proposal (a.a gd basudewa)

88
A. JUDUL PROPOSAL ANALISIS KECERDASAN EMOSIONAL, MOTIVASI MENGAJAR DAN KOMPETENSI GURU DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DITINJAU DARI SEGI GENDER B. IDENTITAS PENELITI NAMA : Anak Agung Gede Basudewa NIM : 1113021064 JURUSAN : Pendidikan Fisika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa 1

Upload: dapur-putu

Post on 19-Nov-2015

234 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

proposal penelitian deskriptif

TRANSCRIPT

A. JUDUL PROPOSAL ANALISIS KECERDASAN EMOSIONAL, MOTIVASI MENGAJAR DAN KOMPETENSI GURU DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DITINJAU DARI SEGI GENDER B. IDENTITAS PENELITI NAMA : Anak Agung Gede Basudewa NIM : 1113021064 JURUSAN : Pendidikan Fisika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Pendidikan yang diuraiakn diatas harus mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Pendidikan Nasioal, diantaranya terdapat 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang meliputi: 1. Standar kompetensi lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. 2. Standar isi adalah kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 3. Standar proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi. 4. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria mengenai pendidikan prajabatan dan kelayakan maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. 5. Standar sarana dan prasarana adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. 6. Standar pengelolaan adalah kriteria mengenai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, Kabupaten/Kota, Provinsi atau Nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. 7. Standar pembiayaan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. 8. Standar penilaian pendidikan adalah kriteria mengenai mekanisme, prosedur dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik. Jadi Standar Nasional Pendidikan memberikan kriteria minimum atau standar yang harus dipenuhi oleh pemerintah, sekolah ataupun tenaga kependidikan dalam proses belajar mengajar demi terwujudnya pendidikan yang diharapkan oleh bangsa dan negara. Mengacu pada standar kompetensi yaitu standar pendidik dan tenaga kependidikan, seorang pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani, dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Salah satu upaya nyata dari pemerintah untuk meningkatkan standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah dengan meningkatkan profesionalisme guru sesuai dengan yang tertera pada Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam misi untuk meningkatkan profesionalisme guru telah lama berlangsung dan hingga kini masih berlangsung seperti sertifikasi, PLPG, penataran, diklat, seminar, dan studi banding. Bertolak dari sekian program yang telah dicanangkan oleh pemerintah, faktanya tingkat kompetensi yang dimiliki oleh sebagian besar guru-guru di Indonesia masih tergolong rendah atau kurag dari standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari tes terhadap kompetensi guru atau lebih dikenal dengan uji kompetensi guru (UKG) yang rutin dilakukan oleh pemerintah guna mengetahui kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut. Hasil uji kompetensi guru ini telah menjadi sorotan di beberapa surat kabar yang meliput dan merekam jalannya UKG ini antara lain laporan dari tribunnews.com mengenai hasil ratarata nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dicapai oleh guru-guru tahun 2013 di seluruh Indonesia hanya sebesar 4,25 (Pardede, 2013). Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat kompetensi guru di Indonesia masih tergolong rendah, di Provinsi Papua dari 32.000 jumlah guru yang ada, hanya 7 persen yang lolos sertifikasi guru (Levi, 2012), sedangkan nilai UKG di Provinsi Riau masih jauh dari harapan, bahkan ada yang mendapatkan nilai nol (Efivanias, 2012). Lebih mengkhusus lagi untuk Provinsi Bali dari 33 provinsi yang terdapat di Indonesia nilai uji kompetensi awal (UKA) Provinsi Bali menempati peringkat 10 besar namun untuk nilai rata-rata uji kompetensi guru (UKG) Bali tidak menempati peringkat 10 besar hal ini menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh guru-guru di Bali tidak stabil atau cenderung menurun. Hal ini juga didukung oleh temuan ketika melaksanakan kegiatan PPL- Awal di SMA N 1 Ubud dan ketika melaksanakan kegiatan PPL-Real di SMA N 1 Sawan, ketika melaksanakan kegiatan PPL-Awal di SMA N 1 Ubud masih terdapat beberapa guru yang belum maksimal atau kurang semangat dalam mengajar. Berdasarkan pengamatan guru model yang dilakukan, terlihat bahwa guru menjelaskan materi tanpa mengikuti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disusun sebgai persiapan pembelajaran di kelas, serta proses belajar mengajar atau interaksi yang terjadi hanya satu arah yaitu guru ke siswa saja. Sejalan dengan hasil temuan PPL-Awal, ketika melaksanakan kegiatan PPL-Real di SMA N 1 Sawan masih terdapat beberapa guru yang mengajar tanpa menggunakan RPP, jarang memberikan tugas, tes atau evaluasi ketika proses pembelajaran serta ulangan dan hanya berfokus pada buku teks saja, selain itu metode belajar yang digunakan hanya metode ceramah tanpa menerapan standar yang telah dicanagkan pemerintah dalam kurikulum 2013 seperti pendekatan scientifik, menggunakan model-model pembelajaran inovatif yang mendukung proses pembelajaran serta memposisikan diri sebagai fasilitator. Ditinjau dari visi dan misi SMA N 1 Sawan sangat jelas terpapar bahwa visi sekolah adalah Beradab dalam Prilaku Berkolaborasi dalam Meraih Prestasi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga sekolah baik itu guru siswa maupun pegawai harus memiliki prilaku yang sopan, santun, ramah, bijaksana dan lain sebagainya sebagai pribadi yang beradab dan berkolaborasi dengan segala sesuatu yang mendukung proses pembelajaran baik itu teknologi, budaya dan lingkungan demi meraih prestasi yang diharapkan. Faktanya ini tidak seluruh warga SMA N 1 Sawan mencermati atau menghayati apa yang telah menjadi harapa sekolah yang terpapar dalam visi dan misi SMA N 1 Sawan, hal ini terlihat dari masih adanya prilaku yang kurang mendidik dalam proses pembelajaran seperti hukuman untuk siswa masih dalam bentuk tindakan fisik seperti push up, jongkok bangun, naik turun tangga hingga ditendang oleh guru bidang studi tertentu, yang seharusnya hukuman untuk siswa agar bersifat mendidik adalah dengan memberikan tugas atau pembelajaran karakter agar sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah ataupun pemerintah. Berdasarkan temuan ketika melaksanakan kegiatan PPL-Awal maupun kegiatan PPL-Real tersebut mengindikasikan bahwa masih kurangnya semangat beberapa guru khususnya di Bali dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, hal tersebut juga menunjukan bahwa terdapat kesesuaian mangenai rendahnya nilai uji kompetensi guru (UKG) yang diperoleh guru-guru di Indonesia dan Bali khususnya. Secara umum topik mengenai semangat guru dalam mengajar ini sudah menjadi perhatian kusus di kacamata internasional, hasil penelitian Kaniaru et al (2014) menemukan sebagian besar guru merasa tidak termotivasi oleh sekolah dan pemerintah, hal ini terihat dari 91% guru mengakui tidak puas dengan gaji pokok yang diberikan, 65% guru tidak menerima imbalan tambahan selain gaji pokok, dan hanya 56% guru yang mengaku bahwa manajemen sekolah telah mengakui prestasi kerja mereka. Sehingga dari aparan diatas dan temuan ketiak melakukan kegiatan PPLAwal dan PPL-Real menunjukkan bahwa semangat dan kinerja guru tergolong masih rendah, rendahnya kinerja guru ini akan berdampak pada guru itu sendiri, siswa maupun sekolah, karena terdapat banyak faktor yang berpengaruh dalam kinerja guru slaha satunya adalah emosional dan motivasi. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Babatunde et al (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan motivasi kerja terhadap produktivitas guru, selain itu kecerdasan emosional dan motivasi kerja memiliki pengaruh komposit dan kontribusi relatif terhadap produktivitas guru, artinya kecerdasan emosional dan motivasi kerja dapat menggambarkan produktivitas guru, sedangkan Kant (2014), dalam penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam motivasi mengajar, karena profesi seorang guru harus didasarkan atas emosional. Ketika seorang pendidik memiliki emosi yang kuat atau stabil maka mereka akan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam kelas dengan sangat baik. Demi menghadapi tantangan global dan persaingan internasional sudah sepatutnya kesejahteraan guru diperhitungkan sebagi salah satu bentuk penghargaan atau motivasi guna meningkatkan kinerja guru dalam mengajar, karena motivasi ini akan sangat berperan dalam kinerja guru. Eros (2014) menemukan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara motivasi kerja guru terhadap kinerja guru. Besarnya pengaruh motivasi terhadap kinerja guru adalah sebesar 61,1%, sedangkan Nzulwa (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa prilaku profesional dan prestasi kerja sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi, sehingga dibutuhkan sistem manajemen yang etis dan profesional untuk masing-masing sekolah, karena sistem manajemen yang etis dan profesional akan mampu menggambarkan kebutuhan motivasi guru berdasrkan semua permasalahan kesejahteraan yang dihadapi oleh guru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa emosional dan motivasi guru dalam mengajar sangat berperan penting untuk meningkatkan kinerja guru, motivasi guru dalam mengajar akan tumbuh jika terdapat dorongan baik dari dalam dirinya sendiri ataupun dari luar, agar mampu berusaha lebih baik dalam menyelesaikan tugasnya. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Gatzini (2014) yang mengungkapkan bahwa motivasi guru diakibatkan oleh adanya pengawasan kerja, tugas, tanggugjawab dan bagaimana upaya guru tersebut untuk diakui dan dihormati. Paparan diatas menjelaskan bahwa muara dari tindakan atau langkah yang dilakukan pemerintah dan faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru adalah untuk membentuk dan membangun guru yang profesional sehingga diharapkan mampu berpartisipasi dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan insan Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian (Aca 2013). Sejalan dengan itu Purba (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa guru profesional adalah guru yang mempunyai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Melalui penelitiannya ternyata profesionalitas mengajar guru dipengaruhi oleh kepuasan kerja dan kecerdasan emosional. Aca (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat kontribusi yang signifikan antara kompetensi profesional guru terhadap kinerja guru SMP N 2 Amlapura, artinya semakin bagus kompetensi profesional yang dimiliki guru tersebut maka akan semakin bagus pula kinerjanya, selain itu Tanang dan Anbu (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang yang profesional, guru harus belajar dan mengasah keterampilannya dalam mencapai hasil yang baik bagi siswanya dan guru yang profesional akan memiliki sifat keteladanan dan sikap yang baik ketika didalam kelas maupun diluar kelas pada siswa-siswanya. Berkaitan dengan kecerdasan emosional, motivasi serta kompetensi guru tentu saja akan terdapat perbedaan antara guru yang satu dengan guru yang lainnya dalam artian tidak semua guru memiliki tingkat emosi, motivasi serta kompetensi yang sama. Ditinjau dari segi gender guru dapat dibedakan menjadi dua, yaitu guru laki-laki dan guru perempuan. Secara fisik sudah terlihat guru laki-laki dan guru perempuan memiliki perbedaan yang sangat jelas baik itu cara berpakaian, struktur tubuh, dan rambut, sedangkan secara psikologis sangat sulit dibedakan antara guru laki-laki dan guru perempuan karena psikologis seseorang lebih dititik beratkan pada situasi dan masalah yang dihadapi orang tersebut. Handayani dan Sugiarti (2006) menyatakan bahwa aspek psikologis yang mencakup intelegensi dan emosi dalam proses perkembangannya untuk laki-laki dan perempuan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal tersebut terjadi karena bebrapa faktor yang mempengaruhinya seperti budaya dan pola pengasuhan keluarga yang disajikan pada tabel dibawah ini. Tabel 1.1 Perbedaan Emosional dan Intelektual antara Laki-laki dan Perempuan No Laki-laki Perempuan

