referat

46
BAB I PENDAHULUAN Maksila berperan sebagai jembatan antara basis kranial di superior dan bidang oklusi dental di inferior. Maksila berhubungan langsung dengan cavitas oral, cavitas nasal, dan orbita struktur ini membuat maksila menjadi struktur penting secara fungsional maupun kosmetik. Maksila membentuk banyak persendian dengan tulang-tulang disekitarnya sehingga sulit mengkategorikan fraktur yang terjadi pada regio tersebut dengan segera, oleh karena itu digunakan klasifikasi Le Fort I, II dan III untuk fraktur pada midfasial. 1,2,3 Fraktur pada tulang ini tidak hanya dapat menyebabkan kerusakan kosmetik tetapi dapat pula mengancam nyawa. Trauma maksilofasial dan saluran pernapasan atas merupakan masalah yang sering ditemukan pada manajemen jalan napas. 3 Trauma yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma maksilofasial. Selain itu, trauma trauma tumpul lain yang dapat menyebabkan trauma maksilofasial di antaranya perkelahian, olahraga, dan peperangan dengan distribusi fraktur maksila yang terjadi ialah 54,65 Le Fort II, 24,2% Le Fort I, 12,1% Le Fort III. 3,4,5,6 1

Upload: yunitairham

Post on 11-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

tht

TRANSCRIPT

Page 1: referat

BAB I

PENDAHULUAN

Maksila berperan sebagai jembatan antara basis kranial di superior dan

bidang oklusi dental di inferior. Maksila berhubungan langsung dengan cavitas

oral, cavitas nasal, dan orbita struktur ini membuat maksila menjadi struktur

penting secara fungsional maupun kosmetik. Maksila membentuk banyak

persendian dengan tulang-tulang disekitarnya sehingga sulit mengkategorikan

fraktur yang terjadi pada regio tersebut dengan segera, oleh karena itu digunakan

klasifikasi Le Fort I, II dan III untuk fraktur pada midfasial.1,2,3

Fraktur pada tulang ini tidak hanya dapat menyebabkan kerusakan

kosmetik tetapi dapat pula mengancam nyawa. Trauma maksilofasial dan saluran

pernapasan atas merupakan masalah yang sering ditemukan pada manajemen jalan

napas.3

Trauma yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma maksilofasial.

Selain itu, trauma trauma tumpul lain yang dapat menyebabkan trauma

maksilofasial di antaranya perkelahian, olahraga, dan peperangan dengan

distribusi fraktur maksila yang terjadi ialah 54,65 Le Fort II, 24,2% Le Fort I,

12,1% Le Fort III.3,4,5,6

Trauma maksilofasial dapat berhubungan dengan trauma pada fossa

cranial dan otak, orbita, serta vertebra servikalis sehingga dibutuhkan koordinasi

suatu manejemen multidisiplin termaksud otoralingologis, bedah mulut dan gigi,

bedah plastik, oftalmologis, bedah saraf dan anastesi. Prinsip manajemen pada

trauma ini ialah langsung menstabilkan kondisi medis pasien dan memberikan

rekonstruksi yang tepat untuk memaksimalkan rehabilitasi fungsional dan estetik.6

1

Page 2: referat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Buttress

Secara konseptual kereangka wajah terdiri dari empat pasang dinding

penopang (buttress) vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah

tulang yang lebih tebal yang menyokong unit fungsional wajah (otot, mata,

oklusi dental, airway) dalam relasi yang optimal dan menentukan bentuk

wajah dengan cara memproyeksikan selubung jaringan lunak diatasnya.3,4,6,7

Vertical buttresses terdiri dari sepasang maksilaris lateral dan dinding

orbital lateral atau zygomaticomaxillary buttress, maksilaris medial dan

dinding orbital medial atau nasomaxillary buttress, pterygomaxillary

buttress, dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress.

