presus anestesi syifa-prima
TRANSCRIPT
Presentasi Kasus
General Anestesi pada Laparotomi
Pembimbing :dr. Tendi Novara, Msi.Med, Sp. An
Disusun Oleh :
Prima Aditya Wicaksana G1A212067
Syifa’u Rakhmi G1A212068
SMF ANESTESIOLOGI REANIMASI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laparotomi berasal dari kata laparo yang berarti abdomen atau perut
dan tomi yang berarti penyayatan. Laparotomi merupakan suatu tindakan
pembedahan dengan membuka dinding abdomen atau perut untuk mencapai
isi rongga abdomen.
Abdomen merupakan sebuah rongga yang berisi berbagai macam organ
penting. Manipulasi pada bagian abdomen dapat memberikan pengaruh pada
organ lainnya sehingga dibutuhkan teknik operasi yang tepat guna
meminimalisir komplikasi pasca bedah.
Pembedahan yang dilakukan pada penderita yang akan menjalani
laparotomi dilakukan dengan teknik anestesi umum. Hal tersebut sesuai
dengan indikasi dari anestesi umum yaitu pembedahan yang lama, dewasa
yang memilih anestesi umum serta operasi besar (Latief et al., 2002).
Teknik pembedahan yang dilakukan pada penderita struma nodusa non
toksik dapat menimbulkan beberapa komplikasi. Abses Stitch, Sellulitis,
Gangren, Hematoma, Keloid dan Disrupsi merupakan komplikasi yang dapat
terjadi post pembedahan. Pasien dengan keadaan komplikasi seperti yang
sudah disebutkan diatas membutuhkan suatu pemantauan yang lebih intensif
dan adekuat.
B. Tujuan
Presentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui teknik anestesi pada
pembedahan laparotomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. General Anestesi (Anestesi Umum)
a. Definisi
Anestesi umum adalah suatu tindakan medis dengan tujuan utama
untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum juga
mempunyai karakteristik menyebabkan amnesia anterograd pada pasien,
sehingga pasien tidak akan bisa mengingat apa yang terjadi pada saat
dilakukan anestesi atau pun operasi pada pasien tersebut. Komponen trias
anestesi yang ideal pada anestesi umum terdiri dari hipnotik, analgesik,
dan reaksasi otot (Miller, 2006).
b. Keuntungan
1. Mengurangi kesadaran pasien
Memungkinkan pemilihan obat pelemah otot yang tepat untuk
jangka waktu yang lama. (Sebelet al, 2004)
2. Memfasilitasi pemantauan penuh terhadap jalan nafas, pernapasan
serta sirkulasi pasien.
3. Dapat digunakan pada keadaan pasien yang memiliki alergi pada
obat-obatan anestesi lokal.Dapat diberikan tanpa merubah atau
memindahkan pasien dari posisi terlentang (Sebel et al, 2004).
4. Pemberian dapat disesuaikan atau ditambah secara lebih mudah
untuk durasi tambahan tak terduga.
5. Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel (Jenkins dan Baker,
2003).
c. Kerugian
1. Membutuhkan pemantauan ekstra dan biaya mahal.
2. Membutuhkan persiapan pra operasi pada pasien
3. Dapat menyebabkan peningkatan fisiologis yang membutuhkan
intervensi aktif
4. Dapat menimbulkan komplikasi seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan terrtundanya fungsi
mental menjadi normal kembali.
5. Beberapa obat anestesi umum dapat mengakibatkan kenaikan suhu
akut dan berpotensi mematikan, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia(Jenkins dan Baker, 2003).
d. Indikasi
Indikasi anestesi umum(Miller, 2006)
1. Infant dan anak
2. Dewasa yang memilih anestesi umum
3. Pembedahannya luas atau eskstensif
4. Penderita sakit mental
5. Pembedahan lama
6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis untuk digunakan
7. Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi lokal
e. Stadium anestesi
Pada anestesi umum dikenal stadium anestesi untuk mengetahui
kedalaman anestesi, yang terdiri dari (Latief, 2002):
1. Stadium I (Stadium Analgesia )
Dimulai dari saat pemberian obat anestesi sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnyarasa sakit). Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat
dilakukanpada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai
oleh hilangnya reflex bulu mata.
2. Stadium II(Stadium Eksitasi atau Stadium Delirium)
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan y
ang irreguler,pupil melebar dengan refleks cahaya (+/+), pergerakan
bola mata tidak teratur,lakrimasi (+/+),tonus otot meninggi
dan diakhiri dengan hilangnya refleksmenelan dan kelopak mata.
