referat myastenia gravis welci

36
REFERAT MYASTENIA GRAVIS Pembimbing Dr. Nadia Husein Sp.S Oleh: Welci Novida Otemusu 112012189 FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 1

Upload: welci-otemusu

Post on 10-Dec-2015

104 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

just share

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Myastenia Gravis Welci

REFERAT

MYASTENIA GRAVIS

Pembimbing

Dr. Nadia Husein Sp.S

Oleh:

Welci Novida Otemusu

112012189

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

20 Januari 2014-22 Februari 2014

1

Page 2: Referat Myastenia Gravis Welci

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera,

Pertama – tama saya panjatkan puji syukur atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis

bisa menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Myastenia Gravis”. Referat ini ditulis

dengan tujuan menambah wawasan pembaca dan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

kepaniteraan di Rumah Sakit Umum Derah Tarakan Jakarta

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada pembimbing

penulis di bagian Saraf yaitu dr Nadia Husein Sp.S yang telah sabar membimbing penulis dari

awal sampai akhir. Penulis sadar bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, penulis

harapkan pembaca dapat memaklumi dan memberikan saran agar penulis menjadi lebih baik

dalam penulisan referat di masa yang akan datang. Akhir kata, terima kasih bagi para pembaca

yang mau meluangkan waktu untuk membaca dan semoga bermanfaat.

Terima kasih,

Penulis

2

Page 3: Referat Myastenia Gravis Welci

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..... i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………

2.1 Definis Myastenia Gravis……………..…………………………………2

2.2 Epidemiologi.……………………………………………………………5

2.3 Anatomi, Fisiologis dan Biokimia NeuromuscularJunction.……………6

2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction ..…………………………..6

2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction ……..…......7

2.4 Patofisiologi …………………………………………………………….5

2.5 Manifestasi Klinis……………………………………………………….6

2.6 Klasifikasi Myastenia gravis…………………………………………….7

2.7 Diagnosis Myastenia Gravis…………………………………………….9

2.7.1 Penegakan diagnosis Myastenia Gravis……………………….9

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti……………….12

2.7.3 Diagnosis Banding…………………………………………….14

2.8 Penatalaksanaan…………………………………………………………15

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………….. 17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...18

3

Page 4: Referat Myastenia Gravis Welci

BAB I

PENDAHULUAN

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang

menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myastheniaadalah bahasa latin untuk kelemahan otot, dan

Gravisuntuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah satu jenis penyakit

autoimun.Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit

dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang

otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata,

kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg

mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang1,5.

Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis sebagai

penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet.Otot-otot skelet adalah

serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang berhubungan

dengan tulang.Myasthenia Gravis menyebabkankelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan

kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat3.

Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta

interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari

antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-

hati, dan mekanisme dimanaantibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah

diinvestigasi lebih jauh5.

Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda, tetapi

tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan

prognosis yang baik pada penyakit ini.Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan

saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang5.

4

Page 5: Referat Myastenia Gravis Welci

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal

dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan

kelelahan saat beraktivitas4.

Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular

junction,2,4.

2.2 Epidemiologi

Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan.Umumnya

menyerang wanita dewasa muda dan pria tua.Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan ataupun

jenis penyakit yang bisa menular.Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun,

yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.MG betul-betul

dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan

sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman

rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia< 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang >

40 tahun, 60 % nya adalah pria.Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG

adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat

karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin5.

Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di Amerika Serikat

diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi Myasthenia Gravis

dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi.Sebelum dipelajari, terlihat bahwa

wanita lebih sering terserang disbanding pria.Usia yang paling umum terserang adalah pada usia

20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia

yang terserang meningkat, dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan

permulaan munculnya tanda-tanda biasanya setelah usia 505.

Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari ibu yang terkena

Myasthenia Gravis.Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-

5

Page 6: Referat Myastenia Gravis Welci

gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran.Myasthenia Gravis

tidak secara langsung diwarisi ataupun menular.Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada

lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama5.

2.3 Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction

2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal

dari neuromuscular junction sangatlah penting.Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang

beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka.Ujung-ujung saraf

membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan

neuromuscular9.

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb,

yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran

presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps

merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction

2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya

berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan

tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara

difusi6,9. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh).

Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam

sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu

lempeng akhir motorik (motor end plate)Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction,

kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila

potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke

bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan

terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan

asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan

berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik6,9.

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung

dalam 6 tahap, yaitu6:

6

Page 7: Referat Myastenia Gravis Welci

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin

asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel

sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.

Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikeldengan membran

presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang

mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga

menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami

depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang

sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Caruang sinaps ke

terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang

melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam

reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end

plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat

rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka

reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang

memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan

depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan

menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang

ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim

asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein

tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan

kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya

asetilkolin.Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing

satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat

bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari

7

Page 8: Referat Myastenia Gravis Welci

membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat

pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng

akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial

aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

2.4 Patofisiologi

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia

gravis.Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang

terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik

lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain8.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita

miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.Hal inilah yang memegang

peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.Tidak diragukan lagi,

bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot

pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah

dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada

penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Miastenia gravis dapat dikatakan

sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru

melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin

menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.

Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal

pada pasien dengan gejala miastenik5,8.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang

berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit

alfa.Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin

pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui

beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor

asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara

8

Page 9: Referat Myastenia Gravis Welci

menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehinggamengurangi area

permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru

disintesis8.

2.5 Manifestasi Klinis

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot

rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa

ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita

beristirahatgravis antara lain4,5 :

a. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi

keluhan utama penderita miastenia gravis.Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra

jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap

lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi

kepala4.

Gambar 1.Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).

b. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke

otot ekstremitas4.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar

untuk ditutup.Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan

9

Page 10: Referat Myastenia Gravis Welci

laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan

menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari

hidungnya4.

2.6 Klasifikasi Miastenia Gravis

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut7:

a. Klas I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot

lain normal.

b. Klas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-

otot lain selain otot okular.

c. Klas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.Juga terdapat kelemahan otot-otot

orofaringeal yang ringan.

d. Klas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.Kelemahan pada otot-otot

anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

e. Klas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot

ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

f. Klas IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan.Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

g. Klas IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara

predominan.Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam

derajat ringan.

h. Klas IV

10

Page 11: Referat Myastenia Gravis Welci

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan

otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

i. Klas IVa

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.Otot

orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

j. Klas IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan.Selain

itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan

derajat ringan.Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

k. Klas V

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia

gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari

atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot

tampaknya agak menurun

Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah,

menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah.Pernapasan

tidakterganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar.

Pernapasan tidak terganggu.Penderita dapat meninggal dunia.

2.7 Diagnosis Miastenia Gravis

2.7.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia

gravis.Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya

menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri.

Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal4,8.

11

Page 12: Referat Myastenia Gravis Welci

Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan

otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan

senyum yang horizontal. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan

miastenia gravis.Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang

menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta

regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita

miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga

dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.

Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup

mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan.Otot-otot leher juga

mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.

Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot

anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan

dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot

pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih

sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi

kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki

dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8.

Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini

merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.

Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida

sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan

kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien

miastenia gravis fase akut sangat diperlukan8.

Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.Kelemahan sering kali

mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang

diinervasi oleh satu nervus cranialis.Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk

mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis

12

Page 13: Referat Myastenia Gravis Welci

akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan

terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang

melakukan abduksi8.

Beberapa test yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnose penyakit Myasthenia

Gravis. Test-test yang dapat dilakukan itu antara lain5 :

1. Test Wartenberg, Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test

Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu benda yang terletak

diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis,

kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.

2. Test Prostigmin atau Test Neostigmin, Prostigmin 0.5-1.0 mg dicampur dengan 0.1 mg

atropine sulfas kemudian disuntikkan kedalam pembuluh darah penderita (intramuskularis atau

subcutan). Test dianggap positif apabila gejala-gejala kelemahan menghilang dan tenaga

membaik. Prostigmin secara oral juga bisa diberikan sebagai dosis test. Efeknya masih perlahan

pada permulaan dan berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam. Raymon D. Adams, Maurice Victor dan

Allan H. Ropper memberikan penjelasan mengenai test neostigmin sebagai berikut : Neostigmin

metilsulfat disuntikkan ke dalam otot dengan dosis 1.5 mg. Atropin sulfat (0.8 mg) harus

diberikan beberapa menit terlebih dahulu untuk meniadakan efek muskarinik. Neostigmin

mungkin diberikan melalui pembuluh darah dengan dosis 5 mg, tapi penambahan harus selalu

diawali dengan atropine sulfat untuk menyingkirkan bahaya dari ventricular fibrilitasi dan

perhentian jantung. Kemajuan obyektif dan subyektif terjadi dalam 10 sampai 15 menit,

mencapai puncaknya pada 20 menit, dan berakhir 2 atau 3 jam. Test yang negatif, tidak

meniadakan Myasthenia Gravis tapi ini adalah poin yang kuat untuk mendiagnosa lagi.