Horizontal buttress terdiri dari frontal bar, infraorbital rim dan os. Nasal,

dan palatum durum dan alveolus maksilaris.3,4,6

2

Page 3: referat

Gambar 1. Anatomi Buttress

2.1.2 Anatomi tulang wajah

Secara anatomis, tulang-tulang wajah dibagi dalam 3 regio, yaitu :4

1. Regio sepertiga atas yang tersusun oleh os. Frontal dan cranium

2. Regio sepertiga tengah yang tersusun oleh :

- Os. Maksila

- Os. Zigomatika

- Prosessus zigomatika pada os. Temporal

- Os. Palatine

3

Page 4: referat

- Os. Nasal

- Os. Lakrimal

- Vomer

- Etmoid dan konka yang melekat

- Pterigoid plates pada sphenoid

3. Regio sepertiga bawah yang tersusun oleh mandibula yang terbentuk

oleh 6 regio, yaitu :

- Simfisis

- Korpus

- Ramus

- Kondilus

- Prosessus koronoideus

- Artikulasio temporomandibula

4

Page 5: referat

Gambar 2. Anatomi Tulang Maksilofasial

2.1.3 Anatomi Otot Wajah

Otot wajah menggerakkan kulit dan mengubah ekspresi wajah

sesuai dengan suasana hati. 4

Otot-otot wajau utama yaitu:

1. M. Orbicularis oculi : menutup kelopak mata

2. M. Nasalis : menarik sayap (sisi) hidung ke arah septum nasi

3. M. Orbicularis Oris : merapatkan bibir

4. M. Levator labii superioris : mengangkat bibir, melebarkan cuping

hidung

5

Page 6: referat

5. Platysma : menarik mandibula ke bawah dan menegangkan kulit wajah

bawah dan leher

6. M.Mentalis : mengangkat bibir bawah

7. M. Bucinator : menekan pipi pada gigi geraham, membantu untuk

mengunyah.

Semua otot wajah di inervasi secara motoris oleh Nervus facialis

(Nervus cranialis VII).

Gambar 3. Anatomi Otot Wajah

6

Page 7: referat

2.1.4 Inervasi

Saraf sensoris utama untuk wajah berasal dari Nervus Trigeminus

(N.V). Nervus ophtalmicus (N.V1) menginervasi daerah mata, N.

Maxillaris (N.V2) menginervasi daerah maxilla, sedangkan

N.Mandibularis (N.V3) menginervasi daerah mandibulla.4,5,6,7

2.1.5 Vaskularisasi

Arteri facialis adalah pemasok darah arterial utama untuk wajah. A.

facialis merupakan cabang dari A.carotis externa. distribusi A.facialis

adalah untuk vaskularisasi otot-otot untuk ekspresi wajah dan otot wajah.4,5

Arteri facialis kemudian akan bercabang membentuk A. labialis

superior et inferior, A. nasalis lateralis, dan A. Angularis.

Gambar 4. Anatomi Vaskularisasi Maksilaris

2.2 Definisi

7

Page 8: referat

Fraktur Le Fort (Le Fort Fracture) merupakan tipe fraktur tulang-

tulang wajah yang klasik terjadi pada trauma-trauma di wajah. Fraktur Le

fort diambil dari nama seorang ahli bedah Prancis Rene Le Fort yang

mendeskripsikannya pertama kali di awal abad 20.6,7,8,9

Fraktur Le Fort II adalah fraktur yang disebabkan oleh gaya

hantaman pada level os nasal sehingga terdapat ketidakstabilan setinggi os.

Nasal. Fraktur berbentuk piramid dan meluas dari nasal bridge tepat atau

dibawah sutura nasofrontal melalui proses frontal pada maksila, pada

inferolateral melalui os. Lakrimalis lantai orbita inferior dan rima melalui

atau mendekati foramen orbita inferior.5,6,7

Pada inferior melalui dinding anterior sinus maksilaris kemudian

melintas dibwah zigoma, memotong fissura pterigomaksilaris dan melalui

pterygoid plates.6,7

8

Page 9: referat

Gambar 5. Fraktur Le Fort

2.3 Epidemiologi

Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter

baik itu dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien

trauma wajah selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki

keahlian khusus dalam anatomi wajah, latar belakang estetika, dan

keahlian dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk

menangani pasien trauma wajah. Fraktur maksila juga dapat terjadi pada

anak-anak, dengan peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya

usia anak terkait dengan peningkatan aktivitas fisik. Fraktur maksila pada

anak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan orang dewasa baik

itu dari segi pola, maupun treatment.

Distribusi fraktur maksila yang terjafi ialah 54,5% Le Fort II,

24,2% Le Fort I, 12,1% Le Fort III dan 9,1% alveolar.

