pra peningkatan skala proses nanoemulsifikasi … · sehingga sulit untuk ditambahkan dalam bahan...
TRANSCRIPT
PRA PENINGKATAN SKALA PROSES NANOEMULSIFIKASI
MINYAK SAWIT DENGAN HIGH PRESSURE HOMOGENIZER
STRIWICESA HANGGANARARAS
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pra Peningkatan Skala
Proses Nanoemulsifikasi Minyak Sawit dengan High Pressure Homogenizer
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 15 September 2014
Striwicesa Hangganararas
NIM F24100102
ABSTRAK
STRIWICESA HANGGANARARAS. Pra Peningkatan Skala Proses
Nanoemulsifikasi Minyak Sawit dengan High Pressure Homogenizer. Dibimbing
oleh TIEN R. MUCHTADI, DASE HUNAEFI, dan SRI YULIANI
Minyak sawit merupakan edible oil yang paling banyak diproduksi dan
diperdagangkan di dunia. Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak
sawit memiliki kandungan nutrisi yang lebih unggul, seperti karotenoid yang
terdapat sebanyak 400-1000 ppm pada minyak sawit mentah. Karotenoid yang
terdapat pada minyak sawit lebih mudah diserap oleh tubuh karena terdapat dalam
bentuk bebas dengan minyak sebagai medium pelarutnya. Namun, karotenoid
dalam matriks minyak sawit memiliki kelarutannya yang rendah dalam air
sehingga sulit untuk ditambahkan dalam bahan pangan. Sistem nanoemulsi dapat
menjadi solusi untuk meningkatkan kelarutan bahan dalam air dan bioavailibilitas
komponen karotenoid minyak sawit. Pada penelitian ini diamati pengaruh
emulsifier dan tekanan terhadap karakteristik dan kestabilan nanoemulsi.
Nanoemulsi dibuat dengan high pressure homogenizer dengan tekanan 100, 200,
dan 300 bar. Emulsifier yang digunakan adalah Tween 80 dengan konsentrasi
20% dan 30%. Meningkatnya tekanan dan konsentrasi emulsifier menghasilkan
laju aliran output yang semakin rendah. Penggunaan Tween 80 dengan
konsentrasi yang lebih besar menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil,
nanoemulsi yang lebih stabil, namun tidak mempengaruhi kadar karotenoid.
Tekanan homogenizer yang lebih tinggi menghasilkan ukuran partikel yang lebih
kecil dan kadar total karotenoid yang lebih rendah.
Kata kunci : emulsifier, karotenoid, nanoemulsi, tekanan, ukuran partikel
ABSTRACT
STRIWICESA HANGGANARARAS. Preliminary Study of Scaling Up Palm Oil
Nanoemulsification with High Pressure Homogenizer. Supervised by TIEN R.
MUCHTADI, DASE HUNAEFI, and SRI YULIANI
Palm oil is the most widely produced and traded edible oil in the world.
Compared to other vegetable oils, palm oil has a superior nutrient content, such as
carotenoids, which is contained 400-1000 ppm in crude palm oil. Carotenoids in
palm oil has a high bioavalibility as it is present in a free form in the oil matrix.
However, carotenoids in palm oil matrix has a low solubility in water so it is
difficult to be added in food product. Nanoemulsion system is a solution to
increase solubility and bioavailbility of the components. This study observed
effect of emulsifiers and pressure on the characteristics and stability of the
nanoemulsion. Nanoemulsion was subjected to high pressure homogenizer at
pressure of 100, 200, and 300 bar. Emulsifier which was used in this study is
Tween 80 at a concentration of 20% and 30%. Increased of pressure and
emulsifier concentration reduce the output flow rate. The use of Tween 80 with a
greater concentration resulted smaller particle size and more stable nanoemulsion,
but did not affect the levels of carotenoids. Higher pressure of the homogenizer
resulted smaller particle size and lower carotenoid levels.
Keywords: carotenoids, emulsifier, nanoemulsion, particle size , pressure
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
PRA PENINGKATAN SKALA PROSES NANOEMULSIFIKASI
MINYAK SAWIT DENGAN HIGH PRESSURE HOMOGENIZER
STRIWICESA HANGGANARARAS
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Pra Peningkatan Skala Proses Nanoemulsifikasi Minyak Sawit
dengan High Pressure Homogenizer
Nama : Striwicesa Hangganararas
NIM : F24100102
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS
Pembimbing I
Dr.-Ing. Dase Hunaefi, STP, M. Food ST
Pembimbing II
Dr. Sri Yuliani, MT
Pembimbing III
Diketahui oleh
Dr Ir Feri Kusnandar, MS
Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir yang
dilaksanakan sejak Maret hingga Juni 2014 ini dapat terselesaikan dengan baik
berkat dari dukungan berbagai pihak, baik secara langsung mapun tidak langsung.
Terima kasih penulis sampaikan pada Prof. Dr. Ir. Tien R.M., Dr. –Ing. Dase
Hunaefi, STP, M. FoodST, dan Dr. Sri Yuliani, MT selaku dosen pembimbing
akademik atas masukan dan perhatian yang diberikan selama penyelesaian tugas
akhir ini. Seluruh teknisi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
membantu penulis selama melaksanakan tugas akhir.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (DIKTI), atas bantuan pembiayaan
penelitian melalui Hibah Kompetensi Nomor 035/SP2H/PL/DIT.LIT
ABMAS/V/2013. Pihak PT. Salim Ivomas Pratama yang telah menyediakan
bahan baku utama dalam penelitian ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua, kakak dan
adik penulis yang selalu mengingatkan dan memberikan semangat. Kepada
Dimas Imam A atas ilmu, saran, dan juga dukungan yang telah diberikan pada
penulis. Kepada sahabat-sahabat penulis Husna, Widianti I.R., Daina Hasanti,
Muthi’ah, Aditya N.C., Azeria Ra Bionda, Farah Shafira, Viera Amelia, Vania
Florensia, Karina Luthfia, Kania Thea, Cathlin Yuamanda, Attika Dini A,
Hanifah Alamri, Dini Nasution yang telah menghibur dan memberikan semangat
kepada penulis. Kepada sahabat-sahabat di Ilmu dan Teknologi Pangan IPB
Mutiara Primaniarta, Devi Ardelia, Rizki Ardhiwan, Anjani Anggitasari,
Zackuary, Rahmalia Susanti, Rita Astuti, Mala Mareta, Novandra Caniago yang
telah menjadi teman belajar dan memberikan semangat hingga akhir perkuliahan.
Kepada Alfia Nurul Ilma, Furry Qisthina, dan Ayu Pramesti selaku teman
seperjuangan yang telah memberikan banyak ilmu dan semangat hingga
selesainya tugas akhir ini. Kepada kelompok penelitian kelapa sawit yang
memberikan informasi, saran, dan bantuan kepada penulis. Dan kepada pihak-
pihak yang tidak dapat dituliskan satu per satu yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian tugas akhir.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih belum
sempurna dan memerlukan saran dan masukan. Penulis berharap agar tugas akhir
ini memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan memberikan
dampak terhadap perkembangan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang
Ilmu dan Teknologi Pangan.
Bogor, September 2014
Striwicesa Hangganararas
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Minyak Sawit 2
Karotenoid 2
Nanoemulsi 3
Kestabilan Emulsi 3
Homogenisasi 4
High Pressure Homogenizer 5
Pembuatan Emulsi dengan High Pressure Homogenizer 5
METODE 6
Waktu dan Tempat 6
Bahan 6
Alat 6
Metode 7
Analisis Mutu Minyak Sawit 7
Pembuatan Nanoemulsi 9
Analisis Nanoemulsi 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Karakteristik Minyak Sawit 13
Karakteristik Nanoemulsi 14
Kandungan β-karoten Nanoemulsi 17
Kestabilan Nanoemulsi 18
Kajian Awal Peningkatan Skala Nanoemulsi dengan 22
High Pressure Homogenizer 22
SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 27
RIWAYAT HIDUP 34
DAFTAR TABEL Tabel 1 Literatur teknik pembuatan emulsi dengan high pressure
homogenizer ........................................................................................... 6 Tabel 2 Hasil Analisis Minyak Sawit ................................................................ 13 Tabel 3 Hasil analisis ukuran partikel ............................................................... 16 Tabel 4 Perubahan warna nanoemulsi selama penyimpanan ............................ 19 Tabel 5 Kestabilan emulsi selama penyimpanan .............................................. 20
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 a. Struktur retinol (Vitamin A) dan b. struktur β-karoten (Ball
2006) ................................................................................................. 2 Gambar 2 Diagram alir pembuatan nanoemulsi minyak sawit ........................ 10 Gambar 3 Pengaruh tekanan dan konsentrasi emulsifierterhadap laju
aliran output .................................................................................... 15 Gambar 4 Pengaruh komposisi dan proses terhadap kadar β-karoten
nanoemulsi ...................................................................................... 17 Gambar 5 Pengaruh lama penyimpanan terhadap konsentrasi karotenoid
pada hari ke 15 dan 30 .................................................................... 19 Gambar 6 Analisis kestabilan emulsi ............................................................... 21 Gambar 7 Hubungan densitas energi dan mean sauter diameter (d32) ........... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram alir tahap persiapan minyak sawit................................. 27 Lampiran 2 Konsentrasi sodium hidroksida pada derajat Baume yang
berbeda ........................................................................................ 28 Lampiran 3 Uji ANOVA analisis ukuran partikel D50 emulsi ........................ 28 Lampiran 4 Uji ANOVA analisis ukuran partikel D90 emulsi ........................ 29 Lampiran 5 Uji ANOVA analisis betakaroten emulsi ..................................... 30 Lampiran 6 Hasil analisis ukuran artikel emulsi .............................................. 31
Lampiran 7 Kurva standar analisis betakaroten ............................................... 32 Lampiran 8 Kromatogram analisis betakaroten ............................................... 33
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Minyak sawit merupakan edible oil yang paling banyak diproduksi dan
diperdagangkan di dunia dengan jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya
(Gunstone 2011). Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia
dengan produksi 24,43 juta ton pada tahun 2013 (Ditjenbun 2014). Hingga saat ini
telah banyak produk hilir minyak sawit yang dihasilkan oleh industri yaitu asam
lemak, gliserin, margarin, minyak goreng, shortening, dan kosmetika.
Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit memiliki
kandungan nutrisi yang lebih unggul, seperti karotenoid dan vitamin E. Pada
minyak sawit kasar (CPO) yang diekstrak secara komersil terdapat 400-1000 ppm
karotenoid dan 700-1000 ppm vitamin E (dalam bentuk tokoferol dan tokotrienol).
Tokoferol dan karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merupakan
komponen bioaktif yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Beberapa studi
menyatakan bahwa pemberian minyak sawit merah yang kaya akan beta karoten
efektif untuk menanggulangi kekurangan vitamin A tanpa pemberian vitamin A
sintetik (Lai et al. 2012).
