peranan muhammadiyah dalam pengembangan …repositori.uin-alauddin.ac.id/5129/1/ika novita...
TRANSCRIPT
PERANAN MUHAMMADIYAH DALAM PENGEMBANGAN ISLAM DI
MAKASSAR PERIODE KH. ABDULLAH 1931-1938
(Suatu tinjauan historis)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar
Oleh :
IKA NOVITA SARI
NIM. 40200113084
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ika Novita Sari
NIM : 40200113084
Tempat/Tgl. Lahir : Takalar, 23 November 1992
Jur/Prodi/Konsentrasi : Sejarah Peradaban Islam
Fakultas/Program : Adab dan Humaniora/S1
Alamat : BTN Tritura Permai blok A7 No. 1, Antang Makassar
Judul : Peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di
Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938 (Suatu tinjauan historis)
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini
benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan
duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka
skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar , 09 Agustus 2017 M
16 Dzulkaidah 1438 H
Penyusun,
IKA NOVITA SARI
NIM: 40200113084
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penyusun dapat merampungkan penyusunan skripsi dengan judul : “Peranan
Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-
1938 (Suatu tinjauan historis)”.
Sebagai tugas akhir dari rangkaian proses pendidikan yang penyusun jalani
untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada jurusan Sejarah dan kebudayaan
Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Rampungnya karya tulis ini penyusun persembahkan untuk Ibundaku tercinta,
Hamsinah dan Ayahanda Alm. Abd. Kadir atas doa, dukungan, keikhlasan, dan kasih
sayang yang tiada hentinya, yang akan mengantarkan penyusun pada kesuksesan.
Semua kesuksesan yang telah kuraih dan insya Allah akan kupersembahkan untuk
kalian.
Kehadiran karya tulis ini tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik
materiil maupun moril. Sebagai bentuk penghargaan penyusun, melalui pengantar
skripsi ini secara khusus penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak
Dr. H. M. Dahlan M, M.Ag dan Ibu Dra. Rahmawati., MA, Ph.d yang senantiasa,
meluangkan waktunya untuk membimbing penyusun hingga rampungnya penyusunan
skripsi ini.
Dari lubuk hati penyusun yang paling dalam dihaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Bapak Prof. Dr. Musafir
v
Pababbari, M.Si atas segala perhatian yang diberikan kepada penyusun selama
menjadi mahasiswa pada almamater Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar, Bapak Dr. H. Barsihannor, M. Ag dan para Wakil Dekan atas segala
perhatian dan bimbingannya.
3. Para Dosen Penguji Dr. Wahyuddin G, M. Ag dan Drs. Nasruddin, MM atas
semua masukan ilmu yang berharga untuk penyusun.
4. Segenap Dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar yang telah banyak berjasa mendidik penyusun sehingga
berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.
5. Para staf administrasi di lingkungan akademik Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang banyak membantu penyusun
selama menempuh pendidikan di Fakultas Adab dan Humaniora Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar.
6. Pimpinan daerah Muhammadiyah Makassar beserta staf dan jajarannya.
7. Saudaraku Irawati, Muh. Yusuf dan Muh. Yunandar, semoga Allah selalu
memberikan kesuksesan dan kebahagiaan tiada henti untuk kita.
8. Untuk Teman hidup ku yang paling setia, Ilham Syukur, SH yang selama ini
sangat setia membantuku dalam penyusunan skripsi ini.
9. Segenap keluarga besar mahasiswa Jurusan Sejarah dan kebudayaan Islam
Angkatan 2013 Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar.
vi
10. Teman-teman KKN Kecamatan Simbang Kabupaten Maros Angkatan 55
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Dengan segala keterbatasan, penyusun sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati tegur sapa yang konstruktif penyusun
sambut demi kesempurnaan skripsi ini. Penyusun berharap semoga kehadiran skripsi
ini dapat berguna bagi pembaca dan menambah literatur kajian Sejarah dan
kebudayaan Islam.
