referat keloid
DESCRIPTION
bkjhbkjbkTRANSCRIPT
REFERAT BEDAH PLASTIK
GANGGUAN PENYEMBUHAN LUKA
Periode : 23 – 28 November 2015
Disusun Oleh :
Aisya Fikritama Aditya
NIM G99141150
Pembimbing :
dr. Dewi Haryanti K, SpB, SpBP-RE
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
1
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................................ 2
BAB I – PENDAHULUAN
Pendahuluan...................................................................................................... 3
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi...................................................................................................... 4
B. Etiologi...................................................................................................... 5
C. Klasifikasi.................................................................................................. 5
D. Diagnosis................................................................................................... 9
E. Penatalaksanaan......................................................................................... 14
F. Prognosis................................................................................................... 16
G. Pencegahan................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 25
3
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap luka pada kulit dapat meninggalkan jaringan parut. Pada beberapa pasien, jaringan parut tersebut tumbuh secara abnormal berupa jaringan parut hipertrofik ataupun keloid yang selain dapat mengganggu secara estetika, secara fungsional juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti gatal dan nyeri.
Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan salah satu proses paling kompleks dalam fisiologi manusia yang melibatkan serangkaian reaksi dan interaksi kompleks antara sel dan mediator. Fase peradangan bertujuan untuk membuang jaringan mati dan mencegah infeksi. Fase proliferasi bercirikan terbentuknya jaringan granulasi yang disertai kekayaan jaringan pembuluh darah baru, fibroblast, dan makrofag dalam jaringan penyangga yang longgar. Fase kedua yang berlangsung sejak hari ke-8 hingga ke-21 pascaluka merupakan fase terjadinya epitelisasi dan sekaligus memberikan refleksi dalam perawatan luka untuk dapat mencapai kondisi luka yang telah tertutup dengan epitel. Fase terakhir adalah fase maturasi yang bercirikan keseimbangan antara proses pembentukan dan degradasi kolagen. Setidaknya terdapat 3 prasyarat kondisi lokal agar proses penyembuhan luka dapat berlangsung dengan normal, yaitu: 1) semua jaringan di area luka dan sekitarnya harus vital, 2) tidak terdapat benda asing, 3) tidak disertai kontaminasi eksesif atau infeksi. Penulis mengusulkan formulasi pola hirarkis dalam intensi penyembuhan luka yang mengikuti urutan intensi primer sebagai intensi ideal, diikuti intensi tersier, dan yang sekunder.3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENYEMBUHAN LUKAProses/ tahapan penyembuhan luka:
1. Respon vaskuler
Perdarahan yang terjadi pada luka merupakan proses fisiologis untuk
menutup luka itu sendiri dengan aktivasi mekanisme pembekuan darah. Selain
itu cairan darah dan plasma yang mengalir pada luka membantu membersihkan
debris dan zat asing yang ada.
2. Respon inflamasi
Pada tahap ini mediator-mediator inflamasi diaktifkan yang berakibat
selain untuk melindungi luka dari infeksi juga berakibat meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah dan jaringan di sekitar luka sehingga
mempermudah proses transportasi zat-zat yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka.
3. Proliferasi
Makrofag yang merupakan mediator inflamasi mengeluarkan growth-
factor yang mengakibatkan dimulainya fase proliferasi jaringan, serta TNF
(Tumor Necrosing Factor) untuk melisiskan jaringan nekrotik agar proses
proliferasi dapat dimulai di area luka.
4. Granulasi
Pada tahap ini terbentuk jaringan granulasi yang terdiri atas kolagen dan
meterial ekstrasel yang menjadi “kerangka” untuk pembentukan jaringan ikat
dan pembuluh darah. Pembentukan pembuluh darah (angiogenesis) dan
jaringan baru diperantarai oleh makrofag yang mengeluarkan TGF
(Transforming Growth Factor). Jaringan granulasi yang normal berwarna
kemerahan pucat dan tidak mudah berdarah. Jaringan granulasi yang berwarna
gelap/hitam menandakan proses iskemia atau infeksi.
5. Kontraksi luka
Fibroblast terkumpul di tepi luka dan menarik tepi luka agar semakin
5
mendekat dan menutup.
6. Re-epitelisasi
Pada tahapan ini sel-sel epitel berproliferasi dan bermigrasi ke
permukaan luka yang selanjutnya menutup daerah luka secara sempurna.