Dibandingkan karotenoid pada bahan pangan lain seperti sayuran dan buah-
buahan, karotenoid yang terdapat pada minyak sawit lebih mudah diserap oleh
tubuh karena terdapat dalam bentuk bebas dengan minyak sebagai medium
pelarutnya (Aryanto 2011). Namun, karotenoid dalam matriks minyak sawit
memiliki kelarutannya yang rendah dalam air sehingga sulit untuk ditambahkan
dalam bahan pangan (Qian et al. 2012). Sistem nanoemulsi dapat menjadi
alternatif solusi untuk meningkatkan kelarutan bahan dalam air, kestabilan termal
dan bioavailibilitas komponen aktif pada bahan (Silva et al. 2012).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan nanoemulsi,
diantaranya tipe alat homogenisasi, kondisi pengoperasian alat homogenisasi
(besar energi, jumlah pengumpanan, waktu pengoperasian, dan suhu), komposisi
sampel dan karakter bahan yang dicampurkan (tegangan permukaan dan
viskositas) (McClements 2004). Salah satu alat yang kerap dgunakan untuk dala
industri untuk memproduksi nanoemulsi adalah high pressure homogenizer
(McClements 1999).
Prediksi ukuran droplet pembuatan nanoemulsi minyak sawit yang dibuat
dengan high pressure homogenizer dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh proses
terhadap karakteristik nanoemulsi. Pada pembuatan larutan nanoemulsi minyak
sawit digunakan emulsifier polioxyethylene sorbitan monooleate (Tween 80)
dengan konsentrasi 20% dan 30% (b/b) basis minyak.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik produk nanoemulsi
dari minyak sawit yang dibuat menggunakan high pressure homogenizer dengan
konsentrasi emulsifier dan tekanan yang berbeda dan kajiannya terhadap awal
peningkatan skala.
2
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai karakteristik
nanoemulsi sawit yang dapat dikembangkan menjadi produk minuman.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Sawit
Minyak sawit dihasilkan dari proses ekstraksi (sterilisasi dan pengepresan)
dari bagian mesokarp buah kelapa sawit. Kandungan asam lemak jenuh dan tidak
jenuh yang seimbang membuat minyak sawit menjadi salah satu edible oil yang
paling baik di industri pangan (Lai et al. 2012). Minyak sawit terdiri dari asam
lemak palmitat (44-45%), oleat (39-40%), linoleat (10-11%), dan linolenat. Kadar
asam lemak linoleat dan linolenat yang rendah membuat minyak sawit stabil
terhadap kerusakan oksidatif (Gunstone 2011).
Minyak sawit merupakan salah satu sumber pro-vitamin A dan vitamin E
(Lai et al. 2012). Pada minyak sawit kasar (CPO) yang diekstrak secara komersil
mengandung 400-1000 ppm karotenoid dan 700-1000 ppm vitamin E (dalam
bentuk tokoferol dan toko trienol). Kadar karotenoid pada minyak sawit dapat
bervariasi disebabkan oleh perbedaan spesies kelapa sawit atau proses yang
dilakukan (Gunstone 2011). Minyak sawit merah mengandung karotenoid lima
belas kali lebih tinggi dibandingkan dengan wortel pada basis bobot per bobot
(Lai et al. 2012). Selain itu, karotenoid dalam minyak sawit merah memiliki
bioavalibititas yang lebih tinggi dibandingkan karoten pada sayur dan buah.
Beberapa studi menyatakan bahwa pemberian minyak sawit merah yang kaya
akan beta karoten efektif untuk menanggulangi kekurangan vitamin A tanpa
pemberian vitamin A sintetik (Lai et al. 2012).
Karotenoid
Karotenoid merupakan pigmen berwarna kuning, jingga, dan merah jingga.
Karotenoid memiliki sifat antioksidan sehingga konsumsi sayur dan buah yang
mengandung karotenoid dapat mencegah kanker, penyakit jantung koroner, dan
penyakit degeneratif lainnya (Ball 2006). Pada karotenoid, β-karoten merupakan
komponen yang paling banyak ditemui dan memiliki aktivitas provitamin A yang
maksimal (100%). Hal itu disebabkan β-karoten tersusun atas dua molekul retinol
yang terhubung (Ball 2006).
Gambar 1 a. Struktur retinol (Vitamin A) dan b. struktur β-karoten (Ball 2006)
a. b.
3
Karotenoid pada minyak sawit didominasi oleh α dan β-karoten, dengan
kadar phytoene, phytofluene, cis β-karoten, cis α-karoten, δ-karoten, ζ-karoten, γ-
karoten, β-zeakaroten, α-zeakaroten, dan likopen yang lebih rendah (Gunstone
2011). Pada minyak sawit, karotenoid terdapat lebih banyak pada fraksi olein
dibandingkan fraksi stearin, dengan demikian fraksi olein minyak sawit lebih
stabil terhadap kerusakan oksidatif. Karotenoid tidak larut dalam air dan sangat
larut dalam lemak, minyak, dan alkohol. Karotenoid mudah terdegradasi oleh
panas, cahaya, oksigen, dan asam (Ball 2006). Pada industri pangan minyak sawit
kasar dikenai proses refining dan bleaching yang menyebabkan kadar
karotenoidnya menurun hingga tidak dapat terdeteksi. Hal itu disebabkan adanya
perlakuan panas tinggi dan penggunaan bleaching earth selama proses (Gunstone
2011).
Nanoemulsi
Emulsi terbentuk saat satu dari dua fase cair yang tidak menyatu
terdispersi sebagai droplet dan membentuk sistem yang stabil. Nanoemulsi
merupakan emulsi yang berukuran 10-100 nm, terdiri dari droplet minyak yang
terdispersi di dalam fase aqueous sebagai fase kontinu dan setiap dropletnya
diselubungi oleh membran tipis dari surfaktan atau emulsifier (Akoh dan Min
2002). Nanoemulsi dapat diproduksi dengan menggunakan berbagai cara yang
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu metode energi tinggi dan metode energi
rendah. Pada metode energi tinggi digunakan alat-alat mekanis yang mampu
menghasilkan gaya disruptif yang intens untuk membentuk droplet. Alat yang
digunakan dapat berupa high pressure valve homogenizer dan microfluidizer.
Metode energi rendah bergantung pada pembentukan droplet spontan dalam
sistem campuran minyak-air-emulsifier ketika kondisi larutan atau lingkungan
diubah. Pembentukan emulsi dengan energi rendah dapat dilakukan dengan phase
inversion atau solvent demixing (Silva et al. 2012).
Nanoemulsi dapat menjadi sistem pembawa bagi komponen lipofilik
seperti neutraceutical, obat-obatan, antioksidan, dan senyawa antimikroba.
Dibandingkan dengan makro dan mikroemulsi, nanoemulsi lebih stabil terhadap
pemisahan gravitasi dan aggregasi karena ukuran partikelnya yang kecil. Sistem
nanoemulsi juga dapat meningkatkan bioavalibilitas dari komponen fungsional
yang terdispersi (McClements 2004). Kelarutan air dan bioavalibilitas senyawa
fungsional lipofilik seperti β-karoten dapat ditingkatkan dengan sistem
nanoemulsi.
Kestabilan Emulsi
Kestabilan emulsi merupakan kemampuan emulsi unuk menahan
perubahan yang terjadi selama masa penyimpanan. Semakin stabil suatu emulsi,
maka akan semakin lambat terjadinya perubahan selama penyimpanan
(McClements 2004). Ketidakstabilan emulsi dapat disebabkan berbagai faktor
yang dipengaruhi oleh proses fisik dan kimia. Pemisahan akibat gaya gravitasi,
flokulasi, coalescence, Ostwald ripening, dan inversi fase merupakan beberapa
contoh ketidakstabilan fisik, sedangkan oksidasi dan hidrolisis merupakan
ketidakstabilan kimia.
4
Secara umum, fase terdispersi (droplet) dalam sistem emulsi memiliki
densitas yang berbeda dengan fase pendispersi sehingga gaya gravitasi
berpengaruh terhadap kestabilan sistem emulsi. Apabila droplet memiliki densitas
yang lebih rendah, maka droplet akan memiliki kecenderungan untuk bergerak ke
atas yang disebut creaming. Sebaliknya, bila droplet memiliki densitas yang lebih
tinggi maka droplet memiliki kecenderungan bergerak ke bawah yang disebut
sedimentasi. Flokulasi dan coalecence terjadi akibat droplet dalam sistem emulsi
bergerak secara terus-menerus dan berbenturan dengan droplet lainnya. Flokulasi
terjadi akibat bergabungnya beberapa droplet hingga membentuk gumpalan,
sedangkan coalecence terjadi akibat bergabungnya beberapa droplet hingga
membentuk satu droplet yang lebih besar. Keduanya dapat mempercepat
terjadinya proses creaming dan sedimentasi pada sistem emulsi. Inversi fase
merupakan proses dimana sistem emulsi berubah dari sistem oil in water menjadi
water in oil. Hal ini dapat dipicu dengan perubahan komposisi dan lingkungan
dari sistem emulsi. Ostwald ripening merupakan proses dimana droplet yang
berukuran lebih besar menjadi bertambah besar dengan mengorbankan droplet
yang berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan adanya transport massa dari satu
droplet ke droplet lainnya. Namun hal ini sering diabaikan karena jarang terjadi
pada sistem emulsi dalam industri pangan (McClements 2004).
Homogenisasi
Homogenisasi adalah proses mengubah dua cairan yang tidak bercampur
menjadi sebuah emulsi dengan menggunakan alat homogenizer (McClements
2004). Berdasarkan sifat bahan dasar, homogenisasi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu homogenisasi primer dan homogenisasi sekunder. Homogenisasi primer
merupakan pembuatan emulsi secara langsung dari dua cairan yang terpisah,
sedangkan homogenisasi sekunder merupakan pengecilan ukurandroplet pada
emulsi yang telah terbentuk dari homogenisasi primer (McClements 2004).
Alat yang digunakan untuk melakukan homogenisasi primer yaitu high
speed mixer, membrane homogenizer, ultra-sonic homogenizer, dan
microfluidizer, sedangkan alat yang digunakan untuk melakukan homogenisasi
sekunder adalah high pressure homogenizer dan colloid mills (McClements 2004).
McClements (2004) menyatakan bahwa pada operasi proses pangan, pembuatan
emulsi dengan dua tahap akan lebih efisien. Pada tahap pertama dilakukan
homogenisasi primer hingga membentuk emulsi kasar, setelah itu dilakukan
homogenisasi sekunder untuk membentuk ukuran droplet yang lebih kecil.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran droplet, yaitu tipe dan
konsentrasi emulsifier, input energi, karakter fase-fase, dan juga suhu
(McClements 1999). Dalam proses homogenisasi, ukuran droplet yang lebih kecil
akan memiliki luas permukaan yang lebih besar, sehingga membutuhkan
emulsifier yang lebih banyak untuk melapisi permukaan fase terdispersi.
Ketidakcukupan emulsifier dapat menyebabkan terjadinya koalesense. Ukuran
droplet dapat direduksi dengan meningkatkan input energi. Input energi
merupakan energi yang digunakan selama proses homogenisasi. Peningkatan
input energi dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan homogenizer
yang digunakan. Pada high pressure homogenizer, input energi dapat dilakukan
5
dengan meningkatkan tekanan dan jumlah ulangan atau asupan (McClements
1999).
High Pressure Homogenizer
High pressure homogenizer merupakan jenis homogenizer yang kerap
digunakan untuk membentuk emulsi yang baik dalam industri pangan.
Homogenizer ini lebih efektif untuk memperkecil ukuran droplet seperti halnya
colloid mills (McClements 1999). Sebelum dimasukkan dalam high pressure
homogenizer, emulsi kasar terlebih dahulu dibuat dengan homogenisasi primer.
