ppok

Upload: kucingdekil

Post on 11-Jul-2015

330 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

DISKUSI PENYAKIT

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Afifah Is NPM : 4104020019

Peserta PPDS Tahap I

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM Jakarta, Desember 2004

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)PENDAHULUANPenyakit paru obstruktif kronik (PP0K) adalah salah satu penyebab gangguan pernapasan yang sering ditemukan di masa depan karena semakin tingginya angka harapan hidup manusia. Menurut WHO (World Health Organization) menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga menduduki peringkat ke 5 penyakit tersering dan peringkat ke 3 penyebab kematian tersering di seluruh dunia.1,2

Di

Amerika Serikat PPOK berada pada peringkat ke 4 penyebab kematian tersering pada lebih dari 16 juta orang.3 Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1992 PPOK bersama asma bronkhial menduduki peringkat ke 6 sebagai penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. 1,2

DEFENISIMenurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya hambatan aliran napas yang tidak sepenuhnya revesibel. Hambatan aliran napas tersebut biasanya bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel/gas iritan. Emfisema dan bronkhitis kronik yang disertai obstruksi aliran napas termasuk PPOK, tetapi asma bronkhial tidak termasuk PPOK karena bersifat reversibel. 3,4 Menurut American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) tahun 2004 batasan PPOK adalah sebagai berikut : PPOK adalah suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang ditandai Perlambatan aliran udara tersebut bersifat progresif dan berkaitan dengan dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. respon inflamasi yang abnormal pada paru akibat partikel gas/iritan terutama rokok.

-

Walaupun PPOK mengenai paru tetapi dapat juga menyebabkan kelainan

sistemik yang bermakna. Bronkitis kronik dan emfisema adalah kondisi yang dapat ditemukan pada PPOK. Brokhitis kronik secara klinis didefenisikan sebagai batuk kronik produktif yang berlangsung selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut-turut pada seorang penderita,

2

dimana penyebab lain dari baruk kronik produktif tersebut telah dapat disingkirkan. Emfisema secara patologis didefenisikan sebagai adanya pelebaran rongga udara di distal dari bronkhiolus terminalis yang bersifat permanen, disertai destruksi dindingnya tanpa ada fibrosis yang nyata.1

FAKTOR RESIKO3,5Faktor resiko terjadinya PPOK adalah merokok, hiperresponsif saluran napas, infeksi saluran napas pada masa kanak-kanak, pekerjaan, polusi udara di dalam dan di luar rumah, perokok pasif dan faktor genetik yaitu defisiensi enzim 1antitripsin (1AT).

Faktor Risiko PPOKFaktor risikoUsia (tua) Jenis Kelamin Kebiasaan merokok Polusi udara Pekerjaan

KeteranganGangguan ventilasi, primer efek kumulatif merokok Laki-laki lebih beresiko dari wanita Berhubungan dengan berapa batang rokok per-hari dan berapa pak per-tahun Di luar ruangan dan di dalam ruangan (dapur) Macam-macam debu yang menyebabkan hipersekresi batubara, mukus : pekerja cadmium, tambang petani, emas dan

pemanen gandum, pekerja pabrik semen dan Status sosial ekonomi Diet Faktor genetic Berat lahir dan penyakit saluran napas waktu kanak-kanak tekstil. Lebih sering pada sosial ekonomi rendah Makan ikan banyak mengurangi risiko pada perokok Defisiensi 1-antitripsin adalah risiko terkuat FEV1 rendah pada berat lahir rendah dan mortalitas karena PPOK tinggi setelah dewasa, penyakit kronik pada masa kanakkanak predisposisi untuk penyakit kronik Penyakit bronkopulmoner rekuren Alergi dan hiperresponsif saluran napas setelah dewasa. Menyebabkan penurunan fungsi paru Peningkatan IgE darah dan eosinofil dan hiperesponsif ditemukan pada perokok tetapi sebagai faktor risiko yang signifikan mungkin hanya pada sebagian perokok

Tabel 1. Faktor risiko PPOK5

Merokok

3

Beberapa studi longitudinal memperlihatkan adanya hubungan dosis-respon antara percepatan penurunan FEV1 (Forced expiration volume 1 second) dengan intensitas merokok (pak per tahun) dan prevalens PPOK pada subyek perokok lebih tinggi dengan bertambahnya usia. Tingginya prevalens PPOK pada pria mungkin dapat dijelaskan karena tingginya angka perokok pria. Walaupun demikian ada variabilitas untuk timbulnya PPOK pada perokok (hanya 15% yang berhubungan dengan berapa pak rokok per tahun). Faktor genetik dan dan lingkungan berperan dalam pengaruh rokok terhadap berkembangnya obstruksi saluran napas.

Hiperresponsif saluran napasBanyak pasien PPOK memperlihatkan hiperresponsif saluran napas. Beberapa studi longitudinal yang membandingkan respon saluran napas pada awal studi dengan penurunan fungsi paru memperlihatkan bahwa ada hubungan signifikan antara peningkatan respon saluran napas dengan fungsi paru, sehingga hiperresponsif saluran napas adalah faktor risiko PPOK.

