presus regional anestesi pada appendisitis akut

41
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX PRESENTASI KASUS PEMBERIAN ANALGETIK NARKOTIKA SEBAGAI AGEN ANALGETIK PADA PASIEN KOLELITIASIS DENGAN GENERAL ANASTESI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Diajukan Kepada : dr. Muh. Ghozali, Sp. An. Disusun Oleh : Rr. Dristia Nugraheningtyas 20090310032 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN RM.01.

Upload: imanisti

Post on 21-Dec-2015

47 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

Presentaso kasus

TRANSCRIPT

Page 1: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

PRESENTASI KASUS

PEMBERIAN ANALGETIK NARKOTIKA SEBAGAI AGEN ANALGETIK PADA

PASIEN KOLELITIASIS DENGAN GENERAL ANASTESI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinikdi Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada :

dr. Muh. Ghozali, Sp. An.

Disusun Oleh :

Rr. Dristia Nugraheningtyas

20090310032

KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RSUD SARAS HUSADA PURWOREJO2015

RM.01.

Page 2: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul :

PEMBERIAN ANALGETIK NARKOTIKA SEBAGAI AGEN ANALGETIK PADA

PASIEN KOLELITIASIS DENGAN GENERAL ANASTESI

Disusun oleh :

Rr Dristia Nugraheningtyas

20090310032

Telah Disetujui Oleh Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi dan ReanimasiPada tanggal Februari 2015

dr. Muh. Ghozali Tahrim, Sp.An

RM.02.

Page 3: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

ANAMNESISNama : Tn. R Ruang : Anggrek

Umur : 38 tahun Kelas : III

Nama : Tn. R Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir : 05 November 1976 Umur : 38 tahun

Nama Istri : Ny. C Umur : 37 tahun

Pekerjaan Suami : Karyawan Swasta Pendidikan Suami : SD

Alamat : Pituruh Purworejo

Masuk RS Tanggal : 15-01-2015 Jam : 23.26 WIB

Diagnosis Masuk : Obstruksi Joundice

Dokter Anestesi : dr. Muh Ghozali, Sp.An Co-asisten: Rr Dristia N

Tanggal : 20 Januari 2015

Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri perut sebelah kanan atas.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut kanan atas (+) sejak 10 hari yang lalu,

nyeri dirasa semakin bertambah, mata ikterik (+), seluruh tubuh ikterik (+), mual (+), muntah (-),

demam (-), berdebar-debar (-), sesak nafas (+). Pasien juga mengeluh BAK berwarna kemerahan.

Nyeri saat BAK (-). BAB berwarna putih (+). Perut membuncit (-). Riwayat memiliki badan

gemuk (+). Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Tidak ada riwayat sakit seperti ini

sebelumnya. Riwayat trauma disangkal. Riwayat HT (-), riwayat DM (-). Pasien merupakan

perokok aktif.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

Riwayat penyakit DM : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

Riwayat penyakit DM : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

RM.03.

Page 4: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

Riwayat asma : disangkal

Keluarga tidak ada yang mengalami nyeri perut bagian atas.

Keluarga menyangkal memiliki riwayat penyakit hati, ginjal, dan infeksi saluran kemih.

1. Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan :

• Sosial

Pasien berada di rumah, tinggal bersama istri dan anak.

• Ekonomi

Sumber pendapatan keluarga didapat dari anak yang bekerja sebagai karyawan swasta.

Penghasilan yang didapat dirasakan cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

• Lingkungan

Lingkungan rumah dan sekitarnya terjaga kebersihannya.

KESAN : Sosial dan ekonomi memadai. Keadaan lingkungan disekitar pasien cukup baik.