Akhir kata Alhamdulillahi Rabbil Alamin.
Makassar, 09 Agustus 2017
Penyusun
Ika Novita Sari
vii
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................................... ii
PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1-15
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 11
C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ............................................. 11
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 13
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 14
BAB II TINJAUAN TEORITIS ................................................................... 16-29
A. Muhammadiyah Sebagai Organisasi Islam ..................................... 16
B. Amal Usaha Muhammadiyah .......................................................... 21
C. Pengaruh Muhammadiyah terhadap Masyarakat............................. 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 30-33
A. Jenis dan Lokasi Penelitian ............................................................. 30
B. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 30
C. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 31
D. Sumber Data .................................................................................... 31
E. Instrument Penelitian ....................................................................... 32
F. Teknik Pengolahan dan Analisis ...................................................... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 34-62
A. Biografi KH. Abdullah .................................................................... 34
B. Peranan Muhammadiyah Dalam Pengembangan Islam di Makassar Periode
KH. Abdullah 1931-1938 ..................................................................... 37
C. Eksistensi Muhammadiyah Dalam Pengembangan Islam di Makassar
Periode KH. Abdullah 1931-1938 ........................................................ 49
D. Faktor Penghambat dan Pendorong Peranan Muhammadiyah Dalam
Pengembangan Islam di Makassar Periode KH. Abdullah 1931-1938.. 53
viii
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 63-65
A. Kesimpulan ...................................................................................... 63
B. Implikasi .......................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 66-67
DAFTAR INFORMAN .................................................................................. 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT PENULIS
ix
ABSTRAK
Nama : Ika Novita Sari
NIM : 40200113084
Judul : Peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di
Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938 (Suatu tinjauan
historis)
Dalam skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) sub masalah yakni 1) Bagaimana peranan
Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar periode K. H. Abdullah
1931-1938? 2) Bagaimana eksistensi Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di
Makassar periode K. H. Abdullah 1931-1938? 3) Faktor apa saja yang menghambat
dan mendorong peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar
periode K. H. Abdullah 1931-1938? Untuk menyelesaikan sub masalah tersebut, maka
digunakan metode pengumpulan data yang bersumber dari studi dokumen, wawancara
dan observasi. Adapun teknik pengolahan data yang digunakan dianalisa secara
kualitatif yaitu suatu data yang tidak berbentuk angka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Berlandaskan amar ma’ruf nahi
mungkar sesuai yang terkandung dalam QS. Ali Imran/3 : 104, Muhammadiyah pada
periode KH. Abdullah 1931-1938 telah menjalankan perananannya dalam
pengembangan Islam di Makassar dan sesuai dengan visi misinya. 2) Eksistensi
peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam pada periode KH. Abdullah
1931-1938 di Makassar ini mendapat perhatian besar dari masyarakat Makassar. 3)
Adapun yang menjadi faktor penghambat peranan Muhammadiyah dalam
pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938 yaitu terdiri dari:
Faktor internal (pikiran parsial, ruh perjuangan, kualitas pendidikan dasar dan
menengah, krisis ulama, dakwah kemasyarakatan, adanya mental pedagang vs mental
birokrat dan keberpihakan kepada Mustadhafiin), dan Faktor eksternal lebih mengarah
kepada pandangan buruk masyarakat terhadap anggota Muhammadiyah. Sedangkan
faktor pendorongnya yaitu: terstrukturnya organisasi, dilaksanakannya dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar dan adanya dukungan dari para pendatang yang sesuai dengan
aspirasi Muhammadiyah.