PekerjaanBeberapa jenis pekerjaan dengan paparan spesifik seperti tambang batubara, tambang emas, debu tekstil kapas adalah faktor risiko terjadinya PPOK. Apakah faktor pekerjaan ini independen terhadap faktor merokok sampai saat ini belum jelas, tetapi besarnya efek faktor pekerjaan ini kurang berarti dibandingkan dengan faktor merokok terhadap berkembangnya PPOK. Polusi udara Beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan gejala saluran napas pada mereka yang tinggal di kota dibandingkan dengan yang tinggal di desa yang mungkin berhubungan dengan peningkatan polusi di perkotaan. Tetapi hubungan polusi udara dengan obstruksi saluran napas kronik belum jelas. Di negara berkembang tingginya angka PPOK pada wanita yang tidak merokok diduga berhubungan dengan polusi udara dalam ruangan, khususnya berhubungan dengan memasak (di dapur). Di beberapa negara polusi udara merupakan faktor risiko yang sedikit lebih penting dibandingkan dengan faktor merokok untuk berkembangnya PPOK.

Perokok pasif

4

Paparan rokok intra uterin secara signifikan menurunkan fungsi paru setelah lahir dan paparan rokok terhadap anak-anak mengurangi pertumbuhan paru. Bahkan perokok pasif berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Berapa besar pengaruh faktor risiko ini terhadap beratnya penurunan fungsi paru pada PPOK masih belum jelas. Faktor genetik Rokok adalah faktor lingkungan utama untuk risiko berkembangnya PPOK, tetapi ternyata berkembangnya obstruksi jalan napas pada setiap perokok berbedabeda. Defisiensi berat enzim 1 antitripsin ( 1AT) adalah faktor risiko genetik untuk terjadinya PPOK disamping adanya determinan genetik yang lain. Varian lokus protease inhibitor (Pi) yang mengkode 1AT sudah diketahui. M alel berhubungan dengan kadar 1AT normal. S alel berhubungan dengan penurunan ringan kadar 1AT. Z alel berhubungan dengan penurunan bermakna kadar 1AT (muncul pada lebih 1% penduduk Kaukasia). Jarang individu yang menurunkan alel nol yang menyebabkan tidak adanya produksi 1AT. Individu dengan 2 Z alel atau 1 Z alel dan satu alel nol mengacu kepada PiZ yaitu bentuk paling umum dari defisiensi berat 1AT. Jumlah pasien PPOK dengan defisiensi berat 1AT turunan hanya 1-2%, tetapi mereka memperlihatkan bahwa faktor genetik berpengaruh besar terhadap kemungkinan berkembangnya PPOK. Pada individu dengan PiZ onset terjadinya PPOK sering lebih cepat. Variasi fungsi paru diantara individu-individu PiZ dapat dijelaskan dengan faktor merokok dimana perokok dengan defisiensi 1AT berat lebih mungkin menderita PPOK pada usia lebih dini. Faktor genetik lain dan faktor lingkungan mungkin juga berperan dalam hal ini. Risiko terjadinya penyakit paru pada individu heterozigot PiMZ yang memiliki kadar serum 1AT sedang (mendekati 60% kadar PiMM ) masih kontroversial. Faktor risiko genetik lain Studi pengukuran fungsi paru pada sampel populasi umum memperlihatkan bahwa faktor genetik lain selain tipe Pi mempengaruhi variasi fungsi paru. Tetapi sampai saat ini belum ada determinan genetik yang diketahui secara jelas berpengaruh pada perkembangan PPOK kecuali defisiensi 1AT.

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT PPOK1,3

5

Perjalanan penyakit PPOK bervariasi pada setiap penderita. Sebenarnya PPOK sering dimulai bertahun-tahun sebelum timbul gejala. Gangguan pertumbuhan fungsi paru selama masa kanak-kanak dan remaja akibat infeksi saluran napas berulang atau merokok dapat menyebabkan pencapaian maksimal fungsi paru pada awal masa dewasa menjadi lebih rendah. Risiko kematian pada PPOK sangat berkaitan erat dengan penurunan kadar FEV1. Pada grafik perjalanan alamiah penyakit PPOK (gambar 1) diperlihatkan fungsi pengaruh tersebut pada kurva FEV1. Kurva A adalah kurva FEV1 normal dimana setiap orang umumnya pada masa pertumbuhan dan masa remaja fungsi paru parunya bertambah dan kemudian menurun secara gradual sesuai pertambahan usia. Pada grafik terlihat terjadi penurunan setelah pengurangan pada fase pertumbuhan (B), inisiasi penurunan fungsi paru setelah pertumbuhan normal (C) dan percepatan penurunan setelah pertumbuhan normal (D). Kecepatan penurunan fungsi paru dapat berubah karena karena pengaruh lingkungan (seperti berhenti merokok). Berhenti merokok pada usia lebih dini lebih menguntungkan dibandingkan berhenti merokok pada saat tanda penurunan fungsi paru muncul, tetapi berhenti merokok tetap bermakna karena dapat menyebabkan beberapa perbaikan dan dapat menghambat progresivitas penyakit. 1,3