7. Maturasi
Pada tahapan ini terbentuklah jaringan parut sebagai hasil dari
penguatan proses penyembuhan luka. Pada kondisi abnormal, dapat terbentuk
parut hipertrofi dan keloid pada daerah bekas luka.
Berikut adalah guideline penatalaksanaan luka3
6
KELOIDA. Definisi
Keloid merupakan salah satu jenis dari jaringan parut yang merupakan
hasil dari pertumbuhan yang berlebihan dari bekas kulit yang terluka, yang
melebihi batas luka itu sendiri. Keloid terbentuk dari jaringan parut (bekas
luka). Suatu jaringan yang dinamakan kolagen, yang normalnya akan timbul
untuk penyembuhan luka, mengalami pertumbuhan yang berlebihan. Jaringan
ini dapat tumbuh dari luka yang ada, bekas tindikan, jerawat, cacar air, atau
bahkan dari luka yang ringan seperti tergores1.
B. Epidemiologi Dan Genetik
Meskipun keloid telah didokumentasikan di berbagai macam kelompok
etnis, kelainan ini lebih umum muncul pada orang-orang Afrika, Asia, dan
lebih sedikit pada Hispanic dan Mediterania. Individu berkulit gelap lebih
rentan muncul keloid hingga 15 kali lebih besar daripada individu dengan
kulit putih2.
Pada populasi orang-orang Hispanic, baik kulit gelap maupun putih,
insidensi keloid sama besar yaitu 16%, dengan frekuensi lebih sering pada
orang-orang hamil dan dalam masa pubertas. Walaupun keloid bisa terjadi
pada usia berapapun, kelainan ini lebih sering terjadi di usia antara 11-30
tahun. Peningkatan faktor risiko dari pembentukan keloid terjadi pada
kelompok orang tertentu dengan riwayat genetik. Terdapat studi yang
menyebutkan bahwa predisposisi terbentuknya keloid diturunkan secara
autosom resesif3.
C. EtiologiFaktor-faktor yang memainkan peran utama dalam
pembentukan keloid adalah predisposisi genetik dan beberapa bentuk trauma kulit. Kulit atau luka akan menimbulkan ketegangan dan menjadi penyebab penting dalam pembentukan bekas luka hipertrofik dan keloid. Scar
7
yang melalui sendi atau lipatan kulit di sudut kanan cenderung untuk membentuk bekas luka hipertrofik, karena kekuatan disebabkan oleh ketegangan konstan yang terjadi. Meskipun keloid dapat terjadi pada semua usia, namun cenderung dialami pada usia pubertas. Bahwa individu yang lebih muda lebih sering mengalami trauma dan kulit mereka lebih elastis dibandingkan kulit seseorang yang usianya lebih tua.
Terbentuknya keloid terutama terjadi pada bagian tubuh dengan konsentrasi melanosit yang tinggi, dan sangat jarang pada telapak kakidan telapak tangan. Terbentuknya keloid juga telah dikaitkan dengan faktor endokrin. Menopause juga mendorong resesi keloid, sedangkan wanita melaporkan pembesara non set keloid selama kehamilan4
D. PatogenesisPemahaman tentang penyembuhan luka normal sangat
penting dalam upaya memahami mekanisme pembentukan keloid. Secara klasik, penyembuhan luka terbagi dalam tiga fase, yaitu: inflamasi, fibroblastik dan maturasi3.
Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada individu yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai satu tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa penyebab keloid yang
8
Gbr: Keloid linier kuping anterior sinistra.13
Gambar: Keloid linear lateral leher dekstra.
sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi, tindik telinga, luka robek dan luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapat menjadi keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi. Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat bekas injeksi vaksin Bacil Calmette Guerin (BCG)5.
Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet, aktifasi faktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk transforming growth factor-β (TGF-β), epidermal growth factor (EGF), insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Growth factor berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast dan fibroblas4.
