referat enl
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.LATAR BELAKANG
Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan
beberapa negara di dunia. Selain itu, penyakit kusta masih membuat masyarakat takut. Hal ini
disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap
penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya. 1
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Istilah reaksi kusta digunakan untuk
menggambarkan berbagai gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam perjalanan penyakit
yang kronis. Reaksi ini menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.
Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang disebabkan
karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau reaksi erythema
nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya
nodul kemerahan, neuritis, gangguan saraf, dll. 1
Beberapa factor risiko yang telah diketahui berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
kusta diantaranya adalah umur saat didiagnosa kusta lebih dari 15 tahun, jenis kelamin, tipe
kusta MB, bakteri indeks (BI) positip, status nutrisi, lama pengobatan, pembesaran saraf lebih
dari 5, infiltrasi kulit, lesi diwajah, kelelahan, stress, laktasi, kehamilan dan nifas. 1
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Brebes, diperoleh sampel sebanyak
106 penderita. 53 orang sebagai control dan 53 orang adalah penderita kusta. Responden
yang mengalami reaksi kusta tipe I sebanyak 24,5 % dan tipe II sebanyak 75,5%. Dari 53
penderita yang mengalami reaksi kusta, sebanyak 94,3 % penderita mengalami reaksi kusta
berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan. Berdasarkan status pengobatan MDT,
sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat pengobatan, sedang dalam pengobatan sebanyak
52,8 % dan sesudah pengobatan sebanyak 41,5 %. 1
Dari angka tersebut kita tahu bahwa reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita
kusta baik sebelum pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Hal ini
membuat kami tertarik untuk membahas mengenai reaksi kusta ini, terutama reaksi tipe II
atau reaksi ENL.1
1
II. EPIDEMIOLOGI
Dari hasil penetilitian di kabupaten Brebes tahun 2007 terdapat 303 penderita kusta
terdaftar yang terdiri tipe PB : 25 orang dan tipe MB : 283 penderita, CDR : 1,20/1000, PR :
1,73/10000, cacat tingkat 2 : 4,21 %, penderita anak : 14,02 %. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa factor risiko karekteristik status klinis yang terbuktu berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi kusta adalah umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15tahun (OR = 4,210; p = 0,030;
95% CI 1,150 – 15,425), lama sakit lebih dari 1 tahun (OR = 2,813; p = 0,038; 95% CI 1,160
– 7,464 ) dan kelelahan fisik (OR = 4,672; p – 0,001; 95% CI 1,909 – 11,432). Probabilitas
penderita untuk mengalami reaksi kusta dengan semua factor risiko di atas adalah sebesar
18,8%. 1
Pada penelitian yang sama diperoleh sampel sebanyak 106 penderita. 53 orang
sebagai control dan 53 orang adalah penderita kusta. Responden yang mengalami reaksi kusta
tipe I sebanyak 24,5 % dan tipe II sebanyak 75,5%. Dari 53 penderita yang mengalami reaksi
kusta, sebanyak 94,3 % penderita mengalami reaksi kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi
kusta ringan. Berdasarkan status pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum
mendapat pengobatan, sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan
sebanyak 41,5 %. 1
Rangkuman penyebaran kasus berdasarkan factor resiko
No.
