perilaku, pola peletakan telur dan efisiensi …

68
PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI PEMARASITAN PARASITOID Trichogramma chilotraeae NAGARAJA & NAGARKATTI (HYMENOPTERA: TRICHOGRAMMATIDAE) PADA BERBAGAI JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID HASRIYANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Upload: others

Post on 20-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI

PEMARASITAN PARASITOID Trichogramma chilotraeae

NAGARAJA & NAGARKATTI (HYMENOPTERA:

TRICHOGRAMMATIDAE) PADA BERBAGAI

JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID

HASRIYANTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

Page 2: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

1

ABSTRAK

HASRIYANTY. Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasitan Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) Pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI dan PUDJIANTO.

Sebagian besar parasitoid Hymenoptera, termasuk parasitoid Trichogramma chilotraeae merupakan organisme yang mempunyai pola reproduksi haplodiploidi. Penentuan kelamin keturunan sepanjang peletakan telur ditentukan oleh induk betina berdasarkan keadaan lingkungan, dalam hal ini jumlah inang dan kepadatan parasitoid. Jumlah inang dan kepadatan parasitoid tersebut dalam perbanyakan massal juga dapat mempengaruhi berbagai ciri kebugaran sekaligus menentukan efisiensi pemarasitan. Perilaku dan pola urutan peletakan telur penting dikaji untuk lebih memahami perilaku parasitoid untuk tujuan memaksimalkan keberhasilan reproduksi dan keberlangsungan keturunannya nanti, yang secara langsung memberikan arti penting untuk memperbaiki keefektifan pengendalian hama sasaran di lapangan dalam suatu program pengendalian hayati. Selain itu kajian berbagai ciri kebugaran serta efisiensi pemarasitan penting dilakuan dalam kaitannya dengan kegiatan perbanyakan massal di laboratorium. Dalam penelitian ini dipelajari perilaku reproduksi melalui pengamatan urutan peletakan kelamin keturunan pada perlakuan jumlah inang 3, 6, 12, 24 dan 48 dan dipaparkan pada 1 dan 2 parasitoid; berbagai ciri kebugaran parasitoid T. chilotraeae pada jumlah inang 3, 6, 12, 24 dan 48; serta pengaruh kepadatan parasitoid, yakni kepadatan 1, 2, 3 dan 4 parasitoid betina terhadap nisbah kelamin keturunan.

Jumlah inang berpengaruh terhadap perilaku dan pola peletakan telur. Pada umumnya parasitoid T. chilotraeae memulai rangkaian peletakan telur dengan menghasilkan keturunan betina. Faktor jumlah inang dan kepadatan parasitoid betina berpengaruh pada perilaku selfsuperparasitism. Jumlah inang juga berpengaruh terhadap berbagai ciri kebugaran dan efisiensi pemarasitan. Rasio 24 inang dengan 1 parasitoid betina lebih efisien dibandingkan rasio 48 inang dengan 1 parasitoid, dengan pemarasitan paling efektif terjadi pada tiga jam pertama hari pertama. Meningkatnya kepadatan parasitoid betina berpengaruh pada nisbah kelamin (proporsi betina). Nisbah kelamin semakin menurun seiring bertambahnya kepadatan parasitoid.

.

Page 3: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

2

PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI

PEMARASITAN PARASITOID Trichogramma chilotraeae

NAGARAJA & NAGARKATTI (HYMENOPTERA:

TRICHOGRAMMATIDAE) PADA BERBAGAI

JUMLAH INANG DAN KEPADATAN PARASITOID

HASRIYANTY

T e s i s

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

Page 4: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

3

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasit an Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid”, dilaksanakan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanaian Bogor pada bulan Juni 2005 hingga Maret 2006.

Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. sebagai anggota atas segala bimbingan dan petunjuknya selama penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi serta seluruh staf pengajar Pascasarjana Program Studi Entomologi Fitopatologi yang telah memberikan pengetahuan yang tak ternilai harganya selama masa perkuliahan. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor serta Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB. Demikian pula pada Pengelola Biaya Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) Dikti atas dukungan biaya selama masa studi.

Penghargaan dan ungkapan terima kasih kembali penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku penanggungjawab Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator atas perizinan untuk menggunakan semua bahan dan peralatan penelitian di laboratorium sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Terima kasih juga kepada Adha Sari, Bandung Sahari dan Akhmad Rizali atas diskusi dan masukan-masukannya serta kepada seluruh anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator untuk segala pertemanan dan menciptakan suasana kekeluargaan di laboratorium, juga kepada mahasiswa pascasarjana Entomologi Fitopatologi angkatan 2004 terima kasih untuk persahabatan, bantuan serta dukungan dalam menyelesaikan studi.

Pada akhirnya, karya ini penulis persembahkan buat ayahanda dan ibunda tercinta karena dengan doa dan keridhaan semua ini dapat berjalan lancar, serta kepada suami terkasih Andi Amran Mappasittung, kedua anakku Andi Aura Amaliyah dan Andi Azra Amaliyah atas keikhlasan, pengertian, doa dan dorongan serta semangat untuk pencapaian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 25 Agustus 2006

Hasriyanty

Page 5: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

4

Judul tesis : Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasitan Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid

Nama : Hasriyanty

NIM : A451040011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal UJian: 25 Agustus 2006 Tanggal Lulus : 26 September 2006

Page 6: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

5

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Soni, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah pada tanggal 27 Oktober 1972 dari Ayah Hi. Latjella Mannessa dan Ibu Hj. Djuhrana. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri I Palu dan pada tahun yang sama melanjutkan studi ke Universitas Tadulako Palu Jurusan Agronomi dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1996. Sejak Juni tahun 2001 penulis tercatat sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Pada tahun ajaran 2004/2005 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Sains, Program Studi Entomologi dan Fitopatologi Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan BPPS Dikti.

Page 7: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

16

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi Pemarasitan Parasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera:

Trichogrammatidae) pada Berbagai Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid

adalah benar karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, 25 Agustus 2006

Hasriyanty A451040011

Page 8: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

17

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi:

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.

Page 9: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

6

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xii

PENDAHULUAN ............................................................................ ...... 1

Latar Belakang ............................................................................................ 1

Tujuan Penelitian .................................................................. .......... 4

Manfaat Penelitian ................................................................ .......... 4

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... ...... 5

Parasitoid Telur Trichogrammatidae dalam Pengendalian Hayati ...................................................................................

5

Pengendalian Hayati Pada Hama Plutella xylostella ...................... 7

Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti dan Sebarannya ....................................................................................

9

Alokasi Jenis Kelamin Keturunan pada Trichogrammatidae .......... 10

BAHAN DAN METODE ....................................................................... 15

Waktu dan Tempat .......................................................................... 15

Persiapan Penelitian ........................................................................ 15

Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid ..................................................... 15

Perbanyakan serangga inang Corcyra cephalonica ............................ 15

Pelaksanaan Penelitian ................................................................... 16

Identifikasi Parasitoid ................................................................ 16

Pola Urutan Peletakan Telur ...................................................... 17

Studi Pengaruh Jumlah Inang terhadap Efisiensi Pemarasitan .. 18

Studi Waktu Pemarasitan Paling Efektif ................................... 19

Studi Pengaruh Jumlah Betina terhadap Nisbah Kelamin .......... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 21

Identifikasi Parasitoid .................................................................... 21

Perilaku Penemuan dan Penerimaan Inang .................................... 23

Pola Urutan Peletakan Telur Parasitoid T. chilotraeae .................. 25

Nisbah Kelamin .......................................................................... 32

Pengaruh Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid Terhadap

Page 10: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

7

Parasitisasi .................................................................................. 34

Persentase Selfsuperparasitism .................................................. 37

Efisiensi Pemarasitan Berbagai Jumlah Inang ................................ 41

Waktu Pemarasitan Paling Efektif ............................................ 45

Pengaruh Kepadatan Betina Terhadap Nisbah Kelamin Keturunan 46

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 50

Kesimpulan .................................................................................... 50

Saran .............................................................................................. 50

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 51

Page 11: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

8

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Alokasi jenis kelamin keturunan yang dihasilkan induk parasitoid T. chilotraeae pada peletakan telur ke-1 sampai peletakan telur ke-n................................................................................................

28

2 Frekuensi berbagai variasi pola urutan peletakan tiga telur pertama, parasitoid T. chilotraeae ...............................................

32

3 Rata-rata nisbah kelamin (proporsi betina) pada berbagai kepadatan inang dan kepadatan parasitoid .....................................

34

4 Total inang terparasit, persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai jumlah inang...................................................................................

35

5 Persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai kepadatan parasitoid inang ..............................................................................................

36

6 Persentase selfsuperparasitism pada berbagai jumlah inang.......... 37

7 Persentase selfsuperparasitism pada berbagai kepadatan parasitoid .......................................................................................

38

8 Frekuensi berbagai variasi selfsuperparasitism pada peletakan tiga telur pertama parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang ..............................................................................................

40

9 Total inang terparasit, rata-rata inang terparasit per hari, persentase kemunculan imago dan lama hidup parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang ......................................

41

Page 12: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

9

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Karakter morfologi T. chilotraeae hasil identifikasi; antena, sayap dan genitalia imago jantan...................................................

22

2 Karakter morfologi T. chilotraeae berdasarkan kunci identifikasi; antena, sayap dan genitalia imago jantan......................................

22

3 Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai jumlah inang, pemaparan satu parasitoid betina .............................................................................

26

4 Persentase keturunan betina yang diletakkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai jumlah inang, pemaparan dua parasitoid betina ............................................................................

30

5 Nisbah kelamin keturunan dari satu induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang .........................

33

6 Nisbah kelamin keturunan dari dua induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang ..........................

33

7 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan satu parasitoid betina .................................................

39

8 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan dua parasitoid betina .................................................

39

9 Grafik jumlah inang terparasit perhari ......................................... 42

10 Nisbah kelamin total satu parasitoid betina pada berbagai jumlah inang ...............................................................................................

43

11 Sebaran data nisbah kelamin parasitoid betina pada berbagai jumlah inang ..................................................................................

44

12 Proporsi keturunan betina pada setiap hari pengamatan selama masa hidup induk betina ................................................................

45

13 Grafik jumlah inang terparasit pada setiap 3 jam pemaparan ...... 45

14 Nisbah kelamin parasitoid T. chilotraeae pada berbagai kepadatan parasitoid ......................................................................

46

Page 13: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

18

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hama ulat daun kubis Plutella xylostella Lin. (Lepidoptera: Yponomeutidae)

merupakan salah satu hama penting pada pertanaman kubis yang dapat

menimbulkan kerusakan dan bisa mengakibatkan kegagalan panen. Selama ini,

ditingkat petani pengendalian hama ini biasanya menggunakan insektisida

sintetik, namun dari beberapa penelitian membuktikan bahwa hama ini mampu

mengembangkan sistem kekebalan sehingga menjadi resisten terhadap insektisida.

Bila hal ini terjadi maka biasanya petani akan meningkatkan dosis atau

mencampur berbagai jenis insektisida (Kfir 2002). Sebagai contoh, hasil

penelitian Rauf et al. (2005) melaporkan bahwa petani di tiga lokasi sentra

produksi kubis di pulau Jawa menggunakan 35 produk insektisida untuk

mengendalikan hama P. xylostella dan Crocidolomia vaponana (Fabricus)

(Lepidoptera: Noctuidae). Penggunaan insektisida yang berlebihan dan dengan

sifat insektisida yang berspektrum luas akan ikut mematikan berbagai jenis musuh

alami hama ini di lapangan. Sebagai akibatnya, bila tidak ada faktor alami yang

menekan maka populasi hama akan semakin tinggi dan lebih sulit untuk

dikendalikan (Kfir 2002).

P. xylostella dilaporkan merupakan serangga hama yang mempunyai

kemampuan untuk mengembangkan sifat resisten terhadap berbagai jenis

insektisida. Penggunaan DDT secara luas pada tahun 1940-an, telah

mengakibatkan hama ini dengan cepat menjadi resisten terhadap bahan aktif

insektisida tersebut. Selanjutnya dilaporkan bahwa P. xylostella resisten terhadap

diclorvos, cartap, methomiyl, chlorpyrifosmethyl dan malathion serta berbagai

bahan aktif insektisida lainnya (Kfir 2002). Hama ini bahkan merupakan serangga

hama pertama yang dilaporkan resisten terhadap bahan aktif insektisida mikroba

Bacillus thuringiensis Berl. (Tabone et al. 2003; Tabashnik et al. 1990 dalam

Nofemela 2004). Oleh karena itu, dibutuhkan teknik pengendalian yang tidak saja

efektif untuk menekan populasi hama tetapi lebih dari itu mampu mengatasi

permasalahan kemampuan hama ini mengembangkan sifat resisten.

Page 14: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

19

Pengendalian hayati menggunakan parasitoid merupakan teknik

pengendalian yang bisa mengatasi permasalahan serangga hama karena parasitoid

pada umumnya mempunyai kemampuan untuk memarasit ratusan inang sehingga

dapat dengan cepat menekan populasi hama. Parasitoid juga mempunyai sifat

selektif sehingga tidak menimbulkan dampak pada musuh alami lainnya dan tidak

menimbulkan resistensi pada hama sasaran (Nofemela 2004).

Di Indonesia, parasitoid P. xylostella yang selama ini dilaporkan hanya ada

satu spesies yakni Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae)

yang merupakan parasitoid larva (Kalshoven 1981). Tetapi dari hasil penelitian

Meilin (1999) melaporkan, dari hasil eksplorasi di beberapa daerah di wilayah

Jawa, ternyata didapatkan tiga spesies parasitoid telur dari famili

Trichogrammatidae yang menyerang telur P. xylostella yakni

Trichogrammatoidea cojuangcoi Nagaraja, Trichogrammatoidea armigera

Nagaraja dan Trichogramma flandersi Nagaraja & Nagarkatti. Dari eksplorasi

yang dilakukan di daerah Pangalengan Bandung pada penelitian ini, ternyata

diperoleh satu spesies parasitoid Trichogrammatidae lainnya yang menyerang

telur P. xylostella dan diidentifikasi sebagai Trichogramma chilotraeae Nagaraja

& Nagarkatti. Pemanfaatan parasitoid telur Trichogrammatidae ini dapat menjadi

pilihan karena dapat mengendalikan hama pada fase paling awal sehingga

kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin. Parasitoid ini juga dapat

dikembangbiakkan secara massal di laboratorium dengan menggunakan inang

pengganti Corcyra cephalonica Stointon (Lepidoptera: Pyralidae).

Berkenaan dengan tujuan untuk memanfaatkan parasitoid T. chilotraeae ini,

banyak aspek mendasar yang perlu dikaji baik dalam kaitannya dengan kegiatan

pembiakan massal, maupun untuk mengetahui berbagai karakter yang

berhubungan dengan kemampuan parasitoid ini untuk dapat berperan di lapangan

nantinya. Aspek tentang hubungan inang-parasitoid, kajian biologi reproduksi

untuk pengembangan metode pembiakan massal perlu diperhatikan untuk

mendapatkan parasitoid yang berkualitas tinggi, demikian pula aspek ekologi dan

perilaku reproduksinya.

Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan selama ini, menunjukkan

bahwa setiap spesies parasitoid Trichogrammatidae atau spesies yang sama tetapi

Page 15: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

20

berasal dari populai yang berbeda memiliki ciri-ciri biologi yang berbeda. Faktor

lingkungan, dalam hal ini kepadatan inang dan kepadatan parasitoid (foundres), juga

berpengaruh pada biologi dan perilaku reproduksi yang nantinya akan menentukan

kualitas parasitoid yang dihasilkan. Hasil penelitian Khan et al. (2004) melaporkan

bahwa parasitoid Trichogramma chilonis Ishii dapat merespon kondisi kepadatan

inang dan kepadatan induk parasitoid dan hal ini dapat berpengaruh pada berbagai

indikator kualitas yang diukur.

