proposal metlit
DESCRIPTION
Proposal MetlitTRANSCRIPT
PROFIL HASIL BELAJAR LEVEL MAKROSKOPIK, SUB-
MIKROSKOPIK DAN SIMBOLIK SISWA SEKOLAH MENENGAH
ALAM PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN
NONELEKTROLIT
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Pendidikan
Dosen Pembimbing:
Prof.Janulis Purba
Bambang Trisno
Oleh:
Ahmad Suryadin
1002355
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNIK KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
A. JUDUL.................................................................................................... 1
B. LATAR BELAKANG............................................................................. 1
C. IDENTIFIKASI MASALAH.................................................................. 4
D. PEMBATASAN MASALAH
E. RUMUSAN MASALAH........................................................................ 5
F. TUJUAN PENELITIAN......................................................................... 5
G. MANFAAT PENELITIAN..................................................................... 5
H. DEFINISI OPERASIONAL................................................................... 6
I. KAJIAN TEORITIS
J. KERANGKA PEMIKIRAN................................................................... 7
K. METODE PENELITIAN........................................................................ 20
L. ANALISIS DATA PENELITIAN.......................................................... 20
M. PROSEDUR PENELITIAN.................................................................... 22
N. JADWAL ATAU SKEDUL ................................................................... 22
O. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 24
1
A. JUDUL
Profil Hasil Belajar Level Makroskopik, Sub-Mikroskopik dan Simbolik
Siswa Sekolah Menengah Alam pada Materi Larutan Elektrolit dan
Nonelektrolit.
B. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Belajar merupakan perubahan permanen yang bersifat relatif dalam
tingkah laku, dan tingkah laku disini menyangkut aktifitas yang dapat
diamati, serta proses internal seperti berfikir, sikap dan emosi (Burns, 1999).
Jadi, pembelajaran yang dilakukan di sekolah, tidak boleh hanya berfokus
pada perubahan dari salah satu aspek saja, tetapi juga harus berfokus pada
perubahan dari beberapa aspek. Untuk dapat menghasilkan perubahan pada
berbagai aspek, pembelajaran biasanya dilakukan dengan model, metode dan
pendekatan yang sesuai dengan kharakteristik materinya.
Kimia merupakan salah satu cabang ilmu sains yang sangat penting, ia
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami apa yang terjadi di
sekitar mereka. Karena topik ilmu kimia secara umum berkaitan dengan
struktur dari materi, kimia menjadi pelajaran yang sulit bagi banyak siswa
(Sirhan, 2007). Johnstone (Chittleborough & Treagust, 2007) membedakan
tiga level representasi kimia dari suatu materi. Pertama, level makroskopik,
mencakup bukti-bukti nyata dan terlihat dari suatu fenomena, yang bisa saja
merupakan pengalaman keseharian siswa. Kedua, level sub-mikroskopik yang
juga merupakan sesuatu yang nyata dan mencakup level partikulat. Level ini
digunakan untuk mendeskripsikan pergerakan elektron, molekul, partikel atau
atom. Ketiga, level simbolik, mencakup sejumlah besar representasi
bergambar, bentuk algebra dan komputasi dari representasi sub-mikroskopik.
Penelitian mengenai hasil belajar terhadap beberapa siswa SMA di
Bandung, menunjukan hampir seluruh siswa (89%) mengetahui level
makroskopik pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit, tidak ada siswa
(0%) yang memahami secara utuh (secara tertulis dan gambar) level sub-
mikroskopik dan tidak ada siswa (0%) yang menguasai level simbolik pada
2
materi larutan elektrolit dan nonelektrolit (Sabaniati, 2011). Hasil penelitian
ini juga menyatakan adanya indikasi bahwa hasil belajar tersebut dipengaruhi
oleh minat siswa, proses pembelajaran dan buku teks yang digunakan oleh
siswa SMA. Selain itu, penelitian serupa pada materi lain seperti, perubahan
wujud, kelarutan dan hasil kali kelarutan, hidrolisis garam dan sifat koligatif
larutan, juga telah dilakukan dan menunjukan hasil presentasi yang masih
terbilang kecil pada pemahaman siswa level sub-mikroskopik dan simbolik.
Penelitian Gabel (dikutip dalam Wu, Krajcik, & Soloway, 2000) juga
menunjukan hasil bahwa sebagian besar siswa SMA dan mahasiswa, bahkan
beberapa guru, masih mengalami kesulitan dalam mentransfer dari satu level
representasi ke level representasi lainnya.
Melihat hasil penelitian diatas, maka pembelajaran yang mencakup ketiga
level representasi tersebut sangatlah diperlukan. Menurut Carl Rogers
(dikutip dalam Laird, 1985) pembelajaran akan terjadi jika guru bertindak
sebagai fasilitator, karena hal tersebut akan menciptakan suasana yang
membuat siswa nyaman untuk mengungkapkan ide-ide barunya dan tidak
dipaksa oleh faktor luar. Selain itu, Roger (dikutip dalam Teaching &
Learning Academy, 2008) guru juga harus mengklarifikasi tujuan belajar dari
siswanya, menyediakan sumber belajar yang memadai, menyeimbangkan
intelektual dan emosional siswa, serta berbagi perasaan dan pikiran dengan
siswa, tetapi tidak mendominasi. Karakteristik lainnya dari teori belajar Carl
Roger adalah percaya bahwa setiap manusia memiliki naluri untuk belajar
dan belajar yang paling signifikan adalah yang mencakup suatu perubahan
(Dunn, 2002).
