periodisasi sejarah di indonesia

Upload: cryz-rizaldy

Post on 10-Oct-2015

185 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

  • Periodisasi Sejarah di Indonesia

    Periodisasi Sejarah di Indonesia | Sejarah memang tentang peristiwa yang telah terjadi.

    Supaya sesuatu bisa terjadi, dia membutuhkan dua hal, yaitu waktu dan ruang. Itulah kedua

    dimensi sejarah. Waktu dimensi temporal, dan ruang dimensi spasial. Indonesia sebagai bangsa dan negara mempunyai sejarah yang panjang. Berbagai peristiwa yang terjadi tercatat

    sebagai sejarah. Nah, saking banyak, panjang, dan kompleks itu, maka diperlukan periodisasi

    sejarah Indonesia.

    Terus, apa fungsi atau manfaat periodisasi sejarah bagi kita? Yang jelas bukan hanya supaya

    kita menjawab pertanyaan pada waktu ulangan sejarah saja. Yang jelas, sejarah adalah milik

    penguasa. Meskipun pelakunya dan yang terlibat di dalamnya tidak sempat mempunyai

    wewenang. Periodisasi dibuat oleh banyak peneliti. Dalam penelitiannya, bisa jadi terdapat

    banyak perbedaan yang mempengaruhi

    hasilnya. Belum lagi pandangan subjektif

    peneliti. Kalau mau lebih ekstrim, tentu saja

    pada waktu pembuatan periodisasi dan

    penulisan sejarah itu sendiri, tidak jarang

    penguasa melakukan intervensi dengan sensor,

    penghapusan, bahkan penolakan terhadap hasil

    penelitian sejarah itu. Sejarah dia lentur dan mulur mungsret. hehe.

    Periodisasi sejarah diartikan sebagai

    pembabakan atau pengurutan peristiwa

    berdasarkan waktu terjadinya. Ini bentuk

    paling objektif dari bentuk-bentuk pengkategorian peristiwa di dalam sejarah. Objektif?

    Semoga.

    Berikut ini adalah periodisasi sejarah bangsa Indonesia dari masa prasejarah hingga era

    reformasi yang diambil dari berbagai sumber:

    Prasejarah

    Pleistosen: Bentuk geologis modern Indonesia muncul, namun masih terpaut pada

    daratan benua Asia.

    2 juta sampai 500.000 tahun yang lalu: Indonesia dihuni oleh Homo erectus yang

    sering disebut sebagai "Manusia Jawa".

    40.000 SM: Indonesia dikolonisasi oleh bangsa-bangsa Melanesia dan Australoid.

    3.000 SM: Bangsa Austronesia mulai mengkolonisasi Asia Tenggara.

    200 SM Kerajaan Hindu Dwipa Jawa diperkirakan eksis di Jawa dan Sumatera

    Sejarah Awal

    Abad ke-4: Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.

    Abad ke-5: Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

    682: Prasasti Kedukan Bukit ditulis di Sriwijaya (Palembang, Sumatra Selatan).

    732: Dinasti Sanjaya didirikan menurut Prasasti Canggal.

    824: Candi Borobudur dibangun oleh Samaratungga dari Dinasti Syailendra.

  • 850: Candi Prambanan atau Rara Jonggrang dibangun.

    1200-an

    1200-an: Islam mulai muncul di daerah Aceh.

    1222 Ken Arok menyerang kerajaan Kediri dan berhasil membunuh Kertajaya,

    kemudian mendirikan kerajaan Singhasari.

    1257 Baab Mashur Malamo mendirikan Kerajaan Ternate di Maluku

    1275-1290: Kertanegara melancarkan ekspedisi Pamalayu melawan Kerajaan Melayu

    di Sumatra.

    1292: Jayakatwang membunuh Kertanegara dan kerajaan Singhasari berakhir.

    1293: Mongolia menginvasi Jawa, Kublai Khan dari Dinasti Yuan mengirim serangan

    hukuman terhadap Kertanegara; dan pasukan Mongol berhasil dipukul mundur.

    Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya di Jawa Timur.

