ppok ref.doc
TRANSCRIPT
1
HALAMAN PENGESAHAN
Nama mahasiswa : Teriany Widjaya
NIM : 11.2015.282
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RS Panti Wilasa “Dr.Cipto” / FK UKRIDA
Judul Referat : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Pembingbing : dr. Andreas Arie, SpPD-KKV
Semarang, Juni 2016
Pembimbing,
dr.Andreas Arie S, SpPD-KKV
2
KATA PENGANTAR
3
DAFTAR ISI
Lembaran Pengesahan.......................................................................................................
Kata Pengatar....................................................................................................................
Daftar Isi............................................................................................................................
BAB I : Pendahuluan.......................................................................................................
BAB II : Pembahasan......................................................................................................
Anamnesis.............................................................................................................
Pemeriksaan Fisik................................................................................................
Pemeriksaan Penunjang....................................................................................
Diagnosis...........................................................................................................
Epidemiologi.....................................................................................................
Etiologi.............................................................................................................
Patogenesis........................................................................................................
Penatalaksanaan.............................................................................................
Komplikasi......................................................................................................
Prognosis..........................................................................................................
BAB III : Kesimpulan...................................................................................................
Daftar Pustaka..............................................................................................................
4
BAB I
PENDAHULUAN
PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis (GOLD) merupakan suatu penyakit
yang di tandai dengan adanya hambatan aliran nafas yang tidak reversible.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor
penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi
alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2015, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2 (PPOK sedang),
derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat).
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat
tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji
spirometri.
Penatalaksanaan bisa dibedakan berdasarkan derajat tingkat keparahan PPOK.
PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai peningkatan keluhan/gejala pada penderita
PPOK berupa 3P yaitu: 1. Peningkatan batuk/memburuknya batuk 2. Peningkatan
produksi dahak/phlegm 3. Peningkatan sesak napas.. Komplikasi bisa terjadi gagal nafas,
infeksi berulang dan cor pulmonal. Prognosa PPOK tergantung dari stage / derajat,
penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara bertahap
selama bertahun-tahun. Anamnesis pada penderita PPOK meliputi riwayat faktor risiko
dan gejala. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai dengan berkurangnya kemampuan
untuk melakukan pekerjaan berat, terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan
fungsi paru. Timbul batuk prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang
saluran nafas, kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu
untuk melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK dipertimbangkan pada setiap penderita yang mengalami
dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum dan/ atau adanya faktor resiko (genetik:
defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia,
infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok, dan
dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin berat, timbul
sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan bertambah hebat dan
berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau
mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental.
Keluhan sesak bertambah berat bila terdapat infeksi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada PPOK dini umumnya tidak ada kelainan yang jelas,
sedangkan pada PPOK derajat sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara
bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi. Inspeksi meliputi (1) mulut setengah terkatup atau
6
mencucuatau seperti orang meniup (pursed-lips breathing), (2) diameter antero-posterior
dan transversal sebanding atau dada seperti tong (barrel chest), (3) terlihat penggunaan
dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas, (4) pelebaran sela iga, (5) bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai, dan (6)
penampilan pink puffer (timbulnya sesak napas tanpa disertai batuk dan produksi sputum
yang berarti) atau blue bloater (kondisi batuk produktif dan berulang kali mengalami
infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi paru).
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik, dimana penderita
gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer. Palpasi pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. Perkusi pada
emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah. Auskultasi meliputi (1) suara napas vesikuler normal atau melemah,
(2) terdapat ronki dan atau mengi(biasanya timbul pada eksaserbasi) pada waktu bernapas
biasa atau pada ekspirasi paksa, (3) ekspirasi memanjang, dan (4) bunyi jantung terdengar
jauh.
Dinyatakan PPOK secara klinis apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak napas terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia
pertengahan atau lebih tua.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin yang dilakukan pada penderita PPOK meliputi radiologi dan
faal paru yang menggunakan spirometri sebagai baku emas diagnosis PPOK.