Percobaan neostigmin secara oral, 15 mg setiap 4 jam selama sehari, kadang direkomendasikan

pada kasus-kasus yang meragukan, tapi cara ini juga belum teruji akurasinya.

3. Test Edrophonium Chloride (Tensilon)

Test ini akan bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi antireseptor asetilkolin tidak dapat

dikerjakan, atau hasilpemeriksaannya negatif, sementara secara klinis masih tetap diduga adanya

13

Page 14: Referat Myastenia Gravis Welci

Myasthenia Gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah test 1-2 mg intravena, maka

disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot

yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangkan ptosis, lengan dapat dipertahankan

dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan

berlangsung lebih lama dari 5 menit. Test ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

Test Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosa MG. Enzim asetilkolineterase membongkar

asetilkolin (ACh) setelah otot dirangsang, mencegah perpanjangan respon otot ke impul syaraf

tunggal. Edrophonium chloride (Tensilon) adalah obat yang secara berkala merintangi aksi dari

asetilkolineterase. Pada MG, ada sedikit penerima asetilkolin (AChR) pada otot dan asetilkoline

dihancurkan sebelum bisa secara penuh menstimulasi otot, sehingga menghasilkan kelemahan

otot. Dengan merintangi aksi dari asetilkolineterase, tensilon memperpanjang stimulasi otot dan

secara berkala memperbaiki kekuatan. Pada test ini, tensilon diberikan melalui pembuluh

darah(ke dalam urat darah halus) dan respon otot akan dievaluasi. Test Tensilon paling efektif

ketika dapat dengan mudah terlihat kelemahan, dan sedikit kurang berguna untuk yang samar-

samar atau keluhan yang turun naik. Efek samping dari test ini adalah secara temporer membuat

irama jantung menjadi abnormal, seperti irama jantung yang lebih cepat (atrial fibrilasi) dan

irama jantung yang lambat (bradicardia).

4. Test Single Fiber Electromyography (EMG), Serabut otot dirangsang dengan impul elektrik,

bisa juga mendeteksi gangguan syaraf ke transmisi otot. EMG mengukur potensi elektrik dari

sel-sel otot.Serat-serat otot pada MG dan juga pada penyakit neuromuskular lainnya, tidak

memberi respon yang baik pada rangsangan elektrik yang berulang-ulang dibanding dengan otot-

otot pada individu yang normal. Test ini memiliki kesensitifan hingga 95 % secara sistem dan 84

% pada MG ocular, membuat test ini menjadi yang paling sensitif untuk penyakit ini.

5. Test Darah, Test darah dilakukan untuk menentukan tingkatan serum dari beberapa antibodi

(seperti, AChR-pengikat antibodi, AChR-modulasi antibodi, antitriasional antibodi). Tingkat

yang tinggi dari antibodi-antibodi ini dapat mengindikasikan MG. 80 % dari semua pasien

dengan MG memiliki peningkatan serum antibodi yang tidak normal. Tapi hasil test yang positif,

mungkin kurang disukai oleh pasien dengan MG ocular murni. Peluang untuk menerima hasiltest

14

Page 15: Referat Myastenia Gravis Welci

positif yang salah dari laboratorium yang ternama adalah kecil, akan tetapi garis batas test-test

harus diulang-ulang.

6. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal atau keberadaan dari

thymoma.

7. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)

Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah pernafasan akan gagal dan

membawakepada krisis Myasthenia.

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti

2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium

a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana

terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis generalisata

dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin

reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi

false positive anti-AChR antibody

b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan

hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.

Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan

hasil positif.

c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif

(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

d. Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang

berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.Antibodi ini

bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu

15

Page 16: Referat Myastenia Gravis Welci

dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya

titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien

muda dengan miastenia gravis.