Gambar 6 . Distribusi Fraktur Maksila

2.4 Etiologi

9

Page 10: referat

Trauma tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma

ini, diantaranya kecelakaan mobil (30,8%), kecelakaan motor (23,2%),

perkelahian (9,7%), olahraga (6,3%),dan peperangan (9,7%).

Meningkatnya angka kejadian trauma ini disebabkan oleh bertambahnya

jumlah kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan terjadinya

kecelakaan lalu lintas.6

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada fraktur ini ialah edema periorbital bilateral,

yang disertai dengan ekimosis yang memberikan gambaran suatu “Raccon

Sign”. Hipostesia nervus infraorbital juga sering didapatkan. Kondisi ini

dapat karena trauma langsung atau karena perkembangan cepat dari

edema. Dapat pula ditemukan suatu maloklusi yang sering berkaitan

dengan “open bite”. 6,7

Deformitas dapat terpalpasi pada area rima infraorbita maupn pada

sutura nasofrontal. Rinorea cairan serebrospinal juga dapat dideteksi,.

Epistaksis juga merupakan temuan tersering.6

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis,

pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.

Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan

merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik.6

Pada foto polos pemeriksaan yang dilakukan meliputi :

10

Page 11: referat

a. Foto polos kepala lateral, memberikan informasi tentang posisi global

anteroposterior midfasial dan intergritas skema dalam dan luar sinus

frontal.

b. Foto polos kepala AP

c. Water’s view (film sinus), memberikan informasi untuk melihat arkus

zigomatik, os. Nasal, dinding sinus lateral dan anterior dan rima orbita.

d. Foto polos servikal lateral penting untuk mengeluarkan kecurigaan

trauma servikal.

Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang

mungkin akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut

diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita

inferior, sutura zigomatikofrontal dan daerah nasofrontal. Dari film lateral

dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid.6,9,10,11

Diantara pemeriksaan CT-scan, foto yang paling baik untuk

menilai fraktur maksila adalah potongan aksial. Namunpotongan koronal

pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik.

Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan

adanya fraktur maksila.9,10

11

Page 12: referat

Gambar 7. Foto water’s lateral menunjukkan fraktur Le Fort II

Gambar 8. 3D fraktur lefor II

2.7 Diagnosis

Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur

maksila. Namun, kurang dari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa

mobilitas maksila. Gangguan oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis

kelopak mata bilateral biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal

12

Page 13: referat

ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III dimana disrupsi perioste um tidak

cukup untuk menimbulkan mobilitas maksila.4

2.7.1 Anamnesis

Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan

sebelum pasien tiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang

mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang

terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau penemuan

korban dan inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga

yang mempengaruhi resusitasi pasien.4

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

a) Inspeksi

Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral),

edema, danhematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila

ke bawah dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada

pergigian posterior.4

b) Palpasi

Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura

zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital

inferior.4

c) Manipulasi Digital

Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang

dengankuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat

13

Page 14: referat

jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien

tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akanterdengar suara

krepitasi jika terjadi fraktur.4

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan

edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung

bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang

dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi

dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika

dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat

bergeraknya lengkung rahang atas.6

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Penatalaksanaan secara umum

Evaluasi awal dan penatalaksanaan yang menyeluruh seringkali

menentukan apakah pasien mampu bertahan dari trauma mereka. Jejas

pada kepala dan leher seringkali melibatkan jalan nafas dan pembuluh

utama; oleh karena itu resusitasi ABC harus dilakukan secara ketat pada

tahap awal pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien dengan fraktur

maksilofasial. Setiap pasien yang datang dengan jejas trauma, perhatian

14

Page 15: referat

pertama harus ditujukan langsung pada evaluasi menyeluruh. Selama

pemeriksaan awal, jejas yang membahayakan hidup dan kondisi medis

sistemik harus dievaluasi secara tepat. Pasien dengan jejas pada wajah

sebaiknya diperkirakan memiliki jejas lain yang berhubungan, tergantung

dari insidensi trauma .

A. Airway (Jalan Nafas)

Yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh

benda asing., fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,

fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway, harus

melindungi vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan

chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat

dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian

ulang terhadap airway tetap harus dilakukan.

Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan

bahwa tidak bleh melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.

Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan riwayat

perlukaan. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal fraktur servikal

harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka

untuk sementara, maka untuk kepala harus dilakukan imobilisasi

manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai dipakai sampai

kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.

