referat myastenia gravis welci
DESCRIPTION
just shareTRANSCRIPT
REFERAT
MYASTENIA GRAVIS
Pembimbing
Dr. Nadia Husein Sp.S
Oleh:
Welci Novida Otemusu
112012189
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
20 Januari 2014-22 Februari 2014
1
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera,
Pertama – tama saya panjatkan puji syukur atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis
bisa menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Myastenia Gravis”. Referat ini ditulis
dengan tujuan menambah wawasan pembaca dan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan di Rumah Sakit Umum Derah Tarakan Jakarta
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada pembimbing
penulis di bagian Saraf yaitu dr Nadia Husein Sp.S yang telah sabar membimbing penulis dari
awal sampai akhir. Penulis sadar bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, penulis
harapkan pembaca dapat memaklumi dan memberikan saran agar penulis menjadi lebih baik
dalam penulisan referat di masa yang akan datang. Akhir kata, terima kasih bagi para pembaca
yang mau meluangkan waktu untuk membaca dan semoga bermanfaat.
Terima kasih,
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..... i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………
2.1 Definis Myastenia Gravis……………..…………………………………2
2.2 Epidemiologi.……………………………………………………………5
2.3 Anatomi, Fisiologis dan Biokimia NeuromuscularJunction.……………6
2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction ..…………………………..6
2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction ……..…......7
2.4 Patofisiologi …………………………………………………………….5
2.5 Manifestasi Klinis……………………………………………………….6
2.6 Klasifikasi Myastenia gravis…………………………………………….7
2.7 Diagnosis Myastenia Gravis…………………………………………….9
2.7.1 Penegakan diagnosis Myastenia Gravis……………………….9
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti……………….12
2.7.3 Diagnosis Banding…………………………………………….14
2.8 Penatalaksanaan…………………………………………………………15
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...18
3
BAB I
PENDAHULUAN
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang
menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myastheniaadalah bahasa latin untuk kelemahan otot, dan
Gravisuntuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah satu jenis penyakit
autoimun.Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit
dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang
otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata,
kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg
mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang1,5.
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis sebagai
penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet.Otot-otot skelet adalah
serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang berhubungan
dengan tulang.Myasthenia Gravis menyebabkankelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan
kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat3.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta
interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari
antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-
hati, dan mekanisme dimanaantibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah
diinvestigasi lebih jauh5.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda, tetapi
tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan
prognosis yang baik pada penyakit ini.Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan
saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang5.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction,2,4.
2.2 Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan.Umumnya
menyerang wanita dewasa muda dan pria tua.Penyakit ini bukan suatu penyakit turunan ataupun
jenis penyakit yang bisa menular.Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun,
yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.MG betul-betul
dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan
sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman
rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia< 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang >
40 tahun, 60 % nya adalah pria.Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG
adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat
karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin5.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di Amerika Serikat
diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi Myasthenia Gravis
dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi.Sebelum dipelajari, terlihat bahwa
wanita lebih sering terserang disbanding pria.Usia yang paling umum terserang adalah pada usia
20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia
yang terserang meningkat, dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan
permulaan munculnya tanda-tanda biasanya setelah usia 505.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari ibu yang terkena
Myasthenia Gravis.Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-
5
gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran.Myasthenia Gravis
tidak secara langsung diwarisi ataupun menular.Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada
lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama5.
2.3 Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction
2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal
dari neuromuscular junction sangatlah penting.Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang
beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka.Ujung-ujung saraf
membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuscular9.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb,
yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps
merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction
2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya
berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan
tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara
difusi6,9. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh).
Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam
sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu
lempeng akhir motorik (motor end plate)Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction,
kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke
bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik6,9.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung
dalam 6 tahap, yaitu6:
6
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin
asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel
sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.
Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikeldengan membran
presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang
mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga
menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Caruang sinaps ke
terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang
melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam
reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end
plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat
rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka
reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan
depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang
ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein
tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan
kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya
asetilkolin.Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing
satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat
bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari
7
membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat
pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng
akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial
aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.
2.4 Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia
gravis.Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang
terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik
lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain8.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita
miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.Tidak diragukan lagi,
bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot
pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah
dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Miastenia gravis dapat dikatakan
sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru
melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin
menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.
Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal
pada pasien dengan gejala miastenik5,8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit
alfa.Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin
pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor
asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
8
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehinggamengurangi area
permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru
disintesis8.
2.5 Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot
rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahatgravis antara lain4,5 :
a. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis.Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra
jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap
lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi
kepala4.
