laporan kasus keloid

34
LAPORAN KASUS Keloid Oleh: Luthfan Adiputra Pembimbing: dr. Dwi Rini Marganingsih. M.Kes, Sp.KK DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN i

Upload: ranggit-oktanita

Post on 26-Oct-2015

643 views

Category:

Documents


74 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Keloid

LAPORAN KASUS

Keloid

Oleh:

Luthfan Adiputra

Pembimbing:

dr. Dwi Rini Marganingsih. M.Kes, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN

KLINIK BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2013

i

Page 2: Laporan Kasus Keloid

HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kegiatan Koassistensi di Rumah Sakit Umum Panembahan Senopati Bantul

Telah dipresentasikan dan disahkan pada September 2013

Disusun Oleh :

Luthfan Adiputra

20080310008

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Dwi Rini Marganingsih. M.Kes, Sp.KK

ii

Page 3: Laporan Kasus Keloid

STATUS PASIEN

IDENTITAS

Nama : Sdri. R

Usia : 5 tahun 1bl

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Bantul

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Tanggal Pemeriksaan : 27-8-2013

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Benjolan pada leher sejak 8 bulan SMRS

Keluhan Tambahan

Awalnya suatu bekas luka cacar air pada leher, kemudian saat penyembuhan menjadi suatu

benjolan besar ukuran p1.5xl0.75xt0.5 cm

Riwayat penyakit sekarang

Delapan bulan SMRS, pasien menderita cacar air, kemudian pasien diberi pengobatan untuk

cacar air oleh dokter anak, setelah seminggu diberi pengobatan, respon penyembuhan terjadi,

dan membaik. Namun ada satu luka yang tak membaik dan beubah menjadi benjolan pada

leher pasien. Pasien mengaku benjolan tersebut tak nyeri dan tak gatal.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Hipertensi, DM disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi, DM disangkal

1

Page 4: Laporan Kasus Keloid

2

Riwayat Alergi

Alergi makanan dan obat disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Status Generalis

Kepala : t. a. k.

Leher : t. a. k.

Thorax : t. a. k.

Abdomen : t. a. k.

Ekstremitas : t. a. k.

Genital : t. a. k.

Page 5: Laporan Kasus Keloid

3

Status Dermatologis

1. Regio cervical

Lesi tumor tunggal, berukuran plakat, susunan soliter, bentuk oval, batas

sirkumskripta.

Efloresensi nodular, sikatrik hipertrofik (keloid).

RESUME

Perempuan 5 tahun 1 bulan tahun datang dengan benjolan pada leher sejak 8 bulan

yang lalu. Benjolan berawal dari luka bekar cacar air. Nyeri (-) pruritus (-). Benjolan

bertambah luas melewati tepi luka.

Status dermatologis ditemukan lesi pada region cervical, Lesi tumor tunggal,

berukuran plakat (p 1.5 x l 0.75x t 0.5 cm), susunan soliter, bentuk oval, batas sirkumskripta.

Efloresensi nodular, sikatrik hipertrofik (keloid).

DIAGNOSA KERJA

Keloid ad regio cervical,

Page 6: Laporan Kasus Keloid

4

DIAGNOSA BANDING

Hypertrophic scarring, Dermatofibroma

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

- Tidak diterapi sementara, diterapi bila sangat menganggu atau.sudah lebih dewasa.

Non-medikamentosa

- Jangan menggaruk lesi.

- Jangan melakukan tindikan (body piercing).

- Usahakan proteksi tubuh agar tidak terjadi luka.

- Hindari prosedur-prosedur medis invasif yang bersifat elektif yang dapat menimbulkan

luka.

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

Page 7: Laporan Kasus Keloid

5

KELOID

1. DEFINISI

Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan

proliferatif) yang muncul di atas kulit yang mengalami trauma atau di atas luka operasi

dan tidak sesuai dengan beratnya trauma, tidak dapat sembuh secara spontan serta dapat

berulang setelah dilakukan eksisi (Thompson, 2001). Keloid juga dapat didefinisikan

sebagai pertumbuhan jinak dari jaringan fibrosa padat, yang berkembang dari respon

abnormal terhadap penyembuhan cedera kulit, yang meluas keluar dari perbatasan asli

luka atau respon inflamasi.