15

Page 16: referat

B. Breathing (Pernafasan)

Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding

dada dan diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi

pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara

ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau

darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat

memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin menggangu

ventilasi.

C. Circulation (Sirkulasi)

Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan

eksternal dihentikan dengan penekanan pada pada luka. Tourniquet

sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan

iskemia.

D. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap

keadaan neurologis secara cepat. Banyak pasien yang mengalami

injuri fasial mengalami hilang kesadaran. Kesemua pasien ini,

walaupun hanya pingsan dalam waktu yang singkat, harus diperiksa

secara keseluruhan dengan Skala Koma Glagow (GCS) dan

dikonsulkan ke bagian bedah syaraf.

16

Page 17: referat

E. Exposure environmental control

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan

cara menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah

pakaian dibuka harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup

hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.

Langkah pertama yaitu memastikan pasien memiliki jalan nafas

yang baik serta ventilasi yang adekuat. Tanda klinis, termasuk

respirasi, nadi, dan tekanan darah sebaiknya diperiksa dan dicatat.

Selama pemeriksaan awal, masalah lain yang dapat mengancam

kehidupan, seperti perdarahan eksesif, sebaiknya diperiksa.

Penanganan awal, seperti gigit tampon, sebaiknya dilakukan sesegera

mungkin. Selanjutnya pemeriksaan status nerologis pasien dan

evaluasi spina servikalis pasien. Benturan yang cukup berat yang

dapat menyebabkan fraktur pada tulang wajah biasanya tersalurkan ke

spina servikalis. Leher harus diimobilisasi sementara hingga jejas

pada leher dikatakan baik.

Perawatan terhadap jejas kepala dan leher biasanya dilakukan

setelah didapat evaluasi menyeluruh, pemeriksaan, dan stabilisasi

pasien. Bagaimanapun, beberapa perawatan awal seringkali penting

untuk kestabilan pasien. Seringkali, fraktur pada tulang wajah yang

berat dapat mengurangi kemampuan pasien dalam menjaga jalan

nafas.

17

Page 18: referat

Jejas pada daerah wajah tidak hanya melibatkan tulang wajah

tapi juga jaringan lunak, seperti lidah atau daerah leher atas, atau

dapat berhubungan dengan jejas seperti fraktur laring. Pada beberapa

kasus, perlu dilakukan trakheostomi untuk memberikan jalan nafas

yang adekuat. Pada pasien trauma dengan obstruksi jalan nafas atas

komplit, krikotirotomi merupakan cara paling cepat untuk mengakses

trakea.

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus

dikenali dan resusitasinya harus dilakukan pada saat itu juga.

Penyajian primary survey diatas adalah dalam bentuk berurutan sesuai

dengan prioritas dan agar lebih jelas, namun dalam prakteknya hal-hal

diatas sering dilakukan berbarengan.

2.8.2 Reduksi tertutup (close red)

Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi

kembali bagian tulang yang fraktur seperti pada fragmen fraktur ini

bergerak, biasanya gigi geligi yang terdapat pada segmen fraktur

mengalami kegoyahan. Pada kasus ini dibutuhkan tekanan berulang

(digital) untuk mereduksi tulang yang patah.

Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan

dan kiri palatum pada sutura palatine, maka digunakan alat Rowe

18

Page 19: referat

Disimpaction forceps atau Hayton-Williams forcep untuk mereduksi

kembali kedua sisi palatum tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung

maksila dan mandibula. Gigi yang goyah diikat dengan kawat (wiring)

kearch bar maksila, sedangkan gigi yang terdapat pada segment yang tidak

fraktur dilindungi dengan fiksasi intermaksila. Kemudian fiksasi

dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi dibiarkan

selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut pasient dan pasien diberikan

diet lunak selama fiksasi.

Indikasi dilakukannya metode tertutup pada fraktur maksila adalah:

Dimana pada pemeriksaan klinis dan radiografis tidak

memperlihatkan gambaran perobahan letak pada kedua segmen

fraktur atau segmen frakturnya terletak pada variable yang stabil dari

tekanan otot-otot mastikasi (Undisplacement fracture).

Pada pasien yang edentulous (tidak bergigi) dan fraktur maksila secara

radiology memperlihatkan perobahan letak yang minimal dan letak

garis fraktur kemudian menjadi stabil oleh otot-otot pengunyahan.