Gambar 1. Kurva hipotetik FEV1 sepanjang hidup manusia3 PATOFISIOLOGI3,5

6

Pada PPOK ditemukan banyak fungsi paru yang abnormal dan yang paling khas adalah penurunan yang menetap dari kecepatan aliran ekspirasi paksa, peningkatan volume residu, peningkatan rasio volume residu/kapasitas total paru (RV/TLC) dan distribusi ventilasi yang tidak seragam. Hambatan aliran napas Penurunan FEV1 dan persen FEV1/FVC adalah karakteristik abnormalitas pada PPOK. Berbeda dengan asma penurunan FEV1 pada PPOK tidak memberikan respon yang baik terhadap inhalasi bronkodilator (sekitar 15%). Aliran inspirasi maksimal mungkin masih baik pada saat sudah terjadi penurunan FEV1 yang bermakna. Kesenjangan ini disebabkan karena penurunan aliran ekspirasi paksa tidak terjadi secara sederhana karena penyempitan atau sumbatan permanen saluran napas saja tetapi ada komponen dinamik lain yang menyebabkan instabilitas saluran napas selama ekshalasi paksa. Aliran udara selama ekshalasi paksa terjadi karena keseimbangan antara elastisitas recoil (yang mendorong aliran) dan tahanan (aliran yang menghambat). Penurunan aliran, koinsiden dengan penurunan volume paru terdapat pada bagian ekspirasi dari kurva volume-aliran. Pada awalnya abnormalitas aliran hanya tampak pada penurunan volume paru pada atau di bawah kapasitas residu fungsional, muncul sebagai scooped out pada bagian yang lebih rendah (bagian yang turun) ari kurva tersebut. Pada keadaan penyakit lanjut seluruh kurva memperlihatkan penurunan aliran ekspirasi dibandingkan kurva normal. Kontribusi relatif dari penurunan elastisitas recoil dan peningkatan tahanan saluran napas terhadap penurunan aliran ekspirasi maksimal dapat dihitung pada kurva volume-aliran. Pada penurunan elastisitas recoil kemiringan kurva normal, tetapi berakhir secara tiba-tiba, kebalikan pada peningkatan resistensi saluran napas kemiringan kurva bertambah. Secara teori hal ini dapat digunakan untuk membedakan emfisema (penurunan elastisitas recoil) dengan bronkhitis (peningkatan resistensi saluran napas) yang menyebabkan penurunan FEV1. Keadaan menjadi lebih kompleks karena pada PPOK terdapat keduanya. Ketentuan umum harus dibuat walaupun ada variasi dalam hubungan FEV1 dengan abnormalitas fisiologi lain pada PPOK. PaO2 biasanya normal sampai terjadi penurunan level FEV1 setengah dari nilai prediksinya, bahkan PaO2 tetap normal walaupun nilai FEV1 lebih rendah (minimal waktu istirahat). PaCO 2 tidak diperhitungkan pada PPOK sampai penurunan nilai FEV1 besar (seperempat atau lebih rendah dari nilai prediksinya) bahkan mungkin tidak terjadi kenaikan PaCO2.

7

Peningkatan tekanan arteri pulmonalis bisa terjadi pada PPOK yang tidak begitu lanjut (biasanya waktu beraktivitas). Hipertensi pulmonal biasanya terjadi pada penurunan FEV1 seperempat atau lebih rendah dari nilai prediksinya dan hipoksemia kronik (PaO2 < 55 mmHg). Hipertensi pulmonal dapat menyebabkan cor-pulmonale dan gagal jantung kanan. Nonuniform ventilation dan ventilation-perfusion mismatching Nonuniform ventilation dan ventilation-perfusion mismatching adalah karakteristik dari PPOK dan menggambarkan variasi proses alamiah penyakit dalam saluran napas dan parenkim paru. Nitogen washout sementara menghirup O2 100% dihambat pada bagian-bagian yang ventilasinya jelek dan profil kurva nitrogen washout konsisten dengan banyaknya kompartemen parenkim yang mempunyai kecepatan washout berbeda karena perbedaan compliance dan resistensi saluran napas daerah tersebut. Radioisotopic ventilation scanning dengan Xe133 memperlihatkan heterogenitas regional ventilasi pada PPOK. MIGET (Multiple Inert Gas Elimination Technique) dapat mengkuantifikasi profil ventilasi-perfusi (VA/Q). Pada gambar 2 diperlihatkan pola VA/Q pada pasien PPOK lanjut. Pola pertama atau tipe A (pink puffer) PPOK terdapat jumlah distribusi ventilasi yang substansial ke regio VA/Q tinggi. Pada pola kedua atau tipe B (blue bloater) PPOK terdapat jumlah distribusi ventilasi yang substansial ke regio VA/Q rendah. Yang perlu jadi catatan adalah bahwa penderita yang gambaran klinisnya adalah tipe A atau B tidak perlu diketahui pola VA/Q-nya, tetapi yang lebih penting adalah jika pola VA/Q diketahui jadi mudah mengklasfikasikan pasien ke tipe A atau B. MIGET juga memperlihat peningkatan dispersi VA/Q pada PPOK stadium awal. Ventilation-perfusion (VA/Q) mismatching bertanggung jawab terhadap penurunan PaO2 yang muncul pada PPOK. Hal ini menjelaskan bahwa oksigen yang dinaikkan sedikit efektif untuk terapi hipoksemia pada PPOK dan jika hipoksemia sulit dikoreksi dengan pemberian oksigen konsentrasi rendah perlu dipikirkan adanya masalah lain selain PPOK.

