profil tokoh : gubernur kalimantan tengahtataruang.atr-bpn.go.id/bulletin/upload/data_buletin/edisi...
TRANSCRIPT
PROFIL TOKOH : GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH
Agustin Teras Narang, SH :
“Saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal, ayat-ayat dalam Undang-Undang Penataan
Ruang .......................”
Sekilas Riwayat Hidup Agustin Teras Narang, SH – Gubernur Kalimantan Tengah
Agustin Teras Narang, SH sebelum menduduki kursi Gubernur di Provinsi Kalimantan Tengah, telah melalui perjalanan dan
perjuangan yang teramat panjang. Diawali dari keteguhan tekadnya untuk meninggalkan tanah kelahiran, Banjarmasin,
setamat SMA Negeri 1 Banjarmasin, tahun 1973.
Jakarta dipilih menjadi kota tempat melanjutkan belajarnya. Universitas Kristen Indonesia menjadi kota tempat
penggodokan ilmu hukum bagi Teras Narang muda. Tahun 1979 dinyatakan lulus dari Fakultas Hukum-UKI, segera kiprah
sesungguhnya dimulai. Mengawali pengabdiannya sebagai pengacara sejak tahun 1981, diteruskan melanglang di
berbagai kantor pengacara di Jakarta sebelum akhirnya tahun 1989 – 1999 mendirikan dan berkarier di Kantor Pengacara
A. Teras Narang, SH and Associates.
Tidak cukup puas sampai disitu, semangat perjuangan dan pengabdiannya kepada nusa, bangsa dan negara membawa A.
Teras Narang, SH ke Senayan. Tahun 1999 – 2004 duduk sebagai anggota DPR-RI menjabat Ketua Komisi II. Bakat sebagai
pimpinan terus terasah dan mendapat penyaluran yang pas. Periode berikutnya, tahun 2004 – 2009 kembali terpilih
menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Daerah pemilihan Kalimantan Tengah. Lagi-lagi beliau menduduki
jabatan sebagai Ketua Komisi, kali ini di Komisi III DPR-RI. Kariernya terus melesat, kali ini tantangan lain disambutnya,
tampil sebagai Gubernur Kalimantan Tengah periode pengabdian 2005 – 2010, hasil pilihan rakyat Kalimantan Tengah.
Amanah dari rakyat beliau tempatkan pada tempat yang paling tinggi di jiwa perjuangannya. Kemajuan Kalimantan
Tengah dan kesejahteraan masyarakatnya serta penguatan hukum di semua aspek kehidupan terpateri kuat dalam
hatinya, menjadi tujuan yang tidak dapat ditawar. Itulah amanah yang melekat pada jabatan yang beliau emban saat ini.
Pada hari Sabtu, 19 April 2008, Redaksi Buletin Tata Ruang telah melakukan kunjungan ke Provinsi
Kalimantan Tengah untuk melaksanakan 2 (dua) tugas jurnalistik, yaitu : wawancara dengan Bapak
Agustin Teras Narang, SH. (Gubernur Kalimantan Tengah), untuk ditampilkan dalam rubrik Profil
Tokoh, tugas kedua adalah mengumpulkan data/informasi berkaitan dengan Heart of Borneo untuk
bahan penulisan rubrik Profil Wilayah.
Berikut hasil wawancara dengan Bapak Agustin Teras Narang, SH (Gubernur Kalimantan Tengah) :
Butaru : Secara garis besar Pak, kami ingin menanyakan tiga hal utama, yaitu : pertama adalah
kebijakan dan strategi pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah. Kedua adalah bagaimana
penerapan Undang-undang Penataan Ruang di Propinsi Kalimantan Tengah. Dan yang ketiga adalah
bagaimana penerepan action plan Heart of Borneo, saya kira ini ini adalah isu yang sangat menarik
pada saat ini. Saya langsung saja, pada pertanyaan pertama mengenai kebijakan. Dengan kondisi
dan potensinya Kalimantan Tengah, kebijakan apa sebetulnya yang ingin Bapak kembangkan di
propinsi ini, dan harapan-harapan apa yang ingin Bapak wujudkan untuk Kalimantan Tengah untuk
menuju masa depan
Teras Narang : Jadi propinsi Kalimantan Tengah ini seperti diketahui luasnya 153.267 km2, jadi luas
kita adalah satu setengah kali Pulau Jawa. Nah sedangkan penduduknya pada tahun 2007 berjumlah
2 . 027. 000 jiwa, per kilometer persegi hanya dihuni 13 orang. Saya mau cerita dulu, kita
mempunyai sumber daya alam macam-macam, apakah itu kayu, apakah itu pertambangan, apakah
itu menyangkut masalah perkebunan dan lain sebagainya. Dan kita juga mempunyai lahan gambut
yang cukup luas, sekitar 3,6 juta hektar. Jadi sekitar 300.000 kilometer persegi. Nah tentu penataan
ruang menurut hemat saya menjadi bagian penting, dalam rangka untuk membuat kebijakan-
kebijakan yang terkait dengan pengembangan wilayah, dan pembangunan yang berbasis pada
pembangunan yang berkelanjutan. Saya memandang bahwa yang paling penting bagi provinsi ini
adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, RTRWP. Mengingat RTRWP selama ini berdasarkan
Perda Nomor 8 Tahun 2003, ternyata ini masih menimbulkan masalah, nanti bisa dibaca di situ,
karena masih belum ada kesesuaian dengan departemen Kehutanan, khususnya terkait dengan
masalah Tata Guna Hutan Kesepakatan, yang disingkat TGHK. Tentu perda ini secara hukum di
daerah sudah delesai, tetapi masih belum ada kesepakatan, belum ada persetujuan dari Departemen
Kehutanan. Akibatnya ini belum terlaksana dengan baik. Nah di periode saya, Perda nomor 8 tahun
2003 ini kita buka revisi. Nah revisi di samping karena masih belum ada kesepakatan dengan
Departemen Kehutanan, juga menyesuaikan dengan Undang-undang Tata Ruang, nomor 26 itu.
Inilah spiritnya kenapa saya merasa bahwa masalah tata ruang ini menjadi penting bagi saya di
dalam membuat kebijakan-kebijakan pembangunan, pengembangan wilayah di Propinsi Kalimantan
Tengah.
Butaru : Jadi, saya menangkap bahwa apa yang dikerjakan sekarang tidak hanya untuk saat ini,
tetapi juga untuk masa depan. Selanjutnya Pak....
Teras Narang :
Betul. Karena kalau kita bicara mengenai masalah tata ruang, kita itu tidak boleh berpikir untuk satu
dua tahun, kita harus melihat pembangunan wilayah itu, 10 tahun, 15 tahun, dan mungkin sampai
50 tahun ke depan.
Proses pembangunan yang dilakukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah selama kami menjabat
Gubernur telah semakin memberdayakan dunia usaha dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kualitas hidup penduduk Kalimantan Tengah juga menunjukkan adanya peningkatan
dari kondisi sebelumnya.
Walaupun kualitas manusia telah meningkat, tetapi masih banyak masalah-masalah pembangunan
yang masih harus direspon secara cepat dan tepat, seperti pembukaan keterisolasian wilayah,
pemanfaatan lahan gambut, peningkatan kualitas program-program pengentasan kemiskinan, serta
masalah-masalah pembangunan lainnya.
Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan dan pembangunan Provinsi Kalimantan Tengah
sesuai dengan Visi Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Membuka Isolasi Menuju Kalimantan Tengah
Yang Sejahtera dan Bermartabat.
Sedangkan upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan harapan atau keinginan
dimaksud sesuai dengan Misi Provinsi Kalimantan Tengah disusun dan difokuskan pada bidang :
Infrastruktur, Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan, Pemerintahan, Hukum-Keamanan dan Hak azasi
Manusia, Politik, Sosial Budaya, Kepemudaan-Kepramukaan dan Olah Raga, Kepariwisataan,
Sumberdaya Alam-Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, Perhubungan dan Telekomunikasi,
Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan.
Butaru : Terkait ditetapkannya Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi ujicoba
konsep Kota Terpadu Mandiri kawasan hutan, bagaimana tanggapan Bapak mengenai konsep ini
serta penetapan Kalimantan Tengah sebagai lokasi ujicoba? Apa harapan Bapak untuk
pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah di masa mendatang terkait dengan konsep ini?
Teras Narang :
Saya pada prinsipnya setuju terhadap Kota Mandiri Terpadu. Apalagi ini dikaitkan dengan masalah
keberadaan transmigrasi. Tetapi yang saya tidak inginkan adalah Kota Mandiri Terpadu hanya di
daerah transmigrasi, tetapi juga di simpul-simpul produksi, karena saya tidak ingin adanya
‘kecemburuan’ dari masyarakat asli yang ada di daerah itu.
Butaru : Untuk menghindari kecemburuan, saya kira memang perlu keterpaduan antara pendatang
dengan penduduk setempat. Pa Gubernur, sepertinya konsep KTM ini sejalan dengan program Bapak
“Mamangun Tuntang Mahaga Lewu”....., Betul Pak ?
Teras Narang : Betul, di desa dan kelurahan. Konsep ini yang saya kembangkan, Kenapa ? Karena
konsep ini saya pandang betul-betul fokus. Jangan sampai daerah kita itu menggarami laut, jangan
sampai kita kayak mengecat langit, langit kan gak bisa dicat. Saya menghindari terjadinya itu. Jangan
sampai terjadi bahwa anggaran-anggaran ini keluar banyak, tetapi percuma, tidak ada fokus, dan
tidak ada suatu hasil yang konkrit. Sehingga timbul pemikiran saya untuk program “Mamangun
Tuntang Mahaga Lewu” Nah program ini adalah program sinergi, tidak akan mungkin propinsi
punya program kalau tidak memperoleh sambutan dari kabupaten kota.
Kota Terpadu Mandiri (KTM), adalah kawasan transmigrasi dan simpul-simpul produksi lainnya yang
pembangunannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Yang dimaksud fungsi-fungsi perkotaan adalah dibangunnnya berbagai fasilitas-fasilitas sebagaimana
di kota-kota, antara lain :
a. Dibangun pusat kegiatan agribisnis yang mencakup pengolahan hasil pertanian menjadi barang
produksi dan/atau barang konsumsi; pusat pelayanan agroindustri khusus (pecial agroindustry
service) dan pemuliaan tanaman unggul; tempat pendidikan dan pelatihan di sektor pertanian,
industri dan jasa.
b. Tempat pusat perdagangan wilayah yang dilengkapi dengan lembaga keuangan, pasar grosir
dan pergudangan.
Untuk menumbuhkembangkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) ini perlu didukung dengan adanya
kegiatan usaha transmigrasi sebagai hinterlandnya. Oleh karena itu perlu perencanaan
pembangunan wilayah pengembangan transmigrasi (WPT) yang terintegrasi dengan perencanaan
tata ruang. Hal ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pusat pertumbuhan ekonomi yang
berbasis perdesaan dan berwawasan perkotaan.
Saya selaku Gubernur mendukung sepenuhnya kebijakan Menakertrans untuk membangun KTM
ujicoba yang berlokasi di Lamunti, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas dengan harapan
mempercepat tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan perekonomian perdesaan yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, program transmigrasi ke depan
diharapkan berdampak positif dan menarik minat generasi muda untuk berpartisipasi dalam
program transmigrasi serta mengurangi terjadinya urbanisasi yang tidak terarah dari desa ke kota-
kota.
Butaru : Saya kira itu sangat bagus. Pemerataan pertumbuhan, Pak. Saya Lanjutkan, Bapak saat ini
masih menjadi Koordinator Forum Kerjasama Regional Kalimantan dan masa tugas Bapak ini akan
berakhir tahun ini. Menurut Bapak apakah forum ini memberikan dampak yang cukup positif bagi
pengembangan provinsi-provinsi di Kalimantan, dan khususnya untuk Provinsi Kalimantan Tengah?
Apa hal-hal yang telah dihasilkan dari forum ini serta pekerjaan rumah apa saja yang masih harus
diteruskan oleh calon Koordinator Forum ini di masa mendatang?
Teras Narang : Forum Kerjasama Regional Kalimantan masih diperlukan dan akan terus ditingkatkan
karena dengan forum ini pemerintah daerah se Kalimantan dapat secara bersama-sama dan
terkoordinasi melaksanakan perencanaan pembangunan terpadu lintas provinsi. Bidang
pembangunan yang menjadi prioritas dalam forum kerjasama ini adalah bidang infrastruktur, bidang
perekonomian, bidang sumberdaya manusia, serta bidang tata ruang dan lingkungan hidup.
Hasil kerjasama yang telah dicapai antara lain di bidang infrastruktur misalnya percepatan
pembangunan jalan lintas Kalimantan poros selatan, poros tengah dan poros utara, rencana
mengintegrasikan pelayanan transportasi udara antar kota di Kalimantan; Bidang perekonomian
seperti pembangunan peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis pertanian,
pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan; Bidang sumber daya manusia
seperti pembangunan bidang kesehatan dengan upaya-upaya peningkatan pelayanan, peningkatan
kualitas Fakultas kedokteran Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, pemberantasan
penyakit menular, penanganan penyakit AID dan korban Narkoba, peningkatan kualitas dan
produktivitas tenaga kerja, peningkatan kualitas anak dan perempuan, rencana pendirian STPDN
Regional Kalimantan; Bidang tata ruang dan lingkungan hidup seperti sinkronisasi rencana tata
ruang provinsi se Kalimantan, penyusunan rencana tata ruang pulau Kalimantan, penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan, penanggulangan pencemaran air dan udara, dan lain sebagainya.
Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah, harapan apa yang ingin Bapak capai
dalam pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah, serta upaya-upaya apa yang telah Bapak
lakukan untuk memenuhi harapan Bapak tersebut? Hambatan apa yang Bapak alami dalam upaya
pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah?
Teras Narang : Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah adalah
terwujudnya visi dan misi Provinsi Kalimantan Tengah sesuai yang tertuang dalam RPJM dan
Rencana Tahunan Daerah.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut antara lain pengembangan
keberdayaan masyarakat untuk pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance)
sebagai salah datu bagian dari strategi baru dalam percepatan pembangunan, peningkatan daya
saing dunia usaha, ancaman kerusakan lingkungan, kerawanan pangan, pembangunan modal sosial
(social capital) paska kerusuhan dan optimalisasi modal sosial (social capital) sebagai sumber daya
pembangunan, peningkatan kualitas pelayanan-pelayanan dasar yang disediakan oleh satuan kerja
perangkat daerah seluruh Kabupaten Kota yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah,
pembangunan kesadaran hukum, peningkatan kualitas sumber daya manusia, perubahan pola
penularan penyakit, dan tantangan-tantangan pembangunan lainnya. Selain itu juga dilakukan upaya
peningkatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.
Butaru : Hambatan-hambatannya, Pak ?
Teras Narang :
Hambatan itu pasti ada, dan saya sulit untuk menguraikan hambatan itu. Tetapii kalau saya
berpandangan bahwa hambatan itu justru menjadi tantangan buat saya, dan saya tidak pernah
berpandangan bahwa hambatan itu menjadi kendala. Justru hambatan itu yang menjadi tantangan
dan mendorong saya umtuk lebih bekerja keras lagi. Kalau dibilang kerja keras ya harus, karena saya
ini dengan Pak Diran, ini kan dipilih oleh rakyat. Saya selalu bilang kepada wakil Gubernur, pak Ir. H.
Ahmad Diran, saya bilang “Pak kita berdosa ini kalau kita tidak berbuat sesuatu. Kita berdosa kepada
rakyat kalau kita tidak berbuat sebagaiman yang mereka harapkan” Nah masalah hasilnya, saya
bilang, jangan kita yang menilai, masyarakat dan orang luar yang menilai
Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah, cukup banyak kerjasama serta
penandatanganan kesepakatan yang Bapak lakukan, baik dengan perusahaan swasta dalam negeri
maupun luar negeri. Manfaat apa yang Bapak rasakan dari penandatangan kesepakatan ini bagi
pengembangan Kalimantan Tengah serta adakah ”tentangan” dari anak buah Bapak terkait
penandatangan ini?
Teras Narang : Dengan telah ditandatanganinya kesepakatan kerjasama baik dengan swasta dalam
negeri maupun luar negeri manfaat yang dicapai antara lain meningkatnya minat investasi di Provinsi
Kalimantan Tengah.
Dalam penadatanganan kesepakatan kerjasama tersebut semua jajaran pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah dan masyarakat mendukung dan siap untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawab sesuai tugas dan fungsinya.
Butaru : Artinya Pak .......
Teras Narang : Inilah tuntutan inovatif dari seorang pemimpin. Artinya dia tidak hanya berpikir atau
melaksanakan program yang berdasar pada APBN atau APBD. Karena kalau kayak gitu semua orang
bisa jadi pemimpin. Nggak usah dipilih oleh rakyat, ditunjuk saja, “eh (jadi) pemimpin ya”, sudah.
Semua orang bisa melakukan itu. Nah saya melihat, saya harus mencari siapa yang bisa bantu. Satu-
satunya yang bisa bantu adalah para pengusaha. Satu-satunya yang bisa bantu adalah negara-negara
lain yang memang mempunyai keinginan yang sama, mempunyai visi yang sama. Nah ini yang saya
lakukan. Saya kerjasama dengan Cina, saya kerjasama dengan India, saya kerjasama dengan New
Zealand, saya kerjasama dengan Australy, saya memperoleh bantuan dari Negeri belanda, dengan
Jerman, dengan Inggris, karena apa? kita punya satu visi. Saya bilang, saya mau membangun, tetapi
pembangunannya didasarkan pada keberlanjutan, yang didasarkan pada memperhatikan kaidah-
kaidah lingkungan hidup. Makanya saya program yang namanya Green Government Policy, kebijakan
pemerintahan yang didasarkan pada lingkungan. Sehingga saya waktu itu diminta sebagai pembicara
pada saaat di Bali, forum WWF, khususnya terkait dengan preparatio, persiapan dari Kalimantan
Tengah menghadapi Climate Change. Nah dengan para pengusaha itu juga saya lakukan, yaitu di
dalam kita sharing dalam membangun. Contoh kecil saja, kita punya kesepakatan antara Pemerintah
Provinsi dengan para pengusaha pertambangan, untuk kita membangun rel kereta api. Kita punya
kesepakatan dengan pengusaha kebun, sawit, dan kemudian perusahaan perkebunan karet dan
tambang. Untuk kita membiayai dengan sharing, untuk perbaikan jalan. Nah apa yang saya lakukan
ini adalah suatu kebersamaan. Artinya kita win-win solution. Kita harus cari solusi untuk bisa mutual
benefit
Butaru : Tentang rencana jalan kereta api, Pak. Rencana pembangunan jalan kereta api, meskipun
masih dalam kajian, tetapi kami membaca pernyataan Bapak di situs Kalimantan Tengah terkait
dengan rencana pembangunan jalur kereta api di Kalimantan, dimana banyak orang berpendapat
bahwa Kalimantan belum layak mendapatkan transportasi ”kereta api”, kereta api adalah
pelayanan terhadap ”high density population”, namun Bapak mempunyai pendapat lain, yaitu
”kereta api adalah lokomotif transportasi sumber daya alam dalam skala ekonomi yang besar untuk
memasok kebutuhan daerah lain dan mata rantai ekonomi yang akan timbul apabila tersedianya
kereta api Kalimantan tidaklah susah untuk ditebak”. Apa maksud dari pernyataan Bapak ini?
Apakah untuk saat ini moda transportasi ini memang sudah diperlukan untuk dikembangkan di
provinsi-provinsi di Kalimantan dan khususnya di Kalimantan Tengah?
Teras Narang : Mengapa dikembangkan Transportasi Kereta Api di Kalimantan Tengah. Tadi saya
sudah sampaikan bahwa Kalimantan Tengah ini luasnya satu setengah kali Pulau jawa dan kemudian
sumber daya alamnya itu tersebar dii mana-mana. Sebaran sumber daya alam ini tidak akan
memberikan keuntungan yang maksimal bagi daerah kalau kita tidak memanfaatkan ini dengan baik.
Nah satu-satunya (cara) pemanfaatan dengan baik, adalah dengan kita membangun infrastruktur.
Kenapa saya membangun infrastruktur? Dengan terbangunnya infrastruktur kereta api, ini akan
mempunyai multiplier effect yang luar biasa. Rakyat ikut memanfaatkan itu, dan otomatis kiri kanan
rel itu, taruhlah sekarang kita 560 km, itu 560 km kiri kanannya itu akan hidup. Ke depan di
Kalimantan Tengah sangat dibutuhkan sarana transportasi yang diprioritaskan untuk melayani
angkutan barang dengan volume yang besar, terutama untuk mengangkut barang hasil pemanfaatan
sumber daya alam dari daerah hulu ke outlet-outlet yang berupa pelabuhan laut yang berada di
daerah hilir atau pantai. Hasil sumber daya alam tersebut antara lain berupa hasil perkebunan
kelapa sawit dan karet, hasil tambang batubara, hasil hutan ikutan misalnya rotan, dan hasil
pertanian dan tambang lainnya. Untuk itu diperlukan sistem transportasi yang efektif dan efisien
untuk mengangkut barang dalam volume yang besar. Sistem transportasi tersebut adalah jaringan
rel kereta api yang dikombinasikan antar moda transportasi darat (jalan dan sungai) serta
transportasi laut yang saling mendukung.
Butaru :Kenapa harus kereta api, Pak ?
Teras Narang : Mengapa dipilih transportasi kereta api, karena memiliki keunggulan kapasitas
angkut yang besar sehingga lebih efisien dan efektif, biaya pemeliharaan relatif lebih murah, ramah
lingkungan, tingkat kemanan dan keselamatan tinggi selain pertimbangan tersebut mengingat
adanya kendala bila hanya menggunakan transportasi sungai dimana pada saat musim kemarau
umumnya sungai-sungai di Kalimantan Tengah tidak dapat dilayari sampai ke daerah hulu, sehingga
tidak dapat diandalkan sebagai sarana angkutan sepanjang tahun. Sedangkan apabila menggunakan
atau mengembangkan transportasi jalan darat mengingat keterbatasan kemampuan anggaran
pemerintah sangat terbatas sehingga baik kekuatan atau struktur jalan maupun lebar jalan terbatas,
umumnya MST 8 ton dengan lebar jalan 4,5 meter, padahal MST pengguna jalan atau kendaraan
pengangkut hasil perkebunan dan pertambangan jauh di atas 8 ton.
Perkembangan perencanaan pembangunan jalur kereta api untuk Wilayah Utara – Timur Kalimantan
Tengah adalah sebagai berikut :
Telah ditandatangani MoU dengan Stasiun Kota pada tanggal 22 Juni 2006 untuk dilaksanakan
riset dan pengembangan sarana transportasi kereta api termasuk pembangunan infrastruktur
jalur kereta api sepanjang lebih kurang 600 kilometer dan rencana investasi oleh pihak PT.
Stasiun Kota bai pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam di wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah.
Ditandatanganinya MoU dengan Itochu Corporation pada tanggal 16 April 2007 yang bertujuan
untuk melakukan studi kelayakan pengembangan jalur kereta api.
- Berdasarkan hasil pra studi kelayakan dari Itochu (perusahaan Jepang) bahwa rute
jalan rel yang diusulkan adalah berada dalam kawasan Kabupaten Murung Raya,
Barito Utara, Barito Selatan dan Barito Timur, (Palaci – Puruk Cahu – Muara Teweh –
Ampah – Buntok – Bangkuang/Mangkatip) sepanjang 185 km.
- Selanjutnya dari Bangkuang akan digunakan moda transportasi sungai menuju outlet
di Muara Sungai Kapuas Murung di Lupak Dalam atau di Muara Sungai Kahayan di
Bahaur, dengan rinsian rute alternatif sebagai berikut :
Alternatif rencana pengembangan/pembangunan jalur kereta api di Kalimantan Tengah sebagai
prioritas I adalah :
1. Alternatif 1 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip – Lupak Dalam, dengan ruas mulai dari
Bangkuang/Mangkatip – sungai Barito – Palingkau Lama – sungai Kapuas Murung –
Kuala Kapuas – sungai Kapuas – Lupak Dalam – laut Jawa, sepanjang 175 km.