Faktor risiko OR Nilai p 95% CI
1 Umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15tahun
4,397 0,020 1,340 – 14,428
2 Jenis kelamin: wanita 0,538 0,170 0,247 – 1,1713 Lama sakit lebih dari 1tahun 2,822 0,033 1,169 – 6,8114 Jumlah lesi lebih dari 10 0,543 0,173 0,251 – 1,1755 Menstruasi 0,257 0.223 0,042 – 1,5736 Stres 5,022 0,001 1,991 – 12, 6717 Kelelahan fisik 6,552 0,001 2,715 – 15,8168 Kontrasepsi Hormonal 0,111 0,025 0,020 – 0,626
2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Reaksi ENL merupakan suatu reaksi antigen-antibodi komplemen yang ditandai
dengan nodus eritematosa yang nyeri, terutama diekstremitas, neuritis, arthritis, dll. Reaksi
ini terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL). 2
II. ETIOLOGI
Hingga saat ini, penyebab pasti timbulnya ENL belum diketahui secara pasti. Faktor
pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya ENL ialah infeksi, stress mental dan fisik,,
kehamilan , pembedahan , vaksinasi BCG , faktor hormonal dan nutrisi. 1,2,3 Sekitar 50 % ENL
terjadi pada pasien yang mendapat pengobatan di tahun pertama dan sekitar 5% dapat terjadi secara
spontan. 2
III.PATOFISIOLOGI ENL
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan
manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.4 Perlu ditegaskan
bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya
dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi
borderline. 2
Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil lepra berada, yaitu pada saraf dan
kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. 2
3
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti banyak pula
antigen yang dilepaskan.4 Adanya faktor pencetus seperti infeksi virus, stress, vaksinasi dan
kehamilan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel T helper 2 yang menghasilkan berbagai
sitokin yaitu IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi
antibodi. 4,5 Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi tersebut akan bereaksi dan
membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat
diendapkan dalam berbagai organ atau jaringan yang kemudian mengaktifkan sistem
komplemen.4,5
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara antigen
M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen kompleks imun. Komplemen akan
bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan kompleks imun
dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor. Itulah sebabnya penimbunan
kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi ENL.6
Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan
atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida
vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran
basalis, kolagen, elastin, dan kartilago yang menyebabkan inflamasi dan nekrosis jaringan.
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-
a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah terapi MDT
juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan eratnya hubungan antara
TNF-a dengan patogenesis ENL.3
Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan
jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan
memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi TNF-a dan
PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95% apabila dibandingkan
dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.6
IV. GEJALA KLINIS
4
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada:
• multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae
• respons imun penderita terhadap kuman M. leprae
• komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Karakteristik reaksi ini adalah gambaran kulit berupa nodul merah yang nyeri, bisa terletak
superfisial atau dalam pada dermis. Berbentuk kubah dengan batas tidak tegas, mengkilap dan nyeri
tekan yang disertai dengan demam, hilang nafsu makan, dan kelemahan. Nodulnya bisa mengalami
ulserasi, mengeluarkan pus kuning yang tebal yang mengandung basil tahan asam yang mengalami
degenerasi dan polimorf, tetapi steril pada kultur. Lesi paling sering pada wajah dan permukaan
ekstensor tungkai tetapi juga bisa terlihat dimana saja. ENL kronik memperlihatkan indurasi
kecoklatan yang kebanyakan terdapat pada paha, betis dan lengan bawah. Perjalanan reaksi dapat
berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. Apabila
kompleks imun berdeposit di pembuluh darah dapat menyebabkan vaskulitis sistemik pada kulit. akan
menimbulkan manifestasi klinis lainnya apabila berdeposit pada organ tertentu seperti: mata
(iridosiklitis), testis (orchitis), ginjal (glomerulonefritis).1,6
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf,
dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta
tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau
kusta multibasiler (borderline leprosy). 2
Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,
neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit.
Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang
pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi
hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline. 2,3
Tanda-tanda umum dari neuropati lepra :
• neuropati sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropati motorik murni dapat juga muncul.
• mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
5
• neuropati perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropati lepra biasanya termasuk berikut:
• anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris. 4
• deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot) 4
• gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia
dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf
memendek atau diregangkan4
• lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropik sebagai konsekuensi dari hilangnya
sensoris4
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi4
• reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya
lesi-lesi kulit yang baru
• reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema,dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dantungkai. Bila mengenai organ lain
dapat menimbulkangejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,limfadenitis,arthritis,or
kitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala
konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik
pula. 4
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan
sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat
paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian
atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan5
6
Klasifikasi reaksi tipe 2
Gejala Reaksi ringan Reaksi Berat
Lesi kulit ENL yang nyeri tekan
berjumlah sedikit, biasanya
hilang sendiri dalam 2-3 hari
ENL nyeri tekan, ada yang
sampai pecah (ulseratif), jumlah
banyak, berlangsung lama
Konstitusi Tidak ada demam atau ringan
saja
Demam ringan sampai berat
Saraf tepi Tidak ada neuritis (nyeri
tekan atau gangguan fungsi)
Ada neuritis (nyeri tekan dan
gangguan fungsi)
Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan pada organ-
organ tubuh, yaitu mata
(iridosiklitis), testis
(epididimoorkitis), ginjal
(nefritis), sendi (artriis), kelenjar
limfe ( limfadenitis), gangguan
pada tulang, hidung dan
tenggorok.