Jumlah inang dan kepadatan parasitoid akan berpengaruh pada perilaku

reproduksi, dalam hal ini pengaturan alokasi kelamin keturunan yang dihasilkan oleh

induk betina. Studi tentang pengaturan alokasi kelamin keturunan oleh induk

betina sebagai respon terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan pengamatan

urutan peletakan telur. Pengamatan ini akan memberikan gambaran mengenai

perilaku reproduksi parasitoid T. chilotraeae ini karena diketahui bahwa setiap

spesies parasitoid Hymenoptera mempunyai strategi peletakan telur yang berbeda.

Wanjberg (1993) melaporkan bawa pada parasitoid Trichogramma brassicae

Bezdenco, akan memulai rangkaian peletakan telur dengan meletakkan keturunan

jantan pada awal-awal peletakan telur. Demikian pula Colazza dan Wajnberg

(1998) melaporkan bahwa urutan peletakan telur parasitoid Trissolcus basalis

(Wollaston) (Hymenoptera: Scelionidae) pada berbagai jumlah inang dalam suatu

paket tidak diletakkan secara acak. Peletakan telur pertama pada semua perlakuan

berbagai jumlah inang selalu jantan (strategi “jantan pertama”), tetapi bentuk

alokasi kelamin keturunan akan berubah sebagai respon terhadap variasi jumlah

inang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari perilaku dan pola peletakan

telur parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang dan kepadatan

parasitoid ; (2) mempelajari efisiensi pemarasitan pada berbagai kepadatan inang;

dan (3) mempelajari pengaruh kepadatan parasitoid terhadap nisbah kelamin

keturunan.

Page 16: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

21

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang perilaku

reproduksi, pola peletakan telur, efisiensi pemarasitan dan pengaruh kepadatan

betina terhadap berbagai indikator yang diukur, nantinya dapat digunakan sebagai

dasar untuk menentukan langkah- langkah pengendalian yang akan dilakukan

terhadap serangga hama sasaran. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga

dapat memberikan informasi yang dapat digunakan dalam kaitannya dengan

kegiatan pembiakan massal di laboratorium untuk mendapatkan parasitoid yang

berkualitas.

Page 17: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

22

Pengendalian hayati menggunakan parasitoid telur family Trichogrammatidae

untuk mengendalikan berbagai jenis hama, terutama hama dari ordo Lepidoptera

telah banyak dilakukan secara rutin di beberapa negara, penggunaan parasitoid

Trichogrammatidae ini menjadi pilihan karena dapat mengendalikan hama pada

fase paling awal sehingga kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin, tidak

meninggalkan residu pada produk pertanian dan terutama aman terhadap

kesehatan manusia. Dilaporkan bahwa sampai saat ini lebih dari 32 juta hektar

lahan pertanian di seluruh dunia menggunakan parasitoid Trichogramma untuk

mengendalikan hama tanaman (Li 1994). Di Indonesia, penggunaan parasitoid

telur ini telah banyak digunakan dan berhasil mengendalikan hama penggerek

tebu, penggerek padi dan penggerek kedelai (Kalshoven 1981), dan saat ini telah

banyak dibiakkan secara massal sebagai teknologi alternatif non pestisida.

Nisbah kelamin keturunan parasitoid Hymenoptera diketahui bervariasi

antar satu spesies dengan spesies lainnya, bahkan dalam satu spesies akan

mempunyai nisbah kelamin keturunan yang berbeda tergantung dari kondisi

lingkungan (Godfray 1994). Hal ini dapat terjadi karena diketahui parasitoid

Hymeoptera mempunyai pola reproduksi haplodiploidi, dimana jantan haploid

berkembang dari telur yang tidak dibuahi dan betina diploid akan berkembang

dari telur yang dibuahi, dan penentuan kelamin keturunan dapat diatur oleh induk

betina berdasarkan keadaan lingkungan, jadi berdasarkan konsep ini maka nisbah

kelamin keturunan dapat menjadi ekstrim bias betina atau bias jantan (Colazza &

Wajnberg 1998).

Penelitian ini akan melihat bagaimana respon betina parasitoid T. chilotreae

pada berbagai kepadatan inang dan kepadatan parasitoid yang diamati melalui

strategi urutan peletakan kelamin keturunan, dan bagaimana pengaruhnya

terhadap berbagai indikator kualitas yang diukur.

Page 18: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

23

TINJAUAN PUSTAKA

Parasitoid Telur Trichogrammatidae dalam Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati merupakan suatu strategi pengendalian hama yang saat

ini banyak dikembangkan untuk menggantikan penggunaan pestisida sintetik yang

cenderung menimbulkan dampak negatif seperti resistensi dan resurgensi pada

hama sasaran, munculnya hama sekunder, pencemaran lingkungan dan

pengaruhnya pada kesehatan manusia serta residu pada produk pertanian dan

hewan. Istilah pengendalian hayati pertama kali diartikan sebagai penggunaan

musuh alami untuk mengendalikan hama. Akan tetapi kemudian berkembang dan

diartikan sebagai pengendalian hama tanpa menggunakan senyawa kimia

termasuk teknik pengembangan tanaman yang resisten terhadap hama dan

penyakit, modifikasi kultur teknis, pengaturan waktu tanam, eradikasi, pelepasan

jantan steril atau dengan menggunakan feromon (Wilson & Huffaker 1976).

Sedangkan menurut DeBach (1973), pengendalian hayati diartikan sebagai

kegiatan parasitoid, predator dan patogen yang memelihara dan menjaga

keseimbangan kepadatan polulasi suatu organisme lain pada suatu tingkat

populasi rata-rata tanpa pengendalian lain.

Salah satu kelompok musuh alami serangga hama yang banyak

dikembangkan adalah parasitoid. Parasitoid umumnya merupakan serangga dari

ordo Hymenoptera, tetapi beberapa spesies parasitoid juga dapat ditemukan pada

Ordo Diptera, Strepsiptera, Coleoptera dan Lepidoptera (Gord et al. 1999). Salah

satu famili dari ordo Hymenoptera yang anggotanya banyak berperan sebagai

parasitoid adalah famili Trichogrammatidae.

Parasitoid famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid yang telah

banyak dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mengendalikan berbagai jenis

hama karena sifatnya yang generalis. Pemanfaatan parasitoid ini juga sering

menjadi pilihan karena merupakan parasitoid telur yang mengendalikan hama

pada fase paling awal sehingga kerusakan tanaman dapat dicegah sedini mungkin.

Parasitoid ini juga mudah ditangani dan penggunaannya di lapangan dapat

Page 19: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

digabungkan dan kompatibel dengan metode pengendalian lain (Alba 1988)

sehingga dapat mendukung pelaksanaan PHT di lapangan. Parasitoid ini terutama

banyak digunakan untuk menekan hama penting dari ordo Lepidoptera. Beberapa

spesies Trichogramma juga dapat memarasit telur Coleoptera, Diptera,

Heteroptera, Hymenoptera dan Neuroptera (Smith 1996; Knutson 2002).

Dalam Famili Trichogrammatidae terdapat 80 genera dan semuanya

diketahui merupakan parasitoid telur (Pinto & Stouthamer 1994). Dua genera

yang terkenal adalah Trichogramma dan Trichogrammatoidea (Clausen 1940;

Nagarkatti & Nagaraja 1977). Di Indonesia, beberapa parasitoid

Trichogrammatidae yang pernah dilaporkan antara lain: Trichogramma japonicum

Ashmead, Trichogrammatoidea nana Zehnt (Kalshoven 1981), Trichogramma

australicum Girault (Nagarkatti & Nagaraja 1977; Kalshoven 1981),

T. chilotraeae, Trichogrammatoidea armigera Nagaraja (Nagarkatti & Nagaraja

1977; Nurindah & Bindra 1989), Trichogrammatoidea guamensis Nagaraja

(Nurindah & Bindra 1989), Trichogramma flandersi dan Trichogrammatoidea

cojuangcoi Nagaraja (Meilin, 1999).

Sejarah penggunaan Trichogramma untuk mengendalikan berbagai jenis

serangga hama telah berlangsung sejak lama. Namun demikian, baru pada tahun

1926 Trichogramma mulai dibiakkan secara massal ketika Flander untuk pertama

kalinya mengembangkan sistem pengembangbiakan massal dengan menggunakan

telur inang pengganti Sitotroga cerealella Oliver (Lepidoptera: Gelechiidae)

(Li 1994). Selama 20 tahun terakhir parasitoid Trichogramma telah digunakan

secara luas terutama untuk mengendalikan hama-hama pada tanaman pangan,

misalnya padi, jagung, gandum dan sorgum; pada tanaman industri seperti tebu,

kapas dan kedelai; serta sayuran dan buah-buahan (Li 1994). Di Indonesia,

Trichogramma telah digunakan untuk mengendalikan hama pada tanaman kapas,

bit gula, anggur, kubis, apel, tomat dan padi (Smith 1996). Beberapa hasil

penelitian juga menunjukkan keefektifan penggunaan parasitoid Trichogramma

dan Trichogrammatoidea untuk mengendalikan berbagai jenis hama di lapangan.

Penelitian Ramlan (2001) menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi T. armigera

populasi Cianjur sebesar 37,77% dan berhasil menurunkan kerusakan polong

kedelai sebesar 23,27% serta meningkatkan produksi sebesar 70 gr biji kering/10

Page 20: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

rumpun tanaman. Hasil penelitian Herlinda et al. (1997) menunjukkan bahwa

Trichogrammatoidea bactrae bactrae Nagaraja berhasil menurunkan kerusakan

polong akibat serangan hama Etiella zinkenella (Treitschke) (Lepidoptera:

Pyralidae) pada tanaman kedelai. Di luar negeri, penggunaan parasitoid

Trichogramma ini telah dilakukan secara komersial pada lebih dari 32 juta hektar

lahan per tahun di Cina, Eropa, Asia, Amerika Selatan, Australia dan Amerika

Serikat (Li 1994). Pada tahun 1972, dilaporkan bahwa di India telah

dikembangkan pelepasan T. armigera bersama-sama T. australicum,

Trichogramma achaeae Nagaraja & Nagarkatti dan Telenomus sp. untuk

mengatasi serangan Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptera: Noctuidae) pada

berbagai tanaman yang bermanfaat secara ekonomi.

Pengendalian Hayati pada Hama Plutella xylostella

Beberapa agens hayati dilaporkan dapat digunakan untuk mengendalikan

populasi P. xylostella. B. thuringiensis merupakan salah satu mikroba dari

golongan bakteri yang diketahui efektif untuk mengendalikan hama ini.

B. thuringiensis sudah sejak lama diproduksi secara komersial dan dikemas dalam

bentuk formulasi yang mudah diaplikasikan di lapangan (Kfir 2002). Di

Indonesia, beberapa petani di Cianjur dan Bandung dilaporkan telah

menggunakan formulasi bioinsektisida B. thuringiensis ini dalam berbagai merek

dagang, antara lain Agrisal WP, Bactospeine WP, Dipel WP dan Thuricide HP

(Rauf et al, 2005). Polyhedral, dan granulosis virus juga dilaporkan pernah

digunakan untuk mengendalikan hama ini. Cendawan Beauveria brongniartii

(Saccardo) telah digunakan di Prancis dan Beauveria bassaiana (Balsamo) dalam

bentuk formulasi komersil Boverin telah digunakan di Amerika (Kfir 2002).

Dari kelompok parasitoid, beberapa spesies parasitoid larva yakni Cotessia

plutella Kurdjumov (Hymenoptera: Braconidae) dan Diadegma mollipla

(Holmgren) (Hymenoptera: Ichneumonidae) telah digunakan secara luas di

pertanaman kubis di Afrika Selatan (Nofemela 2004). Di Kanada bagian barat

dilaporkan parasitoid Diadegma insulare Cresson (Hymenoptera:

Ichneumonidae), Microplitis plutellae Muesbeck (Hymenoptera: Braconidae) dan

Diadromus subtilicornis (Gravenhorst) (Hymenoptera: Ichneumonidae) (Street

Page 21: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

2000). Di Indonesia, dilaporkan ada satu spesies parasitoid larva yakni D.

semiclausum (Kalshoven 1981).

Akhir-akhir ini, banyak dikaji penggunaan musuh alami parasitoid telur

dari famili Trichogrammatidae yang berpotensi sebagai agens pengendali hayati

yang efektif. Parasitoid telur mempunyai keuntungan dibanding dengan parasitoid

larva, karena menyerang telur hama, sehingga dapat mengendalikan hama pada

fase paling awal sebelum hama merusak tanaman. Di Indonesia, khususnya di

pulau Jawa telah dilaporkan ada tiga spesies parasitoid Trichogrammatidae yang

diidentifikasi sebagai parasitoid telur P. xylostella yakni T. flandersi, T.

cojuangcoi, dan T. armigera (Meilin 1999). Sedangkan di luar negeri, beberapa

yang dapat disebutkan antara lain: di Cina Selatan dilaporkan ada 5 spesies

Trichogramma dan Trichogrammatoidea yakni Trichogramma confusum

Nagaraja, Trichogrammatoidea bactrae Nagaraja, Trichogramma ostriniae Pang

& Chen, Trichogramma raoi Nagaraja dan Trichogramma bilingensis He & Pang

(Yurong et al. 2003; Huang et al. 2005), di Australia T. bactrae dan

Trichogramma pretiosum Riley (Liu et al. 2004), di Jepang, parasitoid

Trichogramma chilonis Ishii serta di Filipina Trichogramma evanescens

Westwood dan T. armigera (Alba 1988). Miura (2003) melaporkan bahwa

penggunaan T. chilonis mampu mengendalikan P. xylostella dalam rumah kaca

dengan tingkat parasitisasi mencapai 80%. Klem et al. (1992) melaporkan

terdapat 27 spesies Trichogramma dan Trichogrammatoidea yang memarasit

P. xylostella yang berasal dari USSR, Prancis, Cina, Amerika, Taiwan dan

Thailand, tetapi hanya ada 7 spesies yang memungkinkan untuk dikembangkan

lebih lanjut untuk tujuan pengendalian, yakni; T. bactrae, Trichogramma

principium Sug & Sor, T. pretiosum, Trichogramma leptoparameron Dyurich,

T. chilonis, T. confusum dan T. ostriniae. Menurut laporan Tabone et al. (2003),

terdapat 40 strain Trichogramma yang menyerang hama P. xylostella. Di Amerika

ada 5 spesies Trichogramma yang diproduksi secara komersil yakni T. pretiosum,

T. ostriniae, T. platneri, T. minutum dan T. brassicae serta satu spesies juga

sedang dikembangkan yakni T. bactrae (Vasquez et al. 1997).

Page 22: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti dan Sebarannya

Dalam klasifikasi, Trichogramma chilotraeae termasuk dalam famili

Trichogrammatidae, superfamili Chalcidoidea, Ordo Hymenoptera (Borror et al.

1992). Identifikasi Trichogramma dan Trichogrammatoidea sangat sulit

dilakukan karena keduanya mempunyai perbedaan morfologis yang sangat kecil,

spesies-spesies dari kedua genus tersebut mempunyai sebaran luas dan strain yang

bervariasi. Perbedaan kedua genus tersebut dapat dilihat pada karakter sayap

depan, antena jantan dan genitalia imago jantan (Nagarkatti & Nagaraja 1977;

Alba 1988). Identifikasi spesies di dasarkan pada beberapa karakter dari genitalia

jantan yang sangat khas untuk masing-masing spesies. Untuk melakukan

identifikasi maka sebelumnya harus dilakukan pembuatan preparat mikroskop.

T. chilotraeae memiliki dorsal expansion gonobase (DEG) kurang lebih

berbentuk segitiga dengan chelat structures (CS) yang besar dan terletak jauh dari

ujung gonoforceps (GF) (Alba 1988).

Informasi penyebaran parasitoid T. chilotraeae di Indonesia sampai saat ini

belum diketahui secara pasti karena terbatasnya eksplorasi dan penelitian-

penelitian yang dilakukan. Untuk pulau Jawa, beberapa penelitian menunjukkan

bahwa parasitoid T. chilotraeae dijumpai menyerang telur H. armigera pada

tanaman jagung (Nurindah & Bindra 1989), Chillo suppressalis (Wlk.)

(Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman padi, dan Ostrinia furnacalis (Guenee)

(Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman jagung (Kalshoven 1981), tetapi belum

pernah di laporkan menyerang telur P. xylostella. Di Malaysia, India, Kambodja,

Filipina dan Thailand, parasitoid ini juga dilaporkan menyerang telur hama

C. suppressalis dan O. furnacalis (Suasa 2002)

Page 23: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

Alokasi Jenis Kelamin Keturunan pada Trichogrammatidae

Pada umumnya parasitoid Hymenoptera adalah haplodiploid. Jantan haploid

berkembang dari telur yang tidak dibuahi dan betina diploid berkembang dari telur

yang dibuahi. Betina yang tidak berkopulasi akan menghasilkan keturunan yang

semuanya jantan, sementara betina yang telah berkopulasi akan menyimpan

sperma dalam spermateka dan pada saat peletakan telur, betina dapat mengatur

alokasi kelamin keturunan sepanjang peletakan telur berdasarkan kondisi

lingkungan (Godfray 1994; Ode & Hunter 2002).

Strategi dalam mengatur alokasi kelamin keturunan oleh induk betina

dilaporkan mempunyai pola tertentu. Strategi tersebut dilakukan sebagai tanggap

terhadap kondisi lingkungan, dalam hal ini jumlah betina (Wanjberg 1994) atau

kondisi jumlah inang (Colazza & Wajnberg 1998). Pada umumnya, induk betina

meletakkan keturunan jantan pada awal-awal peletakan telur, atau biasa disebut

“strategi jantan pertama”. Penelitian Wanjberg (1993) menunjukkan bahwa pada

jumlah inang tetap, induk betina parasitoid T. brassicae, akan memulai rangkaian

peletakan telur dengan peletakan telur jantan dilakukan pada suatu jarak yang

teratur. Sebaliknya hasil penelitian Tagawa (2000) menjelaskan bahwa pada

parasitoid Cotesia glomerata L. (Hymenoptera: Braconidae) betina yang telah

berkopulasi tidak mempunyai pola kecenderungan untuk meletakkan keturunan

jantan atau betina pada awal ataupun pada akhir rangkaian peletakan telur.

Alokasi jenis kelamin keturunan yang diletakkan oleh induk betina,

tergambar pada suatu pola peletakan telur yang pada akhirnya dapat dilihat pada

nisbah kelamin keturunan. Alokasi keturunan ini meletakkan keturunan jantan

pada awal-awal peletakan telur. Strategi peletakan keturunan jantan pada awal-

awal peletakan telur juga dilaporkan terjadi pada parasitoid T. basalis (Colazza &

Wajnberg 1998) dan pada parasitoid Telenomus busseolae Gahan (Hymenoptera:

Scelionidae) (Bayram et al. 2004). Pada kedua penelitian ini dilaporkan bahwa

strategi ”jantan pertama” terjadi pada semua perlakuan jumlah inang. Bila jumlah

inang bertambah maka pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor parasitoid dan

faktor inang. Faktor parasitoid yakni kepadatan betina yang mengeksploitasi suatu

patch, sedangkan dari faktor inang dalam hal ini adalah kualitas inang, termasuk

ukuran inang, umur inang, superparasitisme dan jumlah inang. Selain itu,

Page 24: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

temperatur yang ekstrim juga akan mempengaruhi perilaku betina (Gordh et al.

1999).

Penelitian tentang alokasi kelamin keturunan karena pengaruh faktor

kepadatan betina yang mengeksploitasi suatu patch, dilakukan dengan melihat

pengaruhnya terhadap nisbah kelamin. Secara teoritikal, faktor kepadatan betina

yang mempengaruhi nisbah kelamin keturunan dapat diprediksi dan dijelaskan

berdasarkan teori alokasi kelamin keturunan. Teori Fisher memprediksi nisbah

kelamin keturunan secara umum yaitu 50 : 50 (Godfray 1994). Kondisi ini dapat

terjadi dengan asumsi setiap betina pada suatu populasi menghasilkan keturunan

betina dan keturunan jantan dengan proporsi yang sama, atau dapat terjadi karena

separuh betina menghasilkan keturunan jantan saja dan separuhnya menghasilkan

keturunan betina saja. Model prediksi nisbah kelamin keturunan berdasarkan

kepadatan parasitoid betina yang akhir-akhir ini banyak dikaji adalah

menggunakan pendekatan teori local mate competition (LMC) yang dikemukakan

oleh Hamilton (1967) yang memprediksi bahwa betina dapat mengubah alokasi

kelamin keturunan sebagai respon terhadap sibmating dan kepadatannya dalam

suatu patch. Betina dapat memprediksi dan meletakkan lebih banyak telur yang

tidak dibuahi pada kondisi dimana kepadatan betina tinggi. Berdasarkan teori ini

didapatkan model bahwa nisbah kelamin (proporsi jantan) untuk setiap n

foundres adalah (n – 1)/2n (Hamilton 1967). Persamaan ini selanjutnya

disempurnakan oleh Taylor dan Bulmer (1980) dalam Collazza dan Wajnberg,

(1998) dengan model persamaan [(n – 1)/2n] [4n -2] / [4n – 1]. Dengan asumsi ini

dapat diprediksi bahwa jika hanya ada satu betina yang mengkolonisasi suatu

kelompok inang, maka nisbah kelamin adalah 0, yang berarti nisbah kelamin

keturunan akan bias betina. Namun dalam kondisi ini parasitoid betina biasanya

akan meletakkan sedikit keturunan jantan yang nantinya dapat membuahi semua

saudaranya. Bila jumlah betina bertambah, maka nisbah kelamin juga akan

semakin tinggi dan diprediksi 50 : 50, dengan asumsi bertambahnya jumlah betina

pada suatu kelompok inang akan menyebabkan terjadinya kompetisi untuk

mendapatkan inang dan masing-masing akan meletakkan sedikit telur. Jika pada

awal peletakan telur, parasitoid betina meletakan telur jantan, maka sebagai akibat

pengurangan jumlah telur yang diletakkan adalah nisbah kelamin menjadi tinggi

Page 25: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

(bias jantan). Parasitoid betina mampu mengubah penentuan kelamin keturunan

berdasarkan respon sibmating dan kepadatan betina dalam suatu kelompok.

Wajnberg (1994) melaporkan bahwa pada parasitoid T. brassicae, nisbah kelamin

keturunan akan berbeda bila hanya 1 parasitoid betina yang mengkolonisasi

dengan nisbah kelamin 0,1791, dibandingkan dengan bila ada 2 atau 4 betina,

maka nisbah kelamin meningkat berturut-turut menjadi 0,2525 dan 0,2735.

Prediksi nisbah kelamin menggunakan pendekatan model LMC ini juga

dilaporkan oleh Gauthier et al. (1997) pada parasitoid soliter Dinarmus basalis

Rond. (Hymenoptera: Pteromalidae) dan Debout et al. (2002) pada parasitoid

Leptopilina heterotoma (Hymenopetara: Eucoliidae) menjelaskan bahwa, proporsi

keturunan jantan akan meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan induk

betina. Hal yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian Flanagan et al.

(1998) yang menunjukkan bahwa bila terdapat dua betina parasitoid Nasonia

vitripennis Walker (Hymenopetara: Pteromalidae) pada suatu patch, maka nisbah

kelamin akan berkorelasi negatif dengan jumlah telur yang diletakkan. Jumlah

telur yang diletakkan semakin sedikit seiring bertambahnya kepadatan betina. Hal

lain yang juga dijelaskan adalah bahwa dalam suatu kondisi kepadatan betina

yang sedikit (2 betina) maka nisbah kelamin yang dihasilkan berkorelasi positif

dengan ukuran tubuh betina lainnya pada suatu patch. Betina yang mempunyai

ukuran tubuh lebih besar akan meletakkan telur lebih banyak dan akibatnya akan

menyebabkan nisbah keturunan menjadi bias betina.

Terjadinya superparasitisme merupakan pendekatan lain yang dapat

menjelaskan kenapa nisbah kelamin akan meningkat bila kepadatan betina pada

suatu patch bertambah. Bila kepadatan betina meningkat sedangkan jumlah inang

tetap, maka ketersediaan inang menjadi terbatas, pada keadaan ini dapat terjadi

superparasitisme. Bila terjadi superparasitisme pada satu inang, biasanya imago

yang berhasil hidup adalah imago jantan (Werren 1984; Godfray 1994; Gauthier

et al. 1997).

Ukuran inang mempengaruhi alokasi kelamin keturunan. Teori ini

pertamakali dikemukakan oleh Charnov yang menyatakan bahwa jika sejumlah

inang yang dipaparkan pada parasitoid betina mempunyai ukuran yang tidak

sama, umumnya parasitoid akan meletakkan keturunan betina pada inang yang

Page 26: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

relatif lebih besar dan keturunan jantan pada inang yang relatif lebih kecil

(Godfray 1994). Teori ini telah dibuktikan pada beberapa parasitoid Hymenoptera.

Bernal et al. (1999) melaporkan bahwa ukuran inang berpengaruh nyata terhadap

nisbah kelamin keturunan yang dihasilkan parasitoid betina Metaphycus stanleyi

Compere dan M. flavus Howard (Hymenoptera: Encyrtidae). Ode dan Heinz

(2002) juga melaporkan bahwa keturunan betina pada parasitoid Dyglyphus isaeae

Walker (Hymenoptera: Eulophidae) akan muncul dari inang yang relatif lebih

besar dan keturunan jantan akan muncul dari inang yang relatif lebih kecil. Hal

yang sama juga dilaporkan oleh Mayhew dan Godfray (1997) pada prasitoid

Laelus pedatus Say. (Hymenoptera: Bethylidae), yang merupakan parasitoid yang

dapat meletakkan satu sampai lima telur pada satu inang. Bila hanya meletakkan

satu keturunan, keturunan jantan akan diletakkan pada inang berukuran kecil,

sementara keturunan betina diletakkan pada inang berukuran besar. Bila

meletakkan lebih dari satu telur pada satu inang maka pada inang yang besar akan

diletakkan satu telur jantan dan satu atau lebih telur betina.

Faktor umur inang akan mempengaruhi penerimaan dan kesesuaian inang

bagi perkembangan parasitoid dan akhirnya mempengaruhi kebugaran parasitoid.

Pada umumnya, parasitoid menyukai telur yang masih muda, karena kemungkinan

larva parasitoid lebih mudah mencerna kuning telur dibandingkan bila inang

sudah akan menjadi larva (Godfray 1994). Hasil penelitian Ruberson dan Kring

(1993) menunjukkan bahwa umur inang sangat berpengaruh terhadap penerimaan

dan kesesuaian pada parasitoid T. pretiosum. Waktu perkembangan dan daya

hidup parasitoid menurun pada inang yang berumur 62 jam dibanding inang yang

berumur 38 jam atau 14 jam. Akan tetapi hal berbeda ditunjukkan dari hasil

penelitian Reznik et al. (1997) yang menjelaskan bahwa penerimaan inang pada

parasitoid T. principium tidak hanya dipengaruhi oleh umur inang yang saat itu

diberikan, tetapi juga bergantung pada inang yang didapatkan sebelumnya. Inang

yang berumur lebih tua dapat diterima bila sebelumnya parasitoid betina telah

melakukan peletakan telur pada inang yang umurnya lebih muda. Sementara itu

Godin dan Boivin (2000) menjelaskan bahwa pengaruh umur inang terhadap

penerimaan beberapa parasitoid Trichogramma dan Trichogrammatoidea juga

sangat tergantung dari spesies inangnya. Nisbah kelamin tidak berbeda diantara

Page 27: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

perlakuan umur inang pada inang Trichoplusia ni Hubner (Lepidoptera:

Noctuidae) dan Pieris rapae L (Lepidoptera: Pieridae), sementara pada inang P.

xylostella umur inang berpengaruh pada nisbah kelamin.

Pengaruh jumlah inang yang tersedia pada satu kelompok juga diketahui

dapat mempengaruhi nisbah kelamin keturunan. Colazza dan Wajnberg (1998)

melaporkan bahwa nisbah kelamin keturunan yang dihasilkan parasitoid betina

T. basalis secara signifikan berbeda nyata pada jumlah inang yang berbeda.

Nisbah kelamin (proporsi jantan) semakin menurun seiring bertambahnya jumlah

inang. Percobaan dilakukan dengan menempatkan satu parasitoid betina untuk

memarasit sekelompok telur inang dalam jumlah yang berbeda yakni; 4, 8, 16, 32,

64 dan 128. Dari percobaan tersebut dilaporkan bahwa nisbah kelamin keturunan

yang didapatkan adalah 0,405 pada jumlah telur inang 4 dan menurun menjadi

0,087 untuk jumlah telur inang 32. Akan tetapi, nisbah kelamin kembali

meningkat pada kelompok telur 64 dan 128 yakni masing-masing 0,129 dan

0,168. Menurut Godfray (1994), bila jumlah inang berlebihan maka seiring

dengan waktu nisbah kelamin akan bias jantan karena berkurangnya sperma. Hal

yang sama juga dilaporkan oleh Bayram et al. (2004) mengemukakan bahwa pada

parasitoid T. busseolae, nisbah kelamin akan menurun pada perlakuan jumlah

inang 4, 8, 16 dan 32 dan cenderung meningkat pada perlakuan 64 dan 128 inang.

Meski demikian, secara statistik nisbah kelamin pada perlakuan 8 inang tidak

berbeda nyata dengan perlakuan 16, 32, 64 dan 128 inang.

Page 28: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Maret 2006

bertempat di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Persiapan Penelitian

Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid

Parasitoid T. chilotraeae yang digunakan pada penelitian ini berasal dari

areal pertanaman kubis di daerah Pangalengan Bandung. Koleksi parasitoid

dilakukan dengan cara mengumpulkan kelompok-kelompok telur P. xylostella

yang ada pada daun kubis dengan menggunakan tangan (hand collection method).

Telur yang terkumpul dibawa ke laboratorium dan diinkubasikan sampai

parasitoid muncul dari telur yang terparasit. Parasitoid tersebut kemudian

dikembangbiakkan pada telur inang pengganti C. cephalonica. Parasitoid dari

perbanyakan ini kemudian diidentifikasi dan dibiakkan lebih lanjut sebagai bahan

penelitian.

Perbanyakan parasitoid dilakukan dengan cara menempelkan telur inang

pengganti C. cephalonica menggunakan gom arabik pada suatu pias (potongan

karton yang berukuran 1 x 4 cm). Telur inang pada pias kemudian didinginkan di

dalam freezer selama 2 jam dengan tujuan untuk membunuh embrio dalam telur.

Telur inang selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi untuk dipaparkan

pada parasitoid. Parasitoid yang digunakan pada penelitian ini adalah keturunan

F6 – F33.

Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica

Perbanyakan C. cephalonica dimaksudkan untuk mendapatkan telur yang

akan digunakan sebagai inang pengganti untuk perbanyakan parasitoid dan inang

untuk percobaan. Perbanyakan C. cephalonica mengacu pada Herlinda (1995),

dimana imago jantan dan betina C. cephalonica yang didapat dari gudang pakan,

dimasukkan dalam kotak peneluran yang berbentuk silinder dan terbuat dari

Page 29: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

52

karton dengan diameter 8 cm dan tinggi 20 cm dengan bagian atas dan bawah

yang ditutup dengan kawat kasa 25 mesh sebagai tempat bertelur C. cephalonica.

Selang satu hari, telur-telur yang menempel pada kawat kasa dipanen dengan

menggunakan kuas dan ditempatkan pada cawan petri. Sebagian telur digunakan

untuk perbanyakan C. cephalonica itu sendiri dengan cara menaburkan telur pada

kotak perbanyakan yang berisi media campuran pakan ayam dan dedak dengan

ketebalan sekitar 3 cm dan sebagian lainnya digunakan untuk inang perbanyakan

parasitoid dan inang pada pelaksanaan percobaan.

Pelaksanaan Penelitian

Identifikasi Parasitoid

Parasitoid Trichogrammatidae yang diperoleh dari lapangan

dikembangbiakkan di laboratorium, selanjutnya diidentifikasi secara morfologi

untuk menentukan genus dan spesies. Identifikasi didasarkan pada ciri-ciri sayap

depan, sayap belakang, antena dan genitalia jantan berdasarkan kunci identifikasi

Nagarkatti dan Nagaraja (1977), Alba (1988) dan Nurindah (2002).