2. Alternatif 2 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip Bahaur, dengan ruas dari
Bangkuang/Mangkatip – sungai Barito – Palingkau Lama – sungai Kapuas Murung –
Kuala Kapuas – sungai Kapuas – Terusan Raya – sungai Kahayan – Bahaur – laut Jawa,
sepanjang 250 km.
Pemilihan ruas jalur kereta api tersebut didasarkan atas pertimbangan :
- Disesuaikan dengan lokasi atau kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam yang lebih
besar,
- Outlet : Kumai/Bumiharjo, Sampit/Bagendang, Teluk Segintong.
Butaru : Kalimantan Tengah dikenal sebagai provinsi yang miskin ketersediaan infrastrukturnya.
Apakah Bapak setuju dengan anggapan ini? Apa upaya yang Bapak lakukan untuk menghilangkan
image ini?
Teras Narang : Melihat kondisi eksisting saat sekarang, kita semua mengetahuinya. Saya tidak
menentang siapapun yang mempunyai anggapan seperti tersebut.
Upaya-upaya yang kami lakukan seperti tertuang dala Visi dan Misi RPJM Provinsi Kalimantan
Tengah, yaitu untuk membuka keterisolasian dan menempatkan pembangunan bidang infrastruktur
pada prioritas pertama. Untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan upaya-upaya antara lain telah
dibuat suatu rencana pengembangan sistem transportasi antar moda di Provinsi Kalimantan Tengah,
melakukan koordinasi/konsultasi dengan Pemerintah agar lebih dapat berperan baik dalam aspek
perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya untuk percepatan pengembangan dan
pembangunan sarana dan prasarana transportasi di Provinsi Kalimantan Tengah sehingga
memberikan dampak positif terhadap meingkatnya kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan
ekonomi serta pemerataan pembangunan di Kalimantan Tengah untuk mengejar ketertinggalan
Provinsi Kalimantan Tengah pada khususnya dan provinsi di Kalimantan pada umumnya terhadapa
provinsi-provinsi di wilayah Indonesia Barat.
Butaru : Saat ini telah berlaku UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Bapak, apakah
UU ini telah memenuhi harapan Bapak terkait penyelenggaraan penataan ruang? Bagaimana
penerapan Undang-undang ini di Provinsi Kalimantan Tengah? Pernah adakah upaya penerapan
ketetapan sanksi sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut?
Teras Narang : Secara umum saya katakan bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang secara komprehensif telah mengatur penyelenggaraan penataan ruang baik dari
tingkat nasional, regional maupun provinsi dan kabupaten/kota, bahkan telah mengatur matra ruang
mulai dari perencaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang serta ketentuan
sanksi yang tegas terhadap pelanggaran tata ruang. Namun demikian ketentuan secara teknis bahwa
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang masih perlu dan segera
ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan pelaksanaan lebih lanjut, hal ini termasuk dengan
penerapan sanksi.
Setiap sanksi yang ada di dalam undang-undang itu kata-katanya hanya ada satu yaitu : Harus
(ditegakkan). Jadi tidak ada kata maaf, tidak ada kata pembenar, karena sudah menjadi undang-
undang. Nah, saya sebagai orang yang berlatar-belakang hukum, saya harus katakan, dan karena itu
juga sumpah saya, saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal,ayat-ayat yang terkait dengan
masalah larangan. Permasalahannya sekarang adalah, sejauh mana upaya dari semua pihak,
termasuk saya, untuk menyosialisasikan butir-butir yang ada di dalam undang-undang (Penataan
Ruang) ini.
Terkait dengan penerapan undang-undang dimaksud di Provinsi Kalimantan Tengah adalah dengan
dilakukannya penyelarasan (revisi) RTRWP Kalimantan Tengah terhadap Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 yang sampai saat ini masih dalam proses paduserasi antara RTRWP dengan TGHK
(Departemen Kehutanan).
Butaru : Terkait kasus kebakaran hutan, bagaimana pandangan Bapak mengani cap bahwa
Indonesia mengeksport asap ke negara tetangga? Upaya-upaya apa yang akan Bapak lakukan untuk
melindungi kawasan hutan lindung agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya?
Teras Narang : Pandangan terhadap pernyataan bahwa Indonesia mengekspor asap ke negara
tetangga, saya sangat tidak setuju.
Sebab dilihat dari kata mengekspor mengandung arti adanya unsur kesengajaan, padahal kita semua
mengetahui bahwa asap yang timbul karena terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut sampai
di negara tetangga dibawa oleh angin yang bertiup melewati Indonesia menuju ke negara tetangga.
Juga kita ketahui bahwa terjadinya kebkaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Indonesia tidak
hanya semata-mata disebabkan oleh faktor manusia tetapi juga karena disebabkan oleh faktor alam.
Kawasan hutan di Indonesia yang masih sangat luas dibandingkan negara-negara tetangga,
keberadaannya menyebar di berbagai wilayah di Indonesia dan luasan terbesar berada di Pulau
Kalimantan dan Sumatera, sehingga hal ini cukup sulit untuk melakukan upaya-upaya pengendalian
atau pencegahan dan penanganan terjadinya kebakaran hutan. Apalagi dengan keterbatasan
kemampuan tenaga penanggulangan kebakaran hutan, ketersediaan sarana dan prasarana
pemadam kebakaran, serta kondisi medan menuju kawasan kebakaran yang berat. Pada kondisi
yang demikian diharapkan adanya peran negara tetangga dalam rangka pengendalian dan
penanganan masalah kebakaran hutan di Indonesia melalui kerjasama baik dalam bidang
peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, teknis pencegahan dan/atau
penanggulangan serta bantuan dana.
Butaru : Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang terkait dengan program ”Heart of
Borneo”. Apa harapan Bapak berkaitan dengan program-program yang telah diterapkan dalam HoB
ini? Hambatan-hambatan apa yang Bapak temui dalam melaksanakan program HoB ini? Manfaat
apa yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah terkait dengan penetapan ini?
Teras Narang : Harapan saya terkait dengan program-program yang diterapkan HoB adalah
program-program yang telah dibuat dapat diimplementasikan sesuai dengan rencana dan tujuan
yang hendak dicapai yaitu menyangkut konservasi dan pembangunan berkelanjutan serta
dilaksanakan secara selaras, seimbang dan berkesinambungan serta dikelola secara arif dan
bertanggungjawab tetap berpegang pada ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku an
menghormati hak-hak masyarakat di sekitar kawasan HoB.
Dalam melaksanakan program HoB selama ini belum/tidak dijumpai kendala atau hambatan yang
berarti. Kalaupun ada hambatan dapat diselesaikan bersama.
Manfaat yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah utamanya kelestarian hutan, spesies yang ada,
dan sumber daya alam serta kelestarian kondisi fisik hilirnya seperti iklim, topografi/geologi,
hidrologi dan lain sebagainya serta manfaat dapat mengakomodir kepentingan ekonomi, sosial dan
budaya baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun global dan tidak kalah pentingnya
adalah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar HoB.
Butaru : Inisiatif HoB ini juga sangat relevan dan terkait dengan Kerangka Konvensi PBB tentang
Perubahan Iklim, terutama dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
(Reduction of Emission from Deforestation and Degradation/REDD) yang dibahas di Bali pada
Konferensi Para Pihak ke 13 di Bali, Desember 2007. dengan konservasi dan pembangunan
berkelanjutan di wilayah HoB dimana deforestasi akan ditekan sekecil-kecilnya, wilayah yang
tercakup dalam HoB akan diuntungkan dengan mekanisme perdagangan karbon yang tercakup
dalam mekanisme REDD. Apa pendapat Bapak terkait dengan hal ini?
Teras Narang : Terkait dengan pernyataan bahwa daerah yang wilayahnya tercakup dalam HoB akan
diuntungkan dengan mekanisme perdagangan karbon yang tercakup dalam mekanisme REDD,
bahwa pernyataan yang sama pernah saya dengar dari LSM asing yang telah melaksanakan
konservasi di Kalimantan Tengah dan sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya. Seperti pernah
saya katakan menjelang dilaksanakan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali bahwa hal
tersebut sebelumnya perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat di Kalimantan Tengah agar kita
semua ada kesepahaman terkait hal dimaksud.
Butaru : Sesuai hasil pertemuan pertama HoB antar ketiga negara (1st HoB Trilateral Meeting) yang
diselenggarakan di Brunei Darussalam, tanggal 18 – 20 Juli 2007, masing-masing negara diminta
untuk menusun Program Aksi HoB Nasional dan mekanisme kerjasama antar ketiga negara. Bisa
Bapak gambarkan secara singkat Program Aksi HoB Nasional untuk Provinsi Kalimantan Tengah?
Teras Narang : Program Aksi HoB Nasional untuk Provinsi Kalimantan Tengah dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Kerjasama antar wilayah/kewenangan
Lingkup rencana aksi dan strategi untuk mewujudkan kerjasama antar wilayah/kewenangan
adalah
1) Penggunaan lahan berkelanjutan (Sustainable Land Use), meliputi :
- Kegiatan penentuan batas dan identifikasi kawasan yang masuk dalam wilayah
HoB,
- Kegiatan survey dan kajian sinkronisasi tata ruang lintas kabupaten dalam wilayah
pegunungan Schwanner,
- Kegiatan analisi land suitability System dan analisis perubahan penggunaan lahan,
- Kegiatan Survey atau kajian ancaman tegakan hutan tropis di kawasan Pegunungan
Muller – Schwanner dan Gunung Lumut,
2) Pengembangan Kapasitas Lembaga (Institutional Capacity Building), meliputi :
- Penguatan peran Kelompok Kerja Daerah untuk penguatan kelembagaan daerah
sesuai dengan PP 38/2007 dan PP 41/2007,
- Melakukan kajian-kajian yang bersifat holistik.
b. Pengelolaan kawasan lindung
1) Advokasi Kebijakan (Policy Advocacy), meliputi :
- Mendorong pengelolaan kawasan konservasi dan/atau hutan bernilai konservasi
tinggi,
- Pengamanan kawasan konservasi, khususnya di daerah perbatasan,
- Program pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber
daya alam lainnya,
- Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam.
2) Informasi dan Manajemen Pengelolaan Kawasan Lindung (Information and
Management), meliputi :
- Sosialisasi HoB di segala level,
- Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam,
- Program pengawasan dan penertiban kegiatan yang merusak lingkungan,
- Program pengelolaan kawasan pelestarian alam dan suaka alam,
- Pengembangan program pariwisata alam di kawasan Taman Nasional Bukit-Bukit
Raya (Kabupaten Katingan).
3) Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment), meliputi :
- Menyusun program pendidikan lingkungan,
4) Pelibatan peran swasta/BUMN (Corporate Engagement), meliputi :
- Mediator penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan HoB.
c. Pengelolaan Sumber Daya Alam di luar Kawasan Lindung
1) Penyempurnaan Kebijakan Sektor (Sector Reform), meliputi :
- Kegiatan analisis kebijakan dalam permasalahan sosial, budaya dan ekonomi,
- Kegiatan survey atau kajian sosial budaya dan ekonomi masyarakat di dalam dan di
luar kawasan Pegunungan Muller – Schwanner serta menemu kenali potensi
pengembangan ekonomi masyarakat,
2) Penggunaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Use), meliputi :
- Identifikasi produk unggulan lokal di masing-masing wilayah dan kajian dan survey
terhadap pengalaman serta model kelola SDA yang dilakukan oleh masyarakat di
sekitar kawasan HoB.
3) Information and Management, meliputi :
- Kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi konflik permasalahan sosial.
Butaru : Saya kira sudah sangat banyak hal yang Bapak jelaskan, terima kasih atas kesediaan Bapak
menyisihkan waktu untuk wawancara ini. Kami mohon pamit, terima kasih, Pak .........
Teras Narang : Sami-sami .................
Profil Wilayah Heart Of Borneo
Dewasa ini kesadaran pentingnya aspek lingkungan dirasakan semakin meningkat, bahkan menjadi topik yang
sering dibicarakan seiring dengan terjadinya berbagai gejala perubahan alam. Semangat peduli lingkungan ini
telah menjadi kepedulian bersama di berbagai negara, antara lain menjadi tema utama dalam pertemuan
United Nation For Climate Change (UNFCC) yang diselenggarakan pada bulan Desember tahun 2007 di Bali,
yang dihadiri oleh delegasi negara maju maupun sedang berkembang. Pertemuan ini menunjukkan “kampanye
cinta lingkungan” oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia. Salah satu contoh kepedulian terhadap
lingkungan di Indonesia yang dijadikan bahan pembahasan adalah keberadaan Heart of Borneo (HoB).
Heart of Borneo merupakan sebuah perwujudan konsep konservasi dan pembangunan berkelanjutan ke dalam
program manajemen kawasan di Pulau Borneo. Inisiatif HoB dilatarbelakangi kepedulian terhadap penurunan
kualitas lingkungan terutama kualitas hutan di Pulau Borneo, yang ditunjukkan dengan makin rendahnya
produktivitas hutan, hilangnya potensi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi hutan dari satu kesatuan
yang utuh dan saling terhubung. Penurunan kualitas lingkungan tersebut antara lain disebabkan oleh
pengelolaan lingkungan yang kurang bijaksana, pengambilan kayu secara ilegal dan pengalihan fungsi hutan.
Degradasi tutupan hutan di Pulau Borneo dapat dilihat seperti pada Gambar 1.
Dengan latarbelakang permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas, inisiatif HoB secara resmi muncul
pertama kali pada tanggal 5 April 2005 dalam pertemuan yang bertema Three Countries – One Conservation
Vision yang menjadi pertemuan cikal bakal HoB. Launching inisiatif HoB sendiri dilakukan pada side event
Convention On Biological Diversity (COB 8 – CBD) di Curitiba Brazil, berupa pernyataan kesediaan dari tiga
negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Kesediaan ini kemudian ditindaklajuti dengan penandatanganan
deklarasi HoB yang dilaksanakan pada tanggal 12 Februari tahun 2007. Naskah Deklarasi HoB ditandatangani
oleh Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam, Pehin Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji
Jumat, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, M.S Kaban dan Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid (Gambar 2).
Gambar 1: Peta Tutupan Hutan tahun 1990, 1950, 1965, 2000, dan 2005, serta Peta Proyeksi Tutupan Hutan tahun 2010 dan 2020 berdasarkan kecendrungan tahun 1900-2005
(Sumber : WWF)
Gambar 2: Penandatanganan Naskah Deklarasi Heart of Borneo oleh Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam, Pehin Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji Jumat; Menteri Kehutanan Republik Indonesia, M.S Kaban dan
Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan Tengah)
Naskah deklarasi HoB secara garis besar berisi tiga butir kesepakatan. Pertama kerjasama manajemen sumber
daya hutan yang efektif dan konservasi terhadap area yang dilindungi, hutan produktif, dan penggunaan lahan
lainnya yang berkelanjutan. Kedua inisiatif HoB merupakan kerjasama lintas batas yang sukarela dari tiga
negara. Ketiga, kesepakatan untuk bekerjasama berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Naskah
deklarasi HoB secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3: Naskah Deklarasi HoB (Sumber: BKTRN)
Adapun luas cakupan wilayah HoB yang menjadi acuan sementara sampai saat ini yaitu meliputi areal seluas
kurang lebih 22 juta hektar, yang secara ekologis saling terhubung. Areal tersebut secara administratif
terbentang di wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Deliniasi wilayah HoB
yang lebih rinci, masih dalam tahap pembahasan antarnegara untuk mencapai kesepakatan, dibandingkan
dengan usulan awal wilayah HoB pada bulan April tahun 2005 dan perkembangan usulan baru dari masing-
masing negara tahun 2008 ini. Peta usulan deliniasi wilayah HoB pada awal tahun 2005 serta perkembangan
pada pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB pada bulan Januari 2008, dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4: Peta Usulan Awal Batas HoB Bulan April Tahun 2005 dan Peta Usulan Batas HoB Hasil Pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB Bulan Januari Tahun 2008
(Sumber: BKTRN)
Pertemuan Tiga Negara yang Kedua (Second Trilateral Meeting), yang diadakan di Kota Pontianak Provinsi
Kalimantan Barat, pada tanggal 2-4 April 2008 yang lalu, menghasilkan usulan batas baru wilayah HoB. Usulan
dari masing-masing negara tersebut diharmonisasikan dalam suatu peta harmonisasi batas HoB yang dapat
dilihat pada Gambar 5. Batas yang diajukan dalam pertemuan ini masih dalam tahap pembahasan, yang
diharapkan dapat mencapai suatu kesepakatan batas yang tidak saja sesuai dengan kepentingan masing-
masing negara, namun lebih utama adalah kepentingan perwujudan kelestarian lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan yang menjadi tujuan utama inisiatif HoB.
Gambar 5: Peta Harmonisasi Batas HOB Sesuai dengan Usulan Masing-Masing Negara pada 2
nd Trilateral Meeting
Sumber : 2nd Trilateral Meeting
Sejalan dengan deliniasi batas HoB yang sedang dalam proses pembahasan, sampai saat ini juga belum
terdapat angka resmi yang telah disepakati oleh tiga negara mengenai luasan definitif wilayah cakupan kerja
HoB. Sebagai acuan dalam mendiskusikan program HoB, digunakan cakupan luas sementara wilayah HoB di
tiga negara. Berdasarkan data sementara dari Kelompok Kerja HoB Provinsi Kalimantan Tengah, persentase
wilayah kerja HoB yaitu 57% berada di Indonesia, 42% di malaysia, dan 1% di Brunei Darussalam, yang
perinciannya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemanfaatan Lahan Heart of Borneo
Propinsi/Negara Bagian Negara Total Area HoB
(Ha) Persentase Area HoB
Kalimantan Tengah Indonesia 2,466,000 11,2
Kalimantan Barat Indonesia 4,010,000 18,2
Kalimantan Timur Indonesia 6,137,000 27,8
Brunei Brunei 131,570 0,6
Serawak Malaysia 5,373,000 24,3
Sabah Malaysia 3,968,000 17,9
Total 22,085,570 100
Sumber : Kelompok Kerja HoB Kalimantan Tengah
Wilayah cakupan HoB terdiri dari kawasan lindung (taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan
lindung), kawasan budidaya kehutanan (HPH dan HTI) serta kawasan budidaya non kehutanan (perkebunan,
pertambangan, dll). Wilayah HoB Indonesia diperkirakan seluas 12,6 juta hektar yang terdiri dari 2,7 juta
hektar hutan konservasi (21,46%), 1,1 juta hektar hutan lindung (9,5%), 4,9 juta hektar hutan produksi (38,9%),
serta 3,8 juta hektar (30,17%) areal penggunaan lainnya (Gambar 6).
Dari Gambar 6 dapat dilihat adanya
keberagaman pemanfaatan lahan pada
usulan wilayah HoB di Indonesia.
Pemanfaatan luas cakupan wilayah HoB
tersebut terdiri dari 31% kawasan lindung,
sementara sebagian besar justru merupakan
kawasan budidaya. Hal ini menunjukkan
bahwa inisiatif HoB bukan semata-mata
merubah keseluruhan kawasan menjadi
kawasan lindung, tetapi juga melaksanakan
manajemen pengelolaan kawasan budidaya
berbasis keberlanjutan lingkungan.
Manajemen wilayah HoB perlu dilakukan
secara terpadu mengingat pentingnya fungsi
HoB sendiri dan terhadap lingkungan
sekitarnya. HoB memiliki fungsi penting
sebagai sumber keanekaragaman hayati
seperti sebagai “rumah” bagi spesies penting
dan langka seperti orang utan dan badak,
serta memiliki berbagai jenis serangga yang
bahkan belum pernah ditemukan di bagian
dunia lainnya. Selain sebagai sumber keanekaragamn hayati, HoB juga berperan sebagai “menara air” bagi
seluruh wilayah Pulau Borneo, yaitu setidaknya merupakan sumber air bagian hulu bagi 14 dari 20 sungai
utama di Pulau Borneo antara lain Sungai Kapuas, Katingan, Barito dan Mahakam.
Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan wilayah HoB dalam perlindungan hulu sungai, yang menjadi
sumber air bagi anak-anak sungai di hampir seluruh wilayah Pulau kalimantan. Lebih lanjut disadari bahwa
keberadaan HoB yang juga sebagai daerah resapan air yang akan menjamin ketersediaan cadangan air, dan
peningktan kualitas air di Pulau Borneo.
Dengan demikian pemanfaatan wilayah HoB harus dikelola sebagai satu kesatuan ekosistem, mulai dari hulu,
tengah hingga hilir. Berdasarkan pendekatan ekosistem ini, program-program berkelanjutan dan konservasi
yang dilaksanakan dalam kerangka kerjasama tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam,
perlu terus dikembangkan. Ruang lingkup kegiatan HoB di tiga negara tersebut antara lain:
Melakukan inventarisasi, analisis kesenjangan, merumuskan dan melaksanakan program aksi (action
plan)
Melanjutkan aktivitas program yang sedang berjalan;
Melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan di tiga negara untuk mengidentifikasi prioritas
kerja dan kesempatan investasi;
Bapak Moses, Pokja HoB (BPLHD) Kalimantan
Tengah
“Salah satu konsep kegiatan HoB, termasuk di dalamnya adalah tata
ruang. Konsep tersebut harus memperhatikan RTRWP dan RTRWK,
karena apabila tidak memperhatikan hal itu maka tidak jelas akan dibawa
kemana pembangunan ini. Ada satu hal yang saya sarankan yaitu kita
menyiapkan tata ruang dikaitkan dengan persoalan global yaitu
perubahan iklim. Karena kita melihat kebakaran hutan dan deforestasi
salah satu penyebabnya adalah pemanasan global. Ini menjadi visi kita ke
depan untuk menyelematkan lingkungan dan mensejahterakan
masyarakat. Kesepakatan 3 negara terhadap HoB merupakan langkah
awal untuk kita, bagaimana melindungi dan mengelola hutan di kawasan
Indonesia, dan Kalimantan pada khususnya. Cara menyelamatkan
masalah lingkungan dan bagaimana pengelolaan lingkungan ke depan,
merupakan hal yang harus masuk dalam rencana tata ruang. Artinya
kalau kita tidak masukan ke dalam rencana tata ruang, maka grand
design penyelamatan HoB ini tidak tahu mau dibawa kemana lingkungan
kita ini. Untuk Kalimantan Tengah, Bapak Gubernur saat ini sedang
mempersiapkan satu kegiatan yaitu bagaimana membawa semua sektor
melahirkan satu kebijakan-kebijakan yang berwawasan lingkungan,
kebijakan yang berkelanjutan, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Sedang dipersiapkan oleh satu pokja untuk menyusun naskah akademis
dan naskah kebijakannya. Kita juga mendukung kebijakan pusat berkaitan
dengan penetapan beberapa kawasan untuk dijadikan taman nasional. “
Membangun kelembagaan HoB di tiga negara; dan
Menentukan prioritas pembangunan lintas batas.
Berdasarkan ruang lingkup kegiatan tersebut, disusun program-program kegiatan HoB antara lain:
a. Pengelolaan Kawasan Perbatasan, yang meliputi:
Penyusunan rencana induk (master plan) pengelolaan kawasan HoB melalui proses-proses yang
partisipatif, mengakomodasi praktek dan prakarsa lokal, transparan, dan bertanggung jawab;
Pelaksanakan kerjasama pengamanan dan penegakan hukum lebih erat di antara tiga negara;
Penyelenggaraan mekanisme komunikasi dan pertukaran informasi yang efektif untuk keselarasan
rencana tata ruang perbatasan, kebijakan atau aktivitas yang berdampak penting pada HoB;
Pelaksanaan penelitian bersama melalui mekanisme yang berlaku di masing-masing negara.
b. Pengelolaan Kawasan Lindung, yang meliputi:
Rekomendasi kawasan lindung dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya, ekologi,
dan keanekaragaman hayati serta membangun sistem pengelolaan kawasan lindung lintas batas;
Pelaksanaan kelanjutan inisiatif pengembangan kawasan konservasi lintas batas dalam kerangka
kerjasama bilateral dan multilateral;
Pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya air lintas batas;
Pelaksanaan evaluasi ekonomi untuk skema ekonomi jasa lingkungan;
Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan lindung yang rusak.
c. Pengelolaan Kawasan Budidaya
Penerapan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan dalam pelaksanaan pembangunan di
kawasan budidaya oleh pihak terkait;
Pelaksanaan sertifikasi terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan kaidah-
kaidah kelestarian;
Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan budidaya yang rusak.