Maka union tulang pada fraktur ini dapat menjadi penghubung yang

baik.

Pasien dengan fraktur yang menimbulakan kerusakan pada otak dan

tidak adanya rangsangan untuk bangun, maka metode terbuka untuk

sementara merupakan kontra indikasi.

2.8.3 Reduksi terbuka (open red)

19

Page 20: referat

Metode ini lebih baik untuk kasus fraktur maksila khususnya yang

komplek. Dengan metode ini dapat dicapai immobilisasi fraktur yang

sempurna dan fiksasi yang kuat dan rigid. Metode ini dimulai dengan

tahapan sebagai berikut:

1. Pembukaan flap dengan insisi vestibular secara bilateral.

2. Sisi fraktur disingkapkan dengan meretraksi flap tadi

3. Dilakukan pembersihan segment pada garis fraktur.

4. Dilakukan perlekatan kembali kontunuitas tulang yang terputus.

5. Fiksasi garis fraktur dengan wiring atau mini dan mikro plat serta

bautnya.

6. Tutup daerah operasi dengan mengembalikan flap pada posisi awal

dan dijahit

7. Fiksasi inter maksila selama 4 minngu (masa penyembuhan)

8. Pasien diberikan diet lunak selama fiksasi dengan kandungan gizi

yang cukup.

Indikasi dilakukannya metode fraktur terbuka adalah sebagai berikut:

Apabila metode tertutup gagal dilakukan

Fraktur dengan displacement yang kearah bawah dengan segala

komplikasinya seperti open bite klasik, elongasi fasial dana dish face.

Fraktur fasial kompleks dan multiple seperti Le fort I, II, III .

Fraktur dengan impaksi pada rahang bawah.

20

Page 21: referat

Fraktur yang memerlukan pemasangan miniplate dengan skrup untuk

reduksi dan stabilitas segment fraktur.

Fraktur yang membutuhkan bone graft.

2.8.4 Fiksasi Internal

2.8.4.1 Direct osteosynthesis

Fraktur kominusi yang tidak parah pada bagian sepertiga tengah

dapat direkonstruksi dengan bantuan fiksasi internal seperti kawat

transosseus dan miniatur plat dan skrup

a. Miniplates and Screw

Fiksasi monocortical semirigid pada fraktur maksila dengan

miniplate atau skrup mengeliminasi pergerakkan tulang dan

memungkinkan terjadinya primary healing.

Gambar 9. Fiksasi dengan menggunakan mini plate

b. Transosseus wiring

Transosseus wiring atau intraosseus wiring murah, mudah

digunakan, dan ditoleransi dengan baik oleh pasien.

21

Page 22: referat

Gambar 10. Fiksasi dengan menggunanakan transosseus

wiring

Kerugian dari transosseus wiring adalah tidak menyediakan

stabilitas tiga dimensi dan adanya pergerakan kecil pada tempat

fraktur sehingga menyebabkan penyembuhan yang tertunda.

2.8.4.2 Suspension wires :

- Rahang bawah dihubungkan ke skeleton facial diatas garis fraktur dengan

kawat stainless steel diameter 0,5mm, sehingga mengapit bagian fraktur

dan bagian yang tidak fraktur pada facial skeleton.

- Keuntungannya, metode ini hanya memerlukan minimum

armanmetarium.

22

Page 23: referat

Gambar 11. Fiksasi dengan mengunakan metode suspensi

2.8.4.3 Frontal Suspension

- Lateral : prosesus zygomaticum pada tulang frontal diekspos dengan

insisi yang dibuat pada bagian lateral alis dibawah sutura frontozyomatic.

- Central : teknik ini dikenalkan oleh Kufner

2.8.4.4 Circumzygomatic incision

- jarum penusuk dimasukkan ekstraoral pada perbatasan tulang zygomatic

dan temporal di bagian medial dari arkus zygomatic dengan arah ke bawah

dan ke atas sehingga memasuki sulkus bukal secara intraoral pada bagian

molar kedua.

- Kawat stainless steel dengan diameter 0,5mm dikaitkan pada ujung jarum

penusuk, dan instrumen ditarik dan terletak di atas arkus zygomatic tanpa

menembus keluar kulit.