Indentifikasi dilakukan dengan cara menyiapkan spesimen imago jantan

parastoid. Untuk melihat morfologi luar parasitoid, dibuat dalam bentuk preparat

sementara yaitu spesimen langsung ditata pada gelas obyek yang sebelumnya

ditetesi larutan larutan Hoyer dan ditutup dengan gelas penutup. Sedangkan untuk

melihat alat genitalia, spesimen parasitoid disiapkan dalam bentuk preparat

permanen dengan cara dilakukan penjernihan terlebih dahulu. Dalam proses

penjernihan, imago jantan ditempatkan dalam tabung reaksi yang diberi larutan

KOH 10% kemudian direbus dalam air selama ± 1 jam. Setelah jernih, dilakukan

penataan parasitoid di atas gelas obyek yang sebelumnya ditetesi larutan Hoyer

dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat kemudian dipanaskan pada hot plate

selama beberapa hari kemudian diamati di bawah mikroskop Olympus BX 50

yang dilengkapi kamera untuk di foto.

Page 30: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

53

Pola Urutan Peletakan Telur

Parasitoid yang digunakan pada percobaan ini adalah parasitoid yang telah

berumur 1 hari dan diperkirakan sudah berkopulasi serta telah diberi makan cairan

madu 10%. Parasitoid ditempatkan pada tabung reaksi sesuai dengan perlakuan

kepadatan parasitoid, yakni satu dan dua parasitoid. Sementara itu, pias ditempeli

telur inang dengan cara merekatkan telur satu per satu dan disusun dalam barisan-

barisan dimana jumlahnya disesuaikan dengan perlakuan, yakni 3, 6, 12, 24 dan

48 telur tiap pias. Pias kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah

berisi parasitoid dan selanjutnya diamati di bawah mikroskop. Untuk mencatat

setiap urutan telur inang yang diparasit maka terlebih dahulu dibuat skema yang

sama dengan barisan-barisan telur yang ada pada pias pada selembar kertas. Pada

skema inilah dicatat atau diberi kode dari setiap urutan pemarasitan yang teramati.

Selama pengamatan berlangsung, betina yang akan melakukan superparasitisme

(mendatangi inang yang sebelumnya sudah diparasit) dicegah dengan cara

mengganggu betina dengan menggunakan kuas halus.

Setelah semua telur inang terparasit atau pemarasitan telah berlangsung

selama 3 jam pada kelompok inang yang banyak, pias dikeluarkan dari dalam

tabung. Telur inang yang sudah diparasit kemudian dipisahkan satu persatu

menggunakan cutter dan selanjutnya dimasukkan ke dalam microtube dan diberi

kode. Imago yang keluar kemudian diamati di bawah mikroskop untuk

mengetahui kelamin keturunan pada setiap urutan peletakan telur.

Pada masing-masing kepadatan satu dan dua parasitoid betina, percobaan

dilaksanakan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan

jumlah inang yakni 3, 6, 12, 24 dan 48 inang. Setiap perlakuan jumlah inang

dilaksanakan dalam 20 ulangan sehingga terdapat 200 unit perlakuan.

Data kecenderungan kelamin keturunan yang dihasilkan pada setiap urutan

peletakan telur pada masing-masing kepadatan parasitoid dianalisis secara

deskriptif, diambil dari data persentase betina selama urutan peletakan telur.

Analisis deskriptif juga dilakukan untuk menggambarkan kecenderungan

selfsuperparasitism sepanjang rangkaian peletakan telur.

Data urutan peletakan telur pada kepadatan satu parasitoid betina dianalisis

lebih lanjut untuk melihat perbandingan kelamin keturunan betina-jantan pada

setiap urutan peletakan telur. Perbandingan kelamin keturunan dianalisis

Page 31: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

54

menggunakan metode nonparametrik dengan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan

dengan uji Sign test dan uji Wilcoxon signed rank test.

Data jumlah inang terparasit, persentase inang terparasit, persentase

keturunan betina, persentase keturunan jantan dan persentase selfsuperparasitism

serta nisbah kelamin yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan kepadatan

satu dan dua parasitoid betina dianalisis dengan ANOVA dan dilajutkan dengan

uji Tukey pada a 0,05. Pengaruh kepadatan parasitoid pada masing-masing

perlakuan jumlah inang dianalisis menggunakan uji t. Data diolah menggunakan

program Minitab.

Studi Pengaruh Jumlah Inang terhadap Efisiensi Pemarasitan

Percobaan ini dilakukan dengan membuat pias dengan jumlah inang

berbeda yakni; 3, 6, 12, 24, dan 48 telur. Masing-masing pias ditempatkan dalam

tabung reaksi. Pada setiap tabung reaksi tersebut dimasukkan satu betina

parasitoid yang telah berumur 1 hari dan telah berkopulasi. Pemaparan dilakukan

selama 24 jam. Setiap hari pias diganti dengan telur inang yang baru. Masing-

masing perlakuan diulang sebanyak 20 kali. Telur yang sudah terparasit

selanjutnya dipelihara pada suhu ruang 27oC. Pada hari ketiga dan keempat, telur

yang tidak terparasit dihilangkan dan pias dipelihara kembali sampai imago

muncul. Sexing dilakukan dengan bantuan mikroskop untuk menghitung proporsi

keturunan yang dihasilkan.

Parameter yang diamati adalah total inang terparasit, rata-rata inang

terparasit per hari, persentase kemunculan imago, lama hidup dan nisbah kelamin

keturunan (proporsi betina). Percobaan dilaksanaan dalam rancangan acak

lengkap. Parameter yang diamati dianalisis dengan ANOVA dan dilajutkan

dengan uji Tukey dengan a 0,05. Data diolah menggunakan program Minitab.

Page 32: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

55

Parameter yang diamati menggunakan rumus;

1. Total inang terparasit dihitung dengan menjumlahkan inang terparasit setiap

hari selama parasitoid hidup.

2. Rata-rata inang terparasit per hari ( x ) dihitung dengan rumus;

total inang terparasit x = lama masa produksi

3. Persentase pemunculan imago (PPI) diperoleh dengan cara menghitung

persentase imago yang keluar dari telur inang yang terparasit;

m PPI = x 100% N Dimana:

m = jumlah imago yang muncul

N = Total telur inang yang terparasit

3. Lama hidup dihitung mulai hari pertama imago keluar dari inang sampai

imago mati.

4. Nisbah kelamin (NK) = proporsi betina

r NK = R

Dimana :

r = jumlah imago betina yang muncul

R = Total imago yang muncul

Studi Waktu Pemarasitan Paling Efektif

Percobaan diawali dengan membuat pias dengan kepadatan inang 48 telur.

Pias selanjutnya ditempatkan dalam tabung reaksi dan dipaparkan pada satu

parasitoid betina yang telah berumur 1 hari dan telah berkopulasi. Setiap hari

pemaparan pias dilakukan empat kali; yakni pemaparan tiga jam pertama, tiga jam

kedua, tiga jam ketiga, dan 15 jam berikutnya. Masing-masing perlakuan diulang

sebanyak 20 kali. Telur yang sudah terparasit selanjutnya dipelihara pada suhu

ruang 27oC. Pada hari ketiga dan keempat, dihitung jumlah inang terparasit. Data

Page 33: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

56

rata-rata jumlah inang terparasit dianalisis dengan analisis deskriptif dan

ditampilkan dalam bentuk grafik Histogram.

Studi Pengaruh Jumlah Betina terhadap Nisbah Kelamin

Percobaan diawali dengan membuat pias pada kepadatan 48 telur inang.

Pias selanjutnya ditempatkan dalam tabung reaksi dan dipaparkan pada 1, 2, 3 dan

4 parasitoid betina. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 20 kali. Telur

yang sudah terparasit selanjutnya dipelihara pada suhu ruang 27oC. Pada hari

ketiga dan keempat, jumlah telur terparasit dihitung dan telur yang tidak terparasit

dihilangkan. Pias dipelihara kembali sampai imago muncul. Sexing dilakukan

dengan bantuan mikroskop untuk menghitung proporsi keturunan yang dihasilkan.

Data nisbah kelamin (proporsi betina) yang diamati dianalisis dengan

ANOVA yang dilajutkan dengan Tuckey a 0,05. Data diolah menggunakan

program Minitab.

Studi pengaruh jumlah betina parasitoid pada suatu kelompok inang yang tetap

terhadap nisbah kelamin keturunan: Percobaan ini bertujuan untuk melihat apakah

pertambahan jumlah parasitoid yang mengkolonisasi suatu kelompok inang yang

tetap berpengaruh terhadap variasi nisbah kelamin keturunan. Percobaan

dilakukan juga diawali dengan membuat pias dengan kepadatan inang berbeda

yakni, 3, 6, 12, 24, dan 48 telur, selanjutnya setiap kepadatan inang dipaparkan

pada 1, 2, 3 4, 5 dan 10 parasitoid betina yang telah berumur 1 hari dan telah

berkopulasi, pemaparan dilakukan selama 24 jam. Telur yang sudah terparasit

selanjutnya dipelihara pada suhu ruang 27oC sampai imago muncul, dan dengan

bantuan mikroskop dihitung proporsi keturunan yang dihasilkan. Selanjunya hasil

pengamatan dibandingkan dengan prediksi Local Mate Competititon oleh

Hamilton : r = [(n – 1)/2n] [4n -2] / [4n – 1], dimana (r = Prediksi nisbah

kelamin; n = jumlah betina parasitoid).

Peubah yang diamati menggunakan rumus :

1. Persen parasitisme (PP), dihitung dari persentase telur inang yang terparasit

setiap harinya :

n PP = x 100% N

Page 34: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

57

Dimana :

n = telur yang terparasit

N = Total telur inang dalam setiap perlakuan

2. Persentase pemunculan imago (PPI), diperoleh dengan cara menghitung

persentase imago yang keluar dari telur yang terparasit :

m PPI = x 100% M

Dimana :

m = jumlah imago yang muncul

N = Total telur inang yang terparasit

3. Lama masa reproduksi, dihitung mulai hari pertama imago betina meletakkan

telur sampai imago mati.

4. Nisbah kelamin (NK) = (proporsi betina)

r NK = x 100% R

Dimana :

r = jumlah imago betina yang muncul

R = Total imago yang muncul

Page 35: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

58

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Parasitoid

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakter antena, sayap depan dan alat

genitalia imago jantan menunjukkan bahwa parasitoid Trichogrammatidae yang

digunakan pada penelitian ini adalah spesies T. chilotraeae (Gambar 1). Pada

karakter antena ditemukan bagian club tidak bersegmen dengan rambut yang

panjang (Gambar 1A). Sayap depan mempunyai setae yang letaknya tersusun

dalam suatu susunan barisan, mempunyai tiga sampai empat trichia pada Rs1

dengan stigma yang mengarah kebawah dan fringe setae yang berukuran lebih

pendek jika dibandingkan dengan genus Trichogrammatoidea (Gambar 1B). Alat

genitalia jantan mempunyai dorsal expansion gonobase (DEG) kurang lebih

berbentuk segitiga dengan ujung yang runcing, chelat structure (CS) yang besar

dan terletak jauh dari ujung gonoforceps (GF) serta mempunyai aedagus yang

panjang dan runcing. Hal ini sesuai dengan deskripsi berdasarkan sumber

Nagarkatti dan Nagaraja (1977), Alba (1988) dan Nurindah (2002) (Gambar 2a,

2b dan 2c).

Parasitoid T. chilotraeae mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut; imago

jantan berwarna kuning dengan pronotum, mesopleurum, mesoscutum, abdominal

terga dan koksa tungkai belakang berwarna kehitaman. Imago betina berwarna

kekuningan pada bagian depan dan sebagian besar bagian mesoscutum. Panjang

imago 0,373 – 0,526 mm (tidak termasuk kepala). Pada umumnya imago betina

berukuran lebih besar daripada imago jantan.

Page 36: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

59

Gambar 2 Karakter morfologi T. chilotraeae berdasarkan kunci identifikasi; antena (a): 1-scapus, 2-pedicel, 3-anneli, 4-funicle, 5-club, 6-flagellum; Sayap (b): 1-submarginal vein, 2-pre marginal vein, 3-marginal vein, 4-stigma vein, 5-fringe setae, 6-Rs1; Alat genitalia (c): DEG (dorsal expansion gonobase); CR (chitized ridge); CS (chelate structure); MVP (median ventral projection) GF (gonoforceps); A (Aedagus). (a dan b sumber Nurindah 2002; c sumber Alba 1988).

a

b c

Gambar 1 Karakter morfologi T. chilotraeae hasil identifikasi; Antena (A); sayap depan (B) dan genitalia imago jantan (C). Hasil pemotretan (kamera Olympus BX 50 pembesaran 400 x ), Laboratorium Bioekologi Parasitoid IPB (20 April 2006).

A

B C

Page 37: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

60

Spesies T. chilotraeae yang memarasit telur P. xylostella yang ditemukan

pada penelitian ini relatif baru diketahui dan berbeda dengan spesies

Trichogrammatidae yang dilaporkan sebelumnya. Meilin (1999) melaporkan, dari

hasil eksplorasi di beberapa tempat di pulau Jawa, ditemukan tiga spesies

Trichogrammatidae yang menyerang telur P. xylostella yakni T. flandersi,

T. cojuangcoi dan T. armigera, di Filipina di laporkan dari spesies T. evanescens

yang diintroduksi dari Jerman (Alba 1988), sedangkan di India yakni spesies

T. armigera (Manjunath 1972 dalam Alba 1988). Selama ini, T. chilotraeae

dilaporkan memarasit telur H. armigera pada tanaman kapas dan jagung,

O. furnacalis pada tanaman jagung,dan C. infuscatella pada tanaman tebu (Alba

1989 ; Nurindah & Bindra 1989), tetapi belum pernah dilaporkan menyerang telur

P. xylostella. Di Malaysia, India, Kamboja, Filipina dan Thailand, parasitoid ini

dilaporkan menyerang telur hama penggerek batang padi bergaris C. suppressalis

pada tanaman padi dan O. furnacalis (Suasa 2002).

Perilaku Penemuan dan Penerimaan Inang

Hasil pengamatan perilaku penemuan dan penerimaan inang menunjukkan

bahwa sebelum menemukan inang, parasitoid melakukan kegiatan berjalan

mengelilingi sisi tabung secara acak selama 1 sampai 3 menit, kemudian hinggap

pada pias. Sebagian parasitoid langsung memeriksa inang sesaat setelah terjadi

kontak dengan inang dan selanjutnya melakukan oviposisi. Sebagian lainnya

berjalan secara acak melewati beberapa telur inang dan kemudian menetapkan

pilihan pada salah satu inang. Perilaku ini berhubungan dengan sifat bahwa

setelah menemukan inang untuk perkembangan keturunannya, parasitoid betina

harus dapat menentukan apakah individu inang tersebut dapat diterima. Beberapa

individu inang kemungkinan tidak dapat diterima atau tidak tepat untuk fase

perkembangan keturunan parasitoid, misalnya karena adanya penyakit pada inang,

kematian inang atau inang sudah diparasit oleh betina parasitoid yang sama

(Arthur 1981). Setelah terjadi kontak dengan inang, parasitoid selanjutnya

memeriksa inangnya dengan cara mengetuk-ketukkan antenanya (drumming) pada

permukaan inang. Selain itu, parasitoid juga menggunakan abdomennya untuk

mengetuk inang (tapping) kemudian memasukkan ovipositornya ke dalam inang.

Page 38: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

61

Pada saat pengamatan parasitoid betina terlihat melakukan gerakan

memasukkan ovipositornya dalam inang, ternyata parasitoid tidak selalu

meletakkan telur. Menurut Salt (1935) dalam Arthur (1981), untuk dapat diterima

atau tidak suatu inang, maka selain melakukan drumming dan tapping, parasitoid

akan kembali memeriksa dan mengukur inang pada saat memasukkan ovipositor.

Bila inang dianggap cocok maka parasitoid akan segera meletakkan telur dan bila

inang dianggap tidak cocok, maka ovipositor akan kembali dicabut tanpa

melakukan kegiatan peletakan telur.