Sebagai kelanjutan dari penandatanganan Deklarasi HoB oleh 3 (tiga) negara, seperti disebutkan sebelumnya,
telah dilaksanakan Second Trilateral Meeting HoB pada tanggal 4-5 April 2008 di Pontianak. Pertemuan ini
dihadiri oleh delegasi dari masing-masing negara yaitu Delegasi dari Malaysia dipimpin oleh Direktur
Kehutanan Sarawak, Delegasi dari Brunei Darussalam dipimpin oleh Direktur Kehutanan Brunei Darussalam,
dan Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Direktur Konservasi Kawasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan, serta para peserta dari Menko Perekonomian, Bappenas,
dan Pemerintah Daerah terkait (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur) dan perwakilan
WWF.
Sebagai perwujudan deklarasi HoB dan tindak lanjut dari cakupan kegiatan di tiga negara yang telah
disebutkan di atas, pada Second Trilateral Meeting HoB tersebut masing-masing negara telah menyusun dan
mengajukan program rencana aksi. Dengan menyusun rencana aksi ini, setiap negara khususnya Indonesia
mengharapkan agar tercipta prinsip, definisi dan langkah implementasi yang menjadi dasar bagi kebijakan HoB
di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Selain itu, diharapkan terdapat dasar yang terpadu dalam
implementasi manajemen sumber daya, pembangunan masyarakat, dan pembangunan ekonomi bagi seluruh
pemerintahan di dalam wilayah HoB. Rencana aksi dan strategi juga diharapkan menjadi suatu referensi dalam
implementasi program prioritas dan mobilisasi sumberdaya di dalam manajemen HoB oleh seluruh elemen
pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adapun program rencana aksi yang disusun
oleh setiap negara tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 2.
Tabel 2. Program Rencana Aksi Heart of Borneo, Negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam
Program
Rencana Indonesia Malaysia Brunei Darussalam
Aksi
Membangun manajemen sumber daya kehutanan dan konservasi alam di kawasan yang dilindungi
Meningkatkan kebijakan lokal
Mengimplementasikan prinsip pembangunan berkelanjutan melalui kegiatan penelitian
Menyusun dokumen proyek nasional;
Menyusun anggaran pembiayaan di tingkat Pusat; dan
Merinci alokasi anggaran yang akan disusun oleh pemerintah daerah
Melestarikan kawasan hutan, sumber daya air, dan berbagai jenis ekosistem di dalamnya;
Memberikan kontribusi melalui diversifikasi ekonomi dengan cara pemanfaatan produksi non kayu dalam rangka meningkatkan kelestarian hutan;
Melakukan penghijauan kembali kawasan hutan yang telah mengalami degradasi; dan
Melibatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan hutan
Sumber: Bappenas, 2008
Berbagai program dan rencana aksi yang dirumuskan di atas merupakan suatu wujud upaya untuk mencapai
tujuan keberlanjutan lingkungan Borneo, melalui manajemen kawasan Heart of Borneo. Instrumen yang sangat
penting dalam manajemen kawasan HoB adalah rencana tata ruang di kawasan tersebut. Konsep pengelolaan
HoB sebagai suatu ekosistem terpadu turut terakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN). Dalam PP nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN disebutkan penetapan HoB sebagai salah satu
kawasan Strategis Nasional (KSN), dengan kriteria sebagai KSN dalam tahapan pengembangan I dengan titik
berat pada rehabilitasi/revitalisasi kawasan.
Lebih lanjut, secara umum Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
terkait, dan khususnya Rencana Induk (master plan) Heart of Borneo menjadi suatu elemen penting dan
dijadikan sebagai acuan bagi pelaksanaan pengelolaan kawasan HoB ke depan. Seperti dikutip dari kalimat
pembuka kegiatan sosialisasi ekowisata HoB di Palangkaraya “Apabila kita salah dalam perencanaan, berarti
kita merencanakan suatu kegagalan, dan sebaliknya, perencanaan yang matang adalah langkah awal
keberhasilan”.
Heart of Borneo (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan Tengah)
KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN
PENATAAN RUANG
Oleh :
Deddy Koespramoedyo, MSc.
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas
I. Pendahuluan
UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan merupakan payung hukum bagi
pelaksanaan perencanaan pmbangunan dalam rangka menjamin tercapainya tujuan negara, yang digunakan
sebagai arahan di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan secara nasional. Menurut undang-undang
tersebut, rencana pembangunan terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana pembangunan
memuat arahan kebijakan pembangunan yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh
wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJPD dan RPJMD yang mengacu pada RPJP dan
RPJM Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh Kementerian/Lembaga.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa rencana tata ruang
merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang
diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian
pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait,
yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana
tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di
dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan
berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka
Undang-Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat
mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan
sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan.
Pendekatan top-down dan partisipatif dalam perencanaan pembangunan yang ada dalam UU No. 25/2004
terwujud dalam bentuk rangkaian musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan secara
berjenjang dari mulai tingkat Kabupaten/Kota sampai dengan Nasional. Rangkaian forum ini menjadi bagian
dalam menyusun sistem perencanaan dan alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap
tahun. Secara top down, Pemerintah telah menetapkan rencana kerja pemerintah berikut alokasi anggaran yang
ditetapkan dan akan digunakan didalam membiayai kegiatan pembangunan secara nasional. Secara partisipatif,
proses perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder di pusat dan daerah.
Perencanaan pembangunan adalah suatu proses yang bersifat sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan,
sangat terkait dengan kegiatan pengalokasian sumberdaya, usaha pencapaian tujuan dan tindakan- tindakan di
masa depan. Segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus diatur di dalam rencana tata ruang seperti
yang tercantum di dalam UU No. 26/2007, bahwa penataan ruang terbagi atas kegiatan perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian keterkaitan antara perencanaan
pembangunan dan penataan ruang sangat penting dalam rangka optimalisasi sumberdaya alam dan buatan yang
terbatas dan mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia.
Keterkaitan antara rencana pembangunan dengan penataan ruang dapat dilihat pada skema berikut.
Gambar 1.
Skema Keterkaitan Rencana Pembangunan dengan Rencana Tata Ruang
mengacu mengamanatkan mengamanatkan
Penjelasan Skema:
1) RPJPN merupakan amanat yang disusun berdasarkan UU No. 25/2004, sedangkan RTRWN disusun
berdasarkan amanat yang terdapat pada UU No. 26/2007.
2) Rencana Pembangunan (Nasional dan Daerah) dan Rencana Tata Ruang harus dapat saling mengacu dan
mengisi. Berdasarkan pasal 19 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, bahwa di dalam penyusunan
RTRWN harus memperhatikan RPJPN, dan pada pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa RTRWN menjadi
pedoman untuk penyusunan RPJPN. RTRWN merupakan pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan
kegiatan yang bersifat “keruangan”. RPJPN dan RTRWN memiliki batas waktu selama 20 tahun. Untuk
RTRWN dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
seperti terjadi bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan,
perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan UU, perubahan batas wilayah provinsi yang
ditetapkan dengan UU (khusus RTRWP dan RTRWK), dan perubahan batas wilayah kabupaten/kota
yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWK).
3) RPJMN merupakan turunan dari RPJPN yang memiliki batas waktu selama 5 tahun. Penjabaran RPJMN tertuang di dalam RKP yang dirumuskan setiap tahun dan disusun melalui Murenbangnas.
II. Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam Pembangunan Nasional
Peranan penataan ruang didalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang terjabarkan pada rencana
pembangunan sangatlah penting. Segala kegiatan yang tentu saja membutuhkan ruang sebagai wadah
pendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur di dalam rencana tata ruang. Namun, dalam
pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai kendala dan tantangan yang disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya:
1. Perencanaan Tata Ruang
Penyusunan rencana tata ruang di masa lalu pada umumnya sudah baik namun dalam beberapa hal produk
rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum diacu dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan
beberapa hal diantaranya adalah: data dan informasi yang digunakan kurang akurat dan belum meliputi analisis
pemanfaatan sumberdaya kedepan, penyusunan rencana tata ruang sering dilaksanakan hanya untuk memenuhi
mengisi
UU No.
25/2004
UU No.
26/2007
RPJMN
RKP
mengisi
RPJPN RTRWN
mengacu
kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah) sesuai Undang-undang dan Peraturan Daerah, rencana tata ruang uang
disusun, terutama di tingkat daerah, seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu dan belum menjadi
dokumen milik semua instansi karena penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak.
Permasalahan lain yang terjadi terkait dengan perencanaan tata ruang adalah seringkali perencanaan suatu
kegiatan yang menggunakan ruang secara blue print tidak tergambar secara detail di dalam suatu peta rencana
yang dapat menyebabkan pada pelanggaran didalam pemanfaatan ruang.
2. Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang suatu wilayah atau daerah seringkali tidak sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam
rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah. Kebutuhan mendesak akan ruang, baik yang disebabkan oleh
pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Hal ini
terkait erat dengan rencana tata ruang yang tidak sesuai, dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam
jangka menengah maupun panjang maupun tidak adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran rencana tata
ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat dan pemerintah (daerah) terutama terjadi di daerah-daerah yang baru
dibentuk sebagai akibat pemekaran daerah.
Dalam mengantisipasi kebutuhan masyarakat dan pemerintah, perubahan rencana tata ruang serta suatu
peraturan dan perundangan yang mengatur tata ruang seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan segera dan
membutuhkan waktu yang relatif lama. Misalnya dalam proses alih fungsi kawasan hutan (produksi maupun
lindung) yang diminta oleh daerah, maka prosesnya harus mengikuti ketentuan yang ada sesuai Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan proses ini akan memakan waktu yang cukup lama (hampir satu
tahun bahkan lebih).
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian dari penataan ruang digunakan sebagai alat untuk
menertibkan kegiatan yang akan dan atau telah melanggar tata ruang pada jalur yang sesuai dengan muatan yang
terdapat pada produk rencana tata ruang.
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh arus urbanisasi mengakibatkan
pengelolaan ruang kota semakin berat. Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun,
sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan penduduk. Masalah perekonomian yang menjadi
pemicu didalam pembangunan nasional, menjadikan berbagai kegiatan pendukung ekonomi menjadi faktor
utama di dalam kegiatan pembangunan. Hal tersebut berdampak pada maraknya alih fungsi lahan yang
dilakukan dalam rangka melangsungkan dan mendukung kegiatan ekonomi.
Kewenangan yang sudah banyak didelegasikan kepada Pemerintah Daerah melalui kebijakan otonomi daerah
dan desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk mencari berbagai sumber pendapatan baru untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah melalui berbagai kegiatan ekonomi, termasuk alih fungsi lahan tanpa
memperhitungkan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Salah satu upaya tersebut antara lain melalui
pemberian perizinan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam rencana tata ruang. Sebagai
dampaknya, bentuk pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin marak terjadi yang dapat mengganggu
lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang tentunya merugikan bagi masyarakat.
4. Kelembagaan Penataan Ruang
Kelembagaan penataan ruang mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mensinkronisasikan kegiatan
pembangunan dengan rencana tata ruang. Namun, permasalahan yang terjadi seringkali sulit untuk menciptakan
sinkronisasi kelembagaan dan hal ini terwujud dalam bentuk konflik penataan ruang yang disebabkan oleh tidak
sinkronnya kegiatan antar sektor dan antar daerah. Ego sektoral dan daerah masih menjadi masalah utama
dalam hal ini. Selain itu, konflik kewenangan pun terjadi secara hirarki antar instansi pemerintahan. Sebagai
contoh, konflik antar sektor kehutanan dengan pemerintah daerah dalam pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini
berdampak pada sulitnya pemerintah daerah dalam melaksanakan penyusunan rencana tata ruang wilayahnya.
Oleh karena itu peranan kelembagaan penataan ruang dalam menjembatani hal tersebut sangatlah penting.
III. Beberapa Solusi dalam Menghadapi Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dan
Pembangunan Nasional
Berdasarkan uraian tantangan yang telah dikemukakan di atas, maka beberapa solusi yang dianggap perlu
sebagai bahan pertimbangan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
1. Penyelarasan implementasi terhadap rencana pembangunan dengan rencana tata ruang melalui mekanisme
yang diatur didalam suatu kebijakan/peraturan.
2. Perlunya sinkronisasi kebijakan antar sektor dan instansi pemerintahan secara hirarki untuk mewujudkan
keselarasan program pembangunan.
3. Mewujudkan keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas provinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan
sinergi struktur pemanfaatan ruang.
4. Perlunya penyusunan rencana tata ruang yang berkualitas dan menyeluruh.
5. Produk rencana tata ruang daerah harus dibuat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah yang selaras
dengan visi dan misi daerah.
6. Ketegasan sanksi dan ketetapan hukum sebagai alat yang digunakan untuk mengendalikan segala bentuk
pemanfaatan ruang.
7. Penyelenggaraan sosialisasi dalam rangka memberikan informasi pentingnya peranan penataan ruang
didalam pelaksanaan program pembangunan kepada masyarakat.
8. Peningkatan manajemen kelembagaan penataan ruang baik di Pusat maupun di daerah.
9. Mendorong kemitraan secara vertikal dan horisontal yang bersifat kerjasama pengelolaan (co-management)
dan kerjasama produksi (co-production).
10. Mewujudkan konsistensi dalam penyerasian rencana tata ruang dengan rencana pembangunan antar
pemangku pemerintahan, baik pada tingkat legislatif maupun eksekutif.
Implikasi Ketentuan Sanksi
Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Oleh
Indra Perwira1
1 Indra Perwira adalah Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Hukum dan Dinamika Sosial, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Akibat Tidak ada Sanksi Pidana
Sebagai salah seorang yang diminta BKTRN untuk menyusun Naskah Akademik yang kemudian melahirkan
UU Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, ada baiknya bila penulis terlebih dahulu menyampaikan
latar belakang kenapa dalam UU ini terdapat ketentuan sanksi, sementara dalam undang-undang sebelumnya
(UU 24 tahun 1992) tidak ada.
Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR) ditetapkan berdasarkan pemikiran
bahwa ruang wilayah NKRI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dengan letak dan
kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat. Untuk itu, Ruang baik sebagai wadah maupun sebagai sumberdaya alam di
wilayah daratan, lautan dan udara harus dilola secara terpadu dan terkoordinasi dengan sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan, sehingga tercipta tatanan lingkungan yang dinamis, serasi dan seimbang antara
pertumbuhan ekonomi, pelestarian kemampuan lingkungan dan ketahanan nasional.
Sejalan dengan pendekatan di atas, UUPR terdahulu lebih banyak mengatur keterpaduan proses dan institusi,
sehingga kaidah-kaidah hukum yang dimuat lebih bersifat adminitratif. Kaidah-kaidah perilaku masyarakat yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang memang sengaja tidak banyak diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini
didasarkan pertimbangan bahwa kaidah-kaidah perilaku tersebut telah diatur dalam undang-undang sektoral,
seperti Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Perindustrian, Undang-undang Pengairan dan sebagainya. Dengan semikian, jika seseorang melanggar tata ruang maka penerapan
sanksi pidana tergantung pada peruntukan yang dilanggar. Mungkin sanksi pidana dari Undang-undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Konservasi, atau Undang-undang
yang lainnya.
Pendekatan yang komprehensif tersebut ternyata dalam prakteknya tidak dapat berjalan efektif, antara lain
disebabkan karena Undang-undang sektoral belum spesifik mengadopsi pendekatan ruang. Contohnya Undang-
undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terkait langsung dengan penataan
ruang, hanya dapat diterapkan sanksinya sepanjang pada perubahan fungsi ruang (peruntukan) itu terdapat unsur
“pencemaran” dan/atau “kerusakan” lingkungan. Dengan demikian, terdapat beberapa kaidah perilaku yang
luput dari pengaturan UUPR.
Kewajiban setiap orang untuk menaati Rencana Tata Ruang adalah kaidah perilaku yang sangat mendasar dalam UUPR. Sebab upaya apapun yang dilakukan dalam Penataan Ruang tidak berguna apabila tidak disertai dengan
kepatuhan terhadap Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan. Ketika kepatuhan terhadap hukum mengendor
karena pudarnya kesadaran hukum maka ancaman sanksi pidana memang diperlukan. Sayangnya UUPR tidak
mengatur sanksi pidana, sehingga pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang diserahkan sepenuhnya pada
instrumen penegakan hukum administrasi.
Sebenarnya terdapat berbagai macam instrumen hukum administrasi yang dapat dijalankan oleh administrasi
negara di tingkat pusat dan daerah, seperti pengawasan, pelaporan, teguran, penertiban dan pencabutan izin.
Akan tetapi, instrumen penegakan hukum administrasi ini dalam praktek belum banyak digunakan. Hal itu
disebabkan antara lain:
1. Belum ada Undang-undang khusus (Hukum Administrasi) yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi
administrasi negara untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap pelanggar aturan dan kebijakan,
termasuk Rencana Tata Ruang. 2. Beberapa Undang-undang, seperti Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan,
Undang-undang Perlindungan Konsumen dan lain-lain sebenarnya telah cukup mengatur instrumen hukum
administrasi tersebut, tetapi aparatur pemerintah “kurang kreatif” dan hanya menggunakannya terhadap isu
yang spesifik diatur dalam undang-undang tersebut.
3. Penegakan hukum administrasi dianggap “high cost”, baik dari aspek ekonomi, sosial dan politik.
Belum terdapat mekanisme penyesesaian konflik penataan ruang
Dalam Undang-undang terdahulu mengenai penataan ruang (UU No. 24/1992) pada pasal 26 menyatakan:
(1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala daerah bersangkutan.
(2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan telah diperoleh dengan itikat baik, terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang
layak.
Berdasarkan pasal di atas, memberikan makna bahwa ketentuan ayat (1) berada dalam wilayah hukum
admisistrasi, sementara ayat (2) berada dalam wilayah hukum perdata. Dengan demikian UUPR yang lama, di
satu sisi telah memberikan wewenang yang kuat kepada Bupati/Walikota untuk membatalkan izin, di sisi lain
menjamin perlindungan hukum atas kerugian yang diderita oleh pihak yang beritikad baik.
Namun sayangnya kewenangan itu belum disertai dengan prosedur penegakannya yang akan dapat membuat
persoalan-persoalan hukum yang terkait menjadi jelas. Persoalan-persoalan yang mungkin akan timbul antara lain:
a. Apakah pembatalan satu izin akan membatalkan izin-izin lain yang terkait ? Contohnya, apakah pembatalan
izin lokasi akan berpengaruh pada izin mendirikan bangunan (IMB) ? Sebab jika hal tersebut tidak
berkaitan, maka pembatalan itu tidak akan berpengaruh apapun. Seseorang dapat terus mendirikan
bangunan atas dasar IMB yang diperolehnya.
b. Apakah Bupati/Walikota dapat membatalkan izin-izin yang diterbitkan oleh instansi/pejabat lain, seperti
Gubernur atau Menteri ?
Prinsip umum hukum administrasi menyatakan bahwa izin hanya dapat dicabut atau dibatalkan oleh pejabat
yang menerbitkannya, atau apabila terjadi sengketa dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan (PTUN). Jadi
Bupati/Walikota tidak dapat membatalkan izin yang diterbitkan oleh Gubernur atau Menteri. Lalu apa yang
dapat dilakukan Bupati/walikota terhadap izin tersebut padahal izin tersebut bertentangan dengan Rencana Tata
Ruang Kabupaten/Kota?.
Pengawasan adalah tindakan hukum administrasi yang dilakukan pemerintah atau pemerintah daerah untuk
mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran. Pengawasan mempunyai dua dimensi, yaitu internal dan ekternal.
Pengawasan ekternal ditujukan untuk memantau kepatuhan masyarakat, sedangkan pengawasan internal
ditujukan terhadap instansi/pejabat pemerintah.
UUPR menetapkan hirarki Rencana Tata Ruang sedemikian rupa guna menjamin keterpaduan, sehingga
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupeten/Kota tidak boleh saling bertentangan dengan Rencana Tata Ruang
daerah tetangganya serta dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan yang terakhir tidak boleh
bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Namun demikian, UUPR tidak mengatur
mekanisme untuk mengatasi kenyataan empirik bahwa banyak Rencana Tata Ruang Kabupaten/kota
bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Provinsi.
Kaidah-kaidah Multi Tafsir
Dalam UUPR terdahulu, kaidah-kaidah perilaku hanya diatur dalam Bab III mengenai Hak dan Kewajiban yang
terdiri dari Pasal 4, 5 dan 6. Pasal 4 ayat (1) menyatakan :
“Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan
ruang.”
Ketentuan dalam ayat ini dalam prakteknya melahirkan berbagai interpretasi. Selain pertanyaan apakah “ruang”
yang dimaksud berkaitan dengan hak atas tanah yang bersangkutan, terhadap “ruang” publik, atau termasuk
pada “ruang” yang secara hukum terkait dengan hak orang lain? Ada yang berpendapat ketentuan itu
sesungguhnya mengatur dua kaidah (norma) berjenjang, yaitu :
a. Hak menikmati pemanfaatan ruang;
b. Hak menikmati pertambahan nilai ruang.
Untuk dua kaidah berjenjang seperti itu lazimnya di antara keduanya diletakkan tanda “,” (koma). Penafsiran lain menyatakan bahwa kaidah yang kedua merupakan salah satu bentuk konkritisasi hak menikmati manfaat
ruang. Pertanyaannya, selain hak menikmati pertambahan nilai ruang, hak apa lagi yang termasuk dalam hak
menikmati manfaat ruang ?
Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan anak kalimat “akibat penataan ruang”. Apakah mengacu kepada kedua
kaidah tersebut atau pada yang terakhir saja ? Jika mengacu pada keduanya maka timbul pertanyaan, bagaimana
sekiranya penataan ruang itu mengurangi hak seseorang untuk menikmati ruang? Perancang UUPR menunjuk
pada ayat berikutnya, sebagai berikut:
“Setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang”
Dalam Penjelasan disebutkan bahwa:
“Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang yang dapat
membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang”
Persoalan hukum yang terdapat pada ayat (1) di atas, ternyata dijawab tidak dalam Batang Tubuh, melainkan
dalam Penjelasan Ayat (2) huruf c, dan sebagaimana layaknya Penjelasan, maka hal ini berarti tidak mempunyai
kekuatan mengikat yang kuat.
Ayat (2) huruf c itu sendiri mengandung beberapa persoalan hukum, yaitu: a. Dimanakah perlindungan bagi hak rakyat untuk memperoleh ganti rugi akibat pelaksanaan pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang ?
b. Apakah rencana tata ruang cukup dijadikan bukti dan dasar bagi tuntutan ganti rugi atas perubahan nilai
ruang ? Pertanyaan ini muncul sebab ditegaskan bahwa perubahan nilai ruang itu akibat penataan ruang,
sementara Pasal 1 telah menetapkan definisi penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Kewajiban-kewajiban masyarakat diatur dalam Pasal 5, sebagai berikut:
(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang.
(2) Setiap orang berkewajiban menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan
Perumusan norma pada Ayat (1) sangat kabur (vague norm). Perumusan sebuah norma yang tegas akan
berbunyi, “setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas ruang”. Istilah peran serta (participation) dari
perspektif hukum menunjukkan bahwa subjek hukum bersangkutan bukan pihak yang berkewajiban atau mempunyai tanggung jawab utama memelihara kualitas ruang. Dalam Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa,
“Negara menyelenggarakan penataaan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah”. Berdasarkan pasal tersebut, maka pelaku utama penataan ruang
adalah Pemerintah. Oleh karena itu terhadap subjek hukum selain Pemerintah, lazimnya tidak diletakkan
“kewajiban”, melainkan “hak”, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b.
Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan bahwa “kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan
penceminan rasa tanggung jawab sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang.” Penjelasan ini memuat
kaidah yang jauh lebih tegas, dan mengandung satu makna bahwa “setiap orang berkewajiban dalam
memelihara kualitas ruang”.