Meskipun hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologi rontgen toraks postero-anterior (PA) dan lateral ini berfungsi juga
untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis
banding dari keluhan penderita. Hasil radiologi PPOK meliputi bronkitis kronik dan
emfisema. Pada emfisema terlihat gambaran (1) hiperinflasi, (2) hiperlusen, (3) ruang
7
retrosternal melebar atau tampak pelebaran pada diameter anteroposterior (AP) (4)
diafragma mendatar atau lurus, dan (5) jantung menggantung (jantung pendulum). Pada
bronkitis kronik terlihat gambaran (1) normal, dan (2) corakan bronkovaskular bertambah
pada 21% kasus.
Untuk penegakan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya asma
bronkial, tuberkulosis paru (TB), dan sindrom obstruktif pasca tuberkulosis (SOPT).
Pada pemeriksaan faal paru meliputi (1) uji spirometri, obstruksi ditentukan oleh
nilai Volume EkspirasiPaksa detik pertama (VEP1) prediksi (evaluasi nilai pasca
bronkodilator) dan atau VEP1 dibagi dengan KapasitasVital Paru (KVP) yaitu VEP1/KVP
dalam bentuk persen (%). Obstruksi jika nilai % VEP1 atau VEP1 prediksi kurang dari
80%.
Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) % merupakan parameter yang
paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap
nilai prediksi yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, Arus Puncak Ekspirasi (APE)
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabilitas harian pagi dan sore (2) uji bronkodilator, dilakukan dengan menggunakan
spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 – 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE.
Pada PPOK, perubahan nilai VEP1 atau APE kurang dari 20% dan kurang dari 200 ml
dari nilai awal. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Nilai VEP1 pasca
bronkodilator kurang dari 80% prediksi serta nilai VEP1/KVPkurang dari 0,70
memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
Dan untuk pemeriksaan penunjang pada eksaserbasi akut di lakukan juga
pemeriksaan analisis gas darah. Pemeriksaan yang dilakukan jika mendapatkan hasil
PaO2 < 8,0 kPa (60mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa
( 50mmhg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.
8
Kemudian jika PaO2 < 6,7 kPa (50mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70mmHg) dan
pH < 7,30 kPa, memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan
monitor ketat serta penanganan intensif.
Diagnosis
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh
keterbatasan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun atau berbahaya, disertai efek ekstrapulmonal yang berkontribusi terhadap derajat
berat penyakit.
PPOK terdiri dari Bronchitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronchitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mucus berlebihan kedalam
cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada
hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut.
Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-paru yang dikarakterisir oleh pembesaran
rongga udara bagian distal sampai keujung bronkiole yang abnormal dan permanent,
disertai dengan kerusakan dinding alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua
gangguan ini, dengan salah satunya dominan.
Diagnosis PPOK dapat dipertimbangkan berdasarkan dari anamnesis (meliputi
sesak napas, batuk kronik atau batuk kronik berdahak, dan riwayat pajanan terhadap
faktor risiko PPOK), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (rontgen toraks dan
spirometri). Pada penderita PPOK dipertimbangkan dengan melihat indikator seperti pada
tabel 2.1.
9
Tabel 2.1 Pertimbangan indikator kunci untuk diagnosis PPOK
Gejala Keterangan
Sesak napas Progresif (sesak bertambah berat atau memburuk seiring
berjalannya waktu).
Bertambah berat dengan aktivitas.
Persisten (menetap sepanjang hari).
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak produktif.
Batuk kronik
berdahak
Setiap batuk kronik berdahak dapat mengidikasikan
PPOK
Riwayat terpajan
faktor risiko
Asap rokok.
Asap dapur dan bahan bakar pemanas.
Bahan kimia dan debu di tempat kerja.
Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1990 PPOK menempati
urutan keenam sebagai penyebab kematian di dunia, tahun 2002 PPOK menempati urutan
kelima sebagai penyebab kematian di dunia, dan WHO memprediksi tahun 2030 PPOK
akan menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian di dunia. Prevalensi dari
PPOK meningkat, tahun 1994 kira-kira 16,2 juta laki-laki dan perempuan menderita
PPOK di Amerika dan lebih dari 52 juta individu di dunia.
Berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES) tahun 1986 asma, bronkitis kronik dan
10
emfisema menduduki peringkat kelima sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT DEPKES 1992 menunjukkan angka kematian karena
asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat keenam dari 10 penyebab
tersering kematian di Indonesia. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%.
Faktor Resiko
Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling sering ditemui untuk COPD adalah
merokok. Luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan udara polusi , terakhir yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa - yang utama faktor risiko PPOK
lainnya. Bukan perokok aktif juga dapat terjadi PPOK.
Faktor risiko genetik yang paling berperan adalah defisiensi herediter parah
alpha-1 antitrypsin. Ini merupakan bentuk untuk faktor risiko genetik lainnya
memberikan kontribusi pemikiran pada PPOK.
Risiko PPOK berhubungan dengan total beban partikel yang terhirup seseorang
selama hidupnya:
1. Asap tembakau
Asap tembakau, termasuk rokok, pipa, cerutu, dan jenis-jenis soking tembakau
populer di banyak negara, serta asap tembakau lingkungan. Penyebab utama terjadinya
PPOK adalah merokok (termasuk bekas perokok atau perokok pasif), yang secara
keseluruhan merokok bertanggung jawab atas 90% risiko terjadinya PPOK. Menurut
WHO pada tahun 2005, 5,4 juta orang meninggal akibat penggunaan tembakau.
Kematian akibat merokok diperkirakan akan meningkat menjadi 8,3 juta kematian per
tahun pada tahun 2030. Studi yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004,
dan sebuah studi tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK
tinggi pada perokok aktif dan mantan perokok daripada bukan perokok.
11
2. Polusi udara
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) misalnya asap rokok,
asap kompor, briket batubara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan serbuk
gergaji merupakan penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan.1-3 Faktor risiko terpenting
terjadinya PPOK pada perempuan terutama di negara berkembang adalah dari bahan
bakar biomassa dengan memasak dalam ruangan dan pemanas ruangan dengan ventilasi
kurang baik. Dalam komunitas tersebut, polusi di dalam ruangan memberikan risiko lebih
besar terjadinya PPOK dibandingkan dengan polusi di luar ruangan.
Polusi di luar ruangan (outdoor) misalnya gas buang industri, gas buang
kendaraan di tempat kerja (bahan kimia, debu atau zat iritasi, dan gas beracun), dan debu
jalanan. Mekanisme polusi di luar ruangan (outdoor pollution) misalnya polutan di
atmosfer dalam waktu lama sebagai penyebab PPOK masih belum jelas tetapi lebih kecil
prevalensinya dibandingkan dengan asap rokok.1-3 Status sosioekonomi merupakan faktor
risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak
adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi. Selain itu polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan
gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara juga dapat
meningkatkan kejadian asma bronkial dalam masyarakat. Zat yang paling banyak
pengaruhnya terhadap saluran pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida, nitrogen
dioksida dan ozon. Ketiga zat tersebut dapat menurunkan faal paru.
3. Genetik
Genetik juga termasuk faktor risiko dari PPOK, mengingat PPOK adalah
penyakit poligenik disertai interaksi lingkungan dan genetik yang sederhana. Defisiensi
α-1 antitripsin yang merupakan protease serine inhibitor telah paling lama diteliti sebagai
faktor risiko genetik terbesar PPOK. Sifat resesif jarang, paling sering dijumpai pada
individu di Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emfisema
12
panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan defisiensi α-1 antitripsin yang berat.