Implikasi dari penelitian ini adalah: 1) Peranan Muhammadiyah dalam
pengembangan Islam pada periode KH. Abdullah harusnya menjadi contoh untuk
Muhammadiyah di masa yang akan datang, agar Muhammadiyah menjadi lebih baik
dalam mengemban amanah. 2) Eksistensi Muhammadiyah harus lebih ditingkatkan. 3)
Meminimalisir semaksimal mungkin yang menjadi faktor penghambat peranan
Muhammadiyah dalam pengembangan Islam, dan memaksimalkan yang menjadi
faktor pendorong Muhammadiyah dalam pengembangan Islam. 4) Hendaknya
Muhammadiyah lebih responsivitas dan meningkatkan kepekaannya terhadap kaum
marginal, sehingga tidak hanya berpihak kepada mustadhafiin saja.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Masyarakat Indonesia mayoritas penganut Islam masih meninggalkan berbagai
macam masalah akidah, ibadah serta akhlak. Hal tersebut disebabkan oleh kualitas
sumber daya manusia atau sumber daya umat yang masih jauh dari kualitas memadai
untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman baik yang berhubungan dengan agama
Islam maupun yang berkaitan dengan pendidikan. Sehingga, timbullah kemiskinan
intelektual, sosial, moral dan agama seperti Bid’ah, Khurafat dan Tahayyul di kalangan
masyarakat Islam Indonesia. Melihat sejumlah masalah yang begitu komplek dihadapi
masyarakat Islam pada masa itu, maka menuntut adanya pengembangan dan
pemberdayaan di kalangan masyarakat Islam.
Pengembangan masyarakat yang diperlukan di sini adalah pengembangan yang
berorientasi pada pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Untuk itu, upaya
pengembangan masyarakat masih perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai
kalangan, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok maupun organisasi sosial yang
ada. Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu berkeyakinan bahwa kemunduran
umat Islam, karena kehidupan umat Islam sudah jauh dari konsep Islam yang
sebenarnya. Kehidupan umat Islam sangat dipengaruhi oleh Tahayyul, Bid’ah, dan
Khurafat.
Kemajuan umat Islam hanya bisa dicapai apabila umat Islam betul-betul
mengamalkan ajaran Islam yang murni, yaitu ajaran Islam yang bersumberkan pada
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah yang shahih. Organisasi Muhammadiyah merupakan
salah satu organisasi keagamaan di Indonesia yang mencoba memberikan solusi
2
terhadap masalah yang dihadapi masyarakat Islam. Organisasi Muhammadiyah sebagai
suatu gerakan dalam mengikuti perkembangan dan perubahan ini senantiasa
mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,1 seperti
halnya disebutkan dalam QS. Ali Imran/3 : 104:
هون عن المنكر وأولئ ونك ولتكن منكم أمة يدعون إل الي ويمرون بلمعروف وي ن م الم Terjemahnya:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”2
Dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan agama Islam di Indonesia,
Muhammadiyah sering disebut sebagai gerakan pembaharuan sosio-religius3, Hal ini
cukup beralasan, karena Muhammadiyah sangat berperan penting dalam perubahan
kehidupan sosial keagamaan di Indonesia sejak awal berdirinya. Walaupun pada
kenyataannya Muhammadiyah tidak pernah menganggap sebagai pembaharu sosial
keagamaan. Muhammadiyah lahir di Yogyakarta pada November 1912, dengan
diprakarsai oleh KH. Ahmad Dahlan. Pada saat kondisi yang tidak menentu KH.
Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang yang peduli terhadap kondisi yang
dihadapi oleh masyarakat pribumi secara umum atau masyarakat Muslim secara
khusus.4
1Sutarmo, Muhammadiyah Gerakan Sosial Keagamaan Modernis (Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2005), h. 33.
2Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat: Sygma CreativeMedia
Corp, 2014), h. 53.
3Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), h. 147.
4Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2003), h. 34.
3
Bagi KH. Ahmad Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata
modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Ia
mengajarkan kitab suci Al-Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak
hanya pandai membaca ataupun melagukan Al-Qur’an semata, melainkan dapat
memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan
membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Al-Qur’an itu sendiri.
Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam
dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya
merupakan suatu dogma yang mati.5
Adapun faktor-faktor utama yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah
ialah antara lain:
1. Merajalelanya syirik, bid’ah, khurafat, jumud, dan ta’sub yang mengakibatkan
umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat,
demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi. Hal
ini karena umat Islam tidak menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai
tuntutan dan pedoman hidup bermasyarakat dan beragama. Umat Islam kala itu
mencampur adukkan ajaran-ajaran nenek moyang dengan ajaran Islam yang
seharusnya menjadi tuntutan dalam kehidupan beragama, bukannya ajaran-
ajaran yang penuh dengan kesyirikan dan khurafat. Di sisi lain, karena
kurangnya pemahaman terhadap pedoman agama yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Sunnah, menimbulkan sikap jumud dan ashobiyah (fanatisme)
terhadap kelompoknya dan enggan menerima perubahan-perubahan.
5Arbiah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang,
1989), h. 78.
4
2. Adanya suatu kenyataan bahwa mayoritas umat Islam berada digaris
kemiskinan, kebodohan dan kekolotan yang mengakibatkan kemunduran umat
Islam yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia.
3. Kondisi umat Islam yang terpecah belah, tidak terbangunnya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat dan menjadi pemersatu
umat Islam.
4. Banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang gagal dalam melahirkan
kader-kader Islam yang mampu menjawab tantangan zaman.
5. Sikap fanatisme sempit, bertaklid buta serta berpikiran dogmatis,
konservatisme, formalism dan tradisionalisme mempengaruhi kehidupan
kebanyakan umat Islam. Hal ini, tentu akan berimbas pada pola hidup yang
sempit dan terkungkung, sehingga umat Islam secara khusus dan bangsa
Indonesia secara umum akan mengalami kejumudan dan tidak akan mengalami
perubahan dan kemajuan dalam menghadapi perkembangan dan perubahan
zaman.
6. Adanya ancaman dari missionaris dan zending Kristen yang semakin kuat di
Indonesia. Kesadaran inilah yang melahirkan benih-benih kebangkitan dalam
melawan ancaman yang akan mempengaruhi pola hidup umat Islam di masa
mendatang. Jika ancaman ini dibiarkan, maka pengaruh missionaris akan
semakin kuat di kalangan umat Islam.
7. Imperialis Kolonialis Belanda yang merajalela di Indonesia harus dilawan dan
dihadapi dengan rakyat yang bersatu, dan untuk menyatukan rakyat terutama
umat Islam dibutuhkan sebuah wadah yang kuat dan memiliki dorongan dan
gebrakan yang luar biasa di hati umat. Sebuah gerakan pembaruan yang bisa
5
membuka mata hati umat kala itu. Sebuah gerakan pencerahan pemikiran yang
memberikan penyadaran akan perlunya pemurnian beragama di kalangan umat
Islam.
8. Adanya suatu kenyataan bahwa Islam kala itu direndahkan oleh para
Intelegensial kaum terpelajar. Islam dianggap sebagai agama yang out of date
tak sesuai dengan kemajuan zaman.6
Dalam rangka mewujudkan Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam,
kubu Islam sendiri terpecah pula menjadi dua gerakan, yaitu gerakan Islam politik dan
gerakan Islam sosial keagamaan. Sarekat Islam merupakan gerakan Islam yang
memilih wilayah politik sebagai wilayah gerakannya, sedangkan Muhammadiyah
merupakan gerakan Islam yang memilih wilayah sosial keagamaan sebagai wilayah
gerakannya.
Memasuki awal abad ke-20, Sulawesi Selatan ditandai dengan semakin
menguatnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan semakin melemahnya
kekuasaan kaum tradisional. Selain itu, ditandai pula dengan hadirnya gerakan
pembaharuan Islam, Jamiyatul Mardiyah, Sarekat Islam, Shiratal Mustaqim dan
Muhammadiyah. Di antara ke empat organisasi tersebut, Muhammadiyah merupakan
organisasi pembaharuan Islam yang aktif dan berkembang dengan baik di Sulawesi
Selatan.
