em arifin dkk. kusta histoid disertai reaksi enl laporan kasus

7
21 KUSTA HISTOID DISERTAI REAKSI ERITEMA NODOSUM LEPROSUM Evi Mustikawati Arifin, Muhamad Arief Budi Wahyudi, Muh. Dali Amiruddin, A.M. Adam, Safruddin Amin, Widyawati Djamaluddin, Sri Vitayani Muchtar Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Hasanuddin/RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar ABSTRAK Kusta histoid merupakan varian kusta lepromatosa dengan gambaran klinis dan histopatologis yang khas. Umumnya terjadi pada pasien lepromatosa yang relaps setelah terapi tunggal dapson, juga dapat timbul selama terapi dan bahkan sebelum terapi. Seorang laki-laki berusia 21 tahun, suku Bugis datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar dengan keluhan timbul benjolan yang terasa nyeri di wajah, siku, tangan dan kaki sejak 1 tahun yang lalu. Terdapat penebalan pada kedua lobus telinga, hilangnya alis mata, riwayat demam sebelumnya dan tanpa riwayat pengobatan kusta (de novo). Pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam batas normal. Pemeriksaan bakteriologis hapusan kulit mendapatkan hasil IB 4+ dan IM 7%. Temuan histopatologis kulit sesuai kusta histoid disertai reaksi eritema nodosum leprosum. Uji ELISA sebelum terapi menghasilkan kadar IgM anti PGL-1: over (tinggi) dan IgG anti PGL-1: 1526 u/ml. Dengan pemeriksan polymerase chain reaction terdeteksi M. leprae, sekuensing langsung menunjukkan tidak ada mutasi, dan tidak resisten terhadap dapson dan rifampisin. Pasien diterapi dengan prednison dan ROM (Rifampisin, Ofloksasin dan Minoksiklin), memberikan perbaikan klinis dan serologis setelah pengobatan 3 bulan. Eritema nodosum leprosum jarang ditemukan pada pasien dengan kusta histoid, meskipun reaksi tersebut dapat terjadi pada saat transisi menjadi manifestasi histoid. (MDVI 2013; 40/1:21-27) Kata kunci: eritema nodosum leprosum, kusta histoid, serologi ELISA ABSTRACT Histoid leprosy is a variant of lepromatous leprosy with distinct clinical and histopathological features. Commonly, histoid leprosy occurs in lepromatous patients who relapse after dapsone monotherapy (in those with dapsone resistance), some cases occur during or after multidrug treatment even though before treatment. A twenty one year old male, with complaint of multiple painful nodules on the face, elbow, hand and foot for the past 1 year. There were thickening on both earlobes and the lost of eye brows. There was no history of fever previous to any history of leprosy treatment (de novo). The routine blood laboratory examination was normal limit. Bacteriologic examination of slit skin smear showed bacterial index 4+ and morphologic index 7%. Histopathology findings of skin suggested histoid leprosy type with erythema nodusum leprosum. ELISA serologic before treatment had revealed on high titer of IgM anti PGL-1 antibody (over) and IgG anti PGL-1 antibody 1526 u/ml. Polymerase chain reaction was detected as M. Leprae positive and direct sequence showed no mutation at all, which means there was no resistance to rifampicine and dapsone. Patient was treated with prednisone and ROM (rifampicine, ofloxacin and minocycline), and showed serological and clinical improvement after 3 months treatment. Erythema nodosum leprosum is a rare finding in patients with histoid leprosy, even though it can occur during the transition to become a histoid type of leprosy. (MDVI 2013; 40/1:21-27) Keywords: ELISA serologic, erythema nodosum leprosum, histoid leprosy Laporan Kasus Korespondensi: Jl. Perintis Kemerdekaan Km.11 - Makassar Telp : 0411- 582353 Email : [email protected]

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

32 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL Laporan Kasus

21

EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL

KUSTA HISTOID DISERTAI REAKSI ERITEMA NODOSUM

LEPROSUM

Evi Mustikawati Arifin, Muhamad Arief Budi Wahyudi, Muh. Dali Amiruddin, A.M. Adam, Safruddin Amin, Widyawati Djamaluddin, Sri Vitayani Muchtar

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Hasanuddin/RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

ABSTRAK

Kusta histoid merupakan varian kusta lepromatosa dengan gambaran klinis dan histopatologis yang khas. Umumnya terjadi pada pasien lepromatosa yang relaps setelah terapi tunggal dapson, juga dapat timbul selama terapi dan bahkan sebelum terapi.