1 Sangat agresif dan independent Tidak terlalu agresif dan tidak independen

2 Tidak emosional Lebih emosional

3 Lebih objektif Lebih subjektif

4 Sangat menyukai pengetahuan eksakta Kurang menyukai eksakta

5 Lebih logis Kurang logis

Sumber: (Ekawati & Wulandari, 2011) Tabel 1.2 Karakteristik Laki-laki dan Perempuan No Karakteristik Laki-laki Karakteristik Perempuan

1 Maskulin Feminim

2 Rasionnal Emosional

3 Tegas Fleksibel/plinplan

4 Persaingan Kerjasama

5 Sombong Selalu mengalah

6 Orientasi dominasi Orientasi menjalin hubungan

7 Perhitungan Menggunakan insting

8 Agresif Pasif

9 Obyektif Mengasuh

10 Fisik Cerewet

Sumber: (Rostyaningsih, 2010) Perbedaan karakteristik laki-laki dan perempuan ini pada dasarnya dapat dipertukarkan satu sama lain, dalam artian ada laki-laki yang bersifat cerewet, tidak tegas, kurang agresif, feminim, lemah lembut, tidak rasional dan ada perempuan yang rasional, tegas, sombong, objektif, agresif, kuat dan maskulin. Perubahan karakteristik antara laki-laki dan perempuan ini terjadi seiring dengan perubahan zaman, budaya dan berkembang dari waktu ke waktu. Nabwire (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa gender guru berdampak pada interaksi serta hubungan antara guru dengan siswa. Terkait dengan hal tersebut, hasil temuan Kant (2014) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan motivasi mengajar pada guru perempuan, sedangkan terdapat hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dan motivasi mengajar pada guru laki-laki, artinya guru perempuan cenderung lebih emosional dari pada guru laki-laki dalam artian suasana emosi yang dialami guru perempuan akan berdampak pada proses pembelajaran yang berlangsung, sedangkan suasana emosi guru laki-laki tidak berdampak pada proses pembelajaran yang berlangsung. Penelitian ini menunjukkan bahwa guru laki-laki memiliki tingkat penguasaan emosional yang lebih baik dari pada guru perempuan, berbeda dengan penelitian tersebut, Anbuthasan dan Balakrishnan (2013) dalam penelitianya menemukan bahwa guru perempuan secara signifikan memiliki kompetensi mengajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru lakilaki, karena guru perempuan lebih sadar akan kewajibannya, bertanggungjawab, memiliki komitmen yang tinggi, berdedikasi dan memiliki aspirasi yang professional dai pada guru laki-laki. Selain itu Nabwire (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa guru perempuan ditemukan lebih tangguh dan lebih mandiri dibandingkan dengan guru laki-laki. Hal ini terlihat dari kemampuan guru prempuan dalam menggunakan waktunya secara optimal dan penuh persiapan seperti membuat rancangan pembelajaran, tidak seperti guru lakilaki yang hanya repot ketika menit-menit terakhir dalam persiapan seperti membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Berdasarkan paparan diatas dan hasil penelitian yang ditemukan oleh beberapa ahli terdapat perbedaan persepsi mengenai guru laki-laki dan guru perempuan, spserti Kant (2014) yang menemukan bahwa guru laki-laki memiliki emosi yang stabil dari pada guru perempuan, sedangkan Nabwire (2014) menemukan guru perempuan lebih tangguh dan lebih mandiri dari pada guru lakilaki. Keberagaman hasil penelitian yang ditemukan ini mengindikasikan bahwa gender guru tidak bersifat kekal melainkan fleksibel atau dapat dipertukarkan, hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Odiembo dan Simatwa (2014) yang menemukan bahwa Gender guru matematika menyumbang pengaruh yang kecil terhadap prestasi akademik siswa, karean dalam beberapa kasus ditemkan terkadang guru perempuan lebih baik dari pada guru laki-laki dan sebaliknya. Beranjak dari paparan tersebut dipandang perlu untuk melakukan penelitian yang mampu mengungkap perbedaan atau kontribusi peran gender dalam konteks pendidikan, sehingga peneliti terdorong untuk melaksanakan penelitian yang berjudul Analisis Kecerdasan Emosional, Motivasi Mengajar dan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Fisika Ditinjau dari Segi Gender 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang diatas penelitian ini berfokus pada kecerdasan emosional, motivasi mengajar serta kompetensi guru dalam pembelajaran fisika yang ditinjau dari segi gender. Kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kometensi guru dalam pembelajaran fisika ini akan ditinjau dari aktivitas guru (laki-laki dan perempuan) dalam melakukan pembelajaran yang meliputi: Pertama pada tahap perencanaan pembelajaran akan dilakukan analisis kesesuaian RPP, yang meliputi pengembangan: (a) indikator pembelajaran, (b) tujuan pembelajaran, (c) materi pembelajaran, (d) langkah-langkah pembelajaran, (e) media, alat, bahan, dan sumber belajar, (f) LKS, serta (g) evaluasi pembelajaran, untuk mengetahui sejauh mana motivasi guru (laki-laki dan perempuan) dalam mengajar dan kompetensi yang dimilikinya baik itu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, sesuai Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Kedua pada tahap pelaksanaan pembelajaran akan dilakukan survei dan observasi berdasarkan tindak guru dalam pelaksanaan pembelajaran dan kesesuaian perencanaan dengan pelaksanaan pembelajaran. Tindak guru (laki-laki dan perempuan) dalam pelaksanaan pembelajaran ini nantinya akan difokuskan untuk survei dan observasi terkait dimensi dari kecerdasan emosional dari Daniel Goleman dan kompetensi guru sesuai dengan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Terakhir, pada tahap evaluasi pembelajaran akan dilakukan analisis dan survei terhadap upaya guru dalam mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran, untuk mengetaui sejauh mana guru termotivasi untuk mengajar yang lebih baik, menunjukkan kompetesi yang dimilikinya serta emosi guru dalam memperlakukan siswanya. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional guru dalam pembelajaran fisika ditinjau dari segi gender? 2. Bagaimana tingkat motivasi mengajar guru dalam pembelajaran fisika ditinjau dari segi gender? 3. Bagaimana tingkat kompetensi guru dalam pembelajaran fisika ditinjau dari segi gender? 1.4 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mendeskripsikan tingkat kecerdasan emosional dalam pembelajaran fisika ditinjau dari segi gender. 2. Untuk mendeskripsikan tingkat motivasi mengajar guru dalam pembelajaran fisika ditinjau dari segi gender. 3. Untuk mendeskripsikan tingkat kompetensi guru dalam pembelajaran fisika ditinjau dari segi gender. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini secara umum adalah guna memberikan gambaran mengenai kemampuan atau tingkat kecerdasan emosional, motivasi dalam mengajar serta kompetensi yang dimiliki oleh guru-guru (laki-laki dan perempuan) khususnya pada bidang studi fisaka. Secara khusus manfaat penelitian ini terbagi menjadi manfaat teoretis dan manfaat praktis diantaranya adalah sebagai berikut. 1.5.1 Manfaat Teoretis 1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan penetahuan pada studi pendidikan serta bermanfaat dalam peningkatan sumber daya manusia khususnya kualitas guru. 2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan teori yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, motivasi mengajar, kompetensi guru baik itu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional serta gender di kalangan pendidikan. 1.5.2 Manfaat Praktis 1. Penelitian ini berguna bagi guru sebagai refrensi dan gambaran terhadap kecerdasan emosional, motivasi mengajar serta tingkat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru agar guru terinspirasi untuk mengembangkan kinerja dan menjadi lebih baik lagi dalam mengajar demi terciptanya tujuan pendidikan yang diharapkan baik di sekolah maupun pemerintah. 2. Penelitian ini berguna bagi sekolah sebagai acuan dan masukan untuk melakukan refleksi dan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil dalam memberikan layanan pendidikan pada guru. 3. Penelitian ini berguna bagi pemerintah sebagai masukan-masukan untuk melakukan refleksi dan koreksi dalam upayanya untuk meningkatkan standar pendidikan di Indonesia. 1.6 Definisi Konseptual dan Oprasional 1.6.1 Definisi Konseptual 1. Kecerdasan emosional (emotional intelligence) didefinisikan sebagai kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2003). Kecerdasan emosional dibagi menjadi 5 dasar kecakapan emosi dan social diantaranya 1) kesadaran diri, 2) pengaturan diri, 3) motivasi, 4) empati, dan 5) keterampilan sosial. 2. Motivasi mengajar (teaching motivation) didefinisikan sebagai suatu dorongan yang timbul oleh adanya rangsangan dari dalam maupun dari luar sehingga seseorang berkeinginan untuk mengadakan perubahan tingkah laku/aktivitas tertentu lebih baik dari keadaan sebelumnya. (Uno, 2008). Terdapat lima tingkat kebutuhan pada seseorang (dimensi motivasi) antara lain 1) fisiologis, 2) rasa aman, 3) cinta kasih atau sosial, 4) penghargaan, dan 5) aktualisasi diri 3. Kompetensi guru (teaching competency) didefinisikan sebagai perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kafah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalitas (Mulyasa dalam Musfah, 2011). Kompetensi guru ini dapat dibagi menjadi empat kompetensi sesuai dengan UU No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen diantaranya meliputi 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi sosial, dan 4) kompetensi profesional. 1.6.2 Definisi Operasional 1. Kecerdasan emosional (emotional intelligence) didefinisikan sebagai tindak guru (laki-laki dan perempuan) pada setiap tahapan pembelajaran (perencanaan, pelaksanaan, dan evalusai) yang menunjukkan kemampuan guru dalam mengontrol, mengatur dan mengelola perasaan serta emosinya dalam menjalin hubungan guru-siswa pada kegiata belajar mengajar, yang terekam dalam observasi, wawancara, dan dokumentasi. 