presus 2

60
BAB I PENDAHULUAN Bronkitis adalah peradangan bronkus yang dapat disebabkan oleh infeksi atau tanpa infeksi dimana peradangan tersebut menyebabkan sekresi mukus atau phlegm ke saluran pernafasan sehingga saluran nafas menyempit. Terdapat dua jenis bronkitis, yaitu: bronkitis akut dan bronkitis kronik. Bronkitis akut ditandai dengan flu dan batuk dengan atau tanpa dahak lebih dari 1-2 minggu sedangkan bronkitis kronik ditandai dengan batuk dahak produktif lebih dari 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut yang tidak disebabkan oleh penyakit lain yang menyebabkan batuk (National Lung, Heart and Blood Intitute, 2012). Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus yang segera memerlukan pertolongan dokter. Ileus menjadi salah satu kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai, yaitu 60% - 70% dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan apendisitis akut. Ileus memiliki mortalitas tinggi jika tidak segera didiagnosis dan ditangani dalam 24 jam. Ileus sendiri merupakan suatu keadaan dimana pergerakan kontraksi normal dinding usus terganggu. Gerak peristaltik seperti gerakan kontraksi bergelombang yang merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik dipengaruhi oleh

Upload: melinda-veronica

Post on 19-Feb-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

presus

TRANSCRIPT

Page 1: presus 2

BAB I

PENDAHULUAN

Bronkitis adalah peradangan bronkus yang dapat disebabkan oleh infeksi

atau tanpa infeksi dimana peradangan tersebut menyebabkan sekresi mukus atau

phlegm ke saluran pernafasan sehingga saluran nafas menyempit. Terdapat dua

jenis bronkitis, yaitu: bronkitis akut dan bronkitis kronik. Bronkitis akut ditandai

dengan flu dan batuk dengan atau tanpa dahak lebih dari 1-2 minggu sedangkan

bronkitis kronik ditandai dengan batuk dahak produktif lebih dari 3 bulan dalam

setahun selama 2 tahun berturut-turut yang tidak disebabkan oleh penyakit lain

yang menyebabkan batuk (National Lung, Heart and Blood Intitute, 2012).

Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya

obstruksi usus yang segera memerlukan pertolongan dokter. Ileus menjadi salah

satu kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai, yaitu 60% - 70%

dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan apendisitis akut. Ileus memiliki

mortalitas tinggi jika tidak segera didiagnosis dan ditangani dalam 24 jam. Ileus

sendiri merupakan suatu keadaan dimana pergerakan kontraksi normal dinding

usus terganggu. Gerak peristaltik seperti gerakan kontraksi bergelombang yang

merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan otot polos usus, system saraf

simpatis, system saraf parasimpatis, keseimbangan elektrolit, dan sebagainya.

Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang.

Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang

dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti

perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan

berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral,

dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis

(corpus). Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang

asimtomatis.Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari

40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu

berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada

usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan

Page 2: presus 2

dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis,

yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-

64 tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita

berusia 45-64 tahun mengalami osteofit lumbalis. Spondilosis lumbalis sering

bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat perlu untuk mengetahui

patogenesis, gejala klinis yang sering tampak serta pemeriksaan fisik maupun

pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa dan memberikan

penanganan yang tepat.

Page 3: presus 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bronkitis

2.1.1. Definisi

Bronkitis akut adalah istilah klinik yang menunjukkan peradangan “self-

limited” pada saluran pernafasan bagian bawah (bronkus). Bronkitis akut

merupakan penyakit akut yang berlangsung tidak lebih dari 3 minggu yang ditandai

oleh gejala utama batuk dan gejala dari saluran pernafasan bawah seperti wheezing,

produksi sputum dan kadang disertai oleh nyeri dada (BMJ Evidence Centre, 2012).

Bronkitis kronik merupakan salah satu tipe PPOK yang dapat didefinisikan

sebagai batuk produktif yang terjadi lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam 2 tahun

terakhir tanpa disertai penyakit lain yang mendasari (American Lung Association,

2012).

2.1.2. Epidemiologi

Data setiap tahunnya di Poliklinik PPOK RS Persahabatan Jakarta,

menunjukkan kunjungan meningkat 334 kali pada bulan November sampai dengan

Februari dibandingkan bulan 3 bulan lainnya. Kejadian eksaserbasi merupakan

episode perburukan gejala respirasi yang berulang mengakibatkan penurunan fungsi

paru, perburukan kualitas hidup dan peningkatan kebutuhan perawatan medis

(kunjungan ke dokter, penambahan medikasi, emergensi, rawat inap, dll.)

(American Lung Association, 2012).

Dengan kata lain eksaserbasi akut bronkitis kronis adalah penyebab utama

rawat inap dan kematian pada penderita bronkitis kronis. Lima puluh persen

penderita bronkitis kronis mengalami episodik eksaserbasi >2x dalam setahunnya

dengan seperlimanya membutuhkan rawat inap pada eksaserbasi tersebut dan

sebagiannya membutuhkan perawatan di ICU. Banyak pula penderita bronkitis

kronis membutuhkan rawat inap ulang (readmission) karena gejala yang menetap

dan berkepanjangan (American Lung Association, 2012).

Penyebab tersering dari eksaserbasi adalah infeksi virus pernapasan dan

infeksi bakteri, penyebab lainnya seperti polusi lingkungan, gagal jantung

Page 4: presus 2

kongestif, emboli paru, pemberian oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti

narkotik dan lain-lain (Sutoyo K.D., 2008). Didunia bronkitis merupakan masalah

dunia. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi

rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih banyak terdapat pada laki-laki

dibanding wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat minim (Samer Qarah, 2007).

