menjalani pembedahan.

Plasmapheresis (penarikan plasma) adalah sebuah pengobatan jangka

pendek yang mahal, dimana beberapa liter dari darah diangkat dari

pembuluh darah pasien, diolah dalam sebuah mesin, dan sel darah merah

dikembalikan melalui pembuluh darah ke dalam plasma tiruan (albumin dan

larutan garam). Plasmapheresis dilakukan berulang-ulang untuk 2 minggu

ketika manfaat pengobatan jangka pendek sangat diperlukan bagi pasien,

seperti ketika sedang mengalami krisis pernafasan atau sebelum menjalani

pembedahan atau penyinaran. Beberapa pasien menjadi lebih kuat beberapa

hari setelah menjalani proses ini, tapi manfaatnya hanya berlangsung

beberapa minggu saja.

30

Page 31: Myasthenia Gravis Laporan

D. Thymectomy

Thymectomy (pembedahan menghilangkan kelenjar thymus) adalah

pengobatan lain yang digunakan pada sebagian pasien. Kelenjar thymus

terletak di belakang tulang dada dan ini adalah bagian penting dari sistem

imun. Ketika ada tumor pada kelenjar thymus (10-15 %), akan dilakukan

pengangkatan dikarenakan resikonya yang berbahaya. Thymectomy

seringkali mengurangi kehebatan dari kelemahan MG setelah beberapa

bulan. Pada beberapa orang, kelemahan mungkin hilang sepenuhnya. Ini

disebut masa remisi. Tingkat sampai dimana thymectomy bisa dikatakan

menolong, adalah bervariasi pada setiap pasien.

Dalam sebuah bukunya, Harrison mengatakan bahwa harus dibedakan

antara pembedahan untuk menghilangkan thymoma, dengan thymectomy

sebagai pengobatan bagi Myasthenia Gravis. Pembedahan untuk

menghilangkan thymoma diperlukan karena adanya kemungkinan

menyebarnya tumor lokal, walaupun banyak thymoma jinak. Dengan

ketidak adaan tumor, fakta-fakta yang ada memperkirakan hingga 85 %

pasien mengalami perbaikan setelah thymectomy, dan karena ini sekitar 35

% mencapai remisi bebas obat. Tetapi, perbaikan ini biasanya berjalan

lambat hingga hitungan bulan atau tahun.

Keuntungan dari thymectomy yaitu menawarkan manfaat jangka

panjang, dalam beberapa kasus terjadi berkurangnya kebutuhan untuk

meneruskan pengobatan medis. Dalam tinjauan dari potensi manfaat dan

resiko, tidak berarti di tangan yang ahli, thymectomy memperoleh

penerimaan yang cukup luas sebagai pengobatan bagi MG. Dengan

kesepakatan bahwa thymectomy harus dilakukan pada pasien-pasien MG

umum antara usia puber dan kurang dari 55 tahun, apakah thymectomy

direkomendasikan untuk anak-anak dan orang dewasa diatas 55 tahun, dan

apakah thymectomy juga perlu dilakukan pada pasien yang kelemahannya

terbatas hanya pada mata saja, hal ini masih merupakan perkara yang

diperdebatkan. Thymectomy harus dilakukan di rumah sakit yang sudah

terbiasa melakukannya dan memiliki staf yang berpengalaman dalam proses

31

Page 32: Myasthenia Gravis Laporan

sebelum dan sesudah pembedahan, pembiusan serta teknik pembedahan

thymectomy.

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut :

Menurut Lewis (1995) terapi Jangka Pendek untuk Intervensi

Keadaan Akutadalah sebagai berikut

1. Plasma Exchange (PE)

Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi

dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan

karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah

pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah

menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi

dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas.

Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang

mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang

akan menjalani thymektomi 28atau pasien yang kesulitan menjalani

periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi

banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap

kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan

larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat

digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam

pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping

utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama

pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan

natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.

Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah

dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan

suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan,

dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

32

Page 33: Myasthenia Gravis Laporan

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-

activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG

diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer

antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar

pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi

dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG

diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena

kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya

beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data,

tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga

banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi

awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400

mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama

2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan

level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak

dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan

menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual

selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.

Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit

kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.

3. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak

ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon

masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.

Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada

terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada

terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu

setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan

dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

33

Page 34: Myasthenia Gravis Laporan

Terapi Farmakologi Jangka Panjang

Menurut Lewis (1995) terapi jangka panjang untuk Intervensi

Keadaan Akut adalah sebagai berikut :

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling

murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap

pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu

setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung

hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid

memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi

yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.

Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper

dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell

yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan

dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada

miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan

mengalami penurunan dari titer antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang

sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan

antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah

60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada

penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek

samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta

hipertensi.

2. Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang

secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan

dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin,

suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan

sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3

34

Page 35: Myasthenia Gravis Laporan

mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari

hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang

secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara

umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan

obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat,

dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan

dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya

juga

dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

3. Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2

dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan

efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine

sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon

terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.

Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas

dan hipertensi.

4. Cyclophosphamide (CPM)

CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B,

dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.

Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi

dibandingkan obat lainnya.

5. Thymectomy (Surgical Care)

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan

miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma

denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal 30tahun 1900. Telah

banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus

dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus

dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap

35

Page 36: Myasthenia Gravis Laporan

kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa

terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap

perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis. Tujuan

neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan

signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus

dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen

dari pasien (Anonim, 2008).

Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa

thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia

gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan

masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara

umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu

satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan

remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obatobatan).

Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan

adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang

dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari

semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima

hingga sepuluh tahu setelah pembedahan (Anonim, 2008).

36

Page 37: Myasthenia Gravis Laporan

BAB III

KESIMPULAN

1. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara

terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.

2. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi

imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis

belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai

“penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B

justru melawan reseptor asetilkolin.

3. Gejala klinis miastenia gravis antara lain ; Kelemahan pada otot ekstraokular

atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot

leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktuwaktu dapat pula timbul kelemahan

dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu

dapat pula timbul kelemahan dari ot faring, lidah, pallatum molle, dan laring

sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum

molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air,

mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

4. Penatalaksaan utama pada miastenia gravis dapat diobati dengan

antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi.

Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.

Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan

terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi

yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi,

mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada

penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi

yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki

37

Page 38: Myasthenia Gravis Laporan

onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat

mencegah terjadinya kekambuhan

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2008), Myasthenia Gravis. Available at:

http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd.

Anonim (2008). Thymectomy, Available at :

http://www.myasthenia.org/amg_treatments.cfm.

Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit EGC.

Jakarta

Health Community, Inc. Myasthenia Gravis (www.neurologychannel.com, 2003)

Harrison. Priciple of Internal Medicine Fourteenth Edition (New York : McGraw-

Hill, 1998)

Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthen

ia_gravis.htm.

MGFA, Inc. Facts About Autoimmune Myasthenia Gravis for Patients & Families

(www.myasthenia.org, 2001)

Murray RK, Granner DK, Mayes PA.(1999). Biokimia Harper: Dasar Biokimia

Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835.

Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University

Press. Page: 301-305.

38

Page 39: Myasthenia Gravis Laporan

Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine McCarty. Fisiologi Proses-Proses

Penyakit (Clinical Concepts of Disease Processes) (Penerbit Buku

Kedokteran EGC)

Principles of Neurology, Raymon D. Adams, Murice Victor dan Allan H. Ropper

Yale Neuromuscular MDA/ALS Program. Myasthenia Gravis

(www.myasthenia.org, 2001)

Schact, Edmund & Djalinusyah. Kamus Kedokteran (Jakarta : Rineka Cipta,

2001)

39