Parasitoid T. chilotraeae mampu mengenali inang yang sudah terparasit. Hal

ini ditunjukkan oleh parasitoid yang tidak mau melakukan oviposisi pada telur

inang yang sudah terparasit sebelumnya. Sejalan dengan penjelasan Doutt et al.

(1976) bahwa imago betina Trichogramma mempunyai kemampuan untuk

membedakan antara inang yang sehat dan inang yang sudah terparasit melalui

reseptor penginderaan pada antena, tarsi dan ovipositornya. Lebih jauh hasil

penelitian Salt (1937) dalam Arthur (1981) menunjukkan bahwa parasitoid

Trichogramma mempunyai kemampuan untuk membedakan antara telur yang

bersih dan telur yang hanya dilewati oleh betina parasitoid lain dalam satu spesies.

Jika inang hanya dilewati, maka parasitoid dapat dengan cepat membedakan dari

sehatnya inang dan kemudian menyerangnya. Sebagai contoh, parasitoid betina

T. evanescens menggunakan feromon untuk menandai telur yang telah dicoba atau

telah diparasit dan ini memungkinkan betina lain untuk dapat membedakan antara

telur inang yang siap diparasit dengan telur yang tidak bisa diparasit. Kemampuan

untuk membedakan telur yang sudah terparasit ini menurut Jackson (1968) dalam

Arthur (1981) karena adanya feromon yang juga dimasukkan ke dalam inang

bersamaan dengan peletakan telur. Sekresi ini kemungkinan dihasilkan dalam acid

dan alkalin gland dalam tubuh betina.

Page 39: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

62

Pola Urutan Peletakan Telur Parasitoid T. chilotraeae

Parasitoid betina T. chilotraeae memberikan respon yang berbeda terhadap

jumlah inang dan kehadiran betina lainnya berupa pengaturan kelamin keturunan

ketika proses peletakan telur. Pada pemaparan satu parasitoid betina, pada

perlakuan jumlah inang yang terbatas (3 inang), parasitoid meresponnya dengan

selalu menghasilkan satu keturunan jantan pada setiap rangkaian tiga peletakan

telur pertama. Keturunan jantan cenderung dihasilkan pada peletakan telur kedua

atau ketiga, sehingga pola peletakan telur pada perlakuan 3 inang umumnya

adalah ”betina-betina-jantan”, dengan nilai 80% pada peletakan telur pertama,

55% pada peletakan telur kedua dan 35% pada peletakan telur ketiga (Gambar

3A). Ketika jumlah inang bertambah, parasitoid betina tidak selalu menghasilkan

keturunan jantan pertama pada tiga peletakan telur pertama.

Meskipun ada kecenderungan bahwa persentase keturunan betina berkurang

pada peletakan telur ketiga, tetapi persentasenya masih lebih tinggi bila

dibandingkan pada perlakuan 3 inang. Pada perlakuan 6 dan 12 inang, persentase

keturunan betina paling rendah terjadi pada peletakan telur keempat, sehingga

pola kelamin keturunan pada tiga peletakan telur pertama masih cenderung betina-

betina-betina. Pada perlakuan 24, meskipun persentase keturunan betina menurun

pada peletakan telur ketiga, tetapi pada peletakan telur kedua dihasilkan keturunan

betina dengan persentase yang tinggi. Pada perlakuan 48 inang, persentase

keturunan betina paling rendah baru dihasilkan pada peletakan telur ketujuh.

Menurunnya persentase keturunan betina pada akhir rangkaian peletakan

telur, seperti pada perlakuan 3 inang, juga terjadi pada perlakuan 24 inang

(Gambar 3D) dan perlakuan 48 inang (Gambar 3E). Menurunnya grafik pada

akhir rangkaian peletakan telur pada dua perlakuan tersebut, disebabkan oleh

sebagian parasitoid betina yang sudah tidak memarasit lagi atau memang hanya

menghasilkan keturunan jantan. Menurut Colazza dan Wajnberg (1998),

meningkatnya keturunan jantan pada akhir rangkaian peletakan telur pada kondisi

jumlah inang yang banyak, kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sperma

sehingga keturunan yang dihasilkan adalah keturunan haploid (jantan). Namun,

alasan ini menjadi kurang tepat bila dibandingkan dengan data pada gambar 9

yang menunjukkan bahwa parasitoid betina masih melakukan peletakan telur

Page 40: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

63

48 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47

6 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 2 3 4 5 6

sampai beberapa hari kemudian, meskipun dengan jumlah yang semakin

berkurang dibanding dengan hari pertama. Keturunan betina proporsinya juga

terlihat semakin berkurang setiap hari pengamatan (Gambar 12). Alasan lain yang

kemungkinan lebih tepat untuk menjelaskan hal ini adalah penjelasan Bayram et

al. (2004), yang menyatakan bahwa perilaku tersebut merupakan strategi induk

betina untuk mengantisipasi adanya kematian keturunan jantan yang diletakkan

pada awal rangkaian peletakan telur.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraeae

ini mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah inang yang ada dan

meresponnya dengan mengubah alokasi keturunan betina atau jantan sepanjang

peletakan telur. Kemampuan parasitoid untuk menaksir jumlah inang sesaat

Gambar 3 Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai kepadatan inang, pemaparan satu parasitoid betina.

( ------ = 50% keturunan betina)

Urutan peletakan telur

3 inang

0.00

20.00

40.0060.00

80.00

100.00

1 2 3

12 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

24 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23Pers

enta

se k

etur

unan

bet

ina A B

C D

E

Page 41: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

64

sebelum melakukan peletakan telur dan mengatur alokasi kelamin keturunan pada

suatu pola tertentu, kemungkinan disebabkan oleh beberapa petunjuk fisik yang

telah diterima oleh parasitoid. Parasitoid yang mengeksploitasi suatu kelompok

inang mempunyai kemampuan untuk mendapatkan informasi dengan cara berjalan

dan mengetukkan antenanya pada atau dekat pinggiran suatu kelompok inang

sebelum melakukan peletakan telur pertama (Colazza & Wajnberg 1998). Selain

itu, adanya petunjuk kimia yang dihasilkan oleh inang juga dapat dijadikan

petunjuk oleh parasitoid untuk mengukur jumlah inang (Bayram et al. 2004).

Mekanisme pertama kemungkinan yang digunakan oleh parasitoid T. chilotraeae

ini. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa parasitoid mempunyai perilaku

berjalan cepat secara acak melewati beberapa inang sambil mengetuk-ketukkan

antenanya sebelum menetapkan pilihan pada salah satu inang. Perilaku ini

kemungkinan merupakan cara parasitoid untuk mendapatkan informasi tersebut.

Bila alokasi kelamin keturunan yang dihasilkan induk betina pada setiap

urutan peletakan telur dilihat secara keseluruhan mulai dari peletakan telur ke-1

sampai peletakan telur ke-n (Tabel 1), menunjukkan bahwa jumlah keturunan

betina yang dihasilkan induk parasitoid cenderung akan semakin berkurang dari

peletakan telur pertama sampai peletakan telur keempat, kemudian kembali

meningkat pada peletakan telur kelima. Pada akhir rangkaian peletakan telur

keturunan betina yang dihasilkan cenderung menurun.

Page 42: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

65

Tabel 1 Alokasi jenis kelamin keturunan yang dihasilkan induk parasitoid T. chilotraeae pada peletakan telur ke-1 sampai peletakan telur ke-n

Peletakan telur ke

1 2 3 4 5 ... n Perlakuan

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Nilai tengahselisih betina- jantan

3 inang 16 4 11 7 7 10 (n: 3) 4 6 inang 13 2 12 6 13 5 10 6 13 3 (n: 6) 10 3 7.5 12 inang 12 3 17 0 10 7 7 8 14 4 (n: 12) 11 4 7.5 24 inang 14 2 19 0 10 5 12 6 16 3 (n: 24) 6 5 9.5 48 inang 15 0 12 3 12 2 10 7 10 2 (n: 36) 0 2 7 Total 70 11 71 16 52 29 39 27 53 12 27 14 N 81 87 81 66 65 41

Ket: n = peletakan telur terakhir

Berdasarkan hasil pengujian Kruskal-Wallis Test ternyata bahwa perlakuan

jumlah inang 3, 6, 12, 24 dan 48 tidak berpengaruh nyata terhadap rasio kelamin

keturunan betina-jantan pada setiap urutan peletakan telur (P = 0,403). Uji lanjut

dengan Sign test dan Wilcoxon signed rank test, diperoleh nilai P= 0,000, yang

berarti perbandingan kelamin keturunan (betina : jantan) bukan 50 : 50, dengan

nilai tengah dari selisih keturunan betina dikurangi keturunan jantan adalah 8

dengan metode Sign test, dan nilai 7,5 dengan metode Wilcoxon signed rank test.

Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya alokasi kelamin keturunan pada

parasitoid T. chilotraeae ini tidak sejalan dengan prediksi menurut teori Fisher

yang menyatakan bahwa setiap betina pada suatu populasi akan menghasilkan

keturunan betina dan jantan dengan proporsi yang sama.

Pada perlakuan 3 inang, menurunya proporsi betina dapat terjadi karena

beberapa hal. Pertama adalah ketiadaan sperma atau kedua karena memang hal ini

merupakan pilihan parasitoid, yang berarti seekor induk betina dengan sengaja

meletakkan keturunan jantan pada peletakan tersebut. Mekanisme kedua

tampaknya lebih berperan dibanding mekanisme pertama. Hal ini disebabkan pada

peletakan telur pertama dan peletakan telur kedua, induk betina lebih memilih

meletakkan keturunan betina dibandingkan keturunan jantan. Akibatnya pada

peletakan telur pada inang terakhir, keturunan jantan lebih banyak. Sebaliknya

pada keadaan jumlah inang yang banyak, akan memberikan peluang yang lebih

banyak pada induk betina untuk meletakkan telur, sehingga peletakan keturunan

jantan tidak dilakukan pada peletakan telur tertentu. Hasil ini memberikan

Page 43: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

66

implikasi penting pada kegiatan pelepasan parasitoid di lapangan. Jika kondisi

inang di lapangan rendah dan bila peletakan telur terakhir bias jantan, maka hal ini

akan memberikan implikasi tertentu pada perkembangan populasi parasitoid.

Menurunnya proporsi betina pada akhir rangkaian peletakan telur pada

perlakuan 24 dan 48 inang (juga digambarkan pada Gambar 1 D dan 1 E),

ternyata disebabkan karena rendahnya jumlah inang terparasit pada akhir

rangkaian peletakan telur, yakni hanya terdapat 11 inang terparasit pada perlakuan

24 inang dan 2 inang terparasit pada perlakuan 48 inang. Rendahnya inang

terparasit pada akhir rangkaian peletakan telur disebabkan karena beberapa

parasitoid sudah tidak memarasit lagi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu

kisaran optimum jumlah inang yang dapat diparasit oleh parasitoid T. chilotraeae

ini dalam jangka waktu 3 jam.

Pada pemaparan dua parasitoid betina (Gambar 4), terjadi pola yang

hampir sama dengan pemaparan satu parasitoid betina, yakni terjadi peletakan

keturunan betina pada peletakan telur awal. Meski demikian terdapat beberapa

perbedaan; (1) pada umumnya persentase peletakan keturunan betina pada awal

peletakan telur lebih rendah bila dibandingkan dengan pemaparan satu parasitoid

betina; (2) persentase peletakan keturunan betina masih terjadi pada akhir

rangkaian peletakan telur pada perlakuan 24 inang (Gambar 4C); (3) pada

perlakuan 48 inang terjadi peningkatan peletakan keturunan jantan pada

peletakan telur kedua (Gambar 4D). Berdasarkan hasil tersebut, mengindikasikan

bahwa peningkatan kepadatan betina pada suatu kelompok inang, akan

memberikan pengaruh kepada perilaku induk betina lainnya untuk mengatur

alokasi peletakan keturunan jantan atau betina sepanjang peletakan telur pada

suatu kelompok inang.

Page 44: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

67

48 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46

Meskipun dengan persentase yang berbeda, tetapi dapat dikatakan bahwa,

induk betina parasitoid T. chilotraeae cenderung akan meletakkan keturunan

betina pada peletakan telur awal. Hal ini terjadi baik pada pemaparan satu

parasitoid maupun pada pemaparan dua parasitoid betina. Hasil ini berbeda bila

dibandingkan dengan beberapa parasitoid Hymenoptera lainnya yang mempunyai

pola reproduksi haplodiploid, dimana dilaporkan memulai rangkaian peletakan

telur dengan menghasilkan keturunan jantan pada peletakan telur awal. Hasil

penelitian Wanjberg (1993) menunjukkan, parasitoid T. brassicae, akan memulai

rangkaian peletakan telur dengan menghasilkan keturunan jantan pada peletakan

telur awal. Demikian pula pada hasil penelitian Colazza dan Wajnberg (1998)

3 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 2 3

6 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 2 3 4 5 6

24 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23

12 inang

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pers

enta

se k

etur

unan

bet

ina

Gambar 4 Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai kepadatan inang, pemaparan dua parasitoid betina.

( ------ = 50% keturunan betina)

Urutan peletakan telur

A B

C D

E

Page 45: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

68

pada parasitoid T. basalis dan penelitian Bayram et al. (2004) pada parasitoid T.

busseolae, yang melaporkan bahwa urutan peletakan telur pada berbagai jumlah

inang dalam suatu paket tidak diletakkan secara acak, peletakan telur pertama

pada semua perlakuan berbagai jumlah inang selalu jantan (strategi “jantan

pertama”).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa, parasitoid betina sebenarnya tidak

mempunyai kemampuan untuk dapat menaksir jumlah inang sesaat sebelum

melakukan rangkaian peletakan telur pada suatu kelompok inang. Pola peletakan

telur pada berbagai jumlah inang hanya merupakan pengaruh tidak langsung dari

strategi jantan pertama. Bila inang bertambah, maka setelah meletakkan

keturunan jantan pertama pada awal peletakan telur, parasitoid selanjutnya akan

meletakkan keturunan jantan kedua setelah meletakkan keturunan betina dalam

jumlah yang banyak. Wajnberg (1993), menjelaskan bahwa perilaku ini

sebenarnya ditentukan oleh kontrol genetik.

Bila dibandingkan dengan parasitoid T. chilotraeae pada penelitian ini,

yang didasarkan pada pola alokasi kelamin keturunan pada tiga peletakan telur

pertama (Tabel 2), dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraea juga

mempunyai kecenderungan mengalokasikan keturunan jantan pertama pada

peletakan telur ketiga dengan pola betina-betina-jantan, atau pada peletakan kedua

dengan pola betina-jantan-betina. Akan tetapi, pola betina-betina-jantan atau

betina-jantan-betina ini umumnya terjadi pada perlakuan 3 inang. Sedangkan pada

pada perlakuan 6, 12, 24 inang umumnya pola betina-betina-betina. Jadi

berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa, pengaturan alokasi kelamin keturunan

sepanjang peletakan telur, dan dengan strategi peletakan keturunan betina pada

awal rangkaian peletakan telur pada parasitoid T. chilotraea ini, kemungkinan

bukan karena mekanisme kontrol genetik, akan tetapi memang disebabkan karena

mekanisme kemampuan parasitoid untuk mengukur jumlah inang dan kepadatan

parasitoid sebelum memulai rangkaian peletakan telur.

Meskipun demikian, hasil ini masih harus dikaji lebih lanjut, karena

beberapa faktor lain yang diabaikan pada penelitian ini sebenarnya dapat

mempengaruhi alokasi kelamin keturunan oleh induk betina, yakni: ukuran inang

(Mayhew & Godfray 1997; Bernal et al. 1999; Ode & Heinz 2002); dan umur

inang (Ruberson & Kring 1993; Goidin & Boivin 2000). Selain itu, alokasi

Page 46: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

69

keturunan kemungkinan juga dapat dipengaruhi oleh spesies inang yang

digunakan. Nurafiatin (2000) melaporkan bahwa proporsi keturunan betina pada

parasitoid T. cojuangcoi akan berbeda bila dibiakkan pada inang berbeda.

Proporsi keturunan betina parasitoid T. cojuangcoi lebih tinggi pada telur inang P.

xylostella, dibandingkan pada telur inang C. cephalonica atau H. armigera.