Dalam bukunya Freedom to Learn, Roger (dikutip dalam Teaching &
Learning Academy, 2008) mengatakan bahwa guru harus memberikan
dukungan emosional kepada siswa, agar siswa menyukai pelajaran, lebih
sering bersekolah dan menyukai gurunya. Suatu penelitian dilakukan dengan
melibatkan 600 guru dan 10.000 siswa usia 4-18 tahun, siswa dengan guru
yang memberikan dukungan emosional dibandingkan dengan siswa dengan
guru yang tidak memberikan dukungan emosional. Hasilnya, siswa dengan
3
guru yang memberikan dukungan emosional lebih sering masuk kelas,
mengalami peningkatan skor pada tes kepribadian, menunjukan
meningkatnya penilaian terhadap dirinya, memiliki peningkatan prestasi dan
lebih spontan serta memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi (Teaching &
Learning Academy, 2008).
C. IDENTIFIKASI MASALAH
Sekolah Alam merupakan salah satu bukti diterapkannya teori belajar ini.
Sekolah alam adalah sekolah yang menjadikan alam sebagai media
pembelajarannya. Menurut Atrisna (2012), penerapan teori belajar Carl Roger
pada sekolah alam diantaranya:
1. Keinginan untuk belajar. Anak diberikan kebebasan untuk
memuaskan keingintahuan mereka tanpa dihalangi oleh ruang kelas,
pakaian, peraturan sekolah yang “mematikan” daya kreativitas maupun
guru yang terlalu mengatur;
2. Belajar secara signifikan. Proses belajar ditujukan bukan untuk
mengejar nilai, tapi untuk bisa memanfaatkan ilmunya dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat anak memiliki logika berpikir
yang baik, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Anak memperoleh
pengetahuan serta penerapannya dalam kehidupan;
3. Belajar tanpa paksaan. Belajar di alam terbuka, secara naluriah akan
menimbulkan suasana menyenangkan tanpa tekanan dan jauh dari
kebosanan. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran pada anak-anak
bahwa belajar adalah kegiatan yang menyenangkan, sehingga materi
pembelajaran dapat diserap dengan baik;
4. Belajar atas inisiatif sendiri. Anak-anak belajar tidak hanya pada saat
jam belajar, mereka dapat belajar dari apapun dan kapanpun. Dengan
sistem belajar di sekolah alam yang telah membiasakan mereka untuk
belajar secara aktif dan mandiri, mereka akan terbiasa untuk
menemukan, memilih, dan mencari tahu sendiri apa yang ingin
diketahuinya.
4
D. BATASAN MASALAH
1. Hasil belajar pada penelitian ini hanya mencakup hasil belajar pada
domain kognitif, untuk melihat pengetahuan pada level makroskopik,
pemahaman pada level sub-mikroskopik dan penguasaan pada level
simbolik.
2. Pengetahuan pada level makroskopik pada penelitian ini mencakup
pengertian dan contoh fenomena pada materi larutan elektrolit dan
nonelektrolit.
3. Pemahaman pada level sub-mikroskopik pada penelitian ini mencakup
susunan dan pergerakan partikel zat terlut dalam larutan elektrolit dan
nonelektrolit.
4. Penguasaan pada level simbolik pada penelitian ini mencakup persamaan
reaksi pada materi elektrolit dan nonelektrolit.
E. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana profil hasil belajar level makroskopik siswa Sekolah
Menengah Alam pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit?
2. Bagaimana profil hasil belajar level submikroskopik siswa Sekolah
Menengah Alam pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit?
3. Bagaimana profil hasil belajar level simbolik siswa Sekolah Menengah
Alam pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit?
F. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil hasil belajar level
makroskopik, submikroskopik dan simbolik siswa Sekolah Menengah Alam
pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.
G. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi guru
5
a. Memberikan informasi mengenai hasil belajar siswa level
makroskopik, submikroskopik dan simbolik pada materi larutan
elektrolit dan nonelektrolit;
b. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan model, metode dan
pendekatan pembelajaran.
2. Peneliti lain
a. Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat media pembelajaran
bagi siswa Sekolah Menengah Alam pada materi larutan elektrolit dan
nonelektrolit;
b. Sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan model
pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa Sekolah
Menengah Alam.
H. DEFINISI OPERASIONAL
1. Sekolah Alam adalah sekolah yang menggunakan alam sebagai media
pembelajarannya dan menggunakan pendekatan tematik.