Pembentukan jaringan granulasi dan maturasi skar membutuhkan keseimbangan antara biosintesis kolagen dan degradasi matriks hingga dicapai penyembuhan luka optimal. Makrofag, fibroblas dan pembuluh darah bergerak ke tempat luka untuk mengembalikan integritas dermal yang rusak. Makrofag merupakan sumber sitokin yang berfungsi untuk stimulasi fibroplasia dan angiogenesis. Fibroblas berfungsi membangun komponen matriks ekstraseluler baru, memulai sintesis kolagen dan menciptakan regangan tepi luka melalui protein yang kontraktil seperti aktin dan desmin. Pembuluh
9
darah menyuplai oksigen dan nutrisi untuk mempertahankan pertumbuhan sel. Degradasi matrik dikoordinasikan melalui aksi kolagenase, proteoglikanase, metalloproteinase dan protease.3
Seiring dengan proses diatas, faktor antifibrotik juga dilepaskan, termasuk interferon-α dan interferon-β yang diproduksi oleh leukosit dan fibroblas, sedangkan interferon-γ diproduksi oleh limfosit T. Interferon berfungsi menghambat sintesis kolagen dan fibronektin oleh fibroblas. Interferon juga menghambat diferensiasi fibroblas. Maturasi skar berakhir dengan dengan regresi stimulasi sitokin dan stimuli angiogenik, menghasilkan skar yang hiperemis dan contracted. Scar remodelling terjadi pada 6-12 bulan selanjutnya, dengan skar yang terbentuk mendekati 70-80% tensile strength kulit normal. Fase inflamasi yang memanjang mengakibatkan peningkatan aktifitas sitokin. Resiko pembentukan keloid meningkat seiring dengan aktifitas sitokin yang berkepanjangan.5
Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada keloid terjadi down-regulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas keloid didapatkan produksi kolagen dan matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal normal.4
Kebanyakan keloid berkembang dalam 3 bulan setelah luka, beberapa
muncul setelah lebih dari 1 tahun terjadinya trauma kulit. Ada banyak teori
mengenai etiologi keloid, di mana kebanyakan dihubungkan dengan disfungsi
fibroblas. Fibroblas keloid yang dibandingkan dengan fibroblas dari luka yang
normal, memproduksi prokolagen tipe 1 secara berlebihan dan
mengekspresikan growth factor yang lebih tinggi termasuk vascular
endothelial growth factor, yang mentransform growth factor b1 dan b2, dan
platelet derived growth factor. Sehingga sel-sel tersebut memiliki laju
10
apoptosis yang lebih rendah dan penurunan gen pengatur apoptosis, termasuk
p53.
Secara histologis, keloid menunjukkan peningkatan kolagen dan
glikosaminoglikan yang berisi ikatan kolagen terhialinisasi yang tebal.
Sebaliknya, orientasi ikatan kolagen pada jaringan parut normal paralel
terhadap epidermis. Jaringan keloid telah menunjukkan adanya aktivitas
metabolik yang lebih aktif dan memerlukan oksigen lebih banyak daripada
jaringan parut normal. Hal ini membawa pada keadaan hipoksia pada
fibroblas keloid. Potensi konsumsi oksigen yang tinggi dan rendahnya
oksigen yang terdifusi dapat berkontribusi pada patofisiologi pembentukan
keloid1.
E. Gejala klinisManifestasi klinis keloid berupa plak atau nodul kenyal,
berwarna merah atau merah muda (sering disertai telangiektasis), biasanya gatal dan nyeri, yang tidak dapat pulih secara spontan dan ukurannya makin lebar seiring dengan waktu. Keloid berbeda dari skar hipertrofik di mana pembesaran
skar hipertrofik sesuai dengan garis luka asalnya dan berhenti dalam jangka
waktu tertentu. Sedangkan keloid lebih besar, kering, seringkali terasa gatal
dan nyeri. Lee dkk melaporkan bahwa dari 28 pasien keloid; 86% mengeluh gatal dan 46% mengeluh nyeri, gatal terutama pada tepi lesi sedangkan nyeri pada bagian tengah lesi4.
Karena sebab yang belum jelas, keloid sering terjadi pada dada, bahu, punggung atas, leher belakang dan lobus telinga. Beberapa peneliti berpendapat bahwa keloid terjadi secara primer pada area kulit dengan high skin tension. Peneliti lain tidak sependapat dengan pendapat tersebut karena keloid jarang dijumpai pada telapak tangan atau kaki, daerah dengan skin tension cukup tinggi. Selain itu keloid juga sering
11
terjadi pada lobus telinga, daerah dengan skin tension minimal. Beberapa penulis juga melaporkan kejadian keloid di genital, dan sudah ada 70 kasus keloid pada kornea yang dilaporkan5.