2.1.3. Etiologi

Penyebab utama dari bronkitis akut adalah virus. Virus yang menyerang

epitel bronkus menyebabkan peradangan dan meningkatkan sekresi mukus.

Bronkitis akut sering diawali oleh gejala dari saluran pernafasan atas seperti flu dan

common cold (National Institutes of Health, 2012). Sekitar 90% dari bronkitis akut

disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, coronavirus, adenovirus,

metapneumovirus, parainfluenza virus dan influenza virus. Sedangkan 10% kasus

bronkitis akut disebabkan oleh bakteri seperti Mycoplasma pneumonia,

Chlamydophila pneumoniae, Bordetella pertussis, Stretococcus pneumonia, dan

Haemophillus influenza (Albert RH, 2010).

Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :

a. Infeksi virus: influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus

(RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain;

b. Infeksi bakteri: Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,

Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae atau bakteri

atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella);

c. Jamur;

d. Noninfeksi: polusi udara, rokok, dan lain-lain. Penyebab bronkitis akut yang

paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90% sedangkan infeksi

bakteri hanya sekitar <10% (Jonsson J., Sigurdsson J., Kristonsson K, et al,

2008).

Bronkitis kronik adalah PPOK yang sering diakibatkan oleh kebiasaan

merokok atau paparan tembakau. Selain itu PPOK juga dapat disebabkan oleh

inhalasi berkepanjangan dari polusi udara, asap dan debu yang sering dijumpai pada

pekerjaan tambang, pabrik tekstik, perkebunan dan peternakan sehingga

menyebabkan peradangan kronik saluran nafas (Thornton AJ dkk, 2011).

Page 5: presus 2

Berdasarkan penyebabnya bronkitis dibagi menjadi dua yaitu bronkitis

infeksiosa dan bronkitis iritatif.

a. Bronkitis infeksiosa

Bronkitis infeksiosa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, terutama

Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia. Serangan bronkitis berulang bisa

terjadi pada perokok dan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan

menahun. Infeksi berulang bisa merupakan akibat dari:

Sinusitis kronis

Bronkiektasis

Alergi

b. Bronkitis iritatif 

Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu

yang dapat menyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa

disebabkan oleh berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa

pelarut organik klorin, hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan bromine, polusi

udara yang menyebabkan iritasi ozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan

rokok lainnya. Faktor etiologi utama adalah zat polutan (Rahmadani dan

Marlina, 2011).

2.1.4. Patogenesis

Bronkitis akut terjadi karena adanya respon inflamasi dari membran mukosa

bronkus. Pada orang dewasa, bronkitis kronik terjadi akibat hipersekresi mukus

dalam bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel

goblet dalam epitel saluran nafas. Pada sebagian besar pasien, hal ini disebabkan

oleh paparan asap rokok. Pembersihan mukosiliar menjadi terhambat karena

produksi mukus yang berlebihan dan kehilangan silia, menyebabkan batuk

produktif. Pada anak-anak, bronkitis kronik disebabkan oleh respon endogen,

trauma akut saluran pernafasan, atau paparan alergen atau iritan secara terus-

menerus. Saluran nafas akan dengan cepat merespon dengan bronkospasme dan

batuk, diikuti inflamasi, udem, dan produksi mukus (Fahy dan Dickey, 2010).

Apabila terjadi paparan secara kronik terhadap epitel pernafasan, seperti

aspirasi yang rekuren atau infeksi virus berulang, dapat menyebabkan terjadinya

Page 6: presus 2

bronkitis kronik pada anak-anak. Bakteri patogen yang menyebabkan infeksi

saluran respirasi bagian bawah pada anak-anak adalah Streptococus pneumonie.

Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis dapat patogen pada balita (umur

<5 tahun), sedang Mycoplasma pneumonia pada anak usia sekolah (umur > 5-18

tahun) (Braman, 2006).

Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah virus,

namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat

diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan.

Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut

adalah virus-virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni

influenza B, influenza A, parainflueza dan reapiratory syncytial virus (RSV).

Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan meyebar

secara cepat dalam suatu populasi (Fahy dan Dickey, 2010).

Gejala yang paling sering akibat infeksi virus influenza diantaranya adalah

lemah, nyeri otot, batuk dan hidung tersumbat. Apabila penyakit influenza sudah

mengenai hampir seluruh populasi di suatu daerah, maka gejala batuk serta demam

dalam 48 jam pertama merupakan prediktor kuat seseorang terinfeksi virus

influenza. RSV biasanya menyerang orang-orang tua yang terutama mendiami panti

jompo, pada anak kecil yang mendiami rumah yang sempit bersama keluarganya

dan pada tempat penitipan anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada pasien

dengan bronkitis akut akibat infeksi RSV (Braman, 2006).

Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti

rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala dominan

yang timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret encer

dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis, bakteri juga memerankan perannya pada

bronkitis akut, antara lain, Bordatella pertusis, Bordatella parapertusis, Chlamydia

pneumonia dan Mycoplasma pneumonia. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak

terjadi di lingkungan kampus dan di lingkungan militer (Fahy dan Dickey, 2010).

Namun sampai saat ini, peranan infeksi bakteri dalam terjadinya bronkitis

akut tanpa komplikasi masih belum pasti, karena biasanya ditemukan pula infeksi

virus atau terjadi infeksi campuran. Pada kasus eksaserbasi akut bronkitis kronik

merupakan suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut, karena ketiga bakteri

Page 7: presus 2

tersebut dapat mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka dalam

sputum dapat berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi

akut (Fahy dan Dickey, 2010).

Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi biasa dari berbagai

penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada keadaan

normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary defence, yaitu

sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari. Pada pasien

dengan bronkitis akut, sistem mukosiliar defence paru-paru mengalami kerusakan

sehingga lebih mudah terserang infeksi (Gonzales dan Sande, 2008).

Ketika infeksi timbul, akan terjadi pengeluaran mediator inflamasi yang

mengakibatkan kelenjar mukus menjadi hipertropi dan hyperplasia (ukuran

membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi mukus akan meningkat.

Infeksi juga menyebabkan dinding bronkial meradang, menebal (sering kali sampai

dua kali ketebalan normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental

dari dinding bronkial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah

banyak akan menghambat beberapa aliran kecil dan mempersempit saluran udara

besar. Mukus yang kental dan pembesaran bronkus akan mengobstruksi jalan napas

terutama selama ekspirasi (Gonzales dan Sande, 2008).Jalan napas selanjutnya

mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Pasien

mengalami kekurangan O2, jaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul,

dimana terjadi penurunan PO2, kerusakan ventilasi juga dapat menilai PCO,

sehingga pasien terlihat sianosis. Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien

dapat mengalami reduksi nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEVI) yang

reversible. Sedangkan pada infeksi akibat bakteri M. pneumonie atau C.

pneumoniae biasanya mempunyai nilai reduksi FEVI yang lebih rendah serta nilai

reversibilitas yang rendah pula. Virus dan bakteri masuk melalui port d’entre mulut

dan hidung “droplet infection” yang selanjutnya akan nenimbulkan viremia atau

bakterimia dan gejala atau reaksi tubuh untuk melakukan perlawanan (Braman,

2006).

Page 8: presus 2

Gambar 1. Patogenesis bronkitis kronis (Braman, 2006).

2.1.5. Manifestasi klinis

Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3

minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih,

kuning-kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala

berikut ini:

a. Demam (biasanya ringan);

b. Batuk (berdahak ataupun tidak berdahak);

ALERGEN

Aktivasi IgE

Peningkatan pelepasan histamin

Edema mukosa pada sel goblet di produksi

Invasi kuman ke jalan

Infeksi

malaiseDemam

Peningkatan laju metabolisme

hipertermi

Penyebaran bakteri/virus keseluruh tubuh

Iritasi mukosa bronkus

Bersihkan jalan nafas tidak efektif

Peningkatan akumulasi sekret

Batuk produktif

Penyempitan jalan nafas

Nyeri Penggunaan otot-otot pernapasan

Page 9: presus 2

c. Sesak napas, rasa berat bernapas;

d. Bunyi napas mengi atau ngik;

e. Rasa tidak nyaman di dada atau sakit dada;

f. Kadang batuk darah.

Gejala bronkitis akut adalah tidak spesifik dan menyerupai gejala infeksi

saluran pernafasan lainnya. Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala-

gejala infeksi saluran respiratori seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya

muncul 3-4 hari setelah rhinitis. Batuk pada mulanya keras dan kering, kemudian

seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif. Karena

anak-anak biasanya tidak membuang lendir tapi menelannya, maka dapat terjadi

gejala muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih besar,

keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk serta nyeri dada pada

keadaan yang lebih berat (Melbye, Kongerud dan Vorland, 2009).

Karena bronkitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan

dapat membaik sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui

secara jelas karena kurangnya ketersediaan jaringan pemeriksaan. Yang diketahui

adalah adanya peningkatan aktivitas kelenjar mukus dan terjadinya deskuamasi sel-

sel epitel bersilia. Adanya infiltrasi leukosit PMN ke dalam dinding serta lumen

saluran respiratori menyebabkan sekresi tampak purulen. Akan tetapi karena

imigrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap kerusakan jalan napas,

maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan adanya superinfeksi bakteri

(Melbye, Kongerud dan Vorland, 2009).

Pemeriksaan auskultassi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.

Seiring perkembangan dan progresitivitas batuk dapat terdengar berbagai macam

ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing atau suara kombinasi. Hasil

pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan corakan bronkial. Pada

umumnya gejala akan menghilang dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis

menetap hingga 2-3 minggu, perlu dicurigai adanya infeksi kronis. Selain itu dapat

pula terjadi infeksi sekunder (Braman, 2006).

Page 10: presus 2

2.1.6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan dahak dan juga rontgen

dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan untuk menyingkirkan

diagnosis penyakit lain. Bila penyebabnya bakteri, sputumnya akan seperti nanah.

Untuk pasien anak yang di opname, dilakukan tes C-reactive protein, kultur

pernafasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum aglutinin untuk membantu

mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri atau virus (Gonzales dan

Sande, 2008).

Untuk anak yang di opname dengan kemungkinan infeksi Chlamydia,

mycoplasma, atau infeksi virus saluran pernafasan bawah, lakukan pemeriksaan

sekresi nasofaringeal untuk membantu pemilihan antimikroba yang cocok. Serum

IgM mungkin dapat membantu. Untuk anak yang diduga mengalami

imunodefisiensi, pengukuran serum immunoglobulin total, subkelas IgG, dan

produksi antibodi spesifik direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis

(Melbye, Kongerud dan Vorland, 2009).

