ppok jadi

68
BAB I PENDAHULUAN Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non- communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi diantara orang dewasa adalah penyakit kardiovaskuler (DepKes RI, 1997 dan 2000). Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Kecenderungan perubahan ini menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai 1

Upload: jo-parfait-ii

Post on 06-Sep-2015

264 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

ijllkk

TRANSCRIPT

I

BAB I

PENDAHULUAN

Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi diantara orang dewasa adalah penyakit kardiovaskuler (DepKes RI, 1997 dan 2000). Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Kecenderungan perubahan ini menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan.Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Di Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 32 juta US $ dalam setahun untuk menanggulangi penyakit ini, dengan jumlah penderita sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (DepKes RI, 2004).Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif (BPS, 2001). Jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20-25%. Hubungan antara rokok dengan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.Seiring dengan majunya tingkat perekonomian dan industri otomotif, jumlah kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Selain mobil-mobil baru, mobil tua yang mengeluarkan gas buang yang banyak dan pekat, banyak beroperasi di jalanan. Gas buang dari kendaraan tersebut menimbulkan polusi udara. 70-80% pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri 20-30%. Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko terhadap Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), maka diduga jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat.BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel / reversibel sebagian. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya.

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologik. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas.

Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Onset (awal terjadinya penyakit), biasanya pada usia pertengahan.

2. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat. Gejala klinis utama PPOK adalah sesak napas, batuk, produksi sputum dan keterbatasan aktivitas.3. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja).4. Sesak pada saat melakukan aktivitas.5. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).B. Epidemiologi

PPOK merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10% penduduk usia 40 tahun ke atas. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Merupakan penyebab kematian yang keempat dan menjangkit lebih dari 16 juta orang di Amerika Serikat. Angka kematian PPOK naik seiring dengan peningkatan usia, dan pada tahun 1998, angka untuk pria dan wanita relatif seimbang, dengan total 112.584 orang meninggal. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).C. Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan atau yang mempengaruhi / menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari pada faktor penyebab lainnya. Termasuk diantaranya faktor-faktor risiko lain, diantaranya : polusi di dalam ruangan (asap rokok, asap kompor), polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan), polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun), infeksi saluran napas bawah berulang, defisiensi antitripsin alfa-1 (umumnya jarang terdapat di Indonesia).

1. GenetikFaktor risiko genetik yang utama adalah defisiensi alfa-1 antitripsin herediter yang berat, yaitu suatu serin protease inhibitor yang paling banyak di sirkulasi. Kelainan genetik ini diturunkan secara resesif dan jarang terjadi, paling sering ditemukan pada orang-orang Eropa Utara. 2. Pajanan Inhalasi

Gambar 2.1. Partikel Inhalasi Faktor Risiko PPOKa. Asap rokok

Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Index Brigman, yaitu jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (dalam tahun). Adapun hasil perkaliannya diinterpretasikan sebagai berikut : Ringan : 0 - 200

Sedang : 200 600

Berat : > 600

Semakin berat derajatnya semakin tinggi terkena penyakit ini. Misalnya bronkitis kronik 10 bungkus tahun artinya jika seseorang itu merokok sehari sebungkus, dia menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok. Kanker paru minimal 20 bungkus tahun artinya jika sehari mengkonsumsi sebungkus rokok berarti setelah 20 tahun merokok ia bisa terkena kanker paru.Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia, dengan 31,5% prevalensi merokok, 80% diantaranya mengkonsumsi rokok kretek, dan lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Pada tahun 2002, jumlah rokok yang dihisap penduduk Indonesia mencapai lebih 200 miliar batang.Lebih dari 43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan perokok dan terpajan pada asap tembakau pasif atau asap tembakau lingkungan (ARL). The Jakarta Global Youth Survey melaporkan bahwa 89% dari anak-anak sekolah yang disurvei terpajan ARL di tempat-tempat umum. Anak-anak yang terpapar pada asap tembakau mengalami pertumbuhan paru yang lambat, lebih mudah terkena bronkitis dan infeksi saluran napas dan telinga serta asma. Kesehatan yang buruk di usia dini mungkin akan menyebabkan kesehatan yang buruk pula di saat dewasa. Hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, menunjukkan bahwa :

Sebanyak 54,5% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,2% perempuan yang merokok.

Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.

Usia mulai merokok pada usia 20 tahun meningkat menjadi 68,5%, dibandingkan hasil SUSENAS tahun 1995 sebanyak 60,0%.

Peningkatan usia muda yang merokok, pada kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 84,0%, sedangkan pada kelompok umur 25-29 tahun sebanyak 75%.Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya disebut asap rokok utama (main stream smoke), sedangkan asap yang berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan (side stream smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok utama yang dihembuskan lagi oleh perokok dan asap rokok sampingan disebut asap rokok lingkungan (ARL) atau Environmental Tobacco Smoke (ETS).Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata lebih tinggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak bahan kimia. Oleh karena itu ARL berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada kadar pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari aseton (bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane (bahan bakar ringan), kadmium (aki kendaraan), karbonmonoksida (asap knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), mathanol (bensin roket), naftalen (kamper), toluene (pelarut industri), dan vinil klorida (plastik).Merokok selama hamil juga merupakan risiko pada fetus, dengan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru in utero dan mungkin mempengaruhi sistem imun utama.b. Polusi tempat kerja

Pajanan tempat kerja meliputi zat iritasi / debu organik dan anorganik, bahan kimia, dan gas beracun. Pernyataan yang dikeluarkan oleh American Thoracic Society yaitu pajanan tempat kerja diperkirakan sebesar 10-20% menyebabkan gejala dan gangguan fungsional yang sesuai dengan PPOK.c. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (seperti : asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan lain-lain) dan polusi di luar ruangan (seperti : gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain).