Secara klinis, keloid berbentuk nodul, berwarna ato hypopigmentasi, atau

bersifat eritematosa sekunder untuk telangiectasias. Keloid terjadi paling umum pada

bagian dada, bahu, punggung atas, belakang leher dan telinga (Roblez, 2007).

Gambar. Keloid

Harus dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada parut

hipertropik, besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak pernah melewati batas tepi

luka dan pada suatu saat akan mengalami fase maturasi. Parut hipertropik juga dapat

sembuh secara spontan dalam 12-18 bulan meskipun tidak komplit. Sedangkan pada

keloid, parut melampaui batas tepi luka tetapi jarang meluas sampai ke jaringan

subkutan, aktif dan menunjukkan tanda-tanda radang seperti kemerahan, gatal dan nyeri

ringan. Jika keloid bersifat multipel atau berulang maka disebut keloidosis (Gauglitz,

2011).

Page 8: Laporan Kasus Keloid

6

2. EPIDEMIOLOGI

Kebanyakan orang tidak pernah memiliki keloid. Untuk alasan yang tidak

diketahui, keloid terjadi lebih sering di antara kulit hitam, Hispanik dan Asia dan jarang

di Kaukasia . Dilaporkan sekitar 16% orang afrika hitam menderita keloid, sedangkan

orang kulit putih dan albino sangat sedikit yang menderita keloid (Cohly, 2002). Keloid

juga dilaporkan lebih banyak pada wanita muda dibandingkan pria muda. Namun, tanpa

menggolongkan umur, prevalensi keloid antara pria dan wanita adalah sama. Menurut

umur, keloid sering terjadi pada kelompok umur 10-30 ahun (dewasa muda) dan jarang

terjadi pada usia tua (Cohly, 2002). Keloid juga sering timbul pada penderita yang

mengalami luka bakar parah dan di lokasi vaksinasi.

3. ETIOLOGI

Penyebab pasti tidak diketahui, tidak ada gen khusus yang diidentifikasi sebagai

penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun peningkatan prevalensi keloid

berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit yang menunjukkan adanya pengaruh

genetik. Keloid dihubungkan secara genetik dengan HLA-B14, HLA-B21, HLA-Bw16,

HLA-Bw35, HLA-DR5, HLA-DQw3, dan golongan darah A. Transmisi dilaporkan

secara autosom dominan dan autosom resesif. Keloid dapat disebabkan oleh insisi

bedah, luka, penyuntikan vaksinasi (BCG), luka bakar, bekas jerawat, setelah cacar,

gigitan serangga, pemakaian anting (Wolfram, 2009).

4. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15%

berat bada. Kulit merupakan organ yang paling esensial dan vital serta merupakan

cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangan kompleks, elastis dan sensitif,

bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh

(Gauglitz, 2011).

Page 9: Laporan Kasus Keloid

7

Gambar 2. Anatomi Kulit

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:

a. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri ata: stratum korneum, stratum lusidum,

stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri atas dua jenis sel :

sel-sel kolumner dan sel pembentuk melanin).

b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi menjadi dua

bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.

c. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjuta dermis, terdiri atas jaringan ikat

longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.

Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian

atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).

Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus

yang di subkutis dan di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini

pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat

saluran getah bening.

Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera fisik,

kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi (faal

perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini, Meisner,

Krause, dan Ruffini yang terdapat di dermis), pengaturan suhu tubuh (termoregulasi

akibat adanya jaringan kapiler yang luas di dermis, adanya lemak subkutan, dan

kelenjar keringat), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.

Page 10: Laporan Kasus Keloid

8

5. GAMBARAN HISTOLOGI KELOID

Pada pemeriksaan histologis keloid, ditemukan kolagen dengan jumlah yang

meningkat dan deposisi glikosaminoglikan, kedua komponen utama matriks

ekstraselular. Kolagen pada keloid terdiri dari penebalan whorls dari bundel kolagen

hyalinized dalam array yang serampangan, yang dikenal sebagai kolagen keloidal

(Roblez, 2007). Hal ini berbeda untuk bekas luka normal di mana berkas-berkas

kolagen sejajar berorientasi pada permukaan kulit.

6. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Patogenesis keloid secara jelas masih belum diketahui, tetapi merupakan

peristiwa yang kompleks dan melibatkan faktor genetik dan lingkungan. Kondisi

inflamasi kulit seperti akne vulgaris, folikulitis, infeksi varicella, atau vaksinasi

(terutama vaksinasi BCG) dapat menyebabkan pembentukan keloid. Keloid paling

sering terjadi dalam pengaturan penyembuhan luka bedah atau non-bedah (misalnya,

laserasi dan penusukan daun telinga). Keloid berkembang dalam beberapa bulan setelah

luka atau proses inflamasi, dan dapat berkembang lebih pesat, keluar dari batas luka

setahun kemudian. Ekspresi menyimpang dari berbagai faktor pertumbuhan dan

reseptor diperlihatkan melalui fibroblas. Misalnya, fibroblas keloidal ditunjukkan untuk

lebih mengekspresikan faktor pertumbuhan: VEGF, TGF-β1, TGF-β2, CTGF, serta

PDGF-α reseptor. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa TGF-β1 berperan sebagai

patogenesis jaringan parut abnormal dan banyak penelitian difokuskan pada jalur ini.

Sebuah studi terbaru oleh Capaner dkk. melaporkan bahwa ekspresi lebih dari TGF-β1

merupakan komponen penting dalam pembentukan keloid. Tetapi bukan merupakan

faktor utama atau independen, karena keloid juga merupakan adalah proses

multifaktorial. Dalam sebuah penelitian, fibroblas keloidal ditemukan memiliki tingkat

yang lebih rendah dari apoptosis, diduga terkait dengan peraturan turun-apoptosis gen

terkait. Dibandingkan dengan fibroblas dermal yang normal, fibroblas pada keloid

menunjukkan peningkatan produksi kolagen dan matriks metalloproteinase (Roblez,

2007).

Saat proses penyembuhan luka harus ada keseimbangan antara produksi kolagen

yang meningkat dan kerusakan jaringan yang difasilitasi oleh metaloproteinase matriks.

Bekas luka yang normal memiliki mekanisme umpan balik negatif, dimana fibroblas

berfungsi untuk memperbaiki cacat kulit tetapi aktivitas mereka juga dihambat untuk

mencegah perbaikan yang berlebihan. Dalam hal ini, fibroblas berasal dari bekas luka

Page 11: Laporan Kasus Keloid

9

matang mampu menekan proliferasi in-vitro yang dapat menyebabkan jaringan parut

patologis. Hal ini menunjukkan mekanisme umpan balik negatif fibroblas keloidal yang

pada akhirnya mengakibatkan pembentukan parut yang mempunyai kecenderungan

untuk kambuh.

Sampai saat ini, tidak ada gen tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan

keloid. Sebagian besar kasus terjadi secara sporadis, meskipun temuan dari sejarah

keluarga yang positif adalah hal yang biasa. Marneros dan rekannya mempelajari empat

belas keluarga dengan anggota yang terkena dampak ganda dan berasal sebuah

autosomal dominan dengan pola warisan penetrasi tidak lengkap berdasarkan analisis

mereka. Berbagai polimorfisme gen encoding TGF-β1, β2 β3 serta reseptor TGFβ telah

dievaluasi, tetapi tidak ada asosiasi signifikan secara statistik dengan keloid telah

diidentifikasi. Kemungkinan bahwa beberapa gen memberikan kerentanan terhadap

perkembangan keloid, dengan gen yang berbeda memberikan kontribusi bagi

pembentukan keloid dalam keluarga yang berbeda. Hal ini akan membuat identifikasi

gen tertentu bermasalah. Satish dkk. melaporkan data yang membandingkan profil

ekspresi gen dari sejumlah kecil sampel jaringan keloid dan kulit normal. Didapatkan

hasil bahwa terdapat peningkatan ekspresi kedua fibronektin dan rantai α-1 tipe 1 protein

kolagen yang umumnya terkait dengan penyembuhan luka yang abnormal. Selain itu,

isoform aktin beberapa orang atas disajikan dalam fibroblast keloid. Menariknya, ada

beberapa gen terkait apoptosis yang menunjukkan ekspresi yang meningkat pada

fibroblast keloid. Hal ini mendukung gagasan bahwa disregulasi apoptosis dapat

menyebabkan pembentukan keloid. Dari data yang ada juga diketahui bahwa beberapa

tumor yang berhubungan dengan gen yang ditemukan dalam fibroblast keloid, terdapat

peningkatan jumlah pada Protein Ribosomal 18 (RPS18) yang merupakan protein

penting untuk pertumbuhan sel Stat-3, lain onkogen yang terlibat dalam proliferasi sel,

juga telah dihubungkan dengan patogenesis keloid.

Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka. Pada suatu

luka, proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan selama kurang lebih 6-8

minggu setelah suatu trauma. Pada stadium ini, kekuatan luka kurang lebih 30-40%

dibandingkan kulit sehat. Seiring dengan maturnya jaringan parut (skar), kekuatan

meregang dari skar juga bertambah sebagai akibat pertautan yang progresif dari serat

kolagen. Pada saat itu, skar akan nampak hiperemis dan mungkin menebal, tepi

penebalan ini akan berkurang secara bertahap selama beberapa bulan sampai menjadi

datar, putih, lemas, dapat diregangkan sebagai suatu skar yang matur. Jika terjadi

Page 12: Laporan Kasus Keloid

10

ketidakseimbangan antara fase anabolik dan katabolik dari proses penyembuhan, lebih

banyak kolagen yang diproduksi dari yang dikeluarkan, dan skar bertumbuh dari segala

arah. Skar sampai diatas permukaan kulit dan menjadi hiperemis. Skar yang meluas ini

akan timbul sebagai keloid dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: semua

rangsang fibroplasia yang berkelanjutan (infeksi kronik, benda asing dalam luka, tidak

ada regangan setempat waktu penyembuhan, regangan berlebihan pada pertautan luka),

usia pertumbuhan, bakat, ras dan lokasi (Gauglitz, 2011).

7. DIAGNOSIS

Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis (penampakan kulit atau

jaringan parut):

a. Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras.

b. Lesi awal biasanya kemerahan.

c. Lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging.

d. Lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa lainnya)

Keloid memberikan gambaran klinik yang bervariasi. Kebanyakan lesi tumbuh

selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi ada pula yang tumbuh dalam

beberapa tahun. Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi kadang-kadang melebar secara

cepat, menjadi 3 kali lebih lebar dalam beberapa bulan. Ada pula keloid yang berhenti

tumbuh, keloid tidak selalu memberikan gejala dan menjadi stabil. Keloid tumbuh

berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung

kambuh bila dilakukan intervensi bedah.

Keloid pada telinga, leher, dan abdomen biasanya bertangkai. Keloid pada daerah

tengah dada dan ekstremitas biasanya datar, dimana dasarnya lebih luas dari puncaknya.

Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau persegi panjang dengan tepi

reguler, tetapi ada pula yang berbentuk seperti bekas cakaran dengan tepi yang

irreguler. Kebanyakan pasien datang dengan 1-2 keloid, tetapi ada juga dengan banyak

keloid seperti pada pasien yang keloid muncul akibat jerawat atau bekas cacar.

Keloid pada sendi dapat mengganggu pergerakan akibat kontraktur. Keloid tidak

pernah berubah menjadi keganasan dan hanya menimbulkan masalah kosmetik saja.

Frekuensi lokasi keloid pada orang Asia biasanya pada cuping telinga, ekstremitas atas,

leher, payudara, bahu, sternum, pinggang, dan wajah.

Page 13: Laporan Kasus Keloid

11

Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik:

Keloid Parut hipertrofik

Permulaan Mungkin timbul setelah

beberapa bulan, atau

satu-dua tahun

Timbul dalam waktu beberapa

minggu

Invasi Meluas ke daerah

kerusakan epitel

Terbatas pada kerusakan

Penyembuhan Tak ada regresi Hilang sendiri

Predileksi Strenum, bahu, pipi,

telinga, pinggang

Dapat timbul dimana pun

Ras/bangsa Terutama ras kulit gelap

atau hitam

Lebih banyak dari bangsa kulit

putih

Luka bakar Mungkin Sering

Gatal Jarang hebat Biasanya mengganggu

8. PENATALAKSANAAN

Berbagai macam terapi yang ada untuk keloid, dengan modalitas yang paling umum

digunakan ini, injeksi steroid intralesi, eksisi bedah, cryotherapy, terapi laser, terapi

radiasi dan penerapan lembaran gel silikon. Pengobatan lain yang telah digunakan

dengan tingkat keberhasilan variabel meliputi, Imiquimod, 5-FU, bleomycin, retinoid,

calcium channel blockers, mitomycin C dan interferon-α 2b (Roblez, 2007).