2. Motivasi mengajar (teaching motivation) didefinisikan sebagai tindak guru (laki-laki dan perempuan) pada setiap tahapan pembelajaran (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) serta aktivitas guru diluar tahapan pembelajaran (hubungan dengan siswa, rekan kerja, dan atasan) yang menunjukkan sikap termotivasi untuk mengajar dan bekerja demi memenuhi segala kebutuhan yang diinginkannya meliputi 1) fisiologis, 2) rasa aman, 3) cinta kasih, 4) penghargaan dan 5) aktualisasi diri, yang terekam dalam observasi, wawancara, dan dokumentasi. 3. Kompetensi guru (teaching competency) didefinisikan sebagai tindak guru (laki-laki dan perempuan) pada setiap tahapan pembelajaran (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) yang menunjukkan kemampuan guru (pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional) pada kegiatan belajar mengajar, yang terekam dalam observasi, wawancara, dan dokumentasi. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gender Gender secara umum sering diartikan sebagai hal yang membedakan lakilaki dan perempuan secara permanen, namun tidak semua mengetahui bahwa sifat gender ini dapat dipertukarkan satu sama lain dan berkembang dari waktu ke waktu. Jika dikaji lebih mendalam sifat yang secara permanen dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain adalah seks, dimana seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara fisik melekat pada masingmasing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan universal (Rostyaningsih, 2010), sedangkan gender merujuk pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga kita, masyarakat kita dan budaya kita (UNESCO, 2003). Handayani dan Sugiarti (2006) menjelaskan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari laki-laki dan perempuan (Santrock, 2007). Istilah gender ditinjau dari dimensi sosiokultural merupakan perbedaan anatara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari cara berkomunikasi dan berinteraksi. Sedangkan dari dimensi psikologi gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari kemampuan berpikir, persepsi dan memori. Maka dari itu konsep gender menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan satu sama lain dan perbedaan gender ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah perbedaan otak pria dan wanita. 2.1.3 Perbedaan Otak Pria dan Wanita Secara fisik, otak pria lebih besar daripada otak wanita (Muhammad dalam Dewi, 2011). Otak pria berukuran 10% lebih besar otak wanita. Peneltian pada 46 orang dewasa berusia 22-49 tahun menunjukkan bahwa rata-rata volume otak pria adalah 1273.6 cc sedangkan rata-rata otak wanita besarnya 1131.1 cc. Oleh karena itu, pria kurang mampu memindahkan fungsi dari satu area otak ke area lain, tetapi mudah memindahkan informasi ke sisi lain otak. Pria mudah menagkap pokok masalah dan lebih focus pada solusi. Para peneliti di Harvard menemukan bahwa bagian-bagian tertentu di dalam otak memiliki ukuran yang berbeda antara pria dan wanita, yang membantu menyeimbangkan perbedaan ukuran otak secara keseluruhan. Perbedaan ukuran pada bagian-bagian tertentu dalam otak secara keseluruhan. Perbedaan ukuran pada bagian-bagian tertentu dalam otak inilah yang pada akhirnya membuat pria dan wanita memiliki spesifikasi kemampuan yang berbeda (Muhammad dalam Dewi, 2011). 2.2 Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) Kecerdasan emosional atau emotional intelligent merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Salovey dan Mayer (dalam Goleman 2003) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Jadi kecerdasan emosional guru yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap dan sifat guru yang terekam saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar, atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai kemampuan guru saat mengatasi berbagai macam permasalahan yang terjadi ketika proses pembelajaran berlangsung yang sesuai dengan dimensi dari kecerdasan emosional itu sendiri. Kecerdasan emosional dapat dibagi menjadi 5 dasar kecakapan emosi dan sosial menurut Goleman (2003) diantaranya sebagai berikut. 1) Kesadaran diri meliputi apa yang kita rasakan suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. 2) Pengaturan diri meliputi kemampuan menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu saran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi. 3) Motivasi meliputi kemampuan untuk menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. 4) Empati meliputi kemampuan untuk merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. 5) Keterampilan sosial meliputi kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilanketerampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerjasama. 2.3 Motivasi Mengajar (Teaching Motivation) Studi motivasi difokuskan pada proses yang memberi energi, arah, dan mempertahankan perilaku (Santrock, 2007). Santrock dalam bukunya menjabarkan beberapa perspektif mengenai motivasi, diantaranya sebagai berikut. Perspektif behavioral menekankan imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi. Dalam perspektif behavioral ini dikenal istilah insentif yang diartikan sebagai peristiwa atau stimuli positif atau negatif yang dapat memotivasi seseorang. Insentif yang dapat dipakai oleh pemerintah, sekolah atau instansi terkait untuk meningkatkan motivasi seorang guru antara lain memberi penghargaan atau pengakuan seperti sertifikat prestasi, memberi kehormatan atau mengumumkan prestasi mereka, serta pemberian izin untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Perspektif humanistis menekankan kepada kapasitas seseorang untuk mengembangkan kepribadian, kebebasan untuk memilih nasib dan kualitas mereka seperti peka terhadap orang lain. Perspektif ini berkaitan erat dengan pandangan dari Abraham Maslow bahwa kebutuhan dasar tertentu harus dipuaskan dahulu sebelum memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi. Perspektif kognitif menjelaskan bahwa pemikiran seseorang dapat memandu motivasi mereka. Pada perspektif ini juga ditekankan arti penting dari penentuan tujuan, perencanaan dan monitoring kemajuan menuju suatu tujuan (Schunk et al dalam Santrock, 2007). Perspektif kognitif tentang motivasi sesuai dengan gagasan R.W. White (1959 dalam Santrock 2007) yang mengusulkan konsep motivasi kompetensi, yakni ide bahwa orang termotivasi untuk menghadapi lingkungan mereka secara efektif untuk menguasai dunia mereka dan memproses informasi secara efisien. Perspektif sosial menggambarkan tentang kebutuhan afiliasi atau keterhubungan yang dijelaskan sebagai motif untuk berhubungan dengan orang lain secara aman hal ini membutuhkan pembentukan, pemeliharaan dan pemulihan hubungan personal yang hangat dan akrab. Kebutuhan afiliasi seseorang dapat tercermin dalam motivasi mereka untuk menghabiskan waktu bersama teman, kawan dekat, keterkaitan mereka dengan orang tua dan menjalin hubungan yang positif dengan guru (Santrock, 2007). Berdasarkan perspektif tentang motivasi tersebut maka dapat dibedakan motivasi ke dalam dua jenis yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan atau mencapai tujuan. Motivasi ekstrinsik sering dipenggaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu atau tujuan itu sendiri (Santrock, 2007). Sehingga dapat dijelaskan bahwa motivasi yang ingin dikaji dalam penelitian ini merupakan suatu dorongan yang timbul oleh adanya rangsangan dari dalam maupun dari luar guru, sehingga guru berkeinginan untuk dapat melayani dan membimbing siswa menjadi lebih baik. Maslow dalam (Uno, 2008) mengemukakan lima tingkat kebutuhan pada seseorang diantaranya adalah sebagai berikut. 1) Kebutuhan Fisiologis: meliputi kebutuhan yang harus dipuaskan untu dapat tetap hidup, termasuk makanan, perumahan, pakaian dan sebagainya. 2) Kebutuhan akan Rasa Aman: meliputi kebutuhan akan keselamatana seperti polis asuransi, mendaftarkan diri masuk perserikatan pekerja dan sebagainya. 3) Kebuthan akan Cinta Kasih atau Kebutuhan Sosial: meliputi hubungan antar manusia seperti hubungan antar pribadi yang mendalam, menjadi bagian dalam berbagai kelompok sosial dan lain sebagainya 4) Kebutuhan akan Penghargaan: meliputi percaya diri dan harga diri maupun kebutuhan akan pengakuan orang lain seperti memiliki pekerjaan yang dapat diakui bermanfaat, menyediakan sesuatu yang dapat dicapai serta pengakuan umum dan kehormatan di dunia luar. 5) Kebutuhan Aktualisasi Diri: meliputi keinginan pemenuhan diri yang terjadi ketika kebutuhan lain sudah dipuaskan. Aktualisai diri adalah motivasi untuk mengembangkan potensi diri secara penuh sebagai manusia. 2.4 Kompetensi Guru (Teaching Competencey) Mengacu pada Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 pengertian dari kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru dapat diartikan sebagai gambaran tentang apa yang seyogiyanya dapat dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berprilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan (Wahyudi, 2012). Mulyasa (dalam Musfah, 2011) menjelaskan bahwa kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kafah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalitas. Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Berikut ini akan dijabarkan penjelasan dan indikator dari masing-masing kompeensi. 2.4.1 Kompetensi Pedagogik UU No.19 Tahun 2005 menjelaskan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Depdiknas dengan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjabarkan kompetensi pedagogik ke dalam beberapa aspek dan indikator sebagai berikut. Tabel 2.3 Jabaran Aspek dan Indikator Kompetensi Pedagogik Guru SMA/MA No Aspek Kompetensi Pedagogik Indikator