Kapasitas Kelembagaan yang Dibentuk Kurang Kuat
Aspek kelembagaan yang dimaksud tidak sebatas struktur organisasi, wewenang, tugas, dan fungsinya, tetapi
lebih dari itu yaitu bagaimana menguji dan menilai apakah lembaga tersebut sudah efektif dan responsif dengan
tuntutan untuk memecahkan berbagai masalah dalam penataan ruang. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang
komprehensif mengenai keberadaan kelembagaan beserta aspek-aspek yang melingkupinya.
Untuk kelembagaan di daerah, UUPR mengadopsi kelembagaan yang ada berdasarkan UU No.5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan di Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti PP No.6 tahun 1988
tentang Kordinasi Instansi Vertikal di Daerah. Penyelenggaan penataan ruang wilayah Provinsi dilakukan oleh
Gubernur dengan kewenangan yang lebih bersifat kordinatif. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dengan kewenangan-kewenangan nyata (action), sesuai dengan prinsip Pasal
11 UU No. 5 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa “titik berat otonomi daerah berada di Tingkat II”
(Kabupen/Kota). Di tingkat Nasional, Pasal 29 UUPR menyatakan kewenangan penataan ruang berada pada
Presiden, dan menugaskan Presiden untuk menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang.
Dengan demikian UUPR mengatur bahwa kelembagaan dalam penyelenggaraan penataan ruang di tingkat
nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di tingkat Daerah dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pengertian menyelengarakan adalah suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang
hukum publik. Adapun tugas dan kewajiban Menteri dalam penataan ruang wilayah negara antara lain adalah
memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dengan masyarakat.
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya benturan kepentingan di antara instansi sektoral, maka UUPR telah
menyatakan dengan tegas perlunya koordinasi. Dalam hal ini kemudian menugaskan kepada Presiden untuk
menunjuk seorang menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Tugas koordinasi tersebut
meliputi keseluruhan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Adapun sektor yang
berada di bawah koordinasi menteri tersebut antara lain kehutanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, permukiman, perindustrian dan perdagangan.
Di atas kertas misi yang diamanatkan oleh UUPR tersebut relatif jelas, yakni terkoordinasikannya wewenang,
tugas, dan kewajiban setiap instansi dalam penataan ruang, baik secara struktural, substansial, maupun
fungsional. Namun demikian apabila kita tilik lebih jauh apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan sektoral yang berkaitan erat dengan penataan ruang, maka tugas menteri yang mengkoordinasikan
tidak ringan, sebab masing-masing instansi sektor tersebut didukung (di-backup) oleh dasar hukum yang kuat
dalam pelaksanaan wewenang, tugas, dan kewajibannya masing-masing. Tentu saja masing-masing peraturan perundang-undangan sektor tersebut tidak ada sama sekali, baik eksplisit maupun implisit, suatu klausul yang
menyatakan misalnya bahwa dalam hal terkait dengan wewenang penataan ruang (di sektornya), maka perlu
berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan penataan ruang. Hal ini
dapat dilihat, misalnya di sektor pertambangan, pada Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan disebutkan bahwa: “tata usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan
hasil pertambangan dipusatkan kepada Menteri Pertambangan”. Demikian juga di sektor pengairan disebutkan
bahwa “Menteri Pertanian diserahi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan segala
pengaturan usaha-usaha perencanaan, teknis, pengawasan, pengusahaan, pemeliharaan, serta perlindungan
dan penggunaan air dan atau sumber-sumber air”.
Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa:
“penetapan wilayah-wilayah hutan dilakukan oleh Menteri yang mengurusi urusan kehutanan”. Namun tidak
disebutkan bahwa dalam hal penetapan wilayah-wilayah hutan tersebut, harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam mengkordinasikan penataan ruang. Contoh lainnya dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
dikatakan bahwa “Pemerintah berwenang untuk menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan”, namun tidak disebutkan siapa yang berwenang menetapkan
tersebut, apakah Presiden, setingkat Menteri? lalu Menteri apa yang diserahi wewenang menetapkan wilayah-
wilayah tersebut? Semua hal tersebut masih tidak jelas. Demikian pula dalam PP No. 68/1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, menyebutkan bahwa dalam penataan batas dilakukan oleh Panitia
Batas yang keanggotaan dan taat kerjanya ditetapkan oleh Menteri.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka dalam proses penyusunan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dirumuskan untuk menjawab beberapa persoalan yang tidak terjawab dalam UU Nomor 24
tahun 1992 melalui 3 isu pokok, yaitu: 1. Penguatan instrumen pengendalian tata ruang;
2. Penguatan aspek kelembagaan penatataan ruang
3. Penguatan hak-hak masyarakat
Implikasi Pengaturan Sanksi
UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur tiga bentuk sanksi, yaitu sanksi administrasi (Pasal
62 sampai dengan 64), sanksi perdata (Pasal 66 ,67, dan 75), dan sanksi pidana (Pasal 69 sampai dengan 74).
Sepintas sederetan pasal-pasal tersebut akan mampu menutupi celah yang terdapat dalam undang-undang
sebelumnya dalam hal pengendalian tata ruang.
Sisi lain yang terkait dengan proses pembuatan undang-undang adalah keseimbangan, keselarasan antara
kesadaran hukum yang ditanamkan dari atas oleh penguasa negara (legal awareness) dengan perasaan hukum
masyarakat yang bersifat spontan dari rakyat (legal feeling).
Dalam kondisi yang demikian diharapkan budaya hukum (legal culture) dapat tumbuh lebih baik. Penegakan
hukum yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga
pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, hankam,
Iptek, pendidikan dan sebagainya. Lebih ideal lagi apabila para penegak hukum menyadari sepenuhnya bahwa
supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan salah satu refleksi dan
bahkan prakondisi sistem pemerintahan yang demokratis dan berwibawa. (Muladi, 1997).
Persoalan sanksi pidana dalam rangka revisi UUPR muncul dari anggapan sementara kalangan bahwa rusaknya
struktur dan merosotnya kualitas tata ruang disebabkan karena UUPR tidak mengatur sanksi pidana. Kasus tata
ruang “Cekungan Bandung” adalah salah satu contoh dimana Rencana Tata Ruang hanyalah kebijakan di atas
kertas.
Bagian ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apakah pengaturan sanksi pidana dalam Undang-undang Penataan Ruang akan membuat pengendalian pemanfaatan ruang berjalan lebih efektif ?
Kepatuhan terhadap peraturan hukum dapat timbul dari beberapa sebab. Pertama, rasa takut terhadap ancaman
sanksi dan paksaan, seperti pencabutan izin, hukuman kurungan, denda, dan sebagainya (hard enforcement).
Kepatuhan hukum seperti ini sangat tergantung pada konsistensi aparat penegakan hukum. Sekali konsistensi itu
dilanggar atau intensitas pengawasan menurun, maka potensi pelanggaran semakin besar. Dalam hal ini
kepatuhan hukum masyarakat tergantung pada faktor aparat penegak hukum. Kedua, kepatuhan yang dilakukan
atas keinginan masyarakat itu sendiri (soft enforcement). Dalam hal ini kepatuhan hukum timbul dari kesadaran
masyarakat, yang dikenal sebagai “kesadaran hukum”. Kedua sebab tersebut di atas sama pentingnya, walau
untuk penegakan jangka panjang kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran hukum terbukti lebih efektif.
Dengan demikian, pengaturan sanksi pidana yang berat sekalipun tidak akan bermanfaat apabila pengawasan
atau penegakan hukum tidak berjalan. Akan tetapi, situasi ini akan jauh lebih baik daripada “tidak terdapat
sanksi apapun yang dapat diterapkan bagi pelanggar hukum”.
Sejalan dengan asas pencegahan (the precautionary principle) dan asas pengendalian (principle of restraint)
yang juga merupakan syarat kriminalisasi, menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan
apabila instrumen hukum lain tidak efektif, yang dalam hukum pidana dikenal sebagai asas subsidaritas atau
“ultima ratio principle” atau “ultimum remedium”.
Pertanyaan selanjutnya, siapa dan perilaku seperti apa yang layak diganjar oleh sanksi pidana ? Terhadap siapa
atau pelaku yang dikenakan sanksi pidana, UU 26 tahun 2007 telah menjawab secara lugas, yaitu orang
perseorangan atau badan hukum (korporasi). Sementara terhadap perilaku yang dikategorikan sebagai tindak
pidana (kriminalisasi), masih menjadi persoalan. Apakah perilaku itu layak diketagorikan sebagai sebuah
kejahatan dan pelanggaran berat sehingga patut diganjar dengan sanksi yang berat?
Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 69 sampai pasal 71 UU Nomor 26 tahun 2007 ternyata ditujukan pada
perilaku yang melanggar kewajiban yang diatur dalam Pasal 61, yaitu:
a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfatan ruang; dan
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai milik umum.
Anehnya, pasal 62 dan 63 memberikan sanksi administratif terhadap perilaku serupa, sehingga dalam
penerapannya akan menimbulkan kerancuan. Sesungguhnya pelanggaran terhadap ketentuan pasal 61 itu
merupakan pelanggaran administrasi atau pidana? Penulis kira disini ada kekeliruan pemahaman terhadap asas
ultimum remedium. Sebab secara prinsip pelanggaran atau kesahahan pada tataran hukum administrasi harus diselesaikan oleh instrumen hukum administrasi, kecuali dalam pelangaran hukum administrasi itu memang
ditemukan unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana itu sayangnya tidak dirumuskan dengan jelas
dalam UU 26 tahun 2007, sehingga sulit untuk ditegakkan.
Ketentuan pidana yang agak “unik” karena belum lazim dalam sistem hukum kita, terdapat dalam Pasal 73 ayat
(1) menyatakan:
“Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan
dengan paling banyak Rp. 500.000.000”
Unsur tindak pidana muncul berdasarkan asumsi bahwa selayaknya pejabat pemberi izin pasti mengetahui
rencana tata ruang, dan logika hukum (rasio legis) tidak mungkin pejabat memberikan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang karena izin itu sendiri merupakan instrumen pengendalian, dan pengendalian itu
sendiri merupakan tugas dan wewenangnya. Apabila pejabat memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, “patut diduga” terdapat unsur kolusi, korupsi dan nepotisme. Jadi dilihat dari tujuan hukumnya,
ketentuan Pasal 73 itu merupakan sumbangan berharga bagi dunia hukum pidana. Persoalannya, jika benar Pasal
37 itu didasarkan pada asumsi di atas, dalam pembuktiannya masih menjadi persoalan. Sekiranya unsur korupsi
yang menjadi sasaran kriminalisasi, bukankah itu sudah diatur dalam KUHP dan UU Tindak Pidana Korupsi,
yang sanksinya jauh lebih berat ?
Mengenai sanksi perdata yang terdapat dalam Pasal 66, juga dirumuskan secara kabur. Tidak jelas siapa yang
digugat dan tidak jelas pula objek yang digugat atau objek yang menjadi sengketa.
Dengan demikian, adanya ketentuan sanksi pidana dalam UU 26 tahun 2007 tersebut menurut penilaian penulis
tidak akan banyak mengubah karakter penataan ruang sebelumnya dan masih hanya sebatasi “macan kertas”.
Jika hal itu terjadi, secara moral penulis ikut bertanggung jawab karena sebagai anggota tim ahli tidak cukup
intensif mengawal proses perancangannya. Untuk itu saya mohon maaf !
IMPLIKASI UU NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERHADAP
PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI
PROVINSI DKI JAKARTA Oleh:
Ir. Sarwo Handayani, M.Si Kepala Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta
1. Pendahuluan
Terbitnya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seiring dengan makin menguatnya
keprihatinan global terhadap isu pemanasan global dan pembangunan berkelanjutan yang harus menjadi salah
satu concern utama dalam pembangunan baik di negara maju maupun negara berkembang. Di dalam negeri
sendiri, Undang-undang tersebut juga sejalan dengan semakin kritisnya kondisi lingkungan di Indonesia yang
ditandai dengan fenomena semakin sering dan besarnya banjir, serta tanah longsor yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia terutama di Pulau Jawa.
Dalam rangka merespon hal-hal tersebut, berbeda dengan Undang-undang terdahulu, pada Undang-undang
Nomor 26/2007, muatan terkait dengan isu lingkungan hidup semakin ditekankan. Salah satunya adalah dalam
kaitan dengan Perencanaan Ruang Wilayah Kota yang diharuskan memuat rencana penyediaan dan pemanfatan
ruang terbuka hijau (RTH).
Undang-undang tersebut mencantumkan bahwa setiap kota dalam rencana tata ruang wilayahnya diwajibkan
untuk mengalokasikan sedikitnya 30% dari ruang atau wilayahnya untuk RTH, dimana 20% diperuntukan bagi
RTH publik yang merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kota dan
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, serta 10% diperuntukan bagi RTH private pada lahan-
lahan yang dimiliki oleh swasta atau masyarakat.
Dilihat dari kondisi lingkungan perkotaan yang semakin menurun, ketentuan dalam Undang-undang Penataan
Ruang tersebut sangat tepat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa secara umum kondisi lingkungan perkotaan di Indonesia sudah semakin menurun, dimana luasan ruang terbuka hijau semakin lama semakin berkurang dan
berubah fungsi menjadi areal-areal komersial yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding
dengan RTH.
Sudah sepantasnya aturan tersebut, yang mencoba menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi kota-
kota di Indonesia, harus didukung oleh semua pihak, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku
ekonomi serta masyarakat (community) secara keseluruhan. Tetapi akan lebih baik lagi, jika aturan tersebut
selain mencoba menjawab dan merespon kondisi dan permasalahan saat ini juga memperhitungkan kapasitas
atau kelayakan dari implementasinya. Aturan yang baik tetapi sulit untuk diimplementasikan atau
dioperasionalkan akan sama nilainya dengan aturan yang sama sekali tidak menjawab permasalahan yang ada.
Idealnya suatu kebijakan atau aturan harus mampu menjawab permasalahan yang ada dan sekaligus juga dapat
diimplementasikan. Oleh karena itu dalam tulisan kecil ini, kemungkinan dan implikasi aturan mengenai target luasan RTH untuk Kota Jakarta akan coba diuraikan. Tulisan ini pertama-tama akan menguraikan mengenai
muatan RTH pada RTRW DKI Jakarta yang ada saat ini, dilanjutkan dengan uraian mengenai kondisi RTH serta
pengalaman penyediaan dan pemanfaatannya di DKI Jakarta, implikasi Undang-undang Nomor 26/2007 terkait
dengan potensi RTH yang ada dan kapasitas penyediaan RTH oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta
alternatif yang tersedia bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengakomodir UU nomor 26/2007 dalam
RTRW DKI Jakarta yang akan datang.
Walaupun tulisan ini memfokuskan pembahasan pada ruang terbuka hijau, akan tetapi walaupun hanya sedikit
akan disinggung pula mengenai pemanfaatan ruang terbuka non hijau terutama terkait dengan kegiatan sektor
informal.
2. RTH dalam RTRW 2010
Dengan jumlah penduduk 8,9 juta jiwa pada malam hari dan penduduk siang berkisar 10,2 juta pada siang hari dengan kepadatan 13.000-15.000 jiwa / km2 serta pertumbuhan penduduk sekitar 1.11% per tahun, Jakarta
membutuhkan RTH yang tidak saja berfungsi estetika dan edukatif tetapi juga sebagai sarana yang mempunyai
fungsi sosial. Penting bagi Jakarta memiliki taman dan hutan kota yang dapat dijadikan tempat interaksi sosial
dan tempat wisata murah bagi warganya, selain berfungsi estetika dan edukatif.
Bagi Jakarta, fungsi RTH juga sangat penting dilihat dari aspek perlindungannya. Jakarta dilalui oleh 13 sungai
dan terdapat kurang lebih 44 waduk dan situ yang memerlukan perlindungan dari penyempitan akibat
penggunaan tepiannya. Dalam kaitannya dengan ini, RTH dapat berfungsi untuk melindungi badan-badan air
tersebut. Fungsi perlindungan ini juga diperlukan mengingat semakin berkurangnya cadangan air tanah di DKI
Jakarta, dimana RTH dapat berfungsi sebagai kawasan resapan untuk air tanah tersebut.
Terakhir, dengan semakin tingginya pemanfaatan bahan bakar fosil, RTH dapat berfungsi sebagai penetralisir
pencemaran udara di Jakarta. Pentingnya fungsi RTH untuk paru-paru kota dimaksudkan untuk mengantisipasi makin tingginya jumlah kendaraan bermotor saat ini yang telah berjumlah 5,7 juta unit dengan laju pertumbuhan
9.5% per tahun.
Kesadaran akan pentingnya fungsi RTH bagi Kota Jakarta tersebut dijabarkan dalam aturan daerah mengenai
tata ruang yaitu Perda nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta atau
dikenal dengan RTRW 2010. Dalam perda tersebut, RTH diistilahkan sebagai “kawasan hijau” yang dibagi ke
dalam kawasan hijau lindung dan kawasan hijau binaan dengan prosentase keseluruhan kedua kawasan tersebut
hingga tahun 2010 ditetapkan sebanyak 13.94% dari luas keseluruhan DKI Jakarta (lihat gambar 1).
Arahan pengembangan kawasan hijau di Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut (Lihat Gambar 2):
- Hutan Lindung dan Hutan Kota diarahkan pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu terutama pada zona inti dan pelindung, serta Hutan Angke Kapuk, Hutan Kamal Muara, dan Hutan Muara Angke.
- Hijau pengaman air diarahkan pada sempadan sungai dan sempadan situ atau danau
- Hijau rekreasi/taman kota diarahkan pada beberapa spot di setiap wilayah Kota
- Kawasan pertanian diarahkan pada beberapa kawasan yang saat ini masih merupakan kawasan atau areal pertanian.
- Kawasan daerah resapan air diarahkan pada Kawasan Bagian Selatan Kota Jakarta yang dilakukan melalui pembatasan intensitas pembangunan fisik.
Gambar 1. Peta Struktur Tata Ruang Wilayah
Jika klasifikasi tersebut disesuaikan dengan UU nomor 26/2007, maka terlihat bahwa sebagian besar arahan
RTH di DKI Jakarta adalah RTH private (lihat gambar 1). Bagian terbesar kawasan hijau sebagaimana
tercantum dalam RTRW 2010 adalah pada Bagian Selatan, yang berfungsi sebagai kawasan resapan air, dimana
dalam pemanfaatannya masih dimungkinkan untuk kegiatan lain tetapi dengan intensitas rendah (KDB bekisar
20%-40%). Hal ini yang sering menimbulkan kesalahpahaman yang berbutut pada tuduhan bahwa Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta telah mengizinkan pembangunan pada kawasan RTH. Pembahasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih dalam pada bagian selanjutnya dari tulisan ini.
Pada RTRW 2010 tersebut juga telah mencantumkan bahwa kawasan hijau lindung dan kawasan hijau binaan
tidak dapat dirubah fungsi dan peruntukannya terutama untuk Penyempurna Hijau Umum (dalam terminologi
UU nomor 26/2007 adalah RTH publik). Dengan demikian, walaupun secara prosentase target RTH pada
RTRW 2010 lebih rendah dari target RTH sebagaimana tercantum dalam UU nomor 26 tahun 2007, tetapi dapat
dikatakan bahwa telah ada komitmen untuk menjaga ketersedian RTH di Provinsi DKI Jakarta.
Pada saat ini RTRW 2010 sedang dalam proses evaluasi secara komprehensif dan diharapkan pada tahun 2010
nanti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Perda baru mengenai RTRW 2010-2030 yang antara
lain akan mengadopsi aturan-aturan baru sebagai mana tercantum dalam Undang-undang Nomor 26/2007. Akan
tetapi sambil menunggu RTRW baru tersebut, RTRW 2010 masih digunakan sebagai acuan sementara,
walaupun dalam pelaksanaannya di lapangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah dan akan mencoba mengacu pada Undang-undang Penataan Ruang yang baru.
3. Kondisi, Pengalaman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Provinsi DKI Jakarta
Pada saat ini luas RTH publik di Provinsi DKI Jakarta kurang lebih telah mencapai 10% dari luas DKI Jakarta
atau seluas kurang lebih 6.874,06 ha. Selama lima tahun terakhir ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan RTH. Program penghijauan
selama lima tahun ini dilakukan dengan cukup intensif dan diberi nama gerakan “Jakarta yang Hijau Royo-royo
dan Berkicau”.
Salah satu komponen dari gerakan “Jakarta Hijau Royo-royo dan Berkicau” adalah melakukan pemeliharaan
dan penataan taman yang memiliki fungsi multi-dimensi, yaitu dimensi ekologis, edukatif dan sosial. Contoh
dari taman-taman semacam ini adalah Taman Monas, Taman Menteng, Taman Suropati dan Taman Lapangan Banteng. Penataan taman tersebut juga dibarengi dengan penataan jalur-jalur hijau baik jalur hijau jalan maupun
jalur hijau tepian air.
Gambar 2. Peta Arahan Pengembangan Kawasan Hijau
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga membangun taman-taman interaktif di kawasan permukiman terutama di
permukiman padat penduduk. Taman semacam ini selain berfungsi sebagai katup sosial melaui interaksi di
dalamnya seperti melalui kegiatan olah raga dan bermain yang dapat mencegah anak-anak untuk bermain di
jalan. Tujuan pembangunan taman interaktif ini adalah mendekatkan lokasi taman ke warga yang sulit
menjangkau taman-taman kota skala besar. Umumnya taman interaktif ini memiliki luas kurang lebih 500 –
1000 m2. Program taman interaktif ini juga diiringi dengan program potinisasi dimana pot-pot tanaman
digantung dan diletakan di sepanjang gang-gang yang tidak bisa ditanami pohon.
Gambar 2. Taman Kota: Taman Menteng, Taman Monas, Lapangan Banten, dan Taman Suropati
Upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat di kawasan RTH antara lain dilakukan melalui pembangunan
RTH sebagai bagian dari kewajiban fasos fasum pengembang, pembangunan dan pemeliharaan RTH oleh
swasta atau masyarakat yang mampu dengan sistem adopsi dimana mereka bertindak menjadi semacam “Bapak
Angkat” yang akan memelihara dan menata taman. Sistem adopsi ini telah berjalan di beberapa lokasi RTH
seperti di taman/jalur hijau Gunung Agung dan Kepala Gading.
Untuk masyarakat menengah ke bawah, diharapkan adanya partisipasi masyarakat melalui penataan lingkungan
dan halaman rumahnya. Untuk kelompok masyarakat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membagikan pohon-
pohon produktif kepada mereka.
Gambar 3. Jalur Hijau
Terkait dengan pengembangan hutan kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam lima tahun terakhir ini telah
berhasil menambah jumlah lokasi hutan kota sebanyak 20 lokasi. Selain itu pada hutan alami di Bagian Utara
Jakarta, upaya penanaman pohon mangrove giat dilaksanakan. Hampir kurang lebih 50.000 pohon mangrove telah ditanam dalam 5 tahun terakhir ini. Adapun untuk kawasan pertanian, walaupun kontribusi terhadap
perekonomian Jakarta tidak terlalu signifikan tetapi upaya untuk mempertahankan kawasan-kawasan pertanian
yang masih tersisa terus dilakukan.
Dari pengalaman peyedian dan pemanfaatan RTH sampai saat ini terdapat berbagai permasalahan dan kendala
yang dihadapi. Permasalahan dan kendala tersebut antara lain adalah:
- Masih adanya peruntukan RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal
- Ketersediaan lahan yang semakin menipis ditambah peningkatan aktivitas ekonomi Jakarta menyebabkan harga tanah semakin tinggi dan diatas NJOP.
- Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap keberadaan taman, jalur-jalur hijau dan tanaman – tanaman penghijauan yang ada; misalnya dalam Pengembangan Taman Monas dan Taman Stadion Menteng;
- Terbatasnya Sumber Daya Pemerintah dan masih belum terselesaikannya permasalahan transportasi dan banjir di Jakarta yang membutuhkan anggaran biaya yang sangat besar
- Belum optimalnya sistem pendataan dan informasi mengenai RTH
- Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam penataan RTH
- Masih terdapatnya mis-persepsi dan mis-informasi mengenai RTH yang mengakibatkan partisipasi masyarakat tidak optimal
- Kurang efektifnya penegakan hukum.
