ppok ref.doc

47
1 HALAMAN PENGESAHAN Nama mahasiswa : Teriany Widjaya NIM : 11.2015.282 Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RS Panti Wilasa “Dr.Cipto” / FK UKRIDA Judul Referat : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pembingbing : dr. Andreas Arie, SpPD-KKV Semarang, Juni 2016 Pembimbing, dr.Andreas Arie S, SpPD-KKV

Upload: teriany-widjaya

Post on 07-Jul-2016

242 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PPOK REF.doc

1

HALAMAN PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Teriany Widjaya

NIM : 11.2015.282

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RS Panti Wilasa “Dr.Cipto” / FK UKRIDA

Judul Referat : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Pembingbing : dr. Andreas Arie, SpPD-KKV

Semarang, Juni 2016

Pembimbing,

dr.Andreas Arie S, SpPD-KKV

Page 2: PPOK REF.doc

2

KATA PENGANTAR

Page 3: PPOK REF.doc

3

DAFTAR ISI

Lembaran Pengesahan.......................................................................................................

Kata Pengatar....................................................................................................................

Daftar Isi............................................................................................................................

BAB I : Pendahuluan.......................................................................................................

BAB II : Pembahasan......................................................................................................

Anamnesis.............................................................................................................

Pemeriksaan Fisik................................................................................................

Pemeriksaan Penunjang....................................................................................

Diagnosis...........................................................................................................

Epidemiologi.....................................................................................................

Etiologi.............................................................................................................

Patogenesis........................................................................................................

Penatalaksanaan.............................................................................................

Komplikasi......................................................................................................

Prognosis..........................................................................................................

BAB III : Kesimpulan...................................................................................................

Daftar Pustaka..............................................................................................................

Page 4: PPOK REF.doc

4

BAB I

PENDAHULUAN

PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis (GOLD) merupakan suatu penyakit

yang di tandai dengan adanya hambatan aliran nafas yang tidak reversible.

Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor

penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi

alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

2015, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2 (PPOK sedang),

derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat).

Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-

batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat

tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji

spirometri.

Penatalaksanaan bisa dibedakan berdasarkan derajat tingkat keparahan PPOK.

PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai peningkatan keluhan/gejala pada penderita

PPOK berupa 3P yaitu: 1. Peningkatan batuk/memburuknya batuk 2. Peningkatan

produksi dahak/phlegm 3. Peningkatan sesak napas.. Komplikasi bisa terjadi gagal nafas,

infeksi berulang dan cor pulmonal. Prognosa PPOK tergantung dari stage / derajat,

penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain.

Page 5: PPOK REF.doc

5

BAB II

PEMBAHASAN

Anamnesis

PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara bertahap

selama bertahun-tahun. Anamnesis pada penderita PPOK meliputi riwayat faktor risiko

dan gejala. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai dengan berkurangnya kemampuan

untuk melakukan pekerjaan berat, terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan

fungsi paru. Timbul batuk prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang

saluran nafas, kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu

untuk melakukan aktifitas sehari hari.

Diagnosis klinis PPOK dipertimbangkan pada setiap penderita yang mengalami

dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum dan/ atau adanya faktor resiko (genetik:

defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia,

infeksi saluran nafas, dll).

Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok, dan

dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin berat, timbul

sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan bertambah hebat dan

berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau

mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental.

Keluhan sesak bertambah berat bila terdapat infeksi.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada PPOK dini umumnya tidak ada kelainan yang jelas,

sedangkan pada PPOK derajat sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara

bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi,

palpasi, perkusi dan auskultasi. Inspeksi meliputi (1) mulut setengah terkatup atau

Page 6: PPOK REF.doc

6

mencucuatau seperti orang meniup (pursed-lips breathing), (2) diameter antero-posterior

dan transversal sebanding atau dada seperti tong (barrel chest), (3) terlihat penggunaan

dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas, (4) pelebaran sela iga, (5) bila telah terjadi

gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai, dan (6)

penampilan pink puffer (timbulnya sesak napas tanpa disertai batuk dan produksi sputum

yang berarti) atau blue bloater (kondisi batuk produktif dan berulang kali mengalami

infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak

gangguan fungsi paru).

Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik, dimana penderita

gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral

dan perifer. Palpasi pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. Perkusi pada

emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar

terdorong ke bawah. Auskultasi meliputi (1) suara napas vesikuler normal atau melemah,

(2) terdapat ronki dan atau mengi(biasanya timbul pada eksaserbasi) pada waktu bernapas

biasa atau pada ekspirasi paksa, (3) ekspirasi memanjang, dan (4) bunyi jantung terdengar

jauh.

Dinyatakan PPOK secara klinis apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis

ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak

dengan sesak napas terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia

pertengahan atau lebih tua.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan rutin yang dilakukan pada penderita PPOK meliputi radiologi dan

faal paru yang menggunakan spirometri sebagai baku emas diagnosis PPOK.

Meskipun hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi

pemeriksaan radiologi rontgen toraks postero-anterior (PA) dan lateral ini berfungsi juga

untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis

banding dari keluhan penderita. Hasil radiologi PPOK meliputi bronkitis kronik dan

emfisema. Pada emfisema terlihat gambaran (1) hiperinflasi, (2) hiperlusen, (3) ruang

Page 7: PPOK REF.doc

7

retrosternal melebar atau tampak pelebaran pada diameter anteroposterior (AP) (4)

diafragma mendatar atau lurus, dan (5) jantung menggantung (jantung pendulum). Pada

bronkitis kronik terlihat gambaran (1) normal, dan (2) corakan bronkovaskular bertambah

pada 21% kasus.

Untuk penegakan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya asma

bronkial, tuberkulosis paru (TB), dan sindrom obstruktif pasca tuberkulosis (SOPT).

Pada pemeriksaan faal paru meliputi (1) uji spirometri, obstruksi ditentukan oleh

nilai Volume EkspirasiPaksa detik pertama (VEP1) prediksi (evaluasi nilai pasca

bronkodilator) dan atau VEP1 dibagi dengan KapasitasVital Paru (KVP) yaitu VEP1/KVP

dalam bentuk persen (%). Obstruksi jika nilai % VEP1 atau VEP1 prediksi kurang dari

80%.

Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) % merupakan parameter yang

paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap

nilai prediksi yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Apabila

spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, Arus Puncak Ekspirasi (APE)

meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau

variabilitas harian pagi dan sore (2) uji bronkodilator, dilakukan dengan menggunakan

spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi

sebanyak 8 hisapan, 15 – 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE.

Pada PPOK, perubahan nilai VEP1 atau APE kurang dari 20% dan kurang dari 200 ml

dari nilai awal. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Nilai VEP1 pasca

bronkodilator kurang dari 80% prediksi serta nilai VEP1/KVPkurang dari 0,70

memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.

Dan untuk pemeriksaan penunjang pada eksaserbasi akut di lakukan juga

pemeriksaan analisis gas darah. Pemeriksaan yang dilakukan jika mendapatkan hasil

PaO2 < 8,0 kPa (60mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa

( 50mmhg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.

Page 8: PPOK REF.doc

8

Kemudian jika PaO2 < 6,7 kPa (50mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70mmHg) dan

pH < 7,30 kPa, memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilakukan

monitor ketat serta penanganan intensif.

Diagnosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh

keterbatasan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat

progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang

beracun atau berbahaya, disertai efek ekstrapulmonal yang berkontribusi terhadap derajat

berat penyakit.

PPOK terdiri dari Bronchitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya.

Bronchitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mucus berlebihan kedalam

cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada

hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut.

Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-paru yang dikarakterisir oleh pembesaran

rongga udara bagian distal sampai keujung bronkiole yang abnormal dan permanent,

disertai dengan kerusakan dinding alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua

gangguan ini, dengan salah satunya dominan.