Pada high pressure homogenizer terdapat pompa yang menarik emulsi kasar
masuk kedalam suatu ruang kemudian diberikan tekanan sehingga emulsi kasar
tersebut melewati katup kecil yang terdapat di bagian dengan dan membentuk
ukuran droplet menjadi lebih kecil. Saat emulsi kasar melewati katup, emulsi
mengalami kombinasi dari gaya gesekan yang intensif, peronggaan, dan aliran
turbulent sehingga memecah droplet yang besar menjadi droplet dengan ukuran
lebih kecil (McClaments 1999).
High pressure homogenizer dapat diggunakan untuk berbagai produk
pangan. Saat fase polar dan nonpolar telah mengalami homogenisasi primer dan
membentuk emulsi kasar, pembentukan ukuran droplet hingga ukuran mikro dapat
dilakukan dengan high pressure homogenizer dengan sekali asupan (McClements
1999). Namun, untuk mendapatkan ukuran droplet yang jauh lebih kecil,
dibutuhkan beberapa kali jumlah asupan melewati homogenizer (McClements
1999).
Total energi yang digunakan selama proses emulsifikasi disebut dengan
densitas energi, yang didefinisikan sebagai energi per unit volume emulsi. Pada
proses homogenisasi dalam industri pangan, densitas energi dapat dihitung secara
teoritis atau dengan percobaan (McClements 2004). Pada sistem high pressure
homogenizer densitas energi setara dengan tekanan yang digunakan selama proses
homogenisasi atau dengan persamaan (McClements 2004):
Ketika pengumpanan dilakukan beberapa (n) kali melalui inlet, densitas energi
kemudian didapatkan dari hasil kali antara tekanan dan jumlah pengumpanan
kembali (Eggers 2012).
Pembuatan Emulsi dengan High Pressure Homogenizer
Pebuatan emulsi dengan menggunakan high pressure homogenizer telah
diteliti sebelumnya oleh Tan dan Nakajima (2005), Yuan et al. (2008), Relkin et
al. (2008), Aryanto (2011), Yuliasari (2012) dan Marpaung (2014). Pada
penelitian Tan dan Nakajima emulsi dibuat pada tekanan 60 MPa hingga 140 MPa
(600-1.400 bar) dengan rasio fase minyak dan air 1:9 dan 2:8. Tan dan Nakajima
(2005) menyatakan ukuran partikel yang lebih kecil didapatkan dengan volume
fase pendispersi yang lebih besar, tekanan yang lebih tinggi dan jumlah siklus
yang lebih besar. Pada penelitian Aryanto (2011) hasil yang paling optimal
didapatkan dengan proses homogenisasi dua tahap yaitu dengan tekanan 250 bar
pada pengumpanan pertama dan 60 bar pada pengumpanan ke dua.
6
Pada penelitian Yuliasari (2012) emulsi dibuat dengan tekanan 5.000 hingga
15.000 psi (setara dengan 350 hingga 1.000 bar) dengan rasio fase minyak dan air
5:95, 10:90, dan 15:85 (v/v) dan konsentrasi Tween 80 sebesar 5% dan 10%.
Ukuran partikel paling kecil didapatkan dengan rasio fase 5:95 dengan konsentrasi
Tween 80 10%. Peningkatan tekanan dari 5.000 hingga 15.000 psi dinyatakan
tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan. Pada penelitian Marpaung (2012)
emulsi dibuat pada tekanan 600 bar dengan 5 kali pengumpanan. Selain
menggunakan emulsifier, Marpaung (2014) menggunakan kitosan sebagai
penstabil. Marpaung (2014) menyatakan konsentrasi emulsifier yang lebih tinggi
dapat menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dan penggunaan Tween 80
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibanding Tween 20 dalam
konsentrasi yang sama.
Tabel 1 Literatur teknik pembuatan emulsi dengan high pressure homogenizer
Referensi Emulsifier Komponen
Fungsional
Ukuran partikel
(nm)
Tan dan Nakajima Tween 20 β-karoten 55-132
Yuan et al. Tween 20, 40,60, 80 β-karoten 132-178
Relkin et al. Sodium caseinate α-tokoferol 391
Aryanto Tween 80 β-karoten 1000-2000
Yuliasari Tween 80 β-karoten 10-25
Marpaung Tween 20 dan 80 β-karoten 160-660
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium PAU Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fateta IPB, meliputi laboratorium Pengolahan Pangan,
Biokimia Pangan, Kimia Pangan, dan Rekayasa Pangan. Penelitian ini juga
dilakukan di Laboratorium Lipid and Oil, SEAFAST Center. Penelitian ini
dilakukan sejak bulan Maret 2014 hingga Juni 2014.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit
kasar yang didapatkan dari PT. Salim Ivomas Pratama. aquades, polyoxythylene
sorbitan monooleate (Tween 80) (Sigma,USA), K2SO4, HgO, H2SO4 pekat,
NaOH 60%, Na2S2O3, HCL, indikator MB:MM, KOH, methanol, gas nitrogen,
heksana, natrium sulfat anhydrous, etanol 95%, indikator fenolftalain, dan NaOH.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain neraca analitik,
ultra-turrax homogenizer (model L4R, Silverson Co., England), high pressure
homogenizer (model NS2002H TWP600, GEA Niro Soavi, Italia), mixer tangan,
7
penangas, freezer, oven, vortex, waterbath, HPLC, particle size analyzer,
sentrifuge, spektrofotometer, Haake-Rotovisco RV20, chromameter CR 300, dan
alat-alat gelas.
Metode
Penelitian dilakukan dalam empat tahap yaitu tahap persiapan minyak sawit,
tahap analisis mutu minyak sawit, tahap pembuatan nanoemulsi, dan tahap
analisis karakteristik emulsi.
Persiapan Minyak Sawit
Proses deasidifikasi dilakukan setelah proses degumming selesai. Metode
deasidifikasi yang digunakan mengacu pada metode Widarta (2008) dengan
menggunakan NaOH 16oBe secara berlebih atau excess 17,5% dari jumlah yang
dibutuhkan. Konsentrasi NaOH dinyatakan dalam derajat Baume (oBe) (lampiran
2). Jumlah NaOH 16 oBe yang dibutuhkan untuk menetralkan 1 kg asam lemak
bebas adalah 0,142 kg. Setelah ditambahkan NaOH, sabun yang terbentuk
dipisahkan dengan sentrifugasi. Kemudian dilakukan pencucian dengan air panas
yang memiliki suhu 5-8 oC lebih panas dari suhu minyak, dengan perbandingan
air dan minyak 1:7. Setelah itu dilakukan proses sentrifugasi kembali untuk
memisahkan sabun yang tersisa.
Setelah dilakukan degumming dan deasidifikasi, proses fraksinasi dilakukan
untuk memisahkan fraksi olein dan fraksi stearin. Fraksinasi dilakukan dengan
mengacu pada metode Widarta (2008) yaitu dengan memanaskan sampel hingga
suhu 70 oC lalu suhu diturunkan secara bertahap hingga 20
oC dengan laju
penurunan 5 oC/ 60 menit. Kemudian dilakukan separasi untuk memisahkan olein
dan stearin dengan menggunakan membran press filter.
Analisis Mutu Minyak Sawit
Analisis Kadar Air (AOAC 2012)
Sampel sejumlah 3-5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan
porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian sampel dan
cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105 0C selama 5 jam atau hingga beratnya
konstan. Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang, kemudian
dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Karakterisasi emulsi
Pembuatan nanoemulsi
Analisis mutu minyak sawit
Persiapan minyak sawit
8
(1)
(2)
Keterangan: W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
Analisis β-Karoten, Metode HPLC (Parker 1999)
Sebanyak 0.5-2 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup,
kemudian ditambahkan 10 ml larutan KOH 5% dalam metanol kemudian
divorteks. Setelah itu, gas nitrogen dihembuskan ke dalam tabung reaksi selama
30 detik lalu ditutup untuk mencegah terjadinya oksidasi β-karoten. Larutan
dipanaskan dalam waterbath 65 oC selama 30 menit, lalu didinginkan. Setelah itu,
ditambahkan 5 ml air, kemudian divorteks. Selanjutnya, ditambahkan 10 ml
heksana kemudian vorteks selama 30 detik, ditunggu hingga larutan dalam tabung
terpisah menjadi dua fraksi, lalu diambil larutan pada fraksi heksana (bagian atas)
dan dipindahkan ke tabung reaksi lain sambil dilewatkan pada kertas saring yang
telah diberi natrium sulfat anhydrous. Langkah ini dilakukan sebanyak 3 kali.
Fraksi heksana yang terkumpul diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering.
Analat kering yang diperoleh dilarutkan dengan 1000 μl fase gerak.
Selanjutnya, larutan sampel diinjeksikan ke HPLC. Volume larutan sampel
yang diinjeksi minimal 2 kali volume sampel loop (20 μl), yaitu 40 μl.
Selanjutnya, dilakukan persiapan larutan standar dan pembuatan kurva standar,
yaitu seri pengenceran 5x, 10x, 20x, 50x, dan 100x dibuat dari larutan standar β-
karoten konsentrasi 440 μg/ml dalam basis 1000 μl. Setiap larutan standar
diinjeksikan ke HPLC, minimal 2 kali volume sampel loop (20 μl), yaitu 40 μl.
Hubungan antara luas peak yang terbaca dengan konsentrasi larutan yang
diinjeksikan kemudian diplotkan, dimana luas peak sebagai sumbu y dan
konsentrasi larutan sebagai sumbu x. Kemudian peak β-karoten pada sampel
diidentifikasi dengan mencocokkan waktu retensi peak sampel dengan waktu
retensi standar β-karoten. Luas area peak β-karoten pada sampel dicatat dan
dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk memperoleh konsentrasi β-
karoten sampel dari kurva standar (μg/ml).
Analisis Asam Lemak Bebas (AOAC 2012)
Sampel CPO dipanaskan pada suhu 60-70 oC sambil diaduk hingga
homogen. Sampel tersebut ditimbang sebanyak 5 gram di dalam erlenmeyer lalu
ditambahkan dengan 50 ml etanol 95% yang sudah dinetralkan. Sampel dan etanol
kemudian dipanaskan di atas alat pemanas dengan suhu 40 oC hingga sampel larut.