- Rendahnya pengendalian kewajiban penyediaan fasos fasum untuk RTH
- Distribusi RTH yang kurang merata di Wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Khusus mengenai adanya RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal, dapat disampaikan
bahwa anggapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pembedaan perlakukan terhadap pengusaha besar
dan masyarakat kecil yang menempati RTH adalah tidak berdasar dan merupakan kesalahpahaman. Walaupun
masih diperlukan upaya penyempurnaan, akan tetapi kebijakan yang ada adalah tegas yaitu tidak mengijinkan
perorangan ataupun kelompok untuk memanfaatkan peruntukan kawasan hijau lindung dan hijau binaan untuk
kegiatan lain ataupun mengalihfungsikan RTH, baik untuk kegiatan komersial seperti perumahan mewah,
apartement, mall, SPBU, ataupun kegiatan informal dan ilegal lainnya.
Untuk beberapa kasus yang dituduhkan dapat disampaikan bahwa pembangunan pada “kawasan yang sepertinya
adalah merupakan kawasan RTH” pada dasarnya adalah bukan merupakan kawasan RTH sepenuhnya, tetapi merupakan kawasan yang didominasi oleh RTH tetapi masih diberbolehkan dengan intensitas ruang yang kecil
digunakan untuk kegiatan non RTH, seperti yang terjadi di Kawasan Senayan. Kawasan Senayan merupakan
kawasan dengan intensitas ruang yang rendah, sehingga jika intensitas tersebut belum terlampaui masih
dimungkinkan untuk pembangunan.
Untuk peruntukan RTH yang telah terlanjur beralih fungsi ataupun untuk sementara digunakan untuk kegiatan
lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan upaya refungsionalisasi taman dengan memprioritaskan
pembebasan dan pengembalian fungsi peruntukannya dari non RTH menjadi RTH. Salah satu bentuk program
ini adalah melakukan refungsi SPBU yang beroperasi di jalur hijau/ruang terbuka hijau. Target untuk refungsi
SBPU ini sebanyak 32 SPBU, dimana 4 SPBU telah direfungsikan sedangkan sisanya sedang dalam proses
Gambar 4. Taman Interaktif, Taman Partisipasi Masyarakat, dan Penghijauan
refungsionalisasi. Sementara itu, RTH yang digunakan untuk permukiman illegal, seperti disepanjang tepian air,
jalur kereta api, dan kolong tol, pada saat ini terdapat kurang lebih 73.673 keluarga yang menempati kawasan
tersebut. Upaya menguranginya antara lain dengan melakukan relokasi ke rumah susun sewa sederhana yang
disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bagi penduduk ber-KTP DKI dan memulangkan ke kampung
halamannya bagi yang bukan penduduk DKI Jakarta.
Untuk pedagang kaki lima yang menempati RTH maupun ruang terbuka non RTH di Provinsi DKI Jakarta jumlahnya cenderung menurun dimana pada tahun 2005 terdapat sebanyak kurang lebih 92.750 usaha kaki lima
dengan tenaga kerja kurang lebih sebanyak 139.390 jiwa. Pedagang kaki lima yang menempati lokasi tidak
resmi (illegal) telah berkurang dari 83.8% menjadi 78.4% dalam lima tahun ini. Pengurangan ini juga tampak
dari berkurangnya usaha kaki lima yang menempati trotoar dan badan jalan yang berkurang dari 66.85%
menjadi 59.7 % dalam lima tahun ini.
Pengurangan tersebut antara lain diakibatkan adanya upaya untuk menyediakan lokasi resmi untuk usaha kaki
lima yang dapat dibedakan menjadi lokasi penampunan/pembinaan (lokasi pedagang kaki lima di lahan milik
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dimana terdapat 20 lokasi dan 4 lokasi diantaranya sedang ditingkatkan
menjadi pasar), lokasi sementara (lokasi pada prasarana kota, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang
ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dimana terdapat 266 lokasi), lokasi terkendali (lokasi pada areal
milik perorangan atau badan), dan lokasi terjadwal (lokasi pada kegiatan atau event tertentu seperti PRJ).
4. Implikasi Target RTH: antara Potensi dan Keterbatasn Kapasitas
Salah satu implikasi terpenting dari UU nomor 26 tahun 2007 adalah kewajiban untuk menyediakan dan
memanfaatkan 30% ruang sebagai RTH dengan 20% untuk RTH publik dan 10% RTH private. Untuk
mencapai target RTH tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan akan menempuh langkah-
langkah sebagai berikut:
- Pembelian lahan
- Peremajaan Kawasan
- Penetapan Kewajiban Pengembang
- Mempertahankan RTH yang sudah ada melalui refungsionalisasi, pengamanan dan sosialisasi
- Mendorong pemanfaatan RTH private secara lebih optimal dan inovatif seperti penggunaan roof garden, wall garden, peningkatan konsistensi perijinan, dst.
Untuk meningkatkan luasan RTH publik dari seluas 6.874 ha atau 10% dari luas DKI Jakarta menjadi seluas
seluas 13.478 ha atau 20%, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan pembelian lahan seluas kurang
lebih 6.800 Ha. Bagi kota seperti Jakarta dimana tingkat supply tanah semakin tipis dan demand yang begitu
tinggi, biaya yang dibutuhkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak sedikit bahkan sangat besar.
Jika dilihat dari sisi potensi ketersediaan RTH publik di DKI Jakarta yang ada saat ini, antara lain pada luasan
jalur kereta api, penyangga situ/waduk, sempadan sungai dan pantai, termasuk lahan hasil reklamasi dan pulau-
pulau di Kepulauan Seribu, serta tidak kalah pentingnya potensi tambahan lahan dari kewajiban pengembang,
maka potensi maksimal RTH publik yang dapat dapat diperloleh adalah berkisar 13%-15%. Dengan demikian lahan yang masih perlu diakusisi untuk mencapai 20% RTH publik, kurang lebih cukup 6% saja dari luas yang
dibutuhkan yaitu 6.800 Ha. Dengan asumsi bahwa harga tanah rata-rata di Jakarta berkisar antara Rp. 1,75
jt/m2, maka kebutuhan dana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya untuk mengakusisi target tersebut
diperkirakan adalah sekitar Rp.71 triliun.
Angka tersebut belum memperhitungkan tingkat inflasi jika pembebasannya disebar untuk beberapa tahun dan
belum pula memperhitungkan biaya-biaya lainya terkait dengan pemanfaatan RTH seperti pembangunan dan
penataan potensi RTH yang ada, pemeliharaan, pengamanan, sosialisasi, dll. Dengan angka tersebut yang
nilainya sekitar 300% APBD Provinsi DKI Jakarta tahun 2008 dan kemampuan menyediakan dana untuk
akuisisi lahan untuk RTH saat ini yang hanya sebesar kurang lebih Rp. 500 milyar per tahunnya, maka
pencapaian target RTH publik sebesar 20% akan dicapai minimal selama 140 tahun.
Terdapat beberapa skenario lain untuk mempercepat pencapaian target tersebut. Skenario yang paling optimis
adalah pertambahan RTH publik maksimal hanya sebesar 0,2% per tahun. Dengan demikian, berdasar skenario optimis ini, paling tidak menambah target RTH publik baru sebesar 10% dari luas DKI Jakarta akan tercapai
selama 50 tahun.
Permasalahan lainnya terkait kapasitas pembesan lahan ini adalah adanya batasan bahwa dalam pembebasan
lahan harga yang dibayarkan tidak dapat melebihi NJOP. Sementara itu, harga lahan di Provinsi DKI Jakarta
semakin lama semakin meningkat jauh diatas NJOP apalagi untuk daerah-daerah strategis di pusat kota. Hal ini
semakin menurunkan kapasitas pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membebaskan lahan bagi RTH.
Terkait dengan upaya untuk peremajaan kawasan permukiman kumuh dengan merelokasinya ke Rusun, dengan
jumlah keluarga pada permukiman tersebut sebanyak 73.673 keluarga dan dengan asumsi bahwa 1 KK
menempati rata-rata seluas 20 m2, maka potensi lahan untuk RTH publik di kawasan ini jika diasumsikan 50%-
nya akan dijadikan sebagai RTH dan sisanya tetap digunakan untuk kawasan permukiman atau kegiatan lain,
akan berkisar sebesar 74 ha. Akan tetapi kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan
peremajaan dan merelokasi ke rusun masih sangat terbatas. Pada saat ini, kemampuan maksimal penyediaan rusunawa maksimal oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sekitar 3.000 unit rumah per tahun. Masalah
lain dari peremajaan ini adalah tingginya resistensi dari penghuni permukiman tersebut dan masyarakat lainnya
yang menyalahartikan kegiatan relokasi tersebut sebagai kegiatan penggusuran yang bertentangan dengan Hak
Azasi Manusia.
Potensi lainnya untuk menambah RTH di Propinsi DKI Jakarta adalah dengan melakukan refungsionalisasi
lahan RTH yang merupakan asset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetapi digunakan untuk kegiatan non RTH
seperti SPBU atau digunakan secara illegal untuk kegiatan kaki lima. Kegiatan illegal ini umumnya dilakukan
oleh masyarakat tanpa izin resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Seperti pada relokasi permukiman
illegal, walaupun secara aturan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai hak untuk memanfaatkan asset
yang dimilikinya dan juga peruntukannya memang untuk RTH, tetapi masih banyak pihak beranggapan bahwa
refungsionalisasi ini merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia untuk kasus refungsionalisasi
pedagang kaki lima, dan menurunkan pendapatan daerah dan perekonomian kota dalam kaitan dengan refungsionalisasi SPBU.
Memperhatikan aspirasi agar refungsionalisasi kawasan pedagang kaki lima tersebut dilakukan dengan
memperhatikan hak azasi manusia, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta umumnya mencoba memberikan
waktu bagi mereka untuk mencari lokasi-lokasi resmi untuk berdagang dan membongkar sendiri bangunannya.
Akan tetapi dalam beberapa kasus, yang terjadi adalah bahwa para pedagang tidak bersedia untuk pindah dan
membongkar sendiri sehingga dilakukan dengan cara penertiban.
Dalam skala yang luas, kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan refungsionalisasi ini juga
terbatas mengingat besarnya jumlah pedagang kaki lima yang ada. Selain itu, dalam beberapa kasus walaupun
pedagang kaki lima itu menempati dan melakukan kegiatan ekonomi yang illegal dan tidak resmi, akan tetapi
mereka dan masyarakat merasa mereka melakukan kegiatan ekonomi yang legal karena tetap mendapatkan
pelayanan dari penyediaan layanan umum terutama listrik dan telepon. Hal ini juga terjadi untuk beberapa kasus permukiman illegal, dimana disatu sisi mereka mendiami kawasan permukiman secara illegal tetapi kawasan
tetap mendapatkan layanan listrik.
Masalah permukiman dan pedagang kaki lima illegal ini juga terkait dengan masalah kependudukan, dimana
banyak dari mereka merupakan migran. Dengan demikian seharusnya tanggungjawabnya bukan hanya ada pada
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi juga menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
asal para migran. Pemerintah Daerah asal para migran dapat ikut bertanggung jawab misalnya dengan
memberikan semacam surat jaminan kepada para migran sehingga akan memudahkan DKI Jakarta dalam
menanganinya.
Bagi Provinsi DKI Jakarta, potensi terbesar untuk meningkatkan luasan RTH publik adalah melalui penetapan
kewajiban pengembang (pengembang diwajibkan menyediakan lahan RTH dengan luas tertentu), partisipasi
masyarakat dan swasta (melalui Comercial Social Resposibility), serta secara konsisten mengamankan lahan-
lahan yang dimiliki. Walaupun di sana sini masih terdapat kelemahan, akan tetapi dalam upaya-upaya ini kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dioptimalkan tanpa banyak kendala yang berarti.
Adapun mengenai pencapaian RTH private, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan terus membenahi
mekanisme insentif dan disinsentif dalam penyediaan RTH, meningkatkan konsistensi perizinan, serta
memperbaiki metode sosialisasi agar partisipasi, kesadaran, serta kepatuhan masyakat untuk menyediakan RTH
pada lahan miliknya semakin meningkat. Dengan semakin baiknya tata pemerintahan di Provinsi DKI Jakarta,
nampaknya masalah pencapaian RTH private ini tidak akan menjadi masalah yang berarti dan bahkan mungkin
merupakan salah satu jalan keluar untuk mencapai 30% RTH melalui berbagai upaya yang lebih inovatif dan
intensif dalam mendorong penyediaan RTH private menjadi lebih dari 10%.
Salah satu aspek lain terkait penyediaan RTH adalah penyediaan RTH di Jakarta seharusnya tidak dilepaskan
dari penyediaan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur. Kawasan ini harus dilihat sebagai suatu kesatuan
ekologis dan penyediaan RTH harus mempertimbangkan hal ini. Akan tetapi, kapasitas untuk menempatkan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur ini belum optimal dan masih memerlukan beberapa terobosan baik dari
segi aturan maupun dari segi kelembagaannya.
Dari uraian pada bagian ini, dapat disimpulkan bahwa potensi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk
menyediakan luasan RTH publik sebesar 20% dan 10% RTH private cukup besar akan tetapi kapasitas untuk
penyediaan RTH publik masih terbatas, antara lain dalam hal pembiayaan, aturan pembebasan lahan, perbedaan
persepsi tentang permukiman dan kegiatan illegal di RTH, dan menempatkan penyediaan RTH dalam konteks
Jabodetabekpunjur. Di lain sisi, dibandingkan dengan penyediaan RTH publik, penyediaan RTH private
nampaknya merupakan salah satu alternatif yang perlu didorong untuk minimal dapat mengurangi ketimpangan
ketersediaan RTH Publik yang ada.
5. Pilihan Kebijakan RTH: Sebuah Dilema
Dalam rangka menyusun RTRW DKI Jakarta 2010-2030, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib mengadopsi
aturan pencapaian penyedian dan pemanfatan RTH seluas 30% dari luas DKI Jakarta. Melihat kapasitas yang
ada saat ini, maka terdapat beberapa pilihan alternatif dalam menentukan kebijakan mengenai target RTH. Bagi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, memasukan aspek penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW tersebut
tidak menjadi masalah dan Provinsi DKI Jakarta sangat membutuhkan hal itu. Permasalahannya adalah dalam
menentukan target besaran luasan RTH.
Sampai saat ini terdapat beberapa pilihan kebijakan terkait dengan penyediaan RTH, yaitu:
1. Mengadopsi secara total target pencapaian RTH dengan menetapkan RTH publik sebesar 20% dan RTH
private 10%. Dengan kebijakan ini, maka hampir dipastikan target itu tidak akan tercapai, tetapi di lain
pihak RTRW DKI Jakarta tidak akan melanggar ketetapan UU nomor 26 tahun 2007. Dengan alternatif ini
resiko penolakan Perda RTRW oleh Pemerintah Pusat (pengesahan oleh Departemen Dalam Negeri) dapat diminimalisir dan juga resiko aturan pemerintah daerah yang menyalahi aturan yang lebih tinggi tidak
terjadi. Akan tetapi dalam alaternatif ini, penetapan target yang hampir pasti tidak akan dapat tercapai
seperti menyimpan bom waktu yang pada suatu saat nanti dapat menjadi masalah.
2. Menyesuaikan target RTH yang lebih realistis, yaitu RTH publik sekitar 13% -15% dan RTH private 10%.
Dalam alaternatif ini, implementasi kebijakan penetapan ini hampir pasti dapat dilaksanakan dan tercapai
serta kebijakan yang ada akan lebih realistis. Akan tetapi sampai saat ini, tidak begitu jelas dan tegas apa
yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap RTRW DKI Jakarta itu karena aturan yang lebih
tinggi telah dilanggar oleh aturan daerah.
3. Mengadopsi total target RTH tetap 30% tetapi menyesuaikan proposinya dengan target RTH publik
sebesar 14% dan RTH private sebesar 16%. Dalam alternatif ini jalan tengah tercapai dalam arti secara
total penetapan RTH tidak melanggar UU yang ada, dan juga target yang ditetapkan dapat lebih realistis karena Provinsi DKI Jakarta akan lebih fokus pada potensi RTH yang sudah ada. Selain itu, dalam
alternatif ini beban penyediaan RTH di DKI Jakarta dibagi antara Pemerintah Daerah dan aktor lainnya.
Permasalahannya adalah hal ini dapat memerlukan partisipasi masyarakat yang tinggi dan dapat
mengundang resistensi dari masyarakat serta resiko penolakan Perda oleh Pemerintah Pusat tidak dapat
terminimalisir sepenuhnya.
Masih banyak alternatif lainnya, akan tetapi yang harus dicatat di sini adalah bahwa kewajiban 30% RTH telah
menjadikan dilema yang cukup pelik dan membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi yang
serba sulit antara memiliki kebijakan yang realistis atau kebijakan yang sesuai dengan aturan yang ada. Untuk
memecahkan dilema ini diperlukan adanya semacam dialog antara berbagai pihak baik itu Pemerintah Pusat,
civil society, Pemerintah Daerah lainnya di sekitar Jakarta dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri. Dengan
itu, diharapkan akan tercapai kesamaan persepsi dan adanya saling memahami posisi dan kesulitan masing-
masing sekaligus merumuskan solusi bersama dimana tercapai Win-win Solution.
6. Referensi
- UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dept. Pekerjaan Umum. Jakarta, 2007
- Peraturan Daerah nomor 26 tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta. Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, 1999
- Kinerja Pembangunan DKI Jakarta tahun 2002-2007. Bapeda Provnisi DKI Jakarta. Jakarta, 2007
- Masukan untuk Evaluasi RTRW 2010. Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, 2006
- RPJMD PRovinsi DKI Jakarta 2008-2012. Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, 2008
- Renstra Dinas Pertamanan 2007-2012. DInas Pertamanan. Jakarta, 2007
- Buku Saku Informasi/Data SPKLH Prov. DKI Jakarta 2007. Biro ASP Prov. DKI Jakarta. Jakarta, 2007
Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi
Jawa Timur
Oleh :
Hadi Prasetyo (Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur)
I. Pendahuluan
Penataan Ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus
dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan :
a. dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan;
b. tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan
c. tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.
Penataan ruang sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan telah memiliki landasan hukum sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Sejalan dengan
permasalahan tata ruang yang semakin berkembang, telah disusun Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang sebagai pengganti Undang – Undang No 24 Tahun 1992. UU ini diharapkan dapat
berfungsi sebagai payung hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga dapat
terwujud penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif.
Perbedaan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Penataan Ruang yang baru dengan yang lama antara
lain :
1. Ruang lingkup penataan ruang wilayah ditambahkankan ruang di dalam bumi
2. Pengaturan jangka waktu berlaku rencana tata ruang dalam setiap tingkatan menjadi 20 tahun.
3. Tidak lagi dikenal istilah kawasan tertentu namun diganti oleh Kawasan Strategis.
4. Penekanan terhadap hal-hal yang bersifat strategis terutama hal-hal yang memiliki dampak besar terhadap
lingkungan seperti proporsi kawasan hutan dalam suatu DAS minimal 30 persen, serta proporsi ruang
terbuka hijau (RTH) di kota/perkotaan minimal 30 persen dengan proporsi ruang terbuka hijau publik
minimal 20 persen.
5. Dalam penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota tentang tata ruang harus
mendapat persetujuan substansi dari Menteri yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan penataan
ruang dalam hal ini adalah Menteri yang Pekerjaan Umum sebelum dievaluasi oleh Departemen Dalam
Negeri.
6. Adanya penambahan muatan dalam rencana tata ruang baik untuk skala Nasional, Provinsi, maupun
Kabupaten/Kota yaitu penetapan kawasan strategis dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.
7. Penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan
kehidupan dan penghidupan. Pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dinilai rawan bencana, seperti
kawasan rawan bencana letusan gunung api, gempa bumi, longsor, gelombang pasang dan banjir, dan
dampak dari keberadaan jaringan SUTET;
8. Terbentuknya lahan abadi pertanian untuk menjaga ketahanan pangan;
9. Pengaturan sanksi yang lebih tegas, dalam hal ini selain diatur sanksi administratif, juga diatur sanksi
pidana, baik kepada pelanggar maupun pemberi izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang
berlaku.
II. Penataan ruang di Jawa Timur
Dengan diterbitkannya Undang – Undang Penataan Ruang yang baru memiliki implikasi terhadap berbagai
aspek penyelenggaraan penataan ruang, baik aspek kelembagaan, aspek hukum, aspek teknis, serta aspek
sosiologis. Implikasi terhadap aspek teknis terkait dengan adanya beberapa perubahan materi, secara substansi
perlu disikapi untuk dilakukan penyesuaian. Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah melakukan beberapa
penyesuaian antara lain :
a. Zoning Regulation
Tingginya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang selama ini menyebabkan pada UU
Penataan Ruang yang baru dilakukan penekanan pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Bentuk-bentuk
pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif
dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur saat ini sedang menyusun Konsep
Zoning Regulation untuk wilayah Provinsi Jawa Timur. Peraturan zonasi ini diharapkan dapat menjadi acuan
dalam pemberian izin pemanfaatan ruang, pengawasan, maupun penertiban, serta memberikan panduan teknis
pengembangan/pemanfaatan lahan untuk mengoptimalkan nilai pemanfataan.
Peraturan zonasi yang akan disusun ini dibentuk pada level provinsi sebagai bahan verifikasi bagi aturan zoning
pada kawasan-kawasan strategis di lingkup provinsi, pada akhirnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam
penyusunan zoning regulation untuk tingkat Kabupaten/Kota. Zoning regulation ini mengatur struktur dan pola
ruang, ketentuan teknis terkait dengan pemanfaatan ruang, serta mekanisme insentif dan disinsentif. Konsep
zoning regulation dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Konsep Zoning Regulation
b. Izin Pemanfaatan Ruang
Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur No 61 Tahun 2006 tentang
Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Pengendalian Ketat Skala Regional Provinsi Jawa Timur. Dalam rangka
POTENSI LOKASI
ARAHAN LOKASI LAND USE
EKSISTING
LAND
READJUSMENT
KLASIFIKASI ZONASI
DAFTAR KEGIATAN
MATRIK KONSEP ZONING
KETENTUAN TEKNIS
INSENTIF DAN
DISINSENTIF
perlunya pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota agar sesuai dengan RTRW Provinsi Jawa Timur
maka dalam Perda No 2 Tahun 2006 tercakup mengenai Kawasan Pengendalian Ketat yaitu kawasan yang
memerlukan pengawasan secara khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya dukung
lingkungan, mencegah dampak negatif, serta menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan. Adapun
pemanfaatan ruang di Kawasan Pengendalian Ketat tersebut memerlukan izin dari Gubernur sebagai upaya
pengendalian agar pemanfaatan ruang di Kawasan Pengendalian Ketat tetap dapat sesuai dengan peruntukan
ruangnya.
Kawasan-kawasan ini perlu dikendalikan sebab memiliki kecenderungan perkembangan kegiatan budidaya yang
sangat tinggi sehingga bila tidak dikendalikan dapat memberikan dampak negatif yang besar dan mempengaruhi
kelangsungan lingkungan hidup di sekitarnya maupun pada skala yang lebih luas. Adapun kawasan yang
dikendalikan dan memiliki kecenderungan sebagai kawasan yang cepat tumbuh dan dimungkinkan dapat
menggangu fungsi utama adalah :
a. kawasan perdagangan regional.
b. kawasan kaki jembatan Suramadu di Kota Surabaya dan Kabupaten Bangkalan yang meliputi kawasan
tertentu/fair ground, interchange jalan akses dan/atau rencana reklamasi pantai.
c. wilayah aliran sungai, sumber air, dan stren kali dengan sempadannya.
d. kawasan yang berhubungan dengan aspek pelestarian lingkungan hidup meliputi kawasan resapan air atau sumber daya air, kawasan konservasi, hutan bakau/mangrove.
e. transportasi terkait kawasan jaringan jalan, perkeretaapian, area/lingkup kepentingan pelabuhan, kawasan
sekitar bandara, kawasan di sekitar jalan arteri/tol.
f. prasarana wilayah dalam skala regional lainnya seperti area di sekitar jaringan pipa gas, jaringan SUTET,
dan TPA terpadu.
g. kawasan rawan bencana.
h. kawasan lindung prioritas dan pertambangan skala regional.
i. kawasan konservasi alami, budaya, dan yang bersifat unik dan khas
Izin pemanfaatan ruang ini merupakan tools untuk pengendalian pemanfaatan ruang di Provinsi Jawa Timur, di
mana sebelum dilakukan pembangunan fisik (bila wilayah berada di kewenangan Provinsi) atau sebelum
mengajukan izin lokasi ke Kabupaten/Kota (bila wilayah berada di kewenangan Kabupaten/Kota) harus
mendapatkan izin pemanfaatan ruang dari Gubernur Jawa Timur. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam
pemberian izin pemanfaatan ruang ini meliputi aspek teknis dan yuridis, antara lain :
a. Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Provinsi.
b. Kesesuaian dengan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation).
c. Kesesuaian dengan peraturan perundangan bidang teknis lainnya.
d. Kesesuaian rencana penggunaan tanah dengan jenis hak atas tanah.
e. Kelayakan desain dan lokasi lahan.
c. Disaster Recovery Planning
Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana
yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi,
tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut, dll), maupun oleh faktor non alam seperti
berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia.