Dikutip dan dimodifikasi dari buku Pedoman Pemberantasan Kusta Depkes (1999).
7
Gambar 1. Sebelum reaksi gambar 2. Ketika reaksi
Gambar 3. Contoh – contoh reaksi ENL
Dikutip dari kepustakaan no.13
8
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium4,5
• Hitung sel darah lengkap
• Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
• HIV status, terutama nonresponder
• Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
• Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. 4,5
Gambar 4. Kuman solid
Imaging Studies4,5
• Foto thorak
• Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
• MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
• Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus
• Ultrasonography dan Doppler ultrasonography
9
Tes Yang Lain
a. Tes Imunologi
• Lepromin test
• Respon imun seluler melawan M leprae juga dapat dipelajari dengan
lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test
(LMIT). Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen. 4,5
• Tes serologi
• Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan
b. DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR)
c. Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:
• konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat
terperangkap (segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang,
berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf4,5
• berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle action
potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial sensoris. 4,5
• Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal,
median, dan saraf-saraf tibial. 4,5
Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan histopatologi4
• Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah
merah dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun
pada glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan
leukositosis PMN, trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom
dan peninggian kadar gammaglobulin 4
• Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan
infiltrat pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL. Selain itu,
akan tampak peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian
10
atas dan pada dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear
yang lokalisasinya disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh
darah.5 Terdapat pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-
artei kecil pada lasi ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh
darah. Kerusakan dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.5,6
VI. Diagnosis
Diagnosis ENL ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinik, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis yang khas untuk pasien dengan ENL adalah nodul kutaneus
yang nyeri, umumnya terdapat di wajah dan ekstremitas.1,5
Dikutip dari kepustakaan no. 12
VII. DIAGNOSIS BANDING
Kutaneus Poliartritis Nodosa
11
Kutaneus Poliartritis Nodosa merupakan salah satu vaskulitis yang terjadi pada pembuluh
darah ukuran medium dengan gejala klinik antara lain penurunan berat badan, mialgia, miopati atau
nyeri tekan otot, hipertensi (tekanan darah diastolik >90 mmHg), gangguan ginjal (peningkatan
ureum, kreatinin), nyeri atau nyeri tekan testis, dll. Cutaneous polyarteritis nodosa juga bisa
bermanifestasi berupa nodul eritem yang nyeri tekan dan bilatelar pada tungkai. Area yang terlibat
biasanya memperlihatkan “livedo reticularis”. Nodulnya biasanya berlokasi pada calves dan sering
mengalami ulserasi. Secara histopatologi terlihat vaskulitis yang melibatkan arteriole dan arteri
ukuran medium pada septum dari jaringan subkutan. Pembuluh darah yang terlibat terdapat penebalan
dinding dan tunika intima dari arteri yang terlibat memperlihatkan cincin eosinofilik pada nekrosis
fibrinoid memberikan gambaran targetlike (seperti-target) pada pembuluh darah.1
Dikutip dari kepustakaan no.1
Sarkoidosis
12
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatous multisistem yang tidak diketahui etiologinya
mengenai khususnya umur muda, dan paling sering bermanifestasi berupa limfadenopati hillus
bilatelar, infiltrasi pada paru atau lesi pada kulit dan mata. Eritema nodosum terjadi pada > 39 %
pasien dengan Sarcoidosis. Pada sarkoidosis subkutaneus granulomatosa melibatkan lebih banyak
lobulus lemak dibanding septum dan septum tidak memperlihatkan fibrosis dan penebalan seperti
yang biasa terlihat pada lesi yang berkembang penuh pada eritema nodosum. 1
Dikutip dari kepustakaan no. 1
Eritema Nodosum e.c Drug Eruption
Sulfonamides, bromides dan kotrasepsi oral telah dilaporkan menyebabkan eritema nodosum
dengan gambaran klinik berupa nodul yang eritem. Beberapa obat lain misalnya antibiotik, barbiturat,
dan salicilat kadang-kadang dicurigai tetapi jarang terbukti sebagai penyebabnya.3
Dikutip dari kepustakaan no.3
VIII. PENATALAKSANAAN
Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta:
13
1. Mengontrol neurtis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur
2. Menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan. 2
Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh dokter sesuai
dengan kebutuhan pasien individu.
Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya
penyakit.
1. Reaksi ringan
Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik seperti Aspirin atau
Asetaminofen.5
Obat-obatan yang dapat digunakan pada reaksi ringan:
Aspirin5
Sangat murah dan efektif untuk mengontrol rasa sakit dan inflamasi derajat sedang. Dosis
400-600 mg 4 kali sehari dan diberikan bersama makanan. Dosis diturunkan bila tanda dan gejala
sudah terkontrol.
Klorokuin4
Klorokuin mungkin efektif untuk mengontrol rekasi yang ringan, karena terdapat efek anti
inflamasi. Klorokuin base diberikan 3 x 150 mg sehari. Pada penggunaan dalam waktu yang lama
terdapat efek samping berupa kemerahan kulit, fotosensitisasi, pruritus, gangguan gastrointestinal,
gangguan penglihatan dan tinnitus. Kombinasi aspirin dan klorokuin lebih efektif daripada dipakai
sendiri-sendiri.
Antimony4
Efek anti inflamasi obat ini mungkin dapat digunakan untuk mengontrol reaksi yang ringan,
terutama efektif untuk mengurangi rasa sakit pada tulang dan persendian. Efek samping dapatb erupa
kemerahan kulit, bradikardi, hipotensi, dan perubahan gambaran elektrokardiografi. Stibophen
14
mengandung 8,5 mg antimon per ml. Dosis yang dianjurkan adalah 2-3 ml/hari IM selama 3-5
hariatau 2-3 ml IM selang sehari dengan dosis total reaksi kusta tidak melebihi 30 ml.
2. Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema nodosum leprosum
(ENL) berat.
Obat-obat pada Reaksi ENL yang berat dapat diberikan obat2 sebagai berikut:
Thalidomide 1
Ada lagi obat yang dianggap sebagai pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-
hati karena obat ini teratogenik. Pada ENL yang kronik atau rekuren pada pria atau wanita
menopause, thalidomide dapat dianjurkan untuk menghindari efek samping dari penggunaan
kortikosteroid yang lama. Dosis awalnya 4 x 100 mg sehari dan dosis lanjutan 50-100 mg per hari. Di
Indonesia obat ini tidak diproduksi lagi.
Mekanisme kekebalan tubuh yang terjadi ketika merespon patogen dapat dibagi ke dalam
respon imun awal yang juga dikenal sebagai kekebalan bawaan, dan setelah itu Thalidomide:
Mekanisme Aksi, respon imun yang lebih spesifik dikenal sebagai kekebalan adaptif. Dalam vitro
penelitian telah menunjukkan bahwa thalidomide memiliki efek terhadap kedua respon ini.
Kortikosteroid 1,3,
Obat yang paling sering dipakai ialah kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya
bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih.
Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Ada juga yang memberikan prednison awal sebanyak 30-60 mg per hari. Dosis tersebut dapat
diturunkan setiap minggu sekitar 10 mg sampai dosisnya sisa 20 mg per hari kemudian diturunkan 5
mg setelahnya. Sebelum dihentikan perlu diberikan dosis maintanance 5-10 mg per hari selama
beberapa minggu untuk mencegah rekurensi ENL pada pasien dengan ENL kronik. Pada reaksi yang
melibatkan okuler (mata) perlu diberikan kortikosteroid topikal. Pada pria, orchitis merupakan
indikasi pemberian kortikosteroid.
15
Klofazimin 1,
Jika penyakitnya kronik, klofazimin awalnya ditambahkan pada pemberian kortikosteroid dan
kemudian dilanjutkan dengan pemberian klofazimin saja. Klofazimin dipakai sebagai anti-ENL
dengan dosis yang tinggi. Bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya antara 200-300 mg
sehari. Dari referens lain diberikan 300 mg per hari selama 3-4 bulan kemudian diturunkan sampai
100 mg per hari. Dosisnya diturunkan secara bertahap sesuai perbaikan ENL.