I. KAJIAN TEORITIS
1. Hasil Belajar
Arifin (2003) mengatakan bahwa belajar adalah proses aktif siswa
untuk mempelajari dan memahami konsep-konsep yang dikembangkan
dalam kegiatan belajar mengajar, baik individual maupun kelompok, baik
mandiri maupun dibimbing. Sukmadinata (dikutip dalam Selviyanti,
2012) mengatakan bahwa hasil belajar merupakan realisasi atau
pemekaran kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki
seseorang. Berdasarkan taksonomi Bloom (dikutip dalam Arifin, 2003),
hasil belajar dibagi kedalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor.
a. Domain Kognitif. Hasil belajar domain ini merupakan hasil belajar
yang lebih cenderung kepada pengetahuan. Terdiri dari 6 jenjang,
6
yaitu hafalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan
evaluasi.
b. Domain Afektif. Hasil beljaar domain ini mencakup minat dan
sikap yang ditanamkan melalui proses belajar.
c. Domain Psikomotor. Hasil belajar domain ini cenderung kepada
kemampuan keterampilan fisik (motorik) maupun kemampuan
manipulatif.
2. Representasi kimia
Cheng dan Gilbert (dikutip dalam Guzel & Adadan, 2013) mengklaim
bahwa, secara teoritis, untuk dapat belajar sains, siswa harus memahami
berbagai representasi dari konsep-konsep sains dan dapat menerjemahkan
ke dalam representasi yang berbeda. Sebagai seorang kimiawan, Hoffman
dan Laszo (dikutip dalam Hsin-kai Wu, Joseph S. Krajcik, Elliot
Soloway, 2000) menyatakan bahwa, representasi dalam kimia adalah
pembentukan metafora, model dan teori dari interpretasi seorang
kimiawan terhadap alam dan kenyataan. Johnstone (dikutip dalam
Chittleborough & Treagust, 2007) membedakan tiga level representasi kimia,
yaitu level makroskopik, sub-mikroskopik dan simbolik. Level makroskopik
merupakan bukti-bukti nyata dan terlihat dari suatu fenomena kimia yang
mungkin menjadi bagian dari pengalaman siswa sehari-hari. Level sub-
mikroskopik adalah suatu kenyataan, tetapi merupakan fenomena yang
terjadi dalam level partikulat, yang digunakan untuk menjelaskan pergerakan
elektron, molekul, partikel atau atom. Sedangkan, level simbolik merupakan
jenis representasi yang berbentuk gambar, algebra dan komputasi dari
representasi sub-mikroskopik. Ilmu kimia berdasarkan pada teori sifat-sifat
partikel dari suatu materi, yang termasuk dalam level sub-mikroskopik, tetapi
kita dapat melihat level makroskopiknya dan menggunakan model untuk
merepresentasikan level simbolik (Chittleborough & Treagust, 2007).
Ketiga level tersebut akan dibahas secara lebih mendalam pada masing-
masing bagian di bawah ini.
7
a. Level Maksroskopik
Johnstone dan Gabel (dikutip dalam Gilbert, 2008) menyatakan
bahwa level makroskopik berkaitan dengan apa yang terlihat tentang
sesuatu yang sedang kita pelajari. Gabel, Treagust, Chittleborough dan
Mamiala (dikutip dalam Talanquer, 2010) mencirikan level
makroskopik dengan fenomena aktual yang kita alami dalam
kehidupan sehari-hari atau di dalam laboratorium, level ini dapat di
observasi dan nyata. Sedangkan, beberapa peneliti lainnya seperti
Chandrasegaran, Treagust dan Mocerino, 2007; Gilbert dan Treagust,
2009; Nakhleh dan Krajcik, 1994 (dikutip dalam Talanquer, 2010)
mendeskripsikan level ini sebagai representasi yang terjadi secara
alami, terutama dibentuk oleh konsep dan ide yang digunakan untuk
mendeskripsikan sifat dominan dari suatu materi, seperti pH, suhu,
tekanan, kerapatan dan konsentrasi Contoh sederhana dari level ini
adalah larutan yang dapat menghantarkan listrik, terbentuknya
endapan ketika mencampurkan dua atau lebih senyawa berbeda, dan
lain-lain.
b. Level Sub-Mikroskopik
Menurut Johnstone (dikutip dalam Chittleborough & Treagust, 2007)
level sub-mikroskopik merupakan level partikulat yang digunakan
untuk menjelaskan pergerakan elektron, molekul, partikel atau atom.
Menurut Gabel (dikutip dalam Guzel & Adadan, 2013) level sub-
mikroskopik memberikan informasi mengenai aspek atomik,
molekular dan kinetika dari suatu materi. Contoh sederhana dari level
ini adalah adanya reaksi yang terjadi antara satu senyawa dengan
senyawa lainnya sehingga membentuk senyawa baru yang berwujud
padat, dan dalam level makroskopik, kita melihat adanya endapan.
c. Level Simbolik
Menurut Gabel dan Johnstone (dikutip dalam Guzel & Adadan,
2013) level simbolik mencakup penggunaan simbol-simbol, rumus-
rumus dan diagram. Contohnya, simbol “H2(g)”, dalam level sub-
8
mikroskopik berkenaan dengan molekul diatomik yang ada dalam wujud
gas, sedangkan secara makroskopik hal tersebut merupakan gas yang
tidak berwarna dan berbau, dimana beratnya 2 gram/mol (Guzel &
Adadan, 2013).