Diagnosis bronkitis ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,

pemeriksaan fisik, tes faal paru, radiologi dan analisa gas darah:

a. Anamnesis

Adanya riwayat batuk disertai dahak, kemudian ditentukan waktu dari

semua gejala untuk menentukan jenis bronkitis akut dan kronis.

b. Gejala klinis

c. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik yang didapatkan tidak khas, bisa dijumpai rhonki

basah dan juga wheezing.

d. Tes faal paru dengan spirometri

VC : dapat normal / turun

FEV1 : normal / turun

FEV1/FVC : turun

TLC : normal/ meningkat

RV/TLC: meningkat

e. Analisa gas darah

f. Elektrokardiografi

Page 11: presus 2

2.1.7. Gambaran Radiologi Bronkitis

a. Foto Thorax

Radang akut bronkus biasanya berhubungan dengan infeksi saluran nafas

bagian atas. Penyakit ini biasanya tidak hebat dan tidak ditemukan komplikasi. Juga

tidak terdapat gambaran rontgen yang positif pada keadaan ini. Tetapi foto rontgen

berguna jika ada komplikasi lain, seperti pneumonitis (Rasad, Sjahriar, 2005).

Sedangkan untuk bronkitis kronik tidak selalu memperlihatkan gambaran yang khas

pada foto thorax. Pada foto thorax hanya tampak corakan yang ramai di bagian

basal paru. Kadang-kadang tampak corakan peribronkial yang bertambah di basis

paru oleh penebalan dinding bronkus (Braman, 2006).

Bronkitis kronik secara radiologi dibagi dalam 3 golongan, yaitu: ringan,

sedang, berat. Pada golongan yang ringan ditemukan corakan yang ramai di bagian

basal paru, pada golongan yang sedang, selain corakan paru yang ramai, juga

terdapat emfisema, dan kadang-kadang disertai bronkiektasis di parakardial kanan

dan kiri. Sedangkan golongan yang berat ditemukan hal-hal tersebut disertai cor

pulmonale sebagai komplikasi bronkitis kronik (Melbye, Kongerud dan Vorland,

2009).

Pada radiografi dada bronkitis dapat ditemukan perubahan berikut:

Peningkatan “lung marking” pada kedua paru, yang biasa disebut ‘dirty

chest”

Tubular shadow atau Tramlines, yaitu berupa garis paralel keluar hilus

menuju apeks paru, yang merupakan bayangan bronkus yang menebal

Dapat juga ditemukan peningkatan ukuran paru (Lange dan Walsh,

2002).

Page 12: presus 2

Gambar 2. Corakan yang ramai di parakardial kanan

Gambar 3. Corakan yang ramai pada paru dan emfisema

Gambar 4. Corakan yang ramai disertai bronkiektasis kanan dan kiri

Page 13: presus 2

Gambar 5. Bayangan intersisial difus sesuai dengan bronkitis

Gambar 6. Pasien laki-laki 61 tahun dengan bronkitis kronik, tampak

tramline shadow pada pericardial kiri (Tramline: sign untuk

penebalan dinding bronkus)

b. CT Scan Thorax

Pada Ct scan thorax bronkitis dapat ditemui berbagai kelainan yang hampir

sama dengan foto dada. Dapat dijumpai kelainan berupa penebalan bronkus, sampai

pada kelainan seperti emfisema dan nodul.

Page 14: presus 2

Gambar 7. Menunjukan sign bronkitis: penebalan dari dinding bronkus

Gambar 8. Pada keadaan berat CT scan menunjukkan bayangan difus

intersisial dengan mikronodular subpleural berat yang

menunjukkan penebalan dinding bronkus

Page 15: presus 2

Gambar 9. Gambaran foto polos dan CT scan bronkitis kronik

2.1.8. Diagnosa banding

a. Bronkiekstasis;

b. Asma bronkial;

c. Tuberkulosis paru.

2.1.9. Penatalaksanaan

a. Pengobatan konservatif

Pengelolaan umum, meliputi :

Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien;

Memperbaiki drainase sekret bronkus;

Berhenti merokok.

b. Pengobatan Khusus

Pemberian oksigen yang cukup pada kasus eksaserbasi;

Bronkodilator;

Antibiotik sesuai agen penyebab infeksi.

Page 16: presus 2

2.2. Ileus

2.2.1. Ileus Obstruktif

Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi

karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus

sehingga menyebabkan penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal tersebut

menyebabkan pasase lumen usus terganggu.Ileus obstruktif disebut juga ileus

mekanik.

I. Klasifikasi

Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstruktif dibedakan atas:

Letak tinggi: duodenum sampai jejunum

Letak rendah: kolon – sigmoid – rectum

Obstruksi letak tinggi dan letak rendah di batasi oleh iliocecal

junction

Berdasarkan stadiumnya, ileus obstruktif dibedakan atas:

Parsial: menyumbat sebagian lumen

Simple/komplit: menyumbat seluruh lumen

Strangulasi: simple dengan jepitan vasa

2.2.1.1 Etiologi

Ileus obstruktif disebabkan oleh berbagai hal:

a. Adhesi

Ileus karena adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi

umumnya berasal dari rangsangan peritoneum akibat adanya

peritonitis setempat atau umum. Adhesi dapat berupa perlengketan

mungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, mungkin setempat

maupun luas.

b. Hernia

Kelemahan atau defek pada dinding rongga peritoneum

memungkinkan penonjolan keluar suatu kantong peritoneal (kantong

hernia) sehingga segmen suatu dalaman dapat terjepit.

Page 17: presus 2

c. Askariasis

Kebanyakan cacing askariasis hidup di usus halus bagian jejunum.