Diagnosis PPOK dapat dipertimbangkan berdasarkan dari anamnesis (meliputi

sesak napas, batuk kronik atau batuk kronik berdahak, dan riwayat pajanan terhadap

faktor risiko PPOK), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (rontgen toraks dan

spirometri). Pada penderita PPOK dipertimbangkan dengan melihat indikator seperti pada

tabel 2.1.

Page 9: PPOK REF.doc

9

Tabel 2.1 Pertimbangan indikator kunci untuk diagnosis PPOK

Gejala Keterangan

Sesak napas Progresif (sesak bertambah berat atau memburuk seiring

berjalannya waktu).

Bertambah berat dengan aktivitas.

Persisten (menetap sepanjang hari).

Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak produktif.

Batuk kronik

berdahak

Setiap batuk kronik berdahak dapat mengidikasikan

PPOK

Riwayat terpajan

faktor risiko

Asap rokok.

Asap dapur dan bahan bakar pemanas.

Bahan kimia dan debu di tempat kerja.

Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1990 PPOK menempati

urutan keenam sebagai penyebab kematian di dunia, tahun 2002 PPOK menempati urutan

kelima sebagai penyebab kematian di dunia, dan WHO memprediksi tahun 2030 PPOK

akan menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian di dunia. Prevalensi dari

PPOK meningkat, tahun 1994 kira-kira 16,2 juta laki-laki dan perempuan menderita

PPOK di Amerika dan lebih dari 52 juta individu di dunia.

Berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen

Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES) tahun 1986 asma, bronkitis kronik dan

Page 10: PPOK REF.doc

10

emfisema menduduki peringkat kelima sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10

penyebab kesakitan utama. SKRT DEPKES 1992 menunjukkan angka kematian karena

asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat keenam dari 10 penyebab

tersering kematian di Indonesia. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013

menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%.

Faktor Resiko

Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling sering ditemui untuk COPD adalah

merokok. Luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan udara polusi , terakhir yang

dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa - yang utama faktor risiko PPOK

lainnya. Bukan perokok aktif juga dapat terjadi PPOK.

Faktor risiko genetik yang paling berperan adalah defisiensi herediter parah

alpha-1 antitrypsin. Ini merupakan bentuk untuk faktor risiko genetik lainnya

memberikan kontribusi pemikiran pada PPOK.

Risiko PPOK berhubungan dengan total beban partikel yang terhirup seseorang

selama hidupnya:

1. Asap tembakau

Asap tembakau, termasuk rokok, pipa, cerutu, dan jenis-jenis soking tembakau

populer di banyak negara, serta asap tembakau lingkungan. Penyebab utama terjadinya

PPOK adalah merokok (termasuk bekas perokok atau perokok pasif), yang secara

keseluruhan merokok bertanggung jawab atas 90% risiko terjadinya PPOK. Menurut

WHO pada tahun 2005, 5,4 juta orang meninggal akibat penggunaan tembakau.

Kematian akibat merokok diperkirakan akan meningkat menjadi 8,3 juta kematian per

tahun pada tahun 2030. Studi yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004,

dan sebuah studi tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK

tinggi pada perokok aktif dan mantan perokok daripada bukan perokok.

Page 11: PPOK REF.doc

11

2. Polusi udara

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) misalnya asap rokok,

asap kompor, briket batubara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan serbuk

gergaji merupakan penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan.1-3 Faktor risiko terpenting

terjadinya PPOK pada perempuan terutama di negara berkembang adalah dari bahan

bakar biomassa dengan memasak dalam ruangan dan pemanas ruangan dengan ventilasi

kurang baik. Dalam komunitas tersebut, polusi di dalam ruangan memberikan risiko lebih

besar terjadinya PPOK dibandingkan dengan polusi di luar ruangan.