3. Stadium III (Stadium Pembedahan)
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi
pernafasan hingga hilangnya pernafasan spontan.Stadia ini ditandai
oleh hilangnya pernafasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata
dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kek mulai menurun anan
dengan mudah. Pada stadium ini, pembedahan sudah boleh
dilakukan. Stadium ini dibagi menjadi 4 stage:
a) Stage 1 : pernafasan teratur dan bersifat thoracoabdominal, pupil
miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah hilang, tonus otot mulai menurun.
b) Stage 2 : respirasi teratur bersifat thoracoabdominal, tidal
volume menurun, frekuensi nafas meningkat, bola mata terfiksir
di sentral, pupil mulai midriasis, refleks cahaya mulai menurun
dan refleks kornea hilang.
c) Stage 3 : respirasi teratur dan bersifat abdominal akibat
kelumpuhan nervi intercostalis, lakrimasi hilang, pupil melebar
dan sentral, tonus otot semakin menurun.
d) Stage 4 : respirasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot
diafragma lumpuh dan makin nyata. Tonus otot sangat menurun,
pupil midriasis, reflek sfingter ani dan reflek kelenjar air mata
hilang.
4. Stadium IV ( stadium paralysis)
Mulai henti nafas dan henti jantung (Himendra, 2004).
f. Teknik anestesi umum
Terdapat tiga cara ventilasi pada anestesi umum:
1.) Dengan sungkup muka – nafas spontan
Indikasi teknik ini dilakukan untuk operasi dengan tindakan singkat
(30-60 menit) dengan keadaan umum pasien baik (ASA 1). Keadaan
lambung harus kosong. Prosedur teknik ini antara lain:
a) Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
b) Pasang infuse, sebagai media untuk memasukan obat anestesi
c) Premedikasi, apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang yang memberi efek sedasi atau anti-anxiety seperti
benzodiazepine ataupun obat dengan efek analgesia, seperti
golongan opioid.
d) Induksi
e) Pemeliharaan
2.) Intubasi Endotrakeal dengan nafas spontan
Dilakukan dengan memasukkan endotrakheal tube (ET) ke dalam
trakhea melalui oral atau nasal. Diindikasikan untuk tindakan operasi
lama dan kemungkinan terdapat kesulitan dalam mempertahankan
airway seperti pada operasi-operasi dibagian leher dan kepala.
Prosedur teknik ini antara lain:
a) Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
b) Pasang infuse, sebagai media untuk memasukan obat anestesi
c) Premedikasi, apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang yang memberi efeksedasi atau anti-anxiety seperti
benzodiazepine ataupun obat dengan efek analgesia, seperti
golongan opioid.
d) Induksi
e) Diberikan obat pelumpuh otot dengan durasi singkat
f) Intubasi
g) Pemeliharaan
3.) Intubasi Dengan Nafas Kendali (Kontrol)
Prosedur teknik ini dilakukan sama dengan prosedur Intubasi
Endotrakeal dengan nafas spontan, namun obat pelumpuh otot yang
digunakan adalah obat pelumpuh otot dengan efek durasi lebih
panjang. Selain itu, obat pelumpuh otot dapat diulang kembali
pemberiannya pada saat pemeliharaan.
g. Obat pada anestesi umum
1. Premedikasi
Premedikasi dilakukan pada tahap persiapan pra bedah. Tujuan
dilakukannya pemberian obat premedikasi adalah untuk mencegah
efek parasimpatomimetik dari anestesi, mengurangi kecemasan dan
nyeri yang dirasakan pasien. Obat yang digunakan adalah:
a. Anxiolythic
Contoh: golongan benzodiazepine (diazepam, midazolam)
b. Analgesic
Contoh: paracetamol, opium
c. Parasympathetic blocker
Contoh: hyoscine, atropine, glycopyrronium
d. Acid aspiration prophylaxis
Contoh: cimetidin, ranitidin
e. Antithrombotic prophylaxis
Contoh: heparin
2. Induksi anestesi dan penjagaan anestesi
a. Thiopentone
Obat ini berasal dari golongan barbiturate, bekerja dengan
cepat.obat yang berasal dari golongan ini tidak mempunyai
efek analgesik
1) Farmakodinamik
Obat ini seperti halnya golongan barbiturat lainnya
menyebabkan mengantuk (hipnotik), sedasi dan
depresi pernafasan. Mekanisme kerja dari
thiopenton adal;ah dengan meningkatkan ambang
batas neuron terhadap eksitasi, mendepresi pusat
pernapasan secara langsung, dan menurunkan
kepekaan terhadap CO2.
2) Farmakokinetik
Obat ini dapat diberikan secara intravena.
Thiopentone dimetabolisme di hepar dan
diekskresikan oleh ginjal bersama urin.
3) Dosis
Thiopentone diberikan dengan dosis pada orang
dewasa 3 – 5 mg/kg BB diberikan selama 10 – 15
detik.
4) Efek samping
Penggunaan Thiopentone dapat menyebabkan
hipotensi, apnea, obstruksi jalan napas, aritmia,
batuk, bersin, dan reaksi hipersensitif.
b. Propofol
Propofol merupakan emulsi minyak-air yang berwarna
putih dan mudah larut dalam lemak. Propofol memiliki
waktu induksi yang singkat dan pemulihan yang cepat pula
tanpa rasa pusing dan mual.