Sedangkan pada awal abad ke-20, Sulawesi Selatan mulai dimasuki oleh
gerakan Islam modernis. Secara nasional, gerakan Islam modernis ini berasal dari
6 Ilham Hamid, Fahmi Jalaluddin, dkk. Matahari Pembaharuan di SERAMBI MADINAH
menelusuri tapak sejarah Muhammadiyah kota Makassar (Makassar: Majelis Pustaka PDM Kota
Makassar & LSQ Makassar, 2015), h. 5-7.
6
Jawa, namun ide-idenya berasal dari Timur Tengah. Jamiyatul Mardiyah, Sarekat Islam
dan Shiratal Mustaqim adalah gerakan Islam modernis awal di Sulawesi Selatan.
Sarekat Islam didirikan di Solo pada tahun 1905 oleh Haji Samanhudi. Sarekat
Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada tahun 1913. Puncak perkembangan Sarekat
Islam adalah tahun 1921. Setelah itu Sarekat Islam mulai dilanda konflik internal.
Akibat dari konflik internal ini, maka pada tahun 1923, Sarekat Islam mulai mengalami
kemunduran di Sulawesi Selatan. 7
Jamiyatul Mardiyah adalah organisasi modernis awal yang lahir di Sulawesi
Selatan, namun organisasi ini tidak mampu membangun eksistensinya. Memasuki
tahun 1930-an, tidak ada kabar tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
Jamiyatul Mardiyah. Ketika Persatuan Arab Indonesia (PAI) Makassar berdiri, banyak
pengurusnya adalah mantan pengurus Jamiyatul Mardiyah. Jamiyatul Mardiyah tidak
berkembang di Sulawesi Selatan dapat dipahami, karena organisasi ini lebih bersifat
kesukuan, yaitu menghimpun orang-orang keturunan Arab.8
Shiratal Mustaqim adalah organisasi Islam lokal di Sulawesi Selatan yang
berdiri pada tahun 1923. Shiratal Mustaqim adalah gerakan pembaharu lokal yang
didirikan oleh Haji Abdul Razak dan kawan-kawan di kampung Butung Makassar.
Mereka adalah mantan anggota Sarekat Islam yang tidak puas dengan gerakan Sarekat
Islam yang bergerak dalam bidang politik. Dalam perkembangannya, gerakan Shiratal
Mustaqim juga tidak begitu eksis, karena dilanda konflik internal. Selain itu, Shiratal
Mustaqim tidak konsisten sebagai gerakan pembaharu, karena gerakan ini banyak
7Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan (Jakarta: IPPSDM-WIN, 1999), h. 8.
8Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan, h. 10.
7
mentoleril kebiasaan-kebiasaan tradisional yang sangat ditentang oleh
Muhammadiyah. Pada mulanya anggota Shiratal Mustaqim mencatatkan diri menjadi
anggota Muhammadiyah grup Makassar. Pengurus-pengurus Muhammadiyah,
terutama KH. Abdullah dan Mansyur Al-Yamani dengan giat menyampaikan paham-
paham Muhammadiyah terutama di kalangan anggota-anggotanya.
Setahun setelah terbentuknya organisasi ini, terjadilah perbedaan-perbedaan
pendapat dalam beberapa masalah, antara lain kebiasaan masyarakat mengadakan
kenduri dan selamatan dengan mengundang pemuka-pemuka agama untuk membaca
doa. Sebagian dari mereka yang tercatat sebagai anggota Muhammadiyah yang berasal
dari Shiratal Mustaqim masih gemar mendatangi selamatan kenduri tersebut, sebagian
lagi tidak mau menghadirinya bahkan melarang orang menghadirinya. Orang-orang
yang masih gemar menghadiri selamatan kenduri dan membaca doa itu menyatakan
diri keluar dari Muhammadiyah dan kembali mengaktifkan Shiratal Mustaqim,
dipimpin oleh Haji Abdul Razak, Haji Muhammad Qasim dan beberapa orang lainnya.
Mereka mengaktifkan Shiratal Mustaqim dengan memindahkan kegiatannya ke
kampung Pisang, anggota setia yang tersisa sekitar 17 orang.9
Organisasi ini juga tidak mampu membangun eksistensinya dengan baik.
