pusat gd. setjen dan badan keahlian dpr ri lantai vi ... · sumber: nota keuangan, kementerian...

11

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    1

    PERMASALAHAN/DAMPAK KEBIJAKAN DAU DINAMIS

    Sistem otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia menyebabkan adanya

    desentralisasi atau pemberian kewenangan ke daerah-daerah termasuk di dalamnya

    desentralisasi fiskal (keuangan) dimana daerah membutuhkan sumber-sumber pendapatan

    baru dan perimbangan keuangan untuk menjalankan fungsi yang ada (money follows function).

    Untuk membantu mendanai kebutuhan tersebut, pemerintah pusat melaksanaan transfer

    belanja dari pusat ke daerah melalui dana perimbangan. Dana perimbangan yang meliputi Dana

    Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), merupakan dana

    yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai

    kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi sesuai amanat Undang-Undang

    Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

    Daerah. Dari ketiga dana tersebut, sejak tahun 2010-2018 proporsi alokasi DAU merupakan

    yang terbesar dibanding dengan dana lainnya dimana hampir 60 persen transfer ke daerah di

    dominasi oleh DAU. DAU bertujuan secara umum untuk memperkecil ketimpangan vertikal dan

    horizontal serta bersifat block grant, sehingga dalam penggunaannya diserahkan sepenuhnya

    kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan

    kepada masyarakat.

    A. Sekilas tentang DAU

    DAU diterapkan pertama kali sejak tahun 2001. Dari tahun 2010 sampai tahun 2017

    realisasi DAU selalu mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 10,09

    persen. Pertumbuhan tertinggi DAU terjadi di tahun 2012 yang disebabkan adanya peningkatan

    kapasitas fiskal yang signifikan.

    Gambar 1. Realisasi DAU Tahun 2010-2017

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan, Diolah

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    2

    Secara proporsi, besaran DAU untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota

    masing-masing sebesar 10 persen dan 90 persen. Namun, mulai tahun 2017 porsi DAU provinsi

    meningkat menjadi 14,1 persen dan DAU kabupaten/kota turun menjadi 85,9 persen. Hal ini

    disesuaikan dengan adanya kebijakan pengalihan kewenangan urusan pemerintahan

    kabupaten/kota ke provinsi.

    Dalam pengalokasiannya, DAU menggunakan formula yang meliputi unsur Alokasi Dasar

    (AD) dan Celah Fiskal (CF) yang merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal (KbF) dengan

    Kapasitas Fiskal (KpF) sesuai dengan fungsinya sebagai instrumen pemerataan kemampuan

    keuangan antardaerah. AD dihitung atas dasar persentase jumlah gaji pegawai negeri sipil

    daerah (PNSD), yang mencakup gaji pokok ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan

    jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil, serta mempertimbangkan

    penggajian dan pengangkatan calon PNSD. Sementara CF dihitung dari selisih antara kebutuhan

    fiskal dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Dalam menentukan besaran Kebutuhan

    Fiskal dan Kapasitas Fiskal didasarkan atas beberapa variabel yang digunakan.

    Besaran DAU ditetapkan minimal berdasarkan persentase tertentu dari PDN

    (Penerimaan Dalam Negeri) Netto. Dalam perkembangannya, kebijakan dan persentase DAU

    terhadap PDN Netto mengalami perubahan mengikuti dinamika kemampuan keuangan negara

    maupun kebutuhan fiskal daerah secara keseluruhan. Terkait dengan hal tersebut, rumusan

    formula perhitungan DAU dalam perkembangannya pun mengalami beberapa kali penyesuaian

    sebagaimana tercantum pada tabel berikut ini.

    Tabel 1. Perkembangan Formula DAU

    Periode Perkembangan Formula

    2001 - 2003 ▪ Formula perhitungan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 25

    persen dari PDN Netto sesuai Pasal 7 UU No.25 tahun 1999. PDN Netto

    Gambar 2. Formula Perhitungan DAU

    Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan

    (DJPK)

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    3

    merupakan jumlah penerimaan dalam negeri bersih setelah dikurangi

    dengan dana bagi hasil dan DAK yang bersumber dari dana reboisasi.