a. Konservatif

- Injeksi steroid

Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan sediaan kortikosteroid

intrakeloid yang diulang 2-3 minggu sekali sampai efek yang diinginkan tercapai

(Espana, 2011). Secara keseluruhan, modalitas ini memiliki tingkat tinggi toleransi

serta efektivitas dalam mengurangi gejala. Triamcinolone acetonide (Kenalog,

Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ) biasanya digunakan pada konsentrasi 10

sampai 40mg/ml, tergantung pada ukuran dan lokasi lesi. Untuk lesi pada batang atau

ekstremitas terapi biasanya dimulai di 40mg/ml dan kemudian dititrasi sesuai pada

kunjungan berikutnya. Beberapa suntikan pada interval bulanan umumnya

Page 14: Laporan Kasus Keloid

12

dibutuhkan untuk keloid yang lebih besar. Suntikan steroid intralesi membantu

melembutkan dan mengurangi gejala pruritus dan nyeri tekan.

Komplikasi dari penggunaan steroid intralesi meliputi, atrofi kulit, hipo-atau

hiperpigmentasi, dan pengembangan telangiectasias. Karena pasien biasanya

membutuhkan beberapa jarum suntik, terutama untuk lesi yang lebih besar, beberapa

penulis menganjurkan pra-perawatan dengan lidokain topikal atau penambahan

lidokain di suntik untuk membantu mengurangi rasa sakit pada daerah yang akan

disuntik. Triamcinolone acetonide telah ditunjukkan untuk menghambat sintesis

kolagen dan pertumbuhan fibroblast in vitro. Telah dilaporkan bahwa perlakuan

fibroblas dengan hasil asetonid triamsinolon dalam pengurangan TGF-β ekspresi dan

peningkatan produksi bFGF. Injeksi steroid intralesi mungkin tidak praktis untuk

keloid yang sangat besar atau beberapa, karena rasa sakit injeksi mungkin cukup

besar dan ada kekhawatiran tambahan karena dosis besar kortikosteroid.

- Pengobatan Imiquimod

Imiquimod adalah imunomodulator topikal yang disetujui FDA untuk pengobatan

kutil genital dan perianal eksternal dan yang terbaru, untuk pengobatan actinic

keratosis. Obat ini bekerja melalui reseptor sitokin pro-inflamasi, termasuk TNF-α

yang diketahui mengurangi produksi kolagen dalam fibroblast. Setelah eksisi bedah,

topikal krim Imiquimod 5 persen diterapkan setiap malam ke garis jahitan dan

sekitarnya dengan total 8 minggu. Gatal, terbakar, sakit dan lecet adalah efek

samping yang dilaporkan. Meskipun tidak ada rekurensi yang dicatat, tindak lanjut

dibatasi sampai 24 minggu. Dalam studi lain kecil dan tidak terkontrol, terapi

imiquimod setelah eksisi keloid delapan daun telinga mengakibatkan kekambuhan

25 persen. Mengingat jumlah kecil diobati dan kurangnya tindak lanjut jangka

panjang, manfaat klinis Imiquimod masih belum jelas.

- 5-Fluorourasil

5-Fluorourasil (5-FU) adalah analog pirimidin yang diubah secara intraseluler pada

substrat yang menyebabkan penghambatan sintesis DNA dengan bersaing dengan

penggabungan urasil. Tingkat peningkatan proliferasi fibroblas terlihat pada

keloidal menunjukkan bahwa 5-FU mungkin efektif dalam membatasi pertumbuhan

keloid. Namun, beberapa penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa

keberhasilan secara keseluruhan tidak lebih baik dari modalitas lain dan efek

samping yang signifikan seperti ulserasi dan hiperpigmentasi membuat topikal 5-FU

kurang menarik. Penghambat utama sistemik 5-FU adalah hubungannya dengan

Page 15: Laporan Kasus Keloid

13

anemia, leukopenia dan trombositopenia. Jadi, bahkan intralesi 5-FU harus dihindari

pada wanita hamil dan menyusui dan pasien dengan infeksi bersamaan atau

penekanan sumsum tulang.

- Bleomycin

Bleomycin, sebuah agen kemoterapi digunakan pada kanker banyak, juga telah

menggunakan beberapa dermatologi. Bleomycin memiliki efek luas pada tingkat

sel, termasuk menghalangi siklus sel, DNA dan RNA merendahkan, dan

menghasilkan spesies oksigen reaktif. Hipopigmentasi dan telangiectasia adalah

komplikasi yang paling umum dari cryotherapy kombinasi dan triamcinolone.