Pentoksifilin1
Pentoxifylin adalah sebuah turunan metilxantin yang memiliki sifat seperti hemorheologik potensial,
pada awalnya diproduksi untuk mengobati pasien yang mengalami klaudikasi intermiten.
Pentoxifylin, yang diyakini memiliki efek penting terhadap pengendalian ENL, memblokir sintesis
RNA duta TNF-α melalui penghambatan transkripsi gen. Pada penelitian-penelitian yang tidak
terkontrol, pentoxifylin telah ditemukan efektif dan ditolerir dengan baik dalam mengurangi gejala
lokal atau gejala sistemik dari ENL. Kelebihan utamanya adalah obat ini tidak memiliki efek
teratogenik sehingga bisa digunakan oleh pasien wanita usia subur tanpa ada kekhawatiran.
Metrotreksat4
Obat ini efektif pada dosis yang jauh lebih kecil sehingga efek samping berat jarang
merupakan masalah. Dosisnya, 15-25 mg per minggu dand itingkatkan sampai 30-35 mg per minggu
bila perlu.
Prinsip terapi ENL4
ENL Ringan ENL Berat
Istirahat, baik fisik maupun mental, bila Istirahat, baik fisik maupun mental, bila
16
perlu diberikan sedativa secukupnya
Teruskan pemberian MDT
Dapat diberikan injeksi antimonium
dengan tanpa penambahan obat anti
inflamasi seperti penilbutason atau
indometasin
Tranquilizer dapat menolong mengurangi
rasa takut dan cemas
perlu diberikan sedativa secukupnya
Teruskan pemberian MDT
Nyeri saraf dapat dihilangkan dengan
penyuntikan steroid intra neural sebagai
pengganti steroid per oral dan jika
terbentuk abses saraf, harus dilakukan
terapi pembedahan
Iridosiklitis akut memerlukan instilasi
tetes mata dan aplikasi salep mata steroid
Manajemen dengan kortikosteroid:
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB dengan total durasi
pemberian 12 minggu.
Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:
Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan pengobatan kortikosteroid
atau dimana risiko toksisitas dengan kortikosteroid yang tinggi.
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB.
4. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.
5. Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian klofazimin seperti di
17
bawah ini.
Manajemen dengan klofazimin saja:
Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi penggunaan kortikosteroid.
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.
4. Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu dan kemudian 100mg
1 x sehari selama 12-24 minggu.
Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline saja atau
dalam kombinasi dengan klofazimin / prednisolone. Karena alasan efek samping teratogenik,
WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk manajemen reaksi ENL pada kusta
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan reaksi kusta adalah cacat. Infeksi pada
saraf perifer adalah bagian penting dari penyakit kusta, tetapi kerusakan permanen saraf bukan
merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari yang diakibatkan oleh infeksi tersebut. Menangani
dengan cepat dan tepat pada saat reaksi kusta dapat mencegah kerusakan saraf-saraf secara
permanen.3
X. PROGNOSIS
Eritema Nodosum Leprosum ringan dapat menghilang segera tetapi ENL berat dapat
menetap selama bertahun-tahun. 1
18
BAB II
KESIMPULAN
19
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan,
sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :
reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis
yang jelas.
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum
jelas. Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi ini, seperti :
setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi, kehamilan,
persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa
(BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri, terutama di
ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah paralisis
dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat atau imobilisasi.
Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat mengurangi kecacatan
permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Prawoto, Kabul.R, Ari. Faktor – factor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi kusta. Bagian Kulit dan Kelamin FK UNDIP/RS Dr. Kariadi. Semarang. 2007
2. Menaldi,S. repository reaksi kusta. Dept. I.K. Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta. 2010
3. Moschella, Samuel L, Hurley, Harry J. Leprosy. In : Dermatology. 2nd ed.
Philadelphia : WB Saunders Company; 1995. p. 946 – 72.
4. Amirudin MD. Eritema Nodosum Leprosum. In : Ilmu Penyakit Kusta. Makassar :
Hasanuddin University Press; 2003. p. 89 – 99.
5. Leprosy. in : Freedberg IM, Eizen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York : McGraw
Hill; 2003. p. 1962 – 71. L
6. Lockwood DNJ, Bryceson ADM. Leprosy. In : Champion RH, Burton JL, Burns DA,
Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. 7th ed.
London : Blackwel science; 1998.p.29.
21