Polusi di luar ruangan (outdoor) misalnya gas buang industri, gas buang

kendaraan di tempat kerja (bahan kimia, debu atau zat iritasi, dan gas beracun), dan debu

jalanan. Mekanisme polusi di luar ruangan (outdoor pollution) misalnya polutan di

atmosfer dalam waktu lama sebagai penyebab PPOK masih belum jelas tetapi lebih kecil

prevalensinya dibandingkan dengan asap rokok.1-3 Status sosioekonomi merupakan faktor

risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak

adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan

sosioekonomi. Selain itu polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan

gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara juga dapat

meningkatkan kejadian asma bronkial dalam masyarakat. Zat yang paling banyak

pengaruhnya terhadap saluran pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida, nitrogen

dioksida dan ozon. Ketiga zat tersebut dapat menurunkan faal paru.

3. Genetik

Genetik juga termasuk faktor risiko dari PPOK, mengingat PPOK adalah

penyakit poligenik disertai interaksi lingkungan dan genetik yang sederhana. Defisiensi

α-1 antitripsin yang merupakan protease serine inhibitor telah paling lama diteliti sebagai

faktor risiko genetik terbesar PPOK. Sifat resesif jarang, paling sering dijumpai pada

individu di Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emfisema

Page 12: PPOK REF.doc

12

panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan

perokok dengan defisiensi α-1 antitripsin yang berat.

Contoh defisiensi α-1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada

perokok maupun bukan perokok, tetapi memang diperberat karena paparan asap rokok itu

sendiri. Hanya defisiensi α-1 antitripsinyang diketahui sebagai faktor risiko genetik pada

perkembangan PPOK dan bertanggung jawab kurang dari 1% dari semua kasus di

Amerika Serikat. Defisiensi α-1 antitripsin yang berat dapat menyebabkan emfisema dini

pada usia rata-rata 53 tahun untuk tidak perokok dan 40 tahun untuk perokok. Meskipun

defisiensi α-1 antitripsin hanya terjadi sebagian kecil di dunia, tidak dapat dipungkiri hal

ini menggambarkan interaksi antara gen dan pajanan lingkungan menyebabkan PPOK.

Faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK. Telah diteliti risiko

obstruksi aliran udara secara genetik pada perokok yang mempunyai keluarga dengan

PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerentanan PPOK salah satunya

dipengaruhi oleh faktor genetik. Penderita dengan defisiensi α-1 antitripsin mengalami

sesak napas 20 sampai 30 tahun lebih awal (pada usia 30 sampai 45 tahun) dibandingkan

perokok dengan emfisema dan tingkat α-1 antitripsin normal.

4. Infeksi Pernapasan

Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru

dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang

dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada

anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor

risiko pada PPOK. Dampak dari penyakit pernapasan pada masa anak-anak pada

perkembangan selanjutnya dari PPOK telah sulit untuk dinilai karena kurangnya data

longitudinal yang memadai. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan

infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK. Baik infeksi virus dan bakteri

memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK.

Kolonisasi bakteri misalnya rhinovirus pada saluran napas berhubungan dengan

peradangan saluran napas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi PPOK.

Proses kolonisasi virus tersebut diduga dipermudah oleh paparan asap rokok yang ada,

khususnya pada saluran napas yang lebih kecil. Meskipun infeksi pernapasan adalah

Page 13: PPOK REF.doc

13

penyebab penting dari eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi pernapasan baik antara usia

anak-anak dan dewasa untuk perkembangan dan progresivitas PPOK masih harus

dibuktikan.

5. Usia

Studi yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004, dan sebuah studi

tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK tinggi pada usia

individu lebih dari 40 tahun daripada mereka yang di bawah 40. Latin American Project

for the Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) meneliti prevalensi

keterbatasan aliran udara setelah pemberian bronkodilator di antara individu di atas usia

40 di lima kota penting Amerika Latin, masing-masing di negara yang berbeda (Brazil,

Chili, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela). Pada masing-masing negara tersebut di atas,

prevalensi PPOK meningkat secara tajam dengan bertambahnya usia, dengan prevalensi

tertinggi di antara mereka di atas usia 60, mulai dari total populasi dari yang rendah 7,8%

di kota Meksiko, Meksiko sampai yang tertinggi 19,7% di Montevideo, Uruguay.

Kelompok usia sangat penting karena prevalensi PPOK pada individu di bawah usia 45

tahun rendah, sedangkan prevalensi tertinggi pada individu di atas usia 65 tahun.

