ref gd editan 2
DESCRIPTION
graves diseaseTRANSCRIPT
GRAVE’S DISEASE
I. PENDAHULUAN
Penyakit Graves (goiter difusa toksik) merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh
produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan
gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati
(eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.1,2,4,5
Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua
terbesar setelah diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease)
merupakan penyebab hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh
Plummer’s disease, dengan perbandingan 60% karena Graves disease dan 40%
karena Plummer’s disease. 3
Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825,
kemudian Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840.
Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari
berbagai klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP
Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1
dan di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP
Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 – 30 tahun (41,73%), tetapi
menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30 – 40 tahun.3,7,
Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999
diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian
hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44%
– 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Di AS
diperkirakan 0,4% populasi menderita GD, biasanya sering pada usia di bawah 40
tahun. 8
1
Pengobatan penderita hipertiroid sangat komplek, dan masih banyak
perbedaan pendapat dari para ahli tentang cara terbaik dalam pengobatan. Faktor
seks, umur, berat ringannya penyakit, penyakit lain yang menyertainya,
penerimaan penderita serta pengalaman dari pengelolah harus dipertimbangkan.
Berdasarkan uraian di atas penulis ingin membahas lebih dalam mengenai GD. 6,9,10
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya
memiliki berat 15 - 20 gram. Tiroid menyekresikan tiga macam hormon, yaitu
tiroksin (T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid
merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan
kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat
dibawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang
membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida. Kelenjar tiroid dialiri
oleh beberapa arteri:4,8,9
1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau A. anonyma
Persarafan kelenjar tiroid:8
2
1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang
N.vagus).
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (serak/stridor).
III. SINTESIS DAN SEKRESI HORMON TIROID
Sintesa dan sekresi hormon tiroid meliputi beberapa tahap yaitu:3,6,7,10
1. Yodide Trapping, yaitu penangkapan yodida oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodida masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Yodida diubah
menjadi yodium (yodine). Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin)
dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi
oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh yodida, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap
berada dalam sel folikel.
3
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari yodida. Enzim deiodinase sangat
berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
IV. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan
oleh thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan
mengaktifkan TSH receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan
melepaskan hormon tiroid.3,5,6
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi,
faktor trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic
gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal.3
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen
yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B
untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis
akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan
merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor
penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati
pada penyakit Graves.3,6,7
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells)
dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata
dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan
4
Hipertiroidism
Metabolisme meningkat
Kulit teraba hangat,
berkeringat
BB turun, otot lemas
Perangsangan katekolamin
Respon simpatis meningkat
palpitasi, tremor
Inflamasi retrobulbar
Exopthalmus
Perangsangan jantung
Perangsangan saluran cerna
inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan
otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.1,2,4,6
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi
sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikans.2,4
5
V. MANIFESTASI KLINIK
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal
dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa
goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon
tiroid yang berlebihan.4,7 Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare
dan kelemahan serta atrofi otot.8 Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang
ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.6,9,10
Trias Graves yaitu struma difusa, oftalmopati, dan dermopati. Perubahan
pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association
diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :2,7,8
a. No signs or symptoms
b. Only signs (lid retraction or lag), no symptoms
c. Soft tissue involvement (periorbital edema)
d. Proptosis (>22 mm)
e. Extraocular muscle involvement (diplopia)
f. Corneal involvement
g. Sight Loss
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga
dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu
sebagai berikut.11
Tabel 1.1: Indeks Wayne
6
Tabel 1.2. Indeks wayne
7
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit
dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa
penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan
utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar
atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala
yang menonjol yaitu:2
− Nervositas
− Kelelahan atau kelemahan otot-otot
− Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik
− Diare atau sering buang air besar
− Intoleransi terhadap udara panas
− Keringat berlebihan
− Perubahan pola menstruasi
8
− Tremor
− Berdebar-debar
− Penonjolan mata dan leher
Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai
beberapa tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang
penderita tidak menyadari penyakitnya.2
Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang
penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda
pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo,
pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan
pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar tanda-tanda klinis tersebut
sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan.2,8,10
Gambar : Goiter pada Penderita Graves Disease11
Manifestasi Klinik Lain Yang Dapat di Temukan Antara Lain:
“Bruit sound” pada ujung bawah kelenjar tiroid dapat ditemukan pada
auskultasi
Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah
Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa
dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan
9
Oftalmopati berupa:
Joffroy sign Tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan
dahi
Von Stelwag Mata jarang berkedip
Von Grave Melihat ke bawah, palpebra superior tidak
dapat mengikuti bulbus okuli sehingga antara
palpebra superior dan cornea terlihat jelas
sklera bahagian atas
Rosenbach sign Memejam mata, tremor dari palpebra ketika
mata tertutup
Moebius sign Mengarahkan jari telunjuk mendekati mata
pasien di medial, pasien sukar mengadakan
dan mempertahankan konvergensi
Exopthalmus Mata kelihatan menonjol keluar
Gambar : Eksoftalmus pada Penderita Graves Disease11
10
VI. Pemeriksaan Laboratorium 4,8,10,11
Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis)
Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis
Grave disease.
Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat
antitiroid seperti thioamides.
Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat
memperberat diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang
meningkat dalam darah
Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang
sedang aktif.
VII. PEMERIKSAAN RADIOLOGI 3,4,7,911
Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan
pada trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan
kelenjar yang membesar.
Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake
iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab
hipertiroid.
USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi
pertama pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan
laboratorium
CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan
massa dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea
(apakah ada penyempitan, deviasi dan invasi).
11
MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus
hipertiroid)
Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga
sebagai terapi.
VIII. Penatalaksanaan Graves
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit
Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan
untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis
pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti
tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung
pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya
struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta
penyakit lain yang menyertainya.
1. Obat – obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Dosis obat antitiroid dimulai dengan
300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg per hari untuk
MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal setiap
24 jam.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas
melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat, meskipun sedikit, menurunkan kadar T3
12
melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol
umumnya berkisar 80 mg/hari.8,10,11
2. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I).Respons yang terjadi sangat
tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar
tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu
2 – 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun.131I dengan cepat dan sempurna
diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi
di dalam kelenjar tiroid.10,11
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme.Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme.10
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan
tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun
pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.10
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada struma yang besar.
Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu
pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari,
yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah
operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa
banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat. Tiroidektomi total biasanya tidak
dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan
berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan
akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan
tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen
tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.Hipoparatiroidisme
13
dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan
yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.8,10,11
Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala
tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.10
IX. RINGKASAN
Penyakit Graves (goiter difusa toksik) yang merupakan penyebab
terseringhipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai
predisposisi genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita
dibanding pria, terutama pada usia 20 – 50 tahun. Gambaran klinik klasik dari
penyakit graves struma difusa, oftalmopati, dan dermopati. Pada anak-anak,
terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Pada
penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama
adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi,
dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan
TSH. Bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya
ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang
dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang
dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit
Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131)dan
Pembedahan dengan Tiroidektomi. Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan
terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan
hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid,
penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi
cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 – 265
14
2. Djokomoeljanto.Tirotoksikosis-Penyakit Graves.Dalam Tiroidologi klinik
Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal
220-281
3. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa
Prof.Dr.Ahmad H. Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000:
hal 2144 – 2151
4. Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Grave’s
Disease, Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal
57 – 64
5. Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 – 598
6. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 – 778
7. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih
Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 – 1058, 1070 –
1080
8. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme,
Edisi
9. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E,
Edisi 3, EGC, Jakarta, 2000: hal 606 – 630
10. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment
Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5
11. Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of
Medicine.Massachusetts Medical Society. 2000.
15