- Dan instrumen dilewatkan pada bagian lateral arkus zygomatic dengan

arah yang sama seperti sebelumnya.

23

Page 24: referat

Gambar 12. Fiksasi circumzigomatik

2.8.4.5 Zygomatic suspension

- Insisi sebesar 3cm dibuat pada regio premolar dan molar pada kedalaman

sulkus vestibular.

- Dengan menggunakan bor, sebuang lubang dibor pada arkus zygomatic

dan kawat stainless steel dengan diameter 0,5mm dilewatkan pada lubang

tersebut.

2.8.4.6 Infraorbital

- Insisi 3cm pada bagian vestibular dibuat pada bagian kaninus dan dipotong

dari subperiosteal untuk mengekspos bagian margin inferior orbital pada

bagian lateral dari foramen infraorbital.

- Sebuah lubang dibuat dengan menggunakan bor. Stainless steel dengan

diameter 0,5mm dilewatkan pada lubang ini, ditarik ke mulut dan secara

tepat menempel pada bagian loop arch bar.

24

Page 25: referat

Gambar 13. Ifraorbita

2.8.4.7 Pyriform Aperture

- Insisi transversal sebesar 2cm dibuat pada bagian sulkus labial atas diatas

gigi insisivus laeral dan pyriform aperture pada bagian hidung diekspos

dengan mengangkat periosteum.

- Sebuah lubang dibor sekitar 1cm dari free margin pada pyriform aperture

dari sisi medial ke lateral.

- Kawat stainless steel dengan diameter 0,5mm dilewatkan pada lubang ini;

kedua akhir ditarik dan ditari ke loop yang sesuai pada IMF.

25

Page 26: referat

Gambar 14. Pytiform aperture

2.8.2.8 Prealveolar Suspension

Gunning splint digunakan dan posisi lubang pada aspek palatal dari

splin ditandai pada bagian mukosa palatal. Jarum penusuk peralveolar

dilewatkan melewati alveolus pada sulkus bukalis, melubangi patalum

pada posisi yang ditandai. Dengan menggunakan jarum penusuk, stainless

steel lunak dengan diameter 0,5mm dilewatkan pada lubang di permukaan

palatal dan ditarik melewati sulkus bukalis. Kedua akhiran dikaitkan pada

Gunning splint.

2.8.5 Fiksasi Eksternal

2.8.5.1 Craniomandibular fixation

Mandibula difiksasi ke kranial vault dan bagian fraktur pada

sepertiga tengah diapit diantaranya.

26

Page 27: referat

a. Box Frame

- Box frame merupakan bentuk yang rigid dari fiksasi

craniomandibular.

- Dua pin diselipkan di supraorbital dan dua pin diselipkan pada bagian

mandibula dibawah regio kaninus.

Gambar 15. Box frame

2.8.5.2 Craniomaxillary fixation

Setelah membentuk oklusi, maksila ditempelkan ke cranial vault.

Metode ini sangat berguna karena fraktur dapat direduksi sehingga dapat

tetap terimpaksi, sehingga terjadi displacement yang minimal.

a. Pin Fixation

Imobilisasi pada fraktur maksila atau fraktur bagian tengah wajah

dengan cara fiksasi pin dikembangkan sebagai alternatif dari plaster of

Paris head cap dan disebabkan oleh munculnya kecocokkan skrup pin

27

Page 28: referat

secara biologis. Fiksasi pin umum digunakan untuk imobilisasi bagian

sepertiga tengah fraktur.

b. Haloframe

Haloframe digunakan untuk fraktur supraorbital dimana

dibutuhkan fiksasi dengan poin yang lebih tinggi terhadap kranium

Gambar 16. Fiksasi haloframe

c. Plaster of Paris Head Cap

Penggunaan alat ini telah digantikan oleh beberapa teknik. Alat ini

berguna apabila ditemukan adanya perluasan fraktur pada bagian cranial

vault yang tidak dapat ditangani oleh haloframe atau pin. Konstruksi dari

head cap ini harus akurat dan nyaman dipakai.