Pajanan yang terus-menerus oleh gas dan bahan kimia hasil industri merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor pollution) masih belum jelas tetapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Sedangkan polusi dalam ruangan (indoor pollution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. 3. Jenis KelaminStudi dari negara-negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sekarang hampir sama antara pria dan wanita, ini mungkin hasil dari perubahan pola merokok. Beberapa studi mengatakan bahwa wanita lebih rentan terhadap efek asap rokok daripada pria. 4. InfeksiRiwayat infeksi pernapasan yang berat semasa anak-anak berhubungan dengan penurunan faal paru dan peningkatan gangguan pernapasan pada saat dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hiperesponsif jalan napas dan infeksi virus. Akan tetapi, kerentanan terhadap infeksi virus berhubungan dengan faktor lain, seperti berat badan lahir, yang dengan sendirinya berhubungan dengan PPOK.5. Status sosio-ekonomiAda bukti bahwa risiko berkembangnya PPOK berbanding terbalik dengan status sosio-ekonomi. Hal ini belum jelas, akan tetapi, bagaimanapun pola ini merupakan hasil dari pajanan polutan udara di dalam dan di luar ruangan, kepadatan, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tangga, gizi buruk, atau faktor lain yang berhubungan dengan status sosio-ekonomi rendah. D. Patologi, Patogenesis, dan Patofisiologi1. Patologi

Perubahan patologik yang merupakan karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah pulmonal. Perubahan patologik ini mencakup inflamasi kronik, dengan peningkatan jumlah tipe sel inflamasi spesifik pada bagian yang berbeda di paru, dan perubahan struktural hasil dari cedera berulang dan mekanisme perbaikan. Pada umumnya, inflamasi dan perubahan struktural pada saluran napas meningkat seiring dengan derajat keparahan penyakit dan pajanan asap rokok.

Gambar 2.2. Alveolus Sehat dan Alveolus yang Sakit Akibat PPOK

2. Patogenesis

Inflamasi pada saluran napas penderita PPOK muncul sebagai amplifikasi (pengerasan) respon inflamasi normal saluran napas terhadap iritan kronik seperti asap rokok. Mekanisme amplifikasi ini belum dimengerti tetapi mungkin ditentukan secara genetik. Beberapa pasien mengembangkan PPOK tanpa merokok, tetapi secara alamiah respon inflamasi pada pasien-pasien ini tidak diketahui. Inflamasi paru lebih lanjut diamplifikasi oleh stres oksidatif dan berlebihnya kadar proteinase di paru. Bersama, mekanisme ini memicu karakteristik perubahan patologik pada PPOK.

Gambar 2.3. Patogenesis PPOK3. Patofisiologi

Sekarang telah dimengerti dengan baik bagaimana proses penyakit yang mendasari PPOK memicu abnormalitas karakteristik fisiologik dan gejala PPOK. Sebagai contoh, penurunan VEP1 terutama diakibatkan oleh inflamasi dan penyempitan saluran napas, sementara penurunan transfer gas akibat dari destruksi parenkim pada emfisema. Meluasnya inflamasi, fibrosis, dan eksudat luminal pada saluran napas kecil dihubungkan dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP, dan mungkin dihubungkan dengan penurunan VEP1 yang cepat pada PPOK. Abnormalitas pertukaran gas menghasilkan hipoksemia dan hiperkapnia. Pada umumnya, transfer gas memburuk seiring dengan progresivitas penyakit. Hipertensi pulmonal ringan sampai sedang bisa berkembang dalam perjalanan penyakit PPOK, yang disebabkan oleh vasokonstriksi hipoksik arteri pulmonal kecil. Semakin diketahui bahwa PPOK memiliki beberapa gambaran sistemik, khususnya pada pasien dengan penyakit berat.Obstruksi jalan napas merupakan manifestasi yang paling menonjol dan paling sukar ditanggulangi oleh karena menunjukkan tingkat perjalanan penyakit yang lanjut, umumnya ireversibel progresif. Penekanan terapi terhadap obstruksi jalan napas merupakan masalah pengobatan yang terpenting, oleh karena itu perlu dipahami benar mekanisme obstruksi jalan napas pada penderita PPOK. Mekanisme tersebut adalah :a. Obstruksi sekret pada saluran-saluran napas akibat produksi sekret yang berlebihan disertai penebalan kelenjar-kelenjar mukus submukosa, secara potensial merupakan komponen yang reversibel dari obstruksi jalan napas.

b. Peradangan saluran napas.

Sekret yang purulen merupakan manifestasi yang jelas dari adanya radang saluran napas, perubahan sifat/warna sputum sangat penting untuk menilai adanya infeksi akut atau eksaserbasi, juga secara potensial reversibel.c. Kontraksi otot bronkus (bronkospasme).

Pada penderita bronkitis kronik sering terdapat penebalan otot polos bronkus walaupun tidak seperti pada asma.

d. Hilangnya daya lenting jaringan paru (elastic recoil) irreversibel.E. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (ngik-ngik), produksi sputum, dan keterbatasan aktivitas. Gejala kardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.

Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Pada penyakit yang moderat hingga berat, pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan lainnya, terutama karsinoma bronkogenik. Gambaran klinis sistemik PPOK dapat berupa penurunan berat badan, disfungsi otot-otot skelet dan kelainan sistemik yang bersifat potensial. Penurunan berat badan akibat adanya ketidaksesuaian intake kalori, oleh karena pada pasien PPOK terjadi peningkatan metabolisme basal. Peningkatan metabolisme basal ini akibat adanya inflamasi sistemik, hipoksia jaringan dan pemakaian obat-obatan pada pasien PPOK (misalnya beta-2 agonis).

Adanya disfungsi otot skelet dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dai pasien PPOK. Disfungsi ini terjadi akibat perubahan gaya hidup pasien PPOK (aktivitas fisik yang menurun karena pasien mudah sesak), kelainan nutrisi, hipoksia jaringan, apoptosis otot skelet, stres oksidatif, rokok, kepekaan individu, perubahan hormon, perubahan elektrolit, kelainan regulasi nitrit oksida, dan obat-obatan.