Sebanyak 1-2 tetes larutan indicator fenolftalain ditambahkan ke dalam
erlenmeyer kemudian dilakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N. Volume NaOH yang
terpakai kemudian dicatat. Kadar asam lemak bebas dihitung dengan persamaan:
(3)
9
Keterangan:
V = volume larutan NaOH yang digunakan (ml)
N = normalitas larutan NaOH yang digunakan
W = berat sampel uji (g)
25,6 = konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam
palmitat
Analisis Bilangan Peroksida Metode Titrasi (AOAC 2012)
Sampel ditimbang sebanyak 5 gram ke dalam erlenmeyer 250 ml kemudian
ditambahkan sebanyak 30 ml pelarut, dikocok sampai semua sampel larut. KI
jenuh ditambahkan sebanyak 0,5 ml, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang
gelap. Kemudian ditambahkan 30 ml air destilata. Kelebihan iod dititer dengan
larutan tiosulfat ( 0,1 N, dengan cara yang sama dibuat penetapan untuk
blanko. Bilangan peroksida dihitung berdasarkan rumus:
(4)
Analisis Bilangan Iod Metode Titrasi (AOAC 2012)
Sampel minyak ditimbang sebanyak 0.5 gram dalam gelas erlenmeyer 250
ml, ditambahkan 10 ml kloroform dan 25 ml pereaksi Hanus. Kemudian larutan
didiamkan di ruang gelap selama 1 jam. Setelah 1 jam, larutan ditambahkan
kalium iodida (KI) 15% lalu dikocok. Titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N hingga warna
hampir ilang. Selanjutnya ditambahkan indikator pati 1% sebanyak 2 tetes. Titrasi
kembali sampai warna biru yang terbentuk hilang. Bilangan iod dihitung
berdasarkan rumus :
(5)
Pembuatan Nanoemulsi
Dalam pembuatan nanoemulsi, digunakan minyak sawit yang telah
melalui proses degumming, deasidifikasi, dan fraksinasi sebagai komponen utama
yang diemulsikan. Metode yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode
modifikasi terhadap penelitian formulasi produk nanoemulsi oleh Marpaung
(2014). Marpaung (2014) melakukan formulasi nanoemulsi menggunakan minyak
sawit dengan bahan pengemulsi Tween 20 dan Tween 80 sebanyak 10% dan 30%
(b/b) dari bobot minyak dengan kitosan sebanyak 0% - 1% dari bobot minyak
sebagai penstabil pada tekanan 600 bar sebanyak lima kali pengumpanan kembali.
Perbandingan minyak sawit dan bahan polar yang digunakan adalah 1:9.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa formula terbaik didapatkan
dengan penggunaan Tween 80 sebanyak 30% (b/b) dan kitosan sebanyak 0.5%
(b/b) dari bobot minyak.
Pada penelitian ini digunakan Tween 80 sebanyak 20% (b/b) dan 30%
(b/b) dari bobot minyak tanpa menggunakan kitosan. Formulasi dilakukan dengan
mendispersikan Tween 80 dengan aquades terlebih dahulu menggunakan hand
10
Gambar 2 Diagram alir pembuatan nanoemulsi minyak sawit
mixer selama 30 detik pada kecepatan putar 1000 rpm. Minyak sawit
kemudian dihomogenisasi dengan bahan polar dengan perbandingan 1:9 (b/b)
dengan menggunakan ultra-turrax homogenizer (model L4R, Silverson Co.,
England) selama 10 menit dengan kecepatan 8000 rpm untuk membentuk emulsi
kasar. Proses homogenisasi ini dilakukan dengan menuangkan minyak sawit pada
bahan polar secara perlahan. Selanjutnya dilakukan proses homogenisasi kembali
menggunakan high pressure homogenizer (model NS2002H TWP600, GEA Niro
Soavi, Italia) untuk membentuk nanoemulsi pada tekanan 100 bar, 200 bar, dan
300 bar dengan lima kali pengumpanan kembali. Saat proses pembuatan
nanoemulsi berlangsung, laju aliran output diukur pada setiap pengumpanan,
Emulsi kasar
Homogenisasi
100, 200, dan 300 Bar
5 kali pengumpanan
Minyak 10%
(b/b)
Sawit
Emulsifier
Tween 80 20%
dan 30 % (b/b)
Air 10%
(b/b)
Pencampuran
1000 rpm 30 detik
Homogenisasi
8000 rpm
10 menit
Nanoemulsi
minyak sawit
11
kemudian data yang didapatkan digunakan untuk memprediksi pembuatan
nanoemulsi pada skala yang lebih besar.
Dari formulasi tersebut kemudian diperoleh enam jenis formula yang
berbeda untuk dianalisis. Analisis yang dilakukan adalah analisis ukuran partikel,
analisis total karoten, analisis warna dan analisis kestabilan nanoemulsi. Untuk
mengetahui ketabilan nanoemulsi selama penyimpanan, karoten, analisis warna
dan analisis kestabilan nanoemulsi diamati pada hari ke 15 dan ke 30
penyimpanan. Data ukuran partikel yang didapatkan diplotkan dengan densitas
energi pembuatan nanoemulsi untuk mendapatkan persamaan prediksi ukuran
droplet nanoemulsi.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap factorial yang terdiri
dari dua faktor, yaitu konsentrasi emulsifier dan tekanan dengan rancangan:
Dengan Yijk adalah pengamatan faktor konsentrasi emulsifier (i) dan faktor
tekanan (j), pada ulangan ke-k. Sedangkan µ merupakan rataan umum, αi
merupakan pengaruh konsentrasi emulsifier ke-i, βj merupakan pengaruh faktor
tekanan ke-j, (αβ)ij merupakan interaksi pengaruh konsentrasi emulsifier ke-i
dengan tekanan ke-j, dan merupakan pengaruh galat faktor interaksi
pengaruh konsentrasi emulsifier ke-i dan tekanan ke-j. Hasil yang didapatkan
dianalisis dengan menggunakan two way analysis of variance (ANOVA)
menggunakan SPSS 20. Perbedaan yang nyata dari nilai rata-rata (p<0.05)
ditentukan denga menggunakan Duncan’s multiple range test.
Analisis Nanoemulsi
Analisis Total Karotenoid Metode Spektrofotometri (PORIM 2005)
Sampel ditimbang sebesar 0,1 gram ke dalam labu takar 25 ml. Kemudian
ditepatkan hingga tanda tera dengan heksana. Pengenceran dilakukan apabila
absorbansi yang diperoleh nilainya lebih dari 0,700, sedangkan jika kurang
dari 0,200 maka jumlah sampel perlu ditambahkan (dilakukan pemekatan).
Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm dengan kuvet (lebar 1
cm). Konsentrasi karotenoid dalam sampel minyak sawit dihitung dengan
pelarut heksana. Kadar karoten diukur dengan rumus:
(6)
Keterangan:
W = bobot sampel yang dianalisis (gram)
As = Absorbansi sampel
Ab = Absorbansi blanko
Analisis ukuran partikel dan distribusi, Metode Dynamic Light Scatter (Tan dan
Nakajima 2005)
Ukuran partikel diamati dengan menganati ukuran partikel rata-rata dan
distribusi rata-rata ditentukan dengan Dynamic Light Scatter (DLS) menggunakan
alat Zetasizer Nano-S90 (Malvern Instrument, Worcestershire, UK). Hasil yang
12
diberikan akan menunjukkan nilai rata-rata ± standar deviasi dari nilai yang
diberikan.
Perhitungan distribusi diameter globula berdasarkan nilai rata-rata ukuran
droplet yang dihitung dari nilai rata-rata permukaan terbobot (surface weighted
mean) dengan simbol d32 dan rata-rata volume terbobot (volume weighted mean)
dengan simbol d43 dengan rumus:
d43 = Σini di4 / Σ i ni di
3
d32 = Σini di3 / Σ i ni di
2
nilai ni adalah jumlah droplet dengan diameter di. Nilai d43 dan d32 digunakan
untuk memonitor perubahan distribusi ukuran droplet. Nilai d43dan d32 ini secara
otomatis akan terbaca pada hasil pengukuran pada alat ini.
Analisis Warna Metode Chromameter (Hutching 1999)
Analisis dilakukan dengan menggunakan alat kromameter Minolta. Pada
prinsipnya, kromameter Minolta bekerja berdasarkan pengukuran perbedaan
warna yang dihasilkan oleh permukaan sampel. Pengukuran dilakukan dengan
meletakkan sampel di dalam wadah sampel berukuran seragam. Selanjutnya
dilakukan pengukuran nilai L, a, b dan C terhadap sampel. Nilai L menyatakan
tingkat kecerahan (0= hitam mutlak, 100= putih), nilai a menyatakan tingkat
kemerahan (merah (0-100), hijau (0-(-80)) dan nilai b menunjukkan tingkat
kekuningan (kuning (0-70), biru (0-(-70)). Dari nilai a dan b, nilai intensitas warna
dapat ditentukan dengan nilai C (chroma) yang didapatkan dengan persamaan:
(7)
Analisis Stabilitas Emulsi (Modifikasi Metode Yasumatsu et al. 1972)
Pengukuran stabilisasi emulsi dengan metode ini berdasarkan mengukur
kemampuan pembentukan emulsi setelah dilakukan pemanasan dan semtrifugasi.
Prosedur penentuannya adalah sampel emulsi dipanaskan dalam penangas air
bersuhu 80oC selama 30 menit, kemudian disentrifuse pada kecepatan 1.300 rpm
selama 10 menit. Volume campuran yang masih membentuk emulsi diukur dan
stabilitas emulsi ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut:
(8)
Pengukuran Laju Aliran Output
Laju aliran output diukur pada setiap siklus selamaa proses emulsifikasi
berlangsung. Emulsi yang keluar dari output diukur dengan menggunakan gelas
ukur 150 ml dengan durasi pengukuran 10 detik. Hasil pengukuran kemudian
dikonversi menjadi laju aliran output dengan satuan ml/s.
Prediksi Ukuran Droplet Emulsi
Persamaan prediksi droplet emulsi dapat ditunjukkan dengan grafik
hubungan densitas energi dengan rerata ukuran droplet sampel, dimana densitas
energi dapat diketahui dengan persamaan:
(Eggers 2012) (9)
13
Saat densitas energi diketahui maka ukuran droplet dapat diprediksi dengan fungsi
(Romero et al. 2008):
(10)
dimana C dan b adalah konstanta dan d32 adalah rerata ukuran droplet emulsi.
Persamaan prediksi diameter droplet emulsi dapat diperoleh dengan analisis
regresi dengan menggunakan model Power Law pada kurva hubungan antara
densitas energi dengan rerata diameter droplet hasil dari percobaan (Mubarok
2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Minyak Sawit
Minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku pada penelitian ini
didapatkan dari PT. Salim Ivomas Pratama yang kemudian melalui proses
degumming, deasidifikasi dan fraksinasi. Proses degumming merupakan proses
pemisahan getah dan kotoran-kotoran berupa fosfatida atau protein yang terdapat
dalam minyak. Setelah itu dilakukan proses deasidifikasi dengan cara netralisasi
yaitu mereaksikan asam lemak bebas dengan basa sehingga membentuk sabun.
Alkali yang biasa digunakan pada proses ini adalah NaOH, proses ini lebih
dikenal dengan istilah “caustic deacidification”. Konsentrasi NaOH yang
digunakan bergantung pada jumlah asam lemak bebas dapat minyak. Untuk
minyak dengan kandungan asam lemak bebas dibawa 1% digunakan larutan
NaOH 8-12 oBe, sedangkan untuk kandungan asam lemak diatas 1% digunakan
konsentrasi 14-20 oBe (Mas’ud 2007). Penggunaan bahan alkali yang tidak tepat
dapat mempengaruhi keefektivan proses deasidifikasi.
Proses selanjutnya adalah fraksinasi yang terbagi menjadi dua tahap yaitu
kristalisasi dan filtrasi. Proses kristalisasi dilakukan dengan metode dry
crystallization atau winterization yang bertujuan untuk memisahkan trigliserida
dari minyak menjadi dua fraksi tanpa menggunakan bahan kimia, kemudian
proses filtrasi dilakukan dengan menggunakan membran press filter dan
menghasilkan fraksi olein dan strearin. Dalam proses fraksinasi minyak sawit
umumnya didapatkan 80% fraksi olein dan 20% fraksi stearin (Lai et al. 2012).