8

GAMBAR 2. Kurva volume aliran napas maksimum saat ekspirasi dan inspirasi (MEFV, MIFV) pada orang normal (kiri), pada PPOK ringan (tengah) dan pada PPOK lanjut (kanan) 5

Hiperinflasi Peningkatan volume residu dan rasio volume residu dengan kapasitas total paru adalah khas pada PPOK. Hiperinflasi yang terjadi selama pernapasan tidal berkaitan dengan aliran ekspirasi maksimal, peningkatan volume paru, peningkatan tekanan pada recoil elastik dan pelebaran saluran napas serta penurunan resistensi jalan napas. Pada saat volume udara dalam rongga torak besar tetapi fungsi ventilasi bagian bawah kurang efisien dan usaha bernapas bertambah sehingga menyebabkan dispnu. Hiperinflasi menyebabkan diapragma terdorong sehingga mendatar yang menyebabkan bertambahnya efek yang tidak diinginkan seperti terjadinya gangguan inspirasi. Hiperinflasi juga menyebabkan terjadinya pembesaran rongga torak yang secara mekanik tidak menguntungkan karena pada waktu inspirasi kerja otot-otot pernapasan bertambah untuk lebih mengembangkan rongga torak.

Dispnu

9

Umumnya pasien PPOK datang ke dokter karena dispnu. Dispnu jarang dikeluhkan sampai FEV1 kurang dari 60% bahkan beberapa pasien PPOK bebas dari dispnu dengan FEV1 yang lebih rendah. Mekanisme terjadinya dispnu pada PPOK kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Sinyal saraf yang berhubungan dengan dinding dada yang abnormal dan mekanik saluran napas, sinyal dari lenght tension inapropriateness otot-otot pernapasan karena hiperinflasi dan impuls dari saluran napas yang berada dibawah tekanan dinamik yang abnormal selama ekshalasi menimbulkan dispnu. Hiperkapnia dan hipoksemia kurang berperan kecuali dalam keadaan akut. Pemberian oksigen mungkin menurunkan usaha bernapas dengan menurunkan ventilasi selama paksaan bernapas dan efek yang tidak berhubungan langsung dengan perubahan ventilasi (mekanisme belum diketahui).

PATOLOGI3,5PPOK disebut sebagai penyakit saluran napas kecil. Tiga puluh tahun yang lalu Hogg dan timnya menemukan bahwa saluran napas kecil dengan diameter 2 mm atau kurang hanya memberi sedikit kontribusi pada resistensi total saluran napas normal, tetapi berperan penting pada terjadinya peningkatan resistensi saluran napas pada PPOK. Emfisema dan kondisi patologi saluran napas kecil ditemukan pada pasien PPOK. Kelainan saluran napas besar juga ditemukan tetapi tidak begitu berperan pada patologi abnormalitas PPOK. Saluran napas besar Rokok sering menyebabkan pembesaran kelenjar mukus dan hiperplasia sel goblet. Hal ini berhubungan dengan batuk dan produksi mukus pada bronkhitis kronik dan tidak berhubungan dengan hambatan saluran napas. Hambatan saluran napas disebabkan oleh hipertropi otot polos dan hiperreaktivitas saluran napas. Saluran napas kecil Bagian utama yang mengalami peningkatan resistensi pada PPOK adalah saluran napas kecil. Perubahan karakter seluler yang terjadi adalah adanya metaplasia sel goblet, perubahan sekresi surfaktan oleh sel clara menjadi sekresi mukus dan infiltrasi sel mononuklear inflamasi. Kelainan ini menyebabkan terjadinya penyempitan lumen dan peningkatan tegangan permukaan udara dan jaringan. Fibrosis menyebabkan penyempitan saluran napas dan hiperreaktivitas.