1 Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 1.1 Memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial-budaya. 1.2 Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu. 1.3 Mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu. 1.4 Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.

2 Menguasai teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran yang mendidik. 2.1 2.2 Memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik terkait dengan mata pelajaran yang diampu. Menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif dalam mata pelajaran yang diampu.

3 Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu. 3.1 3.2 3.3 Memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum. Menentukan tujuan pembelajaran yang diampu. Menentukan pengalaman belajar yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diampu.

3.4 Memilih materi pembelajaran yang diampu yang terkait dengan pengalaman belajar dan tujuan pembelajaran.

3.5 Menata materi pembelajaran secara benar sesuai dengan pendekatan yang dipilih dan karakteristik peserta didik.

3.6 Mengembangkan indikator dan instrumen penilaian.

4 Menyelenggarakan pembelajaran yang 4.1 Memahami prinsip-prinsip perancangan pembelajaran yang mendidik.

mendidik. 4.2 Mengembangkan komponen-komponen rancangan pembelajaran.

4.3 Menyusun rancangan pembelajaran yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam kelas, laboratorium, maupun lapangan.

4.4 Melaksanakan pembelajaran yang mendidik di kelas, di laboratorium, dan di lapangan dengan memperhatikan standar keamanan yang dipersyaratkan.

4.5 Menggunakan media pembelajaran dan sumber belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran yang diampu untuk mencapai tujuan pembelajaran secara utuh.

4.6 Mengambil keputusan transaksional dalam pembelajaran yang diampu sesuai dengan situasi yang berkembang.

5 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran. 5.1 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran yang diampu.

6 Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. 6.1 6.2 Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mendorong peserta didik mencapai prestasi secara optimal. Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik, termasuk kreativitasnya.

7 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. 7.1 7.2 Memahami berbagai strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun, secara lisan, tulisan, dan/atau bentuk lain. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dengan bahasa yang khas dalam interaksi kegiatan/permainan yang mendidik yang terbangun secara siklikal dari (a) penyiapan kondisi psikologis peserta didik untuk ambil bagian dalam permainan melalui bujukan dan contoh, (b) ajakan kepada peserta didik untuk ambil bagian, (c) respons peserta didik terhadap ajakan guru, dan (d) reaksi

guru terhadap respons peserta didik, dan seterusnya.

8 Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. 8.1 Memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu.

8.2 Menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu.

8.3 Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.

8.4 Mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.

8.5 Mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan mengunakan berbagai instrumen.

8.6 Menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan.

8.7 Melakukan evaluasi proses dan hasil belajar.

9 Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. 9.1 9.2 Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk menentukan ketuntasan belajar. Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk merancang program remedial dan pengayaan.

9.3 Mengkomunikasikan hasil penilaian dan evaluasi kepada pemangku kepentingan.

9.4 Memanfaatkan informasi hasil penilaian dan evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

10 Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. 10.1 Melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. 10.2 Memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan pengembangan pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampu. 10.3 Melakukan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampu.

(Sumber: Depdiknas, 2007) 2.4.2 Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian dijelaskan sebagai kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Depdiknas dengan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjabarkan kompetensi kepribadian ke dalam beberapa aspek dan indicator sebagai berikut. Tabel 2.4 Jabaran Aspek dan Indikator Kompetensi Kepribadian Guru SMA/MA No Aspek Kompetensi Kepribadian Indikator

1 Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. 1.1 Menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adatistiadat, daerah asal, dan gender.

1.2 Bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan kebudayaan nasional Indonesia yang beragam.

2 Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat 2.1 2.2 Berperilaku jujur, tegas, dan manusiawi. Berperilaku yang mencerminkan ketakwaan dan akhlak mulia.

2.3 Berperilaku yang dapat diteladan oleh peserta didik dan anggota masyarakat di sekitarnya.

3 Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. 3.1 Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil.

3.2 Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa.

4 Menunjukkan etos kerja, 4.1 Menunjukkan etos kerja dan

tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. 4.2 tanggung jawab yang tinggi. Bangga menjadi guru dan percaya pada diri sendiri.

4.3 Bekerja mandiri secara profesional.

5 Menjunjung tinggi kode etik profesi guru. 5.2 Memahami kode etik profesi guru.

5.3 Menerapkan kode etik profesi guru.

5.4 Berperilaku sesuai dengan kode etik profesi guru.

(Sumber: Depdiknas, 2007) 2.4.3 Kompetensi Sosial Kompetensi sosial dijelaskan sebagai kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Depdiknas dengan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjabarkan kompetensi sosial ke dalam beberapa aspek dan indikator sebagai berikut. Tabel 2.5 Jabaran Aspek dan Indikator Kompetensi Sosial Guru SMA/MA No Aspek Kompetensi Sosial Indikator

1 Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. 1.1 Bersikap inklusif dan objektif terhadap peserta didik, teman sejawat dan lingkungan sekitar dalam melaksanakan pembelajaran. 1.2 Tidak bersikap diskriminatif terhadap peserta didik, teman sejawat, orang tua peserta didik dan lingkungan sekolah karena perbedaan agama, suku, jenis kelamin, latar belakang keluarga, dan status

sosial-ekonomi.