Upaya penanganan bencana meliputi kegiatan-kegiatan pencegahan,
mitigasi, kesiapan, tanggap darurat, dan pemulihan yang dilakukan
sebelum, pada saat atau setelah bencana. Untuk penanganan bencana
diperlukan disaster recovery plan. Disaster recovery plan merupakan
program/kebijakan yang tertulis, diimplementasikan, serta dievaluasi
secara periodik, yang menfokuskan pada semua tindakan yang perlu
dilakukan sebelum, ketika, dan setelah bencana. Rencana ini diharapkan dapat digunakan sebagai titik tolak
untuk mengembangkan dan memadukan berbagai program/kebijakan pembangunan perkotaan yang berwawasan
keamanan dan keselamatan dari bencana yang mungkin terjadi sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan.
Rencana ini disusun berdasarkan review secara menyeluruh terhadap bencana-bencana yang potensial, yang
mencakup aspek infrastruktur, lokasi geografis, sosial, maupun ekonomi.
Adanya bencana lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo mengakibatkan dampak bencana ikutan (collateral
hazard) lebih besar dibandingkan bencana bahaya utama (main hazard). Dampak luapan lumpur Lapindo
tersebut antara lain :
infrastruktur yang terganggu seperti jalan tol ruas Porong-Gempol ditutup, jalan nasional, provinsi,
kabupaten, maupun rel kereta api terganggu, pipa gas Pertamina terputus, pipa air PDAM Surabaya
terganggu, serta jaringan listrik di daerah Porong terendam;
banyak bangunan yang terendam seperti pabrik, sekolah, masjid dan mushola, kantor, serta rumah yang
memiliki proporsi paling tinggi yaitu lebih dari 10.500 rumah;
lahan pertanian yang terendam,
dampak ekonomi terhadap perdagangan lokal, regional, maupun nasional akibat terganggunya jalur
transportasi menuju Surabaya sebagai pusat perdagangan di Provinsi Jawa Timur;
dampak sosial yaitu pengungsi yang semakin lama semakin banyak, PHK dari pabrik-pabrik yang
terendam, serta penduduk yang meninggal dunia;
pampak psikologis dimana adanya kekhawatiran terhadap jebolnya tanggul, turunnya tanah, munculnya sumber-sumber luapan lumpur baru, ketidakpastian ganti rugi, dan hilangnya mata pencaharian serta
ketidakpastian masa depan yang akan dihadapi.
Untuk permasalahan dampak bencana ikutan (collateral hazard) Lapindo, Pemerintah Provinsi Jawa Timur
merencanakan untuk merelokasi dan melakukan ressetlement masyarakat dari wilayah yang terkena dampak
Lapindo di Barat Laut Kabupaten Sidoarjo. Relokasi dan ressetlement melalui Perencanaan Kota Baru di
Kabupaten Sidoarjo ini memiliki konsep pengembangan yang meliputi 3 (tiga) tahapan :
a. Pengembangan Cluster
Mengembangkan cluster perumahan yang ditunjang oleh berbagai fasilitas sosial-ekonomi dan infrastruktur yang memadai.
Lokasi pengembangan kawasan permukiman baru ini secara keseluruhan tidak menyatu secara kompak
dalam unit tersendiri, tetapi pengembangannya akan terintegrasi dengan permukiman lama.
b. Pengembangan Akses Kawasan Permukiman Baru
Arahan pengembangan akses memperhatikan pola pergerakan utama kawasan.
Pengembangannya diarahkan untuk dapat melayani tiap kluster perumahan yang terbentuk, baik
pergerakan internal kawasan, maupun pergerakan internal-eksternal kawasan.
Akses utama kawasan harus melayani tiap kluster kawasan dengan pusat kawasan sebagai pusat
kegiatan kawasan yang telah direncanakan.
Berdasarkan akses utama yang ada, selanjutnya dikembangkan akses internal yang lebih rinci. Akses
internal ini akan menghubungkan setiap kluster dan setiap kluster akan memiliki desain jaringan jalan yang berbeda.
c. Pengembangan Pemusatan Kegiatan
Permukiman baru terletak di antara permukiman lama, sehingga diperlukan adanya konsep penyatuan
antar kawasan.
Arahan umumnya adalah dengan membuat kesamaan pola pengembangan antara permukiman lama
dengan permukiman baru yakni melalui kesamaan karakter fungsionalnya.
Sebagai pengikat kawasan dapat disediakan fasilitas umum yang dapat digunakan bersama, seperti
balai pertemuan, taman, lapangan olahraga, atau masjid/musholla.
Untuk menunjang pengembangan fasilitas yang mampu melayani berbagai kebutuhan akan
dikembangkan di bagian sentral kawasan dengan didukung oleh pengembangan satu pusat pelayanan
yang setara pelayanan lingkungan di setiap kluster.
Pada pusat permukiman akan dikembangkan satu ruang terbuka hijau yang sekaligus berfungsi sebagai
taman kota dengan kegiatan ekonomi skala tinggi seperti mal dan pertokoan, serta pusat pelayanan
sosial seperti masjid dan/atau gereja.
Pada kawasan-kawasan yang memiliki akses tinggi akan dikembangkan fasilitas umum skala kota,
sedangkan pada tiap pusat kluster akan dikembangkan taman lingkungan, serta kegiatan komersial dan
pelayanan sosial skala lingkungan.
Rencana pengembangan kota baru ini dalam pelaksanaannya memerlukan peran berbagai pihak/stakeholder
yang meliputi swasta (developer dan perbankan), pemerintahan, serta masyarakat. Oleh karenanya diperlukan
kerjasama yang matang untuk menghasilkan konsensus antar stakeholder terkait. Kerjasama ini mencakup :
Aspek manajemen lahan
Aspek ini meliputi permasalahan pemilihan lokasi yang sesuai untuk pengembangan kawasan kota baru
ditinjau dari tata guna lahan secara makro, prosedur, proses, dan strategi pengadaan dan pembebasan lahan
Aspek pembangunan prasarana dan sarana
Aspek ini meliputi pengadaan, kewenangan pembangunan, dan pengelolaan perumahan beserta prasarana
dan sarananya.
Aspek penciptaan tata ruang yang manusiawi
Dalam aspek ini mencakup persoalan urban desain yang harus dapat mengakomodasi keseimbangan dan
keserasian kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya dengan lingkungan fisiknya. Aspek ini juga akan
berhubungan dengan pembentukan identitas dan citra kota yang akan dibangun, serta estetika lingkungan
yang akan diangkat.
Aspek pengelolaan lingkungan hidup
Aspek ini mencakup persoalan daya dukung lingkungan, kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang
meliputi pengendalian dan pemeliharaan sumber-sumber air, lahan produktif, dan juga perubahan iklim
yang diakibatkan oleh kegiatan yang akan muncul dalam perencanaan nantinya, serta pertimbangan-
pertimbangan bencana alam yang akan mempengaruhi kawasan perencanaan kota baru.
Aspek penciptaan lapangan kerja
Aspek ini mencakup persoalan yang berbasis ekonomi perkotaan untuk membuat kota yang akan
direncanakan menjadi lebih mandiri dengan tidak lagi bergantung pada kota induknya.
Pengembangan Kota Baru di Kabupaten Sidoarjo
New Town
Perlunya kerjasama antar stakeholder ini karena dalam tahapan perencanaannya melibatkan berbagai
kepentingan yang membutuhkan suatu konsensus untuk menghasilkan kota baru yang optimal. Selain itu dalam
pembangunannya membutuhkan semua sumberdaya, baik lahan, dana, maupun manajemen, dimana semua
sumberdaya tersebut terbagi-bagi secara tidak merata antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kerjasama ini
bertujuan untuk menghindari maupun meminimalisir munculnya konflik yang negatif sehingga dapat
mempengaruhi berbagai aspek dalam perencanaan kota baru ke depan.
III. Kesimpulan
1. PENATAAN RUANG dibutuhkan untuk mewujudkan ruang Nusantara yang AMAN, NYAMAN,
PRODUKTIF dan BERKELANJUTAN.
2. Perwujudan tujuan penataan ruang dilakukan dengan STRATEGI UMUM seperti Penyiapan Kerangka Strategis Pengembangan Penataan Ruang Nasional dan STRATEGI KHUSUS berupa Penyiapan
Peraturan Zonasi, Pemberian Insentif dan Disinsentif, Pengenaan Sanksi, dan lain-lain.
3. Penyusunan Zoning Regulation sebagai acuan teknis untuk penerbitan izin dalam pemanfaatan ruang
Provinsi serta diharapkan dapat menjadi acuan zoning pada skala Kabupaten/Kota.
4. Untuk penanggulangan dampak lumpur Lapindo sedang disusun disaster recovery plan melalui
pengembangan kota baru di Barat Laut Kabupaten Sidoarjo. Diharapkan dengan pembangunan kota baru
ini mampu memecahkan masalah akibat dampak bencana ikutan (collateral hazard) pada aspek ekonomi,
sosial, maupun budaya.
5. Dengan telah diakomodasikannya berbagai issue strategis penataan ruang di dalam UU Penataan Ruang,
diharapkan nantinya penyelenggaraan penataan ruang dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna.
APA KATA MEREKA
Bapak Dirgahayu, Kabid Tata Ruang, Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah
“Pasca UU No. 26 Tahun 2007, Kalimantan Tengah adalah provinsi yang
pertama yang melakukan revisi Raperda sehingga agak bingung juga waktu
itu mencari bentuk. Setelah UU tersebut keluar memang ditekankan untuk
secara rinci arah insentif disinsentif, arah peraturan zonasi itu harus
bagaimana. Daerah masih meraba-raba bagaimana menyesuaikannya dan
hal tersebut memerlukan waktu untuk merevisi Perda tersebut. Ditambah
dengan adanya draft edaran dari Dirjen tata ruang, sehingga daerah harus
mengadakan penyesuaian-penyesuaian sehingga amanat dari UU No. 26
Tahun 2007 dapat diwujudkan.”
Bapak Sumaryanto, PPK Tata Ruang, Dinas PU Provinsi Kalimantan Tengah :
“Dalam kenyataannya Implementasi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang harus melibatkan semua sektor sehingga dapat terwujud apa yang
diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Di Kalimantan Tengah, di dalam
melaksanakan amanat Undang-Undang Penataan Ruang yang baru masih
mengalami beberapa hambatan diantaranya adalah kesulitan untuk dapat
menyatukan semua sektor (masih ada ego dan kepentingan masing-masing
sektor), pemerintah kabupaten/kota masih banyak yang belum memahami
tentang tata ruang, serta kurang maksimalnya koordinasi antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.”
Vincent, Mahasiswa Planologi, Univ. Taruma Negara, Jakarta, Angkatan 2004
“UUPR menjadi subjek dalam pembelajaran kami sebagai mahasiswa, dengan substansi dan materi
yang detail serta dengan penjelasan yang lebih banyak dari UU nomor 24/1992. Menjadikan UUPR
lebih bermakna. Selain itu yang terpenting sebagai bagian masyarakat, kuota min. 30% RTH di
perkotaan menjadikan rencana perkotaan menjadi lebih baik dan nyaman”.
Bapak Danang, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat
“Banyak kabupaten/kota yang menanyakan tentang kriteria kawasan strategis, sedangkan di dalam
UU no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang belum dijelaskan secara detail apa saja kriteria-
kriteria untuk sebuah kawasan strategis, sehingga perlu ada sebuah PP yang mengatur tentang
kriteria kawasan strategis supaya ada keseragaman. Tetapi PP memiliki kelemahan yaitu tidak
sampai ke teknisnya sehingga tidak ada petunjuknya. Saat ini yang dibutuhkan oleh daerah adalah
petunjuk teknis untuk kriteria kawasan strategis untuk provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka
menyusun Raperda RTRW Provinsi Sumatera Barat, sehingga implementasi UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang di daerah dapat dimaksimalkan.”
Peraturan Pelaksanaan UUPR : Catatan Singkat Tentang Progres Penyusunan RPP tentang Peraturan
Pelaksanaan UUPR Oleh :
DR. Dadang Rukmana
Kepala Bagian Hukum, Ditjen Penataan Ruang
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang berlaku sebagai landasan hukum
penataan ruang sejak diundangkan melalui penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68, merupakan hukum positif yang wajib dijadikan acuan oleh seluruh pemangku kepentingan
dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. UUPR merupakan peraturan yang mengimplementasikan
UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3). Sebagaimana sebuah Undang-Undang, UUPR belum sepenuhnya
dapat diimplementasikan karena norma-norma yang dimuat masih bersifat umum sehingga memerlukan
peraturan pelaksanaan.
Menurut stuffenbau theory (teori hirarki peraturan perundang-undangan), secara umum kita dapat
mengelompokkan peraturan perundang-undangan ke dalan empat tingkat yaitu : Pertama adalah ketentuan yang
memuat norma dasar (grundnorm) yaitu Undang Undang Dasar, kedua adalah ketentuan legislatif yang
menjabarkan norma dasar yaitu Undang Undang, ketiga adalah ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah
sebagai aturan pelaksanaan dari Undang Undang yaitu Peraturan Pemerintah (implementing legislation), dan
keempat adalah ketentuan organik untuk mengoperasionalkan secara rinci Peraturan Pemerintah yaitu antara
lain: Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. Dalam praktek, banyak dijumpai bahwa
penyusunan peraturan perundang-undangan tidak selalu dilakukan seraca runtut, dapat saja misalnya suatu
Undang Undang memerintahkan penetapan peraturan pelaksanaan dari salah satu norma yang dimuatnya untuk
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, atau Peraturan Daerah.
Dalam UUPR, secara tersurat mengamanatkan secara tersurat 3 pokok aturan yang harus diatur lebih lanjut
dengan Undang Undang, 18 substansi aturan yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, 2
pokok materi yang harus diatur dengan Peraturan Presiden, 8 materi yang harus diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri, dan 4 pokok materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Secara tersirat (tidak langsung diamanatkan UUPR), cukup banyak peraturan pelaksanaan setingkat Peraturan
Presiden dan Peraturan Menteri yang perlu ditetapkan, antara lain Peraturan Presiden tentang Rencana Tata
Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (menurut PP No. 26 Tahun 2008
tentang RTRWN ada 76 Kawasan Strategis Nasional), Peraturan Menteri yang jumlahnya bisa sangat banyak
karena mengatur hal-hal teknis yang berbentuk Pedoman dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan Peraturan
Daerah yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang di daerah. Seluruh peraturan perundang-
undangan tersebut, kalau sudah ditetapkan akan membentuk suatu sistem peraturan perundang-undangan bidang
penataan ruang yang secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Pe
ratu
ran
Pe
run
da
ng
-un
dan
ga
nla
inya
ng
terk
ait
de
ng
an
UU
PR
(UU
PA
,U
UP
ert
am
ba
ng
an
,U
UL
H,
dll
.)
Perda Provinsi Pergub
Perda Kab/Kota Perbup / Perwali
Sejauh ini telah diinventarisasi, termasuk progres penyusunannya terutama sepanjang yang sedang disiapkan di
lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, berbagai peraturan perundangan-undangan yang diperlukan sebagai
peraturan pelaksanaan UUPR, termasuk penanggungjawab substansinya. Hasil inventarisasi tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
1. Peraturan Pemerintah
No. J U D U LPenanggungjawab
SubstansiStatus
1. PP TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONALDEPARTEMEN
PEKERJAAN UMUMTelah ditetapkan.
PP No. 26 Tahun 2008
2.
RPP TENTA NG PERATURAN PELAKSANAAN UNDA NG-UNDA NG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN
RUANG
DEPARTEMEN
PEKERJAAN UMUMDalam proses penyusunan
3.RPP TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENYUSUNAN
RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERTAHANAN
DEPARTEMEN
PERTAHANANDalam proses pembahasan
4.RPP TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA
RUANGBAKORSURTANAL Dalam proses penyusunan
5.
PENATA-GUNAAN
RUANG
SUBSTANSI PENGATURANTENTANG PENATAGUNAAN
TANAH
BADAN
PERTANAHAN NASIONAL
Dalam proses pembahasan awal
SUBSTANSI PENGATURANTENTANG PENATAGUNAAN
AIR.
DEPARTEMEN
PEKERJAAN UMUM
SUBSTANSI PENGATURANTENTANG PENATAGUNAAN
UDARA.LAPAN
SUBSTANSI PENGATURANTENTANG PENATAGUNAAN
SUMBER DAYA ALAM LAINNYA
KEMENTERIAN
LINGKUNGAN HIDUP
6.RPP TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PERAN
MASYARAKAT
DEPARTEMEN
DALAM NEGERIDalam proses penyusunan
NO. JUDULPENANGGUNGJAWAB
SUBSTANSISTATUS
1. Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekjur DJPR, Dep Dalam proses legalisasi di Setkab2. Pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN)
(revisiKeppres 62/2000)BKTRN Dalam proses pembahasan akhir
3. RTR Pulau Sumatera DJPR, Dep. PU Telah dibahas dalam forum BKTRN danuntuk beberapa draft sudah adakesepakatan antar para Gubernur.Sedang dilakukan penyesuaian substansidengan ketentuan UUPR
4. RTR Pulau Jawa - Bali5. RTR Pulau Kalimantan6. RTR Pulau Sulawesi7. RTR Kepulauan Nusa Tenggara8. RTR Kepulauan Maluku9. RTR Pulau Papua
10. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Nangroe Aceh Darusalam-Sumatera Utara
DJPR, Dep. PU Dalam proses penyiapan penyusunan
11. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Kepulauan Riau – Riau
12. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Sulawesi Utara13. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Maluku Utara – Irian Jaya
Barat – Papua14. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Nusa Tenggara Timur
15. RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Maluku16. RTR Kawasan Perbatasan Darat ProvinsiNusa Tenggara Timur
17. RTR Kawasan Perbatasan Darat ProvinsiPapua.18. Penataan Ruang Kawasan Cekungan Bandung Dalam proses pembahasan19. Penataan Ruang Kawasan Gerbangkertasusilo Dalam proses penyiapan penyusunan20. Penataan Ruang Kawasan Kendal-Ungaran-Semarang-Purwodadi
(Kedungsepur)21. Penataan Ruang Kawasan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan
(Sarbagita)22. RTR Makassar- Maros- Sungguminasa- Talakar (Mamminasata) Dalam proses pembahasan, dan
penyesuaian dengan UUPR
23. RTR Kawasan Perbatasan Darat Provinsi Kalimantan Barat –Kalimantan Timur
Dalam proses pembahasan, danpenyesuaian dengan UUPR
2. Peraturan Presiden/Keputusan Presiden.
3. Peraturan Menteri/Keputusan Menteri
No. JudulPenanggungjawab
substansiStatus
1. Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik Dan Lingkungan,Ekonomi, serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana TataRuang
DJPR, Dep. PU Telah ditetapkanPermen PU No. 20/PRT/M/2007
2. Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana LetusanGunung Berapidan Kawasan Rawan Gempa Bumi
Telah ditetapkanPermen PU No. 21/PRT/M/2007
3. Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Telah ditetapkanPermen PU No. 22/PRT/M/2007
4. Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan ReklamasiPantai Telah ditetapkanPermen PU No. 40/PRT/M/2007
5. Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya Telah ditetapkanPermen PU No. 41/PRT/M/2007
6. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
Dalam proses legalisasi
7. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata RuangWilayah Provinsi
Dalam proses penyusunan
8. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata RuangWilayah Kabupaten/Kota
9. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Rinci Tata Ruanguntuk RencanaTata Ruang Wilayah Provinsi
10. Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Detail TataRuang Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang KawasanStrategis Kabupaten/Kota
11. StandarPelayanan MinimalBidang Penataan Ruang
12. Tata Cara Pengawasan Terhadap Pengaturan, Pambinaan, danPelaksanaan Penataan Ruang
Progres Penyiapan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai Peraturan Pelaksanaan UUPR
Meskipun UUPR mengamanatkan pengaturan lebih lanjut 18 substansi yang harus diatur dengan Peraturan
Pemerintah, namun hal ini tidak berarti bahwa harus ditetapkan dalam bentuk 18 PP. Untuk mengurangi resiko
tumpang tindih (overlap), memudahkan harmonisasi, dan menghindari aturan yang tercecer, kebijakan yang
akhir-akhir ini dijalankan oleh Departemen Hukum dan HAM serta Sekretariat Negara adalah menggabungkan
substansi-substansi Undang Undang yang diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah ke
dalam satu atau beberapa PP. Pelaksanaan kebijakan tersebut tercermin pada penggabungan beberapa substansi
PP ke dalam satu atau beberapa PP, seperti yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Undang-Undang Jumlah PP yang
diamanatkan PP Yang Ditetapkan
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf
8 (delapan) 1) PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
UU No. 38 Tahun 2004 Tentang
Jalan
6 (enam) 1) PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan 2) PP No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
UU No. 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung
26 (dua puluh enam) 1) PP No. 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung
UU No. 16 Tahun 2001 Tentang
Yayasan
12 (dua belas) 1 PP
UU No. 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen
20 (dua puluh) 2 PP
Rapat BKTRN pada tanggal 3 Oktober 2007, menyepakati akan menerapkan pula kebijakan penggabungan
substansi PP yang diamanatkan dalam UUPR. Namun mengingat beragamnya materi muatan serta instansi yang
terkait, maka akan disusun 6 PP, yaitu :
No Nama PP Diamanatkan pada
Pasal
Keterangan
1. PP tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 20 ayat (4) Telah ditetapkan, PP No.
26 tahun 2008 ttg RTRWN
2. PP tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang
Merupakan gabungan 10
substansi
Pasal 13 ayat 4 Pembinaan Penataan Ruang
Pasal 16 ayat 4 Kriteria dan Tata Cara
Peninjauan Kembali Rencana
Tata Ruang
Pasal 40 Pengendalian Pemanfaatan
Ruang
Pasal 41 ayat 3 Kriteria Kawasan Perkotaan
Pasal 47 ayat 2 Penataan Ruang Kawasan
Perkotaan
Pasal 48 ayat 5 Penataan Ruang Kawasan
Agropolitan
Pasal 48 ayat 6 Penataan Ruang Kawasan
Perdesaan
3. PP tentang Kriteria dan Tata Cara Penyusunan Rencana
Tata Ruang Kawasan Pertahanan
Pasal 17 ayat 7
4. PP tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Pasal 14 ayat 7
5. PP tentang Penatagunaan Ruang (terdiri dari substansi
Penatagunaan Tanah, Penatagunaan Air, Penatagunaan
Udara, dan Penatagunaan Sumber Daya Alam laiinya)
Pasal 33 ayat 5
6. PP tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Masyarakat
dalam Penataan Ruang
Pasal 65 ayat 3
Konsep Sistematika RPP Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Penyusunan RPP tentang Peraturan Pelaksanaan UUPR direncanakan akan mengikuti alur pikir
penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi : pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan
penataan ruang. Meskipun ada materi-materi aturan yang akan disusun dalam Peraturan Pemerintah tersendiri
seperti Peran Masyarakat dalam Penyelengaraan Penataan Ruang, namun materi-materi tersebut akan tetap
muncul secara informatif untuk menjaga konsistensi sesuai alur pikir. Secara skematis konsep sistematika RPP
dapat digambarkan sebagai berikut :
Penyusunan RPP dimaksud dilakukan melalui berbagai tahap pembahasan meliputi pembahasan oleh Tim
Substansi (Internal DJPR), pembahasan oleh Tim Penyiapan Materi RPP (Melibatkan BKTRN), pembahasan
Interdep, dan harmonisasi RPP dengan peraturan perundang-undangan lain. Dalam rangka penyusunan RPP ini
juga akan diadakan beberapa lokarya untuk menghimpun pemikiran dari kalangan akademisi, praktisi, dan
lembaga swadaya masyarakat, serta akan diadakan konsultasi publik untuk menampung aspirasi masyarakat
yang lebih luas.