Seorang laki-laki berusia 21 tahun, suku Bugis datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar dengan keluhan timbul benjolan yang terasa nyeri di wajah, siku, tangan dan kaki sejak 1 tahun yang lalu. Terdapat penebalan pada kedua lobus telinga, hilangnya alis mata, riwayat demam sebelumnya dan tanpa riwayat pengobatan kusta (de novo). Pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam batas normal. Pemeriksaan bakteriologis hapusan kulit mendapatkan hasil IB 4+ dan IM 7%. Temuan histopatologis kulit sesuai kusta histoid disertai reaksi eritema nodosum leprosum. Uji ELISA sebelum terapi menghasilkan kadar IgM anti PGL-1: over (tinggi) dan IgG anti PGL-1: 1526 u/ml. Dengan pemeriksan polymerase chain reaction terdeteksi M. leprae, sekuensing langsung menunjukkan tidak ada mutasi, dan tidak resisten terhadap dapson dan rifampisin. Pasien diterapi dengan prednison dan ROM (Rifampisin, Ofloksasin dan Minoksiklin), memberikan perbaikan klinis dan serologis setelah pengobatan 3 bulan.

Eritema nodosum leprosum jarang ditemukan pada pasien dengan kusta histoid, meskipun reaksi tersebut dapat terjadi pada saat transisi menjadi manifestasi histoid. (MDVI 2013; 40/1:21-27)

Kata kunci: eritema nodosum leprosum, kusta histoid, serologi ELISA

ABSTRACT

Histoid leprosy is a variant of lepromatous leprosy with distinct clinical and histopathological features. Commonly, histoid leprosy occurs in lepromatous patients who relapse after dapsone monotherapy (in those with dapsone resistance), some cases occur during or after multidrug treatment even though before treatment.

A twenty one year old male, with complaint of multiple painful nodules on the face, elbow, hand and foot for the past 1 year. There were thickening on both earlobes and the lost of eye brows. There was no history of fever previous to any history of leprosy treatment (de novo). The routine blood laboratory examination was normal limit. Bacteriologic examination of slit skin smear showed bacterial index 4+ and morphologic index 7%. Histopathology findings of skin suggested histoid leprosy type with erythema nodusum leprosum. ELISA serologic before treatment had revealed on high titer of IgM anti PGL-1 antibody (over) and IgG anti PGL-1 antibody 1526 u/ml. Polymerase chain reaction was detected as M. Leprae positive and direct sequence showed no mutation at all, which means there was no resistance to rifampicine and dapsone. Patient was treated with prednisone and ROM (rifampicine, ofloxacin and minocycline), and showed serological and clinical improvement after 3 months treatment.

Erythema nodosum leprosum is a rare finding in patients with histoid leprosy, even though it can occur during the transition to become a histoid type of leprosy. (MDVI 2013; 40/1:21-27)

Keywords: ELISA serologic, erythema nodosum leprosum, histoid leprosy

Laporan Kasus

Korespondensi: Jl. Perintis Kemerdekaan Km.11 - Makassar Telp : 0411- 582353 Email : [email protected]

Page 2: EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL Laporan Kasus

22

MDVI Vol. 40 No.1 Tahun 2013:21-27

PENDAHULUAN

Kusta histoid (KH) merupakan manifestasi klinis yang khas dengan gambaran klinis dan histopatologis yang spesifik pada kusta tipe multibasiler (MB).1-5 Bentuk kusta tersebut pertama kali dilaporkan oleh Wade pada tahun 1960 dan kasus lainnya tahun 1963.2,3 Kusta histoid umumnya terjadi pada pasien kusta tipe lepromatosa (LL) atau borderline lepromatosa (BL) tanpa atau selama pengobatan dapson (de novo). 6-11 Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa kusta tipe pausibasilar (PB) dapat menjadi KH.10-12

Namun, bentuk histoid juga dapat terjadi pada pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dalam keadaan imunosupresi berat6,13 atau bahkan disertai reaksi eritema nodosum leprosum (ENL).5,8