Tabel 2 Frekuensi berbagai variasi pola urutan peletakan tiga telur pertama, parasitoid T. chilotraeae

Frekuensi (kali) Pola peletakan

telur 3 inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang Total

? ? ? 8 7 5 5 25 ? ? ? 11 3 6 7 2 29 ? ? ? 7 5 4 1 9 26 ? ? ? 3 2 2 1 8 ? ? ? 1 1 1 3 ? ? ? 1 1 ? ? ? 1 1

Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin (proporsi betina) keturunan dipengaruhi oleh jumlah

inang ( P = 0,000). Nisbah kelamin akan meningkat seiring bertambahnya inang,

hal ini terjadi pada kepadatan satu parasitoid betina (Gambar 5), maupun pada

kepadatan dua parasitoid betina (Gambar 6). Hasil analisis menunjukkan bahwa

pada kepadatan satu parasitoid betina, nisbah kelamin pada perlakuan 3 inang

berbeda dengan semua perlakuan jumlah inang lainnya. Pada jumlah inang 6, 12,

24 dan 48 tidak berbeda nyata. Pada kepadatan dua parasitoid betina, nisbah

kelamin pada perlakuan 3 dan 6 inang berbeda dengan semua perlakuan jumlah

Page 47: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

70

Mean ±SE ±SD

3 I 6 I 12 I 24 I 48 I

Jumlah inang

0.45

0.50

0.55

0.60

0.65

0.70

0.75

0.80

0.85

0.90

Nis

bah

kela

min

(pro

pors

i bet

ina)

a

bc cc

c

inang lainnya. Pada kepadatan inang 12, 24 dan 48 tidak berbeda nyata. Nisbah

kelamin yang rendah pada perlakuan jumlah inang rendah, disebabkan karena

selalu diletakkannya satu keturunan jantan pada tiga peletakan telur pertama.

Sejalan dengan yang dikemukakan Wajnberg (1994), bahwa umumnya pada

parasitoid Trichogramma, nisbah kelamin akan bias betina bila jumlah inang

meningkat.

Bila melihat pengaruh kepadatan parasitoid terhadap nisbah kelamin,

berdasarkan uji t, ternyata tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata antar

perlakuan kepadatan betina pada masing-masing perlakuan (Tabel 3). Hasil ini

sebenarnya bertolak belakang dengan hasil pengamatan pada bagian lain

penelitian ini (perlakuan pengaruh kepadatan betina terhadap nisbah kelamin,

(Gambar 14), dan tidak sejalan dengan prediksi local mate competition, yang

menyatakan, nisbah kelamin akan menurun seiring bertambahnya kepadatan

parasitoid. Akan tetapi hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Flanagan et

al.(1998) yang menjelaskan bahwa, pada kelompok/kepadatan parasitoid yang

kecil (dua parasitoid) maka ternyata nisbah kelamin parasitoid Nasonia vitripennis

Walker (Hymenoptera: Pteromalidae) akan ikut meningkat. Tetapi dijelaskan

lebih lanjut, hasil ini disebabkan karena faktor ukuran tubuh betina. Betina yang

berukuran relatif lebih besar pada suatu kelompok inang, akan meletakkan telur

dalam jumlah yang banyak, dan biasanya dengan proporsi betina yang lebih

tinggi. Karena faktor tersebut akan meningkatkan nisbah kelamin keturunan.

Gambar 6 Nisbah kelamin keturunan dari dua induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang

Gambar 5 Nisbah kelamin keturunan dari satu induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang

Mean ±SE ±SD

3 I 6 I 12 I 24 I 48 I

Jumlah inang

0.45

0.50

0.55

0.60

0.65

0.70

0.75

0.80

0.85

0.90

Nis

bah

kela

min

(pro

pors

i bet

ina)

a

b dd

cd

Page 48: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

71

Pada penelitian ini, kemungkinan disebabkan karena tidak terjadi

superparasitisme oleh betina lain, karena selama percobaan berlangsung, selalu

dicegah terjadinya superparasitisme dengan cara menyentuh betina yang akan

melakukan superparasitisme dengan menggunakan kuas halus. Superparasitisme

diketahui sebagai penyebab menurunnya nisbah kelamin, karena jika terjadi

superparasitisme pada suatu inang, umumnya keturunan yang berhasil menjadi

imago adalah jantan.

Tabel 3 Rata-rata nisbah kelamin (proporsi betina) pada berbagai kepadatan inang dan kepadatan parasitoid

Nisbah kelamin pada berbagai kepadatan parasitoid betina (x ± SD) Kepadatan inang

1 parasitoid betina 2 parasitoid betina P

3 inang 0,61 ± 0,10a 0,60 ± 0,09a 0,719

6 inang 0,72 ± 0,12a 0,69 ± 0,11a 0,354

12 inang 0,72 ± 0,11a 0,76 ± 0,11a 0,300

24 inang 0,76 ± 0,06a 0,76 ± 0,04a 0,699

48 inang 0,76 ± 0,06a 0,77 ± 0,40a 0,871

Ket : Nilai rataan dan simpangan baku selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0.05

Pengaruh Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid Terhadap Parasitisasi

Analisis sidik ragam menunjukan bahwa pada pemaparan satu parasitoid

betina, jumlah inang berpengaruh nyata terhadap persentase inang terparasit (P =

0,000), persentase keturunan betina (P = 0,000) dan persentase keturunan jantan

(P = 0,000). Pada pemaparan dua parasitoid betina, jumlah inang berpengaruh

nyata terhadap persentase inang terparasit (P = 0,000) dan persentase keturunan

betina (P = 0,000), tetapi tidak berbeda nyata pada persentase keturunan jantan (P

= 0,210) (Tabel 4).

Total inang terparasit semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah

inang, baik pada pemaparan satu parasitoid betina maupun pada pemaparan dua

parasitoid betina. Akan tetapi, bila dilihat dari persentase inang yang terparasit,

menunjukkan bahwa pada perlakuan inang 48, persentase inang terparasit sangat

rendah yakni 46,25% pada pemaparan satu parasitoid betina dan 65,52% pada

Page 49: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

72

pemaparan dua parasitoid betina. Hasil ini menunjukkan bahwa parasitoid betina

mempunyai kemampuan yang terbatas untuk memarasit inang dalam jumlah yang

banyak pada jangka waktu 3 jam.

Tabel 4. Total inang terparasit, persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai jumlah inang.

Parameter Kepadatan parasitoid/

inang

n

Total inang

terparasit

Persentase Inang terparasit (%)

Persentase Keturunan betina

(%)

Persentase keturunan jantan

(%) 1 parasitoid

Inang 3 20 55 91,67 ± 14,81a 60,84 ± 9,79a 39,16 ± 9,79a

Inang 6 20 104 86,67 ± 11,60ab 65,33 ± 17,24ab 23,92 ± 11,49b

Inang 12 20 201 83,75 ± 8,75ab 67,63 ± 13,79ab 24,86 ± 11,28b

Inang 24 20 388 81,04 ± 9,41b 75,29 ± 7,69b 21,11 ± 8,04b

Inang 48 20 446 46,25 ± 5,64c 76,87 ± 5,73b 21,09 ± 6,19b

2 parasitoid

Inang 3 20 59 98,33 ± 7,45a 49,17 ± 16,65a 25,83 ± 15,74a

Inang 6 20 110 91,67 ± 10,12ab 65,92 ± 18,10b 20,50 ± 14,32a

Inang 12 20 217 90,42 ± 6,77b 65,48 ± 18,38b 17,32 ± 12,34a

Inang 24 20 378 78,75 ± 7,144c 74,09 ± 5,86b 20,11 ± 4,94a

Inang 48 20 630 65,52 ± 11,50d 75,35 ± 5,67b 22,16 ± 4,94a

Ket : Pada masing-masing perlakuan kepadatan parasitoid, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0,05

Pada pemaparan dua parasitoid betina, menunjukkan bahwa persentase

inang terparasit pada setiap perlakuan memang lebih tinggi dibanding pada

pemaparan satu parasitoid betina. Akan tetapi, berdasarkan uji t, menunjukkan

bahwa kepadatan parasitoid berpengaruh nyata terhadap persentase inang

terparasit pada perlakuan 12 inang (P = 0,011) dan 48 inang (P = 0,000) (Tabel

5). Meskipun berbeda nyata, tetapi parasitoid betina tidak mampu

mengoptimalkan kemampuan memarasit secara optimum (dalam waktu 3 jam,

total inang terparasit tidak menunjukkan angka dua kali lipat angka pada

pemarasitan satu parasitoid betina). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran betina

lain akan mempengaruhi kegiatan parasitisme.

Bertambahnya jumlah inang cenderung memberikan pengaruh pada

perilaku induk betina untuk lebih banyak menghasilkan keturunan betina.

Sebaliknya bertambahnya inang menyebabkan kecenderungan persentase

Page 50: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

73

keturunan jantan menjadi semakin berkurang. Berdasarkan hasil ini dapat

dikatakan, secara umum parasitoid betina mempunyai perilaku untuk

mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk memaksimalkan

kemampuan reproduksinya.

Bila dibandingkan antar perlakuan kepadatan betina. Berdasarkan uji t,

menunjukkan bahwa kepadatan parasitoid berpengaruh nyata terhadap persentase

keturunan betina pada perlakuan 3 inang (P = 0,011), dan berpengaruh nyata pada

persentase keturunan jantan pada perlakuan 3 inang (P = 0,003) dan 12 inang (P =

0,050).

Tabel 5 Persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase

keturunan jantan pada berbagai kepadatan parasitoid. Jumlah inang

Parameter 3 6 12 24 48

Persentase Inang terparasit (%)

1 P 91,67 ± 14,81a 86,67± 11,60a 83,75 ± 8,75a 81,04 ± 9,41a 46,25 ± 5,64a

2 P 98,33 ± 74,5a 91,67 ±10,12a 90,42 ± 6,77b 78,75 ± 7,14a 65,52 ± 11,50b

Persentase Keturunan betina (%)

1 P 60,84 ± 9,79a 65,33 ± 7,24a 67,63 ± 3,79a 75,29 ± 7,69a 76,87 ± 5,73a

2 P 49,17 ± 16,65b 65,92 ± 18,10a 65,48 ± 18,38a 74,09 ± 5,86a 75,35 ± 5,67a

Persentase keturunan jantan (%)

1 P 39,16 ± 9,79a 23,92 ± 11,49a 24,86 ± 11,28a 21,11 ± 8,04a 21,09 ± 6,19a

2 P 25,83 ± 15,74b 20,50 ± 14,32a 17,32 ± 12,34b 20,11 ± 4,94a 22,16 ± 4,94a

Ket : Pada masing-masing parameter, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0,05

1 P = Kepadatan satu parasitoid betina 2 P = Kepadatan dua parasitoid betina

Page 51: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

74

Persentase selfsuperparasitism

Analisis sidik ragam menunjukan bahwa jumlah inang berpengaruh nyata

terhadap persentase selfsuperparasitim, baik pada pemaparan satu parasitoid

betina (P = 0,009), maupun pada pemaparan dua parasitoid betina (P = 0,000)

(Tabel 6). Pada pemaparan satu parasitoid betina, meskipun ada pengecualian

pada inang 3, tetapi terjadi kecenderungan persentase selfsuperparasitism semakin

berkurang seiring bertambahnya jumlah inang (10,75% pada perlakuan 6 inang

dan menurun menjadi 2,03% pada perlakuan 48 inang). Pada pemaparan dua

parasitoid betina juga terjadi kecenderungan yang sama bahwa persentase

selfsuperparasitism semakin berkurang seiring bertambahnya jumlah inang

(25,00% pada perlakuan 3 inang, menjadi 2,63% pada perlakuan 48 inang).

Tabel 6 Persentase selfsupeparasitsm pada berbagai jumlah inang

Kepadatan parasitoid/

inang n Total

Inang terparasit Persentase

selfsuperparasitism (%)

1 parasitoid

Inang 3 20 55 0,00 ± 0,00b

Inang 6 20 104 10,75 ± 18,84a

Inang 12 20 201 7,51 ± 11,32ab

Inang 24 20 388 3,60 ± 4,39ab

Inang 48 20 446 2,03 ± 4,35b

2 parasitoid

Inang 3 20 59 25,00 ± 23,88a

Inang 6 20 110 13,58 ± 16,04ab

Inang 12 20 217 17,20 ± 16,04ab

Inang 24 20 378 5,81 ± 6,83bc

Inang 48 20 630 2,63 ± 4,015c

Ket: Pada masing-masing perlakuan kepadatan parasitoid, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0,05

Bila data selfsuperparasitism dilihat secara keseluruhan, dapat dikatakan

bahwa persentase selfsuperparasitism berkorelasi positif dengan rasio jumlah

Page 52: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

75

inang dan kepadatan parasitoid betina. Hal ini ditunjukkan dari data persentase

selfsuperparasitism tertinggi (25,00%) terdapat pada perlakuan jumlah inang

rendah yakni inang 3 dengan kepadatan dua parasitoid betina. Bila dibandingkan

antara perlakuan kepadatan betina, berdasarkan uji t, pengaruh kepadatan betina

ternyata hanya terjadi pada perlakuan 3 dan 12 inang (Tabel 7). Menurut Suzuki et

al.(1984) dalam Schmidt (1994), perilaku superparasitisme termasuk

selfsuperparasitism dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain terbatasnya

jumlah inang atau kepadatan betina yang tinggi atau karena kualitas inang.

Tabel 7 Persentase selfsuperparasitism pada berbagai kepadatan parasitoid

Persentase selfsuperparasitism (x ± SD) Kepadatan inang

1 parasitoid betina 2 parasitoid betina P

3 inang 0,00 ± 0,00a 25,00 ± 23,88b 0,003

6 inang 10,75 ± 18,84a 13,58 ± 16,04a 0,612

12 inang 7,51 ± 11,32a 17,20 ± 16,04b 0,034

24 inang 3,60 ± 4,39a 5,81 ± 6,83b 0,232

48 inang 2,03 ± 4,35a 2,63 ± 4,015a 0,652

Ket: Nilai rataan dan simpangan baku selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0,05

Perilaku selfsuperparasitism dapat dilakukan induk parasitoid sepanjang

peletakan telur (Gambar 7 dan 8). Akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa

persentase selfsuperparasitism lebih tinggi pada peletakan telur awal. Hal ini

diduga karena telur inang yang dipilih oleh parasitoid untuk pertama kalinya,

adalah telur inang dengan kualitas yang baik (kemungkinan ukurannya lebih besar

dari yang lainnya), sehingga parasitoid betina dapat mengukur bahwa nutrisi yang

terdapat dalam inang mampu untuk memenuhi kebutuhan perkembangan beberapa

individu keturunan. Mekanisme yang sama juga dapat digunakan untuk

menjelaskan kenapa pada perlakuan 3 inang, dari 20 ulangan tidak satupun terjadi

selfsuperparasitism. Hal ini kemungkinan juga disebabkan karena faktor ukuran

inang. Inang yang ada pada unit perlakuan ini kemungkinan ukurannya relatif

normal dan nutrisinya hanya cukup untuk satu keturunan, sehingga induk betina

meresponnya dengan hanya meletakkan satu telur. Meskipun ini masih merupakan

kesimpulan sementara, karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran

Page 53: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

76

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46

Urutan peletakan telur

Pers

enta

se s

uper

para

siti

sme

3 inang

6 inang

12 inang

24 inang

48 inang

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Urutan peletakan telur

Pers

enta

se s

uper

para

siti

sme 3 inang

6 inang

12 inang

24 inang

48 inang

inang, sementara diketahui bahwa ukuran inang merupakan kriteria penting yang

digunakan parasitoid betina Trichogramma selama proses penerimaan inang,

termasuk berapa jumlah telur yang akan diletakkan (Schmidt 1994).

Pengaruh ukuran inang terhadap perilaku selfsuperparasitism juga

dilaporkan terjadi pada parasitoid T. evanessens. T. evanessens hanya akan

meletakkan 1 telur pada inang S. cerealella, tetapi bila memarasit pada inang

Estigmene acraea Drury yang relatif lebih besar, maka parasitoid betina akan

meletakkan 1 sampai 10 telur (Clausen 1940). Menurut Salt (1937) dalam Arthur

(1981), terdapat suatu kisaran ukuran inang yang dapat diterima parasitoid

Trichogramma, parasitoid betina menggunakan objek yang berbentuk bulat

dengan diameter antara 0,22 sampai 4,04 mm.