2. Anamnesis Sistem

Sistem Saraf Pusat : Demam (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-)

Sistem Kardiovaskular : Nyeri dada (-) Sesak nafas (-) Jantung berdebar (+)

Sistem Respirasi : Sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-)

Sistem Gastrointestinal : BAB (+), Nyeri perut (+), Diare (-), muntah (-)

Sistem Urogenital : BAK (+), lebih dari 30 cc/jam, nyeri BAK (-), urin berwarna

teh (+),

Sistem Musculoskeletal : Kaku (-), nyeri otot (-), kekuatan normal (+)

Sistem Integumentum : Gatal (-), nyeri (-), bengkak (-), kulit kering (-)

RM.04.

Page 5: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

PEMERIKSAAN

JASMANI

Nama : Tn. R Nama : Tn. K

Umur : 38 tahun Umur : 71 tahun

PEMERIKSAAN UMUM

Kesan umum : kesakitan, kurus

Kesadaran : compos mentis

Nadi : 84 x/menit, cukup, kuat, reguler

Suhu badan : 36,6 0C

Pernafasan : 26 x/menit

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Berat badan : 50 kg

Tinggi badan : 165 cm

Kulit : turgor cepat kembali, petekiae (-), seluruh permukaan kulit tampak ikterik

Kelenjar limfa : pembesaran lnn (-)

Otot : tonus normal, klonus (-/-)

Tulang : deformitas (-)

Sendi : tidak ada keterbatasan gerak, tidak kaku

Primary survey :

A : clear

B : spontan, SD vesikuler, Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -/-, RR 26 x/menit

C : N : 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, TD : 130/80 mmHg, S1>S2 murmur (-) gallop

(-)

D : GCS E4M6V5

PEMERIKSAAN KHUSUS :

KEPALA

Bentuk : normocephal, simetris

Mata : sklera ikhterik (+/+), konjuntiva anemis (-/-), tidak cekung, Reflek cahaya +/+,

pupil isokor, (+/+) 3 mm

Telinga : simetris, serumen (-), tidak ada kelainan bentuk

RM.05.

Page 6: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

Hidung : discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)

Mulut :bibir tidak kering, faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)

Leher : JVP (-), pembesaran limfonodi (-)

THORAX

Bentuk dada : datar, simetris

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi : ictus cordis teraba.

Perkusi : tidak dilakukan.

Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru

Kanan KiriInspeksi Tampak simetris, retraksi subcostalis

(-), retraksi supraclavicularis (-), retraksi intercostalis (-), ketinggalan gerak (-)

Tampak simetris, retraksi subcostalis (-), retraksi supraclavicularis (-), retraksi intercostalis (-), ketinggalan gerak (-)

Palpasi Ketinggalan gerak (-), deformitas (-) Ketinggalan gerak (-), deformitas (-)

Perkusi Sonor pada seluruh lapangan paru Sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi

Suara dasar vesicular, ronkhi (-), wheezing (-)

Suara dasar vesicular, ronkhi (-), wheezing (-)

ABDOMEN

Inspeksi : abdomen simetris kiri dan kanan, datar, jaringan parut (-), striae (-)

Palpasi : tidak teraba massa, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (+) murphy sign (+)

Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen

Auskultasi : bising usus normal

EKSTREMITAS

Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), deformitas (-)

Perfusi jaringan baik, rumple leed (-)

RM.06.

Page 7: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

Tungkai Lengan

Kanan kiri kanan kiri

Gerakan : terbatas terbatas terbatas terbatas

Tonus : + + + +

Trofi : eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi

Clonus : (-) (-)

STATUS UROLOGIS

Ginjal kiri dan kanan tidak teraba, nyeri ketok -/-

Buli-buli kosong, terpasang folley catheter efektif, warna urin seperti teh

STATUS LOKALIS

Regio Inguinal dan Skrotal Sinistra

Inspeksi : Tidak ada tanda-tanda radang, tidak terdapat luka bekas operasi.