Gambaran sistemik dari PPOK antara lain dapat meningkatkan prevalensi depresi dan prevalensi osteoporosis. Osteoporosis dapat terjadi pada penderita PPOK karena adanya malnutrisi, perubahan pola hidup, prokok, terapi steroid dan inflamasi sistemik. F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Rutin

Pemeriksaan fungsi paru terdiri dari pemeriksaan spirometri dan uji bronkodilator. Pemeriksaan ini merupakan parameter yang paling umum digunakan untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Pemeriksaan darah rutin meliputi pemeriksaan Hb, Ht, dan leukosit. Pada pemeriksaan radiologi, foto dada dan lateral (samping) berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. 2. Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan khusus meliputi pemeriksaan fungsi paru, uji latih pulmoner, uji provokasi bronkus, uji coba kortikosteroid, analisis gas darah, CT scan resolusi tinggi, EKG, ekokardiografi, bakteriologi dan pemeriksaan kadar alfa-1 antitripsin.

G. Diagnosis dan Diagnosis Banding

1. DiagnosisIndikator diagnosis PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometer, dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan pemeriksaan spirometer akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, PPOK berat, dan PPOK sangat berat).

a. Diagnosis PPOK Klinis Ditegakkan apabila :1) Anamnesis Ada faktor risiko Usia pertengahan

Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)

Gejala

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.

Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.

Berdahak kronik

Kadang-kadang penderita menyatakan hanya berdahak terus-menerus tanpa disertai batuk.

Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas

Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.Tabel 2.1. Skala SesakSkala SesakKeluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

0Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat

2Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

4Sesak bila mandi atau berpakaian

2) Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, dimana sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut :

Inspeksi

Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong)

Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)

Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas

Pelebaran sela iga

Perkusi

Hipersonor

Auskultasi

Fremitus melemah

Suara napas vesikuler melemah atau normal

Ekspirasi memanjang

Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

Ronki

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis PPOK antara lain :

Radiologi (foto toraks)

Spirometer

Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik)

Analisis gas darah

Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)

Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :

Paru hiperinflasi atau hiperlusen

Diafragma mendatar

Corakan bronkovaskuler meningkat

Bulla

Jantung pendulum

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.

b. Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK

Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, PPOK dibagi atas 4 derajat: 1) Derajat I (PPOK Ringan)

Gejala klinis :

Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi sputum

Sesak napas : derajat sesak 0 sampai serajat sesak 1

Spirometri :

VEP1 ( 80% prediksi (normal spirometer) atau VEP1/KVP < 70%

2) Derajat II (PPOK Sedang) Gejala klinis :

Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi sputum

Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas)

Spirometri :

50% < VEP1 < 80% prediksi atau VEP1/KVP < 70%

3) Derajat III (PPOK Berat) Gejala klinis :

Dengan atau tanpa batuk dan produksi sputum

Sesak napas : derajat sesak 3

Berkurangnya kapasitas latihan dan kelelahan Eksaserbasi berulang

Spirometri :

30% < VEP1 < 50% prediksi atau VEP1/KVP < 70%

4) Derajat IV (PPOK Sangat Berat) Gejala klinis :

Sesak napas : derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik

Eksaserbasi lebih sering terjadi

Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

Spirometri :

VEP1/KVP < 70% atau VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50% prediksi disertai gagal napas kronik

Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah, dengan kriteria :

Hipoksemia dengan normokapnia, atau

Hipoksemia dengan hiperkapnia

2. Diagnosis Banding

Untuk penegakan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan adanya asma, gagal jantung kongestif, TB paru, dan sindrom obstruksi pasca TB paru.

Tabel 2.2. Diagnosis Banding PPOKDiagnosis Gambaran Klinis

PPOK Onset usia pertengahan Gejala progresif lambat

Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)

Sesak saat aktivitas

Hambatan aliran udara umumnya ireversibel

Asma Onset usia dini

Gejala bervariasi dari hari ke hari

Gejala pada waktu malam / dini hari lebih menonjol

Dapat ditemukan alergi, rinitis, dan atau eksim

Riwayat asma dalam keluarga

Hambatan aliran udara umumnya reversibel

Gagal Jantung Kongestif Riwayat hipertensi

Ronki basah halus di basal paru pada auskultasi

Gambaran foto toraks tampak pembesaran jantung dan edema paru

Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi

Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak

Sering berhubungan dengan infeksi bakteri

Ronki basah kasar pada auskultasi dan jari tabuh

Gambaran foto toraks tampak honeycomb appearance dan penebalan dinding bronkus

Tuberkulosis Onset semua usia

Gambaran foto toraks tampak infiltrat

Konfirmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam / BTA)

Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT) Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat

Gambaran foto toraks bekas TB : fibrosis dan kalsifikasi minimal

Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang tidak reversibel

Bronkiolitis Obliteratif Onset usia muda dan bukan perokok

Riwayat reumatoid artritis atau pajanan

Gambaran CT pada ekspirasi tampak area hipodens

Panbronkiolitis Difus Sebagian besar pasien adalah laki-laki dan bukan perokok Hampir semuanya memiliki riwayat sinusitis kronik

Gambaran foto toraks dan HRCT tampak bayangan putih (radioopaq) nodular sentrilobular kecil yang difus dan hiperinflasi

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma obstruksi pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial, dan gagal jantung kongestif dapat dilihat pada tabel berikut :Tabel 2.3. Perbedaan Klinis dan Hasil Pemeriksaan Spirometri pada PPOK, Asma, dan Gagal Jantung KongestifKategori PPOKAsmaGagal Jantung Kongestif

Onset usia> 45 tahunSegala usiaSegala usia

Riwayat keluargaTidak adaAda Tidak ada

Pola sesak napasTerus-menerus, bertambah berat dengan aktivitasHilang timbulTimbul pada waktu aktivitas