    1300-an

    1309: Raja Jayanegara menggantikan Raden Wijaya sebagai penguasa Majapahit

    1328: Tribhuwana Wijayatunggadewi menggantikan Jayanegara sebagai raja

    Majapahit

    1350: Hayam Wuruk, yang bergelar Maharaja Sri Rajasanagara menggantikan

    Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai penguasa Majapahit; pemerintahannya

    dianggap sebagai 'Era keemasan'. Di bawah perintah militer Gajah Mada, Majapahit

    membentang lebih luas dari Indonesia di masa modern.

    1365: Kakawin Jawa kuna Nagarakertagama ditulis.

    1377: Majapahit mengirimkan ekspedisi hukuman terhadap Palembang di Sumatra.

    Pangeran Palembang, Parameswara (kemudian dikenal Iskandar Syah) melarikan diri,

    dan menemukan jalan ke Malaka dan membangunnya sebagai pelabuhan

    internasional.

    1389: Wikramawardhana menggantikan Sri Rajasanagara sebagai penguasa

    Majapahit.

    1400-an

    1404-1406: Perang Paregreg antara Bhre Wirabhumi melawan Wikramawardhana

    1415: Armada Laksamana Cheng Ho berlabuh di Muara Jati, Cirebon.

    1429: Ratu Suhita menggantikan Wikramawardhana sebagai penguasa Majapahit.

    1447: Kertawijaya, bergelar Brawijaya I menggantikan Suhita sebagai penguasa

    Majapahit.

    1451: Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II menggantikan Kertawijaya sebagai

    penguasa Majapahit.

    1453: Pemerintahan Rajasawardhana berakhir.

    1456: Girindrawardhana (atau Purwawisesa) menjadi penguasa Majapahit.

    1466: Singhawikramawardhana (atau Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa),

    menggantikan Purwawisesa sebagai penguasa Majapahit.

    1468: Bhre Kertabhumi (Prabu Brawijaya) atau dikenal dengan Brawijaya V menjadi

    penguasa Majapahit.

    1500-an

  • 1511: Bangsa Portugis menaklukkan kota Melaka.

    1596: Bangsa Belanda pertama kali tiba di wilayah Nusantara ketika sebuah armada

    yang dipimpin oleh Cornelius de Houtman berlabuh di Banten.

    1600-an

    1641: Pembantaian penduduk Kepulauan Banda oleh VOC untuk mendapatkan

    monopoli pala.

    18 November 1667: Perjanjian Bungaya ditandatangani di Bungaya, Gowa antara

    pihak Kesultanan Gowa dengan pihak Hindia Belanda.

    1700-an

    9 Oktober 1740: Pembantaian warga Tionghoa di Batavia.

    13 Februari 1755: Perjanjian Giyanti di mana Kerajaan Mataram dibagi menjadi

    Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

    31 Desember 1799: Vereenigde Oost-Indische Compaigne (VOC) dibubarkan.

    1800-an

    1803 - 1838 : Perang Padri

    1825-1830 : Perang Diponegoro

    26 Maret 1873 : Dimulainya Perang Aceh

    1894 : Perang Lombok

    1900-an

    Perang Dunia II

    11 Januari 1942 - Tentara Jepang tiba di wilayah Nusantara, tepatnya di daerah Kota

    Tarakan, Kalimantan Timur.

    1 Juni 1945 - Hari lahirnya Pancasila

    17 Agustus 1945 - Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

    18 Agustus 1945 - Sidang pertama PPKI menghasilkan tiga keputusan. Pertama,

    mengesahkan UUD 1945. Kedua, mengangkat Soekarno sebagai Presiden RI dan

    Hatta sebagai wakilnya. Ketiga, membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

    untuk membantu kerja presiden.

    23 Agustus-2 November 1949 - Konferensi Meja Bundar dilangsungkan di Den

    Haag, Belanda antara Indonesia dan Belanda sebagai cara untuk meredam

    kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan.

    Perang Kemerdekaan

    21 Juli-5 Agustus 1947: Belanda melancarkan agresi militer pertamanya.

    19 Desember 1948-5 Januari 1949: Belanda melancarkan agresi militer keduanya.

    1950-an

    17 Januari 1948: Perjanjian Renville

    29 Januari 1950: Jenderal Sudirman meninggal pada usia 34.

  • 27 September 1950: Indonesia menjadi anggota ke-60 dari Perserikatan Bangsa-

    Bangsa

    1953: Borneo digantinama menjadi Provinsi Kalimantan, kemudian pada 1956 dibagi

    menjadi Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.