Dalam tiga bulan masa tindak lanjut dilaporkan, tidak ada rekurensi [78]. Namun,

seperti yang dinyatakan sebelumnya, tindak lanjut ini pendek mengingat bahwa

keloid bisa kambuh tahun setelah pengobatan. Studi-studi kecil menunjukkan

bleomycin mungkin memiliki potensi terapi dalam mengobati keloid, namun ada

kebutuhan untuk percobaan yang lebih besar yang mempekerjakan lebih metodologi

ketat.

b. Pembedahan

- Eksisi bedah

Eksisi bedah dari keloid harus dilakukan dengan perhatian khusus karena tingkat

kekambuhan tinggi. Eksisi bedah mungkin memuaskan, memberikan koreksi

kosmetik segera. Namun, eksisi yang sering menyebabkan bekas luka lama dan

potensi untuk keloid lebih besar pada saat terjadi kekambuhan. Terapi adjuvant

seperti pasca-Excisional injeksi steroid harus dipertimbangkan. Beberapa laporan

awal menunjukkan Imiquimod topikal sebagai berikut eksisi tambahan, tetapi

jangka panjang data tindak lanjut masih kurang. Ada juga data yang menunjukkan

manfaat dari C Mitomycin topikal sebagai tambahan untuk eksisi bedah, namun ini

juga penelitian kecil dengan jangka pendek tindak lanjut. Serangkaian kasus kecil

dari empat pasien melaporkan hasil yang lebih unggul ketika kolagen

glikosaminoglikan kopolimer neodermis (Integra) ditempatkan pada saat eksisi dan

cangkok kulit ditunda selama beberapa minggu.

Hasil bedah terbaik dilihat dengan penutupan tepi luka yang sangat baik,

menggabungkan ketegangan minimal dengan eversi maksimal dan memastikan

sayatan dibuat sepanjang garis ketegangan kulit santai. Pasien dengan riwayat

Page 16: Laporan Kasus Keloid

14

pembentukan parut keloid atau hipertropik sebaiknya menghindari prosedur elektif

operasi atau kosmetik untuk menghindari risiko keloid masa depan.

- Cryotherapy

Cryotherapy telah digunakan untuk lesi yang lebih kecil, namun penggunaannya

dibatasi oleh rasa sakit dan kadang-kadang lama pengobatan penyembuhan berikut .

Karena banyak perawatan sering diperlukan, risiko untuk hipopigmentasi dalam

berkulit gelap pasien adalah kelemahan signifikan. Cryotherapy telah dilaporkan

untuk mengubah sintesis kolagen dan menginduksi diferensiasi fibroblas keloidal

menuju fenotip yang lebih normal. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan

cryotherapy hanya sebelum injeksi steroid untuk menginduksi edema dan dengan

demikian memfasilitasi injeksi streroid. Digunakan nitroge liquid yang

mempengaruhi mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal

intrasel yang mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas

tanpa modalitas terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa rekurensi pada 51-

74% pasien setelah 30 bulan observasi (Kelly, 2004).

c. Radioterapi

Beberapa studi menggunakan terapi radiasi sebagai tambahan untuk eksisi bedah

telah dilaporkan, tetapi kurangnya rejimen standar membuat perbandingan antara

studi sulit. Berbagai teknik dapat ditemukan dalam literatur, termasuk dangkal x-ray,

berkas elektron, dan tingkat rendah atau dosis tinggi brachytherapy. Pasca Excisional

radioterapi biasanya digunakan segera setelah eksisi bedah. Ketika dikombinasikan

dengan eksisi, tingkat keberhasilan lebih tinggi, antara 65 sampai 99 persen. Efek

samping dari terapi radiasi termasuk eritema sementara dan hiperpigmentasi. Risiko

karsinogenesis dari terapi radiasi keloid kemungkinan menjadi sangat rendah,

terutama dengan teknik modern.

d. Laser

Penggunaan laser untuk ablasi keloid dianggap kurang bermanfaat. Penggunaan

karbon dioksida dan argon laser mempunyai tingkat kekambuhan 90 persen.