Hingga berakhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942, Shiratal Mustaqim hanya
berkembang di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, di antaranya adalah Makassar dan
Gowa. Ketika Jepang masuk, organisasi ini dibekukan oleh Pemerintah Jepang dan
9Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan, h. 12-13.
8
ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, organisasi ini juga tidak mampu bangkit
lagi.10
Pada bulan Juni 1925 Haji Rasul berhasil mendirikan Muhammadiyah cabang
Sungai Batang Sumatera Barat. Ini merupakan cabang Muhammadiyah yang pertama
di luar Jawa. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 2 Juli 1926, berdiri pula
Muhammadiyah cabang Makassar sebagai cabang pertama yang ada di luar Jawa dan
Sumatera. Muhammadiyah cabang Makassar berhasil berdiri berkat jasa dari Mansyur
Yamani, seorang Pedagang batik keturunan Arab yang berasal dari Sumenep Madura
dan Haji Abdullah, mantan pengurus Shiratal Mustaqim.
Walaupun organisasi Muhammadiyah ini agak terlambat masuk ke wilayah
Sulawesi Selatan tepatnya di Makassar yakni pada tahun 1926, namun Muhammadiyah
mampu menarik perhatian kaum Pedagang, kaum Ulama, dan kaum Bangsawan.
Bahkan Muhammadiyah mampu menarik sebagian orang keturunan Arab untuk
menjadi kadernya. Di tangan mereka, Muhammadiyah yang pada awalnya hanya ada
di Makassar, namun kemudian mampu berkembang ke berbagai kota di pedalaman
Sulawesi Selatan.
Anggota Muhammadiyah cabang Makassar sampai beberapa tahun sesudah
terbentuknya, tersebar ke beberapa kampung dalam kota Makassar, bahkan juga ada
yang berdomisili di luar kota di pedalaman Sulawesi Selatan. H. A. S. Daeng Muntu,
konsul Muhammadiyah Sulawesi Selatan yang kedua menyatakan dalam bukunya
(Langkah dan usaha kerja) bahwa setelah keluarnya anggota Shiratal Mustaqiem dari
Muhammadiyah, maka hanya tersisa 17 orang anggota Muhammadiyah cabang
10Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan, h. 15.
9
Makassar. Masing-masing anggota tersebut menjadi kader dalam mengembangkan
paham dan organisasi Muhammadiyah di tempatnya masing-masing, terutama
dikalangan keluarga dan sahabat karibnya. Berkat usaha para kader Muhammadiyah
itu, pada tahun 1928 telah terbentuk 4 (empat) grup Muhammadiyah di dalam kota
Makassar, yaitu:
1. Muhammadiyah grup kampung Bontoala, dipimpin oleh Sulaiman Daeng
Matutu.
2. Muhammadiyah grup kampung Pisang, grup ini banyak beranggotakan orang
Selayar dipelopori oleh Daeng Mammudji, Sabang Daeng Ngago dan Bahar.
3. Muhammadiyah grup Mariso di bagian selatan kota Makassar sekitar jalan
Rajawali, pelopor dan pimpinannya adalah Haji Tuppu Daeng Palallo seorang
pegawai KPM (Perusahaan pelayaran zaman kolonial Belanda), didampingi
oleh Madenum Daeng Sutte dan Abdul Haji Daeng Mangka.
4. Muhammadiyah grup Lariangbangi di lingkungan distrik Makassar di bagian
timur kota Makassar, sebelah timur jalan Veteran. Penggerak Muhammadiyah
di grup ini kebanyakan dari Selayar dengan Daeng Masino sebagai
pimpinannya.
Keempat grup Muhammadiyah tersebut di atas secara bergiliran mengadakan
tabligh (pengajian) di sekitar daerahnya masing-masing dengan mendatangkan
pengurus pimpinan cabang Makassar. Selain dari usaha tabligh, masing-masing grup
itu juga melakukan kegiatan di bidang penyantunan masyarakat yang dilaksanakan
oleh urusan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoen) dalam bentuk kegiatan sinonim
dengan alat-alat penyelenggaraan jenazah.