F. Histopatolgi
Karakteristik histologis keloid adalah peningkatan kolagen dan glikosaminoglikan. Terdapat banyak serabut kolagen berhyalin tebal yang tersusun secara tidak teratur, disebut sebagai keloidal collagen5. Susunan kolagen yang tidak beraturan ini berbeda dari serabut kolagen normal yang tersusun secara paralel terhadap epidermis. Selain itu pada keloid terdapat beberapa gambaran histologis, diantaranya: tidak adanya pembuluh darah yang tersusun vertikal, adanya gambaran seperti ujung lidah di bawah epidermis dan papiler dermis yang tampak normal, gambaran horizontal fibrous band dan fascia like band di dermis retikuler bagian atas15.
12
Keloid pada wajah
Gambar. Pewarnaan hematoksilin eosin pada paraffin sections jaringan keloid. Tampak penebalan epidermis dan gambaran seperti ujung lidah di bawah epidermis dan papiler dermis yang tampak normal. E, epidermis; D, dermis.
G. Penatalaksanaan.Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid
yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan: manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen, dan perubahan respon imun/inflamasi3.
Penanganan keloid merupakan masalah yang sulit, karena rendahnya respon penyembuhan terhadap berbagai terapi dan cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan pembedahan memiliki angka kekambuhan sampai 80%5.
Pada ukuran dan jumlah lesi keloid harus diukur untuk merencanakan penanganan keloid. Penggolongan ini penting karena lesi yang kecil (dini) dapat diterapi secara radikal dengan cara pembedahan dan terapi ajuvan. Terapi laser sebagai monoterapi juga efektif untuk terapi radikal keloid dini. Terapi konservatif non bedah, tidak efektif jika digunakan sebagai monoterapi3.
13
Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi dan nyeri, sehingga pengurangan ukuran masa keloid dan terapi simtomatik dengan berbagai modalitas terapi harus dipertimbangkan kasus per kasus16.
Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering dilaporkan efikasinya adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, cryotherapy, laser, radiasi dan silicone gel sheeting. Beberapa metode penanganan keloid lain lebih jarang digunakan namun secara efikasi cukup efektif adalah: imiquimod topikal dan antimetabolit (5-fluorouracil dan bleomisin). 1. Injeksi Kortikosteroid Intralesi
Injeksi kortikosteroid intralesi (KIL) merupakan metoda penanganan keloid yang paling banyak dilakukan karena mudah dikerjakan, dapat diterima dengan baik dan efektif mengurangi gejala. (Hochman dkk, 2008) Triamsinolon asetonid dengan konsentrasi 10-40 mg/ml, merupakan jenis steroid yang sering digunakan3.
Secara in vitro triamsinolon asetonid bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan fibroblas. Efek negatif terhadap mitogenesis fibroblas dan sintesis kolagen mungkin disebabkan oleh penurunan produksi TGF-β1 dan peningkatan produksi beta fibroblast growth factor (bFGF) yang terjadi pada fibroblas yang diterapi dengan triamsinolon asetonid. Efek antimitotik kortikosteroid terhadap keratinosit dan fibroblas mengakibatkan perlambatan proses re-epitelialisasi dan pembentukan kolagen baru. Kortikosteroid juga menekan inflamasi dengan menghambat migrasi leukosit, monosit dan fagositosis.
14
Dosis triamsinolon asetonid yang diperlukan untuk terapi keloid lebih tinggi daripada untuk penyakit lain. Robles menganjurkan dosis awal sebesar 40 mg/ml. Injeksi dapat diulang tiap 4-6 pekan tergantung respons keloid. Injeksi KIL menyebabkan keloid jadi mendatar, lebih lunak dan meringankan gejala nyeri dan gatal. Namun injeksi KIL jarang sekali menghasilkan perbaikan komplit dan bertahan lama5.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat KIL adalah telangiektasis, atrofi kulit dan hipo atau hiperpigmentasi. Selain itu tindakan injeksi KIL sendiri merupakan tindakan yang cukup menyakitkan bagi pasien. Untuk mengurangi nyeri saat injeksi KIL, sebelum injeksi digunakan salap anestetik eutectic mixture of local anesthetics (EMLA), dapat juga dengan cara triamsinolon diencerkan dengan lidokain, atau anestesi dengan cara infiltrasi menggunakan lidokain. Cara yang terakhir disebutkan lebih efektif dalam mengurangi nyeri saat injeksi KIL. Karena nyeri saat injeksi dan kekhawatiran terhadap penggunaan kortikosteroid dosis tinggi secara berulang maka injeksi KIL sulit digunakan untuk keloid yang berukuran besar atau berjumlah banyak3.