2 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. 2.1 2.2 Berkomunikasi dengan teman sejawat dan komunitas ilmiah lainnya secara santun, empatik dan efektif. Berkomunikasi dengan orang tua peserta didik dan masyarakat secara santun, empatik, dan efektif tentang program pembelajaran dan kemajuan peserta didik.

2.3 Mengikutsertakan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik.

3 Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya. 3.1 Beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka meningkatkan efektivitas sebagai pendidik.

3.2 Melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan.

4 Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. 4.1 Berkomunikasi dengan teman sejawat, profesi ilmiah, dan komunitas ilmiah lainnya melalui berbagai media dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.

4.2 Mengkomunikasikan hasilhasil inovasi pembelajaran kepada komunitas profesi sendiri secara lisan dan tulisan maupun bentuk lain.

(Sumber: Depdiknas, 2007) 2.4.4 Kompetensi Profesional Kompetensi profesional dijelaskan sebagai kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Depdiknas dengan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjabarkan kompetensi profesional ke dalam beberapa aspek dan indicator sebagai berikut. Tabel 2.6 Jabaran Aspek dan Indikator Kompetensi Profesional Guru SMA/MA No Aspek Kompetensi Sosial Indikator

1 Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. 1.1 Memahami konsep-konsep, hukum-hukum, dan teoriteori fisika serta penerapannya secara fleksibel. 1.2 Memahami proses berpikir fisika dalam mempelajari proses dan gejala alam. 1.3 Menggunakan bahasa simbolik dalam mendeskripsikan proses dan gejala alam. 1.4 Memahami struktur (termasuk hubungan fungsional antar konsep) ilmu Fisika dan ilmu-ilmu lain yang terkait. 1.5 Bernalar secara kualitatif maupun kuantitatif tentang proses dan hukum fisika. 1.6 Menerapkan konsep, hukum, dan teori fisika untuk menjelaskan fenomena biologi, dan kimia. 1.7 Menjelaskan penerapan

hukum-hukum fisika dalam teknologi terutama yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

1.8 Memahami lingkup dan kedalaman fisika sekolah.

1.9 Kreatif dan inovatif dalam penerapan dan pengembangan bidang ilmu fisika dan ilmu-ilmu yang terkait.

1.10 Menguasai prinsip-prinsip dan teori-teori pengelolaan dan keselamatan kerja/belajar di laboratorium fisika sekolah.

1.11 Menggunakan alat-alat ukur, alat peraga, alat hitung, dan piranti lunak komputer untuk meningkatkan pembelajaran fisika di kelas, laboratorium, dan lapangan.

1.12 Merancang eksperimen fisika untuk keperluan pembelajaran atau penelitian.

1.13 Melaksanakan eksperimen fisika dengan cara yang benar.

1.14 Memahami sejarah perkembangan IPA pada umumnya khususnya fisika dan pikiran-pikiran yang mendasari perkembangan tersebut.

2 Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu. 2.1 Memahami standar kompetensi mata pelajaran yang diampu.

2.2 Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.

2.3 Memahami tujuan pembelajaran yang diampu.

3 Mengembangkan materi 3.1 Memilih materi pembelajaran

pembelajaran yang diampu secara kreatif. yang diampu sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.

3.2 Mengolah materi pelajaran yang diampu secara kreatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.

4 Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. 4.1 Melakukan refleksi terhadap kinerja sendiri secara terus menerus.

4.2 Memanfaatkan hasil refleksi dalam rangka peningkatan keprofesionalan.

4.3 Melakukan penelitian tindakan kelas untuk peningkatan keprofesionalan.

4.4 Mengikuti kemajuan zaman dengan belajar dari berbagai sumber.

5 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. 5.1 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam berkomunikasi.

5.2 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengembangan diri.