Gambar 1.Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).
b. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar
untuk ditutup.Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan
9
laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan
menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya4.
2.6 Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot
lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-
otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.Juga terdapat kelemahan otot-otot
orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.Kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot
ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan.Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan.Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam
derajat ringan.
h. Klas IV
10
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan
otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.Otot
orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan.Selain
itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan
derajat ringan.Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia
gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari
atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot
tampaknya agak menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah,
menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah.Pernapasan
tidakterganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar.
Pernapasan tidak terganggu.Penderita dapat meninggal dunia.
2.7 Diagnosis Miastenia Gravis
2.7.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia
gravis.Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya
menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri.
Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal4,8.
11
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan
otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan
senyum yang horizontal. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis.Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita
miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga
dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup
mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan.Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot
anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih
sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi
kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini
merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida
sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan
kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien
miastenia gravis fase akut sangat diperlukan8.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.Kelemahan sering kali
mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang
diinervasi oleh satu nervus cranialis.Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
12
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang
melakukan abduksi8.
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnose penyakit Myasthenia
Gravis. Test-test yang dapat dilakukan itu antara lain5 :
1. Test Wartenberg, Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu benda yang terletak
diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis,
kelopak mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.
2. Test Prostigmin atau Test Neostigmin, Prostigmin 0.5-1.0 mg dicampur dengan 0.1 mg
atropine sulfas kemudian disuntikkan kedalam pembuluh darah penderita (intramuskularis atau
subcutan). Test dianggap positif apabila gejala-gejala kelemahan menghilang dan tenaga
membaik. Prostigmin secara oral juga bisa diberikan sebagai dosis test. Efeknya masih perlahan
pada permulaan dan berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam. Raymon D. Adams, Maurice Victor dan
Allan H. Ropper memberikan penjelasan mengenai test neostigmin sebagai berikut : Neostigmin
metilsulfat disuntikkan ke dalam otot dengan dosis 1.5 mg. Atropin sulfat (0.8 mg) harus
diberikan beberapa menit terlebih dahulu untuk meniadakan efek muskarinik. Neostigmin
mungkin diberikan melalui pembuluh darah dengan dosis 5 mg, tapi penambahan harus selalu
diawali dengan atropine sulfat untuk menyingkirkan bahaya dari ventricular fibrilitasi dan
perhentian jantung. Kemajuan obyektif dan subyektif terjadi dalam 10 sampai 15 menit,
mencapai puncaknya pada 20 menit, dan berakhir 2 atau 3 jam. Test yang negatif, tidak
meniadakan Myasthenia Gravis tapi ini adalah poin yang kuat untuk mendiagnosa lagi.
Percobaan neostigmin secara oral, 15 mg setiap 4 jam selama sehari, kadang direkomendasikan
pada kasus-kasus yang meragukan, tapi cara ini juga belum teruji akurasinya.
3. Test Edrophonium Chloride (Tensilon)
Test ini akan bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi antireseptor asetilkolin tidak dapat
dikerjakan, atau hasilpemeriksaannya negatif, sementara secara klinis masih tetap diduga adanya
13
Myasthenia Gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah test 1-2 mg intravena, maka
disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot
yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangkan ptosis, lengan dapat dipertahankan
dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan
berlangsung lebih lama dari 5 menit. Test ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
Test Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosa MG. Enzim asetilkolineterase membongkar
asetilkolin (ACh) setelah otot dirangsang, mencegah perpanjangan respon otot ke impul syaraf
tunggal. Edrophonium chloride (Tensilon) adalah obat yang secara berkala merintangi aksi dari
asetilkolineterase. Pada MG, ada sedikit penerima asetilkolin (AChR) pada otot dan asetilkoline
dihancurkan sebelum bisa secara penuh menstimulasi otot, sehingga menghasilkan kelemahan
otot. Dengan merintangi aksi dari asetilkolineterase, tensilon memperpanjang stimulasi otot dan
secara berkala memperbaiki kekuatan. Pada test ini, tensilon diberikan melalui pembuluh
darah(ke dalam urat darah halus) dan respon otot akan dievaluasi. Test Tensilon paling efektif
ketika dapat dengan mudah terlihat kelemahan, dan sedikit kurang berguna untuk yang samar-
samar atau keluhan yang turun naik. Efek samping dari test ini adalah secara temporer membuat
irama jantung menjadi abnormal, seperti irama jantung yang lebih cepat (atrial fibrilasi) dan
irama jantung yang lambat (bradicardia).