3. Sekolah Alam
Di Indonesia, berdasarkan UU No 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 10,
satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, informal dan nonformal.
Definisi setiap jalur pendidikan berdasarkan undang-undang tersebut
adalah:
a. Jalur pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur
dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Contohnya SD (Sekolah Dasar),
SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah
Atas) dan PT (Perguruan Tinggi).
b. Jalur pendidikan informal adalah jalur pendidikan diluar jalur
pendidikan formal yang terstruktur dan berjenjang, contohnya
kejar paket A, B atau C.
c. Jalur pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan yang
dilakukan dalam lingkup keluarga dan lingkungan.
Jalur pendidikan lainnya adalah pendidikan alternatif. Menurut
Hidayatulm (2012), pendidikan alternatif merupakan peran serta
masyarakat akibat dari ketidakpuasan pendidikan formal. Menurut
Kembara (Hidayatulm, 2012) bentuk-bentuk pendidikan alternatif bisa
bermacam-macam, diantaranya:
a. Sekolah pilihan bakat, seperti sekolah atlet, sekolah musik,
sekolah pendalaman agama.
b. Sekolah layanan, seperti sekolah autis, tempat rehabilitasi narkoba.
9
c. Pendidikan komunitas, seperti kelas berjalan dan Sekolah Alam
(SA)
Lendo Novo, penggagas SA, menyatakan bahwa idenya mendirikan
SA bertujuan untuk membuat sekolah yang berkualitas tetapi murah,
karena sebagian besar rakyat Indonesia miskin. Oleh sebab itu,
digagaslah konsep-konsep SA. Alasan mahalnya biaya sekolah formal,
satu satunya adalah karena infrastrukturnya. Ia menyatakan bahwa yang
membuat suatu sekolah berkualitas, padahal bukanlah infrastrukturnya,
tetapi kualitas guru, metode yang tepat dan adanya buku sebagai gerbang
ilmu pengetahuan (Witoelar, 2009).
Poedjiati (dikutip dalam Maryati, 2007) mengungkapkan bahwa salah
satu cara yang memudahkan anak dalam belajar adalah mengaitkan mata
pelajaran dengan berbagai masalah aktual yang ada di lingkungan sekitar
anak. Cara ini akan membantu anak-anak yang tingkat kecerdasannya
normal, bahkan yang dibawah rata-rata akan mudah pula menangkap
berbagai konsep yang akan disampaikan guru. Karena bagi anak yang
cerdas, mereka bisa menerima konsep-konsep yang disampaikan guru
secara abstrak. Namun tidak demikian bagi mereka yang kecerdasannya
biasa-biasa saja atau bahkan yang dibawah normal.
Para peneliti pendidikan, kemudian mengembangkan suatu model
pendekatan pembelajaran untuk mengatasi berbagai permasalahan
tersebut. Antara lain dengan dikembangkannya pendekatan tematik
(Thematic Aproach) yaitu suatu model pembelajaran terpadu, merupakan
suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan
beberapa aspek baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata
pelajaran. Pendekatan ini merupakan suatu usaha untuk
mengintegrasikan pengetahuan, kemahiran dan nilai pembelajaran serta
pemikiran yang kreatif dengan menggunakan tema. Tema adalah pokok
pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan.
Pendekatan tematik ini kemudian diterapkan oleh SA.
10
Hidayatulm (2012) menyatakan bahwa SA adalah sekolah dengan
konsep pendidikan berbasis alam semesta. Sekolah yang unik, nuansa
natural dengan bangunan sekolah yang hanya berupa rumah panggung
yang biasa disebut sebagai saung. Lingkungan sekolah adalah lingkungan
alam nyata yang penuh dengan pepohonan, bunga, sayur dan buah serta
areal peternakan. Sejak dini anak-anak dikenalkan dengan lingkungan
kehidupan nyata. Semua proses pembelajaran yang berlangsung di SA
dalam suasana fun learning yang menghasilkan deep learning. Belajar di
alam terbuka, secara naluriah akan menimbulkan suasana tersebut, tanpa
tekanan dan jauh dari kebosanan.
Di dalam SA, anak juga diarahkan untuk memahami potensi dirinya.
Mereka diarahkan untuk belajar secara aktif, dimana guru hanya sebagai
fasilitator. Siswa belajar tidak hanya untuk mengejar nilai, tetapi juga
untuk memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan
membuat anak memiliki logika berpikir yang baik, menjadi peka
terhadap alam dan lingkungannyadengan metode belajar action learning
dan diskusi (Hidayatulm, 2012).
4. Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD) dan Tinjauan Materi
Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit
Berdasarkan Standar Isi (SI) kurikulum KTSP (2006), materi larutan
elektrolit dan nonelektrolit termasuk kedalam materi yang diajarkan
kepada siswa SMA/sederajat, kelas X semester II. Standar Kompetensi
(SK) dari materi ini adalah memahami sifat-sifat larutan non-elektrolit dan
elektrolit, serta reaksi oksidasi-redukasi, sedangkan Kompetensi Dasar (KD)
materi ini adalah mengidentifikasi sifat larutan non-elektrolit dan elektrolit
berdasarkan data hasil percobaan (Badan Standar Nasional Pendidikan,
2008). Materi ini harus disampaikan dengan metode praktikum. Biasanya,
praktikum yang dilakukan disekolah menggunakan set alat uji larutan elektrolit,
dan beberapa jenis larutan diuji untuk mengetahui mana larutan elektrolit dan
mana larutan nonelektrolit.
11
Berikut ini merupakan tinjauan materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.
Larutan Elektrolit dan nonelektrolit
Campuran homogen atau yang biasa disebut larutan, adalah gabungan
dari dua atau lebih senyawa murni dimana setiap senyawa masih memiliki
sifat dan jumlah yang sama dengan sifat dan jumlahnya sebelum
dicampurkan, tetapi tidak terbedakan ketika sudah dicampurkan
(Whitten, et al., 2004). Senyawa yang jumlahnya lebih sedikit disebut zat
terlarut, sedangkan senyawa dengan jumlah yang lebih banyak disebut
pelarut (Chang and Overby, 2011). Contoh dari larutan yang paling
sederhana adalah air gula, air garam dan sebagainya. Tidak seperti
senyawa, larutan dapat dipisahkan menjadi senyawa-senyawa asalnya
dengan perubahan fisika. Sebagai contoh, jika kita memiliki larutan garam
(campuran dari air dan garam) didalam panci, kemudian kita panaskan
secara terus menerus sampai air menguap semua, maka hanya akan tersisa
garam di panci (Silberberg, 2007).
Seluruh zat terlarut yang terlarut dalam air dapat digolongkan menjadi
dua golongan, yaitu elektrolit dan nonelektrolit. Elektrolit adalah zat yang
apabila dilarutkan dalam air, menghasilkan larutan yang dapat
menghantarkan arus listrik. Sedangkan nonelektrolit adalah zat yang
apabila dilarutkan dalam air, menghasilkan larutan yang tidak dapat
menghantarkan arus listrik (Chang and Overby, 2011). Arus listrik adalah
aliran elektron yang bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah
(Sunarya dan Setiabudi, 2009). Berikut ini adalah cara untuk
mengidentifikasi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Dua buah elektroda
inert, bisa platinum, dicelupkan kedalam gelas kimia berisi larutan yang
akan diuji sifat kelistrikannya. Untuk dapat membuat lapu menyala,
elektron harus mengalir dari salah satu elektroda ke elektroda lainnya
hingga melewati seluruh sirkuit. Mengapa larutan elektrolit dapat
menghantarkan arus listrik, sedangkan larutan nonelektrolit tidak bisa
menghantarkan arus listrik?
12
a. Larutan Elektrolit
Larutan elektrolit adalah larutan yang dapat menghantarkan arus
listrik. Salah satu contoh zat elektrolit adalah garam dapur (NaCl).
Ketika dilarutkan dalam air, NaCl akan mengalami disosiasi, yaitu
proses dimana senyawa-senyawa ionik terpisah menjadi ion-ionnya
ketika dalam larutan (Whitten, et al., 2004).
NaCl(s) + H2O(aq) Na+(aq) + Cl- (aq)
Adanya kawat platina (elektroda) yang tercelup dalam larutan
akan membuat ion-ion Na+ bergerak ke elektroda yang muatannya
negatif dan Cl- bergerak ke arah elektroda positif ketika diterapkan
suatu beda potensial (Chang and Overby, 2011). Arus listrik akan
mengalir melewati larutan melalui pergerakan ion-ion. Kekuatan
elektrolit tergantung dari jumlah
ion yang dihasilkannya ketika
terlarut dalam air (Whitten, et al.,
2004).
13
Gambar 9.1 Set Alat Uji Larutan Elektrolit dan nonelektrolit.
Larutan elektrolit dibagi menjadi dua golongan, yaitu elektrolit
kuat dan elektrolit lemah. Larutan elektrolit kuat adalah larutan yang
menghantarkan listrik dengan baik, sedangkan elektrolit lemah adalah
larutan yang menghantarkan listrik, tetapi tidak sebaik larutan
elektrolit kuat. Tiga kelompok senyawa-senyawa elektrolit kuat yaitu:
asam kuat, basa kuat dan hampir seluruh garam. Hal ini dikarenakan,
senyawa-senyawa tersebut terionisasi (terdisosiasi) sempurna dalam
larutan air, sehingga mereka dapat menghantarkan arus listrik dengan
baik. Sedangkan senyawa-senyawa elektrolit lemah bisa termasuk
asam lemah atau basa lemah. Hal ini dikarenakan, senyawa-senyawa
ini hanya akan terionisasi (terdisosiasi) sebagian dalam larutan air,
sehingga mereka menjadi larutan elektrolit yang lemah (Whitten, et
al., 2004).
Asam asetat atau cuka, akan terdisosiasi sebagian menjadi ion
asetat dan ion hidrogen. Tanda panah dua arah menunjukan hanya
sebagian kecil dari asam asetat yang terurai menjadi ion-ionnya.