    ▪ DAU dihitung dengan formula kesenjangan fiskal, yaitu dengan

    memperhitungkan antara kebutuhan daerah dan potensi daerah.

    ▪ Kebijakan hold harmless, dengan kebijakan hold harmless maka daerah-

    daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dibandingkan dengan

    kebutuhan fiskalnya seperti diberi semacam “insentif” untuk menutupi penurunan DAU-nya, sementara daerah-daerah yang mengalami

    peningkatan DAU memperoleh “disinsentif” karena kenaikan DAU-nya harus dikurangi untuk menutupi penurunan DAU pada daerah lain.

    2004 - 2005 ▪ Formula perhitungan DAU ditetapkan sebesar 25,5 persen dari PDN Netto.

    2006 ▪ Formula perhitungan DAU dalam APBN didasarkan kepada UU No.33 tahun 2004, yaitu ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari PDN Netto yang

    ditetapkan dalam APBN.

    ▪ Komponen kapasitas fiskal disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan

    komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan

    mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-

    masing daerah.

    2007 ▪ PDN Netto yang digunakan dalam formulasi DAU merupakan hasil pengurangan antara pendapatan dalam negeri yang merupakan hasil

    penjumlahan antara penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan

    pajak dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada

    daerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked dan anggaran yang

    sifatnya in-out.

    2008 ▪ Kebijakan hold harmless dihapuskan dan diberlakukan kebijakan non hold harmless. Dengan demikian, maka dimungkinkan suatu daerah menerima

    DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya karena kapasitas

    fiskal yang meningkat signifikan. Hal ini dilakukan untuk menyempurnakan

    tingkat ekualisasi antar daerah sehingga dapat memperkecil ketimpangan

    fiskal antar daerah.

    ▪ Perhitungan alokasi DAU berdasarkan formula mulai dilaksanakan secara penuh. Dengan demikian, maka perhitungan DAU akan menghasilkan

    alternatif alokasi sebesar nol, lebih kecil, sama dengan, dan lebih besar dari

    DAU tahun sebelumnya.

    2009 - 2018 ▪ PDN Netto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, listrik, pupuk, pangan, benih yang dihitung berdasarkan bobot/persentase tertentu

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    4

    sebagai faktor pengurang dalam rangka antisipasi dampak kenaikan harga

    minyak, penciptaan stabilisasi APBN dan APBD, dengan tetap menjaga

    peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun.

    Sumber: Nota Keuangan, Kementerian Keuangan, Diolah

    Di sisi lain, dalam perkembangannya, Dana Perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum

    selalu memegang proporsi yang paling besar dalam pendapatan daerah. Proporsi Dana

    Perimbangan dalam postur pendapatan daerah dari tahun 2010-2017 selalu diatas 50 persen

    dengan rata-rata 61,32 persen. Sementara rata-rata proporsi DAU dalam pendapatan daerah

    selama tahun 2010-2017 sebesar 41 persen (gambar 3).

    B. Kontribusi DAU dalam Struktur APBD

    Berdasarkan data realisasi pendapatan daerah Kabupaten/Kota tahun 2006 – 2016, DAU merupakan komponen terbesar dalam membentuk struktur pendapatan daerah pemerintah

    Kabupaten/kota dengan kontribusi rata-rata mencapai 54 persen. Kondisi yang berbeda

    terlihat di pemerintah Provinsi. Rata-rata kontribusi DAU terhadap pendapatan daerah

    pemerintah Provinsi hanya sebesar 16,8 persen, sementara rata-rata kontribusi PAD mencapai

    48,3 persen.