10
Selain itu, Muhammadiyah juga berhasil dalam membina amal usahanya dalam
bentuk pendirian lembaga pendidikan, pendirian rumah yatim dan pendirian poliklinik
sebagai lembaga kesehatan. Muhammadiyah juga membentuk organisasi Hizbul
Wathan (HW) untuk urusan pemuda dan Aisyiyah yang dibentuk oleh para anggota
Muhammadiyah dikalangan wanita. Berkat dukungan masyarakat dan atas
kemampuan Muhammadiyah dalam membangun jaringan organisasi, serta
mengembangkan amal usaha sehingga Muhammadiyah mampu berkembang dengan
baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di Makassar.11
Keberhasilan Muhammadiyah cabang Makassar menempatkan diri sebagai
bagian dari organisasi terbesar, sebagaimana terlukiskan itu tentunya tidak dapat
dipisahkan dari sejarah perkembangannya dan juga pemimpinnya pada setiap periode
yang memang sudah cukup lama. Secara keseluruhan, sejak didirikan Muhammadiyah
mengalami perubahan yang cukup pesat, meskipun di antara masa yang panjang
terdapat juga masa-masa mandek bahkan masa surut.
Kota Makassar secara umum merupakan suatu wilayah potensial untuk
berkembangnya pemikiran-pemikiran keagamaan. Hal ini selain dikarenakan letak
geografis dan tingkat pendapatan masyarakat yang minim, juga dikarenakan tingkat
pendidikan masyarakat yang kurang, baik pendidikan umum terlebih lagi pendidikan
Islam. Oleh sebab itu, keadaan yang seperti ini banyak dimanfaatkan oleh misionaris
untuk mengembangkan agamanya. Kota Makassar merupakan suatu wilayah yang
sampai saat ini dapat menjaga aqidah masyarakat dari bahaya misionaris. Hal ini tidak
terlepas dari peranan organisasi Muhammadiyah yang masih eksis dengan amal
usahanya.
11Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan, h. 24-26.
11
Dalam uraian latar belakang, hal tersebut menarik untuk dikaji bagi peneliti dan
memaparkan masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Peranan
Muhammadiyah Dalam Pengembangan Islam di Makassar periode KH.
Abdullah 1931-1938 (Suatu Tinjauan Historis)”.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka peneliti merumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar
periode KH. Abdullah 1931-1938?
2. Bagaimana eksistensi Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di
Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938?
3. Faktor apa saja yang menghambat dan mendorong peranan Muhammadiyah
dalam pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938?
C. Fokus penelitian dan deskripsi fokus
1. Fokus penelitian
Fokus penelitian merupakan pemusatan konsentrasi terhadap tujuan penelitian
yang sedang dilakukan. Penelitian ini membahas tentang “Peranan Muhammadiyah
dalam pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938 (Suatu
tinjauan historis)”. Sebagai fokus penelitian ini yaitu pengembangan Islam di Makassar
yang dilakukan oleh Muhammadiyah meliputi bagaimana peranannya, bagaimana
eksistensinya dan faktor yang menjadi penghambat dan pendorong Muhammadiyah
dalam pengembangan Islam di Makassar khususnya periode masa kepemimpinan KH.
Abdullah 1931-1938.
Sebelum pembahasan fokus tersebut, peneliti terlebih dahulu membahas
12
tentang awal berdirinya Muhammadiyah sebelum didirikannya di Makassar. Lalu
dibahas pula mengenai Muhammadiyah sebagai organisasi Islam, Amal usaha
Muhammadiyah, dan pengaruh Muhammdiyah terhadap masyarakat, yang ketiganya
dibahas secara umum. Di samping itu pula dibahas mengenai kondisi kota Makassar
sebelum didirikannya Muhammadiyah, serta organisasi apa saja yang ada sebelum
didirikannya Muhammadiyah di Makassar.