1) Farmakodinamik
Propofol termasuk dalam obat sedative-hipnotik,
injeksi intravena pada dosis terapeutik memberi efek
hipnotik. Waktu paruh dalam darah otak 1 – 3
menit. Obat ini bekerja dengan menghambat
reseptor GABA pada saraf pusat.
2) Farmakokinetik
Propofol dimetabolisme di hepar dan sebagian besar
diekskresikan lewat ginjal bersama urin, hanya
sebagian kecil yang diekskresikan bersama feses.
3) Dosis
Pada orang dewasa sehat kurang dari 55 tahun dosis
induksi yang diberikan adalah 2 – 2,5 mg/kg BB.
Pasien dengan usia di atas 55 tahun atau pasien ASA
III dan IV dapat diberikan dosis 1 – 1,5 mg/kg BB.
Pasien pediatric dapat diberika dosis 2,5 – 3,5 mg/kg
BB.
4) Efek samping
Efek samping dari propofol antara lain depresi
pernapasan, pada sistem kardiovaskular dapat
berupa hipotensi, aritmia, bradikardia. Propofol juga
berefek pada sususan saraf pusat berupa kejang,
euphoria, dan kebingungan.
c. Ketamin
Ketamin merupakan salah satu agen anestesi umum yang
sering dijumpai dan sering pula disalahgunakan. Obat ini
termasuk golongan non barbiturate dengan mula kerja
cepat. Ketamin memiliki efek analgesik yang baik namun
tidak menyebabkan hipotensi.
1) Farmakodinamik
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30
detik maka pasien akan mengalami perubahan
kesadaran. Apabila diberikan secara intramuscular
efek akan tampak dalam waktu 5 – 8 menit. Ketamin
bekerja dengan menghambat aktivasi reseptor
NMDA oleh glutamate, mengurangi pembebasan
presinaps glutamate.
2) Farmakokinetik
Ketamin dapat diberikan melaui intravena atau
intramuscular. Ketamin larut dalam lemak, selain itu
obat ini di metabolisme di hepar dan diekskresikan
oleh ginjal.
3) Dosis
Dosis yang digunakan untuk induksi adlah 1 – 2
mg/kgBB secara intravena dan 6 – 8 mg/kgBB
secara intramuscular. Untuk rumatan digunakan
dosis serial 50% dosis intravena dan 25% dosis
intramuscular
4) Efek samping
Penggunaan obat ini dapat mnyebabkan peningkatan
denyut jantung, peningkatan tekanan intra cranial,
peningkatan tekanan intraocular, hipersalivasi,
halusinasi dan mimpi buruk.
d. Halothane
Halothane merupakan agen anestesi yang poten. Obat ini
bersifat non iritan dan depresan kardiak yang cukup poten.
Konsentrasi yang diberikan sebesar 30%. Halothane dapat
menurunkan tonus otot bronchial, sehingga bagus untuk
pasien yang beresiko mengalami bronkokonstriksi.
Halothane dimetabolisme di hepar dan dapat menyebabkan
disfungsi hepar. Efek samping dari obat ini adalah
hipotensi, disritmia, dan disfungsi hepar.
e. Isofluran
Memiliki aksi yang serupa dengan halothane. Obat ini tidak
menyebabkan depresi kardiak serta tidak bersifat
hepatotoksik maupun nefrotoksik.
f. Sevofluran
Obat ini lebih poten dibandingkan dengan isofluran dan
pemulihannya lebih cepat.
g. N2O
Nitrous oxide memiliki kemampuan analgesik kuat tetapi
anestetik lemah. Gas tersebut kurang poten untuk induksi
dan tidak dimetabolisme dalam tubuh. Untuk anastesi
digunakan campuran 70% nitrous oxide dan 30% oksigen.
Untuk analgesic, digunakan campuran 50% nitrous oxide
dan 50% oksigen. Efek samping dari gas ini adalah mual,
muntah, pneumothorax, pneumoenchepal, pneumo
peritoneum, kembung dan tuli pasca operasi.
II. Laparotomi
a. Definisi
Suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding abdomen
untuk mencapai isi rongga abdomen.
b. Teknik
1. Midline Epigastric Incision
Incisi dilakukan persis pada garis tengah dimulai dari ujung Proc.
Xiphoideus hingga 1 cm diatas umbilikus. Kulit, fat subcutan, linea
alba, fat extraperitoneal, dan peritoneum dipisahkan satu persatu.
2. Midline Subumbilical Incision
Incisi dilakukan persis pada garis tengah,dan bisa merupakan
perluasan dari Midline
3. Epigastris Incision
Sebagai aturan umum, peritoneum harus dibuka dari ujung bawah
dari incisi, untuk menghindari lig.falciforme, tetapi untuk Midline
Subumbilical Incision peritoneum harus dibuka dari bagian atas
incisi untuk menghindari cidera kandunung kemih.