Akibat dari jumlah ion yang sedikit, maka arus yang mengalir pun
hanya sedikit, akibatnya lampu tidak menyala dengan terang (Sunarya
dan Setiabudi, 2009).
14
Gambar 9.2 Pengujian larutan NaCl membuat lampu menyala terang.
b. Larutan nonektrolit
Senyawa nonelektrolit adalah senyawa yang tidak bisa
menghantarkan arus listrik. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya ion-
ion yang terbentuk, ketika senyawa nonelektrolit dilarutkan dalam air.
Senyawa nonelektrolit biasanya merupakan senyawa-senyawa yang
berikatan secara kovalen. Sebagai contoh, larutan gula, C12H22O11(aq)
tidak dapat menghantarkan arus listrik karena tidak terionisasi,
melainkan terurai secara molekuler (Sunarya dan Setiabudi, 2009).
C12H22O11(s)
C12H22O11(aq)
Tinjauan materi diatas masih belum
lengkap karena tidak dibarengi dengan
penjelasan pada level sub-mikroskopik.
Maka, materi secara lebih ringkas dan
jelas, akan disajikan dalam tabel
dibawah ini.
15
Gambar 9.4 Pengujian larutan asam asetat
membuat lampu menyala redup.
Gambar 9.3 Molekul-molekul asam asetat terdisosiasi sebagian
membentuk ion.
Gambar 9.5 Larutan gula tidak dapat menghantarkan listrik,
karena tidak terionisasi.
Soal Tes
Tahap AkhirAnalisis Data
Kesimpulan
Tahap Awal
Tahap Pelaksanaan
Pemilihan Materi
Analisis level makroskopik, sub-mikroskopik dan simbolik pada
materi larutan elektrolit dan nonelektrolit
Pembuatan Instrumen
Angket
Pengujian Instrumen
Revisi
Pengumpulan Data Hasil tes dan Angket
Pedoman Wawancara
J. KERANGKA PEMIKIRAN
K. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian deskriptif. Menurut Arikunto (2006), penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
16
Gambar 13.1 bagan alir penelitian
mengumpulkan informasi mengenai status gejala yang ada, yaitu
keadaan gejala menurut apa adanya saat penelitian dilakukan. Oleh
karena itu, peneliti tidak memberikan perlakuan apapun kepada
subjek penelitian. Dalam penelitian ini, akan dideskripsikan
mengenai profil hasil belajar level makroskopik, sub-mikroskopik
dan simbolik siswa Sekolah Menengah Alam pada materi larutan
elektrolit dan nonelektrolit.
Penelitian dilakukan di tiga Sekolah Alam yang berada di
Bandung.
Subjek penelitiannya adalah Siswa Sekolah Menengah Alam di
Bandung yang telah mempelajari materi larutan elektrolit dan
nonelektrolit. Jumlah sekolah yang diambil adalah tiga sekolah.
Uji-uji Instrumen
1. Instrumen Utama
a. Tes Tertulis
Tes adalah alat ukur untuk mengukur hasil belajar siswa yang
sifatnya pengetahuan (Firman, 2000). Tes tertulis terdiri dari
soal-soal uraian. Dipilih bentuk soal uraian karena dapat menilai
proses berfikir seseorang serta kemampuan mengekspresikan
buah pikirannya (Sudjana, 1989).
Tujuan dari tes tulis ini adalah untuk mengetahui sejauh
mana pemahaman siswa pada level makroskopik, sub-
mikroskopik dan simbolik pada materi larutan elektrolit dan
nonelektrolit. Sebelum digunakan, tes ini divalidasi terlebih
dahulu.
2. Instrumen Penunjang
a. Angket
Angket (kuesioner) adalah sejumlah pertanyaan yang
digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam
arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui
(Arikunto, 2006). Kuesioner digunakan untuk survei Nasional
17
sampai survei lokal, seperti survei komunitas dalam suatu sistem
sekolah (Wiersma, Jurs, ?).
Responden pada penelitian ini adalah siswa yang menjadi
subjek penelitian, yaitu siswa Sekolah Menengah Alam. Angket
digunakan untuk melihat minat serta motivasi siswa terhadap
mata pelajaran kimia, serta mengetahui tanggapan siswa
terhadap pembelajaran larutan elektrolit dan nonelektrolit.
b. Pedoman Wawancara
Menurut Arikunto (2006), wawancara atau kuesioner lisan
adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk
memperoleh informasi dari terwawancara. Jadi pedoman
wawancara adalah sejumlah pertanyaan terstruktur yang
diberikan oleh pewawancara kepada responden. Responden
wawancara dalam penelitian ini adalah guru yang
menyampaikan (mengajarkan) materi larutan elektrolit dan
nonelektrolit. Wawancara dilakukan untuk mengetahui model,
metode dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran
larutan elektrolit dan nonelektrolit, serta mengetahui buku
sumber yang digunakan.