    25 April 1950: Republik Maluku Selatan diproklamirkan di Ambon.

    18 April-24 April 1955: Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika dilaksanakan di

    Bandung.

    1960-an

    24 Agustus-4 September 1962: Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV

    1963-1965: Konfrontasi dengan Malaysia

    27 Agustus 1964: Soekarno membentuk Kabinet Dwikora

    7 Januari 1965: Indonesia keluar dari keanggotaan PBB

    30 September 1965: Gerakan 30 September

    13 Desember 1965 Devaluasi Rupiah untuk mengendalikan inflasi

    Oktober 1965-Maret 1966: Penumpasan PKI, mengakibatkan kira-kira setengah juta

    jiwa terbunuh.

    24 Februari 1966: Soekarno membentuk Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan

    atau Kabinet Dwikora II

    11 Maret 1966: Penandatanganan Supersemar

    28 Maret 1966: Soekarno membentuk Kabinet Dwikora III

    11 Agustus 1966: Indonesia dan Malaysia sepakat memulihkan hubungan diplomatik

    28 September 1966: Indonesia kembali bergabung dalam PBB

    12 Maret 1967: Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Sukarno

    menjadi tahanan rumah

    27 Maret 1968: Soeharto resmi menjadi Presiden Indonesia.

    1969: Papua bergabung dengan Indonesia, setelah dilakukan Penentuan Pendapat

    Rakyat (Pepera)

    1970-an

    21 Juni 1970: Soekarno meninggal dunia dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur

    1970: Nurcholish Madjid (Cak Nur) mulai menyusun gagasan kontroversionalnya

    "Islam, Yes; Partai Islam, No"

    3 Juli 1971: Pemilihan Legislatif Indonesia yang kedua kali (pertama kali dibawah

    Orde Baru) dilaksanakan. Golkar menang.

    1973: Pemerintah menciutkan jumlah partai politik menjadi tiga. PDI (dari partai

    nasionalis dan Kristen). PPP (dari partai Islam). Sistem tiga partai didominasi oleh

    Golkar.

    April 1975: Terjadinya perang sipil di Timor Leste

    7 Desember 1975: Indonesia melancarkan invasi ke Timor Leste

    17 Juli 1976: Timor Leste menyatu dengan Indonesia, menjadi Provinsi Timor Timur

    1976: Dimulainya Gerakan Aceh Merdeka

    1980-an

    Mei 1980: Petisi 50 yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto diterbitkan

    1982-1983: Terjadinya penembakan misterius (Petrus) yang menewaskan ribuan

    orang tersangka kriminal

  • 1983: Prabowo Subianto menikah dengan Titiek, putri Presiden Soeharto

    Desember 1984: Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Ketua Nahdlatul

    Ulama

    1985: Pemerintah mewajibkan semua organisasi untuk mengadopsi Pancasila sebagai

    asas tunggal

    1987: Megawati Sukarnoputri menjadi anggota parlemen

    1988: Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden untuk kelima kalinya

    1989: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai aktif kembali setelah sempat diredam

    1990-an

    1992-1993 Pemimpin perlawanan Timor Timur Xanana Gusmao ditangkap oleh

    Prabowo Subianto dan diadili serta dihukum

    1993: Soeharto terpilih kembali untuk yang kelima kalinya

    April 1996: Ibu Tien Soeharto meninggal dunia

    27 Juli 1996: Peristiwa penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

    (Peristiwa 27 Juli)

    11 Maret 1998: Soeharto terpilih kembali untuk yang keenam kalinya

    12 Mei 1998: empat mahasiswa terbunuh dalam demonstrasi terhadap rezim Soeharto

    di Universitas Trisakti

    13 Mei-15 Mei 1998: Kerusuhan besar terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya

    yang mengakibatkan ribuan orang tewas, sejumlah wanita Tionghoa diperkosa, dan

    terjadinya penjarahan di pusat-pusat perbelanjaan

    21 Mei 1998, pukul 09.00 wib: Soeharto mundur, dan Habibie mengambil alih

    jabatan Presiden

    7 Juni 1999: Pemilu pertama dilaksanakan pada era Reformasi.

    September 1999: Referendum di Provinsi Timor Timur di bawah naungan PBB

    dengan hasil empat per lima memilih berpisah dari Indonesia dibandingkan bersatu

    dengan Indonesia.