Palpasi : Nyeri tekan (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan darah tanggal 16 Januari 2015

Nilai NormalAL : 11.800 μl 5000 – 10000μlHB : 14.3 (g/dl) 12-16 g/dlHCT : 39 (%) 37-47 %AT : 277.000 /μl 150.000 – 400.000 /μlCT : 3’ 35” 2’ – 6’BT : 2’ 40” 1’ – 3’GDS : 62 mg/dl < 200 mg/dlUreum : 26.0 mg/dl 10 – 50 mgCreatinin : 0.61 mg/dl 0.60 – 1.10 mg/dlSGOT : 141 U/L 0 – 50SGPT : 282 U/L 0 – 50 HBsAg : negativeGolongan darah 0

Usul : cek bilirubin, albumin, dan profilipid

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Kesan : Multiple cholelitiasis

RM.07.

Page 8: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

DIAGNOSIS &

LAPORAN ANESTESI

Nama : Tn. R Ruang : Anggrek

Umur : 38 tahun Kelas : III

DIAGNOSIS KLINIS

Status Fisik:

ASA II

Diagnosis prabedah:

Multiple kolelitiasis

Diagnosis pasca bedah:

Post kolestektomi a/i Multiple kolelitiasis

Jenis pembedahan:

Besar + resiko anestesi besar

DIAGNOSIS BANDING

Hepatitis

Serosis Hepatis

Malaria

Leptospirosis

TINDAKAN

Tindakan yang dilakukan : Kolestektomi

Rencana operasi dengan general anestesi –Endotracheal tube

Tanggal : 21 Januari 2015

LAPORAN ANESTESIStatus Anestesi

• Persiapan Anestesi

 1. Informed consent

2. Puasa selama minimal 8 jam pre-operatif

• Penatalaksanaan Anestesi

 - Jenis anestesi : General Anestesi (GA)

- Premedikasi : Fortanex 5mg dan pethedine 50mg

RM.08.

Page 9: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

- Medikasi : Tracrium 25mg dan recofol 100mg

• Pemantauan selama anestesi :

- Mulai anestesi : 11.40

- Mulai operasi : 11.45

- Selesai operasi : 13.00

-Selesai anestesi : 13.05

Lama Anestesi : 1,5 jam

• Durante operasi :

Tekanan darah dan frekuensi nadi :

Jam Parameter yang dipantau keterangan Obat cairan

Tensi Nadi SpO2

11.35 150/100 88 100 Premedikasi Kliran 1 ampul;

Fortanex 5 mg;

pethedine 50 mg

RL

11.40 155/98 74 99 Induksi Tracrium 25 mg;

recofol 100 mg

11.45 121/80 68 100 Mulai

operasi

Inhalasi

N2O : O2 = 1:1

Sevofluran 2 ug/ml

RL

11.50 121/68 79 99

11.55 131/78 89 100

12.00 128/98 74 100

12.15 136/89 68 100

12.30 113/90 64 100 RL

12.45 140/75 75 100

13.00 131/80 76 99 Operasi

Selesai

ketesse 8 mg

13.05 120/78 88 98 Ekstubasi

RM.09.

Page 10: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN

Perawatan bangsal

Masuk Tanggal : 21 Januari 2015

Jam : 13.15 WIB

Airway : Clear, MP I

Breathing : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-

Circulation : S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )

Disability : GCS ; E3 V3 M6

Instruksi post operasi observasi : Selama 24 jam

1. Monitoring Kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan

2. Mobilisasi bertahap

3. Ukur TD dan N tiap 30 menit selama 24 jam pertama.

4. Bila sadar penuh, tidak ada mual muntah boleh minum air hangat secukupnya

5. Bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi

Prognosis : Dubia ad Bonam

RM.010.