Pada perilaku selfsuperparasitism ini, jumlah telur yang diletakkan oleh

parasitoid betina T. chilotraeae pada inang C. cephalonica yaitu maksimal dua

telur dan cenderung meletakkan individu betina-jantan dibandingkan jantan-jantan

atau betina-betina. Hasil ini sejalan dengan laporan Wu dan Nordlund (2000)

bahwa pada parasitoid Anaphes iole Girault (Hymenoptera: Mymaridae),

umumnya meletakkan 2 telur pada setiap kejadian superparasitisme.

Perilaku selfsuperparasitism ini dapat dilakukan secara berurutan selama

peletakan telur, sampai maksimal dalam tiga kali peletakan (Tabel 8). Perilaku

selfsuperparasitism ini sebenarnya merugikan karena keturunan yang dihasilkan

adalah individu dengan ukuran yang relatif lebih kecil dari ukuran normalnya.

Bila keturunan yang diletakkan adalah betina, maka akan dihasilkan imago betina

Gambar 8 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan dua parasitoid betina

Gambar 7 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan satu parasitoid betina

Page 54: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

77

yang tidak bugar. Selain itu perilaku selfsuperparasitism dianggap sebagai

pemborosan telur. Namun Godfray (1994) mengatakan, bahwa ada beberapa

keuntungan bagi parasitoid yang melakukan selfsuperparasitism. Dua telur dalam

satu inang memungkinkan parasitoid mampu mengimbangi sistem pertahanan

inang. Selain itu selfsuperparasitism juga merupakan suatu strategi parasitoid

untuk menggagalkan terjadinya superparasitisme dari betina lainnya. Alasan

kedua kemungkinan tepat untuk menjelaskan mekanisme terjadinya

selfsuperparasitism pada penelitian ini. Hal ini di dasarkan karena perilaku

selfsuperparasitism pada parasitoid T. chilotraeae, pada umumnya terjadi pada

peletakan telur awal. Bila alasan ini benar, berarti parasitoid T. chilotraeae

memang mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah betina lainnya.

Menurut Schmidt (1994) betina mampu mengenali adanya betina lain dengan

adanya petunjuk-petunjuk kimia ataupun dengan terjadinya kontak dengan betina

lainnya.

Tabel 8 Frekuensi berbagai variasi selfsuperparasitism pada peletakan tiga telur pertama parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang, n=20

Frekuensi (kali) Pola peletakan telur 3 inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang

(? ? )? ? 2 1 2 2 (? ? )? ? 1 (? ? )? ? 1 (? ? )(? ? )? 1 1 ? (? ? )? 1 1 (? ? )(? ? )(? ? ) 1 ? ? (? ? ) 2 1 (? ? )? ? 1 ? (? ? )? 1 ? (? ? )? 1 ? ? (? ? ) 1

Ket: ( ) selfsuperparasitism Secara umum bahwa pengamatan perilaku reproduksi bertujuan untuk

lebih memahami perilaku apa yang dilakukan parasitoid untuk tujuan

memaksimalkan keberhasilan reproduksi dan keberlangsungan keturunannya

nanti, yang secara langsung memberikan arti penting untuk memperbaiki

keefektifan pengendalian hama sasaran di lapangan dalam suatu program

pengendalian hayati.

Page 55: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

78

Efisiensi Pemarasitan pada Berbagai Jumlah Inang

Jumlah inang yang dipaparkan berpengaruh nyata terhadap total telur

inang terparasit (P = 0,000), rata-rata inang terparasit perhari (P = 0,000)

persentase kemunculan imago (P = 0,030) dan lama hidup (P = 0,045). Total

jumlah inang terparasit dan rata-rata inang terparasit perhari meningkat seiring

bertambahnya jumlah inang. Tidak terdapat korelasi antara jumlah inang terhadap

persentase kemunculan imago. Lama hidup menunjukkan kecenderungan semakin

singkat seiring bertambahnya jumlah inang (Tabel 9).

Tabel 9 Total inang terparasit, rata-rata inang terparasit perhari, persentase kemunculan imago dan lama hidup parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang

Jumlah inang/hari

Total Inang terparasit

Rata-rata inang terparasit/hari

Persentase kemunculan

imago

Lama hidup (hari)

3 inang 13,90 ± 5,94a 2,00 ± 0,38a 0,97 ± 0,56a 6,75 ± 2,31a

6 inang 21,20 ± 6,74a 3,57 ± 0,97b 0,98 ± 0,43a 6,15 ± 2,03ab

12 inang 35,10 ± 14,78b 6,78 ± 0,93c 0,92 ± 0,21ab 5,15 ± 1,90b

24 inang 53,70 ± 18,88c 8,98 ± 2,42d 0,80 ± 0,23b 6,10 ± 1,94ab

48 inang 54,25 ± 10,07c 9,99 ± 2,75d 0,89 ± 0,26ab 4,95 ± 2,31b

Ket: Nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0 ,05

Kecenderungan hubungan linier antara peningkatan jumlah inang dengan

total inang terparasit, disebabkan karena jumlah inang yang dipaparkan berbeda.

Meski demikian dari hasil analisis juga menunjukkan bahwa perlakuan jumlah

inang 24 tidak berbeda nyata dengan jumlah inang 48. Lama hidup parasitoid

akan semakin singkat dengan bertambahnya jumlah inang. Fenomena ini dapat

dijelaskan dengan teori bahwa jika jumlah inang bertambah, maka parasitoid akan

memaksimalkan penggunaan semua sumberdaya untuk meletakkan telur dan

kemudian mati (Vinson 1994 dalam Khan et al. 2004 ). Pada parasitoid

synovigenic mempunyai adaptasi untuk menunda produksi telur pada suatu

kondisi inang yang rendah. Pada keadaan ini telur yang sudah siap diletakkan

akan diserap kembali, dan selanjutnya akan diproduksi bila keadaan sudah

Page 56: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

79

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Hari pengamatan

Jum

lah

inan

g te

rpar

asit

3 Inang

6 Inang

12 Inang

24 Inang

48 Inang

memungkinkan, hal inilah yang kemungkinan menyebabkan parasitoid dapat

memperpanjang lama hidup pada kondisi inang rendah (Doutt et al.1976).

Mekanisme yang terjadi pada parasitoid T. chilotraeae ini cenderung

mengikuti asumsi pertama, berdasarkan data jumlah inang terparasit pada setiap

hari pemaparan (Gambar 9). Pada perlakuan jumlah inang banyak (48 inang),

menunjukkan bahwa pada hari pertama pemaparan, parasitoid akan langsung

memaksimalkan kemampuan untuk memarasit dengan memanfaatkan sumberdaya

yang tersedia, sedangkan pada hari kedua pemaparan, jumlah inang terparasit

menurun tajam. Secara umum peletakkan telur semakin berkurang seiring

bertambahnya umur parasitoid.

Hasil yang diperoleh tersebut memberikan informasi penting yang dapat

digunakan untuk tujuan pelepasan parasitoid di lapangan dalam suatu program

pengendalian hayati dengan metode inundatif. Grafik pada Gambar 9,

menunjukkan bahwa parasitoid T. chilotraeae mempunyai kemampuan memarasit

yang terbatas, baik dalam jumlah inang yang dapat diparasit, maupun dalam hal

waktu pemarasitan efektif. Parasitoid T. chilotraeae ini hanya mampu memarasit

rata-rata 24 inang pada hari pertama. Setelah hari kedua, jumlah inang yang

mampu diparasit sudah menurun, yakni rata-rata 11 inang. Kemampuan

memarasit ini akan terus menurun seiring bertambahnya umur parasitoid. Oleh

karena itu, pelepasan massal parasitoid sebaiknya tidak dilakukan dalam sekali

Gambar 9 Grafik jumlah inang terparasit perhari

Page 57: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

80

saja, akan tetapi dilakukan secara berjadwal, minimal dalam jangka waktu setiap 3

hari sekali, tergantung keadaan hama di lapangan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah inang berpengaruh terhadap

nisbah kelamin total (proporsi betina) yang dihasilkan (P = 0,000). Nisbah

kelamin akan semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah inang (Gambar

10). Rata-rata nisbah kelamin pada perlakuan 3 inang adalah 0,35, berbeda dengan

semua perlakuan lainnya, 6 inang (0,61); 12 inang (0,76), 24 inang (0,76) dan 48

inang (0,80). Perlakuan inang 12 tidak berbeda dengan perlakuan inang 24 dan 48.

Bila data nisbah kelamin yang dihasilkan induk betina dilihat secara

keseluruhan (n = 40: data diperoleh dari data nisbah kelamin pada perlakuan pola

peletakan telur dan perlakuan efisiensi pemarasitan), dapat dikatakan bahwa

secara umum nisbah kelamin pada perlakuan jumlah inang sedikit (3, 6 dan 12

inang) lebih beragam/tersebar dibandingkan pada perlakuan jumlah inang banyak

(24 dan 48 inang). Pada perlakuan 3 inang, nisbah kelamin berkisar 0,19 sampai

0,80, dengan kecenderungan lebih banyak pada kisaran 0,50 sampai 0,60,

sementara pada perlakuan 6 inang, dengan rentang 0,30 sampai 0,88, dan

kecenderungan lebih besar pada kisaran lebih dari 0,56. Pada pelakuan 12 inang,

dengan rentang 0,34 sampai 0,88, dengan kecenderungan pada 0,71 sampai 0,80.

Pada perlakuan 24 dan 48 inang mempunyai kisaran data yang sempit, dalam arti

data nisbah kelamin pada kedua perlakuan ini tidak terlalu beragam, kisaran 0,52

Gambar 10 Nisbah kelamin total parasitoid betina pada berbagai jumlah inang

Mean ±SE ±SD

3 i 6 i 12 i 24 i 48 i

Jumlah inang

0.40

0.45

0.50

0.55

0.60

0.65

0.70

0.75

0.80

0.85

Nis

bah

kela

min

(pro

pors

i bet

ina) a

bcbc

b

Page 58: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

81

0.76 0.660.53 0.48

0.35 0.450.26 0.17

0.000.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Hari pengamatan

Pro

pors

i jan

tan/

betin

a

Jantan

Betina

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Individu ke-n

Nis

bah

kela

min

(pr

opor

si b

etin

a)

3 inang

6 inang

12 inang

24 inang

48 inang

sampai 0,83 pada perlakuan 24 inang, dan 0,59 sampai 0,92 pada perlakuan 48

inang (Gambar 11).

Berkurangnya jumlah inang terparasit setiap hari, juga diikuti oleh

semakin berkurangnya proporsi betina, bahkan pada hari kesembilan keturunan

betina sudah tidak dihasilkan lagi (Gambar 12). Hasil pengamatan inilah yang

menunjukkan terjadinya kehabisan sperma pada hari-hari terakhir peletakan telur.

Gambar 12 Proporsi keturunan betina pada setiap hari pengamatan selama masa hidup induk betina.

Gambar 11 Sebaran data nisbah kelamin parasitoid betina pada berbagai jumlah inang

Page 59: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

82

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Hari pengamatan

Jum

lah

inan

g te

rpar

asit

3 jam pertama

3 jam kedua

3 jam ketiga

15 jam selanjutnya

Waktu Pemarasitan Paling Efektif

Waktu pemarasitan paling efektif pada parasitoid T. chilotraeae yang

berumur satu hari, hanya berlangsung pada tiga jam pertama pada hari pertama,

dengan rata-rata jumlah inang yang dapat diparasit 21. Pada hari berikutnya,

meski masih terjadi pemarasitan, akan tetapi jumlah inang yang dapat diparasit

menurun drastis, dengan waktu pemarasitan efektif tidak berlangsung pada jam

tertentu (Gambar 13). Berdasarkan hasil ini dan pemaparan diatas, dapat

dikatakan untuk tujuan efisiensi pada perbanyakan massal di laboratorium, maka

rasio jumlah inang 24 dengan satu betina, akan lebih efisien bila dibandingkan

dengan rasio 48 inang dengan satu parasitoid, dan sebaiknya pemaparan

dilakukan pada parasitoid yang telah berumur satu hari.

Pengaruh Kepadatan Betina Terhadap Nisbah Kelamin Keturunan

Hasil analisis menunjukkan bahwa kepadatan betina berpengaruh nyata

terhadap nisbah kelamin (P = 0,000). Nisbah kelamin semakin berkurang seiring

bertambahnya kepadatan induk betina pada suatu kelompok inang yang tetap.

Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan hanya kepadatan satu betina yang berbeda

dengan perlakuan kepadatan betina lainnya. Nisbah kelamin tidak berbeda nyata

pada perlakuan kepadatan dua sampai empat betina (Gambar 14).

Gambar 13 Grafik jumlah inang terparasit pada setiap 3 jam pemaparan

Page 60: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

83

Mean ±SE ±SD

1B 2B 3B 4B

Kepadatan betina

0.50

0.55

0.60

0.65

0.70

0.75

0.80

0.85

0.90

0.95

Nis

bah

kela

min

(pro

pors

i bet

ina)

a

b

b

b

Parasitoid T. chilotraeae mempunyai pola reproduksi haplodiploidi,

dimana penentuan kelamin keturunan diatur oleh induk betina berdasarkan

keadaan lingkungan. Faktor jumlah betina dalam suatu patch merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi keputusan induk betina untuk mengalokasikan

keturunan haploid (jantan) atau diploid (betina), sehingga berpengaruh terhadap

nisbah kelamin keturunan. Hasil penelitian menunjukkan induk betina parasitoid

T. chilotraeae ini mampu merespon kehadiran betina lainnya pada suatu

kelompok inang. Hal ini ditunjukkan dari data nisbah kelamin betina yang

dihasilkan, yakni rata-rata 0,80 pada perlakuan kepadatan satu betina, menjadi

0,67 pada kepadatan dua betina, dan 0,64 pada kepadatan empat betina. Hasil ini,

secara kualitatif cenderung sejalan dengan model Local Mate Competition (LMC)

Hamilton (1976), tapi secara kuantitatif terlihat lebih rendah. Meskipun demikian,

pada penelitian ini terdapat keterbatasan untuk lebih menekankan bahwa model

reproduksi parasitoid T. chilotraeae ini mengikuti teori LMC. Hal ini disebabkan

oleh terbatasnya unit perlakuan kepadatan betina, sehingga prediksi nisbah

kelamin akan mencapai nilai maksimal yakni 0,5 (jantan : betina = 1 : 1) pada

kepadatan 25 betina sesuai dengan model LMC tidak dapat diamati.

Sebagai pembanding, beberapa penelitian lain juga melaporkan secara

kualitatif model LMC ini berlaku pada ektoparasitoid soliter D. basalis (Gauthier

Gambar 14 Nisbah kelamin keturunan T.chilotraeae pada berbagai kepadatan parasitoid

Page 61: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

84

et al. 1997) dan parasitoid L. heterotoma (Debout et al. 2002). Berdasarkan

model LMC, dapat dijelaskan bahwa bila hanya terdapat satu induk betina pada

suatu kelompok inang (patch), maka strategi terbaik yang biasa dilakukan betina

adalah dengan meletakkan sejumlah keturunan jantan yang diperkirakan cukup

untuk membuahi semua saudara betina yang lain. Pada parasitoid D. basalis,

proporsi jantan 0,25 merupakan jumlah yang cukup untuk membuahi semua

saudara betina yang lainnya (Gauthier et al. 1997). Sedangkan pada parasitoid T.

chilotraeae pada penelitian ini, proporsi jantan 0,2 merupakan proporsi jantan

yang cukup untuk membuahi semua saudara betina yang lain dari satu induk. Bila

dilihat dari data rata-rata jumlah inang terparasit pada pemaparan 24 jam, yakni

sebanyak 24, maka jumlah keturunan jantan yang harusnya dihasilkan adalah

lima.