Peritoneum harus dibuka dengan sangat hati-hati. Cara yang paling
aman adalah membukany adengan menggunakan dua klem artery,
yang dijepitkan dengan sangat hati-hati pada peritoneum. Kemudian
peritoneum diangkat dan sedikit diggoyang-goyang untuk
memastikan tidak adanya struktur dibawahnya yang ikut terjepit.
Kemudian peritoneum diincisi dengan menggunakan pisau. Incisi ini
harus cukup lebar untuk memasukkan 2 jari kita yang akan
dipergunakan untuk melindungi struktur dibawahnya sewaktu kita
membuka seluruh peritoneum.
4. Upper Paramedian Incision
Incisi ini dapat dibuat baik di sebelah kanan atau kiri dari garis
tengah. Kira-kira 2,5-5 cm dari garis tengah. Incisi dilakukan
vertical, mulai dari batas costa, berakhir pada 2-8 cm dibawah
umbilicus.
5. Lower Paramedian Incision
Incisi ini similiar dengan Upper Paramedian Incision dan, biasanya,
memang merupakan perluasan dari Upper Paramedian Incision
hingga dapat mencapai abdomen dari batas costa hingga ke pubis.
6. Lateral Paramedian Incision
Modifikasi dari Paramedian Incision yang dikenalkan oleh Guillou et
al. Dimana incisi dilakukan pada pertemuan dari pertengahan dan
1/3 luar dari rectus sheat. Pada titik ini anterior rectus sheat terdiri
dari 2 lapis. Anterior sheat dipisahkan dari otot rectus. Dan
kemudian Posterior sheat atau peritoneum , atau keduanya
dipisahkan dengan cara yang sama dengan anterior sheat. Secara
teoritis, tekhnik ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya
wound dehiscence dan incisional hernia.
7. Vertical Muscle Splitting Incision
Incisi ini sama dengan conventional paramedian incision, hanya otot
rectus pada incisi ini dipisahkan secara tumpul (splitting
longitudinally) pada 1/3 tengahnya, atau jika mungkin pada 1/6
tengahnya. Incisi ini berguna untuk membuka scar yang berasal dari
incisi paramedian sebelumnya.
8. Kocher Subcostal Incision
Incisi Subcostal kanan yang biasanya digunakan untuk megakses
gallbladder dan biliary passages.. Sedangkan incisi subkostal kiri
dilakukan biasanya untuk splenektomi elektif.
Incisi dilakukan mulai dari garis tengah, 2,5-5 cm di bawah Proc.
Xiphoideus dan diperluas menyusuri batas costa kira-kira 2,5 cm
dibawahnya, sepanjang kira-kira 12 cm
9. McBurney Gridiron Incision
Dilakukan untuk kasus Appendicitis Akut Dan diperkenalkan oleh
Charles McBurney pada tahun 1894. Incisi dilakukan pada titik
McBurney secara transverse skin crease, tetapi jika penderitanya
gemuk atau jika mungkin diperlukan untuk memperluas incise maka
dibuat incise oblique.
10. Pfannenstiel Incision
Incisi yang popular dalam bidang gynecologi dan juga dapat
memberikan akses pada ruang retropubic pada laki-laki untuk
melakukan extraperitoneal retropubic prostatectomy. Incisi
dilakukan kira-kira 5 cm diatas symphisis Pubis skin crease
sepanjang ± 12 cm.
c. Komplikasi
1. Stitch Abscess
Biasanya muncul pada hari ke 10 postopersi atau bisa juga
sebelumnya, sebelum jahitan incisi tersebut diangkat.. Abses ini
dapat superficial ataupun lebih dalam. Jika dalam ia dapat berupa
massa yang teraba dibawah luka, dan terasa nyeri jika di raba. Abses
ini biasanya akan diabsopsi dan hilang dengan sendirinya, walaupun
untuk yang superficial dapat kita lakukan incisi pada abses tersebut.
Antibiotik jarang diperlukan untuk kasus ini.
2. Sellulitis
Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari
edema dan proses inflamasi sekitarnya. Penyebabnya dapat berupa
Staphylococcus Aureus, E. Colli, Streptococcus Faecalis,
Bacteroides, dsb. Penderitanya biasanya akan mengalami demam,
sakit kepala, anorexia dan malaise. Keadaan ini dapat diatasi dengan
membuka beberapa jahitan untuk mengurangi tegangan dan
penggunaan antibiotika yang sesuai. Dan jika keadaannya sudah
parah dan berupa suppurasi yang extensiv hingga kedalam lapisan
abdomen, maka tindakan drainase dapat dilakukan.