Contoh defisiensi α-1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada
perokok maupun bukan perokok, tetapi memang diperberat karena paparan asap rokok itu
sendiri. Hanya defisiensi α-1 antitripsinyang diketahui sebagai faktor risiko genetik pada
perkembangan PPOK dan bertanggung jawab kurang dari 1% dari semua kasus di
Amerika Serikat. Defisiensi α-1 antitripsin yang berat dapat menyebabkan emfisema dini
pada usia rata-rata 53 tahun untuk tidak perokok dan 40 tahun untuk perokok. Meskipun
defisiensi α-1 antitripsin hanya terjadi sebagian kecil di dunia, tidak dapat dipungkiri hal
ini menggambarkan interaksi antara gen dan pajanan lingkungan menyebabkan PPOK.
Faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK. Telah diteliti risiko
obstruksi aliran udara secara genetik pada perokok yang mempunyai keluarga dengan
PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerentanan PPOK salah satunya
dipengaruhi oleh faktor genetik. Penderita dengan defisiensi α-1 antitripsin mengalami
sesak napas 20 sampai 30 tahun lebih awal (pada usia 30 sampai 45 tahun) dibandingkan
perokok dengan emfisema dan tingkat α-1 antitripsin normal.
4. Infeksi Pernapasan
Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru
dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang
dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada
anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko pada PPOK. Dampak dari penyakit pernapasan pada masa anak-anak pada
perkembangan selanjutnya dari PPOK telah sulit untuk dinilai karena kurangnya data
longitudinal yang memadai. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan
infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK. Baik infeksi virus dan bakteri
memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK.
Kolonisasi bakteri misalnya rhinovirus pada saluran napas berhubungan dengan
peradangan saluran napas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi PPOK.
Proses kolonisasi virus tersebut diduga dipermudah oleh paparan asap rokok yang ada,
khususnya pada saluran napas yang lebih kecil. Meskipun infeksi pernapasan adalah
13
penyebab penting dari eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi pernapasan baik antara usia
anak-anak dan dewasa untuk perkembangan dan progresivitas PPOK masih harus
dibuktikan.
5. Usia
Studi yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004, dan sebuah studi
tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK tinggi pada usia
individu lebih dari 40 tahun daripada mereka yang di bawah 40. Latin American Project
for the Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) meneliti prevalensi
keterbatasan aliran udara setelah pemberian bronkodilator di antara individu di atas usia
40 di lima kota penting Amerika Latin, masing-masing di negara yang berbeda (Brazil,
Chili, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela). Pada masing-masing negara tersebut di atas,
prevalensi PPOK meningkat secara tajam dengan bertambahnya usia, dengan prevalensi
tertinggi di antara mereka di atas usia 60, mulai dari total populasi dari yang rendah 7,8%
di kota Meksiko, Meksiko sampai yang tertinggi 19,7% di Montevideo, Uruguay.
Kelompok usia sangat penting karena prevalensi PPOK pada individu di bawah usia 45
tahun rendah, sedangkan prevalensi tertinggi pada individu di atas usia 65 tahun.
6. Jenis Kelamin
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi
karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju dan
risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan
bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara miskin,
penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir sama. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah PPOK lebih tinggi pada
laki-laki dibanding perempuan, dengan total sampel 1 juta jiwa.
Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru-paru selama kehamilan
dan masa kanak-kanak (berat badan lahir rendah, infeksi pernapasan, dll) memiliki
potentional meningkatkan risiko individu mengembangkan PPOK.
14
Patogenesis
Paparan asap rokok dan partikel berbahaya lain misalnya asap dari bahan bakar
biomassa dapat mempengaruhi saluran udara pernapasan besar, saluran udara pernapasan
kecil (diameter ≤ 2 mm), dan ruang alveolus yang menyebabkan inflamasi paru.
Perubahan pada saluran udara pernapasan besar menyebabkan batuk dan dahak,
sedangkan perubahan pada saluran udara pernapasan kecil dan alveolus bertanggung
jawab terhadap perubahan fisiologis. Patologi dari emfisema dan saluran udara
pernapasan kecil sebagian besar terdapat pada seseorang dengan PPOK, dan kontribusi
obstruksinya relatif bervariasi dari satu individu dengan yang lainnya.Perubahan
patologis yang meliputi peradangan kronik dengan peningkatan jumlah jenis sel inflamasi
tertentu di berbagai bagian paru, dan perubahan struktural yang disebabkan dari cedera
berulang dan perbaikan.