Insidens KH di India sekitar 2,79% -3,6% dari seluruh pasien kusta.2,4 Laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dan jarang terjadi pada anak.3,5 Kusta histoid merupakan varian dari tipe LL, namun respons imun KH lebih baik dibandingkan dengan LL baik imunitas seluler maupun humoral. Pada lesi KH banyak ditemukan limfosit dan makrofag teraktivasi,14 namun diduga makrofag tersebut tidak mampu untuk mengeliminasi basil Mycobacterium leprae yang sangat banyak.15-19 Hal tersebut diduga akibat pengaruh antigen M. leprae, yang menyebabkan makrofag tersebut kehilangan fungsi bakteriolitiknya, atau terdapatnya sitokin “suppressor” misalnya interleukin-10, sehingga menghambat T-cell mediated responsse terhadap leprae.14

Diagnosis KH berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan histopatologis.15-18

Manifestasi klinis KH sangat khas berupa nodus berwarna seperti tembaga (coppery), berbatas tegas, keras dan mengkilat, dengan ukuran yang bervariasi (diameter hingga 3 cm) yang timbul pada kutan atau subkutan di atas kulit yang tampak normal. Predileksi lesi biasanya pada wajah, lengan, punggung, dada, abdomen dan bokong.1,5,6 Hasil pemeriksaan bakteriologis akan didapatkan peningkatan jumlah kuman solid akibat multiplikasi M.leprae yang mengalami resistensi, sehingga hasil indeks bakteriologi (IB) dan indeks morfologi (IM) tetap tinggi.19,20 Temuan histopatologis KH menunjukkan adanya histiosit yang memanjang atau berbentuk kumparan (spindle) yang

mengandung M. leprae, sehingga membentuk susunan yang bergelung.21

Pengobatan kusta menggunakan multidrug therapy (MDT), terdiri atas rifampisin, dapson dan klofazimin. Saat ini banyak obat baru untuk kusta, yaitu ofloksasin, minoksiklin dan klaritromisin.11,14

Dilaporkan satu kasus KH disertai reaksi ENL pada seorang laki-laki berusia 21 tahun. Makalah ini akan menitikberatkan pada cara penegakan diagnosis dan pengobatan bentuk kusta seperti ini, yang sangat jarang terjadi.

KASUS

Seorang laki-laki berusia 21 tahun, suku bugis, bertempat tinggal di Makassar datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Wahidin Sudirohusodo karena keluhan berupa benjolan yang terasa nyeri di wajah, kedua telinga, tangan dan kaki sejak 1 tahun sebelumnya. Awalnya bercak merah dan benjolan muncul di wajah, kemudian di telinga, kedua kaki dan tangan. Terdapat riwayat demam sebelumnya. Selama perjalanan penyakitnya, pasien pernah berobat ke Puskesmas tetapi tidak pernah diberikan obat kusta dan pasien merasa benjolan semakin banyak. Pasien juga mengeluhkan kulit di wajah, tangan dan kaki menjadi kering. Riwayat kontak dengan pasien kusta disangkal.

Pemeriksaan fisis ditemukan keadaan umum baik, kesadaran komposmentis, dan gizi cukup. Lesi yang tampak berupa papul dan nodus eritematosa hingga pucat, permukaan licin, nyeri tekan dan tersebar di wajah, kedua telinga, ekstremitas superior dan inferior dekstra dan sinistra. Madarosis kedua alis bagian lateral juga ditemukan. Hasil pemeriksaan sensibilitas menunjukkan hipoestesia dan anestesi pada lesi. Pembesaran saraf disertai nyeri ditemukan di n. auricularis magnus dextra et sinistra, n. ulnaris dextra et sinistra dan n. peroneus communis lateralis dextra et sinistra. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, pasien didiagnosis banding MH tipe LL, KH, ENL, neurofibromatosis dan dermatofibroma.

Page 3: EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL Laporan Kasus

23

EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL

Gambar 1. Gambaran lesi pada pasien. Tampak papul dan nodul yang eritem hingga pucat, permukaan licin, batas tegas dan nyeri tekan.

Pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam batas normal. Pemeriksaan bakteriologi hapusan kulit kedua cuping telinga dan lesi memberikan hasil IB 4+ dan IM 7%.

Biopsi spesimen lesi yang diambil dan ekstremitas inferior yang diwarnai dengan hematoxillin eosin (HE) menunjukkan epidermis atrofik, dermis terdapat granuloma yang tampak menyatu membentuk satu lobulus yang besar, terdiri atas pada histiosit yang foamy dan histiositik inti berbentuk spindle bercampur dengan banyak limfosit dan netrofil. Granuloma tersebut meluas sampai ke lemak subkutis (Gambar 2). Pewarnaan spesimen dengan Fite Faraco tampak basil tahan asam (BTA) dalam jumlah banyak (Gambar 3). Kedua hasil pewarnaan tersebut menyimpulkan KH disertai reaksi ENL.

Hasil pemeriksaan ELISA menunjukkan antibodi IgM/IgG anti PGL-1 sebelum terapi: over/1526 u/ml dengan cut off point IgM/IgG : 605/630 u/ml, pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terdeteksi adanya kuman M. leprae (Gambar 4) dan menggunakan metode sekuen-sing langsung untuk rpoB, folP dan gyrA menunjukkan tidak ada mutasi, tidak ada resistensi terhadap dapson dan rifampisin sehingga basil tetap sensitif terhadap rifam-pisin dan dapson. (Gambar 5)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang tersebut, pasien ini didiagnosis KH disertai reaksi ENL.

Gambar 2. Pewarnaan HE spesimen lesi tampak di dermis terdapat granuloma yang tersusun dari sel histiosit yang foamy dan berbentuk spindle, banyak limfosit dan neutrofil. Granuloma ini meluas sampai ke subkutan.

Gambar 3. Pewarnaan spesimen lesi dengan fite faraco menunjukkan BTA yang banyak

Page 4: EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL Laporan Kasus

24

MDVI Vol. 40 No.1 Tahun 2013:21-27

Gambar 4. Pemeriksaan PCR

Gambar 5. Pemeriksaan sekuensing resistensi dapson

Gambar 6. Pemeriksaan sekuensing resistensi rifampisin

Page 5: EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL Laporan Kasus

25

EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL

Primer Target size (bp)

Sequence (5’-3’)

folP1 280 GCTTCTCGTGCCGAAGCGCTC folPR2 GGCCTCATCCTGCGTAAGTG rpoBF 374 CAGGACGTCGAGGCGATCAC rpoBR CAGCGGTCAAGTATTCGATC

Untuk pengobatan reaksi ENL pasien mendapat

prednison 40 mg/hari (dosis terbagi) selama dua minggu, kemudian dilakukan tapering off dan untuk LH diberikan ROM dua kali seminggu (rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 200 mg) selama 3 bulan yang memberikan hasil yang baik dengan penurunan kadar antibodi IgM/IgG anti PGL-1 20527/3941 u/ml. Pasien tetap dalam pengawasan dan terapi dilanjutkan hingga 6 bulan, serta diberi tambahan roboransia (vitamin B1, B6, B12) dan krim ambifilik.

PEMBAHASAN

Kusta histoid (KH) merupakan varian dari kusta tipe LL,14 yang memberikan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis dan histopatologis spesifik.6,14 Manifestasi klinis khas berupa nodus kutan atau subkutan yang berwarna seperti tembaga (coppery),1,6 dan biasanya terjadi pada kusta tipe LL atau BL.3 Lesi histoid cenderung terdistribusi sentrofasial meliputi dahi, hidung, dagu dan pipi.14 Namun, predileksi KH juga dapat ditemukan di bagian posterior dan lateral lengan, dorsum manus dan daerah penonjolan tulang misalnya siku dan lutut.7 Insidens KH lebih sering ditemukan pada laki-laki dan antara umur 21-40 tahun.3 Kusta histoid umumnya timbul pada pasien yang telah mendapat monoterapi dapson,5,10,22 atau relaps setelah mendapatkan pengobatan MDT yang lengkap,12 selain itu pernah juga dilaporkan pada pasien yang belum pernah mendapatkan terapi MDT.4,8,11,14 Indeks bakteriologi pada KH dapat mencapai 4+ hingga 6+, dan IM mencapai 50%.2,16-18 Reaksi ENL jarang pada LH, meskipun fenomena seperti ini mungkin saja terjadi saat transisi menjadi LH.14