3. Infeksi Gangren
Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi, biasanya
12-72 jam setelah operasi, peningkatan temperature (39° -41° C),
Takhikardia (120-140/m), shock yang berat. Keadaan ini ddapat
diatasi dengan melakukan debridement luka di ruang operasi, dan
pemberian antibiotika, sebagai pilihan utamanya adalah, penicillin 1
juta unit IM dilanjutkan dengan 500.000 unit tiap 8 jam.
4. Hematoma
Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini
biasanya hilang dengan sendirinya, ataupun jika hematom itu cukup
besar maka dapat dilakukan aspirasi.
5. Keloid
Penyebab dari keadaan ini hingga kini tidak diketahui, hanya
memang sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk
mengalami hal ini lebih dari orang lain. Jika keloid scar yang terjadi
tidak terlalu besar maka injeksi triamcinolone kedalam keloid dapat
berguna, hal ini dapat diulangi 6 minggu kemudian jika belum
menunjukkan hasil yang diharapkan. Jika keloid scar nya tumbuh
besar, maka operasi excisi yang dilanjutkan dengan skin-graft dapat
dilakukan.
6. Disrupsi dan Eviserasi
Disrupsi ini dapat partial ataupun total. Insidensinya sendiri
bervariasi antara 0-3 %. Dan biasanya lebih umum terjadi pada
pasien >60 tahun dibanding yang lebih muda. Laki-laki dibanding
wanita 4 : 1. Komplikasi ini dapat terjadi karena kesalahan pada
prosedur pembedahan ataupun karena faktor kondisi pasien.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 87 tahun
Berat badan : 55 Kg
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Purwokerto
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Tanggal operasi : 24 Oktober 2012
No. CM : 780981
II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Nyeri pada bagian perut
b. Riwayat penyakit sekarang :Pasien mengeluh nyeri pada bagian perut dan
mengeluarkan darah saat buang air besar
c. Riwayat penyakit dahulu :
1. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
2. Riwayat penyakit DM : disangkal
3. Riwayat penyakit alergi : disangkal
4. Riwayat penyakit asma : disangkal
5. Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga :
1. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
2. Riwayat penyakit DM : disangkal
3. Riwayat penyakit alergi : disangkal
4. Riwayat penyakit asma : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan darah = 120/70 mmHg
Respirasi : 28 kali/menit
Nadi : 70 /menit, isi dan tekanan penuh
Suhu : 37,40C
Kepala : Mesochepal, simestris
Mata : Konjungtiva anemis +/+, Skleraikterik -/-,
Reflek cahaya +/+, Pupil isokor, Ø 3 mm
Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Lidah Kotor (-) bibir kering (-), hiperemis (-),
pembesaran tonsil (-), mallampati 2
Gigi : Gigi palsu (-), gigi ompong (+)
Telinga : Discharge (-) tidak ada kelainan bentuk
Leher : dalam batas normal
Thorax : Pulmo : Simetris kanan – kiri, Tidak ada retraksi
SD : vesikuler (+/+) normal
ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor :S1>S2 reguler , bising jantung (-)
Abdomen : Datar, bising usus (+) normal
Extremitas : Superior :Edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior: Edema (-/-), sianosis (-/-)
Turgor kulit : Cukup
Akral : hangat
Vertebrae : Tidak ada kelainan
b. Status lokalis
Regio colli :
1. Inpeksi : tampak perut datar
2. Palpasi : perut teraba keras sperti papan
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah lengkap (23/10/2012) pkl. 20.24 :
a. Hb : 11,3 g/dl (12 – 16 g/dl)
b. Leukosit : 4010 ul (4800 – 10800 ul)
c. Ht : 34 % (W 37 – 47 %)
d. Eritrosit : 4 jt/ul (W 4.2 – 5.4 jt)
e. Trombosit : 482.000/ul (150000 – 450000/ul)
f. MCV : 84,4 fl (79 – 99 fl)
g. MCH : 28,0 pgr (27 – 31 pgr)
h. MCHC : 33,1 % (33 -37 %)
i. Hitung jenis :
1. Eosinofil: 0,0 (2 – 4%)
2. Basofil : 0,2 (0-1%)
3. Batang : 0,00 (2 – 5%)
4. Segmen : 88,4 (40-70 %)
5. Limfosit : 6,2 (25 – 40 %)
6. Monosit : 5,2 (2 – 8%)
j. PT : 17,1 detik (11.5-15.5 detik)
k. APTT : 35,3 detik (25-35 detik)