15
2. Bedah EksisiBedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang
pertama kali dikenal. Pertama kali dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara umum pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang tidak berespon terhadap terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga membutuhkan debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan4.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pada bedah eksisi keloid. Semua sumber yang dapat menyebabkan inflamasi, termasuk folikel rambut yang terperangkap, kista epitelial dan sinus tract harus dibuang, karena hal tersebut dapat berpotensi menjadi sumber fibrogenic growthstimuli. Rekonstruksi bedah sedapat mungkin didesain untuk mengurangi trauma jaringan dan wound tension, serta mencegah terjadinya dead space,
16
hematom dan infeksi. Reorientasi skar harus sejajar dengan garis skin tension4.
Jika kulit sekitar eksisi tidak dalam kondisi tension yang berlebihan, keloid berukuran kecil dapat dieksisi dan luka ditutup secara primer. Namun jika penutupan primer tidak mungkin dilakukan dan memerlukan tandur kulit, maka dilakukan eksisi keloid dengan meninggalkan daerah berbentuk elips yang akan ditanamkan tandur kulit. Daerah berbentuk elips ini berfungsi untuk menurunkan central tensile forces, dan diharapkan dapat menurunkan kemungkinan untuk kambuh. Tandur kulit full thickness lebih baik dibanding tandur kulit split thickness, karena memungkinkan penutupan luka lebih baik dan menyediakan struktur mikrovaskuler yang cukup untuk meyakinkan terjadi anastomosis dengan struktur mikrovaskuler host sehingga mengurangi angiogenesis dan proliferasi fibroblast4.
Bedah eksisi pada kebanyakan kasus keloid bukanlah tindakan kuratif. Rekurensi setelah tindakan berkisar antara 45% sampai 100%. Karena rekurensi yang tinggi ini, bedah eksisi saja tanpa terapi tambahan bukanlah terapi terbaik. Eksisi sering menyebabkan skar yang lebih panjang dari keloid asalnya dan bila kambuh dapat terjadi keloid yang lebih besar lagi. Injeksi kortikosteroid intralesi untuk menurunkan angka rekurensi dapat dilakukan intraoperatif atau pasca eksisi. Umumnya digunakan triamsinolon asetonid intralesi, dimulai dua minggu setelah eksisi, dilanjutkan sampai satu tahun atau sampai wound bed tetap sejajar dengan kulit sekitar selama. Alternatif
17
monoterapi tambahan lain adalah imiquimod topikal dan terapi radiasi1.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa wound tension yang berlebihan mungkin menyebabkan pembentukan keloid, oleh karena itu disarankan penyatuan tepi luka didesain untuk meminimalisir wound tension. Perawatan seksama harus dilakukan untuk menjaga wound tension di garis luka supaya tetap relaks, hal ini dicapai dengan teknik aseptik dan dengan mempertahankan wound eversion secara optimal1.
3. RadiasiMekanisme terapi radiasi dalam mencegah keloid
masih sangat kurang dimengerti. Radiasi diduga mengontrol sintesis kolagen dengan cara mengeliminasi fibroblas abnormal dan meningkatkan fibroblas normal yang telah ada. Radioterapi juga dihubungkan dengan penghambatan pembentukan neovascular buds dan proliferating young fibroblasts sehingga menurunkan produksi kolagen pada fase awal penyembuhan luka. Analisis in vitro terapi radiasi terhadap fibroblas keloid menunjukkan bahwa terjadi peningkatan apoptosis sel tersebut akibat radiasi. Kombinasi pembedahan dengan radiasi pascaoperasi merupakan metoda yang lebih efektif untuk mengatasi keloid dibandingkan dengan terapi radiasi saja. Tingkat keberhasilan kombinasi ini bervariasi antara 67 sampai 98% dengan angka rekurensi turun sampai dibawah 20%. Radiasi biasanya dimulai segera setelah pembedahan dengan dosis total tidak lebih dari 20 Gy selama beberapa kali pemberian. Guix dkk menyimpulkan bahwa terapi radiasi dengan menggunakan high-dose-rate
18
brachyterapy lebih efektif dibanding superficial x-ray atau low-energy electron beam3.
Efek samping yang sering terjadi adalah transient erythema dan hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko karsinogenesis, sehingga walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid, pasien harus tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu mungkin terjadi5.
4. CryotherapyCryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi
tunggal atau dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi keloid. Metoda aplikasi cryotherapy adalah dengan cara ditempelkan, disemprotkan, dan disuntikkan intralesi. Dalam sebuah penelitian randomized clinical trial, Layton dkk mendapatkan bahwa lesi vaskuler dini berespon lebih baik secara signifikan dibanding lesi yang lebih besar, sehingga disimpulkan cara ini efektif untuk keloid berukuran kecil8.
Bahwa kerusakan sel dan mikrovaskuler yang diakibatkan oleh cryotherapy, secara langsung menyebabkan stasis dan pembentukan trombus sehingga terjadi nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid. Secara in vitro, cryotherapy mampu mengubah sintesis kolagen dan differensiasi keloidal collagen menjadi normal. Kelemahan cryotherapy adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat dan waktu penyembuhan yang lama, sehingga pasien sering tidak datang kembali. Metoda ini memerlukan kombinasi dengan cara pengobatan lain. Pada pasien dengan warna kulit gelap dapat terjadi efek hipopigmentasi, yang dapat menimbulkan masalah baru5.
19
5. LaserMekanisme yang mendasari efek terapi laser pada
keloid, masih belum jelas sepenuhnya. Coagulation necrosis pembuluh darah akibat efek selective photothermolysis dan efek panas yang dihasilkan oleh energi laser menyebabkan penghancuran kolagen, perbaikan susunan serat kolagen, sintesis kolagen baru dan pelepasan histamin. Nekrosis pembuluh darah juga menyebabkan penurunan aliran darah kapiler di papila dermis. Kolagen yang baru terbentuk, bukanlah keloidal collagen melainkan kolagen normal2.
Laser karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser yang pertama kali digunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982 continous wave CO2 laser sukses dalam eksisi keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non traumatik dan memiliki efek anti inflamasi. Namun selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid menggunakan continous wave CO2 laser yang dilanjutkan dengan penyembuhan luka sekunder, gagal menekan
20
pertumbuhan dan mencegah rekurensi keloid. Saat ini laser CO2 digunakan untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain dimulai.
6. Silicone gel sheetingPenggunaan silicone gel sheet merupakan suatu
kemajuan baru dalam penatalaksanaan keloid dan jaringan skar hipertrofik. Silicone gel sheet tersebut berupa gel like transparent, flexible, inert sheet dengan ketebalan 3,5 mm yang digunakan untuk terapi dan pencegahan keloid ataupun jaringan skar hipertrofik. Lapisan tersebut terbuat dari medical-grade silicone (polimer polydimethylsiloxane)dan diperkuat dengan silicon membranebacking. Lapisan tersebut dapat melekat dengan mudah pada jaringan skar atau direkatkan dengan plester. Lapisan dapat dicuci setiap hari dan dipakai kembali, maksimal sampai 12 hari. Silicone gel sheet didesain untuk digunakan pada kulit yang intak. Lapisan membran tersebut sebaiknya tidak digunakan pada luka terbuka atau pada kulit dengan kelainan dermatologi yang mengintervensi kontinuitas kulit. Idealnya, silicone sheet diaplikasikan pada stadium awal ketika jaringan skar mulai menunjukkan tanda ke arah berkembangnya jaringan skar hipertrofik (kemerahan, membesar). Pasien berisiko tinggi untuk menderita jaringan skar abnormal, seperti pasien berumur di bawah 40 tahun, riwayat skar hipertrofik atau keloid sebelumnya, atau kulit gelap dapat dianjurkan untuk menggunakan silicone sheet segera setelah luka telah menyembuh (setelah pengangkatan jahitan pada luka)5.
Pembalutan dengan gel silikon efektif untuk keloid bila digunakan setelah bedah eksisi, hal ini bertujuan untuk
21
mencegah kambuhnya keloid. Gel sheets dilaporkan dapat melembutkan skar dan menurunkan ukuran skar, mengurangi eritem dan gejala gatal dan nyeri. Silicone gel sheeting sebaiknya diaplikasikan segera setelah eksisi dan dilanjutkan selama 12 jam per hari untuk 1 bulan. Lamanya pemakaian membutuhkan tingkat kepatuhan pasien yang baik1.
Sebuah penelitian yang membandingkan penggunaan silicone gel sheeting dengan non silicone gel sheets mendapatkan efektifitas yang sama antara keduanya dalam mengurangi ukuran skar, mengurangi indurasi dan mengurangi gejala. Hal ini menyiratkan bahwa efek yang menguntungkan dari metoda ini sebenarnya adalah sifat oklusif dari lapisan gel yang dipercaya meningkatkan hidrasi keloid, bukanlah materi silikonnya4.