Reaksi ENL atau reaksi kusta tipe 2 umumnya terjadi pada kusta MB (LL dan BL) dan dapat terjadi secara akut atau kronis.23,24 Reaksi tersebut dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan.20 Manifestasi klinis pada kulit berupa nodus eritematosa di atas kulit yang tampak normal, berbatas tegas, keras, nyeri dan dapat juga disertai papul.20,23 Lesi ENL juga dapat berbentuk vesikular, bulosa, pustular, ulseratif atau nekrotik.20,24 Biasanya disertai gejala sistemik, misalnya demam dan malaise.20,23 Manifestasi organ lain, yaitu artralgia dan artritis lebih sering dibandingkan dengan neuritis, adenitis, orkitis/epididimitis atau iritis, tetapi salah satunya dapat saja menjadi penanda awal. Umumnya melibatkan kedua ekstremitas superior dan inferior,

sedangkan lesi ENL di wajah hanya ditemukan pada sebagian pasien.20 Indeks bakteriologi (IB) 4+ dan kusta tipe LL merupakan faktor risiko terjadinya ENL. Faktor pencetus terjadinya reaksi ENL, adalah kehamilan, laktasi, pubertas, infeksi penyerta, vaksinasi dan stres psikologis.24

Awitan penyakit, manifestasi klinis dan hasil peme-riksaan bakteriologis (IB 4+ dan IM 7%) pasien kasus sesuai untuk LH disertai reaksi ENL, yang terjadi sebelum pengobatan. Faktor risiko terjadinya reaksi ENL pada pasien ini adalah kusta MB (varian LL) dengan IB 4+.

Diagnosis KH disertai ENL pasien kasus juga didukung oleh temuan histopatologis lesi. Gambaran histopatologis KH yang spesifik, yaitu adanya penipisan epidermis akibat desakan massa dermal pseudokapsul yang terdiri atas histiosit berbentuk kumparan (spindle) dan saling jalin-menjalin.8-10,20-22 Berbeda halnya dengan gambaran histopatologis tipe LL, yaitu penipisan epidermis, rete ridge menjadi lebih datar, subepidermal clear zone, dan di bagian dermis ditemukan leproma difus yang terdiri dari makrofag foamy serta beberapa limfosit dan sel plasma.23 Sedangkan gambaran histopatologis ENL ditandai oleh infiltrat sel inflamasi (netrofil dan limfosit) di dermis hingga subkutan, edema dermis dan terkadang ditemukan vaskulitis akut.21,22 Hasil peme-riksaan histopatologis spesimen kasus dengan pewarnaan HE sesuai untuk KH dan ENL. Didukung pula dengan ditemukannya basil tahan asam berbentuk batang dengan pewarnaan Fite Faraco.

Neurofibromatosis tipe 1 secara klinis dapat di-diagnosis banding dengan kusta histoid, tetapi pada neurofibromatosis papul atau nodus lebih lunak dan terdapat makula café-au-lait, bintik-bintik kehitaman pada daerah intertriginosa, glioma nervus optikus, noduls Lisch pada iris, adanya riwayat keluarga yang menderita neurofibromatosa tipe-1, atau lesi tulang yang spesifik.25,26

Diagnosis banding dengan dermatofibroma dapat dising-kirkan karena dermatofibroma merupakan pertumbuhan jinak jaringan ikat, sering terjadi pada wanita dengan rerata umur 20-30 tahun.27 Predileksinya pada tungkai bawah dan jarang pada wajah. Lesi berupa papul atau nodul asimptomatik, diameter 3-10 cm, tunggal atau multipel, konsistensi keras, permukaannya dapat meng-kilat atau berskuama dengan warna yang bervariasi. Pemeriksaan histopatologis didapatkan hiperplasia epider-mis dan sel-sel berbentuk kumparan yang tersusun seperti lembaran di lapisan dermis.28