l. SGOT : 42 (15-37)
m. SGPT : 29 (30-65)
n. Ureum : 112,7 L (14.98-38.52)
o. Kreatinin : 3,94 (0.00- 1.00)
p. GDS : 107 mg/dl (<=200)
q. Natrium : 132 (136-145)
r. Kalium : 4,5 (3.5-5.1)
s. Klorida : 99 (98-107)
t. Kalsium : 7,9 (8,4 – 10,2)
III. PEMERIKSAAN RONTGEN THORAX
Cor : CTR> 50 %, terdapat pembesaran jantung ke arah kiri
Pulmo : corakan vaskuler meningkat
Kesan:
a. Cor membesar
b. Pulmo tampak gambaran efusi
IV. PEMERIKSAAN ELEKTRO KARDIOGRAFI
Terdapat sinus takikardi
Left axis deviation
Pulmonary disease pattern
Septal infark
V. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis prabedah : Peritonitis generalisata e.c perforasi Hollow
Viscus
Diagnosis pasca bedah : Peritonitis generalisata e.c perforasi ileum dan
perforasi Colon sigmoid e.c Tumor Colon Rectum
Jenis pembedahan : Laparotomy
VI. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK
Status ASA IV
VII. TINDAKAN
Dilakukan: Eksplorasi Laparotomy
Tanggal : 24 September 2012
VIII. LAPORAN ANESTESI
Status Anestesi
1. Persiapan Anestesi
a. Informed concent
b. Puasa 6 jam pre operasi
2. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
b. Premedikasi : Ondansetron 4mg (1 amp)
c. Medikasi : Fentanyl 50 μg (1cc)
Recofol 100 mg (10 cc)
Roculax 50 mg
Ketorolac 30 mg
Oksigen 2L/menit
N2O 2L/menit
Sevofluran 24 cc
Vit C
Vit K
Dexamethason
Lasix
Buvanest
Prostigmin
3. Teknik anestesi
a. Pasien dalam posisi berbaring terlentang( supine )
b. Diinjeksikan fentanyl serta recofol secara intravena melalui selang
infus.
c. Pasien diintubasi dengan dipasang endotracheal tube (ET), dan
diberikan agen berupa oksigen,N20, dan sevofluran.
4. Pemantauan selama anestesi :
a. Mulai anestesi : 09.30
b. Mulai operasi : 09.15
c. Selesai operasi : 13.00
5. Cairan yang masuk durante operasi:
a. RL : 500 cc
b. Fima HES : 500cc
c. RL : 500 cc
6. Tekanan darah dan frekuensi nadi.
09.25 : TD : 120/70 mmHg, N : 70 kali/menit
SpO2 : 99, RL 500 cc
Premed : Ondansetron 4 mg
Induksi : Fentanyl 50 μg, Recofol 50 mg
09.30 : TD : 110/60 mmHg, N : 68 kali/menit, SpO2 : 100,
09.45 : TD : 110/60 mmHg, N : 68 kali/menit, SpO2 : 100
Asam traneksamat, Vit K, Vit C
Mulai Operasi
10.00 : TD : 100/58, N : 70, SpO2 : 100
10.15 : TD : 110/50, N : 70, SpO2 : 100
10.30 : TD : 110/59, N : 80, SpO2 : 100
10.45 : TD : 110/50, N : 80, SpO2 : 100
11.00 : TD : 100/50, N : 80, SpO2 : 100
11.15 : TD : 100/40, N : 78, SpO2 : 100
11.30 : TD : 120/60, N : 80, SpO2 : 100
11.45 : TD : 110/50, N : 80, SpO2 : 100
12.00 : TD : 110/50, N : 70, SpO2 : 100
12.15 : TD : 130/40, N : 80, SpO2 : 100
12.45 : TD : 120/40, N : 80, SpO2 : 100
13.00 : TD : 110/50, N : 90, SpO2 : 100
Operasi selesai, pasien dibawa ke ICU, dalam kondisi
masih terintubasi dengan ET tersambung dengan tabung
oksigen.
7. Pemantauan post operasi
PUKUL TD N RR Saturasi
O2
13.40 114/49 63 10 100%
15.00 109/48 56 12 100%
16.00 121/55 64 12 100%
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini terdiagnosis menderita Struma Nodusa Non Toksik.Berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, terdapat benjolan besar di leher bagian
tengah yang berukuran kurang lebih 6x4 cm, tidak nyeri, permukaannya
berbenjol-benjol, berbatas tegas, ikut bergerak saat menelan, dan warnanya sama
dengan warna kulit sekitar. Pasien tidak memiliki riwayat yang menunjukan
tanda maupun gejala hipertiroidisme seperti,tidak tahan terhadap panas, nafsu
makan meningkat, berat badan menurun, diare, palpitasi, takikardi sewaktu tidur
ataupun istirahat, tremor maupun eksolftamus. Hasil pemeriksaan fisik pada regio
colli,didapatkan nodul sebesar 6x4 cm terletak ditengah, dengan hasil palpasi
teraba kistik, bernodul-nodul dan mobile. Didukung dengan pemeriksaan
penunjang Ultrasonografi (USG) dengan hasil tampak nodul pembesaran tiroid
dextra dan sinistra yang solid, multinoduler solid dengan bagian kistik, bersepta
dan cenderung disertai adanya multipel limfadenopati.