    20 Oktober 1999: Gus Dur resmi diangkat menjadi Presiden RI

    2000-an

    Februari 2001: Kerusuhan etnis terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, antara Dayak

    dan Madura.

    23 Juli 2001: Megawati secara resmi menjadi Presiden Indonesia ke-5, menggantikan

    Gus Dur, yang diberhentikan MPR.

    23 September 2001: sebuah bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta.

    20 Mei 2002: Timor Timur resmi merdeka dengan nama Timor Leste.

    12 Oktober 2002: Bom Bali

    Desember 2002: Pemerintah dan GAM menandatangani kesepakatan damai di

    Jenewa, Swiss

    19 Mei 2003: Pembicaraan damai antara Pemerintah dan GAM gagal, militer

    Indonesia melancarkan operasi militer di Aceh.

    5 Agustus 2003: Sebuah bom mobil meledak di depan Hotel Mariott di Jakarta

    April 2004: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004

    Juli 2004: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2004.

    Dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil

    Presiden Jusuf Kalla.

    9 September 2004: Bom Kedubes Australia.

  • 26 November 2004: Gempa bumi Nabire

    30 November 2004: Terjadi kecelakan pesawat terbang Lion Air Penerbangan 538 di

    Solo yang menewaskan 26 orang. Keamanan penerbangan-penerbangan murah di

    Indonesia mulai disorot.

    26 Desember 2004: Tsunami menghantam Aceh dan menewaskan 160.000 jiwa.

    28 Mei 2005: Dua ledakan bom mengguncang Pasar Sentral Tentena, Tentena, Poso,

    Sulawesi Tengah, menewaskan sedikitnya 20 orang.

    17 Juli 2005: Pemerintah Indonesia mengadakan kesepakatan damai dengan Gerakan

    Aceh Merdeka.

    15 Agustus 2005: Pemerintah Indonesia dan GAM kembali berunding. GAM

    akhirnya setuju untuk menyerahkan seluruh senjatanya dan pemerintah Indonesia

    setuju untuk menarik seluruh tentara Indonesia, memberikan otonomi, dan pemilihan

    langsung boleh diselenggarakan. Perjanjian damai berhasil ditandatangani dan secara

    resmi mengakhiri gerakan separatis GAM.

    31 Agustus 2005: Pemerintah Indonesia membebaskan 200 tahanan GAM, atas

    ditandatanganinya persetujuan perdamaian.

    5 September 2005: Mandala Airlines Penerbangan 91 mengalami kecelakaan di

    Medan, Sumatera Utara, menewaskan sedikitnya 100 orang.

    1 Oktober 2005: Bom Bali II

    29 Oktober 2005: Tiga siswi SMU di Poso yang sedang berjalan ke sekolah Kristen

    dipenggal oleh sekelompok orang tak dikenal.

    9 November 2005: Penyergapan Polri di sebuah vila di Kota Batu; menewaskan Dr.

    Azahari, buronan teroris dari Malaysia

    31 Desember 2005: Bom di Palu menewaskan enam orang.

    1 Januari 2006: Banjir bandang menewaskan 63 orang di Jember, Jawa Timur.

    6 Januari 2006: Terjadinya Insiden perbatasan Timor-Timur yang kedua kali.

    13-15 Februari 2006 : tujuh anggota Bali Nine divonis hukuman seumur hidup dan

    dua dijatuhi hukuman mati. Setelah melalui banding dan kasasi akhirnya tujuh

    dijatuhi hukuman mati dan dua seumur hidup

    27 Mei 2006: Gempa bumi mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya mengakibatkan

    sedikitnya enam ribu orang meninggal dunia.

    Sejak 27 Mei 2006: Bencana Banjir lumpur panas Lapindo melanda Sidoarjo.