Tabel 2 Hasil Analisis Minyak Sawit
Parameter Minyak Sawit
Mentah
Olein Minyak
Sawit
Kadar air (%)
Kadar asam lemak bebas (%)
0.19
4.70
0.25
0.24
Bilangan Iod (g I2/ 100 g minyak) 52.8 51.71
Bilangan Peroksida (mg/g ekivalen O2) 1.1 1.5
Kadar β-karoten (ppm) 705.44 671.29
Analisis dilakukan pada awal dan akhir proses untuk mengetahui pengaruh
proses persiapan terhadap karakteristik minyak sawit. Pada Tabel 2 dapat
14
diketahui minyak sawit memiliki kadar air 0.19% sebelum proses persiapan dan
naik menjadi 0.25% setelah proses persiapan sedangkan kadar asam lemak bebas
4.70% sebelum proses persiapan dan setelah proses persiapan kadar asam lemak
bebas menurun hingga 0.24%. Proses degumming dan deasidifikasi yang
dilakukan efektif untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dalam minyak sawit
namun dapat peningkatan kadar air minyak sawit minyak sawit. Tetapi nilai kadar
air dan kadar asam lemak bebas minyak sawit dapat dikatakan baik karena
memenuhi Standar Nasional Indonesia tentang minyak kelapa sawit (SNI 01-
2901-2006) yaitu memiliki kadar air dan kadar asam lemak bebas maksimum
0.5% (b/b) (BSN 2006). Asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak sawit
dapat menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai, oleh sebab itu kandungan
asam lemak bebas harus direduksi hingga mencapai standar mutu.
Bilangan iod menyatakan jumlah gram iod yang digunakan untuk
mengadisi ikatan rangkap yang terdapat dalam 100 gram minyak. Semakin banyak
ikatan rangkap yang terdapat dalam minyak maka akan semakin tinggi bilangan
iod. Dengan demikian bilangan iod dapat merepresentasikan derajat
ketidakjenuhan dalam minyak. Hal ini penting untuk diketahui karena semakin
banyak ikatan rangkap, minyak akan semakin tidak stabil dan mudah terdegradasi
(Kusnandar 2010). Pada Tabel 2 diketahui bilangan iod sebelum dan sesudah
proses persiapan adalah 52.8 dan 51.7 (g I2/ 100 g minyak). Mengacu pada SNI
01-2901-2006 bilangan iod maksimum yang terdapat dalam olein minyak sawit
adalah 50-55 (g I2/ 100 g minyak) (BSN 2006), dengan demikian bilangan iod
minyak sawit ini telah memenuhi standar.
Bilangan peroksida digunakan sebagai indikator terjadinya reaksi oksidasi
pada minyak. Semakin tinggi bilangan peroksida mengindikasi semakin tingginya
oksidasi pada minyak. Pada bahan baku minyak sawit ini, bilangan peroksida
meningkat dari 1.1 (mg/g) menjadi 1.5 (mg/g). Hal ini dapat disebabkan adanya
penyimpanan dan perlakuan panas selama proses. Peningkatan bilangan peroksida
kerap terjadi pada minyak sawit yang mengalami penyimpanan. Minyak sawit
yang mengalami penyimpanan selama 2 bulan akan memiliki bilangan peroksida
kurang dari 2 mg/g Lai et al. (2012).
Pada penelitian ini bahan baku yang digunakan adalah fraksi olein minyak
sawit. Hal ini disebabkan karotenoid lebih banyak terdapat pada fraksi olein (680-
760 ppm) dibandingkan fraksi stearin (380-540 ppm) (Lai et al. 2012). Kadar β-
karoten pada CPO sebesar 705.44 ppm sedangkan setelah melalui tahap persiapan
kadar β-karoten pada palm olein sebesar 671.29 ppm. Penurunan kadar β-karoten
terjadi akibat adanya paparan udara,cahaya, dan panas yang terjadi selama proses
persiapan (Ball 2006).
Karakteristik Nanoemulsi
Pada tahap ini dilakukan pembuatan nanoemulsi minyak sawit dengan
menggunakan Tween 80 sebagai emulsifier. Tween 80 dipilih karena dapat
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan penggunaan
emulsifier lain, khususnya Tween 20 dalam pembuatan nanoemulsi minyak sawit
(Marpaung 2014). Perbedaan hasil tersebut disebabkan oleh pengaruh nilai HLB
(hydropyhlic-lipophylic balance) emulsifier dan komposisi emulsi. Nilai HLB
Tween 20 dan Tween 80 yaitu 16.7 dan 15.0. Emulsifier dengan HLB yang lebih
15
rendah lebih larut pada komponen minyak, sehingga dapat memfasilitasi
terbentuknya ukuran partikel yang lebih kecil.
Formula yang digunakan pada penelitian ini merupakan modifikasi
formulasi Marpaung (2014) yaitu dengan perbandingan fase terdispersi dan fase
pendispersi 1:9 dengan konsentrasi Tween 80 sebesar 20% dan 30%. Penentuan
perbandingan fase-fase tersebut dilatarbelakangi oleh penelitian Tan dan
Nakajima (2005) yang menyatakan bahwa ukuran partikel yang lebih kecil akan
didapatkan dengan meningkatkan volume fase pendispersi. Menurut McClements
(2004) hal ini disebabkan semakin rendahnya viskositas emulsi yang dihasilkan,
sehingga semakin mudah untuk menghancurkan droplet. Selain itu, dengan
semakin rendahnya volume fase terdispersi maka akan semakin kecil luas
permukaan partikel sehingga emulsifier yang ada cukup untuk melapisi semua
partikel dan meminimalisir terjadinya coalescence (bergabungnya droplet).
Pemilihan besarnya konsentrasi Tween 80 sebesar 20% dan 30% mengacu
pada hasil penelitian Marpaung (2014) yaitu ukuran partikel terkecil dihasilkan
dengan penggunaan Tween 80 dengan konsentrasi 30% dibandingkan dengan
penggunaan Tween 80 pada konsentrasi yang lebih rendah (10%). Pembuatan
nanoemulsi dengan konsentrasi Tween 80 20% dilakukan untuk melihat
signifikansi karakteristik nanoemulsi yang dibuat dengan konsentrasi emulsifier
yang lebih rendah.
Gambar 3 Pengaruh tekanan dan konsentrasi emulsifierterhadap laju aliran output
Laju aliran output (output flow rate) diukur saat proses produksi
berlangsung pada setiap siklus atau pengumpanan yang dilakukan. Pada
pengamatan ini, nilai laju aliran output berada pada kisaran 8.96 ml/s hingga
11.04 ml/s. Pada penggunaan Tween 80 sebesar 20% laju aliran output dari
tekanan 100 bar hingga 300 bar yaitu 11.04 ml/s, 10.6 ml/s, dan 9.72 ml/s.
Sedangkan pada penggunaan Tween 80 dengan konsentrasi 30% laju aliran output
yang dihasilkan sebesar 10.8 ml/s, 10.36 ml/s, dan 8.96 ml/s.
Semakin besar tekanan yang digunakan, laju aliran output akan semakin
rendah. Hal ini disebabkan semakin besarnya gaya yang harus dihasilkan oleh
homogenizer sehingga menahan aliran emulsi. Selain itu, penggunaan Tween 80
dengan konsentrasi yang lebih tinggi menghasilkan laju aliran output yang lebih
rendah. Menurut McClements (2004) bertambahnya kosentrasi emulsifier akan
menyebabkan berubahnya reologi dari emulsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh
11.04 10.6
9.72
10.8
10.36
8.96
7
8
9
10
11
12
100 200 300 Laju
alir
an o
utp
ut
(ml/
s)
Tekanan (bar)
tween80 20%
tween80 30%
16
terbentuknya tegangan antar partikel karena adanya molekul emulsifier pada
seluruh antarmuka yang menyebabkan terbentuknya membran yang viskoelastis.
Dengan demikian penambahan emulsifier dapat meningkatkan viskositas sehingga
meningkatkan daya tahan terhadap aliran emulsi.
Tabel 3 Hasil analisis ukuran partikel
Konsentrasi
Tween 80
(%)
Tekanan
(bar)
Ukuran partikel
D50 (nm)
Poly Dispersion
Index
20
100 230.53e ± 14.68 0.3990 ± 0.0616
200 134.37c ± 7.38 0.3320 ± 0.0400
300 38.87ab
± 2.15 0.3310 ± 0.0141
30
100 178.87d ± 5.74 0.4910 ± 0.0178
200 50.23b ± 0.61 0.3490 ± 0.0355
300 33.77a ± 3.59 0.3093 ± 0.0232
a-eAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
Pada pengamatan terhadap ukuran partikel nanoemulsi, ukuran partikel
berkisar pada 33.77 nm hingga 230.53 nm pada 50% volume emulsi (Tabel 3).
Konsentrasi emulsifier dan besar tekanan berpengaruh nyata terhadap ukuran
droplet (p<0.05). Semakin besar tekanan maka ukuran droplet yang dihasilkan
akan semakin kecil. Begitu pula dengan konsentrasi emulsifier, semakin tinggi
konsentrasi emulsifier maka akan semakin kecil ukuran droplet yang dihasilkan.
Pembuatan emulsi dengan tekanan yang lebih tinggi dapat mereduksi
ukuran partikel secara signifikan (p<0.05). Hal itu disebabkan ukuran partikel dari
emulsi dapat direduksi dengan meningkatkan intensitas, suhu, dan durasi
penghancuran droplet selama terdapat cukup emulsifier dalam emulsi. Besarnya
keefektifan dan energi emulsifikasi (input energi) dalam mereduksi droplet
dipengaruhi berbagai faktor sesuai dengan jenis homogenizer yang digunakan.
Pada high pressure homogenizer, input energi dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan tekanan atau meresirkulasi emulsi kedalam alat (McClements
2004). Sehingga semakin tinggi tekanan yang digunakan akan semakin kecil
ukuran partikel yang dihasilkan bila terdapat emulsifier yang cukup.
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa pembuatan emulsi dengan konsentrasi
emulsifier yang lebih tinggi pada tekanan yang sama akan menghasilkan ukuran
partikel yang lebih kecil (p<0.05). Hal itu disebabkan ukuran partikel suatu emulsi
akan lebih dipengaruhi oleh konsentrasi emulsifier dibandingkan dengan input
energi atau tekanan yang diberikan, bila emulsifier didalamnya terbatas
(McClements 2004). Sehingga walaupun diberikan tekanan dan proses yang sama,
emulsi dengan konsentrasi emulsifier yang lebih tinggi akan menghasilkan ukuran
partikel yang lebih kecil.
Pada sistem emulsi, emulsifier memiliki interfacial area maksimum untuk
melapisi seluruh permukaan partikel. Luas permukaan partikel akan meningkat
seiring menurunnya ukuran partikel yang disebabkan oleh proses homogenisasi.
Bila meningkatnya luas permukaan partikel tidak diiringi dengan jumlah
emulsifier, partikel dalam emulsi akan menyatu dengan satu sama lain dan
menyebabkan terjadinya coalecence. Namun, bila konsentrasi emulsifier lebih dari
17
yang dibutuhkan untuk melapisi seluruh permukaan partikel, ukuran droplet akan
lebih dipengaruhi oleh input energi dari proses homogenisasi yang dilakukan.