10

Tetap terbukanya saluran napas kecil dipertahankan oleh parenkim paru disekelilingnya yang mengadakan traksi radial pada brokhiolus pada titik perlekatannya ke septa alveolar. Kehilangan perlekatan bronkhiolus akibat destruksi matriks ekstra seluler mungkin menyebabkan distorsi dan penyempitan saluran napas pada PPOK. Parenkim paru Emfisema dicirikan oleh adanya destruksi ruangan pertukaran udara seperti bronkhiolus respiratorius, duktus alveolar dan alveoli. Emfisema diklasifikasikan atas beberapa tipe berbeda yang penting adalah tipe sentriasinar dan panasinar. Emfisema sentriasinar sering berhubungan dengan merokok dengan ciri adanya pelebaran rongga udara (awalnya) yang berhubungan dengan bronkhiolus respiratorius. Biasamya terjadi di lobus atas atas segmen superior lobus bawah dan sering bersifat fokal. Pada emfisema panasinar ukuran rongga udara tidak normal dan distribusinya juga tidak normal dan terdapat across asinar unit. Biasanya terdapat pada pasien dengan defisiensi 1AT dengan predileksinya di lobus bawah.

PATOGENESIS3,5Hambatan aliran udara adalah perubahan fisiologi utama pada PPOK yang dapat disebabkan oleh hambatan saluran napas kecil dan emfisema dapat dibagi atas 3 kejadian yang saling berhubungan yaitu : 1. Paparan kronik asap rokok menyebabkan akumulsi sel-sel radang dalam rongga udara terminal paru. Sel epitel paru dan makrofag menyebabkan pelepasan sitokin dan kemokin yang diikuti oleh penarikan akut netrofil dan subakut makrofag di bronkus respiratorius dan rongga alveolar. Sel T (CD8+ > CD4+), sel inflamasi lain dan sel imun mungkin juga ditarik.

2. Sel-sel inflamasi melepas elastolitik proteinase yang menyebabkan destruksimatriks ekstraseluler paru.

3. Perbaikan yang tidak efektif dari elastin dan mungkin juga komponenekstraseluler lainnya menyebabkan terjadinya emfisema

PENDEKATAN PASIEN DENGAN PPOK1,2,3

11

Anamnesis Pasien PPOK ringan sering tidak menunjukkan gejala sehingga sering luput dari perhatian dokter. Pada anamnesis kita mencari 3 gejala respirasi yang umum terdapat pada pasien PPOK yaitu batuk kronik, produksi sputum dan sesak napas (peningkatan usaha bernapas, terasa berat, tersengal-sengal). Dicari dampak penyakit terhadap aktivitas harian, pekerjaan, dampak ekonomi, perasaan depresi dan ansietas. Pada pasien PPOK ada gangguan toleransi aktivitas dengan mempergunakan tangan. Pada pasien PPOK lanjut terjadi perburukan sesak napas pada aktivitas kerja atau bukan kerja dan pada PPOK sangat lanjut pasien bisa henti napas (breathless) saat melakukan aktivitas harian. Cari gejala sistemik yang berhubungan dengan PPOK dan komorbiditas dengan penyakit lain. Juga dirinci riwayat paparan dengan faktor risiko (intensitas dan lamanya), riwayat penyakit sebelumnya, riwayat perawatan di rumah sakit akibat gangguan saluran napas, riwayat penyakit keluarga dengan PPOK. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik umum, termasuk tinggi badan dan berat badan, sehingga dapat dihitung indeks massa tubuh. Pada perokok bisa tercium bau rokok dan pewarnaan jari tangan oleh nikotin. Kemudian pemeriksaan terutama ditujukan untuk mencari kelainan pada sistem respirasi dan kelainan sistemik lainnya. Pada PPOK stadium awal pemeriksan fisik secara keseluruhan bisa normal. Pada PPOK yang lebih berat terdapat takipnu dan napas pursed lips. tandatanda hiperinflasi (barrel chest, dada emfisematus), duduk dengan ciri tripod position saat bernapas untuk menunjang aktivitas otot sternokleidomastoideus, scalen dan muskulus interkostalis, sianosis perifer. Pada perkusi ditemukan penurunan posisi diapragma karena pembesaran volume paru. Pada pasien dengan dominan emfisema secara klasik disebut pink puffers yaitu sianosis yang parah, penggunaan oto-otot bantu napas dan pursed lips breathing. Pasien yang dominan bronkhitis kronik secara klasik disebut blue boaters dimana terdapat retensi cairan dan sianosis yang lebih jelas. Jari tabuh bukan tanda PPOK. Pada pasien dengan penyakit lanjut dapat ditemukan systemic wasting seperti penurunan berat badan yang signifikan, bitemporal wasting dan kehilangan jaingan lemak subkutis yang difus. Sindrom ini berkaitan dengan intake oral yang

12

tidak adekuat dan peningkatan kadar sitokin inflamasi (TNF-). Jika sudah ada komplikasi bisa ditemukan tanda gagal jantung kanan akibat hipertensi pulmonal. Pada auskultasi paru ekspirasi memanjang dan ada wheezing. Pemeriksaan penunjang 1. Spirometri Tes fungsi paru (uji spirometri) dilakukan pada semua pasien yang diduga PPOK. Pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis, menganalisis beratnya penyakit dan memantau progresivitas penyakit. Pada uji spirometri pasien PPOK terjadi penurunan FEV1 dan FEV1/FVC. Pada penyakit yang berat terjadi peningkatan volume paru (peningkatan kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional dan volume residu). Pada pasien emfisema kapasitas difusi menurun (karena destruksi parenkim paru). Derajat obstruksi saluran napas adalah faktor yang penting untuk prognosis dan dasar klasifikasi PPOK oleh GOLD.