Flashlamp pulsed-dye laser dikaitkan dengan penurunan TGF-β1 dan up-regulasi dari

metaloproteinase MMP-13, penekanan proliferasi fibroblast keloidal serta induksi

apoptosis. Penggunaan Nd: YAG laser sebagai monoterapi atau dalam hubungannya

dengan injeksi triamcinolone intralesi telah menunjukkan beberapa hasil menjanjikan

dengan persentase yang besar dari pasien keloid.

Page 17: Laporan Kasus Keloid

15

e. Silicone Gel Dressing

Silicone gel dressing adalah modalitas pengobatan non-invasif dan relatif murah

tambahan untuk keloid. Baru-baru ini, sebuah panel ahli internasional

direkomendasikan silikon terapi gel sheet sebagai profilaksis baris pertama setelah

eksisi bedah. Ketika digunakan setelah eksisi bedah, 70-80 persen dari keloid dan

bekas luka hipertrofik tidak muncul kembali. Lembaran gel memberikan penghalang

oklusif dan tampaknya melunakkan bekas luka dengan meningkatkan hidrasi dan

memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi eritema, nyeri dan gatal-gatal .

Setelah eksisi bedah lembaran silikon gel diterapkan segera setelah kembali epitelisasi

dicapai dan dipakai paling sedikit 12 jam per hari. Lembar digunakan sekitar 10-12

hari dan dapat dicuci dan digunakan kembali.

9. KOMPLIKASI

a. Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang infeksi

bakteri.

b. Rekurensi

c. Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat.

10. PENCEGAHAN

Pasien dengan keloid sebelumnya atau riwayat keluarga keloid mempunyai peningkatan

risiko untuk mengembangkan bekas luka yang abnormal. Pasien-pasien ini harus diberi

konseling terhadap tindakan menindik tubuh dan harus menghindari prosedur kosmetik

elektif dengan risiko untuk jaringan parut. Sebagaimana dibahas di atas, luka harus

ditutup dengan ketegangan minimal dan penggunaan tindakan-tindakan adjunctive

setelah eksisi bedah termasuk penggunaan lembaran gel silikon dapat mengurangi

kekambuhan.

Page 18: Laporan Kasus Keloid

PEMBAHASAN

Kasus keloid pada anak merupakan tantangan tertentu bagi bidang spesialis kulit dan

kelamin, karena anak tidak sekooperatif orang dewasa dalam tingkah lakunya. Pada kasus

keloid, diperlukan terapi injeksi Triamsinolone Acetate intralesi 1 mg (0,1 mL) per 2 minggu

pada lesi sampai lesi terjadi atrofi. Dan mendapat terapi bebat agar mendapatkan hasil yang

meksimal, banyak terdapat kontroversi dalam terapi keloid, karena setiap individu memiliki

reaksi yang berbeda.

Namun pada kasus kali ini adalah seorang anak berumur 5 tahun 1 bulan, kami

melilih untuk teidak menterapi pasien sementara, dikarenakan injeksi Triamsinolone Acetate

memerlukan tindakan khusus dan tidak boleh terkena suatu trauma, karena akan

mengkaibatkan keloid pecah, Triamsinolone Acetate keluar dari lesi, dan tidak bekerja

efeketif dalam mengatrofikan lesi sebagaimana harapan awal pada kasus ini. Dimana kami

beranggapan bahwa anak adalah suatu keadaan yang masih sangat impulsive dan mudah

melakukan suatu garukan yang tak disadari ataupun terkena suatu benturan atau trauma yang

tidak disengaja, membuat kami berpikir untuk menunda terapi pada anak ini hingga keadaan

dirinya sudah mungkin untuk menahan diri dan dapat mengkontrol tingkah lakunya.

Walaupun dapat saja setelah injeksi ditutup bebat, dan ini akan dapat mengurangi

kekhawatiran dari pihak tenaga medis, namun kami khawatir dan tidak menutup

kemungkinan bebat, dapat terlepas kapan saja, kemudian lesi dapat pecah, dan pada lesi yang

cukup dalam, akan menimbulkan keloid yang lain. Hal ini akan menyulitkan terapi pada

pasien kedepeannya, karena keloid makin memburuk dan terapi akan memakan waktu yang

semakin lama. Oleh karena pertimbangan hal tersebut kami memutuskan untuk menunda

terapi hingga keadaan sikap anak lebih stabil dan lebih terkontrol.