(Sumber: Depdiknas, 2007) 2.5 Hasil Penelitian yang Relevan Peneitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan terhadap beberapa hasil penelitian yang relevan terhadap variabel yang hendak diteliti diantaranya kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru yang ditinjau berdasarkan gender dalam pembelajaran fisika. Pertama, Nabwire (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa gender guru berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa karena persepsi siswa bukan melihat berdasarkan kemampuan guru dalam mengajar, melainkan melihat gender dari pada guru tersebut dan kemampuannya dalam berinteraksi. Selain itu guru perempuan pada penelitian ini ditemukan lebih tangguh dan lebih mandiri dibandingkan dengan guru laki-laki. Hal ini terlihat dari kemampuan guru prempuan dalam menggunakan waktunya secara optimal dan penuh persiapan seperti membuat rancangan pembelajaran, tidak seperti guru laki-laki yang hanya repot ketika menit-menit terakhir dalam persiapan Kedua, Anbuthasan dan Balakrishnan (2013) dalam penelitianya menemukan bahwa guru perempuan secara signifikan memiliki kompetensi mengajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru laki-laki, karena guru perempuan lebih sadar akan kewajibannya, bertanggungjawab, memiliki komitmen yang tinggi, berdedikasi dan memiliki aspirasi yang professional dai pada guru laki-laki. Ketiga, Gatzini (2014) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa motivasi guru diakibatkan oleh adanya pengawasan kerja, tugas, tanggugjawab dan bagaimana upaya guru tersebut untuk diakui dan dihormati, sehingga dapat disimpulkan bahwa lingkungan kelas yang kondusif dapat membuat siswa berupaya untuk mencapai dan meraih kesuksesan, selain itu guru juga akan memperoleh manfaat dari lingkungan pengajaran yang menarik karena kelas merupakan tempat yang tidak hanya digunakan untuk mengajar tetapi juga untuk penciptaan makna. Keempat, Nzulwa (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa prilaku profesional dan prestasi kerja sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi, sehingga dibutuhkan tinjauan mengenai sesuatu yang dapat memotivasi guru di sekolah dan menyelaraskannya dengan keperluan atau apa yang dibutuhkan guru. Seperti pengembangan pekerjaan, kesempatan promosi, kenaikan gaji, bonus, pelatihan penilaian dan saluran komunikasi perlu dibenahi serta pelayanan kesejahteraan perlu diperhatikan. Jadi singkatnya pemerintah harus menempatkan sistem manajemen yang etis dan profesional karena sistem manajemen yang etis akan mampu menggambarkan kebutuhan motivasi guru berdasrkan semua permasalahan kesejahteraan yang dihadapi oleh guru. Kelima, Kant (2014) menemukan bahwa kecerdasan emosional sangat berperan penting dalam motivasi mengajar, karena mengajar merupakan profesi yang didasari oleh emosi, jadi ketika guru merasa senang secara emosional atau menyukai kewajibannya, maka mereka akan bekerja dengan sangat baik. Jika emosional guru tersebut kuat atau stabil mereka akan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi di kelas dengan sangat baik. Keenam, Babatunde et al (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan motivasi kerja terhadap produktivitas guru, selain itu kecerdasan emosional dan motivasi kerja memiliki pengaruh komposit dan kontribusi relatif terhadap produktivitas guru, artinya kecerdasan emosional dan motivasi kerja dapat menggambarkan produktivitas guru. Ketujuh, berdasarkan penelitiannya Eros (2014) menemukan bahwa 1) Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara motivasi kerja guru terhadap kinerja guru. Besarnya pengaruh motivasi terhadap kinerja guru adalah 61,1%. 2) Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kedisiplinan kerja guru terhadap kinerja guru. Besarnya pengaruh kedisiplinan dan kinerja guru adalah 55,9%. 3) Terdapat pengaruh secara simultan antara motivasi kerja guru dan kedisiplinan kerja guru dengan kinerja guru. Besarnya pengaruh kedua variabel tersebut terhadap kinerja guru adalah 66,9 %. Kedelapan, Kaniaru et al (2014) dalam penelitianya menemukan bahwa 91% guru mengakui tidak puas dengan gaji pokok yang diberikan sedangkan 9% mengatakan puas dengan gajinya, gaji dan kenaikan gaji ini ditentukan pada tingkat Nasional sedangkan pada tingkat masing-masing sekolah menentukan seberapa pengakuan mereka terhadap kinerja guru-gurunya, yakni dengan cara pengembangan kerja, promosi, proyek dan pelatihan, akan tetapi dari manajemen yang dilakukan sekolah 78% guru menegaskan bahwa kenaikan gaji mereka setelah promosi tidak signifikan dan 65% guru tidak menerima imbalan tambahan selain gaji pokok mereka, selain itu hanya 22% guru yang telah mendapatkan pelatihan yang disponsori, dan hanya 56% guru yang mengaku bahwa manajemen sekolah telah mengakui prestasi kerja mereka. Kesembilan, Odiembo dan Simatwa (2014) menemukan bahwa Gender guru matematika menyumbang pengaruh yang kecil terhadap prestasi akademik siswa, karean dalam beberapa kasus ditemkan terkadang guru perempuan lebih baik dari pada guru laki-laki dan sebaliknya. 2.6 Kerangka Berfikir Pembelajaran merupakan proses kegiatan yang kompleks, banyak faktor yang berperan penting demi terlaksananya pembelajaran yang kondusif, efektif dan sesuai harapan yang diinginkan. Salah satu komponen utama demi terciptanya pembelajaran yang diharapkan adalah faktor guru. Guru sebagai tenaga pendidik dengan berbagai karakteristiknya merupakan titik sentral dalam proses pembelajaran karena peran guru sangat penting demi terlaksananya pembelajaran. Gender merupakan salah satu aspek yang digunakan oleh siswa untuk membedakan guru, guru sebagai tenaga pendidik secara umum dibedakan menjadi dua berdasarkan gender yaitu guru laki-laki dan guru perempuan. Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Adanya perbedaan gender ini akan mengakibatkan adanya perbedaan di berbagai aspek kehidupan seseorang, terdapat banyak aspek yang dapat dikaji untuk mengetaui seberapa mirip atau berbedakah laki-laki dan perempuan. Misalnya berdasarkan aspek penampilan fisik, keahlian matematika dan sains, kemampuan verbal, persepsi, tindakan serta emosional dan intelektual. Laki-laki lebih cenderung unggul dalam mengontrol emosionalnya, kegiatan olahraga, pemikiran dan sains, sedangkan anak perempuan lebih unggul dalam kecakapan verbal, perasaan, dan perhitungan dalam tugas-tugas tradisional perempuan seperti memasak dan menjahit. Adanya perbedaan gender ini tentu akan menimbulkan adanya pandangan yang berbeda di masyarakat, akan tetapi seperti yang kita ketahui bersama gender pada zaman modern ini tidaklah bersifat kaku seperti dahulu, melainkan gender beserta seluruh karakteristiknya adalah status sosial yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Ditinjau dari segi pendidikan khususnya pada proses pembelajaran, peran gender ini tentu memiliki kontribusi yang berperan untuk terlaksananya proses pembelajaran. Guru laki-laki lebih mampu mengontrol emosinya ketika pembelajaran berlangsung, tegas, lebih rasional, dan objektif, sedangkan guru perempuan cenderung lebih menggunakan perasaannya dalam melakukan sesuatu, sehingga kurang baik dalam mengontrol emosinya, lebih fleksibel/plin plan, cerewet dan subjektif. Perbedaan mendasar antara guru laki-laki dan perempuan ini tentu dapat dipertukarkan sesuai konsep gender itu sendiri dan berkembang sesuai dengan perkembangan otak antara laki-laki dan perempuan. Terjadinya dominasi terhadap salah satu otak pada seseorang tidak dapat dihindari, terdapat orang yang cenderung lebih mengasah dan mengunakan kemampuan otak kanan dan ada pula orang yang lebih cenderung mengasah dan mengunakan otak kirinya. Inilah sebabnya kenapa seseorang memiliki kecerdasan dan intelektualitas yang berbedabeda satu sama lain sekalipun terlahir kembar. Seseorang dengan dominasi otak kiri merupakan orang yang berfikir secara detail dalam artian lebih rinci dan mendalam untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, sedangkan orang dengan dominasi otak kanan merupakan seseorang yang berfikir secara kreatif dalam artian memiliki banyak ide-ide kreatif untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Guru dalam tugasnya sebagai tenaga pendidik dituntut untuk profesional dalam menyelenggarakan proses pembelajaran baik itu persiapan, pelaksanaan maupun evaluasi. Profesionalitas guru ini dapat tercermin dari kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru itu sendiri. Tentu saja profesionalitas antar guru tidaklah sama karean dipengaruhi oleh perkembangan otak, situasi sosial, lingkungan dan karakteristik masing masing guru. Berdasarkan paparan diatas maka dipandang perlu untuk menganalisis kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kommpetensi guru yang ditinjau dari segi gender dalam pembelajaran fisika. Secara ringkas paparan diatas disajikan dalam bentuk bagan dibawah ini. Bagan Keranga Berfikir Analisis Kecerdasan Emosional, Motivasi Mengajar dan Kompetensi Guru Ditinjau Dari Segi Gender. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Berdasarkan karakteristik permasalahan yang diteliti penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif karena permasalahan belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif dengan instrumen seperti test atau kuisioner. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentag apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya (Moleong, 2006). Filosofi penelitian kualitatif dalam suatu penelitian merupakan kegiatan yang berusaha mengamati, menganalisis, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi suatu kejadian secara alamiah (Moleong, 2006). Kejadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru dalam pembelajaran fisika yang ditinjau daari segi gender. Karakteristik penelitian kualitatif menurut Moleong (2006) adalah sebagai berikut. 1. Peneliti terlibat langsung dalam kancah penelitian untuk melakukan observasi, wawancara mendalam, diskusi, pengukuran langsung, serta mempelajari dokumen-dokumen yang ada yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. 2. Peneliti menjadi instrumen utama agar dapat mengumpulkan data seobjektif mungkin. Manusia sebagai instrumen dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, dan hanya manusia yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. 3. Data bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan adalah dalam bentuk kata-kata atau gambar. Laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran yang diperoleh melalui naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dan dokumen-dokumen. 4. Analisis data bersifat induktif. Melalui teknik ini, penulis dapat menguraikan latar secara penuh dan membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel. 5. Lebih mementingkan proses daripada hasil karena hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Definisi di atas menunjukkan beberapa kata kunci dalam penelitian kualitatif, yaitu: proses, pemahaman, kompleksitas, interaksi, dan manusia. Proses dalam melakukan penelitian merupakan penekanan dalam penelitian kualitatif. Oleh karena itu, dalam melaksanakan penelitian, peneliti lebih berfokus pada proses dari pada hasil akhir. Proses yang dilakukan dalam penelitian ini memerlukan waktu dan kondisi yang berubah-ubah maka definisi penelitian ini akan berdampak pada desain penelitian dan cara-cara dalam melaksanakannnya yang juga berubah-ubah atau bersifat fleksibel. 3.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni: (1) tahap pra lapangan yang meliputi observasi awal dan penyusunan instrumen, (2) tahap lapangan yaitu pengambilan data penelitian, dan (3) tahap pasca lapangan yang meliputi analisis data dan pelaporan hasil penelitian. Realisasi teknis setiap tahap tersebut dijelaskan dalam bagan dibawah ini. Observasi Awal Penyusunan Instrumen Pengambilan Data