2. Uji bronkodilator.Uji bronkodilator cukup dilakukan satu kali untuk membedakan PPOK dengan asma bronkhial. 3. Pemeriksaan rongent paru membantu klasifikasi jenis PPOK, pada emfisema tampak bula, tanda-tanda pengurangan parenkim paru dan hiperlusensi, pada hiperinflasi tampak peningkatan voume paru dengan diaprgma mendatar.

4. Analisa gas darah tidak sensitif tetapi mungkin dapat menggambarkanhipoksemia waktu istirahat atau waktu beraktivitas. Perubahan pH dengan PCO2 0,08 unit/10 mmHg menunjukkan keadaan akut dan perubahan pH dengan PCO2 0,03 unit/mmHg menunjukkan keadaaan kronik. Analisa gas darah penting pada pasien dengan gejala eksaserbasi.

5. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap terdapat peningkatan kadarhematokrit (hipoksemia kronik).

6. CT scan merupakan pemeriksaan defenitif untuk ada tidaknya emfisema.Pemeriksaan CT scan hanya sedikit mempengaruhi terapi kecuali pada pasien dengan pertimbangan terapi operasi.

7. Pemeriksaan kadar 1AT. Untuk diagnosis defisiensi 1AT perlu ditentukantipe PI dengan alelnya (M, S, Z) Diagnosis pasti PPOK jika pada uji spirometri FEV1 (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik) pasca bronkodilator < 80% dan FEV1/FVC < 70%

13

KALSIFIKASI DERAJAT PPOKKlasifikasi derajat PPOK menurut ATS/ERS 2004 berdasarkan nilai FEV1 prediksi (tabel 2)

Derajat PPOK

FEV1/FCV pasca bronkodilator

FEV1% prediksi

Risiko pasien : merokok/banyak polusi batuk,sputum/dispnu riwayat penyakit paru kronik dalam keluarga terkena

> 0,7

80

PPOK ringan PPOK sedang PPOK berat PPOK sangat berat

0,7 0,7 0,7 0,7

80 50 80 30 50 < 30

Tabel 2. Klasifikasi derajat PPOK1

DIAGNOSIS BANDING PPOK

14

DiagnosisPPOK

Gejala klinis yang mendukungOnset : usia pertengahan Gejalanya progresif lambat Riwayat merokok lama Sesak saat olahraga Perlambatan aliran udara bersifat ireversibel

Asma Brokhial

Onset : masa kanak-kanak Gejalanya bervariasi dari hari ke hari Gejala pada malam hari/dini hari Riwayat alergi, rinitis, dermatitis Riwayat asma (keluarga) Perlambatan aliran udara bersifat reversibel

Gagal jantung kongestif

Ronkhi basah halus pada basal paru Foto dada menunjukkan kardiomegali, edema paru dan bukan obstruksi

Bronkiektasis

Sputum purulen yang produktif Umumnya berkaitan dengan infeksi bakteri Ronkhi basah kasar nyaring, jari tabuh Rongent : dilatasi bronkus, perubahan dinding bronkus

Tuberkulosis Onset : semua usia Rongent : infiltrat, nodul Pemeriksaan mikrobiologi Prevalensi tinggi Obliterative bronkhiolitis Onset usia lebih muda, tidak merokok Riwayat artritis rematoid/paparan asap. Diffuse panbronkhiolitis Sebagian besar laki-laki dan bukan perokok Hampir semua punya riwayat sinusitis kronik Rongent/CT scan : diffuse small centrilobuler nodular opacities dan hiperinflasi

Tabel 3. Diagnosis banding PPOK2

TATALAKSANA PPOK2,6Ada 4 komponen penting dalam penatalaksanaan PPOK :

15

1. Pengkajian dan pemantauan penyakit dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang baik

2. Usaha mengurangi faktor resiko. Berhenti merokok dapat mengurangiperburukan fungsi paru karena itu edukasi untuk berhenti merokok penting dilakukan pada setiap kali kunjungan dan bila tidak berhasil bisa diberikan farmakoterapi untuk menghentikan merokok seperti pemberian nikotin (permen, inhalasi, nasal spray dan patch), klonidin atau nortriptilin. 3. Terapi PPOK stabil 4. Terapi PPOK eksaserbasi akut Tujuan dari tatalaksana PPOK yang efektif :

1. Mencegah perburukan penyakit 2. Mengurangi gejala-gejala 3. Meningkatkan toleransi aktivitas 4. Meningkatkan status kesehatan 5. Mencegah dan mengobati komplikasi 6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi 7. Menurunkan mortalitas 8. Mencegah dan mengurangi efek samping pengobatan

TERAPI PPOK STABILTerapi PPOK stabil mencakup :

1. Terapi farmaklogis dengan bronkodilator, steroid dan obat tambahan lain(1AT, mukolitik, antioksidan, imunoregulator, antitusif, stimulan pernapasan dan vaksinasi) 2. Terapi nonfarmakologis yang meliputi rehabilitasi, terapi oksigen, terapi nutrisi dan pembedahan Terapi farmakologis PPOK stabil Tujuan terapi adalah mengontrol gejala klinis, mencegah eksaserbasi, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan pasien.