7. 5-Fluorouracil5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin
yang banyak digunakan dalam pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU dikonversikan menjadi substrat aktif yang menghambat sintesis DNA dengan cara kompetitif terhadap penggabungan urasil. Penelitian terbaru mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi yang baik untuk menangani keloid. Kemampuan 5-FU untuk untuk mengganggu TGF-b signaling merupakan dasar penggunaan 5-FU untuk menghambat pembentukan keloid. Teknik yang digunakan dalam penelitian efikasi 5-FU terhadap keloid adalah dengan injeksi intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya direndam dengan 5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup. Efek samping
22
yang sering terjadi adalah nyeri di lokasi injeksi, ulserasi dan rasa terbakar5.
H. PencegahanPencegahan pembentukan keloid merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor resiko keloid, termasuk riwayat keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension di lokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit walaupun cedera tersebut ringan sekali. Keloid juga dapat berasal dari proses inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus harus diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid. Faktor yang dapat dikelola untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka (stretching tension), pencegahan infeksi luka dan reaksi benda asing3.Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah:1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya
gesekan dan garukan)4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat21.5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak
dengan bantal ketika tidur, untuk mencegah gesekan.6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra
dan pakaian dalam ketat untuk mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara.
7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai korset.
23
8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih dengan cara melakukan irrigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau antijamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka (termasuk lubang tindik telinga) dengan benda asing.
PARUT HIPERTROFI
A. Definisi
Parut hipertrofi merupakan penonjolan bekas luka dalam 4-8 minggu
setelah luka yang bersifat progresif cepat tetapi dapat regresif setelah
beberapa tahun. Tidak rekuren dengan pembedahan, bersifat tidak melebihi
area bekas luka (tidak terlalu besar) dan biasanya tidak menimbulkan
keluhan.5
B. Epidemiologi dan Genetik
Parut hipertrofi terjadi pada 30 – 72% kasus luka bakar, namun hal ini
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ras, jenis kelamin perempuan,
usia muda, lokasi luka bakar (terutama bagian wajah), dan tingkat keparahan
luka bakar (>20% luas permukaan tubuh). 4
C. Gejala
Adanya peninggian pada kulit lebih dari 4mm, berwarna merah atau
pink, teraba keras, dan menimbulkan rasa gatal. Pada umumnya, peninggian
ini tidak melebihi batas luka dan akan mengalami regresi seiring berjalannya
waktu.3
D. Penatalaksanaan
Non Invasif
1. Terapi Tekan
Dengan menggunakan balutan elastis / bebat dengan harapan
mempercepat proses lisis kolagen dengan menghambat pasokan darah dan
nutrisi.
24
2. Gel Silikon
Pengaplikasian gel silikon pada parut hipertrofi diharapkan
mengurangi aktifitas pembentukan kolagen dengan mengurangi penguapan
sehingga aktifitas pembuluh kapiler juga direduksi. Terapi ini sebaiknya
dilakukan secara rutin pada setiap luka 2-3 kali seminggu dan segera
diberikan saat luka sudah menutup dan pasien dapat menahan tekanan
yang diberikan.
3. Salep Poliuretan
Mekanisme kerjanya mirip dengan silikon gel
4. Ekstrak bawang bombay
Mengandung zat aktif anti inflamasi dan anti kolagenisasi.
5. Imiquimod 5% krim
Imunomodulator untuk interferon-a yang dapat meningkatkan
proses pemecahan kolagen.