Beberapa penjelasan yang menunjukkan bagaimana proporsi keturunan

betina akan menurun bila pada suatu kelompok inang terdapat beberapa betina

lainnya. Menurut Godfray (1994), mekanisme yang bisa terjadi adalah

meningkatnya jumlah parasitoid betina sedangkan jumlah inang tetap, akan

menyebabkan inang yang tersedia menjadi terbatas. Sebagai akibatnya, maka

terjadi superparasitisme, pada keadaan ini biasanya imago yang berhasil keluar

adalah imago jantan. Selain itu, umumnya parasitoid akan meletakkan keturunan

jantan pada awal peletakan telur. Penjelasan Colazza dan Wajnberg (1998)

menunjukkan bahwa parasitoid betina secara signifikan akan menggunakan

strategi ”jantan pertama” pada suatu rangkaian urutan peletakan telur. Akan tetapi

mekanisme ini tidak tepat untuk parasitoid T. chilotraeae ini, karena berdasarkan

pengamatan pola peletakan telur, parasitoid T. chilotraeae ini justru meletakkan

keturunan betina pada awal rangkaian peletakan telur. Oleh karena itu,

mekanisme pertama kemungkinan lebih tepat untuk menjelaskan strategi pada

parasitoid T. chilotraeae karena parasitoid ini mempunyai kecenderungan untuk

melakukan superparasitisme, selain itu terdapat korelasi positif antara jumlah

inang yang rendah dengan peningkatan kepadatan parasitoid betina terhadap

meningkatnya perilaku selfsuperparasitism.

Mekanisme lain yang kemungkinkan menyebabkan perubahan alokasi

kelamin keturunan sebagai respon terhadap meningkatnya kepadatan betina

adalah, (1) mekanisme cepat atau lambatnya penemuan inang yang siap diparasit;

Page 62: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

85

(2) terjadinya gangguan oleh betina lain pada saat parasitoid betina sedang

melakukan peletakan telur; (3) tanggapan parasitoid betina terhadap petujuk

kimia yang dikeluarkan oleh betina lainnya (Gauthier et al. 1997). Pada parasitoid

T. chilotareae pada penelitian ini, kemungkinan mekanisme yang terjadi adalah

karena adanya petunjuk kimia atau karena gangguan fisik oleh betina lain. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa sering terjadi gangguan dari betina lain pada

saat parasitoid betina sudah siap melakukan peletakan telur. Jakson (1966) dalam

Gauthier et al (1997) menjelaskan bahwa parasitoid betina mempunyai perilaku

untuk menunda pelepasan aliran spermatozoa dari spermateka selama fase

pembuahan bila terjadi gangguan, sebagai akibatnya akan meningkatkan jumlah

telur yang tidak dibuahi.

Dari keseluruhan penelitian ini, secara umum dapat dikatakan bahwa

parasitoid T. chilotraeae berpotensi sebagai salah satu pilihan yang dapat

digunakan untuk pengendalian hayati hama P. Xylostella. Hal ini didasarkan dari

data kemampuan parasitoid T. chilotraeae ini untuk dapat menaksir jumlah inang

maupun kepadatan betina lainnya dengan mengatur alokasi kelamin

keturunannya. Selain itu, kecenderungan peletakan keturunan betina pada awal

rangkaian peletakan telur dapat menjadi indikator kebugaran parasitoid ini di

lapangan. Keturunan betina pada awal peletakan telur memungkinkan

keberlanjutan keturunan, sehingga dapat diasumsikan bahwa parasitoid ini dapat

mapan di lapangan dan bisa dilakukan program pengendalian hayati dengan

metode inokulatif. Bila melihat keperidiannya, maka program pengendalian hayati

dapat dilakukan dengan metode inundatif, karena parasitoid ini berpotensi untuk

dikembangbiakan secara massal di laboratorium sebagai bagian dari penerapan

metode inundatif.

Meskipun demikian, beberapa faktor yang diabaikan pada penelitian ini

sebenarnya dapat mempengaruhi berbagai perilaku dan ciri-ciri kebugaran

parasitoid yakni: ukuran inang, umur inang, inang yang sebelumnya sudah

terparasit serta umur imago. Selain itu, penelitian ini hanya menggunakan inang

pengganti C. cephalonica. Untuk kedepannya perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut dengan menggunakan inang asli yaitu inang serangga sasaran di lapangan.

Page 63: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

86

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil identifikasi bahwa parasitoid yang digunakan pada

penelitian ini adalah Trichogramma chilotraeae, merupakan spesies yang relatif

baru diketahui merupakan musuh alami hama Plutella xylostella.

Jumlah inang berpengaruh pada pola peletakan telur dan nisbah kelamin.

Pada umumnya parasitoid T. chilotraeae akan memulai rangkaian peletakan telur

dengan menghasilkan keturunan betina. Sedangkan faktor jumlah inang dan

kepadatan betina akan berpengaruh pada perilaku selfsuperparasitisme

Perlakuan jumlah inang berpengaruh terhadap berbagai ciri kebugaran dan

efisiensi pemarasitan. Untuk tujuan perbanyakan massal, rasio 24 inang dengan

satu parasitoid betina lebih efisien dibandingkan rasio 48 inang dengan satu

parasitoid betina. Pemarasitan paling efektif terjadi pada tiga jam pertama hari

pertama pemaparan.

Meningkatnya kepadatan betina akan berpengaruh terhadap nisbah

kelamin (proporsi betina), nisbah kelamin semakin menurun seiring bertambahnya

kepadatan parasitoid.

Saran

Untuk selanjutnya, penelitian pola peletakan telur dengan metode yang

sama pada penelitian ini perlu dilanjutkan dengan menggunakan telur inang

sasaran di lapangan, yakni telur P. xylostella dan dilakukan pengukuran inang.

Page 64: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

87

DAFTAR PUSTAKA

Alba MC. 1988. Trichogrammatids in the Philippines. Philipp. Ent 7(3): 253-

271.

Alba MC. 1989. Egg parasitoids of Lepidopterous pests of economic importance in the Philippines. Biotrop. Spec. Publ. 36: 123-129.

Arthur AP. 1981. Host acceptance by parasitoids. Di dalam: Nordlund DA, Jones RL, Lewis WJ, editor. Semiochemical, Their Role in Pest Control. John & Wiley Sons.

Bayram A, Salerno G, Conti E, Wajnberg E, Bin F, Kornosor S. 2004. Sex allocation in Telenomus busseolae, a solitary parasitoid of concealed eggs: the influence of host patch size. Entomologia Experimentalis et Applicata 111: 141-149.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga: edisi ke enam. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect : sixth edition.

Bernal JS, Luck RF, Morse JG. 1999. Host influences on sex ratio, longevity and egg load of two Metaphycus spesies parasitic on softscales: implications for insectary rearing. Entomologia Experimentalis et Applicata 92: 191-204.

Bourchier RS, Smith SM, Song SJ. 1993. Host acceptance and parasitoid size as predictors of parasitoid quality for mass-reared Trichogramma minutum. Biological Control 3: 135-139.

Clausen CP. 1940. Entomophagous Insect. New York and London: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Colazza S, Wajnberg. 1998. Effect of host egg mass size on sex ratio and oviposition sequence of Trissolcus basalis (Hymenoptera: Scelionidae). Population Ecology 27: 329-336.

DeBach P. 1973. The scope of biological control. Di dalam: DeBach P, editor. Biological Control of Insect Pests and Weeds. London: Chapman and Hall LTD.

Debout G, Fauvergue X, Fleury F. 2002. The effect of foundress number on sex ratio under partial local mate competition. Ecologycal Entomology 27: 242-246.

Doutt RL, Annecke DP, Tremblay E. 1976. Biology and host relationship of parasitoids. Di dalam: Huffaker CB, Messenger PS, editor. Theory and Practice of Biological Control. Academic Press.

Flanagan KE, West SA, Godfray HCJ. 1998. Local mate competition, variable fecundity and information use in a parasitoid. Animal Behaviour 56: 191- 198.

Page 65: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

90

Gauthier N, Monge JP, Huignard J. 1997. Sex allocation behaviour of solitary ectoparasitoid : effect of host-patch characteristics and female density. Entomologia Experimentalis et Applicata 82: 167-174.

Godfray, HCJ. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. New Jersey: Princenton University Press.

Godin C, Boivin G. 2000. Effect of host age on parasitism and progeny allocation in Trichogrammatidae. Entomologia Experimentalis et Applicata 97: 149-160.

Gord G, Legner EF and Caltagirone, 1999. Biology of parasitic hymenoptera. Di dalam: Bellows TS, Fisher TW, editor. Handbook Biological Control, Principles and Applications of Biological Control. London: Academic Press.

Hamilton WD. 1967. Extraordinary sex ratio. Science 156: 477-488.

Herlinda S. 1995. Kajian Trichogrammatoidea bactrae bactrae Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatidae) parasitoid telur Etiella zinkenella Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae) [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Huang S, Chen K, Shen S. 2005. Natural increase of parasitoids population of diamondback moth Plutella xylostella under ecological control condition. Guangzhou: South China Agricultural University.

http:www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez [23 Maret 2006]

Kalshoven LGE, 1981. The Pests of Crops In Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: CV. Ichtiar Baru Van-Hoeve. Terjemahan dari : De Plagen van de Cultuurgewessen in Indonesie.

Khan MS, Farid A, Ullah F, Badshah H. 2004. Effect of host and parasitoid density on parasitism efficiency of Trichogramma chilonis (Ishii). Asian Journal of Plant Science 3 (5): 647-650.

Klem U, Guo MF, Lai LF, Schmutterer H. 1992. Sellection of effective species or strain of Trichogramma egg parasitoids of Diamondback moth. Di dalam: Takelar NS, editor. Diamondback Moth and Other Cruciferae Pests: Proc. 2nd Int. Workshop 309-315.

Knutson A, 2002. The Trichogramma Manual. The Texas Agricultural Extention Service. File://A:\Trichogramma\The Trichogramma Manual.htm [21 Juni 2005].

Kfir R. 2002. Plutella xylostella. Pretoria South Africa: Agricultural Researc Council,. http://ecoport.org/ep?Arthropod [21 Februari 2006].

Li LY. 1994. Worldwide use of Trichogramma for biological control on different crops: a survey. Di dalam: Wajnberg E, Hassan SA, editor. Biological Control with Egg Parasitoids. Wallingford: CAB International.

Page 66: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

91

Liu SS, Cooper L, Llewellyn RR, Harris ME, Duff J, Furlong MJ, Zalucki MP. 2004. Egg parasitoids of the diamondback moth, Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) from south-east Queensland. Australian Journal of Entomology (43): 201. [Abstrac]. http:/www.blacwell-synergy.com/doi/abs

Mayhew PJ, Godfray HCJ. 1997. Mixed sex allocation strategies in a parasitoid wasp. Oecologia 110: 218-221.

Meilin A. 1999. Keragaman karakter morfologi dan genetic populasi parasitoid telur Trichogramma spp. dan Trichogrammatoidea spp. (Hymenoptera: Trichogrmmatidae) dari daerah geografis yang berbeda di pulau Jawa [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Miura K. 2003. Suppressive effect of the egg parasitoid Trichogramma chilonis Ishii (Hymenoptera: Trichogrammatidae) on the population density of the diamondback moth. Applied Entomology and Zoology 38: 79-85 [jurnal on-line). http:/www.doaj.org/abstract (24 April 2006)

Nagarkatti S and Nagaraja H. 1977. Biosystematics of Trichogramma and Trichogrammatoidea species. Ann. Rev. Entomol 22: 157-176.

Nofemela SR. 2004. Studies on parasitoids of the Diamondback moth, Plutella xylostella (L.) in South Africa [Tesis]. Rhodes University.

Nurafiatin A. 2000. Ukuran imago dan ciri-ciri kebugaran Trichogrammatoidea cojuangcoi Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dari dua daerah geografis pada tiga jenis inang [Skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nurindah 2002. Identifikasi parasitoid telur Trichogramma dan Trichogrammatoidea. Di dalam: Diseminasi Penerapan Pemanfaatan Parasitoid T. bactrae-bactrae (Nagaraja) Sebagai Agens Hayati untuk Mengendalikan Hama Penggerek Polong Kedelai spp.. Malang: Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Wilayah VI.

Nurindah dan Bindra OS. 1989. Studies on Trichogramma spp. (Hymenoptera: Trichogrammatidae) in the control of Heliothis armigera (Hubner) (Lepidoptera : Noctuidae). Biotrop. Spec. Publ. 36: 165-173.

Ode PJ, Hunter M.S. 2002. Sex ratios of parasitic hymenoptera with unusual life-histories in science. Di dalam: Hardy ICW, editor. Sex Ratio, Consepts and Research Methods. Cambridge: Cambridge University Press.

Ode PJ and Heinz KM. 2002. Host-size-dependent sex ratio theory and improving mass-reared parasitoid sex ratios. Biological Control 24: 31-41.

Pinto DJ, Stouthamer R. 1994. Systematics of the Trichogrammatidae with emphasis on Trichogramma. Di dalam: Wajnberg E, Hassan SA, editor. Biological Control With Egg Parsitoids. Wallingford: CAB International.

Page 67: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

92

Ramlan. 2001. Kajian pelepasan populasi parasitoid Trichogrammatidae untuk pengendalain Helicoverpa armigera (Hubner) dan dampaknya terhadap komunitas Arthropoda pada pertanaman kedelai [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Rauf A, Prijono D, Dadang, Winasa IW, Russel DA. 2005. Survey of pesticide use by cabbage farmer in West Java, Indonesia. Bogor: Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan IPB.

Reznik SY, Umarova TY, Voinovich ND. The influence of previous host age on current host acceptance in Trichogramma. Entomologia Experimentalis et Applicata 82: 153-157.

Ruberson JR, Kring TJ. 1993. Parasitism of developing eggs by Trichogramma pretiosum (Hymenoptera: Trichogrammatidae): host age preferences and suitability. Biological Control 3: 39-46.

Schmidt JM. 1994. Host recognition and acceptance by Trichogramma. Di dalam: Wajnberg E, Hassan SA, editor. Biological Control with Egg Parasitoids. Wallingford: CAB International.

Smith SM. 1996. Biological control with trichogramma : advances, successes and potential of their use. Ann. Rev. Entomol 41: 375-406.

Street A. 2000. Plutella xylostella. Regina Saskatchewan Canada. http:www.agr.gov.sk.ca

Suasa W. 2002. Nonpesticide methods for controlling desease and insect pest. Report of the APO seminar. Japan 10-17 April 2002. http/www.apo-tokyo.org [20 April 2006].

Tabone E, Bardon C, Lezcano N, Pintureau B, Lapchin L. 2003. Biological control of Plutella xylostella. Selection of the best Trichogramma strain based on biological characteristics.

Tagawa J. 2000. Sex allocation and clutch size in the gregarious larval endoparasitoid wasp, Cotesia glomerata. Entomologia Experimentalis et Applicata 97: 193-202.

Vasques LA, Shelton AM, Hoffman MP, Roush RT. 1997. Laboratory evaluation of commercial Trichogrammatid products for potential use against Plutella xylostella (Lepidoptera: Pluetlldae). Biological Control 9: 143-148.

Wajnberg E. 1994. Intra population genetic variation in Trichogramma. Di dalam: Wajnberg E, Hassan SA, editor. Biological Control With Egg Parasitoids. Wallingford: CAB International.

Wajnberg E. 1993. Genetic variation in sex allocation in a parasitic wasp: variation in sex pattern within sequences of oviposition. Entomologia Experimentalis et Applicata 69: 221-229.

Werren JH. 1994. Brood size and sex ratio regulation in the parasitic wasp Nasonia vitripennis (Walker) (Hymenoptera: Pteromallidae). Netherlands J of Zoology 34(2): 123-143.

Page 68: PERILAKU, POLA PELETAKAN TELUR DAN EFISIENSI …

93

Wilson F dan Huffaker CB. 1976. The philosophy, scope, and importance of biological control. Di dalam: Huffaker CB, Messenger PS, editor. Theory and Practice of Biological Control. New York: Academic Press.

Wu ZX, Nordlund DA. 2002. Superparasitism of Lygus hesperus Knight eggs by Anaphes iole Girault in the laboratory. Biological Control 23: 121-126.

Yurong H, Kewei C, Xiongfei P. 2003. Egg parasitoids of Plutella xylostella in South China. Guangzhou China, South China Agricultural University,