Bronkodilator

16

Diberikan secara inhalasi (MDI=Metered Dose Inhaler), reguler (untuk gejala

klinis yang menetap) atau intermiten. Yang biasa dipakai adalah golongan 2-agonis, antikolinergik dan metilxantin 2-agonis inhalasi dan kerja panjang lebih disukai dibanding oral karena efek

sampingnya lebih ringan. Salbutamol (bambuterol) lepas lambat dipilih karena efek sampingmya lebih minimal.

Antikolinergik yang ideal saat ini adalah tiotropium bromide karena bersifat

lebih selektif dan potensinya 10 kali lebih kuat dari ipatropium bromida, kerjanya lama (sampai 24 jam) sehingga bisa digunakan untuk PPOK berat, dan dapat menghambat pendek. Teofilin dapat digunakan jika pengobatan dengan 2-agonis tidak berhasil. Terapi kombinasi lebih dianjurkan untuk efektivitas pengobatan dan efek bronkokonstriksi saraf kolinergik. Efek bronkodilator antikolinergik inhalasi kerja pendek lebih lama dari 2-agonis inhalasi kerja

mengurangi efek samping. Kombinasi yang banyak dipakai adalah 2-agonis + antikolinergik teofilin lepas lambat. Steroid

Terapi inhalasi steroid reguler hanya bermanfaat pada pasien PPOK yang

memberikan respon dengan uji coba steroid, pasien dengan FEV1 < 50% prediksi (stadium IIB dan III) dan pada eksaserbasi akut yang memerlukan antibiotik dan steroid oral.

GOLD menganjurkan uji coba steroid inhalasi dilakukan selama 3 minggu - 6

bulan. Terapi steroid inhalasi jangka panjang dapat mengurangi gejala klinik pada sebagian pasien tetapi tidak dapat menghambat penurunan FEV1 jangka panjang. Terapi steroid inhalasi lebih dari 6 bulan hasilnya masih kontroversial Terapi steroid oral jangka panjang tidak dianjurkan

Terapi nonfarmakologis PPOK stabil Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi : mengurangi keluhan dan gejala, meningkatkan

kualitas hidup dan meningkatkan toleransi kerja fisik dan psikis Aktivitas rehabilitasi : latihan fisik, latihan pernapasan, latihan endurance, dan

rehabilitasi psikososial

17

Sebelum mengikuti program pasien sudah dapat terapi farmakologi yang

optimal Terapi oksigen Pemberian oksigen jangka panjang (> 15 jam/hari) pada pasien gagal napas kronik dapat meningkatkan survival, memperbaiki kelainan hemodinamik dan hematologik, meningkatkan kapasitas exercise dan memperbaiki status mental.

Biasanya diberikan pada pasien PPOK berat (stadium III) dengan PaO2 < 55

mmHg atau SaO2 88% dengan atau tanpa hiperkapnia, PaO2 55-60 mmHg atau SaO2 89% dimana terdapat hipertensi pulmonal, edema perifer dan polisitemia (Ht > 55%)

Target terapi : meningkatkan PaO2 minimal jadi 60 mmHg dan atau SaO2

minimal jadi 90% tanpa menurunkan pH menjadi < 7,25 atau meningkatkan PaCO2 > 10 mmHg. Nutrisi Pasien obes harus menurunkan berat badan Nutrisi seimbang dengan jumlah karbohidrat dibatasi supaya peningkatan

CO2 dalam darah dapat dihindarkan. Pembedahan Dilakukan pada PPOK berat jika diyakini dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan mekanik paru

Jenis

opersi :

bullectomy,

lung

volume

reduction

surgery

(LVRS),

transplantasi paru. TERAPI PPOK EKSASERBASI AKUT Gejala eksaserbasi akut adalah sesak napas bertambah yang kadangkadang disertai wheezing, batuk bertambah dengan peningkatan sputum atau sputum lebih purulen dan berubah warna, bisa disertai gejala yang tidak spesifik seperti malaise, insomnia, fatigue dan depresi. Pada pemeriksaan spirometri terlihat fungsi paru sangat menurun. Jika pada pemeriksaan spirometri nilai puncak ekspirasi (APE/PEF) kurang dari 100 L/detik atau FEV1 < 1 L berarti keadaan eksaserbsi berat. Etiologi terbanyak adalah infeksi dan paparan polusi udara. Pada pemeriksaan laboratorium kuman yang sering ditemukan adalah S.pneumoniae, H. Influenzae dan M.catarrhalis.