Pasien SNNT dengan ukuran tiroid yang sudah besar, dan mulai
mengalami keluhan mekanis seperti gangguan pernapasan maupun gangguan
menelan, serta keluhan kosmetikmerupakan indikasi penatalaksanaan berupa
pembedahan srtumektomi.Strumektomijuga diindikasikan untuk kista tiroid yang
tidak mengecil setelah dilakukan biopsi aspirasi jarum halus. Selain alasan
kosmetik yang dikeluhkan oleh pasien serta nodul yang cenderung bersifat
maligna, nodul yang berukuran sudah besar akan beresiko mengalami gangguan
mekanis pada sistem pernafasan maupun kemampuan menelan. Olehkarena itu,
pilihan penatalaksanaan yang dilakukan adalah tindakan operasi strumektomi
untuk mengangkat struma pasien.
Hampir semua tindakan operasi atau pembedahan dilakukan dibawah
pengaruh anestesi umum.Perheparan utama pada anestesi umum adalah keamanan
dan keselamatan pasien. Salah satu faktor penentunya adalah kestabilan
hemodinamik selama tindakan induksi anestesi dilakukan (Latif et al, 2007).
Pembedahan struma nodusa non toksik pada pasien ini dilakukan dengan
teknik anestesi umum disertai pemasangan pipa endotrakea.Pemasangan pipa
endotrakea merupakan salah satu teknik yang bertujuan untuk menjaga jalan
napas pasien agar ventilasi dan oksigenasi ke seluruh organ tubuh dapat terjamin
dengan baik.
Manusia memerlukan oksigen untuk dapat bertahan hidup.Respirasi
berfungsi memasok oksigen ke dalam sirkulasi darah. Terhentinya pasokan dan
edaran oksigen ke jaringan atau sel untuk beberapa saat akan menimbulkan
perubahan pada metabolisme yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan
sel. Pemutusan aliran oksigen ke otak dan seluruh organ dapat menjadi penyebab
ataupun sebagai konsekuensi henti kardiosirkulasi ( Pitoyo dan Amin, 2006).
Setiap keadaan trauma berat dan pasien tidak sadar, pasien dalam kondisi
teranestesi ringan dengan relaksan dan teranestesi dalam, disertai dengan
berbaring dalam kondisi terlentang merupakan keadaan yang berbahaya.Hal
tersebut dapat berpotensi untuk terjadi obstruksi jalan napas. Pemasangan pipa
endotrakea digunakan untuk mencegah obstruksi jalan napas, menjaga jalan
napas tetap lapang dan mencegah aspirasi lambung (Dobson, 2004).
Keadaan pasien pada saat pembedahan tiroid yaitu struma nodusa non
toksik merupakan salah satu kondisi yang harus terjaga jalan
napasnya.Pemasangan pipa endotrakea digunakan untuk mempermudah ventilasi
dan oksigenasi.Hal tersebut untuk memjamin organ-organ mendapatkan
oksigenasi yang cukup (Latief et al., 2002).
Teknik untuk melakukan ventilasi dan oksigenasi bisa dengan beberapa
macam cara antara lain penggunaan nasal kanul, LMA ( laryngo mask airway )
serta pemasangan pipa endotrakea. Namun pada pembedahan ini yang digunakan
adalah pipa endotrakea.Teknik anestesi umum dengan pemasangan pipa
endotrakea dilakukan pada operasi-operasi lama yang memerlukan kendali napas,
serta operasi daerah kepala leher. Selain itu ada beberapa indikasi pemasangan
pipa endotrakea pada anestesi umum yaitu : (Latief et al., 2002)
1. Mempermudah pemberian anestesi
2. Mencegah kemungkinan aspirasi isi lambung
3. Mempermudah pengisapan sekret trakeo bronchial
4. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama
Pembedahan pada kasus struma nodusa non toksik yang dilakukan pada
pasien ini dilakukan dengan teknik anestesi umum.Teknik anestesi umum
merupakan suatu tindakan medis dengan tujuan utama untuk menghilangkan rasa
sakit secara sentral, disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible,
sehingga memungkinkan dilakukan tindakan pembedahan.Anestesi umum
ditandai dengan adanya trias anestesi yaitu analgesi, sedasi dan relaksasi.Berbeda
halnya dengan teknik anestesi lokal, yaitu menyebabkan hilangnya rasa sakit,
namun tidak disertai dengan hilangnya kesadaran (Miller, 2006).