L. ANALISIS DATA PENELITIAN
1. Tes Tertulis
Pengolahan data untuk tes tertulis sdilakukan dengan
pengklasifikasian jawaban siswa berdasarkan tiga level representatif
kimia yaitu level makroskopik, sub-mikroskopik dan simbolik. Tes tulis
berupa uraian yang terdiri dari 3 butir soal, yang mencakup konsep
elektrolit kuat, elektrolit lemah dan nonelektrolit. Masing-masing soal
terdiri dari 4 pertanyaan, yang mencakup pengertian, pengetahuan pada
level makroskopik, pemahaman pada level sub-mikroskopik, dan
penguasaan pada level simbolik.
a. Pengklasifikasian jawaban pada level makroskopik
18
Untuk mengetahui level pemahaman makroskopik, siswa di berikan
soal uraian mengenai fenomena nyala lampu pada percobaan larutan
elektrolit dan nonelektrolit.
b. Pengklasifikasian jawaban pada level sub-mikroskopik
Pada setiap label konsep, terdapat 2 pertanyaan untuk melihat
pemahaman siswa pada level sub-mikroskopik. Satu pertanyaan
mengharuskan siswanya menjelaskan dengan tulisan dan satu
pertanyaan berikutnya mengharuskan siswa membuat model susunan
dan pergerakan partikel untuk melengkapi jawaban pertanyaan
sebelumnya.
c. Pengklasifikasian jawaban pada level simbolik
Untuk mengetahui tingkat penguasaan level simbolik, siswa diberikan
soal mengenai persamaan reaksi pelarutan zat terlarut dalam suatu
pelarut.
d. Hubungan antara presentase dengan tafsiran
Tabel 15.7 Hubungan antara Presentase dengan Tafsiran
Presentase (%) Tafsiran
0 Tidak Ada
1 – 25 Sebagian Kecil
26 – 49 Hampir Separuhnya
50 Separuhnya
51 – 75 Sebagian Besar
76 – 99 Hampir Seluruhnya
100 Seluruhnya
(Koentjaraningrat, 1990)
2. Angket
Pengolahan data hasil angket dengan cara mentabulasikan dan
mempresentasikan dengan rumus presentasi menurut Koentjaraningrat
(1990), yaitu dengan cara:
P= fn
×100 %
19
Keterangan: P = Presentase
f = Frekuensi jawaban untuk setiap alternatif jawaban
n = Jumlah responden
Hubungan antara presentase dengan tafsiran dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 15.8 Hubungan antara Presentase dengan Tafsiran
Presentase (%) Tafsiran
0 Tidak Ada
1 – 25 Sebagian Kecil
26 – 49 Hampir Separuhnya
50 Separuhnya
51 – 75 Sebagian Besar
76 – 99 Hampir Seluruhnya
100 Seluruhnya
(Koentjaraningrat, 1990)
3. Hasil Wawancara
Pengolahan data hasil wawancara dilakukan melalui beberapa
langkah, yaitu:
a. Mengubah hasil wawancara dari bentuk lisan menjadi bentuk
tulisan;
b. Melakukan pengkodean pada jawaban wawancara yang dianggap
penting dan sesuai dengan rumusan masalah penelitian;
c. Menganalisis jawaban hasiil wawancara;
d. Menggabungkan data hasil wawancara dengan data hasil jawaban
angket dan mengambil kesimpulan.
M. PROSEDUR PENELITIAN
1. Tahap Awal
20
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pemilihan materi. Dalam pemilihan materi, peneliti melakukan studi
literatur.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap selanjutnya adalah menganalisis level makroskopik, sub-
mikroskopik dan simbolik materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.
Setelah itu, menyusun instrumen penelitian berupa soal tes tertulis,
angket dan pedoman wawancara. Penyusunan alat instrumen bertujuan
untuk memeperoleh alat pengumpul data yang valid. Soal tes tertulis,
dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan ketiga level representasi
kimia dalam materi yang telah dipilih. Sedangkan angket, bertujuan
untuk melihat bagaiamana minat dan motivasi siswa terhadap kimia,
serta tanggapan siswa terhadap pembelajaran larutan elektrolit dan
nonelektrolit di sekolah. wawancara digunakan untuk mengetahui model,
metode dan pendekatan apa yang digunakan guru dalam mengajarkan
materi larutan elektrolit dan nonelektrolit, serta buku sumber apa yang
digunakan siswa.
3. Tahap Akhir
Tahap terakhir terdiri dari analisis data dan membuat kesimpulan
sebagai jawaban atas masalah penelitian.
a. Analisis Data
Analisis data yang dimaksud adalah analisis data hasil temuan pada
tahap pelaksanaan yaitu jawaban hasil tes tertulis, hasil wawancara
dan hasil angket dari siswa-siswa Sekolah Alam.
b. Kesimpulan
Pada tahap ini, kesimpulan didapat dari hasil analisis data yang telah
diuraikan secara deskriptif.
N. JADWAL ATAU SKEDUL
21
Jadwal penelitian akan dilaksanakan pada 3 sekolah, dan di setiap sekolah
diamati atau mengambil data paling lama 1 minggu. Jadi jadwal penelitian
maksimal 3 minggu, kemudian dilakukan pengolahan data.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M., dkk. (2003). Strategi Belajar Mengajar Kimia. Bandung: Jurusan
Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.