6. Jenis Kelamin

Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi

karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara maju dan

risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan

bakar yang digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara miskin,

penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir sama. Berdasarkan

hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah PPOK lebih tinggi pada

laki-laki dibanding perempuan, dengan total sampel 1 juta jiwa.

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru-paru selama kehamilan

dan masa kanak-kanak (berat badan lahir rendah, infeksi pernapasan, dll) memiliki

potentional meningkatkan risiko individu mengembangkan PPOK.

Page 14: PPOK REF.doc

14

Patogenesis

Paparan asap rokok dan partikel berbahaya lain misalnya asap dari bahan bakar

biomassa dapat mempengaruhi saluran udara pernapasan besar, saluran udara pernapasan

kecil (diameter ≤ 2 mm), dan ruang alveolus yang menyebabkan inflamasi paru.

Perubahan pada saluran udara pernapasan besar menyebabkan batuk dan dahak,

sedangkan perubahan pada saluran udara pernapasan kecil dan alveolus bertanggung

jawab terhadap perubahan fisiologis. Patologi dari emfisema dan saluran udara

pernapasan kecil sebagian besar terdapat pada seseorang dengan PPOK, dan kontribusi

obstruksinya relatif bervariasi dari satu individu dengan yang lainnya.Perubahan

patologis yang meliputi peradangan kronik dengan peningkatan jumlah jenis sel inflamasi

tertentu di berbagai bagian paru, dan perubahan struktural yang disebabkan dari cedera

berulang dan perbaikan.

Tempat utama peningkatan resistensi pada sebagian besar individu dengan PPOK

adalah di saluran pernapasan kecil, yaitu diameter kurang dari atau sama dengan 2 mm.

Perubahan karakteristik seluler meliputi metaplasia dari sel goblet, dengan sel-sel

penghasil mukus mengganti sel clara yang mensekresi surfaktan, sel-sel silia mengalami

atrofi dan sel-sel mukus menjadi hipertrofi. Kelainan ini menyebabkan penyempitan

lumen olehfibrosis, mukus yang berlebihan, edema, dan infiltrasi seluler. Berkurangnya

surfaktan dapat meningkatkan tekanan pada permukaan penghubung jaringan udara,

predisposisi penyempitan saluran pernapasan atau kolaps. Bronkiolitis respiratorius

menampilkan proses inflamasi sel mononuklear, oklusi lumen oleh sumbatan mukus,

metaplasia sel goblet, hiperplasia otot polos, dan distorsi karena fibrosis. Perubahan ini

menyebabkan keterbatasan aliran udara dengan memungkinkan rusaknya dinding saluran

napas dan lumen jalan napas menjadi sempit.

Pada jaringan parenkim paru, emfisema ditandai dengan destruksi dari

pertukaran gas rongga udara yaitu bronkioli respiratorius, duktus alveolus, dan alveolus.

Dindingnya menjadi berlubang kemudian dilenyapkan dengan penggabungan rongga

udara kecil yang tidak normal dan rongga udara yang jauh lebih besar.

Page 15: PPOK REF.doc

15

Makrofag terakumulasi di dalam bronkioli respiratorius terutama pada perokok

usia muda. CairanBronchoalveolar Lavage (BAL) dari individu tersebut mengandung

sekitar 5 kali lebih banyak makrofag dari BALbukan perokok. Pada BAL perokok,

makrofag meliputi 95% dari jumlah sel total dan netrofil, sedangkan pada BAL pada

tidak perokok hampir tidak ada. Sel T limfosit khususnya CD8+ juga meningkat di

dalam ruang alveolus perokok.

Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan

neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan

berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru.

Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada penderita

PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik), memperkuat proses

inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menyebabkan perubahan struktural atau faktor

pertumbuhan.

Stres oksidatif menjadi mekanisme penting dalam memperkuat PPOK. Biomarker

stres oksidatif (misal peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat dalam sputum,

kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada penderita PPOK. Stres oksidatif

lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan asap rokok dan partikel

inhalasi lain yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi (makrofag dan netrofil) diaktifkan.

Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada penderita PPOK. Stres oksidatif

memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan paru, termasuk aktivasi gen inflamasi,

inaktivasi antiprotease, stimulasi sekresi mukus, dan stimulasi eksudasi plasma

meningkat.

Inflamasi pada saluran pernapasan besar penderita PPOK diperkuat dengan iritasi

kronik misalnya asap rokok, mekanisme ini sering dibicarakan pada bronkitis kronik.

Sedangkan pada emfisema paru terjadi ketidakseimbangan pada protease dan

antiprotease, dan defisiensi α1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses

inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-

mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran napas dan

parenkim paru.

Page 16: PPOK REF.doc

16

Keterbatasan aliran udara dan air trapping disebabkan peradangan, fibrosis, dan

luminal eksudat di saluran pernapasan kecil berhubungan dengan pengurangan VEP1 dan

rasio VEP1/FVC, dan kemungkinan dipercepat oleh penurunan VEP1 yang merupakan

karakteristik PPOK.

Udara semakin terperangkap pada saluran pernapasan perifer yang menyebabkan

obstruksi selama ekspirasi. Selanjutnya akan menyebabkan alveolus menjadi rusak ketika

penyakit terjadi semakin parah. Hiperinflasi menurunkan kapasitas inspirasi yang

meningkatkan kapasitas residu fungsional, khususnya selama latihan (hiperinflasi

dinamis) yang menyebabkan dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi

berkembang lebih awal pada penyakit diketahui sebagai mekanisme utama untuk

penyebab dyspnea.

Hipersekresi mukus ditemukan pada batuk kronik produktif, yang merupakan

karakteristik dari bronkitis kronik dan tidak terkait dengan keterbatasan aliran udara.

Sebaliknya, tidak semua penderita dengan PPOK memiliki hipersekresi mukus, hal ini

terjadi karena metaplasia mukosa dengan meningkatkan jumlah sel goblet dan

pembesaran kelenjar submukosa sebagai respons dari iritasi saluran napas oleh asap

rokok dan zat berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang

hipersekresi mukus dan mengaktivasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR).

Klasifikasi PPOK

Klasifikasi PPOK berdasarkan dari manifestasi klinis dan hasil uji faal paru yaitu

PPOK derajat I ringan, PPOK derajat II sedang, PPOK derajat III berat, dan PPOK

derajat IV sangat berat, seperti terlihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK

Derajat Klinis Faal Paru

Gejala klinis (batuk, produksi

sputum)

Normal

Derajat I : Gejala batuk kronik dan produksi VEP1 / KVP < 70%.

Page 17: PPOK REF.doc

17

PPOK

Ringan

sputum ada tetapi tidak sering. Pada

derajat ini penderita sering tidak

menyadari bahwa faal paru mulai

menurun

VEP1 ³ 80% prediksi

Derajat II :

PPOK

Sedang

Gejala sesak mulai dirasakan saat

aktivitas dan kadang ditemukan

gejala batuk dan produksi sputum.

Pada derajat ini biasanya penderita

mulai memeriksakan kesehatannya

VEP1 / KVP < 70%

50% < VEP1 < 80%

prediksi

Derajat III :

PPOK Berat

Gejala sesak lebih berat, penurunan

aktivitas, rasa lelah dan serangan

eksaserbasi semakin sering dan

berdampak pada kualitas hidup

penderita

VEP1 / KVP < 70%

30% < VEP1 < 50%

prediksi

Derajat IV :

Sangat Berat

Gejala di atas ditambah tanda-tanda

gagal napas atau gagal jantung

kanan dan ketergantungan oksigen.