Tempat utama peningkatan resistensi pada sebagian besar individu dengan PPOK
adalah di saluran pernapasan kecil, yaitu diameter kurang dari atau sama dengan 2 mm.
Perubahan karakteristik seluler meliputi metaplasia dari sel goblet, dengan sel-sel
penghasil mukus mengganti sel clara yang mensekresi surfaktan, sel-sel silia mengalami
atrofi dan sel-sel mukus menjadi hipertrofi. Kelainan ini menyebabkan penyempitan
lumen olehfibrosis, mukus yang berlebihan, edema, dan infiltrasi seluler. Berkurangnya
surfaktan dapat meningkatkan tekanan pada permukaan penghubung jaringan udara,
predisposisi penyempitan saluran pernapasan atau kolaps. Bronkiolitis respiratorius
menampilkan proses inflamasi sel mononuklear, oklusi lumen oleh sumbatan mukus,
metaplasia sel goblet, hiperplasia otot polos, dan distorsi karena fibrosis. Perubahan ini
menyebabkan keterbatasan aliran udara dengan memungkinkan rusaknya dinding saluran
napas dan lumen jalan napas menjadi sempit.
Pada jaringan parenkim paru, emfisema ditandai dengan destruksi dari
pertukaran gas rongga udara yaitu bronkioli respiratorius, duktus alveolus, dan alveolus.
Dindingnya menjadi berlubang kemudian dilenyapkan dengan penggabungan rongga
udara kecil yang tidak normal dan rongga udara yang jauh lebih besar.
15
Makrofag terakumulasi di dalam bronkioli respiratorius terutama pada perokok
usia muda. CairanBronchoalveolar Lavage (BAL) dari individu tersebut mengandung
sekitar 5 kali lebih banyak makrofag dari BALbukan perokok. Pada BAL perokok,
makrofag meliputi 95% dari jumlah sel total dan netrofil, sedangkan pada BAL pada
tidak perokok hampir tidak ada. Sel T limfosit khususnya CD8+ juga meningkat di
dalam ruang alveolus perokok.
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan
neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru.
Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada penderita
PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik), memperkuat proses
inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menyebabkan perubahan struktural atau faktor
pertumbuhan.
Stres oksidatif menjadi mekanisme penting dalam memperkuat PPOK. Biomarker
stres oksidatif (misal peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat dalam sputum,
kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada penderita PPOK. Stres oksidatif
lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan asap rokok dan partikel
inhalasi lain yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi (makrofag dan netrofil) diaktifkan.
Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada penderita PPOK. Stres oksidatif
memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan paru, termasuk aktivasi gen inflamasi,
inaktivasi antiprotease, stimulasi sekresi mukus, dan stimulasi eksudasi plasma
meningkat.
Inflamasi pada saluran pernapasan besar penderita PPOK diperkuat dengan iritasi
kronik misalnya asap rokok, mekanisme ini sering dibicarakan pada bronkitis kronik.
Sedangkan pada emfisema paru terjadi ketidakseimbangan pada protease dan
antiprotease, dan defisiensi α1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-
mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran napas dan
parenkim paru.
16
Keterbatasan aliran udara dan air trapping disebabkan peradangan, fibrosis, dan
luminal eksudat di saluran pernapasan kecil berhubungan dengan pengurangan VEP1 dan
rasio VEP1/FVC, dan kemungkinan dipercepat oleh penurunan VEP1 yang merupakan
karakteristik PPOK.
Udara semakin terperangkap pada saluran pernapasan perifer yang menyebabkan
obstruksi selama ekspirasi. Selanjutnya akan menyebabkan alveolus menjadi rusak ketika
penyakit terjadi semakin parah. Hiperinflasi menurunkan kapasitas inspirasi yang
meningkatkan kapasitas residu fungsional, khususnya selama latihan (hiperinflasi
dinamis) yang menyebabkan dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi
berkembang lebih awal pada penyakit diketahui sebagai mekanisme utama untuk
penyebab dyspnea.