Penyelesaian seluruh peraturan pelaksanaan UUPR ini patut menjadi perhatian dan prioritas kita bersama karena
tujuan mulia dari ditetapkannya UUPR yaitu memberikan landasan hukum yang kuat dalam rangka Mewujudkan
Ruang Nusantara yang Aman, Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan akan sulit dicapai kalau peraturan
pelaksaan UUPR belum tersedia. Selain itu, mengingat amanat UUPR dalam Pasal 78 yang menegaskan bahwa
Peraturan Pemerintah yang diamanatkan harus diselesaikan paling lambat 2 tahun, Perpres harus diselesaikan
dalam 5 tahun, Peraturan Menteri harus diselesaikan dalam 3 tahun, Perda tentang RTRW Propinsi harus
diselesaikan dalam 2 tahun, dan Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota harus diselesaikan dalam 3 tahun sejak
UUPR diberlakukan, maka Penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut mesti sungguh-sunguh kita
laksanakan agar amanat UUPR dapat tercapai, terutama dalam penyusunan PP-PP nya mengingat PP-PP
dimaksud akan menjadi landasan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
hirarkinya.
W A C A N A
Pemikiran bahwa perlunya pemahaman penataan ruang sejak dini dimaksudkan untuk
meningkatkan kepedulian dan kesadaran akan pentingnya penataan ruang. Tentu saja peningkatan
kepedulian dan kesadaran akan pentingnya penataan ruang ini dimulai dengan pendidikan, yakni
dengan membentuk karakter manusia yang disiplin dan tertib tata ruang. Disadari bahwa untuk
membentuk karakter tersebut, maka pendidikan menjadi faktor terpenting. Oleh karena itu, dirasakan
perlu untuk memuat aspek penataan ruang dalam kurikulum pendidikan. Berikut hasil wawancara
kami dengan Arief Rachman, salah seorang pengamat pendidikan.
Penataan Ruang dan Kurikulum Pendidikan
Pendidikan bersumber dari agama, keluarga, sekolah formal, dan lingkungan masyarakat
sendiri. Hampir semua ilmu yang ada harus dikembangkan secara formal di dalam kurikulum, yang
bisa dikembangkan dalam intra maupun ekstra. “Jika semua ilmu kehidupan dimuat di dalam
kurikulum, saya pikir tidak efisien, sebab untuk dapat menjadi sebuah kurikulum pendidikan, maka
harus memenuhi empat persyaratan,” kata Arief Rachman.
Pertama, kurikulum harus dapat mendekatkan diri setiap anak didik dengan Tuhan. Kedua,
kurikulum harus relevan dengan cita-cita anak didik. Ketiga, kurikulum harus sesuai dengan
perkembangan usia biologis anak itu sendiri, dan keempat, kurikulum harus bisa menjadi suatu ilmu
yang menjamin kelangsungan hidupnya di masa yang akan datang.
Lalu kesadaran bertata ruang diperoleh seorang anak dari hubungannya dengan alam. Alam
merupakan suatu ruang yang terdiri dari gunung, laut, darat, yang di dalamnya hidup manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, yang perlu diatur. Dalam pengaturannya, manusia tidak boleh
PROFIL TOKOH Nama: Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd.
Tempat Tanggal Lahir: Malang, 19 Juni 1942 Pendidikan: Highland
Park High School, N.J, USA (1960), IKIP Jakarta Sarjana (19700, Victoria
University, N.Z. (1965), Tavistock House, London (1975), R.E.L.C,
Singapore (1982), Pasca Sarjana IKIP Jakarta (S2) sejak (1984), Doktor
Pendidikan IKIP Jakarta (1997) Sekilas Karir: Dosen Jurusan Bahasa
Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Jakarta
(1964 – sekarang), Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO
(sejak 2001 – sekarang), Kepala Pengembang Pendidikan Labschool (2001
– 2006), Board Executive UNESCO Paris (2003 – 2007), Kepala SMAN 81
(Sekolah Laboratorium Kependidikan) IKIP Jakarta (sekarang UNJ) (1985 –
1991), Kepala SMA Labschool Universitas Negeri Jakarta (1991 – 2001)
Sekilas Partisipasi Seminar: APEID Strategic Development Group
Meeting, Tokyo, 23-27 February (2004), 169th UNESCO Executive Board
Meeting, UNESCO Paris (14-29 April 2004), Asia-Pacific Regional
Consultation on the Draft Programme and Budget UNESCO 2006-2007,
Wellington, New Zealand (22-27 May, 2004), 147th International
Conference on Education, ICE (8-11 September 2004), 170th UNESCO
Executive Board Meeting, Paris (28 September-14 October, 2004),
International Conference on Education for Shared Values for Intercultural
and Interfaith Understanding, Adelaide(28 November-3 December, 2004),
Asia-Pacific Conference on Dialogue among Cultures and Civilization for
Peace and Sustainable Development, Hanoi, Vietnam (20-21 December,
2004), Regional Strategy for the Decade of Education for Sustainable
Development in Asia-Pacific, Bangkok, Thailand (1-3 February, 2005)
bertentangan dengan tata ruang yang sudah ada yang telah diberikan oleh Tuhan. Jika hal-hal
tersebut dilanggar, maka kehidupan manusia akan terancam.
Kesadaran anak-anak akan tata ruangnya dipelajari mulai dari tingkat keluarga, yakni dari
rumah masing-masing. Anak-anak belajar mengetahui lokasi dan fungsi dari masing-masing ruang
yang ada di rumah. Misalnya, ruang tamu dan ruang kamar tidur tidak boleh menjadi satu ruangan
dan ruang tamu biasanya terletak di depan bagian rumah karena fungsinya untuk menerima tamu.
Dari fungsi ruang di rumah ini, akan anak-anak belajar untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan
fungsinya. Akan tetapi hal ini akan sangat berbeda dengan masyarakat berpenghasilan rendah
(masyarakat marjinal) yang tidak mempunyai fungsi ruang yang berbeda-beda. “Fungsi kamar tidur,
ruang tamu, dapur bisa saja menjadi satu ruangan, walaupun demikian fungsinya tidak campur aduk,
masih terdapat pembagian fungsi dalam satu ruangan tersebut,” katanya. Dari sini, anak-anak belajar
untuk mengenal tata ruangnya.
Kemudian di tingkat sekolah, anak-anak mengenali tata ruangnya dengan adanya pembagian
ruang-ruang yang lebih jelas sesuai dengan fungsinya untuk menanamkan kurikulum-kurikulum
tertentu. Pada beberapa sekolah, terdapat gereja, mesjid, atau musholla. Hal ini dimaksudkan untuk
menanamkan nilai-nilai spritual anak didik. Sementara itu, keberadaan ruangan yang lain seperti
lapangan olahraga, laboratorium fisika, kimia, dan biologi, komputer, perpustakaan, ruang UKS (Unit
Kesehatan Sekolah), ruang gamelan, ruang kantin, dan ruang-ruang lainnya digunakan sesuai
fungsinya. Keberadaan ruang-ruang tersebut dimaksudkan selain untuk pengembangan intrakurikuler
juga ekstrakurikuler yang bertujuan untuk kepentingan pembelajaran. Keberadaan ruang-ruang di
sekolah mempunyai makna dan tujuan, sehingga tepatlah istilah “put the right thing in the right
place”. “Istilah ini hendaknya menjadi landasan pemikiran anak-anak dalam menata ruangnya,”
demikian Arief Rachman menambahkan.
Penataan Kota dan Proses Pembelajaran
Melihat penataan kota di negara-negara maju, seperti Kota London dan Paris, kota diatur
menurut kaidah-kaidah yang mengutamakan ruang publik melalui penyediaan ruang terbuka hijau
dan taman kota. Hal ini berbeda dengan kota-kota besar umumnya di Indonesia, khususnya Kota
Jakarta yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi, dengan pembangunan mall dan pusat-pusat
perbelanjaan. Keberadaan taman kota selain dapat menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat, juga
dapat berfungsi sebagai tempat belajar bersosialisasi bagi anak-anak. Anak-anak dapat belajar
mengenai interaksi dengan masyarakat dan lingkungannya ketika mereka berada di taman. Taman
yang bersih dan teratur menjadi suatu ruang pembelajaran bagi anak-anak untuk membentuk
perkembangan dan kepribadian anak.
Adanya taman-taman kota dalam suatu kota mengindikasikan bahwa penataan ruang dari
kota tersebut telah memperhatikan tidak hanya kepentingan ekonomi, tetapi juga sosial budaya dan
lingkungan. Anak-anak belajar mengenai tata ruang ketika mereka berada di lingkungan kotanya.
Mereka melihat fungsi-fungsi ruang yang ada di suatu kota, yakni fungsi untuk tempat tinggal,
tempat untuk berusaha, tempat untuk bermain, dan sebagainya.
Penataan kota tidak perlu dijadikan sebagai mata pelajaran khusus dalam kurikulum
pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMU. “Ilmu tentang penataan ruang secara khusus hendaknya
dikembangkan pada level perguruan tinggi, sementara itu, di level SD, SMP, dan SMU hanya
dikembangkan ilmu-ilmu dasar,” demikian kata Arief Rachman. Kesadaran bertata ruang sendiri dapat
dikembangkan melalui kegiatan kurikuler di sekolah, yakni dengan mengembangkan lingkungan
ruang sekolah yang bersih, rapi, dan sehat. Dengan ilmu-ilmu dasar yang diterima di level SD hingga
SMU, anak dapat belajar menghadapi lingkungannya dan mempunyai pengalaman dalam menghadapi
lingkungannya. Dengan demikian, faktor yang menentukan suatu kurikulum pendidikan bukanlah
masalah-masalah yang ada di luar, akan tetapi kurikulum diharapkan dapat menyelesaikan masalah
yang ada di luar.
Ditjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum sebagai pembina penataan ruang di
tingkat nasional hendaknya dapat memetakan kota-kota di Indonesia yang telah melakukan penataan
ruang dengan baik. Hal ini diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah dapat menyelenggarakan
penataan ruang dengan baik, demikian disampaikan Arief Rachman mengakhiri pembicaraan. ***
Sekilas Tentang Perguruan Diponegoro
Lingkungan sekolah yang baik tidak mesti identik dengan
sekolah unggulan atau sekolah mahal. Meskipun suatu sekolah
mempunyai keterbatasan keuangan, tetapi tata lingkungan
harus rapi, bersih dan indah sehingga dapat menunjang proses
pendidikan dan pembelajaran. Salah satu contoh adalah
Sekolah Perguruan Diponegoro di Rawamangun Jakarta Timur.
Perguruan ini hanya dibatasi dengan tanaman hidup yang berfungsi sebagai pagar. Jelas
terlihat bahwa lingkungan sekolah ini sangat asri dan bersih. Keberadaan tanaman hidup
yang berfungsi sebagai pagar mencerminkan bahwa sekolah ini terbuka untuk umum,
tanpa membedakan latar belakang ekonomi dan sosial yang berbeda. Dari penataan ruang
sekolah yang teratur, asri, dan bersih diharapkan anak didik dapat mengembangkan diri
menata ruang di keluarga masing-masing dengan hal yang sama. Kebiasaan ini diharapkan
dapat membentuk perkembangan dan karakter anak yang memiliki
kesadaran pada tata ruangnya.
PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN
Oleh :
Ir. Iwan Isa, M.Sc
Direktur Penatagunaan Tanah – Badan Pertanahan Nasional
PENGANTAR
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, sehingga hubungan
bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi dan azazi. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik dan
seksama, akan lahir kemiskinan bagi sebagian besar rakyat Indonesia, ketidakadilan, peluruhan, serta sengketa
dan konflik yang berkepanjangan dan bersifat struktural.
Tanah merupakan matrik dasar sistim ruang. Tanah adalah ruang daratan yang memiliki wujud nyata,
digunakan, dikuasai dan menjadi tempat kehidupan dan penghidupan seluruh rakyat Indonesia. Dalam
kenyataannya, di atas tanah telah ada berbagai bentuk penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang
diselenggarakan oleh rakyat. Dalam kenyataannya pula bahwa yang dimaksudkan ruang dalam
penyelenggaraan penataan ruang dewasa ini hampir dipastikan adalah daratan atau tanah. Oleh karena itu,
setiap penataan ruang akan bermakna penataan atau pengaturan kembali penggunaan tanah dan penguasaan
tanah yang diselenggarakan oleh rakyat.
PERMASALAHAN PENATAAN RUANG
Permasalahan yang harus dihadapi dalam penataan ruang adalah bagaimana mengimplementasikan berbagai
kepentingan pembangunan yang bersifat publik di atas bidang-bidang tanah yang telah dilekati dengan berbagai
hak-hak atas tanah yang lebih bersifat privat. Penataan penggunaan tanah dan penguasaan tanah yang telah
berlangsung ditengah masyarakat agar menjadi selaras dengan tujuan kepentingan umum, yang
direpresentasikan dalam rencana tata ruang, akan senantiasa memberikan implikasi yang mendalam, terutama
bagi rakyat yang tanahnya terkena secara langsung. Di masa lampau proses penyelarasan ini lebih banyak
diselesaikan dengan “penggusuran”.
Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA menyatakan bahwa kewenangan negara untuk mengatur/menata
penggunaan dan pemanfaatan tanah, dibatasi pada tujuannya yakni untuk sebesar besarnya
kemakmuran rakyat. Demikian pula dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA huruf b dan c mengandung suatu
misi untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkeadilan kepada rakyat
dalam mengusahakan tanahnya.
Ketentuan UUPA di atas, termasuk pasal 14, kemudian menjadi landasan filosofis bagi penyusunan Undang-
undang Penataan Ruang, yakni bahwa penataan ruang tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pencapaian
kehidupan berbangsa dan bernegara, menjamin perwujudan nyata dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak diundangkan tahun 1992, Penataan ruang belum dapat berfungsi dengan baik karena ketiadaan peraturan
pelaksanaannnya. Baru 12 tahun kemudian, Undang-undang mengenai Penataan Ruang (24/1992) ini akhirnya
memiliki peraturan pelaksanaan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 16 / 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Mengingat urgensinya, maka sejumlah ketentuan dalam PP 16 / 2004 kemudian diangkat menjadi pasal-pasal
dalam Undang-undang Penataan Ruang yang baru (UU 26/2007).
Perlindungan hukum dan penguatan hak–hak rakyat atas tanah terakomodasi dengan baik dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 16 / 2004 tentang Penatagunaan Tanah yakni bahwa penetapan rencana tata ruang tidak
mempengaruhi status hubungan hukum orang dengan tanah. Di sisi lain, ditetapkan pula bahwa setelah
penetapan rencana tata ruang, pelayanan adminstrasi pertanahan diselenggarakan apabila memenuhi syarat dan
ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang. Ketentuan ini memiliki fungsi
yang sangat efektif untuk mewujudkan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rancana tata ruang.
Dari berbagai pengamatan terhadap pelaksanaan rencana tata ruang, dirasakan bahwa kebijakan rencana tata
ruang belum sepenuhnya berfungsi efektif. Sejumlah persoalan penting yang perlu diselesaikan melalui
penyelenggaraan penataan ruang antara lain adalah :
1. Ketimpangan Wilayah
Intensitas pemanfaatan ruang antar wilayah
sangat bervariasi. Berdasarkan kelompok
pulau, intensitas penggunaan tanah di Pulau
Jawa dan Bali terlihat sudah sangat tinggi.
Dalam hal ini tanah-tanah yang telah
dibudidayakan di kedua wilayah tersebut –
yaitu sawah, pertanian tanah kering,
perkebunan, penggunaan lainnya dan
budidaya nonpertanian– mencapai 88,65%
atau seluas 11,82 juta hektar.
Demikian pula penggunaan tanah untuk
budidaya non-pertanian (perumahan,
industri dan tambang) mencapai luasan 1,3
juta hektar atau 40,26% dari luas budidaya
non-pertanian secara nasional. Padahal luas kedua pulau tersebut hanya 6,97% dari luas wilayah Indonesia.
Di Pulau Sumatera, intensitas penggunaan tanah agak tinggi. Luasan tanah yang sudah dibudidayakan adalah
23,18 juta hektar (48,61%). Sedangkan intensitas penggunaan tanah paling rendah adalah di Papua. Luas tanah
yang telah dibudidayakan baru mencapai 4,76 juta hektar atau 11,49% dari luas wilayah Papua.
2. Konversi Tanah Sawah
Sebagai bangsa agraris yang sangat besar, Indonesia memiliki tanah sawah yang sangat kecil yakni hanya 4,5%
dari luas wilayah daratan Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat Indonsia beras merupakan bahan pangan
pokok yang relatif kurang memiliki substitusi sehingga beras akan tetap dikonsumsi meskipun harganya mahal.
Oleh karenanya, kelangkaan beras akan secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan, terutama bagi
rakyat kecil .
Ke depan, berbagai prediksi menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat relatif tidak banyak mengalami
diversifikasi, yakni masih tergantung pada nasi. Oleh karenanya peningkatan permintaan terhadap beras akan
sejalan dengan pertambahan penduduk.
Persoalan makanan adalah persoalan hakiki, sehingga impor beras - bahan pangan pokok- mudah untuk
dipolitisir bagi berbagai kepentingan. Fluktuasi di pasar beras internasional dapat setiap saat memunculkan
berbagai masalah serius2. Lagipula, bagi suatu bangsa yang berdaulat, ketergantungan terhadap suplai
makanan dari negara lain akan tetap sulit dibenarkan. Oleh karena itu kedaulatan pangan dalam negeri tidak
dapat ditawar, dan hal ini sangat ditentukan oleh ketersedian tanah sawah.
2 Indonesia yang pada tahun 1990 tidak masuk dalam daftar 10 negara importir terbesar beras, pada tahun 2000 menjadi importir terbesar walaupun tetap dapat mempertahankan urutan produsen terbesar ke tiga di dunia (FAO 2001). Laporan (OECD) dan (FAO), Juli 2007, menyebutkan, stok akhir beras dunia terus menurun. Tahun 2007, stok akhir beras 87 juta ton, tahun 2008 diperkirakan 85 juta ton, dan pada 2009 86 juta ton.
Luas sawah Indonesia adalah lebih kurang 8,6 juta ha dan terus menyusut dari waktu ke waktu. Sawah terdiri
dari sawah Irigasi seluas 7.314.740 Ha dan sawah Non Irigasi seluas 1.265.304 Ha. Pulau Jawa masih menjadi
sentra sawah nasional, yakni seluas lebih kurang 4,2 juta ha. Kemudian disusul Pulau Sumatera seluas 2,3 juta
ha. Pada tahun 1994 – 2004 luas sawah mengalami peningkatan seluas 602 ribu ha yang terjadi di luar Pulau
Jawa. Sebagian besar pertumbuhan luas sawah tersebut terdapat di Pulau Sumatera, yaitu seluas 460 ribu ha
atau lebih kurang 76,42% dari keseluruhan pertumbuhan luas sawah. Namun dalam kurun yang sama terjadi
penyusutan luas sawah kelas satu di wilayah Pulau Jawa dan Bali seluas 36.798 ha atau sekitar 3.679 ha/tahun
Penyusutan luas sawah terutama di pulau
Jawa, disebabkan oleh berbagai faktor yang
saling terkait. Salah satu diantaranya adalah
faktor perencanaan. Berdasarkan analisa
superimpose antara lokasi sawah dengan
rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi
diketahui bahwa seluas 5,5 juta Ha atau
sekitar 64 % dari total luas sawah nasional
berada dalam fungsi kawasan lahan basah
atau direncanakan akan tetap dipertahankan
sebagai sawah.
Sementara sisanya, sekitar 3,1 juta ha
sawah, berada dalam fungsi kawasan bukan
lahan basah. Dengan kata lain, lebih kurang
36 % dari keberadaan tanah sawah nasional
berpotensi dialihfungsikan untuk kegiatan
bukan sawah.
3. Ketidaksamaan Fungsi Kawasan
Berdasarkan fungsi kawasan dalam RTRW seluruh Provinsi, seluas 138,44 juta hektar atau 72,37%,
wilayah daratan diperuntukkan sebagai Kawasan Budidaya, sisanya seluas 52,84 juta hektar atau
sekitar 27,63% diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung.
Apabila Kawasan Budidaya dan Kawasan
Lindung tersebut dikelompokkan atas dasar
kenyataan penggunaan tanah dalam fungsi
kawasan dimaksud, maka dapat diketahui
bahwa dalam Kawasan Budidaya masih
didominasi oleh hutan (hutan lebat, hutan
sejenis, dan hutan belukar) yaitu seluas 80,13
juta hektar atau sekitar 57,88%. Dengan kata
lain, Kawasan Budidaya yang telah
dimanfaatkan adalah seluas 42,12%.
Sebaliknya, dalam Kawasan Lindung telah
terdapat banyak penggunaan tanah oleh
rakyat seperti permukiman, perkebunan, tegalan dan penggunaan tanah lainnya, yakni seluas 8,75 juta hektar.
Selanjutnya, kalau luasan - luasan di atas dipilah lagi berdasarkan Penetapan Kawasan Hutan,
didapatkan gambaran bahwa dalam Kawasan Budidaya yang kenyataan penggunaan tanahnya masih
Tabel 2. Peruntukan Sawah dalam RTRW Provinsi
Berdasarkan Pulau
Peruntukan dalam
RTRW
Pulau Luas
Sawah
Non lahan
Basah
Lahan
Basah
Sumatera 2.267.449 710.230 1.557.219
Jawa Bali 4.269.014 1.669.600 2.599.414
Kalimantan 733.397 58.360 675.037
Sulawesi 903.952 414.290 489.662
NT & Maluku 406.232 180.060 226.172
Papua 131.520 66.460 65.060
Total 8.580.044 3.099.000 5.481.044
% 100 36 64
Sumber : Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI 2007
Tabel 1. Sawah dalam Perspektif Tata Ruang
Peruntukan dalam
RTRW
Pulau Luas
Sawah
Non lahan
Basah
Lahan
Basah
Sumatera 2.267.449 710.230 1.557.219
Jawa Bali 4.269.014 1.669.600 2.599.414
Kalimantan 733.397 58.360 675.037
Sulawesi 903.952 414.290 489.662
NT & Maluku 406.232 180.060 226.172
Papua 131.520 66.460 65.060
Total 8.580.044 3.099.000 5.481.044
% 100 36 64
Sumber:DatabaseDirektorat Penatagunaan Tanah, BPN RI 2007
berupa hutan, yaitu seluas 80,13 juta hektar, maka sekitar 78,81% memang ditetapkan sebagai
kawasan hutan, dan sisanya 21,19 % penetapannya adalah sebagai Areal Penggunaan Lain (APL).
Ratio ketepatan penetapan fungsi kawasan yang relatif tinggi adalah pada kawasan lindung. Dari 82,84
juta ha Kawasan Lindung yang ditetapkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah, 83,4%
kenyataan penggunaan tanahnya masih berupa hutan, dan 92,02% dari hutan itu penetapannya
memang sebagai Kawasan hutan.
4. Kesesuaian Penggunaan Tanah
Secara nasional penggunaan tanah yang sesuai dengan RTRW Provinsi adalah seluas 130,66 juta
hektar atau 68,31%. Kategori sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama, jenis penggunaan tanahnya sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah. Contoh: penggunaan tanahnya adalah sawah dan rencana fungsi kawasannya adalah
pengembangan lahan basah
Seluas 59,03 juta hektar (31,30%) penggunaan tanah saat ini tidak sesuai dengan arahan fungsi
kawasan rencana tata ruang provinsi. Kategori tidak sesuai adalah apabila dalam lokasi yang sama,
jenis penggunaan tanahnya memang tidak sesuai dengan rencana fungsi kawasan sebagaimana
ditetapkan dalam RTRW. Contoh: penggunaan tanah sebagai perkampungan sementara fungsi
kawasan dan RTR adalah hutan lindung. Pulau Jawa dan Bali memiliki tingkat ketidaksesuaian
penggunaan tanah terhadap rencana tata ruang yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok pulau
lainnya, yakni 48%. Kemudian di susul oleh pulau Nusa Tenggara dan Maluku, yakni 47%, dan
Pulau Sumatera sebesar 38%. Tingkat kesesuaian tertinggi adalah pulau Papua yakni 87%.