Pada derajat ini kualitas hidup

penderita memburuk dan jika

eksaserbasi dapat mengancam jiwa

VEP1 / KVP < 70%

VEP1 < 30% prediksi

atau VEP1< 50% prediksi

disertai gagal napas

kronik

Diagnosis Banding

1. PPOK

a. Onset usia pertengahan

b. Gejala progresif lambat

c. Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)

Page 18: PPOK REF.doc

18

d. Sesak saat aktifitas

e. Hambatan aliran udara ireversibel

2. Asma

a. Onset usia dini

b. Gejala bervariasi dari hari ke hari

c. Gejala pada waktu malam lebih menonjol

d. Dapat diketemukan alergi, rhinitis dan eksim

e. Riwayat asma dalam keluarga

f. Hambatan aliran udaranya reversibel

3. Gagal Jantung Kongestif

a. Riwayat hipertensi

b. Rankhi basah halus di basal paru

c. Gambaran foto torak tampak pembesaran jantung dan oedema

d. Pemeriksaan faal paru restriktif. (PPOK Obstruktif)

4. Tuberkulosis

a. Onset semua usia

b. Gambaran foto torak infiltrat

c. Konfirmasi pemeriksaan mikrobiologi (BTA)

Page 19: PPOK REF.doc

19

5. Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)

a. Riwayat terapi TB adekuat

b. Gambaran foto torak fibrosis dan kalsifikasi minimal

c. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruktif yang tidak reversibel

Penatalaksanaan

Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada derajat

keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging berdasarkan

spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada implementasi praktis dan

harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi umum untuk dilakukan

pengobatan.

Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala,

mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi kesehatan dan

meningkatkan toleransi olah raga.

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :

1. Mencegah progresivitas penyakit

2. Mengurangi gejala

3. Meningkatkan toleransi latihan

4. Mencegah dan mengobati komplikasi

5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat

7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Page 20: PPOK REF.doc

20

8. Meningkatkan kualitas hidup penderita

9. Menurunkan angka kematian

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga

penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)

penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

Medikamentosa

Penatalaksana PPOK stabil

Penatalaksana PPOK eksaserbasi

Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah, dalam

perjalanan penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan dispnea, batuk, dan atau

produksi sputum yang jauh dari normal.

Gejala eksaserbasi akut :

Batuk bertambah

Produksi sputum bertambah

Page 21: PPOK REF.doc

21

Sputum berubah warna

Sesak napas bertambah

Keterbatasan aktifitas bertambah

Penurunan kesadaran

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan

inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat

diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long

acting ).

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga

mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

- Golongan agonis beta – 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan

dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya

digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan

untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka

panjang.

Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2

Page 22: PPOK REF.doc

22

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena

keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.

Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah

penderita.

- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,

terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk

mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi

eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,

berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau

prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji

kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >

20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I : amoksisilin

makrolid

- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat

Sefalosporin

Kuinolon

Page 23: PPOK REF.doc

23

Makrolid baru

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -

asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak

dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan

eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi

eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian

rutin.

f. Antitusif

Diberikan dengan hati – hati

Page 24: PPOK REF.doc

24

Tabel 2.3. Penatalaksanaan PPOK

Page 25: PPOK REF.doc

25

Non Medikamentosa

a. Menghentikan kebiasaan merokok

b. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas

akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat

dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU

atau di rumah.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

Ventilasi mekanik dengan intubasi, Ventilasi mekanik dengan intubasi Pasien

PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit

bila ditemukan keadaan sebagai berikut : gagal napas yang pertama kali,

Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat

diperbaiki, Frekuensi napas > 35 permenit,- Hipoksemia yang mengancam jiwa

(Pao2 < 40 mmHg), asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg),

Henti napas,komplikasi kardiovaskuler dan komplikasi lain serta telah gagal

dalam penggunaan NIPPV.

Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada PPOK dengan gagal napas

kronik dan dapat digunakan selama di rumah.

c. Perbaikan nutrisi

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan

mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan

CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara

kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan

secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi

yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat, protein, dan elektrolit.

d. Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki

kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi

adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai simptom

Page 26: PPOK REF.doc

26

pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan kualiti hidup yang

menurun. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial

dan latihan pernapasan.

e.Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting

untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot

maupun organ - organ lainnya.