Selain tekanan dan konsentrasi emulsifier, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi ukuran partikel emulsi yaitu sifat komponen fase-fase dan suhu
selama proses produksi. Pada emulsi dengan jenis minyak atau fase pendispersi
yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda, dipengaruhi oleh perbedaan
struktur molekul, tekanan, dan komponen penyusun. Perbedaan tersebut dapat
mempengaruhi besaran energi yang dibutuhkan untuk menghancurkan partikel
dalam emulsi. Pada proses emulsifikasi terjadi peningkatan suhu akibat adanya
gaya gesek atau tekanan tinggi. Peningkatan suhu tersebut bermanfaat untuk
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil. Hal ini disebabkan suhu dapat
menurunkan tegangan permukaan yang dapat mengakselerasi terbentuknya ukuran
partikel yang lebih kecil. Namun adanya suhu yang berlebih selama proses dapat
menurunkan efektivitas emulsifier dan menyebabkan terjadinya penggabungan
droplet (coalescence) dan agregasi pada emulsi (McClements 2004)
Nilai PDI atau Poly Dispersion Index merupakan nilai yang menunjukkan
distribusi partikel dengan ukuran partikel yang terukur. Semakin kecil nilai PDI
mengindikasikan semakin tepat data ukuran partikel yang terukur. Distribusi
ukuran partikel yang ideal berkisar antara 0.09-0.40 (Mao et al. 2009). Menurut
McClements (2004) terdapat beberapa jenis homogenizer yang mampu
menghasilkan nilai PDI yang kecil, seperti microchannel homogenizer, sedangkan
high pressure homogenizer merupakan jenis homogenizer yang menghasilkan
nilai PDI yang cenderung besar. Pada penelitian ini, nilai PDI yang didapatkan
berkisar antara 0.31 hingga 0.49. Semakin tinggi tekanan dan jumlah
pengumpanan yang dilakukan, distribusi partikel akan semakin baik.
Pada tahap ini diamati bahwa peningkatan dan konsentrasi emulsifier dapat
mereduksi ukuran partikel secara signifikan (p<0.05). Hal tersebut disebabkan
karena peningkatan tekanan dapat meningkatkan input energi dan efisiensi
emulsifikasi. Penggunaan emulsifier yang cukup dibutuhkan umtuk
mempertahankan kestabilan emulsi dan mencegah terjadinya coalescence.
Kandungan β-karoten Nanoemulsi
a-fAngka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
Gambar 4 Pengaruh komposisi dan proses terhadap kadar β-karoten nanoemulsi
64.00
25.23
9.45 11.92 8.60
5.60
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
100 200 300
Kad
ar b
eta
karo
ten
(p
pm
)
Tekanan (bar)
tween 80 20%
tween 80 30%
18
Pada tahap ini dilakukan analisis kadar β-karoten pada sampel
menggunakan metode HPLC untuk mengetahui pengaruh tekanan dan komposisi
emulsi terhadap kandungan β-karoten. Kurva standar dan chromatogram dapat
dilihat pada lampiran 7 dan 8. Pada Gambar 4 teramati bahwa semakin tinggi
tekanan yang digunakan maka akan semakin rendah kadar β-karoten yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan senyawa β-karoten mudah terdegradasi oleh adanya
cahaya, panas, dan oksigen, sedangkan dalam penggunaan HPH peningkatan
tekanan berkorelasi positif terhadap peningkatan suhu emulsifikasi (Tan dan
Nakajima 2005). Selain itu, penggunaan tekanan tinggi selama emulsifikasi dapat
memicu terbentuknya radikal bebas yang dapat mendegradasi senyawa β-karoten.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh tingginya shear stress yang dihasilkan. Menurut
Tan dan Nakajima (2005) pembentukan radikal bebas terjadi dapat terjadi pada
penggunaan tekanan 1600-5000 psi atau setara dengan 110-345 bar.
Penurunan kadar β-karoten pada sistem nanoemulsi juga berkolerasi dengan
semakin tingginya emulsifier yang menyebabkan semakin kecilnya ukuran
partikel emulsi. Semakin kecil ukuran partikel maka akan semakin besar luas
permukaan partikel tersebut. Sehingga akan memperbesar peluang terpaparnya
senyawa β-karoten terhadap radikal bebas yang ada pada fase kontinyu emulsi
(Tan dan Nakajima 2005).
Selain itu, penurunan kadar β-karoten dapat dipengaruhi oleh lamanya
proses emulsifikasi karena waktu emulsifikasi yang panjang akan memperbesar
peluang terpaparnya emulsi dengan panas dan oksigen. Pada Gambar 3 diamati
bahwa semakin tinggi tekanan dan konsentrasi emulsifier, laju aliran output akan
menurun atau dengan kata lain proses emulsifikasi akan semakin panjang. Dengan
demikian, semakin tinggi tekanan dan konsentrasi emulsifier yang digunakan,
dapat berpengaruh terhadap penurunan kadar β-karoten pada nanoemulsi.
Kestabilan Nanoemulsi
Pada tahap ini dilakukan analisis karotenoid, warna, dan kestabilan emulsi
dilakukan untuk mengetahui kestabilan emulsi selama penyimpanan. Proses
penyimpanan dilakukan selama 30 hari di dalam ruang kedap cahaya dengan suhu
penyimpanan 25 oC (suhu ruang).
Setelah dilakukan penyimpanan selama 30 hari teramati penurunan kadar
karotenoid pada emulsi. Pada penelitian ini kadar karotenoid pada sampel
mengalami penurunan sebanyak 1-5 ppm selama penyimpanan. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, penurunan kadar karotenoid dapat diinduksi oleh adanya
panas, cahaya, dan oksigen (Ball 2006). Selain itu, teroksidasinya lemak pada
emulsi selama penyimpanan dapat membentuk radikal bebas dan memicu
terdegradasinya senyawa karotenoid. Ball (2006) menyatakan faktor terbesar yang
berpengaruh terhadap penurunan kadar karotenoid dalam pangan selama proses
dan penyimpanan adalah oksidasi enzimatik dan nonenzimatik. Enzim
lipoksigenase yang terdapat dalam bahan pangan dapat mengkatalisis terjadinya
reaksi peroksidasi yang memicu terbentuknya radikal bebas. Selain itu selama
proses dan penyimpanan, reaksi oksidasi dapat terjadi akibat terpaparnya bahan
pangan dengan udara. Dengan demikian, pengemasan vakum, perlakuan hot-
filling, dan penggunaan kemasan impermeable dapat meminimalisir penurunan
kadar karotenoid selama penyimpanan (Ball 2006).
19
Gambar 5 Pengaruh lama penyimpanan terhadap konsentrasi karotenoid pada hari
ke 15 dan 30
Tabel 4 Perubahan warna nanoemulsi selama penyimpanan
Tekanan
(bar) Hari
Tween 80 20% C
Tween 80 30% C
L a b L a b
100
0 82.66 0.47 63.34 63.35 81.52 0.89 63.55 63.56
15 82.33 0.12 62.14 62.14 80.51 0.50 63.05 63.06
30 83.26 -0.86 60.61 60.61 82.50 -0.51 61.27 61.28
200
0 81.75 0.81 62.31 62.31 80.74 1.31 63.44 63.45
15 81.66 0.22 61.42 61.42 80.51 0.38 62.39 62.39
30 82.80 -0.86 59.20 59.20 82.40 -1.23 59.40 59.42
300
0 81.43 0.93 61.97 61.97 80.60 1.43 62.95 62.96
15 81.34 0.22 61.23 61.23 80.11 0.32 61.50 61.50
30 82.56 -0.55 59.78 59.78 81.35 -0.28 60.37 60.37
Pada Tabel 4 dapat diamati perubahan warna nanoemulsi selama masa
penyimpanan. Derajat L* menunjukkan lightness atau derajat kecerahan warna,
semakin tinggi nilai derajat L* menunjukkan semakin cerah warna emulsi,
sebaliknya semakin rendah nilai derajat L* menunjukan semakin pekat warna
emulsi. Derajat positif a* yang diamati pada Tabel 4 menunjukkan emulsi
memiliki warna kemerahan, sedangkan derajat poitif b* pada skala 59-63
menunjukkan emulsi memiliki warna dominan kuning. Reduksi pada derajat
positif a* menunjukkan reduksi pada derajat kemerahan emulsi, sedangkan
reduksi pada derajat positif b* menunjukkan reduksi pada standar kuning emulsi
(Mao et al 2009). . Nilai C menunjukkan intensitas warna emulsi yang didapatkan
dari nilai a dan b, semakin tinggi nilai C menunjukkan semakin tinggi intensitas
warna emulsi (McClements 2004).
Pada Tabel 4 teramati adanya peningkatan nilai L* dan penurunan nilai C
selama proses penyimpanan. Terjadinya perubahan warna pada emulsi minyak
sawit dapat disebabkan terjadinya degradasi komponen karotenoid yang terdapat
30 hari
15 hari 0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
100 200 300 100
200 300
34.62 33.48
31.98 32.98 32.37 31.31
37.62 33.75 32.68
36.73 33.41
32.28
Kad
ar k
aro
teno
id (
pp
m)
Tekanan (bar)
30 hari
15 hari
Tween 80 20% Tween 80 30%
20
dalam sistem emulsi (Qian et al. 2012). Hal ini disebabkan warna kuning
kemerahan yang ada pada emulsi berasal dari komponen karotenoid yang terdapat
dalam minyak sawit. Senyawa karotenoid dapat terdegradasi dengan adanya
panas, cahaya, dan oksigen, sehingga dalam proses penyimpanan senyawa
karotenoid dapat terdegradasi.
Selain itu terjadi penurunan nilai L* seiring dengan peningkatan tekanan
dan konsentrasi emulsifier. Hal ini disebabkan peningkatan tekanan dan
konsentrasi emulsifier dapat meningkatkan suhu emulsifikasi karena adanya shear
stress yang tinggi (McClements 2004), dengan demikian dapat menyebabkan
terdegradasinya senyawa karotenoid. Selain karena degradasi senyawa karotenoid,
reduksi ukuran partikel yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dapat
mempengaruhi kecerahan warna emulsi. Menurut McClements (2004) semakin
kecil ukuran partikel yang terdapat dalam sistem emulsi, maka akan semakin
rendah nilai kecerahannya. Sehingga semakin tinggi tekanan yang digunakan
derajat kecerahan emulsi akan menurun.
Tabel 5 Kestabilan emulsi selama penyimpanan
Tekanan (bar) Hari Tween 80 20% Tween 80 30%
100
0 100% 100%
15 99% 100%
30 98% 99%
200
0 100% 100%
15 100% 100%
30 99% 99%
300
0 100% 100%
15 99% 100%
30 99% 100%
Pada tahap ini diamati kestabilan emulsi dengan metode sentrifugasi.
Sebelum dilakukan sentrifugasi, emulsi dipanaskan dalam waterbath selama 1 jam
pada suhu 65oC. Perlakuan panas pada emulsi dapat menyebabkan menurunnya
efektivitas emulsifier yang menginduksi terjadinya inversi fase dan menyebabkan
emulsi terpecah menjadi komponen awal (McClements 2004). Sedangkan gaya
sentrifugasi dapat mendorong terpisahnya fase terdispersi dan pendispersi
sehingga memicu terjadinya creaming dan terpisahnya air dari emulsi. Kestabilan
emulsi dinyatakan dalam persentase emulsi yang tetap stabil setelah dilakukan
proses pemanasan dan pemberian gaya sentrifugal.