4. Test Single Fiber Electromyography (EMG), Serabut otot dirangsang dengan impul elektrik,
bisa juga mendeteksi gangguan syaraf ke transmisi otot. EMG mengukur potensi elektrik dari
sel-sel otot.Serat-serat otot pada MG dan juga pada penyakit neuromuskular lainnya, tidak
memberi respon yang baik pada rangsangan elektrik yang berulang-ulang dibanding dengan otot-
otot pada individu yang normal. Test ini memiliki kesensitifan hingga 95 % secara sistem dan 84
% pada MG ocular, membuat test ini menjadi yang paling sensitif untuk penyakit ini.
5. Test Darah, Test darah dilakukan untuk menentukan tingkatan serum dari beberapa antibodi
(seperti, AChR-pengikat antibodi, AChR-modulasi antibodi, antitriasional antibodi). Tingkat
yang tinggi dari antibodi-antibodi ini dapat mengindikasikan MG. 80 % dari semua pasien
dengan MG memiliki peningkatan serum antibodi yang tidak normal. Tapi hasil test yang positif,
mungkin kurang disukai oleh pasien dengan MG ocular murni. Peluang untuk menerima hasiltest
14
positif yang salah dari laboratorium yang ternama adalah kecil, akan tetapi garis batas test-test
harus diulang-ulang.
6. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal atau keberadaan dari
thymoma.
7. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah pernafasan akan gagal dan
membawakepada krisis Myasthenia.
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti
2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana
terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis generalisata
dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi
false positive anti-AChR antibody
b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan
hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.
Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan
hasil positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif
(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
d. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu
15
dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya
titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien
muda dengan miastenia gravis.
2.7.2.2 Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma
dapatdiidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil,
sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua
kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui
2 teknik :
a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada
RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara
2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG
mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber
density yang normal.
16
2.7.3 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain8:
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa
penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
d. Paralisis pasca difteri
e. Pseudoptosis pada trachoma
2. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis
multipleks.
3. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh
bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.
Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi
hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat
cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.
Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi
pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre
sinaptik,dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin
yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan
depolarisasi.
17
2.8 Penatalaksanaan4,5,7
2.8.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
2.8.1.1 Plasma Exchange (PE)2
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Dasar terapi dengan PE
adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer
antibodi.
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami
masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau
pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti
sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.Albumin (5%)
dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10
minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran
berlangsung.Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya
hipotensi.Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi
pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan
dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.
2.8.1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)2
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang
relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui
secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun.Reduksi dari titer
antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
18
penurunan dari titer antibodi.Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah
memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini
memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan
pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk
pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari
selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-
asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa
mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.Flulike symdrome
seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam
pertama.
2.8.1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian
dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp
pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek
maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
19
2.8.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
2.8.2.1 Kortikosteroid2
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan
miastenia gravis.Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3
minggu setelah inisiasi terapi.Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti
terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek
pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell
yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap
kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang
tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid
adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya.Pada penggunaan dengan
dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
2.8.2.2 Azathioprine2
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol
tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.Azathioprine dapat dikonversi menjadi
merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis
nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.Pasien diberikan
dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.Azathioprine merupakan obat
yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
20
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan.
Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
2.8.2.3 Cyclosporine2
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper.Supresi
terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.Dosis awal pemberian
Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.Respon terhadap
Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
2.8.2.4 Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung
dapat menekan sintesis imunoglobulin.Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap
produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi.Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan
napas harus benar-benar diperhatikan.Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan
tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi
paru-paru.Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940
dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900.Telah
banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia
gravis.Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa
terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan
inisiasi imunologi pada miastenia gravis.
21
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien8.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang
penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan
dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama.Secara umum, kebanyakan pasien
mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang
menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis
thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin
banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah
pembedahan8.
Gambar 4. Kelenjar Thymus8
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini
akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan
dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun
demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik
sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah.Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi
miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi
tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
22
BAB III
KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas.Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction.Sebelum memahami tentang miastenia gravis,
pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah
penting.Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan
celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia
gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun
dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik
pada kesembuhan miastenia gravis.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Myasthenia Gravis. Available
http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses padatanggal 30 Januari,
2014.
2. Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi,
Tanda dan Gejala, Ed. 4.EGC. Jakarta.
3. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.h
tm. Diakses pada tanggal 30 Januari, 2014.
4. Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 925th ed. Dian Rakyat, Jakarta.
5. Miastenia Gravis Indonesia.2014. http://www.mgindonesia.org/myasthenia-
gravis.html.Diakses pada tanggal 08 April 2013.
6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29.EGC. Jakarta.
7. Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf.Airlanga University Press.
8. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit ed. 6 vol.2.EGC. Jakarta.
9. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5.EGC. Jakarta.
24