Tindakan pembedahan yang dilakukan pada struma nodusa non toksik
seringkali banyak melakukan manipulasi pada daerah trakea, sehingga keadaan
tersebut tidak memungkinkan apabila pasien dalam kondisi sadar.Oleh karena itu,
teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi umum. Indikasi lain dilakukan
anestesi umum pada pasien ini adalah pembedahannya lama, pembedahan dimana
anestesi lokal tidak praktis untuk digunakan (Dobson, 2004)
Tindakan strumektomi, merupakan suatu operasi yang beresiko tinggi
karena dilakukan di bagian leher. Pada saat durante operasi perlu diwaspadai
risiko perdarahan masif yang mungkin terjadi karena di regio colli terdapat
pembuluh darah besar, salah satunya a. carotis communis. Setelah operasi pun,
pasien post strumektomi memerlukan pemantauan dan perawatan khusus dengan
alasan munculnya beberapa resiko seperti:
1. Terjadinya komplikasi tracheomalaisa atau trachea menjadi flacid
2. Hipokalsemi
3. Muncul gejala krisis tiroid
4. Terjadi sumbatan pada selang drainase yang dipasang untuk membuang
perdarahan dari area operasi di regio colli. Hal tersebut dapat menyebabkan
penekanan pada trakea sehingga pasien dapat mengalami gangguan
pernafasan.
5. Terdapat resiko kerusakan pada n. laryngeus recurrens yang dapat merusak
pita suara pasien (Ernst et al, 2011; Khanzada et al, 2010).
Dengan demikian pasien merupakan pasien kritis yang memerlukan pemantauan
dan perawatan khusus untuk mengembalikan dan mempetahankan stabilitas fungsi
sistemiknya. Oleh karena itu pasien ini memerlukan perawatan ICU.
Proses pemindahan pasien dari ruang operasi ke ICU merupakan hal yang
harus diperheparkan dengan baik. Sebelum dilakukan pemindahan pasien,
dilakukan perencanaan terlebih dahulu yang pertama adalah penentuan tim medis
yang akan mengantar pasien. Pada kasus ini, pemilihan tim medis sudah sesuai
dengan protokol umum. Tim medis terdiri dari dokter, perawat, dan dokter muda.
Selanjutnya, komunikasi dengan ruangan ICU harus dilakukan terlebih dahulu.
Tim medis yang bertanggung jawab terhadap pasien harus menginformasikan
kondisi pasien dan waktu pasien tiba di ruangan ICU. Peralatan yang dibutuhkan
oleh pasien harus sudah tersedia sebelum proses pemindahan dilakukan. Peralatan
yang dibawa pada saat proses pemindahan pasien merupakan alat-alat yang
berfungsi untuk mempertahankan airway, breathing dan circulation. Kekurangan
dari pemindahan pasien pada kasus ini adalah tidak tersedia alat untuk memantau
keadaan pasien serta ventilasi yang digunakan adalah ventilasi secara manual.
Sebelum dilakukan pemindahan pasien, pasien harus dalam keadaan stabil dan
rekam medis pasien harus disertakan.
BAB V
KESIMPULAN
1. Teknik anestesi yang digunakan pada pembedahan struma nodusa non toksik
adalah menggunakan teknik anestesi umum disertai pemasangan pipa
endotrakea.
2. Pasien post operasi SNNT merupakan pasien yang membutuhkan perawatan
dan pengontrolan secara intensif.
3. Proses transportasi merupakan hal yang perlu diperheparkan dalam proses
perawatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
De Jong, W.D. 2005. Kelenjar Tiroid. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta :
EGC. Hlm 683-694
Djokomoeljanto, M. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : FKUI.
Dobson, M.B. 2004. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC. 12-13 hal
Ernst, A. Kelly, C., Sidhu, PG. 2011.Tracheomalacia and Tracheobronchomalacia
in Adults. Available at
http://46.4.230.144/web/UpToDate.v19.2/contents/f37/13/38332.htm.
Gilligan, J.E. Transport Critical Ill.
Hartini, S. 2006. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, hal. 461, Jakarta : FKUI.
Himendra, A. 2004. Teori Anestesiologi. Bandung: Yayasan Pustaka Wina
Jenkins K, Baker AB. Consent and anaesthetic risk. Anaesthesia.
2003;58(10):962-84
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Kemenkes 1778/MENKES/SK/XII/2010.
Tentang petunjuk teknis penyelenggaraan pelayanan intensive Care Unit
(ICU) di Rumah Sakit.
Khanzada, TW., Abdul S., Waseem, M., Basant K. 2010. Post thyroidectomy
Complication. J Ayub Med Coll Abbottabad 1; 22
Latief, S.A., Kartini, A.S., Rusman, D. 2002.Anestesiologi.Jakarta : FKUI
Mansjoer A, dkk. 2001. Struma Nodusa Non Toksik. Kapita Selekta Kedokteran.
Jilid 1. Edisi III. Media Esculapius. FKUI. Jakarta
Miller, RD. 2006. Anesthesis, Seventh edition. Melbourne: Churcill Livingstone
Pitoyo, D dan Amin, M. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC
Schteingart, D. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Prose Penyakit. Edisi VI. Jakarta : EGC. Hlm 1225-1234
Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, et al. The Incidence of Awareness During
Anesthesia: a Multicenter United States Study. Anesth Analg.
2004;99(3):833-9
Sjamsuhidayat, R. Dan Wim D.J. 2006. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Hal
609-10 Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987
.
.