Pada Gambar 6 teramati nanoemulsi minyak sawit mengalami creaming
selama penyimpanan yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Hal ini dapat terlihat
dari terbentuknya lapisan berwarna lebih pekat pada bagian atas sistem emulsi.
Menurut McClements (2004), creaming kerap terjadi pada sistem emulsi oil in
water disebabkan densitas droplet yang lebih kecil dibandingkan densitas fase
pendispersi. Dalam penelitian ini, terjadi creaming sebesar 1-2% pada sistem
emulsi dalam waktu penyimpanan 30 hari.
21
Gambar 6 Analisis kestabilan emulsi
Pada Tabel 5 teramati nanoemulsi yang dibuat pada tekanan 300 bar dan
konsentrasi emulsifier 30% memiliki kestabilan yang paling baik selama
penyimpanan. Sedangkan nanoemulsi yang dibuat dengan konsentrasi emulsifier
20% dan tekanan 100 bar mengalami penurunan kestabilan sebanyak 2% pada
hari ke 30 penyimpanan. Dari data tersebut dapat teramati bahwa ukuran partikel
dan konsentrasi emulsifier berpengaruh terhadap kestabilan emulsi. Nanoemulsi
yang memiliki ukuran partikel yang lebih kecil akan lebih stabil selama proses
penyimpanan.
Ukuran partikel yang kecil pada sistem nanoemulsi menyebabnya
terjadinya gerakan acak yang terus menerus dalam emulsi yang disebut dengan
gerak Brown. Adanya efek gerak Brown dapat mencegah terjadinya pengendapan
atau pemisahan yang disebabkan oleh gaya gravitasi selama penyimpanan
berlangsung. Efek gerak Brown membuat partikel dalam nanoemulsi terdispersi
secara acak dalam sistem sehingga tidak terjadi penumpukan pada bagian atas
maupun bagian bawah emulsi. Semakin kecil ukuran droplet maka akan semakin
besar efek gerak Brown yang dimilikinya, sehingga emulsi tersebut akan lebih
stabil terhadap pemisahan yang disebabkan adanya gaya gravitasi (McClements
2004).
Selain itu pada sistem emulsi, setiap droplet dilapisi dengan lapisan tipis
emulsifier sehingga saat dua droplet berhimpitan, lapisan emulsifier tersebut akan
berteraksi satu sama lain dan saling tolak menolak. Interaksi tersebut disebut
sebagai interaksi sterik atau penolakan sterik. Interaksi sterik merupakan hasil dari
pembauran dan penekanan dari lapisan antarmuka partikel. Interaksi sterik dapat
mencegah terjadinya penggabungan droplet sehingga membuat emulsi menjadi
lebih stabil. Interaksi sterik dipengaruhi oleh karakteristik lapisan antarmuka yang
sangat dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi emulsifier. Dengan demikian emulsi
dengan konsentrasi emulsifier yang lebih tinggi akan lebih stabil dibandingkan
dengan emulsi dengan emulsifier yang terbatas (McClements 2004).
Penggunaan emulsifier dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan
membuat emulsi lebih stabil. Hal ini disebabkan terbentuknya tegangan antar
partikel karena adanya molekul emulsifier yang menyelubungi permukaan partikel.
Tegangan antar partikel tersebut mencegah terjadinya penggabungan droplet dan
agregasi sehingga emulsi tetap stabil (McClements 2004).
Tween 80 20%
100 bar 200 bar 300 bar
Tween 80 30%
100 bar 200 bar 300 bar
22
Kajian Awal Peningkatan Skala Nanoemulsi dengan
High Pressure Homogenizer
Pada peningkatan skala dari skala laboratorium ke skala pilot plant
diharapkan produk yang dihasilkan akan memiliki karakteristik yang sama, misal
kesamaan ukuran droplet. Pada produk emulsi hal itu bisa didapatkan dengan
menjaga input energi agar tetap konstan selama proses emulsifikasi (Mubarok
2011). Pada umumnya input energi dipengaruhi oleh jenis homogenizer yang
digunakan pada proses emulsifikasi.
Pada penelitian ini emulsifikasi dilakukan dengan High Pressure
Homogenizer (HPH) sehingga input energi hanya dipengaruhi oleh tekanan yang
digunakan dan jumlah pengumpanan (McClements 2004). HPH memiliki sistem
kontinyu sehingga karakteristik droplet dalam emulsi tidak dipengaruhi oleh
besarnya volume bahan. Input energi atau densitas energi dari HPH dapat dihitung
dengan mengalikan besarnya tekanan yang digunakan dengan jumlah
pengumpanan (McClements 2004). Semakin besar tekanan yang digunakan, maka
densitas energi akan semakin besar dan berpotensi untuk menghasilkan ukuran
partikel yang semakin kecil. Umumnya, penggunaan HPH dalam industri pangan
membutuhkan densitas energi yang besar tergantung dari karakteristik emulsi
yang ingin dihasilkan perusahaan. Pada sistem HPH dibutuhkan sekitar 10.000
kJm-3
energi untuk membentuk emulsi (McClements 2004).
Secara teoritis, densitas energi yang diberikan saat proses emulsifikasi dapat
digunakan untuk memprediksi diameter droplet emulsi (Romero 2008). Fungsi
densitas energi dengan diameter droplet secara umum ditulis dengan persamaan:
Dengan d32 adalah sauter mean diameter atau rerata diameter partikel droplet dan
Ev adalah densitas energi. Sedangkan C dan b merupakan konstanta yang
besarnya dipengaruhi oleh jenis emulsifier, sifat fluida, dan alat emulsifikasi
(Mubarok 2011). Untuk membuat prediksi ukuran droplet maka dibuat kurva
hubunngan antara Ev dan d32. Kurva tersebut tidak bersifat linear, melainkan
logaritmik sehingga menggunakan model Power Law.
Pada Gambar 7 teramati hubungan densitas energi dengan d32 emulsi
minyak sawit yang dihasilkan dengan High Pressure Homogenizer. Penggunaan
tekanan yang lebih besar berpotensi untuk menghasilkan ukuran partikel yang
lebih kecil. Namun pada aplikasi dalam skala yang lebih besar, peningkatan
tekanan dapat meningkatkan biaya produksi. Selain dengan peningkatan tekanan,
penggunaan emulsifier yang lebih besar pada tekanan yang sama dapat
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil. Dengan demikian, pada aplikasi
dalam skala yang lebih besar, untuk meminimalisir biaya produksi, reduksi ukuran
partikel dapat dilakukan dengan peningkatan konsentrasi emulsifier hingga batas
tertentu.
23
Gambar 7 Hubungan densitas energi dan mean sauter diameter (d32)
Selain itu, dalam aplikasi skala yang lebih besar, sering kali diinginkan
waktu yang singkat untuk memproduksi emulsi dengan volume besar untuk
meminimalisir energi yang dibutuhkan. Salah satu metode yang dapat digunakan
untuk mereduksi waktu emulsifikasi adalah dengan meningkatkan volume fase
pendispersi dan menurunkan konsentrasi emulsifier sehingga menghasilkan
emulsi dengan viskositas yang lebih rendah. Pada Gambar 3 teramati penggunaan
emulsifier dengan konsentrasi yang lebih rendah menghasilkan laju aliran yang
lebih tinggi, dengan demikian waktu produksi menjadi lebih rendah. Namun,
penggunaan konsentrasi emulsifier yang lebih rendah akan menghasilkan ukuran
droplet yang lebih besar. Dengan demikian, kombinasi yang optimal antara
densitas energi, biaya, dan waktu produksi sangat penting dalam skala yang lebih
besar untuk membuat emulsi dengan karakteristik yang diinginkan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada proses emulsifikasi dengan high pressure homogenizer penggunaan
tekanan dan konsentrasi emulsifier yang berbeda dapat menghasilkan emulsi
dengan karakteristik yang berbeda. Semakin besar tekanan yang digunakan,
emulsi yang dihasilkan akan memiliki ukuran partikel yang semakin kecil dan
semakin stabil, namun dapat mereduksi kadar karotenoid yang terdapat dalam
emulsi. Penggunaan emulsifier dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibutuhkan
untuk mereduksi ukuran partikel dan membuat emulsi menjadi lebih stabil.
Dengan demikian selain dengan meningkatkan tekanan, untuk mereduksi biaya
produksi, ukuran partikel emulsi yang lebih kecil dapat dihasilkan dengan
meningkatkan konsentrasi emulsifier. Namun, peningkatan tekanan dan
konsentrasi emulsifier dapat meningkatkan waktu emulsifikasi. Maka kombinasi
1.2595
0.6708
0.1533
1.2713
0.1917 0.1566
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
1.4000
1.6000
50000000 100000000 150000000
d3
2 (
µm
)
Ev (J/m3)
tween 80 30% tween 80 20%
Power (tween 80 30%) Power (tween 80 20%)
y = 1.2490 x 1014
x-1.808
R2 = 0.8638
y = 2.5258 x 1015
x-1.995
R2 = 0.9204
24
yang optimal antara densitas energi, biaya, dan waktu produksi dibutuhkan untuk
membuat emulsi dengan karakteristik yang diinginkan.
Saran
Diperlukan studi lebih lanjut mengenai pengaruh peningkatan skala pada
high pressure homogenizer terhadap suhu emulsifikasi dan karakteristik
nanoemulsi. Selain itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh
perbedaan spesifikasi high pressure homogenizer terhadap karakteristik
nanoemulsi.
25
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2012. Official Methods of
Analysis. Arlington (US): AOAC.
Akoh CC, Min DB. 2002. Food lipids: chemistry, nutrition, and biotechnology 2nd
edition. New York (US): Marcel Decker
Aryanto, D. 2011. Proses pembuatan produk emulsi kaya β-karoten dari minyak
sawit merah dengan high pressure homogenizer [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Ball, GFM. 2006. Vitamin In Foods : Analysis, Bioavalability, And Stability. New
York (US): CRC Pr.
Eggers, R. 2012. Industrial High Pressure Application: Processes, Equipment and
Safety. Germany (DE): Wiley-VCH Verlag & Co. KGaA.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2014. Produksi Komoditas Tanaman Perkebunan
Angka Estimasi Tahun 2013 [Internet]. [diunduh 20 Maret 2014]. Tersedia dari
http://ditjenbun.pertanian.go.id/statis-36-produksi.html
Gunstone, FD. 2011. Vegetable oils in food technology: composition, properties
and uses 2nd
ed. Ukraina (UA). Blackwell Scientifict
Hutching, JB. 1999. Food Color and Appearance 2nd
edition A Chapman and Hall
Food Science Book. Maryland (US): Aspen Publition.
Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan. Jakarta (ID): Dian Rakyat
Lai O, Tan C, Akoh CC. 2012. Palm Oil: Production, Processing,
Characterization, and Uses [editorial]. New York (US): AOCS Press.
Mao L, Duoxia X, Jia Y, Fang Y, Yanxiang G, Jian Z. 2009. Effects of small and
large molecule emulsifiers on the characteristics of β-carotene nanoemulsions
prepared by high pressure homogenization. Food Technology Biotechnology,
47 (3):336-342.
Marpaung, YG. 2014. Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit dengan High
Pressure Homogenizer [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mas’ud F. 2007. Optimasi Proses Deasidifikasi untuk Meminimalkan Kerusakan
Karotenoid dalam Pemurnian Minyak Sawit (Elaeis guineensis, Jacq) [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
McClements, DJ. 1999. Food Emulsions Principles, Practices, and Techniques.