Kusta histoid di Indonesia pernah dilaporkan oleh Rinasari dkk. (2010),29 Pridady dkk. (2008)27 dan Silmiaty dkk. (2011),30 tetapi reaksi ENL yang terjadi pada pasien dengan KH hanya sedikit. Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa studi retrospektif yang telah dilaporkan. Kaur dkk. (2009) menemukan satu kasus KH disertai reaksi ENL dari 40 kasus KH.14 Bhutani dkk. (1974) hanya mendapatkan tiga kasus KH disertai reaksi ENL dari 20

Page 6: EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL Laporan Kasus

26

MDVI Vol. 40 No.1 Tahun 2013:21-27

kasus KH;31 Kalla dkk. (2000) menemukan dua kasus KH disertai reaksi ENL dari 25 pasien KH;17 dan Sehgal dkk (2009) hanya menemukan satu kasus KH disertai reaksi ENL dari 23 kasus KH.9 Sharma dkk. (2002)22 dan Alious dkk. (2003)5, masing-masing telah melaporkan satu kasus KH disertai reaksi ENL. Pasien kasus ini dilaporkan karena masih jarang ditemukan.

Prinsip penatalaksanaan ENL adalah istirahat atau imobilisasi, pemberian anti reaksi pada reaksi yang berat, analgetik/antipiretik, pemberian obat MDT tanpa ada perubahan dosis dan menghindari atau menghilangkan faktor pencetus.15 Obat yang paling sering digunakan untuk reaksi ENL adalah prednison 40-60 mg/hari dapat mengontrol reaksi dan diturunkan secara bertahap setelah didapatkan respons yang maksimal.20 Sedangkan untuk KH, hingga saat ini belum ada rekomendasi regimen pengobatan. Beberapa ahli menganggap bahwa bentuk tersebut adalah varian LL sehingga diobati sesuai kusta MB, tetapi kombinasi ofloksasin dan MDT standar atau monoterapi ofloksasin juga dapat menjadi pilihan.14 Pada kasus ini diberikan terapi spesifik berupa ROM yang memberikan perbaikan klinis dan serologis setelah tiga bulan pengobatan. Pengobatan dilanjutkan selama enam bulan. Prednison dengan dosis 40 mg/hari (dosis terbagi) kemudian dilakukan tapering off setelah pemberian dua minggu. Roborantia neurotropik dan krim ambifilik diberikan untuk gejala penyerta.

Secara umum KH membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menurunkan IM dibandingkan dengan kusta tipe LL.14 Pasien ini akan dievaluasi penurunan IM dan perubahan gambaran histopatologis setelah 3 bulan dan 12 bulan pengobatan. Hali dkk. (2011) melakukan evaluasi respons pengobatan pada dua pasien KH bersaudara dan mendapatkan perbaikan setelah tiga bulan pemberian MDT MB-WHO.15 Tiga kasus KH lainnya yang juga mendapat pengobatan MDT MB-WHO memberikan respons setelah enam bulan pengobatan.11

DAFTAR PUSTAKA

1. Palit A, Inamadar AC. Histoid leprosy as reservoir of the disease; a challenge to leprosy elimination. Lepr Rev. 2007; 78: 47-9.

2. Monga P, Mehta V, Balachandran C, Mathew M. Wade Histoid Leprosy masquerading as eruptive xanthomas. Dermatol Online J. 2008; 14(8): 21.

3. Manoharan R, Madhu R, Srinivasan MS. Histoid Hansen: a case report. J Indian Soc Teledermatol. 2008; 2(2): 12-6.

4. Sehgal VN, Shrivastav G. Histoid leprosy: a prospective diagnostic study in 38 patients. Dermatologica. 1988; 177: 212-7.

5. Alious Z, Sbai M, Elhaouri M, Bouzidi A, Boudi O, Ghfir M, dkk. Histoid leprosy with erythema nodosum leprosum. Acta Leprol. 2003; 12(3): 107-11.

6. Nair SP, Moorthy KP, Suprakasan S, Jayapalan S, Mini G.Histoid leprosy-unusual presentation. Int J Dermatol. 2006; 45(4): 433-4.

7. Annigeri SR, Metgud SC, Patil JR. Lepromatous leprosy of histoid type. Indian J Med Microbiol. 2007; 25(1): 70-1.

8. Mandiratta V, Jain A, Chander R, Khan A, Barara M. A nine year clinico epidemiological study of Histoid Hansen in India. J Infect Dev Ctries. 2011; 5(2): 128-31.