Hipersekresi mukus ditemukan pada batuk kronik produktif, yang merupakan
karakteristik dari bronkitis kronik dan tidak terkait dengan keterbatasan aliran udara.
Sebaliknya, tidak semua penderita dengan PPOK memiliki hipersekresi mukus, hal ini
terjadi karena metaplasia mukosa dengan meningkatkan jumlah sel goblet dan
pembesaran kelenjar submukosa sebagai respons dari iritasi saluran napas oleh asap
rokok dan zat berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang
hipersekresi mukus dan mengaktivasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR).
Klasifikasi PPOK
Klasifikasi PPOK berdasarkan dari manifestasi klinis dan hasil uji faal paru yaitu
PPOK derajat I ringan, PPOK derajat II sedang, PPOK derajat III berat, dan PPOK
derajat IV sangat berat, seperti terlihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK
Derajat Klinis Faal Paru
Gejala klinis (batuk, produksi
sputum)
Normal
Derajat I : Gejala batuk kronik dan produksi VEP1 / KVP < 70%.
17
PPOK
Ringan
sputum ada tetapi tidak sering. Pada
derajat ini penderita sering tidak
menyadari bahwa faal paru mulai
menurun
VEP1 ³ 80% prediksi
Derajat II :
PPOK
Sedang
Gejala sesak mulai dirasakan saat
aktivitas dan kadang ditemukan
gejala batuk dan produksi sputum.
Pada derajat ini biasanya penderita
mulai memeriksakan kesehatannya
VEP1 / KVP < 70%
50% < VEP1 < 80%
prediksi
Derajat III :
PPOK Berat
Gejala sesak lebih berat, penurunan
aktivitas, rasa lelah dan serangan
eksaserbasi semakin sering dan
berdampak pada kualitas hidup
penderita
VEP1 / KVP < 70%
30% < VEP1 < 50%
prediksi
Derajat IV :
Sangat Berat
Gejala di atas ditambah tanda-tanda
gagal napas atau gagal jantung
kanan dan ketergantungan oksigen.
Pada derajat ini kualitas hidup
penderita memburuk dan jika
eksaserbasi dapat mengancam jiwa
VEP1 / KVP < 70%
VEP1 < 30% prediksi
atau VEP1< 50% prediksi
disertai gagal napas
kronik
Diagnosis Banding
1. PPOK
a. Onset usia pertengahan
b. Gejala progresif lambat
c. Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
18
d. Sesak saat aktifitas
e. Hambatan aliran udara ireversibel
2. Asma
a. Onset usia dini
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada waktu malam lebih menonjol
d. Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim
e. Riwayat asma dalam keluarga
f. Hambatan aliran udaranya reversibel
3. Gagal Jantung Kongestif
a. Riwayat hipertensi
b. Rankhi basah halus di basal paru
c. Gambaran foto torak tampak pembesaran jantung dan oedema
d. Pemeriksaan faal paru restriktif. (PPOK Obstruktif)
4. Tuberkulosis
a. Onset semua usia
b. Gambaran foto torak infiltrat
c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)
19
5. Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)
a. Riwayat terapi TB adekuat
b. Gambaran foto torak fibrosis dan kalsifikasi minimal
c. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruktif yang tidak reversibel
Penatalaksanaan
Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada derajat
keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging berdasarkan
spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada implementasi praktis dan
harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi umum untuk dilakukan
pengobatan.
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala,
mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi kesehatan dan
meningkatkan toleransi olah raga.
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
1. Mencegah progresivitas penyakit
2. Mengurangi gejala
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Mencegah dan mengobati komplikasi
5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
20
8. Meningkatkan kualitas hidup penderita
9. Menurunkan angka kematian
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
Medikamentosa
Penatalaksana PPOK stabil
Penatalaksana PPOK eksaserbasi
Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah, dalam
perjalanan penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan dispnea, batuk, dan atau
produksi sputum yang jauh dari normal.