2.7.2.2 Imaging

a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma

dapatdiidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil,

sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua

kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.

MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui

2 teknik :

a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada

RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot

penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara

2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah

potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG

mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber

density yang normal.

16

Page 17: Referat Myastenia Gravis Welci

2.7.3 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain8:

1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa

penyakit elain miastenia gravis, antara lain :

a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

d. Paralisis pasca difteri

e. Pseudoptosis pada trachoma

2. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis

multipleks.

3. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh

bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.

Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi

hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat

cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.

Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi

hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi

pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre

sinaptik,dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin

yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan

depolarisasi.

17

Page 18: Referat Myastenia Gravis Welci

2.8 Penatalaksanaan4,5,7

2.8.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

2.8.1.1 Plasma Exchange (PE)2

Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama

serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Dasar terapi dengan PE

adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer

antibodi.

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan

menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami

masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau

pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative.

Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti

sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.Albumin (5%)

dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk

replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10

minggu.

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran

berlangsung.Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya

hipotensi.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi

pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan

dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

2.8.1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)2

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang

relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui

secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun.Reduksi dari titer

antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat

18

Page 19: Referat Myastenia Gravis Welci

penurunan dari titer antibodi.Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah

memulai terapi.

IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini

memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan

pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,

sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk

pasien dalam kondisi krisis.

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari

selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-

asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.

Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa

mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.Flulike symdrome

seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam

pertama.

2.8.1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon, maka

pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian

dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp

pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek

maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan

krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

19

Page 20: Referat Myastenia Gravis Welci

2.8.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang

2.8.2.1 Kortikosteroid2

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan

miastenia gravis.Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3

minggu setelah inisiasi terapi.Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,

dengan rata-rata selama 3 bulan.

Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti

terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek

pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell

yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan

kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap

kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang

tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid

adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya.Pada penggunaan dengan

dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan

komplikasi obesitas serta hipertensi.

2.8.2.2 Azathioprine2

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol

tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.Azathioprine dapat dikonversi menjadi

merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis

nukleotida pada DNA dan RNA.

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.Pasien diberikan

dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.Azathioprine merupakan obat

yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek

samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.

20

Page 21: Referat Myastenia Gravis Welci

Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan.

Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga

dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

2.8.2.3 Cyclosporine2

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper.Supresi

terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.Dosis awal pemberian

Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.Respon terhadap

Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.Cyclosporine dapat menimbulkan efek

samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

2.8.2.4 Cyclophosphamide (CPM)

CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung

dapat menekan sintesis imunoglobulin.Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap

produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi.Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan

napas harus benar-benar diperhatikan.Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan

tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi

paru-paru.Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940

dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900.Telah

banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia

gravis.Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin

bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa

terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan

inisiasi imunologi pada miastenia gravis.

21

Page 22: Referat Myastenia Gravis Welci

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari

kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah

kesembuhan yang permanen dari pasien8.

Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang

penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan

dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.Secara umum, kebanyakan pasien

mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang

menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).Beberapa ahli

percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis

thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin

banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah

pembedahan8.

Gambar 4. Kelenjar Thymus8

5. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini

akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan

dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun

demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik

sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah.Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi

miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi

tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

22

Page 23: Referat Myastenia Gravis Welci

BAB III

KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal

dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan

kelelahan saat beraktivitas.Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic

transmission atau pada neuromuscular junction.Sebelum memahami tentang miastenia gravis,

pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah

penting.Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan

celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia

gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.

Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun

dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik

pada kesembuhan miastenia gravis.

23

Page 24: Referat Myastenia Gravis Welci

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Myasthenia Gravis. Available

http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses padatanggal 30 Januari,

2014.

2. Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi,

Tanda dan Gejala, Ed. 4.EGC. Jakarta.

3. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.h

tm. Diakses pada tanggal 30 Januari, 2014.

4. Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 925th ed. Dian Rakyat, Jakarta.

5. Miastenia Gravis Indonesia.2014. http://www.mgindonesia.org/myasthenia-

gravis.html.Diakses pada tanggal 08 April 2013.

6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa

Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29.EGC. Jakarta.

7. Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf.Airlanga University Press.

8. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit ed. 6 vol.2.EGC. Jakarta.

9. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5.EGC. Jakarta.

24