9. Sehgal VN, Shrivastav G, Singh N, Prasad PV. Histoid leprosy: the impact of the entity on the postglobal leprosy elimination era. Int J Dermatol. 2009; 48(6): 603-10.

10. Sehgal VN. Spontaneous Appearances of Papules,Nodules, and/or Plaques:A Prelude to Abacillary, Paucibacillary, or Multibacillary Histoid Leprosy. Skinmed Dermatol Clin. 2006: 139-41.

11. Pereyra SB, Danielo CA, Ponssa GJ, Consigli JE, Papa MB, Ghirardi G. Wade's histoid leprosy: three clinical presentation. Int J Dermatol. 2007; 46: 944-8.

12. Shaw IN, Ebenezer G, Rao GS. Relapse as histoid leprosy after receiving multidrug therapy (MDT); a report of three cases. Int J Lepr Other Mycobact Dis. 2000; 68: 272-6.

13. Naafs B. Some observations from the past year. Hansen Int. 2004; 29: 51-6.

14. Kaur I, Dogra S, De D, Saikia UN. Histoid leprosy: a retrospective study of 40 cases from India. Br J Dermatol. 2009; 160: 305–10.

15. Hali F, Benchikhi H, Azzouzi S, Zamiati S, Latifi A, Sbai M. Familial histoid leprosy. Ann Dermatol Venereol. 2011; 138(1): 42-5.

16. Edi TT, Ekarini D, Susanto RSD, Kabulrachman. Kusta histoid. Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin di Indonesia Menjelang abad 21. Semarang. 1999.h. 174-8.

17. Kalla G, Purohit S, Vyas MCR. Histoid, a clinical variant of multibacillary leprosy: Report from so-called nonendemic areas. Int J Lepr Other Mycobact Dis. 2000; 68(3):267-71

18. Bryceson A, Pfaltzgraff RE. Leprosy. Edisi ke-3. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1990.

19. Nunzi E, Fiallo P. Differential diagnosis. Dalam: Hasting RC, Opromolla DVA, editors. Leprosy. Edisi ke-2. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1989. h. 291-305.

20. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: The McGraw Hill; 2008. h.1786-96.

21. Grayson W, Calonje E, McKee P. Infectious diseases of the skin. In: McKee PH, Calonje E, Granter SR, editors. Pathology of the skin with clinical correlations. London: Elsevier Mosby; 2005. h. 910-7.

22. Sharma SK, Rath N, Gautam RK, Sharma PK, Jain RK, Kar HK. Histoid leprosy with ENL reaction. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2002; 68(6): 342-3.

23. Lockwood DNJ. Leprosy. Dalam: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. West Sussex: Blackwell Science; 2010. p32.1-20

24. Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DNJ. Leprosy type I reaction and erythema nodosum leprosum. An Bras Dermatol. 2008; 83(1): 75-82.

25. Listernick R, Charrow J. The neurofibromatoses. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: The McGraw Hill; 2008. h.1331-9.

Page 7: EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL Laporan Kasus

27

EM Arifin dkk. Kusta histoid disertai reaksi ENL

26. Grover C, Lohra M, Nanda S, Reddy BSN. Leprosy with neurofibromatosis - a diagnostic dilemma. Lepr Rev. 2005; 76: 91-3

27. Pridady NS, Daulat R, Susanto SD, Muslimin. Histoid leprosy treated with rifampycin and clarithromycin. KONAS Palembang. 2008.

28. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Dermatofibroma. Color atlas and synopsis of clinical dermatology common and serious disease. Edisi ke-4. New York: McGraw Hill; 2005. h. 218-9.

29. Rinasari U, Sawitri, Listiawan MY, Prakoeswa CRS, Agusni I, Santoso R, dkk. Histoid leprosy. Surabaya: Insitute of Tropical Disease, Airlangga University; 2010;1(1):27-31.

30. Silmiaty I, Umar FA, Amiruddin MD, Vitayani S. Histoid leprosy: a case report. Australas J Dermatol. 2011; 52: 38-9.

31. Bhutani LK, Bedi TR, Malhotra YK, Kandhari KC, Deo MG. Histoid leprosy in North India. Int J Lep.1974; 42: 174-81.