Apabila dikaitkan dengan tingkat intensitas penggunaan tanah, terdapat kecenderungan bahwa
ketidaksesuaian penggunaan tanah terhadap fungsi kawasan rencana tata ruang akan lebih tinggi pada
wilayah-wilayah yang intensitas penggunaan tanahnya sudah tinggi.
LANGKAH KEDEPAN
Banyak pandangan menyatakan bahwa rencana tata ruang telah menjadi landasan legal dalam
mengkonversi tanah-tanah pertanian subur dan hutan. Inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat daerah cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi
lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (lahan usaha) guna meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) merupakan praktek pembangunan yang kerap terjadi3. Di pulau Jawa misalnya,
luasan kawasan hutan lindung telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun (BPS, 2001).
Bahkan Badan Planologi Kehutanan (2001) menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di
Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan saat ini lebih kecil dari 23% dari luas daratan Pulau Jawa.
Dibidang pertanahan, permasalahan yang harus dihadapi dalam penataan ruang adalah bagaimana
menyelaraskan berbagai kepentingan pertumbuhan ekonomi dan investasi pembangunan dengan penguatan
hak-hak rakyat atas tanah dan lingkungan hidup. Berbagai permasalahan tersebut semakin kompleks, sehingga
meningkatkan kesulitan pengaturan dan pengelolaan sumberdaya terutama tanah. Permasalahan alokasi
sumberdaya tanah baik dalam alokasi penguasaan maupun alokasi penggunaan sumberdaya tanah akan
senantiasa menjadi hal yang strategis untuk diselesaikan secara adil.
Dari berbagai pengalaman terhadap implementasi rencana tata ruang, penyelenggaraan penataan ruang
memerlukan langkah-langkah korektif penyempurnaannya di bidang pertanahan yaitu:
1. Kurang terkoordinasinya penggunaan dan pemanfaatan ruang menyebabkan konflik penggunaan dan
pemanfaatan tanah baik antar sektor, antar wilayah, maupun antar pulau. Saat ini, konflik antar sektor
3 Soenarno. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam rengka Pengembangan Wilayah Seminar Nasional Agroindustri dan
Pengembangan Wilayah, Jakarta Februari 2003
yang sering terjadi antara lain antara sektor kehutanan dan pertambangan, pertanian dengan perkotaan,
perekonomian dengan lingkungan hidup, dan lain-lain. Sementara itu, tindakan penegakan hukum (law
enforcement) terhadap pelanggaran tata ruang masih belum efektif. Pelanggaran-pelanggaran penggunaan
dan pemanfaatan ruang belum dikenakan sanksi. Kalaupun ada hanya sekedar konsumsi berita. Pada
akhirnya, kesemuanya berdampak pada inefisiensi sosial dan ekonomi dalam penggunaan dan pemanfaatan
tanah serta degradasi kualitas lingkungan hidup.
2. Penyusunan dan implementasi RTRW di masa lalu belum cukup memberikan porsi yang seharusnya
terhadap aspek pertanahan, sehingga sulit mengimplementasikan RTRW. Pada dasarnya implementasi
penataan ruang merupakan penerapan kepentingan publik terhadap tanah yang telah dilekati hak, sehingga
diperlukan penyelenggaraan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Demikian pula, upaya mewujudkan rencana tata ruang akan lebih efektif apabila ditempuh dengan
memberikan atau tidak memberikan suatu hak atas tanah.
3. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang perlu mendapat porsi yang besar. Hal ini merupakan juga
salah satu esensi kebijakan pertanahan yakni perlindungan hak atas tanah, fungsi sosial tanah, keadilan,
serta partisipasi masyarakat, sehingga dapat tercipta penggunaan dan penguasaan tanah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
4. Dalam implementasi rencana tata ruang sering terjadi benturan peraturan perundangan yang menyangkut bidang atau sektor tertentu, misalnya pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Rencana Tata Ruang
Wilayah yang ketetapannya dituangkan dalam Peraturan Daerah dalam kenyataannya sulit
diimplementasikan apabila berada dalam suatu kawasan yang pengelolaannya memiliki berbagai peraturan
tersendiri.
PENUTUP
Penatagunaan Tanah merupakan sub sistem dari sistem Penataan Ruang. Namun didalam prakteknya,
alokasi penggunaan tanah dan alokasi penguasan tanah tetap saja menjadi unsur-unsur utama yang di
atur oleh penataan ruang. Implikasinya adalah bahwa dalam rangka implementasi RTRW, pengaturan
penggunaan dan penguasaan tanah tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Keterpaduan pembangunan melalui pendekatan penataan ruang perlu diselenggarakan berdasarkan prinsip penghormatan kepada hak keperdataan rakyat atas ruang / tanah, serta prinsip-prinsip sinergi
dan kemanfaatan bersama (complementary benefit) dengan mengedepankan kepentingan bersama dan
kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas – melebihi batas-batas administrasi. Oleh karena itu
pendekatan penataan ruang perlu dilaksanakan secara koordinatif dalam rangka mewujudkan tujuan
pengembangan wilayah – sebagai kesatuan ekosistem – dapat dimaksimalkan, sekaligus meminimalkan
potensi konflik pemanfaatan ruang yang mungkin terjadi di masyarakat.
Pengembangan Untuk Profesi Perencanaan Kota dan Wilayah Oleh :
sesuaian Penggunaan Tanah Terhadap RTRW Berdasarkan Pulau
PULAU
TINGKAT KESESUAIAN (HEKTAR) *
SESUAI % TIDAK SESUAI %
Sumatera 29.201.031 61,81 17.876.270 38,19
Jawa dan Bali 6.837.426 51,65 6.400.871 48,35
Kalimantan 36.644.902 68,68 16.710.461 31,32
Sulawesi 13.566.957 70,07 5.793.818 29,93
NT & Maluku 8.317.046 52,74 6.753.194 47,26
Papua 36.093.311 86,77 5.386.689 13,23
Total 130.660.673 68,31 58.921.301 30,80
Keterangan: * Tidak termasuk perairan darat
Sumber : Direktorat Penatagunaan Tanah, BPN RI 2007
Irwan Prasetyo – IAP
Tulisan ini dibuat untuk mengulas tentang Profesi Perencanaan Wilayah dan Kota, kaitannya dengan upaya yang
diperlukan oleh Asosiasi atau Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) untuk meningkatkan kiprahnya dalam
pembangunan di Indonesia. Pertama, marilah kita meninjau terlebih dahulu definisi-definisi dan situasi yang ada sebagai berikut:
Apa yang dimaksud Profesi di bidang perencanaan?
Profesi perencanaan wilayah dan kota atau urban/city and regional planning adalah profesi yang dinamis yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat/komunitas dalam mewujudkan suatu wilayah yang
berazaskan kenyamanan, keadilan, sehat lingkungan dan atraktif untuk generasi sekarang dan yang akan datang.
Perencanaan dapat memperkuat para pemimpin-pemimpin masyarakat dan bisnis untuk menjalankan peran yang
baik dalam mewujudkan komunitas yang sejahtera.
Perencanaan yang baik, membantu mewujudkan komunitas untuk memiliki pilihan tentang dimana dan
bagaimana mereka akan menjalani kehidupan. Juga membantu komunitas memiliki visi tentang arah
perkembangan dan menemukan keseimbangan antara perkembangan pembangunan, inovasi yang kreatif dengan
pelayanan utama, dan perlindungan lingkungan.
Apa yang dilakukan seorang perencana?
Perencana professional akan membantu membentuk visi yang menyeluruh bagi suatu komunitas. Mereka
melakukan riset, disain dan mengembangkan program-program, memimpin proses publik, merencanakan
perubahan sosial, melakukan analisa teknis, mengelola dan melakukan edukasi.
Spesialisasi apa saja dalam Profesi Perencanaan?
Pada umum perencana melakukan pekerjaan pada satu atau lebih lingkup spesialisasi. Beberapa perencana
menjalani seluruh karirnya dalam salah satu aspek, ada juga yang bergerak di antara aspek-aspek spesialisasi,
juga mengkombinasi aspek spesialisasi seperti tersebut di bawah ini:
Community Development, Tata Guna Lahan, Perencanaan Transportasi, Lingkungan Hidup, Ekonomi Pembangunan, Urban Design, Manajemen Publik, Permukiman, Pariwisata, dan Pemberdayaan Masyarakat.
Dimana para perencana bekerja?
Perencana ada di setiap negara di dunia, mereka bekerja di wilayah pedesaan, di pinggiran kota, maupun di
kota-kota besar. Di Indonesia, dengan berbekal dasar-dasar pengetahuan perencanaan suatu daerah dari skala
mikro sampai makro (site planning, urban planning, regional planning) ataupun dari interest-nya
(transportation, land use, economics, sociology, tourism dll), mereka bekerja dan berfungsi dalam pemerintah
daerah, provinsi dan nasional. Mereka juga bekerja dalam lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, pada
developer real estate, dan konsultan perencanaan/multi disiplin.
Skill/Kemampuan apa yang perlu dimiliki Perencana ?
Melihat luasnya spektrum kerja dari profesi perencana, perlu dilihat kemampuan apa saja yang diperlukan oleh
perencana agar dapat mempertajam keandalan dan dapat menunjukkan kiprah di antara profesi-profesi lain.
American Planning Association, APA menyimpulkan sebagai berikut:
Selain pendidikan formal, seorang perencana perlu memiliki kombinasi skill yang menunjang sukses mereka
secara professional. Karena perencanaan adalah profesi yang dinamik dan diversed, kemampuan individu
bervariasi bergantung pada peran dan area spesialisasi. Perencana diharapkan memiliki kombinasi dari skill
antara lain berikut:
1. Pengetahuan tentang struktur spasial kota/tata ruang atau desain fisik dan bagaimana system perkotaan
bekerja;
2. Kemampuan untuk menganalisa informasi demografik dan melihat kecenderungan yang terjadi pada
populasi, tenaga kerja, tingkat kesehatan; 3. Pengetahuan tentang penyusunan rencana dan evaluasi proyek;
4. Menguasai teknik melibatkan masyarakat luas dalam pengambilan keputusan;
5. Mengetahui proses dan program pemerintah kota, kabupaten, propinsi dan nasional;
6. Mengetahui dampak lingkungan dan sosial terhadap komunitas dari suatu keputusan perencanaan;
7. Kemampuan untuk bekerja dengan publik dan mengartikulasikan issue perencanaan dengan berbagai
lapisan masyarakat;
8. Kemampuan untuk berfungsi sebagai mediator atau fasilitator pada saat terjadi konflik dalam masyarakat;
9. Mengerti tentang dasar hukum tata ruang dan tata guna lahan;
10. Mengerti tentang interaksi antara ekonomi, transportasi, pelayanan masyarakat dan peraturan guna lahan;
11. Kemampuan untuk mengatasi masalah dengan keseimbangan antara kompentensi teknis, kreatifitas dan
pragmatism;
12. Kemampuan untuk melihat alternatif pada lingkungan sosial dan fisik; 13. Menguasai teknologi dan perangkat lunak yang berkaitan dengan perencanaan a.l geographic information
system.
Pengembangan Untuk Profesi dalam Perencanaan Kota dan Wilayah
Melihat aspek-aspek skill /kemampuan yang dibutuhkan di atas, merupakan fokus dan perhatian dari IAP untuk
turut aktif meningkatkan dan mempertajam kemampuan para anggota agar para perencana dapat
mengkontribusikan energi dan kemampuan dalam pembangunan masyarakat dan negara ini, secara lebih
meningkat dan profesional.
Program-program seminar, pertemuan ilmiah dan penerbitan jurnal profesional perlu dilakukan secara terus
menerus, agar para anggota selalu dapat bertukar pengalaman dan ilmu. Merupakan hal yang patut disayangkan
bila ilmu dan pengalaman-pengalaman tidak dibagikan kepada satu sama lain, karena bila demikian, para perencana di Indonesia hanya meningkatkan kemampuannya berdasarkan perkembangan ilmu dan pengalaman
diri sendiri saja and they do this the hard way. Semoga para perencana di Indonesia semakin dapat bersinergi di
masa yang akan datang.
(sebagian besar disadur dari American Planning Association, APA)
Kebijakan dan Strategi Penanganan Kemacetan Lalulintas di Perkotaan Oleh:
Dr. Ir. Doni J. Widiantono, M.Eng.Sc. – Kasi Kebijakan PR Nasional, Ditjen Penataan Ruang
A. Latar Belakang
Jaringan jalan di perkotaan meliputi sekitar 15.000 km (5.2%) dari total panjang jalan, namun dilalui oleh hampir 80% volume lalulintas yang ada. Rasio panjang jalan per luas wilayah di kawasan perkotaan umumnya sudah cukup memadai (> 5 km/km
2), namun demikian jumlah kendaraan per panjang jalan umumnya
mengindikasikan angka yang terlalu tinggi (>100 kendaraan/km).
Dari segi komposisi kendaraan, saat ini lalulintas di perkotaan didominasi oleh kendaraan roda dua (61%), sedangkan kendaraan roda empat atau lebih berkisar 39%. Pertumbuhan kendaraan roda dua ini di beberapa kota mencapai hampir 20% per tahun, sementara kendaraan lainnya umumnya hanya tumbuh sekitar 5-10%.
Secara tipikal kemacetan lalulintas di perkotaan diakibatkan oleh 3 hal pokok yaitu:
o Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas ruas jalan o Bottle-neck akibat adanya penyempitan ruas jalan. o Konflik yang terjadi di persimpangan maupun di titik-titik tertentu pada ruas jalan.
Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas umumnya tidak terjadi secara permanen, melainkan
hanya terjadi pada jam-jam tertentu (peak hours) di pagi hari maupun di sore hari atau pada hari-hari tertentu.
Sedangkan kemacetan akibat bottle-neck lebih bersifat permanen, karena adanya perubahan kapasitas ruas
jalan sehingga kendaraan harus melakukan merging dan ini menimbulkan friksi yang dapat memperlambat
kecepatan arus kendaraan. Sementara konflik lalulintas kendaraan di persimpangan terjadi karena lalulintas
melakukan perubahan arah pergerakan, di mana salah satu harus diprioritaskan. Kondisi ini berarti akan
mengurangi jumlah kendaraan yang dapat melewati suatu persimpangan dalam suatu waktu tertentu. Konflik
juga dapat terjadi antara lalulintas kendaraan dengan penyeberang jalan, kendaraan tidak bermotor maupun
PKL pada titik-titik tertentu pada ruas jalan yang terdapat aktivitas tinggi seperti pasar tradisional, terminal
maupun sekolah-sekolah.
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
SURABAYA
BANDUN
G
MEDA
N
PALE
MBAN
G
MAKASS
ARPan
jan
g J
ala
n/ L
uas W
ilayah
, km
/km
2
0
50
100
150
200
250
Ken
d/P
an
jan
g J
ala
n
Kendaraan di DKI 2007
Mobil Pribadi,
1508934, 27%
Kend. Barang,
407845, 7%
Bus, 256300,
5%
Sepeda Motor,
3325790, 61%
Selain 3 hal tersebut, kemacetan juga dapat dipicu oleh perilaku dan disiplin pengemudi yang kurang baik.
Angkutan umum yang menaik-turunkan penumpang di sembarang tempat, parkir on-street kendaraan di lokasi
yang tidak semestinya, penggunaan badan jalan oleh PKL adalah beberapa contoh aktivitas yang dapat
menimbulkan hambatan samping yang tinggi sehingga menurunkan tingkat pelayanan ruas jalan yang ada.
Gambar 1. PKL di Badan Jalan dan Aktivitas Terminal
B. Kerugian Akibat Kemacetan
Berdasarkan hasil studi yang ada, mengindikasikan kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan seperti
DKI Jakarta rata-rata mencapai Rp. 1,25 juta/kapita/tahun, atau mencapai lebih dari Rp. 10.4 triliun/tahun.
Sedangkan angka kerugian total di kota besar di Indonesia diperkirakan sebesar Rp. 25.2 triliun rupiah per
tahun. Angka ini sangat fantastis, paling tidak jika kita bandingkan dengan pengeluaran yang kita anggarkan
untuk perbaikan sektor transportasi. Angka yang sama untuk kota-kota di Amerika mencapai US$
1000/kapita/tahun.
Kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan terutama terkait dengan:
1. Meningkatnya Biaya Operasi Kendaraan (BOK) akibat menurunnya kecepatan perjalanan rata-rata. 2. Kerugian nilai waktu akibat hilangnya kesempatan berproduksi akibat tundaan waktu perjalanan.
3. Kerugian psikis akibat stress serta perilaku yang tidak produktif.
C. Kebijakan dan Strategi Penanganan Kemacetan Lalulintas
Kebijakan dan strategi penanganan masalah kemacetan lalulintas di perkotaan perlu dilakukan secara multi-facet dengan mengedepankan keterpaduan dalam berbagai jenjang dan aspek sekaligus. Jenjang tersebut meliputi penanganan di tingkat makro, meso maupun mikro. Sedangkan aspek yang dilakukan mencakup 3E, yaitu: aspek teknis (Engineering), aspek penegakan hukum (Enforcement), dan aspek pendidikan (Education).
Pada level makro, penataan ruang perkotaan perlu dikembangkan ke arah model-model perencanaan kota yang bersifat: o Compact city, pengembangan kawasan-kawasan terpadu yang kompak dan memadukan fungsi-fungsi
hunian, perkantoran dan komersial seperti super-block. o Transit Oriented Development, dengan mengarahkan pengembangan kawasan pada simpul-simpul jalur
angkutan umum masal yang memiliki aksesibilitas tinggi, terutama untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
o Kawasan Hunian Kepadatan Tinggi (high density residential zone), dengan orientasi bangunan dikembangkan ke arah vertikal dan membatasi hunian-hunian kepadatan rendah (landed housing).
Pada level meso, perlu dikembangkan angkutan umum masal (Mass Rapid Transit) dan dilakukan keterpaduan transportasi antar moda (intermoda) yang mengarah pada seamless transport, sehingga pengguna angkutan umum dapat berpindah-pindah moda tanpa halangan yang berarti. Selain itu perlu diterapkan pula skema-skema Transport Demand Management seperti: o Park-and-ride, yaitu fasilitas untuk dapat berpindah moda secara nyaman dari kendaraan pribadi ke
angkutan umum (KA atau Busway).
Gambar 2. Model Pembangunan Linier yang Kompak
o High Occupancy Vehicle, yaitu pemberian prioritas bagi kendaraan dengan muatan penumpang tinggi seperti bus, mikrobus dll.
o Ride-sharing, yaitu mengembangkan upaya-upaya penyediaan angkutan antar-jemput atau berkendaraan bersama dalam satu tempat kerja.
o Car-pooling yaitu pengembangan sistem angkutan shuttle dari lokasi-lokasi hunian yang disediakan secara swadaya oleh penghuni atau pengembang.
Kebijakan pada level mikro atau street level akan diarahkan pada keterpaduan penanganan prasarana dan sarana serta penerapan skema-skema traffic management. Komponen prasarana dan sarana yang perlu ditangani antara lain menyangkut: o Penanganan/peningkatan kapasitas persimpangan melalui pelebaran lengan-lengan simpang. o Pemasangan alat pengatur instrumen lalulintas (APIL) yang terkoordinasi. o Pembangunan fly-over atau underpass pada persimpangan yang padat maupun perlintasan jalan dengan
rel KA. o Perbaikan kerusakan kondisi jaringan jalan dan pelebaran bagian-bagian yang mengalami penyempitan. o Peningkatan bahu jalan, rambu-rambu, lampu penerangan dan fasilitas pejalan kaki di perkotaan.
Dari segi rekayasa dan manajemen lalulintas, perlu dilakukan pembatasan-pembatasan terhadap penggunaan kendaraan pribadi dan kendaraan barang pada waktu-waktu tertentu, melalui skema Traffic Management seperti: o Road Pricing, melalui penerapan tol bagi kendaraan yang memasuki suatu area tertentu seperti jalan-
jalan utama. o Traffic restraint, melalui pembatasan kendaraan yang dapat beroperasi pada hari kerja. o Parking charge, melalui penerapan tarif parkir yang tinggi pada zona-zona tertentu dan pembatasan
waktu parkir. o Sistem informasi lalulintas (intelligent transport system), melalui penerapan sistem informasi yang akurat
mengenai kondisi lalulintas.
Di samping upaya-upaya diatas, perlu dilakukan upaya penegakan hukum (enforcement) dan penyuluhan (education) yang efektif melalui:
LEVEL
MAKRO
(TATA RUANG)
LEVEL
MEZZO
(TRANSPORT
DEMAND
MANAGEMENT)
Model Compact City
Transit Oriented
Development
Perbaikan simpang,
flyover, pelebaran
bottle neck
Kawasan Hunian
Kepadatan Tinggi
ST
RA
TE
GI P
EN
AN
GA
NA
N
KE
MA
CE
TA
N L
AL
UL
INT
AS
LEVEL
MIKRO
(STREET
LEVEL)
Sarana Angkutan
Umum Massal
Marka &
Perambuan
Interface antar
moda
Traffic restraint,
road pricing, tarif
parkir, ITS
Park and Ride,
Carpooling, Ride
sharing, HOV
LEVEL
MAKRO
(TATA RUANG)
LEVEL
MEZZO
(TRANSPORT
DEMAND
MANAGEMENT)
Model Compact City
Transit Oriented
Development
Perbaikan simpang,
flyover, pelebaran
bottle neck
Kawasan Hunian
Kepadatan Tinggi
ST
RA
TE
GI P
EN
AN
GA
NA
N
KE
MA
CE
TA
N L
AL
UL
INT
AS
LEVEL
MIKRO
(STREET
LEVEL)
Sarana Angkutan
Umum Massal
Marka &
Perambuan
Interface antar
moda
Traffic restraint,
road pricing, tarif
parkir, ITS
Park and Ride,
Carpooling, Ride
sharing, HOV
Gambar 4. Strategi Penanganan Kemacetan Multi-facet
o Penerbitan SIM yang lebih selektif o Penindakan yang tegas terhadap pelanggar peraturan lalulintas o Penertiban pengguna jalan yang tidak semestinya seperti PKL, parkir on-street, dll. o Kampanye terhadap tata tertib berlalulintas dan keselamatan mengemudi di jalan.
D. Penutup
Persoalan kemacetan lalulintas di kota besar merupakan persoalan turunan yang diakibatkan tidak
seimbangnya kebutuhan dan penyediaan prasarana dan sarana transportasi perkotaan. Kemacetan lalulintas
tidak saja menimbulkan ketidaknyamanan, namun juga kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
Strategi dan kebijakan penanganan kemacetan harus dilakukan secara multi-facet yaitu Engineering,
Enforcement dan Education. Di tingkat makro penataan ruang kota harus telah mengembangkan model-model
compact city, transit oriented development dan hunian kepadatan tinggi secara vertikal. Di tingkat meso perlu
dilakukan pengembangan Sarana Angkutan Umum Massal (SAUM) dan diterapkan skema-skema transport
demand management yang lebih mengarahkan penggunaan angkutan umum dan kendaraan berpenumpang
banyak. Di tingkat mikro perlu ada keterpaduan penanganan prasarana, sarana dan sistem operasi lalulintas
serta penerapan skema traffic management yang tepat.
Daftar Pustaka:
Black, John (1981). Urban Transport Planning: Theory and Practice. Croom Helm, London.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2007). “Penanganan Manajemen Lalulintas di Ibukota”. Rapat Dengar
Pendapat Komisi V DPR-RI.
Dittmar, Hank dan Ohland, Gloria (2004). The New Transit Town: Best Practice in Transit-Oriented
Development. Island Press, Washington.
Pusat Litbang Prasarana Transportasi (2004). “Studi Perencanaan Transportasi Terpadu Perkotaan”. Laporan
Penelitian, Badan Litbang PU, Bandung.