    31 Mei - 4 Juni 2006: Indonesia Terbuka 2006 diselenggarakan di Surabaya

    30 September 2009: Gempa bumi 7,6 SR mengguncang Sumatera Barat menewaskan

    sedikitnya 1.117 orang.

    14 April 2010: Kerusuhan Koja mengakibatkan sedikitnya tiga tewas dan ratusan

    luka-luka.

    20 Oktober 2009: Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali sebagai Presiden RI

    periode 2009-2014. Didampingi oleh Prof. Dr. Boediono, M.Ec., sebagai wakil

    Presiden.

    22 Oktober 2009: Pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu II

    1 Mei - 15 Juni 2010: Sensus Penduduk Indonesia 2010, yang merupakan sensus

    penduduk Indonesia ke-6 setelah Indonesia merdeka.

    26 September - 29 September 2010: Kerusuhan Tarakan, merupakan kerusuhan

    antar suku yaitu Suku Tidung sebagai suku asli dan suku pendatang yaitu Suku Bugis

    25 Oktober 2010: Gempa bumi dengan kekuatan 7,7 SR yang disertai Tsunami

    melanda Mentawai mengakibatkan 286 meninggal dan 252 hilang.

    26 Oktober 2010: Gunung Merapi meletus mengakibatkan 28 tewas, termasuk juru

    kuncinya, yakni Mbah Maridjan.

  • 6 Februari 2011: Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyyah di Cikeusik

    menewaskan sedikitnya 3 orang.

    18 Oktober 2011: Perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II

    - See more at: http://www.dee-nesia.com/2012/12/periodisasi-sejarah-di-

    indonesia.html#sthash.qSpuFK11.dpuf

    pemerintahan masa orde lama, orde baru, reformasi, dan otonomi daerah

    June 30, 2013 by ariando

    1. A. Masa pemerintahan orde lama

    Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia.Orde

    Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut,

    Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di

    saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan

    parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem

    ekonomi komando.

    Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno

    sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan

    konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional

    Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan.

    Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki

    Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk

    wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi,

    Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.

    Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai

    dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X

    tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang

    Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat

    hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit

    Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres

    No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan,

    pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961

    diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah

    sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan

    PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi

    dibubarkan.

    Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak

    berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat

    terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada

    tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan Deklarasi Bogor.

  • Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai

    Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik

    paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno

    dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat

    itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalam Politik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik

    menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:

    Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam

    penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung

    demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung

    sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5

    Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS

    1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu

    konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai

    politik;

    Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke

    arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden

    Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin

    merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh

    partai-partai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik,

    Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).

    Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang

    seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya telah

    beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap

    berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini

    mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah

    Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi

    kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak

    desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad

    Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: Saya tidak akan membacakan Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu

    Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh

    pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya

    Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta

    selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.

    Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang

    bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat

    dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat

    diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan

    lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya.

    Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin

    pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di

    Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya

    berisi:

    1. Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.

    2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI,

  • Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.

    3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.

    Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai

    meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia

    tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi

    yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan

    dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan

    alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung

    Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi,

    sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan

    terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah

    sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan

    pendapat Soekarno.

    Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno

    menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956,

    Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada

    DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan

    Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta sebagai

    Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak

    mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap

    menjaga persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.

    Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden.

    Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak

    politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara

    Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad

    Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu,

    sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada

    pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta

    menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan

    Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20

    Juni 2002).

    Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif

    kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan

    mosi mengenai Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari bentuk kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957 dan dikenal sebagai

    Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini

    dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat

    Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).

    Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan

    dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep

    Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden

    menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden

    adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden

    berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik

  • ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini,

    Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan

    perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945;

    Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat

    Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang

    Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.

    Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan

    Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem

    parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta

    pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan

    oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian

    jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka

    tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.

    Demokrasi parlementer Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem

    parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen

    atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama

    pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.

    Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler

    yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan

    negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam

    takluk kepada hukum Islam.

    Demokrasi Terpimpin Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang

    dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,

    melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno

    secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang

    memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.

    Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah

    label Demokrasi Terpimpin. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang

    menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut

    berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk

    mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.

    Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara

    komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI

    merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan

    massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di

    negara-negara lainnya.