    Gambar 3. Realisasi Penerimaan Daerah Kab/Kota, tahun 2006-2016 (dlm triliun Rp)

    Sumber: BPS, data diolah

    Gambar 4. Realisasi Penerimaan Daerah Provinsi, tahun 2006-2016 (dlm triliun Rp)

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    5

    Bagi pemerintah Kabupaten/kota, DAU menjadi penopang atau tumpuan utama bagi daerah

    dalam membiayai pos-pos belanjanya. Keuangan daerah menjadi sangat tergantung dari alokasi

    DAU yang diberikan pemerintah pusat (Tasri, 2018). Hal ini dapat menjadi permasalahan

    manakala daerah memiliki program atau kegiatan yang memang diperlukan namun alokasi DAU

    yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terlebih karena pengalokasian DAU yang

    menerapkan pola dinamis, sehingga besaran alokasi DAU yang akan diterima oleh daerah tidak

    dapat dipastikan karena bergantung pada perkembangan PDN Netto dan kondisi keuangan

    pemerintah pusat. Apalagi jika ternyata realisasi PDN Netto di bawah angka target sebagaimana

    kondisi di tahun-tahun sebelumnya. Sehingga daerah perlu didorong agar dapat lebih

    meningkatkan kemandirian keuangannya dalam pemenuhan kebutuhan belanjanya sehingga

    proses pembangunan daerah tidak terjebak pada dinamika keuangan pemerintah pusat.

    Di samping itu, daerah juga dihadapkan pada ketidakpastian akan sumber pendapatan

    lainnya baik PAD maupun Dana Transfer ke Daerah yang lainnya (DBH dan DAK) yang berbasis

    pada kinerja. Hal ini mengakibatkan program/kegiatan daerah yang telah dilaksanakan ataupun

    yang sudah dilelang berpotensi tertunda atau diperbaiki. Karakteristik DAU merupakan block

    grant sehingga penggunaannya diserahkan kepada daerah. Namun pemda perlu mengantisipasi

    kemungkinan tidak tercapainya pendapatan yang bersumber dari DAU.

    C. Perkembangan Kebijakan DAU

    Dalam 3 tahun terakhir, mulai tahun 2017, pemerintah melakukan kebijakan terkait dengan

    Dana Transfer Umum (DAU dan DBH).

    Gambar 5. Kebijakan DAU tahun 2017-2019

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    6

    1. Konversi DAU non Tunai

    Pola pelaksanaan anggaran yang seringkali menumpuk di akhir tahun dan masih besarnya

    simpanan pemerintah daerah di perbankan dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan

    dampak yang kurang menguntungkan bagi kualitas pelayanan publik. Hal tersebut dapat

    berpotensi pada perlambatan kegiatan ekonomi di daerah sehingga menghambat tercapainya

    kesejahteraan sosial. Untuk mengurangi simpanan yang besar pad akas pemerintah daerah

    maka mulai tahun 2017 pemerintah mulai melaksanakan kebijakan konversi penyaluran

    DAU/DBH dalam bentuk non tunai bagi daerah yang memiliki posisi kas dan/atau simpanan di

    bank dalam jumlah yang tidak wajar. Secara umum pelaksanaan kebijakan konversi penyaluran

    DAU dalam bentuk non tunai dilakukan kepada daera-daerah yang memiliki posisi kas pada

    periode tertentu yang melebihi kebutuhan perkiraan operasi belanja dan belanja modal tiga

    bulan ke depan. Kebijakan konversi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan volume

    APBD, alokasi DBH, dana atau DAU serta faktor lainnya yang terkait dengan kemampuan

    keuangan di masing-masing daerah. Bagi daerah-daerah dengan kondisi tersebut maka

    penyaluran DAU dikonversikan dalam bentuk Surat BErharga Negara (SBN). Kebijakan tersebut

    merupakan upaya pemerintah agar pemerintah daerah dapat lebih optimal dalam

    memanfaatkan anggaran dalam rangka percepatan pembangunan daerah.