Gejala eksaserbasi akut :
Batuk bertambah
Produksi sputum bertambah
21
Sputum berubah warna
Sesak napas bertambah
Keterbatasan aktifitas bertambah
Penurunan kesadaran
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
22
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
23
Makrolid baru
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
24
Tabel 2.3. Penatalaksanaan PPOK
25
Non Medikamentosa
a. Menghentikan kebiasaan merokok
b. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU
atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
Ventilasi mekanik dengan intubasi, Ventilasi mekanik dengan intubasi Pasien
PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit
bila ditemukan keadaan sebagai berikut : gagal napas yang pertama kali,
Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat
diperbaiki, Frekuensi napas > 35 permenit,- Hipoksemia yang mengancam jiwa
(Pao2 < 40 mmHg), asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg),
Henti napas,komplikasi kardiovaskuler dan komplikasi lain serta telah gagal
dalam penggunaan NIPPV.
Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
c. Perbaikan nutrisi
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan
CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi
yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat, protein, dan elektrolit.
d. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi
adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai simptom
26
pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan kualiti hidup yang
menurun. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial
dan latihan pernapasan.
e.Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
27
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal
napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut
di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita
PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama
bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen
dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah
hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti
bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai
parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus
mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan
asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
28
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.
Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun
di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik
konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi
yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola
hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan
dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat
pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut:
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau
perlu saja)
29
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
1. Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain
berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
2. Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
30
3. Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
Komplikasi PPOK
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif
dan tidak sepenuhnya reversibel misalnya (1) gagal napas kronik dan gagal napas akut
pada gagal napas kronik. Gagal napas kronik hasil analisis gas darah Po2 kurang dari 60
mmHg dan Pco2 lebih dari 60 mmHg, dan pH normal. Gagal napas akut pada gagal napas
kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun (2) infeksi berulang, pada penderita PPOK
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah, dan (3) kor pulmonal, yang
ditandai oleh gelombang P pada EKG, hematokrit lebih dari 50%, dapat disertai gagal
jantung kanan.
31
BAB III
KESIMPULAN
PPOK merupakan penyakit paru yang progresif yang ditandai dengan obstruksi
oleh respon inflamasi terhadap partikel asing/gas berbahaya. Gejala klinis PPPOK hampir
sama dengan penyakit paru lainnya, namun dapat dibedakan dari onset dan faktor resiko.
Dengan pemberian terapi yang baik diharapkan pasien memiliki prognosis yang baik.
Namun tanpa adanya penatalaksanaan yang baik, dapat menimbulkan komplikasi.
Untuk mengurangi angka prevalensi yang semakin meningkat maka perlu
ditindaklanjukan dengan cara menghindari faktor resiko. Serta dilakukannya edukasi
pada pasien yang memiliki faktor resiko tinggi maupun pasien yang sudah memiliki
penyakit paru obstruktif kronik.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. GOLD. USA. 2014.
2. Antariksa B, Sitompul ANL, Ginting AK, Hasan A, Tanuwihardja BY, Drastyawan
B, et al. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis dan Penatalaksanaan. Revisi
pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011. hal.1-86.
3. Buku ajar ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
2006
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK. Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Revisi Juni 2004
5. Rasional Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan Indonesia
Volume 4, Nomor 2 September 2006 ISSN 1411 – 8742 dan Volume 4, Nomor 3
Desember 2006 ISSN 1411 – 8742
6. Managemen Komprehensif Penyakit Paru Obstruktif Kronis, SIMPOSIA - Majalah
Farmacia Edisi Desember 2007 , Halaman: 58
7. Thamtono, Y. Hubungan Nilai Spirometri dengan Learn Body Mass Index Pada
Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di RS Tembakau Deli Medan.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
8. American Lung Association. Trends in COPD (Chronic Bronchitis and Emphysema):
Morbidity and Mortality. ALA. Chicago: 2013.