Page 11: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

FOLLOW UP

HARI

TGL S O A P

Rabu

21

Januari

2015

Demam (-)

Mual (+)

Muntah (-)

Nyeri kepala (-)

Nyeri perut

kanan atas (+)

Sesak (+)

Puasa sejak tadi

malam

Riw. DM dan

HT disangkal

HR : 80x/mnt

RR : 22x/mnt

S : 36,5oC

TD:140/80

mmHg

Multiple cholestiasis 1. Pro Kolestektomi

2. Lengkapi inform

consent

3. Puasa 8 jam pre op

4. IV line terpasang

5. Lacak pemeriksaan

laboratorium dan EKG

Kamis

22

Januari

2015

Demam (-)

Mual (-)

Muntah (-)

Nyeri kepala (-)

Nyeri dada (+)

Sesak (-)

flatus (+), BAB

(-), BAK (+)

>30cc/jam

Ma/mi (+/+)

HR : 86x/mnt

RR : 20x/mnt

S : 36,6oC

TD:130/80

mmHg

Post kolestektomi a/i

Multiple cholestiasis

Infus RL 20 tpm

Diit bebas TKTP

Minum cukup

Mobilisasi bertahap

RM.011.

Page 12: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kolelitiasis

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu

atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama

batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.

Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung,

pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan,

yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena

kava. Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung

empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati.

Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan

dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu duktus

koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam

saluran empedu.

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik

karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa

mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat,

maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri

bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Adanya

infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu, sehingga menyebabkan

terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan

kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke

kantong empedu.3,4 Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa

terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang

berada di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid

atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan

lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih

sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.

RM.012.

Page 13: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

2.2. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu

2.2.1. Anatomi

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya sekitar

10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati kanan dan

kiri. Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah

advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan

kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di

atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian

yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah duktus sistika.

Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang

kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang

keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu

membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus

membentuk duktus koledokus.

2.2.2. Fisiologi

Fungsi kandung empedu, yaitu:

a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di dalamnya

dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang

dihasilkan oleh sel hati.

b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang

larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal

dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu)

dan dibuang ke dalam empedu.

Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan,

empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk

ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus

dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah

mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-

kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.

RM.013.

Page 14: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan

diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan.2 Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3

faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter

koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam

kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan

empedu mengalir ke duodenum.

Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu

kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu,

lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot

polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120

menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik, dan

elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam empedu,

kolesterol, dan fosfolipid.

Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan

hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu

serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai

akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.

Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,

berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari

penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan

kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses

penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu

menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai

limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam

empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.

Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan

kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam

empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi,

sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri

memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap

kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang

disekresikan dalam feses.

RM.014.

Page 15: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

2.3 Diagnosa Batu Empedu

2.3.1 Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang

mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.

Pada yang simptomatis, pasien biasanya dating dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah

epigastrium atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau perikondrium yang mungkin

berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan

perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Kadang pasien dengan mata dan tubuh

menjadi kuning, badan gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti

dempul dan penyebaran nyeripada punggung bagian tengah, scapula, atau kepuncak bahu,

disertai mual dan muntah. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah

pada waktu menarik nafas dalam.

2.3.2 Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam

pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat kolelitiasis akut, pasien

akan mengalami nyeri palpasi/nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak

anatomis kandung empedu. Diketahui dengan adanya tanda Murphy positif apabila nyeri

tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang

meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhentimenarik nafas. Riwayat

ikterik maupun ikterik cutaneous dan scleradan bisa teraba hepar.

2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan

padapemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi lekositosis.

Apabila terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat

penekanan duktus koledokusoleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin

disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin

juga kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.

RM.015.

Page 16: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

2.3.4 Pencitraan

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya

sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang

mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada

peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu

kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran

udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatic maupun

ekstrahepatic. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena

fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat

pada duktus koledokusdistal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.

Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih

jelas dari pada dengan palpasi biasa.

Kolesistografi, untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik

karena relative murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan

persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada

penilaian fungsi kandung empedu.

Penataan hati dengan HIDA, metode ini bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi

diduktus sistikus misalnya karena batu. Juga dapat berguna untuk membedakan batu empedu

dengan beberapa nyeri abdomen akut. HIDA normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian

akan di sekresike kantong empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan

dalam mengisi kantong empedu menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke dalam

duodenum.

Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk

menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walupun

demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding USG.