    2. Kewajiban Alokasi minimal 25% DAU dan DBH untuk belanja infrastruktur

    Dana Transfer Umum yang terdiri atas Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum bersifat block

    grant, yang penggunaannya menjadi kewenangan daerah sesuai dengan prioritas dan

    2017

    2018

    2019

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    7

    kebutuhan daerah. Pada tahun 2017 terdapat perubahan kebijakan terhadap penggunaan Dana

    Transfer Umum, yang bertujuan agar penggunaan Dana Transfer Umum tersebut lebih terarah.

    Perubahan kebijakan tersebut adalah dengan mengarahkan penggunaan Dana Transfer Umum

    sekurang-kurangnya 25 persen untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan

    percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan

    kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan

    publik antar daerah.

    3. Alokasi DAU Tambahan dalam APBN tahun 2019

    Dalam DAU tahun 2019, terdapat komponen DAU tambahan yang dialokasikan untuk dukungan

    pendanaan kelurahan sebesar Rp3.000,0 miliar. DAU tambahan ini diperuntukkan bagi sekitar

    8.212 kelurahan di seluruh kabupaten/kota, yang pengalokasiannya berdasarkan kinerja

    pelayanan dasar publik. DAU tambahan tersebut berasal dari pengurangan alokasi pada Dana

    Desa. Dengan adanya dukungan pendanaan kelurahan dari APBN melalui DAU dan juga dari

    sumber pendapatan APBD lainnya, maka akan memberikan dampak positif bagi percepatan

    penanganan permasalahan pembangunan di perkotaan pada umumnya, dan di kelurahan pada

    khususnya, melalui pembangunan sarana dan prasarana dasar dan penguatan pemberdayaan

    masyarakat kelurahan.

    4. Pagu DAU tidak bersifat Final (Dinamis)

    Pagu DAU nasional dalam APBN 2017 dan 2018 tidak bersifat final (dinamis), atau dapat

    berubah sesuai perubahan PDN neto dalam APBN perubahan tahun berjalan. Dengan demikian,

    maka pagu DAU dapat berubah sesuai dengan dinamika penerimaan pendapatan negara.

    Pendapatan negara tergantung dari penerimaan perpajakan, maupun dari asumsi

    lainnya seperti harga minyak dan kurs. Harga minyak yang bergerak dan kurs yang bergerak

    akan mempengaruhi penerimaan perpajakan yang tidak selalu sama dengan yang ditargetkan.

    Besaran PDN itu akan lebih kecil atau tidak selalu sama dengan yang ditetapkan di

    Undang-Undang APBN. DAU yang ditransfer secara berkalan ke daerah akan bergantung dari

    berbagai asumsi dan realisasi dari penerimaan perpajakannya. Apabila terjadi potensi

    kekurangan penerimaan negara, DAU yang dibagikan ke daerah bisa dilakukan pemotongan.

    Hal ini akan berimplikasi terhadap besaran alokasi DAU pada APBN-Perubahan dan

    APBD-Perubahan, yaitu:

    Apabila PDN Neto naik, maka pagu DAU nasional akan naik dan alokasi

    perdaerah akan bertambah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mengidentifikasi

    program/kegiatan yang urgent dan menjadi prioritas daerah untuk dapat di danai dari kenaikan

    DAU, sepanjang dapat diselesaikan dalam sisa akhir tahun anggaran. Jika tidak ada

    program/kegiatan yang bersifat urgent dan prioritas daerah, maka tambahan DAU dapat

    digunakan untuk membentuk Dana Cadangan atau Dana Darurat.

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    8

    Sebaliknya, apabila PDN Neto turun, maka pagu DAU nasional akan turun dan alokasi

    per daerah akan berkurang. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi

    dan efisiensi program/kegiatan yang tidak urgent, bukan prioritas dan tidak produktif (misal:

    biaya perjalanan dinas, rapat dinas, konsinyering, honorarium); membuka ruang fleksibilitas

    kontrak proyek dengan klausul yang relatif fleksibel serta memperkuat perencanaan kas (cash

    flow management).