Manfaat oksigen :

- Mengurangi sesak

- Memperbaiki aktiviti

- Mengurangi hipertensi pulmonal

- Mengurangi vasokonstriksi

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi

- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,

perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep

apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang

Page 27: PPOK REF.doc

27

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi

oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal

napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut

di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita

PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama

bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen

dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah

hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti

bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai

parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus

mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK

stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah

penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan

keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan

asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat

adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Page 28: PPOK REF.doc

28

Tujuan edukasi pada pasien PPOK:

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktiviti optimal

4. Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara

berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.

Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun

di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik

konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi

yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan

semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola

hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan

dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat

pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK

2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

3. Cara pencegahan perburukan penyakit

4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan

skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut:

1. Berhenti merokok

Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK

ditegakkan

2. Pengunaan obat - obatan

- Macam obat dan jenisnya

- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)

- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau

perlu saja)

Page 29: PPOK REF.doc

29

- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

- Kapan oksigen harus digunakan

- Berapa dosisnya

- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke

pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya

diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali

pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

1. Ringan

- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain

berhenti merokok

- Segera berobat bila timbul gejala

2. Sedang

- Menggunakan obat dengan tepat

- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

- Program latihan fisik dan pernapasan

Page 30: PPOK REF.doc

30

3. Berat

- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

- Penggunaan oksigen di rumah

Komplikasi PPOK

Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif

dan tidak sepenuhnya reversibel misalnya (1) gagal napas kronik dan gagal napas akut

pada gagal napas kronik. Gagal napas kronik hasil analisis gas darah Po2 kurang dari 60

mmHg dan Pco2 lebih dari 60 mmHg, dan pH normal. Gagal napas akut pada gagal napas

kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan

purulen, demam, dan kesadaran menurun (2) infeksi berulang, pada penderita PPOK

produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini

memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih

rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah, dan (3) kor pulmonal, yang

ditandai oleh gelombang P pada EKG, hematokrit lebih dari 50%, dapat disertai gagal

jantung kanan.

Page 31: PPOK REF.doc

31

BAB III

KESIMPULAN

PPOK merupakan penyakit paru yang progresif yang ditandai dengan obstruksi

oleh respon inflamasi terhadap partikel asing/gas berbahaya. Gejala klinis PPPOK hampir

sama dengan penyakit paru lainnya, namun dapat dibedakan dari onset dan faktor resiko.

Dengan pemberian terapi yang baik diharapkan pasien memiliki prognosis yang baik.

Namun tanpa adanya penatalaksanaan yang baik, dapat menimbulkan komplikasi.

Untuk mengurangi angka prevalensi yang semakin meningkat maka perlu

ditindaklanjukan dengan cara menghindari faktor resiko. Serta dilakukannya edukasi

pada pasien yang memiliki faktor resiko tinggi maupun pasien yang sudah memiliki

penyakit paru obstruktif kronik.

Page 32: PPOK REF.doc

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for

the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary

Disease. GOLD. USA. 2014.

2. Antariksa B, Sitompul ANL, Ginting AK, Hasan A, Tanuwihardja BY, Drastyawan

B, et al. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis dan Penatalaksanaan. Revisi

pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011. hal.1-86.

3. Buku ajar ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

2006

4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK. Pedoman Praktis Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia, Revisi Juni 2004

5. Rasional Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan Indonesia

Volume 4, Nomor 2 September 2006 ISSN 1411 – 8742 dan Volume 4, Nomor 3

Desember 2006 ISSN 1411 – 8742

6. Managemen Komprehensif Penyakit Paru Obstruktif Kronis, SIMPOSIA - Majalah

Farmacia Edisi Desember 2007 , Halaman: 58

7. Thamtono, Y. Hubungan Nilai Spirometri dengan Learn Body Mass Index Pada

Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di RS Tembakau Deli Medan.

Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.

8. American Lung Association. Trends in COPD (Chronic Bronchitis and Emphysema):

Morbidity and Mortality. ALA. Chicago: 2013.