    Konfrontasi Indonesia-Malaysia Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut

    adalah sebuah rencana neo-kolonial untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan

    memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan

    celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia.

    Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia

    anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran

    diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan

    Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai

    tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan

  • pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).

    Nasib Irian Barat Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan

    barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri

    dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.

    Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal,

    dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum

    kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962.

    Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia

    dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan

    Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.

    Gerakan 30 September Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno

    untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno,

    memulai kampanye untuk membentuk Angkatan Kelima dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.

    Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam

    upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima

    Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan

    berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih

    kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh.

    Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di

    Jawa dan Bali.

    1. B. Masa pemerintahan orde baru

    Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966.

    diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan

    melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI

    sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.

    Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada

    masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya

    dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut

    dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :

    1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan

    Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga

    dengan konsensus utama.

    2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan

    konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan

    merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan

    partai-partai politik dan masyarakat.

    Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan

    UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan

    Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul

    pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan

    kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.

    Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan

    yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde

    Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi

    Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas

  • dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti

    diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya

    perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk

    mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim

    Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan

    dan kekecewaan yang cukup mendalam.

    Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres

    tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-

    Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat

    Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil

    Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh.

    Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)

    Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang

    timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan

    menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan;

    dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga

    merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:

    (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme,

    marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala

    bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d)

    mempertahankan eksistensi Partijwezen;

    (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan

    kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;

    (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan

    dalam menuju perdamaian dunia.

    Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi

    politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan

    berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang

    paling menonjol dalam kongres VII tersebut.

    Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di

    dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada

    yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang

    bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.

    Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan

    sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor

    waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas

    suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut

    bermotif ideologis dan strategis.

    Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal

    timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya

    pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya

    memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah.

    Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir

    pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku

    Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul

    authoritarianism.

    Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup

    hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-

    bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat

    itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah

  • Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar

    umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu

    sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan

    penganut agama lain.

    Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah

    mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu

    yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu

    adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai

    Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula

    yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI

    yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga

    menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi.

    Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap ideology

    Pancasila.

    1. C. Masa Reformasi

    Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda

    akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan Era Reformasi.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering

    membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena

    itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai Era Pasca Orde Baru. Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.

    Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda.

    Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun

    melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan

    reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu

    pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan

    kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan.

    Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P.

    Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan

    kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada

    pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.

    Pemerintahan B.J Habibie Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh

    gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota

    lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang

    menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama

    dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.

    Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan

    berekspresi.

    Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik

    dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah

    Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman

    Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era

    Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan

    politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah

    atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat

    pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah

    perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena

  • terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.

    Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian

    kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu

    Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun

    urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang

    menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie

    adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang

    berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan

    tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa

    pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah

    Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya

    adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas

    negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para

    tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

    Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi

    partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta

    adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang

    menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas

    ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak

    siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.

    Pemeintahan Abdurahman Wahid. Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan

    putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen

    dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan

    Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan

    Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman

    Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun.

    Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November

    1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.

    Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi

    di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut,

    pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh,

    Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang

    tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur

    pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR

    yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid,

    menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.

    Pemerintahan Megawati soekarno putri Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan

    pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan

    meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal

    korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di

    dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan

    negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan

    presiden tak lama kemudian.

    Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota

    legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya

  • kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang

    signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam

    pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati

    Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah

    menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen. Susilo Bambang

    Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa

    kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di

    Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa

    bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.

    Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah

    Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan

    selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah

    mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada

    pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.