6. Vitamin A dan vitamin E
Vitamin A berfungsi meningkatkan kekuatan ikatan antar sel
sehingga diharapakan parut hipertrofi tidak berkembang. Sedangkan
vitamin E berfungsi untuk stabilisator membran sel tetapi hanya efektif
jika dipakai pada luka baru untuk mencegah terjadinya parut hipertrofi.30,32
Invasif
1. Penyuntikan Kortikosteroid
2. Cryotherapy
3. Pembedahan laser
4. Pembedahan eksisi
5. Radioterapi
6. Injeksi Interferon
7. Kemoterapi 1
E. Pencegahan
Posisi dan panjang luka insisi harus diperhatikan saat akan melakukan
25
insisi. Selain itu, tekanan pada kulit juga harus diperhatikan. Pembetukan
jaringan parut yang berlebih dapat juga dicegah dengan mencegah terjadinya
inflamasi berlebihan dan menyediakan penutupan luka yang cepat. Penutupan
luka dapat terjadi secara cepat dengan cara melakukan debridemen pada
jaringan yang mati, menghindari infeksi dengan cara membersihkan dengan
desinfektan, dan menyediakan dressing yang cukup lembab
Terdapat 3 komponen utama yang dapat mencegah terjadinya jaringa
parut setelah terjadinya penutupan luka, yaitu:
1. Pengurangan tekanan pada luka
2. Hidrasi/ oklusi
3. Pressure garment.3
JARINGAN GRANULASI
Jaringan granulasi adalah jaringan fibrosa yang terbentuk dari bekuan darah
sebagai bagian dari proses penyembuhan luka, sampai matang menjadi jaringan
parut. Jaringan granulasi terjadi saat proses inflamasi yang akan berakhir dengan
pemulihan jaringan yang dibagi dalam regenerasi dan pergantian dengan jaringan
penyokong. Jaringan granulasi ini secara patogenesis secara perlahan-lahan akan
menutup luka, untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Secara mikroskopis
jaringan granulasi terdiri dari proliferasi fibroblas dan endotel kapiler, sel radang,
neovaskularisasi, dan proliferasi endotel2.
26
Jaringan granulasi adalah salah satu dari macam-macam reaksi dan lokalisasi
jaringan yang terjadi pada radang kronik atau proliferatif ditandai dengan oleh
proliferasi fibroblas membentuk jaringan ikat muda dengan banyak pembuluh
darah baru, yang keadaan morfologinya dapat khas mencerminkan pengaruh
penyebab jejas tertentu, prosesnya disebut radang granulomatik atau spesifikatau
khas; leukosit sel radang khusunya sel-sel monomorfologinuklir (limfosit, sel
plasma dan histiosit). Granulasi dapat terjadi pada proses penyembuhan luka
bakar.
Jaringan granulasi sebagian besar terdiri dari kapiler dan fibroblas dan
berbentuk granular yang kemerah-merahan.
Setelah luka, tejadi reaksi peradangan akut dan kemudian bekas luka
dilenyapkan oleh makrofag seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Migrasi dan
poliferasi fibroblast dan tunas vaskuler dari sekeliling jaringan penghubung
kemudian membentuk jaringan granulasi. Tunas kapiler tumbuh diluar pembuluh
darah di tepi luka dengan susunan baru, migrasi dan poliferasi dari sel endotel
yang ada. Tunas kapiler pada umumnya berbentuk padat pada mulanya, tetapi
kemudian mencair. Tunas yang vaskuler membentuk jerat yang menyatu satu
sama lain atau dengan kepiler yang telah membawa darah. Kapiler yang baru
dibentuk lebih permiable dibandingkan yang normal dan yang dapat mengalirkan
27
banyak protein ke dalam jaringan. Beberapa pembuluh membentuk lapisan
muskular dan membedakan antara arteri dan vena. Asal dari sel muskular tidak
diketahui. Sel muskular mungkin muncul dengan differensiasi sel mesencymal
atau migrasi dari pembuluh darah yang ada3.
Secara simultan dengan mengembangkan kapiler baru, fibroblast
mengeluarkan molekul kolagen yang dapat larut agar dikumpulkan ke dalam
fibril. Fibroblast juga dipercaya untuk mengahasilkan mucopoly sakarida unsur
dari jaringan. Setelah 2 minggu produksi kolagen menurun, tetapi proses
perubahan bentuk kembali tetap berlangsung. Secara acak mengarahakn fibril
kolagen kecil untuk diatur kembali kembali ke dalam ikatan yang tebal, yang
memberikan kekuatan yang lebih besar kepada jaringan5.
28
DAFTAR PUSTAKA
Hunt, TK. (2015). Wound healing and wound infection: theory and surgical practice. Appleton-Century-Crofts, Minnesota Mining and Manufacturing Company
Cameron, MH. (2013). Physical Agents in Rehabilitation - E Book: From Research to Practice. Elsevier Saunders. www.elsevier.com
Niti Khunger, Anil Ganjoo.(2013). ECAB Clinical Update: Scar Management. Elsevier Health Sciences.
Pierce A. Grace, Neil R. Borley. (2013). Surgery At A Glance. John Wiley & Sons. www.testgeneralsurgery.com
Safonov, I. (2012). Atlas of Scar Treatment and Correction. Springer Heidelberg New York Dordrecht London. www.springer.com
29