New Tork (US): CRC Press.
McClements, DJ. 2004. Food Emulsions Principles, Practices, and Techniques
2nd
ed. New Tork (US): CRC Press
Mubarok, AZ. 2011. Peningkatan Skala Proses Emulsifikasi Mnuman Emulsi dari
Minyak Sawit Merah dan Karakterisasi sifat reologinya [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Parker RS, Swanson JE, You CS, Edward AJ, Huang T. 1999. Bioavailability of
carotenoids in human subjects. Proc Nutr Soc 58: 155-162
PORIM. 2005. PORIM Test Method. Kuala Lumpur : Palm Oil Research Institute
of Malaysia.
Qian C, Decker EA, Xiao H, McClements DJ. 2012. Physical and chemical
stability of β-carotene-enriched nanoemulsions: Influence of pH, ionic strength,
temperature, and emulsifier type. Food Chemistry 132:1221-1229.
26
Relkin P, Yung JM., Kalmin D, Ollivon M. 2008. Structural behaviorof lipid
droplets in protein-stabilized nano-emulsionsand stability of α-tocopherol.
Food Biophysics 3(2), 163-168
Romero A, Cordobes F, Puppo MC, Guererro A, Bengoechea C. 2008. Rheology
and droplet size distribution of emulsion stabilized by crayfish flour. Food
Hydrocolloids 22:1033-1043
Silva HD, Miguel AC, Antonio A. Vicente. 2012. Nanoemulsions for food
aplications: development and characterization. Food Bioprocess Technol
5:854-867
Tan CP, Nakajima M. 2005. Β-carotene nanodispersions: preparation,
characterization, and stability evaluation. Food Chemistry 92:661-671.
Widarta IWR, Nuri A, Tri H. 2008. Kendali Proses Deasidifikasi dalam
Pemurnian Minyak Sawit Merah Skala Pilot Plant [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Yasumatsu KK, Sawada S, Moritaka M, Misaki J, Toda T, Wada, Ishi K. 1972.
Whipping and Emulsifying Properties of Soybean Products. Agricultural and
Biological Chemistry 36 (5) pp 719-727.
Yuan Y, Yanxiang G, Jian Z, Like M. 2008. Characterization and stability
evaluation of β-carotene nanoemulsions prepared by high pressure
homogenization under various emulsifying conditions. Food Research
International 41:61-68.
Yuliasari S, Hamdan. 2012. Karakterisasi nanoemulsi minyak sawit merah yang
disiapkan dengan high pressure homogenizer. Bogor (ID): Prosiding Insinas.
hlm 656:25-28.
27
LAMPIRAN
Lampiran 1 Diagram alir tahap persiapan minyak sawit
Pemanasan, T= 80oC
Crude Palm Oil
(CPO)
Pengadukan
56 rpm, 15 menit
Asam fosfat 85%
0.15 b/b
Pencampuran
Palm Olein Palm Stearin
Sentrifuge
Pemanasan
T= 70oC
NaOH berlebih
17.5%
Sentrifuge
Pencampuran
Air hangat 1:7
Suhu 5-8oC lebih panas
dari suhu minyak
Gum dan sabun
Gum dan sabun
Penurunan suhu hingga 20oC
Kecepatan = 5oC/jam
Separasi dengan membran
filter press
28
Lampiran 2 Konsentrasi sodium hidroksida pada derajat Baume yang berbeda
Derajat Baume Konsentrasi sodium hidroksida (%)
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
6.57
8.00
9.50
11.06
12.68
14.36
16.09
17.87
19.70
21.58
23.50
(Widarta 2008)
Lampiran 3 Uji ANOVA analisis ukuran partikel D50 emulsi
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: ukuran_partikel_D50
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 102902.489a 5 20580.498 384.874 .000
Intercept 222200.001 1 222200.001 4155.342 .000 sampel 102902.489 5 20580.498 384.874 .000
Error 641.680 12 53.473 Total 325744.170 18 Corrected Total 103544.169 17
a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .991)
ukuran_partikel_D50
Duncan
sampel N Subset
1 2 3 4 5
tween80 30% 300 bar 3 33.7667 tween80 20% 300 bar 3 38.8667 38.8667 tween80 30% 200 bar 3 50.2333 tween80 20% 200 bar 3 134.3667 tween80 30% 100 bar 3 178.8667 tween80 20% 100 bar 3 230.5333
Sig. .410 .081 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 53.473.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
29
b. Alpha = .05.
Lampiran 4 Uji ANOVA analisis ukuran partikel D90 emulsi
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: ukuran_partikel_D90
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 212707.371a 5 42541.474 394.398 .000
Intercept 461696.436 1 461696.436 4280.339 .000
Sampel 212707.371 5 42541.474 394.398 .000
Error 1294.373 12 107.864
Total 675698.180 18
Corrected Total 214001.744 17
a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .991)
ukuran_partikel_D90
Duncan
sampel N Subset
1 2 3 4 5
tween80 30% 300 bar 3 48.5667
tween80 20% 300 bar 3 56.5333 56.5333
tween80 30% 200 bar 3 73.5000
tween80 20% 200 bar 3 193.6667
tween80 30% 100 bar 3 255.1333
tween80 20% 100 bar 3 333.5333
Sig. .366 .069 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 107.864.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
b. Alpha = .05.
30
Lampiran 5 Uji ANOVA analisis betakaroten emulsi
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: betakaroten
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 4946.069a 5 989.214 9371.252 .000
Intercept 5190.432 1 5190.432 49171.220 .000 sampel 4946.069 5 989.214 9371.252 .000
Error .633 6 .106 Total 10137.134 12 Corrected Total 4946.702 11
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
betakaroten
Duncan
sampel N Subset
1 2 3 4 5 6
tween80 30% 300 bar 2 5.6000
tween80 30% 200 bar 2 8.6000
tween80 20% 300 bar 2 9.4500
tween80 30% 100 bar 2 11.9150
tween80 20% 200 bar 2 25.2250
tween80 20% 100 bar 2 63.9950
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .106.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = 0.05.
31
Lampiran 6 Hasil analisis ukuran artikel emulsi
32
Lampiran 7 Kurva standar analisis betakaroten
33
Lampiran 8 Kromatogram analisis betakaroten
34
RIWAYAT HIDUP
Striwicesa Hangganararas, lahir pada tanggal 12
Desember 1992 dari Bapak Harry Wiyanto dan Ibu Sri
Rahayu sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis
menyelesaikan pendidikan di SDN Pisangan Baru 01 Pagi
tahun 2004, SMP Negeri 216 Jakarta tahun 2007, SMA
Negeri 68 Jakarta tahun 2010. Pada tahun yang sama diterima
menjadi mahasiswa program studi S1 Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN).
Selama menjalani pendidkan di IPB, penulis aktif mengikuti beberapa
organisasi diantaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan
(HIMITEPA), pengurus Departemen Peduli Pangan Indonesia (DPPI) tahun 2011-
2013 sebagai penanggung jawab media publikasi pangan Food Alert. Selain itu
penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitian seperti Facial Act, Orde
Keramat, Ksatria Peduli Pangan, Baur dan menjadi bendahara I-Food Day 2012.
Pada tahun 2013 penulis pernah menjuarai kompetisi penulisan paper dalam
National Student Paper Competition pada peringkat ketiga dan menjadi 10 besar
dalam lomba Writing Competition Beswan Djarum regional Jakarta. Selama
kuliah penulis pernah menerima beasiswa Djarum Plus dan mengikuti beberapa
pelatihan seperti Nation Building, Character Building, Leadership Development,
dan Community Empowerment. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif
memberikan penyuluhan pangan bersama Departemen Peduli Pangan Indonesia.
35
Tugas tambahan
1. Model statistik hubungan antara ukuran partikel, konsentrasi emulsifier dan
tekanan yang digunakan selama proses dengan analisis regresi polinomial
menggunakan SPSS adalah sebagai berikut:
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) -6.073E-013 4.354 .000 1.000
x1 -2.552 .422 -4.550 -6.053 .000
x2 41.258 3.391 9.156 12.167 .000
x12 .003 .001 1.186 3.324 .005
x22 -1.012 .101 -5.861 -9.983 .000
x1x2 .023 .010 1.039 2.373 .034
dengan y merupakan D50, x1 merupakan pengaruh tekanan, x2 merupakan
pengaruh konsentrasi emulsifier, dan x1x2 merupakan pengaruh kombinasi dari
tekanan dan konsentrasi emulsifier. Maka didapatkan model persamaan sebagai
berikut:
y = -2.552 x1 + 41.258 x2 + 0.003 x12
- 1.012 x22 + 0.023 x1x2
Untuk memprediksi D50 (ukuran droplet pada 50% volume emulsi) maka dapat
dihitung dengan memasukkan besar tekanan dan konsentrasi emulsifier dalam
persamaan tersebut. Sebagai contoh, pada tekanan 100 bar dan konsentrasi Tween
80 sebesar 20% maka nilai D50 adalah
y = –2.552(100) + 41.258 (20) + 0.003 (100)2 – 1.012(20)
2 + 0.023(100x20)
y = –255.2 + 825.16 + 30 – 404.8 + 46
y = 241.16
Nilai yang didapatkan yaitu 241.16 nm sesuai dengan hasil penelitian ini yang
dapat dilihat dalam tabel 3 yaitu dengan nilai D50 sebesar 230.53 ± 14.68 nm.
2. Dalam sistem emulsi, partikel terdispersi kerap kali ada dalam bentuk yang
tidak beraturan. Dengan demikian terdapat beberapa cara yang dapat digunakan
untuk menentukan diameter partikel. Beberapa yang sering digunakan adalah
volume diameter, surface diameter¸dan surface volume diameter. Volume
diameter merupakan diameter dari bola yang memiliki volume yang sama dari
partikel. Surface diameter merupakan diameter dari bola yang memiliki luas
permukaan yang sama dari partikel. Sedangkan surface volume merupakan
36
diameter bola yang memiliki rasio luas permukaan dan volume yang sama dari
partikel.
Selain memiliki bentuk yang tidak beraturan, dalam sebuah emulsi partikel
tidak memiliki ukuran yang sama satu sama lain dengan demikian terdapat
beberapa cara untuk mengitung rata-rata diameter partikel yaitu dengan volume-
surface mean (D32) dan weight mean (D34). Volume-surface mean atau mean
sauter diameter merupakan pengukuran yang berdasarkan volume sebuah bola
yang luas permukaannya dipenuhi dengan partikel emulsi. Dihitung dengan
dengan luas permukaan spesifik per volume emulsi. Weight mean merupakan
pengukuran yang berdasarkan berat dari sebuah bola yang volumenya dipenuhi
dengan partikel.
Pada pembuatan prediksi rata-rata ukuran partikel digunakan hubungan
antara Ev (densitas energi) dengan D32. Densitas energi merupakan energi yang
dibutuhkan dalam pembuatan emulsi dinyatakan dengan masukan energi per
volume emulsi. Pada persamaan ini digunakan nilai D32 karena nilai D32
mengukur rataan partikel berdasarkan luas permukaan per volume emulsi. Nilai
D34 tidak dapat digunakan karena mengukur rataan partikel tidak berdasarkan
volume, melainkan dari bobot.