Obstruksi bisa terjadi dimana-mana pada bagian usus halus, tetapi

biasanya di ileum terminal, tempat lumen paling sempit. Cacing

tersebut menyebabkan kontraksi lokal dinding usus yang disertai

reaksi radang setempat.

d. Invaginasi

Umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik ke kolon

asendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektrum, dapat

mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk

dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. Pada bayi dan anak-anak

biasanya spontan dan irreversible, sedangkan pada dewasa jarang

terjadi.

e. Volvulus

Pemuntiran usus yang abnormal dari segmen usus. Volvulus di usus

halus agak jarang ditemukan. Biasanya volvulus didapatkan di bagian

ileum.

f. Kelainan kongenital

Gangguan passase usus dapat berupa stenosis maupun atresia.

g. Radang kronik

h. Tumor

i. Tumpukan sisa makanan

2.2.2. Ileus Paralitik

Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal atau

tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya

(Sjamsuhidajat, 2003). Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus

melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang

berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat

mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Ileus paralitik merupakan kondisi dimana

terjadi kegagalan neurogenik atau hilangnya peristaltic usus tanpa adanya obstruksi

mekanik. (Badash, 2005)

Page 18: presus 2

Ileus paralitik terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan

tanpa adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu

dan gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong

terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus.

Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi

adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus

merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut.

Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah

motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih

dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik

pascaoperasi. Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi

mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-

abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah

pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka

waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.

Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien

dengan ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan

risiko komplikasi paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena gizi

buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan biaya perawatan medis

karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit (Badash, 2005).

2.2.2.1. Etiologi

Beberapa penyebab terjadinya ileus paralitik :

Trauma abdomen

Pembedahan perut (laparatomy)

Serum elektrolit abnormalitas

Hipokalemia

Hiponatremia

Hipomagnesemia

Hipermagensemia

Page 19: presus 2

Infeksi, inflamasi atau iritasi (empedu, darah)

Intrathorak

o Pneumonia

o Lower lobus tulang rusuk patah

o Infark miokard

Intrapelvic (misalnya penyakit radang panggul)

Rongga perut

o Radang usus buntu

o Divertikulitis

o Nefrolisiasis

o Kolesistitis

o Pankreatitis

o Perforasi ulkus duodenum

Iskemia usus (Mesenterika emboli, trombosis iskemia)

Cedera tulang

Patah tulang rusuk

Vertebral Retak (misalnya kompresi lumbalis Retak )

Pengobatan

Narkotika

Fenotiazin

Diltiazem atau verapamil

Clozapine

Obat Anticholinergic

2.2.3 Patofisiologi

Proses terjadinya ileus mekanik maupun non mekanik memiliki kemiripan

setelah terjadinya obstruksi, tanpa memandang penyebab obstruksi tersebut apakah

karena penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan yang tampak adalah bila ileus

tersebut disebabkan oleh penyebab non mekanik maka peristaltik usus dihambat

dari permulaan, sedangkan pada ileus karena penyebab mekanik maka peristaltik

mula-mula kuat kemudian bertambah pelan sampai akhirnya hilang.

Page 20: presus 2

Semua etiologi ileus menyebabkan usus di bagian distal kolaps, sementara

bagian proksimal berdilatasi. Usus yang tersumbat awalnya berperistaltik lebih

keras sebagai usaha alamiah dan akhirnya pasase usus jadi melemah dan hilang.

Usus yang berdilatasi menampung cairan dan gas yang merupakan hasil

akumulasi cairan dan gas yang menyebabkan distensi usus. Distensi usus tidak

hanya pada daerah sumbatan tapi dapat menjalar ke daerah proksimal. Distensi

yang menyeluruh menyebabkan pembuluh darah tertekan sehingga suplai darah

berkurang (iskemik) dan dapat terjadi perforasi.

Usaha usus untuk berperistaltik disaat adanya sumbatan menghasilkan nyeri

kolik abdomen dan penumpukan kuman dalam usus merangsang muntah. Pada

obstruksi usus dengan stranguasi, terdapat penjepitan yang menyebabkan

gangguan peredaran darah sehingga terjadi iskemia, nekrosis kemudian gangren.

Gangren ini kemudian menyebabkan tanda toksis yang terjadi pada sepsis yaitu

takikardia, syok septik dengan leukositosis.

Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi usus halus

karena pada obstruksi kolon, kecuali pada volvulus, hampir tidak pernah terjadi

strangulasi. Kolon merupakan alat penyimpanan feses sehingga secara relatif

fungsi kolon sebagai alat penyerap sedikit sekali. Oleh karena itu kehilangan

cairan dan elektrolit berjalan lambat pada obstruksi kolon distal.

Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi

berlebihan atau ruptur sedangkan dinding usus besar tipis, sehingga mudah

distensi. Dinding caecum merupakan bagian kolon yang paling tipis, karena itu

dapat terjadi ruptur bila terlalu tegang. Bila terjadi ruptur maka akan timbul

perforasi yang memperberat keadaan pasien.

2.2.4. Gambaran Klinis

Gambaran klinik obstruksi ileus sangat mudah dikenal, tidak tergantung

kepada penyebab obstruksinya. Hanya pada keadaan strangulasi, nyeri biasanya

lebih hebat dan menetap.

Obstruksi ileus ditandai dengan gambaran klinik, berupa nyeri abdomen

yang bersifat kolik, muntah-muntah dan obstipasi, distensi intestinalis, dan tidak

adanya flatus. Rasa nyeri perut dirasakan seperti menusuk-nusuk atau rasa mulas

Page 21: presus 2

yang hebat, umumnya nyeri tidak menjalar. Pada saat datang serangan, biasanya

disertai perasaan perut yang melilit.

Bila obstruksi tinggi, muntah hebat bersifat proyektil dengan cairan muntah

yang berwarna kehijauan. Pada obstruksi rendah, muntah biasanya timbul sesudah

distensi usus yang jelas sekali, muntah tidak proyektil dan berbau “feculent”, warna

cairan muntah kecoklatan.