RM.016.

Page 17: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic Retrograde

Cholangio-pancreatography (ERCP) merupakan metode kolangiografi direk yang amat

bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi bilier dan penyebab obstruksinya seperti

koledokolitiasis. Selain untuk diagnosis ERCP juga dapat digunakan untuk terapi dengan

melakukan sfingterotomiampula vateridiikuti ekstraksi batu.Tes invasive ini melibatkan

opasifikasi langsung batang saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampula vateri dan

suntikan retrograde zat kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari endoskopi dan mecakup

sedikit penambahan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat sebagian.

2.4. Faktor risiko

Faktor risiko untuk kolelitiasis, yaitu:

a. Usia

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang

dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan

orang degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun

mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi.

Hal ini disebabkan:

1) Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

2) Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia.

3) Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.

b. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.

Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol

oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu

empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya

selalu pada wanita.

c. Berat badan (BMI).

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi

kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung

RM.017.

Page 18: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/

pengosongan kandung empedu.

d. Makanan.

Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk

menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol

yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap

dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat

mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan

penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Aktifitas fisik.

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini

mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

f. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar dibandingkan

dengan tanpa riwayat keluarga

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon disease, diabetes,

anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama

Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk

berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko

untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.5. Penatalaksanaan

2.5.1. Penanggulangan non bedah

a. Disolusi Medis

Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu

kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan

duktus sistik paten.

RM.018.

Page 19: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

b. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)

Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan melakukan

sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga sekarang

sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di dalam

saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah

besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu

saluran empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di

atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah

sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.

c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan gelombang suara.

ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini

memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar

dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

2.5.2. Penanggulangan bedah, yaitu:

a. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik.

Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh

kolesistitis akut.

b. Kolesistektomi laparoskopik

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90%

kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu

empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung empedu diangkat melalui selang yang

dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu

adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat.

Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,

berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan

batu yang lebih kecil. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk

RM.019.

Page 20: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik

ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.

2.6. Pencegahan Kolelitiasis

2.6.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang sehat yang

memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang dilakukan terhadap individu

yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan makanan untuk

mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan kadar kolesterol dengan mengurangi asupan

lemak jenuh, meningkatkan asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan

mengikat sebagian kecil empedu di usus sehingga menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di

kandung empedu, minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat dari

cairan empedu.

2.6.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap penderita kolelitiasis

dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kolelitiasis agar dapat

dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan

non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL.

Penanggulangan dengan bedah disebut kolesistektomi.

2.6.3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan perawatan paliatif dengan tujuan mempertahankan

kualitas hidup penderita dan memperlambat progresifitas penyakit dan mengurangi rasa nyeri

dan keluhan lain. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan memerhatikan asupan makanan.

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal)

mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan

kontraksi kandung empedu.

2.7. Komplikasi

2.7.1. Kolesistisis

Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu

empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.

2.7.2. Kolangitis

RM.020.

Page 21: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar

melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah

batu empedu.

2.7.3. Hidrops

Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu. Dalam

keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops

biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada

kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.

2.7.4. Empiema

Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan jiwa dan

membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

2.8. Pengertian Nyeri

Nyeri (nosisepsi) adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan

yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan actual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Rasa nyeri merupakan masalah unik, disatu

pihak bersifat melindungi badan kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi nyeri

menurut The International Association for the Study of Pain ialah sebagai berikut, nyeri

merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh

kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang

berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya

sentuhan ringan, kehangatan, dan tekanan ringan.

2.9. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang

berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut

juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada

juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian

tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,

RM.021.

Page 22: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang

berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah

ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)

terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri

dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat

pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada

tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur

reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral

seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini

biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap

penekanan, iskemia dan inflamasi.

Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang

nyata (pain with injury) . Prototipe suatu nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Antara kerusakan

jaringan sebagai sumber rangsang nyeri,sampai dirasakannya sebagai persepsi nyeri terdapat

serangkaian peristiwa elektro-fisiologik yang secara kolektif disebut sebagai nosisepsi

(nociception). Ada 4 proses fisiologis yang jelas yang terjadi dalam suatu nosisepsi, yakni:

1)Transduksi; 2)Transmisi; 3)Modulasi; 4)Persepsi .

a. Transduksi , merupakan proses dimana suatu rangsangan nyeri (noxious stimuli) dirubah

menjadi aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensorik (nerve ending) .

Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia (substansi

nyeri).

RM.022.

Page 23: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

b. Transmisi , dimaksudkan sebagai perambatan rangsang nyeri melalui serabut saraf sensorik

menyusul proses transduksi . Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan

serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut

mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus spinothalamikus sebagai

neuron kedua.

Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somatosensoris di korteks

serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai

persepsi nyeri.

c. Modulasi , adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesic endogen dengan

input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesik endogen ini

meliputi: enkefalin , endorfin , serotonin dan noradrenalin memiliki kemampuan menekan

input nyeri dikornu posterior . Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang

yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini

dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan , status emosional dan kultur dari

seseorang .

Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif

orang per orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri .

d. Persepsi , adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari

proses transduksi,transmisi dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan

yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Respon tubuh terhadap suatu

pembedahan atau nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin dan imunologik yang secara

umum disebut sebagai respon stres.

Respon stres ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan

cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung,

mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundang resiko

terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas

pascabedah.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat

menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba

menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling

relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa

impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf

RM.023.

Page 24: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka

dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut

merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari

otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan

substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat

mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan

neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,

maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat

saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan

menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan

serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri.

Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak

yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan

dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup

mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling

dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005).

2.10. Pemberian Analgetik

Pemberian obat analgetik merupakan salah satu dari trias anastesi yaitu untuk

menghilangkan rasa sakit pada saat operasi. Dari beberapa penelitian menemukan bahwa

terapi analgetik akan lebih efektif diberikan sebelum seseorang terpajan impuls nyeri.

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium

maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan

obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Pengaruh dari

berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat

golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada

kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya

peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.

RM.024.

Page 25: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah

ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor.

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi

lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus

striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan

dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin,

beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi

dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.

Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor karena itu efeknya

pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas

pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan. Dalam mekanisme opioid

menembus susunan saraf pusat, opioid menembus membran biologis, dari darah lalu

menstimuli reseptor pada membran sel saraf. Kemampuan opioid untuk menembus sawar

darah otak tergantung pada ukuran molekulnya, ionisasi, kelarutan dalam lemak, ikatan

dengan protein. Dari kesemuanya itu, kelarutan dalam lemak dan ionisasi adalah yang

memegang peranan paling penting dalam penetrasi obat ke SSP.

2.10.1.Farmakodinamik

Efek narkotika terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos.

Efek Narkotika pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.

Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar.

Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal,

konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).

2.10.2.Farmakokinetik

Narkotika tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka.

Narkotika juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik

setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah

RM.025.

Page 26: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan

mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas

ditemukan dalam tinja dan keringat.

2.10.3.Indikasi

Opioid diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat

diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang

diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2)

Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer,

pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri

akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

2.10.4.Efek samping

Efek samping derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus,

dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier,

retensi urin, dan hipotensi. Dosis dan sediaan opioid tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria.

Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg

BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang

diperlukan.

RM.026.

Page 27: Presus Regional Anestesi pada Appendisitis Akut

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PRESENTASI KASUS ILMU ANESTESI dan REANIMASI NO.RM : 03-26-XX

DAFTAR PUSTAKA

 Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC : Jakarta.

Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FK UI:Jakarta.

Guyton dan Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC:Jakarta.

Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga:Jakarta.

Potter. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.

Tamsuri, A. 2007. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

RM.027.