Atrisna. (2012). Implikasi Teori Belajar Carl Rogers dalam Pendidikan. Retrieved
May 28, 2013, from http://sumsel.kemenag.go.id/index.php?
a=artikel&id=11413.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2008). Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Burns, R. (1995). The adult learner at work, sydney: business and professional
publishing.
Chang, R. & Overby, J. (2011). General Chemistry : The Essential Concepts (6th.
ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Availablefrom
www.mhhe.com/ chang
Chittleborough, G. & Treagust, F. (2007). The Modelling Ability of Non-Major
Chemistry Students and Their Understanding of The Sub-Microscopic
Level. K@ta: The Royal Society of Chemistry on Chemistry Education
Research and Practice, 8(3), pp. 274-292,
Dunn, L. (2002). Theories of learning. K@ta: Oxford Centre for Staff and
Learning Development, pp.1-3,
Firman, H. (2000). Peniaian Hasil Belajar dalam Pengajaran Kimia Bandung:
Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UPI.
Gilbert, J. K. (2008). Visualization: An Emergent Field of Practice and Enquiry in
Science Education. In Gilbert, J. K. et al. (eds.), Visualization: Theory and
Practice in Science Education, pp. 3–24. Reading: Springer. Inc. Retrieve
22
June 8, 2011, from http://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-
4020-5267-5_1.
Guzel, B. Y. & Adadan, E. (2013). Use of Multiple Representations In
Developing Preservice Chemistry Teachers’ Understanding of The
Structure of Matter. K@ta: International Journal of Environmental &
Science Education, 8(1), pp. 109-130,
Hakim, A. L. (2012). Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik,
dan Simbolik Siswa SMP/MTs pada Materi Perubahan Wujud (Skripsi
Universitas Pendidikan Indonesia, 2012, Tidak diterbitkan).
Hidayatulm, J. (2012). Pembelajaran Matematika di SMP Alam Bandung.
(Skripsi, Universitas IAIN Sunan Ampel, 2012). Retrieved from
http:// digilib.sunan-ampel.ac.id
Koentjaraningrat. (1990). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.
Gramedia
Laird, D. (1985). Approaches to training and development, Reading, Mass:
Addison-Wesley.
Law of Republic of Indonesia, Number 20, 2003, on National Education System.
Maryati. (2007). Sekolah Alam, Alternatif Pendidikan Sains yang Membebaskan
dan Menyenangkan. K@ta: Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA UNY, pp.
2-9,
Phitaloka, Y. (2011). Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik,
dan Simbolik Siswa SMA pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan
(Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia, 2011, Tidak diterbitkan).
Sabaniati, A. (2011). Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik,
dan Simbolik Siswa SMA pada Materi Pokok Larutan Elektrolit dan
Nonelektrolit (Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia, 2011, Tidak
diterbitkan).
Selviyanti. (2012). Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik, dan
Simbolik Siswa SMA pada Materi Pokok Hidrolisis Garam (Skripsi
Universitas Pendidikan Indonesia, 2012, Tidak diterbitkan).
23
Silberberg. (2007). Principle of General Chemistry (1st. Ed.). New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc. Availablefrom www.mhhe.com/ silberberg
Sirhan, G. (2007). Learning difficulties in chemistry: an overview. Journal of
Turkish Science Education, 4(2), pp. 22-20. Retrieved from
http://crins08lerberg.wmwikis.net/file/view/Sirhan.pdf
Sudjana. (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sugiharti, D. R. (2011). Analisis Hasil Belajar Level Makroskopik, Mikroskopik,
dan Simbolik Siswa SMA pada Materi Pokok Sifat Koligatif Larutan
(Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia, 2011, Tidak diterbitkan).
Suharso dan Retnoningsih, A. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
WidyaKarya
Sunarya, Y & Setiabudi, A. (2009). Mudah dan Aktif Belajar Kimia 1 : Untuk
Kelas X Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan database.
Talanquer, V. (2010). International Journal of Science Education. Macro,
Submicro, and Symbolic: The many faces of the chemistry “triplet”, 33(2),
pp. 179-195. DOI: 10.1080/09500690903386435
Teaching & Learning Academy. (2008). Carl Rogers and Classroom Climate.
Retrieve May 28, 2013, from http://www.tla.ac.uk/site/Pages/RfT.aspx.
Whitten, K. W., Davis, R. E., Peck, L. M. & Stanley, G.G. (2004). General
Chemistry 7thEd. New York: Brooks Cole Publisher. Available from
http://ebookcrop.com.
Witoelar, W. (2009). Sekolah Alam.(2009, July 13). Perspektif Baru. Retrieved
April 30, 2013, from: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/695/
Wiersma, W. & Jurs, S. (2008). Reasearch Methods in Educational: An
Introduction (9th. Ed.). Pearson Inc.
Wu, H., Krajcik, J.S. & Soloway, E. (2000). Promoting Conceptual
Understanding of Chemical Representations: Students’ Use of a
24