Gambaran klinis ileus paralitik pada umumnya sama dengan ileus obstruktif

terdapat juga perbedaannya:

Ileus paralitik Ileus obstruktif

Nyeri kontinu Kolik

Darm contour + +

Darm steifung - +

Bunyi bising usus menghilang Meningkat

Rectal toucher terowongan Kolaps

2.2.5. Pemeriksaan Radiologi

2.2.5.1. Foto Polos Abdomen

Ileus merupakan penyakit abdomen akut yang dapat muncul secara

mendadak yang memerlukan tindakan sesegera mungkin. Maka dari itu

pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara segera tanpa perlu persiapan. Pada

kasus abdomen akut diperlukan pemeriksaan 3 posisi, yaitu :

1. Posisi terlentang (supine): sinar dari arah vertical, dengan proyeksi

antero-posterior (AP)

2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri (erect), bila memungkinkan,

dengan sinar horizontal proyeksi AP

3. Tiduran miring ke kiri ( left lateral decubitus ), dengan arah horizontal,

proyeksi AP.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat

mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu dipersiapkan ukuran kaset

dan film ukuran 35x 45cm.

Page 22: presus 2

Hal – hal yang dapat dinilai pada foto – foto di atas ialah:

1. Posisi terlentang (supine)

- Dinding abdomen, yang penting yaitu: lemak preperitoneal kanan

dan kiri baik atau menghilang.

- Garis psoas kanan dan kiri: baik, menghilang atau adanya

pelembungan (bulging).

- Batu yang radioopak, kalsifikasi atau benda asing yang radioopak.

- Kontur ginjal kanan dan kiri.

- Gambaran udara usus :

Normal

Pelebaran lambung, usus halus, kolon

Penyebaran dari usus – usus yang melebar

Keadaan dinding usus

Jarak antara dua dinding usus yang berdampingan

2. Posisi duduk atau setengah duduk atau tegak ( Erect)

- Gambaran udara bebas di bawah diafragma

3. Posisi tiduran miring ke kiri ( left lateral dekubitus)

- Hampir sama seperti posisi duduk, hanya udara bebas letaknya

antara hati dengan dinding abdomen

2.2.5.2. Barium Enema

Barium enema adalah sebuah pemeriksaan radiologi dengan menggunakan

kontras positif. Kontras positif yang biasanya digunakan dalam pemeriksaan

radiologi alat cerna adalah barium sulfat (BaSO4). Bahan ini adalah suatu garam

berwarna putih, berat dan tidak mudah larut dalam air. Garam tersebut diaduk

dengan air dalam perbandingan tertentu sehingga menjadi suspensi. Suspensi

tersebut diminum oleh pasien pada pemeriksaan esophagus, lambung dan usus

halus atau dimasukkan lewat kliasma pada pemeriksaan kolon (lazim disebut

enema).

Sinar rontgen tidak dapat menembus barium sulfat tersebut, sehingga

menimbulkan bayangan dalam foto rontgen. Setelah pasien meminum suspensi

barium dan air, dengan fluroskopi diikuti kontrasnya sampai masuk ke dalam

Page 23: presus 2

lambung, kemudian dibuat foto – foto dalam posisi yang di perlukan. Pemeriksaan

radiologi dengan Barium Enema mempunyai suatu peran terbatas pada pasien

dengan obstruksi usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat

jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos

abdomen.

2.2.5.3. CT-Scan Abdomen

CT ( Computed Tomograhy) merupakan metode body imaging dimana sinar

X yang sangat tipis mengitari pasien. Detektor kecil akan mengatur jumlah sinar x

yang diteruskan kepada pasien untuk menyinari targetnya. Komputer akan segera

menganalisa data dan mengumpulkan dalam bentuk potongan cross sectional. Foto

ini juga dapat disimpan, diperbesar maupun di cetak dalam bentuk film.

Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai

adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti adanya

kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–Scan harus

dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada

pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.

2.2.5.4. Radiologi Ileus

Untuk radiologi ileus perlu diperhatikan beberapa hal :

1. Posisi terlentang (supine). Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran

usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran

seperti duri ikan (Herring Bone Appearance). Gambaran ini didapat

dari pengumpulan gas dalam lumen usus yang melebar.

2. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis didapatkan

adanya air fluid level dan step ladder appearance.

3. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi

usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air

fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedangkan jika

panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang

diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid

level.

Page 24: presus 2

Pada foto polos abdomen, 60-70% dapat dilihat adanya pelebaran usus dan

hanya 40% dapat ditemukan adanya air fluid level. Walaupun pemeriksaan

radiologi hanya sebagai pelengkap saja, pemeriksaan sering diperlukan pada

obstruksi ileus yang sulit atau untuk dapat memperkirakan keadaan obstruksinya

pada masa pra-bedah.

Gambar 10. Coil spring dan Herring Bone

Gambar 11. Air-fluid level

Page 25: presus 2

Ileus obstruktif letak tinggi

Gambar 12. Ladder appearance

Pada ileus obstruktif letak tinggi tampak dilatasi usus di proksimal

sumbatan (sumbatan paling distal di iliocecal junction) dan kolaps usus dibagian

distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus yang terdilatasi memberikan

gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal

dan menempel membentuk gambaran vertebra (dari ikan), dan muskulus yang

sirkular menyerupai kostanya. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-

pendek yang berbentuk seperti tangga disebut juga step ladder appearance karena

cairan transudasi berada dalam usus halus yang mengalami distensi.