    Otonomi daerah di Indonesia Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

    mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

    sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan

    pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

    1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (Eenheidstaat), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan

    2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan

    3. Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:

    1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;

    2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;

    3. Dati II adalah daerah ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

    Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

    1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;

  • 2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan

    3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

    Aturan Perundang-undangan

    Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi

    Daerah:

    1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

    Pusat dan Daerah 4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

    Pusat dan Pemerintahan Daerah 6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

    tentang Pemerintahan Daerah 7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32

    Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru

    Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional

    yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat

    pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama

    dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa

    atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak

    prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di

    bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program

    pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas

    administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok

    Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan

    kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan

    peraturan perundangan yang berlak. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom,

    selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas

    wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah

    tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-

    daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

    1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;

    2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah, dan

    3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh

  • Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

    Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II

    (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari

    sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah

    dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima)

    tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak,

    wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban

    memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

    sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta

    oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar

    Pengadilan. Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan

    Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh

    anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-

    masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan

    pendapat; prakarsa; dan penyelidikan) dan kewajiban seperti a) mempertahankan,

    mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan

    melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan

    Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang

    berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja

    daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas

    wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan

    perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan

    aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program

    pembangunan Pemerintah.

    Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5

    Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah

    sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun

    implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari

    pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi

    terhadap pemerintah pusat.

    Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru

    Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di

    tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari

    rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah

    setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan

    integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:

    1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;

    2. pembentukan negara federal; atau 3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.

    Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru

    untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan

  • Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.

    25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

    Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22

    Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-

    undang sebelumnya antara lain :

    1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.

    2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.

    3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

    4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

    5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.

    6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

    7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]

    8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.

    9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.

  • 10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.

    11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.

    12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.

    13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.

    14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.

    15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

    1. 2.2 Keuntungan dan Kekurangan Otonomi Daerah 2. Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan

    kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.

    3. Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin perasaan diberlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da- erah sendiri.

    4. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu juga diwujudkan atas

  • dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.

    5. Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan sebagai berikut ini.

    6. a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan. 7. b. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang

    cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat. 8. c. Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan

    pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.

    9. d. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.

    10. e. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat. 11. f. Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan

    yang lebuh beser kepada daerah. 12. g. Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang

    dilayani. 13. 14. Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan

    sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini. 15. a. Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah

    kompleks, yang mempersulit koordinasi. 16. b. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah

    dapat lebih mudah terganggu. 17. c. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang

    disebut daerahisme atau provinsialisme. 18. d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan

    perundingan yang bertele-tele. 19. e. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit

    untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.

    A. BERAKHIRNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui

    sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan

    prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

    Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan

    pembangunan mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan

    maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997,

    korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan

    penguasa)

    1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi

  • Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama

    terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal

    kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni

    dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu

    keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan

    akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya penyelewengan

    dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945,

    banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.

    2. Krisi Politik

    Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada

    kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh

    para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa Kedaulatan adalah ditangan rakyat

    dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan

    rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam

    kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu

    diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).

    Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR,

    dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan

    reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam

    MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

    Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang

    politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :

    UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

    Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan

    ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak

    mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi

    Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.

    Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia

    (PDI).

    Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut

    masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam

    kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat

    beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada

    perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik

  • terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat

    juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatan Presiden.

    Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnya

    kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye

    pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.

    Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih

    kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden

    dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh

    para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto

    sebagai Presiden.

    Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia

    dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang

    dating dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.

    3. Krisi Hukum

    Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak

    munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi

    salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat

    mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.

    4. Krisi Ekonomi

    Krisi moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi

    perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk

    menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah

    terhadap dollar Amerika Serikat.

    Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan

    berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami

    keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk

    membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan

    Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena

    pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan

    begitu saja.

    Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah

    menghancurkan keuangan nasional.

    Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang

    lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan

    bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak

    terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi

    kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di

  • harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah

    menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.

    Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah

    utang luar negeri.

    Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab

    munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang

    Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga

    6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962

    miliar dollar Amerika Serikat.

    Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis.

    Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat

    karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.

    Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara

    Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di

    masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan

    yang masih rendah.

    Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh

    menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar

    demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan

    anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa

    pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat

    dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.

    Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru

    bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan

    berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.

    Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari

    sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan

    pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat

    dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari

    Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya

    dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam

    merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.

    5. Krisi Kepercayaan

    Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan

    kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa

    terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu

  • berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang

    Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.

    Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat

    yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.

    Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto

    mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR /

    MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar

    bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan

    reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden

    Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR /

    MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden

    Soeharto mengundurkan diri.

    Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di

    Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan

    perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali

    sebagai Presiden.

    Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat

    dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan

    diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil

    Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung

    sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.