Terapi keloid membutuhkan perlakuan khusus dan telaten, tindakan tenaga kesehatan

yang professional dan kekooperatifan pasien akan meberikan hasil yang baik.

Page 19: Laporan Kasus Keloid

KESIMPULAN

Perkembangan penyembuhan luka menjadi keloid adalah suatu hal yang membuat

frustasi pada pasien dan tenaga kesehatan. Dikarenakan kesulitan dalan penerapiannya, dan

hasil dari terapi mendapat respons yang berbeda pada setiap individu. Tidak ada terapi yang

paling optimal, eksisi bedah, topical imiquimod dan penutupan lesi mengginakan silicone

adalah terapi yang paling efektif dan tersedia saat ini. Komunikasi tenaga ahli kesehatan

dengan pasien sangat diperlukan, edukasi dan informed consent karena kejadian rekurensi

yang tinggi dan keterbatasan terapi menjadi masalah pada kasus ini.

Perkembangan penyembuhan luka telah diteliti berdekade-dekade yang lalu hingga

sekarang, namun patofisiolgi penyembuhan luka yang menyimpang belum dapat dipahami

lebih lanjut, dan terapi ataupun intervensi pada kasus ini memberikan hasil yang tidak

konsisten dan berbeda tiap individu. Harapannya investigasi lebih lanjut pada kasus keloid

akan membantu terapi dan pencegahan kasus keloid lebih baik lagi dalam penyembuhan luka.

Page 20: Laporan Kasus Keloid

DAFTAR PUSTAKA

Alphonso, Marline. 2010. Hypertrophic scarring. Diakses dari

www.buzzle.com/articles/hypertrophic-scarring.html

Arinudh. 2011. Hypertrophyc Scar-Causes, Treatment and Removal. Diakses dari

www.primehealthchannel.com

Berman, Brian. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari www.medscape-

medline.com

Chiu,HY., Tsai TF., 2011. Keloidal Morphea. The New England Journal of Medicine 364;14

edisi 28

Espana. A,. et al. 2001. Bleomycin in the Treatment of Keloid an Hypertrophic Scars by

Multiple needle Punctures. Dermatol Surg. pp. 23 – 27

Gauglitz, Gerd, et al. 2011. Hypertrophic Scarring and Keloids: Pathomechanisms and

Current and Emerging Treatment Strategies. Mol Med. Pp. 113 – 126

Ishihara,H., Yoshimoto H., Fujiko M., Murakami, R., Hirano A., Fujii T., Ohtsuru A. Namba

H., Yamashita S. 2000. Keloid Fibroblasts Resist Ceramide-Induced Apoptosis by

Overexpression of Insulin-Like Growth Factor I Receptor. Department of Plastic and

Reconstructive Surgery Medicine, Japan. Pp: 1065-1070

Kokoska, Mimi. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari www.medscape-

medline.com

Kelly. A,. 2004. Medical and surgical therapies for keloids. Dermatologic Therapy. Pp. 212 –

218

Patel R., Papaspyros SC., Javangula kC., Nair U., 2010. Presentation and management of

keloid scarring following median sternotomy: a case study. Journal of Cardiothoracic

Surgery 2010, 5:122

Page 21: Laporan Kasus Keloid

19

Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology and

Management. Dermatology Online Journal 13 (3):9

Studdiford J., Stonehouse A., Altshuler A., Rinzler E. 2008. The Management of Keloids:

Hands-On Versus Hands-Off. Journal American Board Family Medicine 21:149 –152

Thielitz A., Vetter RW., Schultze B., Wrenger S, Simeoni L, Ansorge L,Neubert K, Faust J,

Lindenlaub P, Gollnick HPM., Reinhold D. 2008. Inhibitors of Dipeptidyl Peptidase

IV-Like Activity Mediate Antifibrotic Effects in Normal and Keloid-Derived Skin

Fibroblasts. Journal of Investigative Dermatology 128, 855–866

Thompson. Lester,. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.

Vincent AS., Phan TT.,,Mukhopadhyay A., Lim HY., Halliwell B., Wong KP. 2008. Human

Skin Keloid Fibroblasts Display Bioenergetics of Cancer Cells Jurnal of Investigative

Dermatology.Volume 128

Wolfram. Dolores, 2009. Hypertrophic Scars and Keloids - A Review of Their

Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management. American Society for

Dermatologic Surgery. pp. 171 – 181