Ronki Kadang-kadang+++

Mengi Kadang-kadang+++

Vesikuler Melemah Normal Meningkat

Spirometer Obstruksi ++Restriksi +Obstruksi ++

Obstruksi +

Restriksi ++

Reversibilitas 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau non-invasif).Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :

Pengetahuan dasar tentang PPOK

Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya

Cara pencegahan perburukan penyakit

Menghindari pencetus (merokok)

Penyesuaian aktivitas2. Obat-obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran nafas), kecuali pada eksaserbasi digunakan bentuk oral atau sistemik. Nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting). Macam-macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik, golongan agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-2, dan golongan xantin.b. Anti inflamasi

Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (diminum) atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi. Pilihan utama adalah golongan metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Uji steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral selama 10 14 hari atau inhalasi selama 6 minggu 3 bulan menunjukkan perbaikan gejala klinis atau fungsi paru.Tabel 2.4. Formulasi Obat yang Sering Digunakan pada Pasien PPOK

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat. Antibiotik yang digunakan untuk lini pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua diberikan amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Pemakaian antioksidan yang direkomendasikan oleh Internasional dan nasional guideline adalah N-acetylcysteine (NAC). NAC selain sebagai agen mukolitik, juga berperan sebagai antioksidan dan anti-inflamasi, serta imunomodulator. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. NAC sebagai agen mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan/memecah jembatan disulfida dari makromolekul mukoprotein yang terdapat dalam sekresi bronkial, sehingga mukus menjadi lebih encer, serta bekerja dengan cara memperbaiki kerja silia saluran napas.

Dengan adanya kerja silia yang membaik ini, maka akan sedikit mukus yang melekat pada epitel dan menyebabkan penetrasi antibiotika ke dalam jaringan akan meningkat, dan hal ini akan mengurangi kolonisasi bakteri. Efek ini dikenal sebagai anti adherens bacteria dari NAC.

NAC sebagai antioksidan akan menjadi prekursor glutation (antioksidan) karena NAC mudah untuk berpenetrasi kedalam sel dan diasetilasi menjadi sistein. Sistein ini berperan terhadap sintesis glutation. Selain berperan secara tidak langsung sebagai antioksidan, peranan NAC secara langsung sebagai antioksidan adalah membawa gugus tiol (gugus SH) bebas yang dapat berinteraksi dengan gugus elektrofilik ROS.

Peranan NAC sebagai anti-inflamasi yaitu menghambat pelepasan sitokin pro-inflamasi, dan sebagai imunomodulator dengan cara meningkatkan fungsi sel-sel imunitas seperti limfosit dan makrofag terhadap radikal bebas dan bakteri atau benda asing.

Uji klinis NAC pada PPOK yang melibatkan 1392 pasien membuktikan bahwa pemberian NAC dapat mengurangi viskositas ekspektorasi, memudahkan ekspektorasi, dan mengurangi derajat keparahan batuk. Terapi lain yang saat ini sedang diteliti peranannya dalam PPOK adalah anti-TNF alpha (telah ditunjukan efektif pada penyakit inflamasi kronis seperti artritis reumatoid) dan penghambat iNOS.e. Mukolitik (pengencer dahak)

Tidak diberikan secara rutin. Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang lengket dan kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang.f. Antitusif Diberikan dengan hati-hati. Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam sel dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.Harus berdasarkan analisis gas darah, baik pada penggunaan jangka panjang atau eksaserbasi. Pemberian yang tidak hati-hati dapat menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) pada PPOK derajat IV dengan :

PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnia

PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau tanpa intubasi. Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik non-invasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.5. Operasi ParuBulektomi, bedah reduksi volume paru, dan tranplantasi paru merupakan opsi bedah yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan PPOK yang sangat berat. Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara maju). Rujukan kepada spesialis bedah thorax diindikasikan untuk menilai lebih lanjut kecocokan prosedur ini untuk pasien.6. Vaksinasi InfluenzaUntuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influenza dipertimbangkan diberikan pada :

Pasien usia di atas 60 tahun Pasien PPOK sedang, berat, dan sangat berat

7. Nutrisi Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperapnea menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.

8. Rehabilitasi

Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan. Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan kesulitan pernapasan lainnya), program yang komprehensif pada rehabilitasi pulmoner dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas hidup. Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.Tabel 2.5. Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOKDerajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan

Derajat I : PPOK Ringan VEP1 ( 80% prediksi (normal spirometer) atau VEP1/KVP < 70%

Dengan atau tanpa gejala Bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja singkat bila perlu) Pemberian anti kolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharan

Derajat II : PPOK Sedang 50% < VEP1 < 80% prediksi atau VEP1/KVP < 70%

Dengan atau tanpa gejala Pengobatan reguler dengan bronkodilator : Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharan + LABA + Simtomatik Rehabilitasi

Derajat III : PPOK Berat 30% < VEP1 < 50% prediksi atau VEP1/KVP < 70% Dengan atau tanpa gejala Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator :

Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharan + LABA + Simtomatik

Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respon klinis atau eksaserbasi berulang

Rehabilitasi

Derajat IV : PPOK Sangat Berat VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50% prediksi disertai gagal napas kronik atau VEP1/KVP < 70% Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator :

Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharan + LABA Pengobatan pada komplikasi Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respon klinis atau eksaserbasi berulang

Rehabilitasi Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas

Pertimbangkan terapi pembedahan

I. PrognosisPrognosis PPOK dubia, tergantung dari derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain. Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat. Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :

Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.

Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan meninggal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis masa hidup (survival) penderita PPOK :

1. Gangguan fungsional inisial, VEP1 sering dijadikan parameter untuk menilai prognosis, umumnya prognosis buruk, bila VEP1 mencapai 1,5 liter atau kurang, dengan survival kurang lebih 10 tahun, menjadi 4 tahun pada VEP1 0,1 liter dan 2 tahun pada VEP1 0,5 liter.2. Adanya cor pulmonale yang umumnya disertai dengan hipoksemia dan hiperkapnia.3. Kurang berat, lebih dari 20%. Penyebab kematian utama :1. Cor pulmonale (53%)

2. Gagal napas akut (sub akut 30%)

3. Aritmia jantungBAB IIIPENYAJIAN KASUS

I. ANAMNESIS

Identitas

Nama

: Tn. H

Jenis Kelamin: Laki laki

Umur

: 63 tahun

Alamat

: Parit Bugis, Segedong

Pekerjaan

: Sudah tidak bekerja

Nomor RM

: 479541Tanggal Masuk RS: 15 Desember 2008

Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 Desember 2008 pukul 06.45 WIB

Keluhan Utama

Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun dan sering kambuhan. Jika minum obat, sesak napas berkurang sementara, tetapi kemudian timbul lagi. Sesak napas terasa bertambah berat terutama ketika berbaring atau beraktivitas lama.

Pasien juga mengeluh sering batuk dengan dahak berwarna putih, kadang-kadang hijau. Keluhan ini juga dirasakan sudah bertahun-tahun dan muncul sewaktu-waktu, tetapi belum pernah mengeluarkan darah. Selain itu, pasien juga sering mengeluhkan demam yang hilang timbul, kadang berkeringat pada malam hari yang tidak biasa, dan nafsu makan berkurang.

Pasien pernah mendapatkan obat 6 bulan yang membuat kencing berwarna merah (OAT) 1 tahun yang lalu. Tetapi, pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 1 bulan karena pasien merasa tidak ada perbaikan.Pasien memiliki riwayat sakit maag dan menyangkal adanya sakit kencing manis. Pasien merokok sejak kecil kurang lebih 3-4 batang sehari. Mulai berhenti merokok sejak keluhan sesak napas dirasakan semakin berat.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah berobat ke UP4 karena sesak napas 1 tahun yang lalu. Pasien mendapatkan obat anti sesak. Setelah minum obat, keluhan sesak napas berkurang sementara, tetapi kemudian timbul lagi. Pasien kontrol sebanyak 3 kali. Karena merasa tidak ada perbaikan, pasien berhenti minum obat dan tidak pernah kontrol lagi.

Pasien pernah dirawat di RS Rubini, Mempawah selama 7 hari karena sesak napas dan batuk 1 tahun yang lalu. Dari RS, pasien mendapatkan obat 6 bulan yang membuat kencing berwarna merah (OAT). Tetapi, pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 1 bulan karena pasien merasa tidak ada perbaikan.

Pasien memiliki riwayat sakit maag. Riwayat sakit kencing manis disangkal.Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien sudah tidak bekerja lagi. Biaya pengobatan ditanggung oleh anak-anaknya.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 16 Desember 2008 pukul 07.00 WIBStatus Generalis

Keadaan umum : sedang

Keadaan sakit : tampak sakit sedang

Kesadaran

: kompos mentis, GCS : E4M6V5

Tanda vital

Nadi

: 92 x/menit, isi cukup dengan irama teratur Tekanan darah : 120/90 mmHg Napas

: 29 x/menit, teratur, kedalaman cukup, dengan jenis

pernapasan abdomino-torakal Suhu

: 36,5C, aksilarKulit

: warna kulit sawo matang, sianosis (-), dekubitus (-)

Kepala

: bentuk tidak ada kelainan, simetris, dan nyeri tekan (-)

Mata

: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Telinga

: sekret (-)

Hidung

: sekret (-), deviasi septum (-)

Mulut

: bibir sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1/T1

Leher

: pembesaran limfonodi (-), kaku kuduk (-), deviasi trakea (-),

pembesaran tiroid (-), bendungan JVP (-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : tidak ada pembesaran jantung

Auskultasi : bunyi jantung I/II normal, bising (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : bentuk normal, venektasi (-)

Palpasi : nyeri tekan (+) di regio epigastrium, hati tidak teraba, lien

tidak teraba

Perkusi : asites (-)

Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas

: oedema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), capillary refill < 2 detik

pada ekstremitas atas dan bawah, tremor (-) pada ekstremitas

atas

Status Lokalis

Torak

: bentuk normal, sela iga melebar

Paru

Inspeksi : statis : simeris

dinamis : gerakan paru simetris, tidak ada ketinggalan gerak

Palpasi : stem fremitus melemah, kanan = kiri di seluruh lapang paru

Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler melemah di kedua lapang paru, wheezing (+) di seluruh lapang paru, komponen ekspirasi memanjangIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (hasil pemeriksaan tanggal 16-12-2008)

Hb

: 15,4 g/dL

Ht

: 43,9 %

Leukosit: 10.400/L

Trombosit: 201.000 /L

LED

: sampel tidak cukup

Ureum: 65,3 mg/dL

Kreatinin: sampel tidak cukup

GDS

: 217 mg/dL

IV. RESUMEPasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun dan sering kambuhan. Jika minum obat, sesak napas berkurang sementara, tetapi kemudian timbul lagi. Pasien juga mengeluh sering batuk dengan dahak berwarna putih, kadang-kadang hijau. Keluhan ini juga dirasakan sudah bertahun-tahun dan muncul sewaktu-waktu, tetapi belum pernah mengeluarkan darah. Selain itu, pasien juga sering mengeluhkan demam yang hilang timbul, kadang berkeringat pada malam hari yang tidak biasa, dan nafsu makan berkurang. Pasien pernah mendapatkan obat 6 bulan yang membuat kencing berwarna merah (OAT) 1 tahun yang lalu. Tetapi, pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 1 bulan karena pasien merasa tidak ada perbaikan. Pasien merokok sejak kecil kurang lebih 3-4 batang sehari. Mulai berhenti merokok sejak keluhan sesak napas dirasakan semakin berat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pelebaran sela iga, perkusi hipersonor di seluruh lapang paru, dan auskultasi terdengar suara vesikuler yang melemah di kedua lapang paru, wheezing di seluruh lapang paru, dan komponen ekspirasi yang memanjang. Selain itu, nyeri (+) pada daerah epigastrium abdomen.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil peningkatan kadar ureum dan gula darah sewaktu (GDS).

V. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja: PPOK

Diagnosis banding: - TB paru

- Asma Bronkial

- Bronkiektasis

VI. TATALAKSANA

Non Medikamentosa :

Tirah baring

Terapi oksigen 3 L/menit Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml

Terapi nutrisi

Edukasi untuk berhenti merokok

Medikamentosa :

Combivent (Salbutamol + Ipratropium Bromida) nebulizer 3 x 1

Aminophilin drip 3 x 1 amp

Injeksi Dexamethasone 3 x 1 amp Injeksi Ceftriaxone 1 x 1 gr

Usulan Pemeriksaan Lanjutan :

Pemeriksaan kadar GDS

Pemeriksaan BTA (SPS)

Rntgen Thoraks PA Pemeriksaan spirometriVII. PROGNOSIS

Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad functionam: malam

Ad sanactionam: malam

CATATAN KEMAJUAN

Rabu, 17/12/08

S

: sesak napas agak berkurang, susah tidur

O: Keadaan umum tampak sakit ringan

Kesadaran kompos mentis, GCS 15

TD : 120/80 mmHg, FN : 80x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36,60 C

Pemeriksaan paru :

Inspeksi : statis : simeris

dinamis : gerakan paru simetris, tidak ada ketinggalan

gerak

Palpasi : stem fremitus melemah, kanan = kiri di seluruh lapang paru

Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler melemah di kedua lapang paru, wheezing (+) di seluruh lapang paru

Hasil pemeriksaan laboratorium : GDS = 153 mg/dL

A: PPOK, DD : suspect TB paruP: - Terapi oksigen 3 L/menit

Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml

Combivent (Salbutamol + Ipratropium Bromida) nebulizer 3 x 1

Aminophilin drip 3 x 1 amp

Injeksi Dexamethasone 3 x 1 amp Injeksi Ceftriakson 1 x 1 g Pemeriksaan BTA IKamis, 18/12/08

S

: sesak napas, batuk makin sering, banyak dahak, berdebar-debarO: Keadaan umum tampak sakit ringan

Kesadaran kompos mentis, GCS 15

TD : 130/90 mmHg, FN : 84x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36,50 C

Pemeriksaan paru :

Inspeksi : statis : simeris

dinamis : gerakan paru simetris, tidak ada ketinggalan

gerak

Palpasi : stem fremitus melemah, kanan = kiri di seluruh lapang

paru

Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler melemah di kedua lapang paru, wheezing (+) di seluruh lapang paru Hasil pemeriksaan sputum : BTA I = (-)

Hasil Rntgen Thoraks PA : Jantung: tidak membesar

Paru: diafragma mendatarA: PPOK, DD : suspect TB paruP : - Terapi oksigen 3 L/menit

Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml Combivent (Salbutamol + Ipratropium Bromida) nebulizer 3 x 1

Aminophilin drip 3 x 1 amp

Injeksi Dexamethasone 3 x 1 amp Injeksi Ceftriakson 1 x 1 g Ambroxol syrup 3 x 1 Pemeriksaan BTA II Pemeriksaan EKG

Konsul ke dokter spesialis jantungJumat, 19/12/08

S

: sesak napas berkurang, batuk berkurangO: Keadaan umum tampak sakit ringan

Kesadaran kompos mentis, GCS 15

TD : 130/90 mmHg, FN : 84x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36,70 C

Pemeriksaan paru :

Inspeksi : statis : simeris

dinamis : gerakan paru simetris, tidak ada ketinggalan

gerak

Palpasi : stem fremitus melemah, kanan = kiri di seluruh lapang

paru

Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler melemah di kedua lapang paru, wheezing

(+) di seluruh lapang paru Hasil pemeriksaan sputum : BTA II = (-)A: PPOK, DD : suspect TB paruP : - Terapi oksigen 3 L/menit

Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml

Injeksi Ceftriakson 1 x 1 g

Aminophilin drip 3 x 1 amp

Salbutamol 3 x 4 mg Injeksi Dexamethasone 3 x 1 amp Injeksi Furosemide 2 x 1 amp Pemeriksaan BTA IIIBAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun, sering kambuhan, dan semakin berat sejak 1 hari sebelum pasien masuk RS. Pasien juga mengeluh sering batuk, demam yang hilang timbul, kadang berkeringat pada malam hari yang tidak biasa, dan nafsu makan berkurang. Pasien pernah mendapatkan obat 6 bulan yang membuat kencing berwarna merah (OAT) 1 tahun yang lalu. Tetapi, pengobatannya tidak tuntas. Pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 1 bulan. Pasien merokok sejak kecil kurang lebih 3-4 batang sehari. Dari pemeriksaan fisik paru didapatkan pelebaran sela iga, perkusi hipersonor di seluruh lapang paru, dan auskultasi terdengar suara vesikuler yang melemah di kedua lapang paru, wheezing di seluruh lapang paru, dan komponen ekspirasi yang memanjang. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditegakkan diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dengan diagnosis banding TB paru, asma bronkial, dan bronkiektasis.PPOK ditegakkan sebagai diagnosis kerja karena berdasarkan dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan pasien sesuai dengan gejala-gejala PPOK, yaitu : sesak napas yang terasa bertambah berat terutama pada saat melakukan aktivitas, batuk kronik dan berdahak kronik yang sudah bertahun-tahun (> 3 bulan) dan hilang timbul. Selain itu, pasien juga memiliki faktor risiko untuk terjadinya PPOK yaitu : pasien berada dalam usia yang lebih tua dari usia pertengahan (pasien berusia 63 tahun) dan riwayat pajanan asap rokok (pasien merokok sejak kecil kurang lebih 3-4 batang sehari dan baru berhenti sejak sesak napas dirasakan semakin memberat).Dari pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis adalah ditemukannya tanda-tanda PPOK yaitu : inspeksi adanya pelebaran sela iga, palpasi stem fremitus melemah, perkusi hipersonor, dan auskultasi suara napas vesikuler melemah, wheezing (mengi), dan komponen ekspirasi yang memanjang. Hasil pemeriksaan rntgen toraks ditemukan diafragma yang mendatar. Ini merupakan salah satu bentuk kelainan radiologis yang dapat ditemukan pada PPOK. Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pasien menderita PPOK. Tetapi perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri karena baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Selain itu, untuk menentukan derajat PPOK-nya. Pada pasien PPOK akan didapatkan hasil spirometri : rasio VEP1/KVP < 70% dan nilai VEP1 sesuai derajat.TB paru diambil sebagai diagnosis banding karena TB paru juga memiliki gejala-gejala yang sesuai dengan keluhan pasien. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan. Selain itu, pasien pernah mendapatkan OAT 1 tahun yang lalu. Tetapi, pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 1 bulan karena pasien merasa tidak ada perbaikan. Walaupun pada gambaran rntgen toraks tidak tampak infiltrat, ini tidak bisa menyingkirkan TB paru sebagai diagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis atau menyingkirkan TB paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Karena pasien merupakan suspek TB paru, jadi perlu diperiksa 3 spesimen dahak sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Sampai dengan pemeriksaan sputum terakhir, didapatkan hasil BTA I dan II negatif. Asma bronkial diambil sebagai diagnosis banding karena asma bronkial memiliki gejala-gejala yang mirip dengan PPOK yaitu : mengi, sesak napas, batuk-batuk, dan berdahak. Tetapi pada asma, onsetnya usia dini, ada riwayat atopi / asma dan alergi dalam keluarga, gejalanya bervariasi dari hari ke hari dan memburuk pada waktu malam/dini hari, diawali oleh pencetus yang bersifat individu, hambatan aliran udara umumnya reversibel, dan respons dengan pemberian bronkodilator. Sementara pada pasien, gejalanya progresif lambat, sesak napas bertambah berat terutama pada saat melakukan aktivitas, dan tidak ada riwayat asma dalam keluarga. Untuk menyingkirkan asma bronkial, perlu dilakukan pemeriksaan faal paru yang bertujuan untuk menilai obstruksi jalan napas, reversibilitas kelainan faal paru, dan variabilitas faal paru (penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas). Uji faal paru yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan uji bronkodilator.Bronkiektasis diambil sebagai diagnosis banding karena bronkiektasis memiliki gejala-gejala yang mirip dengan PPOK yaitu : batuk-batuk dan berdahak. Hanya pada bronkiektasis, sputum pasien bersifat purulen (berwarna hijau) dalam jumlah banyak, sering berhubungan dengan infeksi bakteri, ronki basah kasar pada auskultasi, ditemukannya jari tabuh, dan gambaran foto toraks tampak dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Sementara pada pasien, sputumnya berwarna putih hanya kadang-kadang hijau, gambaran rntgen toraks tidak tampak dilatasi dan penebalan dinding bronkus, tidak ditemukan jari tubuh, dan pada foto toraks hanya tampak diafragma yang mendatar, tidak ada dilatasi dan penebalan dinding bronkus. Jadi, bronkiektasis dapat disingkirkan.Pasien ini perlu diberikan terapi non medikamentosa berupa : tirah baring, terapi oksigen 3 L/menit, terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml, terapi nutrisi, dan edukasi untuk berhenti merokok. Pemberian oksigen konsentrasi rendah 3 liter/menit secara terus menerus ini bertujuan untuk memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, dan toleransi beban kerja. Tetapi, pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau secara ketat. Oleh karena pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor sentral yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup. Pada pasien ini, terapi oksigen dilakukan dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber oksigen. Cara ini kurang efektif. Ventimask adalah cara paling efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi. Ini disebabkan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang meningkat. Jadi, pasien ini perlu diberikan terapi nutrisi karena pasien tampak kurus (mungkin sudah terjadi malnutrisi) dan pasien juga mengeluhkan nafsu makan berkurang.Pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresifitas penyakit. Jadi, pasien perlu mendapatkan edukasi untuk berhenti merokok. Pasien harus tahu dan mengerti bahwa rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok dapat dilakukan dengan 5 A yaitu : Ask (Tanyakan), Advise (Nasihati), Assess (Nilai), Assist (Bantu), dan Arrange (Atur). Selain itu, pasien beserta keluarga juga perlu diberikan edukasi mengenai PPOK. Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah combivent (salbutamol + ipratropium bromida) nebulizer 3 x 1, aminophilin drip 3 x 1 amp, injeksi dexamethasone 3 x 1 amp, dan injeksi ceftriaxone 1 x 1 gr. Salbutamol, ipratroprium bromida, dan aminophilin merupakan bronkodilator. Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan kerja panjang. Bronkodilator kerja singkat mungkin satu-satunya merupakan medikasi yang diperlukan untuk meringankan gejala pada pasien dengan penyakit ringan. Dengan meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Semua pasien simptomatik dengan diagnosis PPOK sebaiknya diberikan inhalasi bronkodilator percobaan, tak peduli apakah hasil spirometri memperlihatkan respon bronkodilator yang bermakna atau tidak.Antikolinergik dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanil siklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat. Contohnya adalah : ipratropium bromida dan tiotroprium bromida yang diberikan dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromida merupakan antikolinergik kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan memiliki sedikit efek terhadap klirens (bersihan) mukosilier. Penggunaan antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif penggunaannya pada asma.2-agonis diduga menyebabkan bronkodilatasi dengan menstimulasi adenyl cyclase dan meningkatkan cyclic adenosine monophosphat (cAMP) intraseluler. Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol. Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi. 2-agonis dapat diberikan dengan kombinasi antikolinergik untuk mengoptimalkan efek bronkodilator. Pada pasien ini diberikan kombinasi 2-agonis kerja singkat dan antikolinergik kerja singkat yaitu : salbutamol + ipratropium bromida. Bronkodilator dapat diberikan dengan terapi inhalasi yaitu sebagai inhaler dosis terukur (MDI/meter-dosed inhaler) menggunakan peralatan tertentu atau sebagai inhaler bubuk kering (DPI/dry-powder inhaler), yang memberikan dosis terukur, pemberian ditargetkan pada saluran napas sehingga meminimalisir efek samping sistemik. Terapi inhalasi yang digunakan pada pasien ini adalah nebulizer. Nebulizer memberikan dosis yang lebih besar, menggunakan alat yang besar, dan membutuhkan keterampilan dalam perawatan mesin dan penggunaan medikasi. Maka sebenarnya MDI yang digunakan pada spacer device merupakan metode yang lebih dipilih dalam pemberian medikasi inhalasi. Bronkodilator golongan xantin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi. Obat ini juga diperkirakan meningkatkan kontraktilitas diafragma dengan meningkatkan aliran darah diafragma. Efek yang menguntungkan pada fungsi diafragma ini dapat meminimalkan atau mencegah kelelahan diafragma atau kegagalan respiratorik pada PPOK berat. Contoh obat golongan xantin adalah : teofilin dan aminofilin. Teofilin telah menunjukkan meringannya gejala PPOK namun obat ini memiliki masa terapeutik yang singkat. Maka bronkodilator lainnya, jika tersedia, lebih dianjurkan. Pada pasien ini diberikan aminofilin. Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada PPOK masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan. Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (diminum) atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi dengan menghambat banyak sel inflamasi yaitu : makrofag, sel limfosit T, eosinofil, sel mast di epitel sel saluran napas dan submukosa. Pengobatan dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk kortikosteroid adalah : dexamethason, prednison dan prednisolon. Diberikan kortikosteroid pada pasien ini karena pasien sedang mengalami eksaserbasi akut. Kortikosteroid yang dipilih adalah dexamethason secara intravena. Keadaan eksaserbasi pada PPOK kebanyakan dipresipitasi oleh infeksi respiratorik yang biasanya akibat virus namun dapat pula akibat bakteri yang biasanya sering ditemukan pada saluran napas bagian atas. Eksaserbasi moderat atau berat ditandai dengan memburuknya sesak napas, batuk, dan peningkatan produksi dan purulensi dari sputum. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik (mencakup antibiotik untuk Haemophilus influenzae, pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis) dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Salah satu antibiotik yang dapat digunakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga, misalnya : ceftriaxone.Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan PPOK. Maka dari itu, digunakanlah mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) seperti : ambroksol, karbosistein, dan gliserol iodida. Mukolitik hanya diberikan terutama pada keadaan eksaserbasi akut, yang biasa dipakai adalah bromheksin. Pada hari keempat pasien dirawat di rumah sakit, diberikan mukolitik berupa ambroksol karena pasien mengeluh semakin sering batuk dan banyak dahak (pasien sedang mengalami eksaserbasi akut). Jadi, selain pasien diberikan bronkodilator, kortikosteroid sistemik, dan antibiotik; pasien perlu mendapatkan mukolitik. BAB V