28

Page 29: referat

Gambar 17. Plaster head cap

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang berhubungan dengan fraktur maksilofasial dan

saluran pernapasan atas diantaranya :6,7,8,9

a. Sumbatan jalan napas

Hipoksia otak atau kematian dari obstruksi jalan napas akut dan

hipoksemia biasanya terjadi setelah trauma maksilofasial kompleks

dan saluran napas atas. Beberapa faktor yang ikut berkontribusi

diantaranya deformitas anatomis atau hilangnya struktur penyokong

saluran napas, bekuan darah, fragmen gigi, aspirasi benda asing atau

edema.

b. Hemorragi

Perdarah dari laserasi jaringan lunak, mulut dan hidung merupakan

gambaran umum dari trauma fasial.

29

Page 30: referat

c. Trismus

Fraktur yang melibatkan kondilus atau pergeseran artikulasio

temporomandibular dapat menyebabkan gangguan mekanis

pembukaan rahang. Trauma pada mandibula dapat menyebabkan

trismus akibat spasme otot dan nyeri saat membuka mulut.

d. Pneumoencephalus

Fraktur yang melewati dasar posterior sinus frontal dengan robekan

dural dan fraktur Le Fort II dan III berhubungan dengan

pneumoencephalus.

2.10 Perawatan setelah operasi

Untuk meminimalisir edema paska operasi, lakukan pembalutan kassa

dengan tekanan ringan, pada daerah operasi. Jika pembalut tetap kering,

dapat diangkat setelah 2-5 hari. Apabila daerah fraktur terbuka terhadap

lingkungan eksternal atau terdapat komunikasi dengan intra oral atau ruang

nasal, maka perlu diberikan antibiotik profilaksis terhadap organisme gram-

positif dan anaerob selama 5-10 hari 9.

Setelah pembedahan, observasi pasien selama semalam terhadap

kemungkinan terjadinya perdarahan, masalah pada jalan nafas, dan muntah.

Jika menggunakan fiksasi dengan kawat pada IMF, tempatkan pemotong

kawat di dekat pasien setiap saat pada awal periode post-operasi untuk

mengeluarkan muntah. Lepas kawat atau rubber band apabila pasien mulai

merasa mual 9.

30

Page 31: referat

Sebelum pulang, instruksikan pasien mengenai cara melepas IMF

apabila muntah. Selain itu, pasien diberi tahu untuk membatasi diet yaitu

bubur atau cairan 9.

2.11 Prognosis

Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan

salah satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat

dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak

deformitas wajah akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh

dalam fiksasi ini dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju

ke bawah dan belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat

dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa

minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara parsial,

hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan

kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.

31

Page 32: referat

DAFTAR PUSTAKA

1. Michael M, G.E. Ghali, E. Peter. Peterson`s Priciples of Oral and

Maxillofacial Surgery-Third Edition, USA : People’s Medical Publishing

House;2014.

2. Mitchel A. David. An Introduction to Oral and Maxillofacial Surgery,

Taylor and Francis Group : CRC Press;2015.

3. Perry Michael, Holmes Simon. Atlas of Operative Maxillofacial Trauma

Surgery, London : Springer;2014.

4. Hopper Richard A, MD, et al. Diagnosis of Midface Fractures with CT :

What the Surgeon Need To Know. Radiographics. 2006

5. Haggerty J, Laughlin M. Atlas of Operative Oral and Maxillofacial

Surgery, USA : WILEY Blackwell;2015.

6. Aktop S, Gonul O, Satilmis T, Garip H, Goker K. Management of

Midfacial Fractures, Turkey : Intech;2013.

7. Holmes Simon, Perry Michael. Manual of Operative Maxillofacial Trauma

Surgery, London : Springer;2014.

8. Miloro Michael, Kolokhitas Antonia. Management of Complication in Oral

and Maxillofacial Surgery, Chicago : Wiley Blackwell;2012.

9. Langdon Jhon, Patel Mohan, Ord Robert, Brennan Peter. Operative Oral

and Maxillofacial Surgery, London : Hodder and Stoughton Limited;2011.

10. Hupp R, Ellis Edward, Tucker R. Contemporary Oral and Maxillofacial

Surgery, Elsevier;2014.

32

Page 33: referat

11. Moe KS, Byrne P, Kim DW, Tawfilis AR. Facial Trauma, Maxillary and L

Fort Fractures. San Diego : eMedicine’s;2009.

12. Mehra P, Ahuja R. Management of Le Fort Fractures Using External

Skeletal Fixator : Two Case Reports, India : Departement of Dental and

Oral Surgery;2013.

13. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel

Dekker, Inc.

14. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier.

33