Pelaporan Hasil Analisis Data

1) Observasi Awal Tahap observasi awal ke sekolah dimaksudkan untuk mengurus perizinan dan melaksanakan penjajagan di SMA N 1 Sawan. Hal ini dilakukan untuk lebih mengenal situasi sosial dan keadaan lingkungan di SMA N 1 Sawan, selain itu dilakukan pula penggalian informasi pada siswa dan kepala sekolah terkait sikap dan sifat guru saat melakukan proses pembelajaran dan diluar jam pelajaran. Tahap observasi ini juga dijadikan sebagai langkah awal pneliti memberikan kesan terhadap subjek penelitian untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan seperti hari efektif mengajar dan kelas yang diampu. 2) Penyusunan Instrumen Penelitian Penyusunan instrumen penelitian dimaksudkan untuk merancang instrumen yang memudahkan atau membantu peneliti untuk menjaring informasi yang ingin dicari berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan. Informasi yang hendak dicari adalah kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru. Adapun instrumen yang dimaksud antara lain meliputi penyusunan pedoman wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta dalam proses pencarian informasi akan dikembangkan instrumen berskala tingkat untuk kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi dari masing-masing variabel peelitian. 3) Pengambilan Data Proses pengambilan data dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang diinginkan berdasarkan observasi dan instrumen yang telah disiapkan. Peneliti memperhatikan, mengamati dan mengkritisi bagaimana tindakan guru fisika didalam kelas pada saat melaksanakan proses pembelajaran dan diluar ketika berinteraksi dengan warga sekolah, pada tahap ini dilakukan observasi, dokumentasi dan wawancara untuk memperoleh informasi yang dimaksud (kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru) yang terrekam berdasarkan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan guru fisika dalam proses pembelajaran. Proses pengumpulan data ini juga tidak terlepas dari alat-alat yang akan digunakan oleh peneliti yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Alat penelitian yang penting yang biasanya digunakan adalah catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan yang dibuat oleh peneliti sewaktu mengadakan pengamatan, wawancara, dan menyaksikan suatu kejadian tertentu. Disamping itu, peneliti juga menggunakan alat bantu lain, yaitu kamera, perekam suara, dan handycam. 4) Analisis Hasil Data Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sehingga dianalisis secara kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013), aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga data yang diteliti dapat dikatakan jenuh. Data-data yang dimaksud diatas meliputi kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru serta dimensi-dimensinya yang telah diteliti berdasarka proses pengambilan data. 5) Pelaporan Hasil Pengamatan Kegiatan pada tahap pasca lapangan adalah analisis data lanjutan, pengambilan simpulan akhir, konfirmasi, dan penyusunan laporan. Kegiatan analisis data lanjutan dilakukan setelah keseluruhan data terkumpul dan setelah kegiatan pengumpulan data di lapangan berakhir. Kegiatan dilakukan sampai diperoleh simpulan akhir. Pada kegiatan ini, dilakukan pula konfirmasi tentang temuan penelitian pada subjek penelitian dan juga pada pakar (dalam hal ini kepada dosen pembimbing). Kegiatan akhir pada tahap pasca lapangan adalah penulisan laporan. Laporan ditulis tahap demi tahap dengan melakukan diskusi terlebih dahulu dengan teman sejawat, serta beberapa dosen, untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. 3.3 Situasi Sosial Penelitian kualitatif mengenal istilah situasi sosial (social situation) yang meliputi tempat penelitian (place), pelaku (actor), dan aktivitas peneliti (activity) yang saling berinteraksi secara sinergis. SMA N 1 Sawan sebagai tempat penelitian untuk meneliti tingkat kecerdasan emosional, motivasi mengajar serta kompetensi guru (laki-laki dan perempuan) dalam pembelajaran fisika. Berikut ini paparan mengenai ketiga komponen situasi sosial tersebut. 3.3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sawan yang terletak di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. SMA Negeri 1 Sawan merupakan salah satu sekolah yang terletak dibagian timur kabupaten singaraja yang mencantumkan pelajaran fisika disalah satu mata pelajaran yang ada di sekolah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling, dengan dasar pertimbangan: (1) SMA Negeri 1 Sawan memiliki tenaga pendidik laki-laki dan perempuan khususnya pada matapelajaran fisika, (2) SMA Negeri 1 Sawan terkenal sebagai sekolah yang berbuadaya, ramah, sopan dan santun, sehingga peneliti ingin mengungkap kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kometensi guru dalam pembelajaran fisika yang ditinjau dari segi gender, dan (3) lokasi SMA Negeri 1 Sawan merupakan tempat peneliti melaksanakan kegiatan PPL-Real sehingga situasi sosial, fisik dan lingkungan sekolah telah diketahui yang nantinya akan mempermudah peneliti dalam proses pengumpulan informasi. Penelitian ini dilaksanakan pada awal Januari 2015, yaitu pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. 3.3.2 Pelaku Penelitian Pelaku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subjek dan objek penelitian. Subjek yang diteliti adalah beberapa guru fisika (laki-laki dan perempuan) yang mengajar di SMA Negeri 1 Sawan. Sedangkan objek yang diteliti adalah kecerdasan emosional guru baik didalam kelas maupun diluar kelas, motivasi guru untuk mengajar serta kompetensi yang dimiliki oeh guru tersebut. 3.3.3 Aktivitas Penelitian Aktivitas penelitian yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data mengenai tingkat kecerdasan emosional, motivasi mengajar serta kompetensi guru yang dimiliki oleh guru laki-laki dan perempuan. Pada tahap ini peneliti melakukan observasi awal secara langsung dengan memperhatikan bagaimana guru fisika yang menjadi subjek penelitian mengajar di kelas, selanjutnya melakukan wawancara mendalam dengan gueu, kepala sekolah, wakasek dan siswa serta melakukan studi dokumen untuk mengetahui rencana kegiatan pembelajaran fisika yang berlangsung. Data yang diperoleh melalui hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi diidentifikasi untuk memudahkan dalam menganalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada tahap ini, peneliti menyajikan data dalam bentuk deskripsi, menganalisis data sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menarik kesimpulan. 3.4 Data dan Sumber Data Penelitian 3.4.1 Data Penelitian Data penelitian mengacu pada materi mentah yang dikumpulkan oleh peneliti dari subjek dan objek yang sedang diteliti, yaitu berupa fakta-fakta yang dikumpulkan untuk digunakan sebagai materi analisis. Materi yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu: (1) transkripsi dan catatan lapangan dari hasil pengamatan kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru dalam pembelajaran fisika yang ditinjau dari segi gender, (2) data transkrip hasil wawancara dengan guru berupa alasan-alasan yang melatarbelakangi pembelajaran yang dilakukannya, kendala-kendala, serta upaya dalam mengatasi kendala tersebut, dan (3) data transkrip hasil wawancara dengan siswa sebagai bentuk triangulasi kesesuaian data transkrip hasil wawancara dengan guru. Data kualitatif ini diperoleh melalui wawancara (data kata-kata dari narasumber dan transkrip wawancara), dokumentasi (isi dokumen), dan observasi (transkrip video/tape recorder) yang telah dituangkan dalam kata-kata. 3.4.2 Sumber Data Penelitian Data penelitian ini diperoleh dari guru, siswa dan kepala sekolah. Guru yang dijadikan sebagai sumber data penelitian adalah guru (laki-laki dan perempuan) yang mengajar fisika di SMA Negeri 1 Sawan, sedangkan siswa dan kepala sekolah akan dijadikan sebagai triangulasi data dari informasi yang diperoleh dari guru yang bersangkutan. Jumlah sumber data penelitian kualitatif ditentukan secara purposive sampling (Sugiyono, 2013). Sumber data yang lain adalah foto, video, recording dan dokumen terkait. 3.5 Instrumen Penelitian Penelitian kualitatif mengenal istilah peneliti sebagai instrumen kunci, artinya peneliti sendiri yang menjadi instrumen penelitian dalam melakukan penelitian ini, karena untuk memperoleh informasi atau data terkait fokus penelitian yaitu kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru peneliti secara langsung terjun kelapangan untuk melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi terhadap sumber data. Peneliti sebagai instrumen kunci nantinya akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data dan alatalat bantu untuk memaksimalkan kinerja peneliti 3.6 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada dasarnya merupakan serangkaian proses yang dilakukan sesuai dengan metode penelitian yang dipergunakan (Suharsaputra, 2012). Terdapat 4 teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif diantaranya adalah observasi, wawancara, dokumentasi, serta teknik tambahan. 1. Observasi Observasi merupakan suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis. Observasi merupakan cara pengumpulan data yang paling andal dalam penelitian kualitatif karena dengan observasi peneliti dapat secara langsung melihat dan mengamati setting lingkungan serta kegiatan secara rinci sehingga pemahaman peneliti akan situasi akan lebih komprehensif (Suharsaputra, 2012). Kegiatan yang dimaksud dalam melakukan observasi adalah langkah yang dilakukan peneiti untuk menjaring informasi, yaitu melihat, mengamati, mendengar dan mencermati segala tindak guru didalam kelas saat proses pembelajaran berlangsung dengan berbagai alat bantu yang digunakan peneliti seperti pedoman observasi, check list dan alat perekam (kamera dan tape rekorder) yang telah disiapkan sebelumnya, sehingga peneliti dapat menarik suatu simpulan atau diagnosis sementara mengenai kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru berdasarkan apa yang telah peneliti lihat, amati, dengar dan cermati. 2. Wawancara Wawancara dilakukan pada penelitian kualitatif karena banyak hal yang tidak dapat diamati atau diobservasi secara langsung, seperti perasaan, pikiran motif serta pengalaman masa lalu responden/informan. Metode pengupulan data melalui wawancara dimaksudkan untuk lebih mendalami suatu kejadian atau kegiatan subjek penelitian. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan terhadap sumber data penelitian yaitu, guru, siswa, dan kepala sekolah dengan menggunakan beberapa alat bantu diantaranya; pedoman wawancara, check list, dan alat perekam (kamera dan tape recorder) yang disusun sebelumnya oleh peneliti terkait fokus penelitian yakni kecerdasan emosional, moivasi mengajar dan kompetensi guru. Wawancara terhadap guru ditujukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru dalam pembelajaran fisika, sedangkan wawancara tehadap siswa dan kepala sekolah ditujukan untuk triangulasi kebenaran data yang diperoleh. 3. Dokumentasi Dokumentasi diperlukan untuk memperkuat informasi atau data yag diperoleh dari hasil penelitian, dengan kata lain dokuentasi dijadikan suatu bukti yang memperkuat informasi atau data hasil penelitian. Selain itu, dokumentasi juga digunakan untuk mengecek kembali bila ada data yang belum tercatat maupun bila ada data yang meragukan pada saat observasi dilaksanakan. Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dokumendokumen terkait, seperti RPP, silabus, LKS, modul, jadwal praktikum dan rubrik evaluasi ketercapaian tujuan pembelajaran yang menggambarkan kompetensi yang dimiliki guru serta tingkat motivasi dan emosional guru tersebut dalam mengajar untuk selanjutnya dianalisis hubungannya dengan fokus penelitian. 4. Teknik Tambahan Teknik tambahan merupakan pendekatan yang membantu interpretasi, elaborasi atau menguatkan data yang dihasilkan dari observasi, wawancara dan dokumentasi (Suharsaputra, 2012). Teknik tambahan yang dimaksud adalah instrumen sederhana dengan skala bertingkat yang akan disusun peneliti sesuai fokus penelitian yakni kecerdasan emosional, motivasi mengajar dan kompetensi guru berdasarkan dimensi-dimensi dari masing-masing fokus penelitian. 3.7 Teknik Analisis Data Pada penelitian kualitatif, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitaitif dimana analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan, dan setelah selesai dilapangan (Sugiyono, 2013). Analisis data yang dilakukan sebelum memasuki lapangan adalah pegumpulan data berupa teori-teori yang terkait dengan berbagai hal mengenai kecerdasan emosional, motivasi mengajar serta kompetensi guru. Analisis data dilapangan meliputi tiga tahapan yaitu: 1) Data reduction (reduksi data), pada tahapan ini peneliti mencatat dan merinci data yang diperoleh. Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi (Sugiyono, 2013). 2) Data display, pada tahap ini peneliti menyajikan data yang diperoleh, penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowcart, dan sejenisnya, sehingga dengan menyajikan data akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan data yang sudah dipahami tersebut (Sugiyono, 2013). 3) Conclusion drawing/verification, pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan awal dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan dapat berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya (Sugiyono, 2013). Analisis data yang dilakukan setelah selesai dilapangan adalah penyajian data yang telah dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya serta menganalisis hubungan-hubungan di antara data-data yang telah diperoleh. 3.8 Pengujian Keabsahan Data Pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif menggunakan istilah yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Uji keabsahan data pada penelitian kualitatif meliputi Credibility, Transferability, Dependability dan Comfirmability (Sugiyono, 2013). a) Credibility (validitas internal) adalah untuk mengukur kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif. Uji kredibilitas data dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, member check, dan analisis kasus negative b) Transferability (validitas eksternal) adalah derajat ketepatan/dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi/sampel yang diamati. c) Dependability (reliabilitas). Suatu penelitian yang reliable yaitu apabila orang lain dapat mengulangi/meriplikasi proses penelitian tersebut. Uji dependability dilakukan dengan mengaudit keselurahan data. d) Comfirmability (obyektifitas). Penelitian dikatakan obyektif jika sudah disetujui oleh banyak orang. Metode yang diguakan dalam uji keabsahan data adalah triangulasi data triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2013: 330). Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang (Rahardjo, 2010). Sehingga dapat dijelaskan triangulasi merupakan usaha atau kegiatan mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data (Rahardjo, 2010). DAFTAR PUSTAKA Aca, W. 2013. Kontribusi kompetensi profesional, supervisi pendidikan dan iklim kerja terhadap kinerja guru SMP Negeri 2 Amlapura. Tesis (tidak diterbitkan). Program Studi Administrasi Pendidikan Pascasarjana Undiksha. Anbuthasan, A. & Balakrishnan, V. 2013. Teaching competency of teacher in relation to gender, age and locality. International Journal of Teacher Educational Research. 2(1): 31-35. Tersedia pada: http//:www.ijter.com. Diakses pada 26 Mei 2014. Babatunde, M. M., James, O. O., Ifeanyi, N. O. & Olanrewaju, M. K. 2014. Work motivation and emotional intelligence as correlates of secondary school teacher' productivity in South Western Nigeria. Multilingual Academic Journal of Education and Social Science. 2(1): 42-56. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.6007/MAJESS/v2-i1/1017. Diakses pada 29 September 2014. Depdiknas. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2005. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Depdiknas. Dewi, P. 2011. Kemampuan pemecahan masalah fisika ditinjau dari segi gender siswa kelas x semester genap SMA Negeri di Kota Singaraja. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Undiksha. Ekawati, A. & Wulandari, S. 2011. Perbedaan jenis kelamin terhadap kemampuan siswa dalam mata pelajaran matematika (studi kasus sekolah dasar). Jurnal Socioscienta Kopertis. 3(1):-. Tersedia pada: http://kopertis11.net. Diakses pada 28 September 2014. Eros, E. 2014. Pengaruh motivasi dan kedisiplinan kerja guru terhadap kinerja guru di SMP Negeri Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Jurnal Administrasi Publik dan Birokrasi. 1(1):1-12. Tersedeia pada http://pasca.ut.ac.id/journal. Diakses pada 20 Oktober 2014. Efivanias, H. 2012. Ada guru dapat nilai nol saat UKG. Artikel . Tersedia pada: www.tribunnews.com. Diakses pada 21 September 2014. Gatsinzi, P. 2014. Work and school related variables in teacher motivation in Gasabo District, Rwanda. Journal of Education and Training. 1(2). 262-275 Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.5296/jet.v1i2.4747. Diakses pada 18 September 2014. Goleman, D. 2003. Kecerdasan emosional untuk mencapai puncak prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Handayani, T. & Sugiarti. 2006. Konsep dan teknik penelitian gender. Malang: UMM Press. Kaniaru, S. W., Kiarie, C. W. & Thinguri, R. W. 2014. The total reward concept: Key to teachers motivation of public primary school in Kenya, a case study of Mathira East District. The International Journal of Humanities and Social Studies (IJHSS). 2(6): 13-18. Tersedia pada http://www.theijhss.com. Diakses pada 20 Oktober 2014. Kant, R. 2014. A study of emotional intelligence and teaching motivation of secondary school teachers in relation to their gender and stream. Academia Journal of Educational Research. 2(3): 039-043. Tersedia pada http://academiapublishing.org/ajer/pdf/2014/March/Kant.pdf. Diakses pada 7 Maret 2014. Kemendikbud. 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud. Levi, C. 2012. Guru di Papua hanya 7 persen lolos sertifikasi. Artikel . Tersedia pada: www.tempo.com. Diakses pada 21 September 2014. Moleong, L. J. 2006. Metodelogi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Musfah, J. 2011. Peningkatan kompetensi guru: Melalui pelatihan dan sumber belajar teori dan praktik. Jakarta: Kencana. Nabwire, J. L. 2014. Influence of teachers gender on student performance in biology in secondary school in Kenya. International Journal of Advanced Research. 2(2): 178-186. Tersedia pada: http://journalijar.com. Diakses pada 7 Maret 2014. Nzulwa, J. 2014. Motivational factors affecting high school teachers professional conduct and work performance: A case of public high schools in Nairobi City. International Journal of Humanities and Social Science. 4(3):60-66. Tersedia pada: http://www.ijhssnet.com. Diakses pada 24 September 2014. Odiembo, E. J. A., & Simatwa, E. M. W. 2014. The relationship between secondary school mathematics teacher age, gender and students academic achievement in mathematics in Kenya: A case study of Muhoroni Sub County. Educational Research. 5(7): 225-240. Tersedia pada http://www.interesjournals.org/ER. Diakses pada 25 Oktober 2014. Pardede, D. 2013. Hasil uji kompetensi guru (UKG) hanya 4.25. Artikel . Tersedia pada: www.tribunnews.com. Diakses pada 21 September 2014. Purba, S. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalitas mengajar guru pendidikan vokasi di Indonesia. Artikel . Tersedia pada: http://digilib.unimed.ac.id. Diakses pada 30 Mei 2014. Rahardjo, M. 2010. Triangulasi dalam penelitian kualitatif. Makalah . Tersedia pada: http://mudjiarahardjo.com. Diakses pada 1 Oktober 2014. Rostyaningsih, D. 2010. Konsep gender. Makalah (Ketika mennyampaikan seminar di Universitas Diponogoro). Tersedia pada: http://admpublik.fis ip.undip.ac.id. Diakses pada 28 September 2014. Santrock, J. W. 2007. Psikologi pendidikan. Jakarta: Kharisma Putra Utama Schutz, P. A. & Pekrun, R. 2007. Emotion in education. United States of America: Academic Press. Sugiyono. 2013. Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suharsaputra, U. 2012. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan tindakan. Bandung: Refika Aditama. Sukardi. 2003. Metodelogi penelitian pendidikan (Kompetensi dan praktiknya). Yogyakarta: Bumi Aksara. Tanang, H. & Abu, B. 2014. Teacher professionalism and professional development practices in South Sulawesi, Indonesia. Journal of Curriculum and Teaching. 3(2):25-42. Tersedia pada: http://www.sciedu.ca. Diakses pada 24 September 2014. UNESCO. 2003. UNESCOs Gender Mainstreaming Implementation Framework. Artikel . Tersedia pada: http://www.unesco.org. Diakses pada 28 September 2014. Uno, H. B. 2008. Teori motivasi & pengukurannya (Analisis di bidang pendidikan). Jakarta: PT Bumi Aksara. Wahyudi, I. 2012. Panduan lengkap uji sertifikasi guru. Jakarta: PT. Pustakaraya. 1 1 32