KESIMPULAN Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonal yang signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individu. PPOKadalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel / reversibel sebagian. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya.Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor risiko genetik yang paling sering dijumpai adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat I (PPOK ringan), derajat II (PPOK sedang), derajat III (PPOK berat), derajat IV (PPOK sangat berat).

Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, dan ada faktor risiko. Sedangkan PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Prognosis PPOK tergantung dari derajat, penyakit paru komorbid, dan penyakit komorbid lain.Pada pasien ini, masalah yang dialaminya berupa sesak napas dan batuk yang sudah bertahun-tahun dan sering kambuhan. Didiagnosis PPOK dengan diagnosis banding TB paru, asma bronkial, dan bronkiektasis. Selama dirawat di rumah sakit, pasien perlu mendapatkan terapi non medikamentosa berupa tirah baring, terapi oksigen, terapi cairan, terapi nutrisi, dan edukasi untuk berhenti merokok. dan medikamentosa berupa combivent (kombinasi salbutamol + ipratropium bromida), aminophilin, ceftriaxone, dan ambroxol. Rencana pemeriksaan lanjutan adalah pemeriksaan BTA (SPS) dan spirometri. DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes R.I. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jakarta. Ditjen PPTM & PL, Departemen Kesehatan R.I. 2007.2. CBN Portal Cyberhealth. Rokok Tingkatkan Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Last update October 2003. Available from http://cybermed.cbn.net.id3. DMI. Acuan Penanganan PPOK Terkini. Last update December 2006. Available from http://www.kalbe.co.id4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease [serial online]. USA. Last update 2007. Available from http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=11165. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention [serial online]. USA. Last update 2007. Available from http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intI=986. Klik Dokter Menuju Indonesia Sehat. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Last update 2008. Available from http://www.klikdokter.com7. Mycek, MJ., Harvey, RA., Champe, PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Alih bahasa: Azwar Agoes. Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 2001.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) : Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Revisi, Juni 2004.

9. Price, SA. & Wilson, LM. Patofisologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 1. Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta. EGC. 2006.10. Riyanto, BS. & Hisyam, B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Editor : Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., & Siti Setiati. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. 2006. 11. Syaifudin & Firman, E. Studi Penggunaan Obat pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Last update July 2006. Available from http://www.adln.lib.unair.ac.id12. Yunus, F. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 114. 1997.

44