    Perubahan PDN netto dapat terjadi karena adanya perubahan pada asumsi dasar

    ekonomi makro diantaranya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah (kurs),

    harga ICP serta lifting minyak. Dampak dari perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap

    penerimaan negara dapat digambarkan sebagai berikut. Perubahan pertumbuhan ekonomi

    antara lain memengaruhi penerimaan perpajakan, terutama PPh nonmigas, PPN, PBB, cukai,

    pajak lainnya, dan bea masuk. Selanjutnya, perubahan pada penerimaan perpajakan tersebut

    akan memengaruhi belanja negara antara lain anggaran transfer ke daerah, terutama dana bagi

    hasil (DBH) pajak. Tingkat inflasi akan berpengaruh terhadap produk domestik bruto (PDB)

    nominal. Perubahan PDB nominal berdampak pada perubahan penerimaan perpajakan

    terutama PPh nonmigas, PPN, PBB, dan pajak lainnya. Pada sisi belanja negara, perubahan

    penerimaan perpajakan tersebut akan diikuti oleh perubahan DBH pajak. Fluktuasi nilai tukar

    rupiah pada sisi pendapatan negara akan memengaruhi penerimaan yang terkait dengan

    aktivitas perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea

    masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada

    penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja negara, perubahan nilai tukar

    rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berpengaruh terhadap subsidi energi, DAU, serta

    DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) akan

    memengaruhi besaran APBN terutama pada anggaran yang menggunakan harga minyak

    mentah sebagai komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan negara, perubahan harga

    minyak mentah akan berdampak terhadap penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada

    sisi belanja negara, perubahan harga minyak mentah Indonesia antara lain akan memengaruhi

    belanja subsidi energi, DBH migas ke daerah akibat perubahan PNBP SDA. Selanjutnya,

    perubahan lifting minyak dan lifting gas akan memengaruhi besaran penerimaan PPh migas,

    PNBP SDA migas, DBH migas, DAU.

    Meskipun telah diterapkan sejak tahun tahun 2017, kebijakan pagu DAU nasional

    kembali menjadi bersifat final dalam tahun 2019.

    Ada beberapa pertimbangan, antara lain:

    1. Ketergantungan pemerintah daerah masih besar terhadap dana transfer, khususnya

    DAU dalam membiayai belanja daerah. Kebijakan DAU dinamis akan mempersulit

    pemerintah daerah karena, seiring dengan perubahan alokasi DAU, pemerintah harus

  • PUSAT KAJIAN ANGGARAN - BADAN KEAHLIAN DPR-RI Gd. SETJEN dan Badan Keahlian DPR RI Lantai VI, Ruang 602 dan 611 Telp. (021) 5715.269/656/635, Fax. (021) 5715. 635 Jl. Jenderal Gatot Subroto – Jakarta 10270

    9

    mengidentifikasi/mereview kembali program prioritas daerah dalam tahun anggaran

    berjalan.

    2. DAU menjadi satu-satunya komponen yang memberikan kepastian alokasi, yang

    sepanjang pengalokasiannya relative tidak mengalami perubahan signifikan, meskipun

    Asumsi dasar ekonomi makro mengalami perubahan. Merosotnya harga minyak dunia di

    tahun 2016 jauh melampaui harga yang ditetapkan dalam APBN mengakibatkan

    dilakukannya penundaan DAU. Kepastian alokasi ini tentunya akan menjadi dasar dalam

    penyusunan/pembahasan APBD.

    3. Kebijakan pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas dana transfer ke daerah

    dilakukan melalui kebijakan yang affirmatif baik untuk dana-dana yang sifatnya specific

    grant maupun block grant. DAU yang pada dasarnya bersifat block grant, menjadi semi

    block grant karena adanya kewajiban mengalokasikan minimal 25% untuk membiayai

    belanja infrastruktur dalam rangka mendorong percepatan pembangunan fasilitas

    pelayanan publik dan perekonomian daerah. Kebijakan DAU yang bersifat dinamis tentu

    saja dapat mengurangi kemampuan daerah dalam melaksanakan mandat ini karena

    terbatasnya pendapatan daerah.