Page 26: presus 2

Ileus Obstruksi Letak Rendah

Gambar 13. Dilatasi usus besar

Gambar 14. Air-fluid level pada usus besar

Page 27: presus 2

Pada ileus obstruktif letak rendah tampak dilatasi usus di proksimal

sumbatan (sumbatan di kolon) dan kolaps usus di bagian distal sumbatan.

Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran

herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan

menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai

kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi

abdomen. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang berbentuk

seperti tangga disebut juga step ladder appearance karena cairan transudasi berada

dalam usus halus yang terdistensi dan air fluid level yang panjang-panjang di kolon.

Ileus Paralitik

Gambar 15. Semilunar shadow

Gambar 16. Herring bone appearance

Semilunar shadow

Page 28: presus 2

Pada ileus paralitik terdapat dilatasi usus secara menyeluruh dari gaster

sampai rektum. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan

gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal

dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler

menyerupai kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak

pada tepi abdomen. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang

berbentuk seperti tangga atau disebut juga step ladder appearance di usus halus dan

air fluid level yang panjang-panjang di kolon.

2.2.6. Terapi

1. Ileus obstruksi

Pengelolaan ileus obstruktif adalah sebagai berikut:

Pemasangan sonde lambung

Penderita dipuasakan

Perbaikan kadar elektrolit

Tindakan bedah diperlukan bila terjadi:

Strangulasi

Obstruksi totalis

Hernia inkarserata

Tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif

2. Ileus paralitik

Pengelolaan ileus paralitik adalah dengan konservatif. Tindakannya berupa

dekompresi dengan pipa nasogastrik, menjaga cairan dan elektrolit, mengobati

kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat.

2.3. Spondylosis Lumbalis

2.3.1. Definisi

Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang.

Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan

ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan

pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari

Page 29: presus 2

tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-

kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus).

2.3.2. Epidemiologi

Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang

asimtomatis.Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40

tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia

20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada usia 20

tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan dengan

usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis, yang

sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64

tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-

64 tahun mengalami osteofit lumbalis.

Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara

bermakna. Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang

tidak spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan

antara spondilosis dengan gaya hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh,

aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol, atau riwayat reproduksi.

2.3.3. Patogenesis

Spondilosis muncul sebagai akibat pembentukan tulang baru di tempat

dimana ligament anular mengalami ketegangan.

Verbiest pada 1954, menganggap sebagai penyakit yang asalnya tidak

diketahui, dengan kelainan genetik, dimana efek patologis secara keseluruhan

hanya muncul saat pertumbuhan sudah lengkap dan vertebra sudah mencapai

ukuran maksimal.

Kebanyakan ahli menerima teori yang menjelaskan stenosis spinalis

lumbalis terjadi melalui perubahan degeneratif yang menjadi instabilitas dan

penekanan akar saraf yang menimbulkan masalah jika anatomi canalis spinalis

seseorang tidak baik.

Faktor perkembangan dan kongenital termasuk beberapa variasi anatomis

yang memberikan ruang lebih sempit untuk jalannya saraf, sehingga bahkan hanya

Page 30: presus 2

dengan perubahan osseus minor dapat berkembang menjadi penekanan akar saraf:

canalis spinalis yang dangkal, canalis dengan bentuk trefoil, atau anomali dari akar

saraf.

Variasi anatomis facet joint dalam hal orientasi, bentuk, atau asimetrisitas

membuat degenerasi lebih mudah terjadi yang berkembang menjadi penekanan akar

saraf. Degenerasi lebih sering menyebabkan gejala penekanan akar saraf pada

canalis spinalis yang sempit, dibandingkan dengan yang lebar bahkan spondilosis

atau spondiloartrosis yang berat tidak memberikan tanda-tanda klinis.

Bentuk trefoil dari canalis spinalis adalah variasi anatomis dari canalis

spinalis, yang disebabkan oleh orientasi dari lamina dan facet joint. Paling sering

ditemukan setinggi L3 sampai L5. Kondisi ini dianggap sebagai faktor predisposisi

berkembangnya stenosis recessus lateralis melalui perubahan degeneratif dari facet

joint.

Kelainan-kelainan akar saraf (akar yang berhimpit, akar yang ukurannya

melebihi normal, akar yang melintang) juga dapat berperan dalam berkembangnya

gejala. Disproporsi antara ukuran recessus lateralis dan diameter akar yang di luar

normal dapat menimbulkan gejala yang sesuai.

Facet joint yang asimetris dapat mempercepat degenerasi discus, facet joint

dengan orentasi ke frontal memungkinkan ruang yang lebih lebar untuk

membengkok ke lateral dan oleh karena itu juga mempunyai akibat negatif terhadap

integritas discus. Pada saat yang sama, juga terdapat ruang yang lebih sempit di

recessus lateralis. Orientasi sendi ke sagital memungkinkan mudahnya pergeseran

ke sagital dari vertebra-yaitu berkembangnya spondilolistesis degeneratif. Faktor

yang didapat yaitu termasuk semua perubahan degeneratif yang berkembang

menjadi penekanan akar saraf baik osseus maupun non-osseus.

Secara morfologis, bentuk-bentuk perlekatan struktur saraf berikut ini dapat

muncul secara tunggal atau kombinasi dapat digolongkan sebagai stenosis spinalis

lumbalis :

stenosis spinalis centralis

stenosis recessus lateralis

penyempitan foramen intervertebralis

penekanan akar saraf osseus

Page 31: presus 2

2.3.4. Gambaran Klinis

Spondilosis lumbalis biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika terdapat

keluhan nyeri punggung atau nyeri skiatika, spondilosis lumbalis biasanya

merupakan temuan yang tidak ada hubungannya. Biasanya tidak terdapat temuan

apa-apa kecuali munculnya suatu penyulit.

Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami keluhan

saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat berjalan berkembang

menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa waktu, jarak saat berjalan akan

bertambah pendek, kadang-kadang secara mendadak pasien mengurangi

langkahnya. Gejala yang muncul biasanya akan sedikit sekali bahkan pada pasien

yang dengan kasus lanjut.

Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur

tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah,

defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat

ditemukan.

Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk

nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini

berhubungan dengan penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh

karena itu, gejala-gejala akan dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang

diperburuk oleh lordosis lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni

tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi.

Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam

waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung

merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot,

kemungkinan akibat sensasi proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang.

Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh

instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan perubahan

postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke depan saat berjalan,

berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas

ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain,

menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang,

yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina

Page 32: presus 2

secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada

saat yang sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak

pendek.

Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung

kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan

kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah,

dan kadang-kadang terdapat inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra

lumbalis yang terfleksikan dapat mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri,

berlawanan dengan claudicatio intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten

neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar

saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan

kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal yang

mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat terjadinya

penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi

nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar

akan berkembang menjadi kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan

mekanik adalah perlekatan arachnoid yang akan memfiksasi akar saraf dan

menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya dengan akibat negatif pada

metabolismenya.

2.3.5. Pemeriksaan Radiologis

- X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan

komplikasi.

- Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan

[DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang

digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang.

Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga

membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya

osteoporosis.

Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna

untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina

intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis,

Page 33: presus 2

retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau

stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.

Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan derajat dan

kemiringan besarnya stenosis karena lebih dari sati titik penekanan tidak cukup.

CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada

saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3

mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan

juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum

juga terlihat.

MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non

osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis

spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2

weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis

stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya perkembangan

pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI

dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk

melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat.

Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan dengan

gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada MRI atau CT

sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang asimptomatik atau pasien yang

sama sekali asimptomatik dan seharusnya tidak diperhitungkan.

Gambar 17. Spinal canal stenosis-Sagittal MRI

Page 34: presus 2

Gambar 18. Lumbar Spondylosis

2.3.6. Penatalaksanaan

Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada

kebanyakan pasien dapa dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-

gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah

berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang menetap sampai pada

1/3 pasien.

2.3.6.1 Pengobatan konservatif

Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana

dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan

meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan

yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk

kegiatan sehari-hari.

Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan

awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi

konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang

sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk

herniasi diskus.

Page 35: presus 2

Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari

gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.

- Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan

osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.

- Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed

rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka

diindikasikan untuk bedah eksisi.

- Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.

2.3.6.2. Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya

gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik. Pembedahan tidak dianjurkan

pada keadaan tanpa komplikasi.

Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan

dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.

- Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang

mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang

30% dari normal.

- Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi

foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi

saraf yang diinduksi osteofit.

- Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis

adalah komplikasi yang mungkin terjadi.

- Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta

dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika

osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah

erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.

- Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan

duodenum.

Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian

karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga

kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:

Page 36: presus 2

Operasi dekompresi

Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil

Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil

Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis

spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis,

dekompresi selektif dari akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis

Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis

bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan

mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang

rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif

non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.

Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas

spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien

manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus

intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan

adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan

hasil yang buruk.

Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif

atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden

yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang

sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel,

1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis

spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi,

kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi

recessus lateralis.

Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang

berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika

jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”.

Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk

mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak

post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.

Page 37: presus 2

Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya

dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.

Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar

stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga

biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing”

foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada

herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur

laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar

dan processus spinosus.

Dekompresi selektif akar saraf

Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis,

dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai

gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan.

Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.

Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi,

instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau

fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.

Dekompesi dan stabilisasi

Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi.

Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang

lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat

sublaminer.

Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus

intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk

alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau

penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan

penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi

tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.

Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi

osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau

pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus.

Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan

Page 38: presus 2

dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil

percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat

diketahui.

Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi

adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini

merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi

dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka

pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna

pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas

dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak

selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.

Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:

Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri

atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan

stabilisasi

Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala

intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur

stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal

Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan

menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan

pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.

Page 39: presus 2

BAB III

STATUS PASIEN

3.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. M

Usia : 69 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Cangakan

No. RM : 128088

Pemeriksaan pada pasien dilakukan di Poli Radiologi RST dr. Soedjono,

Magelang pada tanggal 21 Oktober 2015 dengan DPJP dr. Dadiya, Sp.B.

3.2. Hasil Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien adalah foto rontgen thorax AP dan

BNO.

a) Foto rontgen thorax AP view

Gambar 19. AP view

Page 40: presus 2

Kesan :

o Gambaran bronkitis

o Besar cor normal dengan aortosklerosis

o Sistema tulang intak

b) BNO

Gambar 20. Blass Nier Overzicht

Hasil :

o Dilatasi udara usus

o Minimal gambaran coil spring

o Tampak udara colorectal

o Multiple osteofit

Page 41: presus 2

Kesan :

o Curiga subileus DD ileus paralitik

o Spondylosis lumbalis

3.3. Penatalaksanaan

a) Non Farmakologi

Bed rest

Edukasi mengenai penyakit dan kepatuhan minum obat

Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien;

Memperbaiki drainase sekret bronkus;

Berhenti merokok

Ileus dekompresi menggunakan NGT, evaluasi elektrolit, nutrisi

adekuat (rawat inap pasang IV fluid)

b) Farmakologi

Antibiotik : Amoksisilin 2x 250-500 mg PO

Antiemetik : Ondansentron 1x 8 mg PO