18

Terapi PPOK eksaserbasi akut di rumah Bronkodilator secara MDI dengan dosis dan frekuensi ditingkat menjadi 46x2-4 hirup sehari, pada keadaan lebih berat bisa diberikan dengan nebulizer selama beberapa hari. mg) Antibiotik spektrum luas untuk kuman S.pneumoniae, H. Influenzae dan M.catarrhalis biasanya selama 7-14 hari (tergantung berat ringannya penyakit) Terapi PPOK eksaserbasi akut di rumah sakit Indikasi rawat di rumah sakit pada POK eksaserbasi akut adalah keluhan makin berat, riwayat PPOK berat, ada sianosi, edema perifer, respon awal tidak adekuat, komorbiditas yang serius, aritmia, usia lanjut dan tidak tersedia perawatan rumah yang memadai. Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah pemberian terapi oksigen yang terkontrol dan menentukan ada tidaknya indikasi rawat ICU. Indikasi rawat ICU pada pasien PPOK eksaserbasi akut adalah : Steroid sistemik (oral) diberikan selama 10-14 hari (misal, prednisolon 40

1. Dispnu hebat yang tidak memberi respon adekuat pada penanganan awal 2. Delirium, letargi, koma 3. Hipoksemia persisten/makin berat (PaO2 < 50 mmHg) 4. Hiperkapnia berat (PaCO2 > 70 mmHg) 5. Asidosis respiratorik berat (pH < 7,3)Terapi oksigen terkontrol mask Oksigen diberikan 1-2 L/menit melalui kanul nasal atau dengan venturi

Pemberian oksigen dengan FiO2 yang lebih tinggi harus dihindarkan

karena dapat menurunkan ventilatory rate sehingga PaCO2 Analisis gas darah sebelum dan 30 menit setelah pemberian oksigen

untuk menetukan kadar oksigen adekuat tanpa disertai retensi CO2 Target yang ingin dicapai PaO2 60-65 mmHg atau saturasi O2 90-92%

19

Bronkodilator

2-agonis nebulizer dengan dosis dan frekuensi ditingkatka, bila respon awal

tidak adekuat dapat ditambahkan antikolinergik. Terapi lanjutan dengan inhalasi dapat dilakukan jika sudah ada perbaikan klinis.

Aminofilin 0,5 mg/kgBB/jam dapat diberikan pada eksaserbasi akut yang

berat walaupun masih kontroversi. Steroid Prednisolon 30-40 mg peroral diberikan selama 10-14 hari Steroid intravena dapat diberikan pada keadaan eksaserbasi akut berat.

Antibiotik Antibiotik diberikan jika ada peningkatan sputum yang purulen Infeksi saluran napas bawah pada pasien geriatri akan meningkatkan

morbiditas dan mortalitas karena meningkatnya insiden penyakit lainnya, seperti diabetes, insufisiensi ginjal, penyakit jantung dan menurunnya respons imun. Ventilasi mekanik pada PPOK Indikasi penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK adalah : Gagal nafas akut atau kronik Keadaan lain yang mengancam jiwa seperti asidosis berat, hipoksemia berat

(PaO2 < 40 mmHg) atau hiperkapnia berat (PaCO2 > 60 mmHg), penurunan kesadaran, syok, septikemia, kegagalan ventilasi mekanik tanpa intubasi.

20

DAFTAR PUSTAKA1. Rumende CM, Suwondo A. Klasifikasi PPOK terkini Berdasarkan American Thoracic Society/European Respiratory Society . In : Alwi Idrus, Nasution SA (editor). Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskuler III dan Karimun III (Prosiding Simposium). Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2004. p. 97-107

2. Rumende CM, Suwondo A. Tatalaksana Terkini PPOK Berdasarkan GOLD2003 .In : Alwi Idrus, Nasution SA (editor). Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskuler III dan Karimun III (Prosiding Simposium). Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2004. p. 108122

3. Reilly JJ, Shapiro SD, Silverman EK. Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Disorder of Respiratory System. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL (editor). Harrisons Principles of Internal Medicine 16 th ed. New York : MacGraw-Hill; 2005. p. 1547 1554

4. National Hearth, Lung, and Blood Istitute, U.S. Departement of Health andHuman Services. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. National Hearth, Lung, and Blood Istitute ; 2003.

5. Senior RM, Shapiro SD. Epidemiology, Pathophysiology, and Pathogenesis :Chronic Obstructive Pulmonary Diseases. In : Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders 3th ed. New York : MacGraw-Hill; p. 659-680

6. Bahar Asril. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obtruktif Kronik SecaraParipurna . In : Alwi Idrus, et all (editor). Current Diagnosis and Medical Treatment in Internal Medicine 2004. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2004. p. 134-146

21