2. Deskripsi fokus
Berikut gambaran deskripsi fokus di pembahasan ini yang menjadi pelaku
(actor) adalah Muhammadiyah yang memiliki kantor cabang di Makassar. Dalam
pengembangan Islam di Makassar periode kepemimpinan KH. Abdullah 1931-1938,
Muhammadiyah sebagai suatu gerakan dalam mengikuti perkembangan dan perubahan
ini senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
dimana visi misinya itu mencoba memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi
masyarakat Islam.
Dari penelitian ini terbagi dalam beberapa batasan yaitu, batasan spasial atau
yang menyangkut tentang wilayah yang ingin dikaji dalam penelitian ini yaitu kantor
Pimpinan Daerah Muhammadiyah kota Makassar yang berada di Makassar yang
berbatasan dengan Kabupaten Maros di sebelah utara, Kecamatan Tamalanrea di
sebelah selatan, Kabupaten Gowa di sebelah timur dan Selat Makassar di sebelah barat.
Selanjutnya lingkup tematik atau aspek-aspek apa yang ingin dikaji, karena peneliti
ingin mengkaji Peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar
periode KH. Abdullah 1931-1938, maka yang ingin dikaji adalah aspek historis yang
berbicara mengenai pengembangan Islam di Makassar periode K. H. Abdullah 1931-
1938.
13
D. Tinjauan pustaka
Sebelum melakukan penelitian ini, penyusun terlebih dahulu melakukan
penelusuran terhadap beberapa hasil penelitian yang berupa karya ilmiah yang
berkaitan dengan peranan Muhammadiyah. Adapun karya-karya hasil dari penelusuran
penulis diantaranya yaitu:
Skripsi yang disusun oleh Ahmad Halilurrahman dengan judul “Peranan
Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tahun 1912-1950”. Sebelumnya saya
haturkan terima kasih kepada penyusun karena telah memberikan sumbangsi materinya
dalam penyusunan skripsi ini, walaupun tidak memberikan penjelasan lebih rinci
terkait judul skripsi ini. Skripsi tersebut hanya membahas tentang bagaimana
pelaksanaan kegiatan pendidikan Muhammadiyah sebelum kemerdekaan (1912-1945)
dan bagaimana pelaksanaan kegiatan pendidikan Muhammadiyah pada masa awal
kemerdekaan (1945-1950).12
Karya ilmiah selanjutnya adalah skripsi yang disusun oleh Umar Abdul Jabbar
dengan judul “Peran Muhammadiyah dalam pemberdayaan Civil Society pasca
reformasi”. Sebelumnya saya haturkan terima kasih kepada penyusun karena telah
memberikan sumbangsi materinya dalam penyusunan skripsi ini, walaupun tidak
memberikan penjelasan lebih rinci terkait judul skripsi ini. Skripsi tersebut membahas
tentang pemberdayaan Civil Society, posisi strategis Muhammadiyah dalam penguatan
12Ahmad Halilurrahman, “Peranan Muhammadiyah dalam Bidang Pendidikan tahun 1912-
1950”, Skripsi, (Jember: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember, 2013).
14
Civil Society pasca reformasi dan penguatan Civil Society pasca reformasi relevansinya
dengan tradisi Fiqh Siyasah Muhammadiyah.13
Dan terakhir adalah Buku karya Drs. M. Natsir Bakry dengan judul “Peranan
lajnah tarjih Muhammadiyah dalam pembinaan hukum Islam di Indonesia”.
Sebelumnya saya haturkan terima kasih pula kepada penyusun karena telah
memberikan sumbangsi materinya dalam penyusunan skripsi ini, walaupun tidak
memberikan penjelasan lebih rinci terkait judul skripsi ini. Dalam buku tersebut hanya
membahas tentang bagaimana aspek lajnah tarjih Muhammadiyah, bagaimana
penyebaran dan pelaksanaan keputusan lajnah tarjih Muhammadiyah.14
E. Tujuan dan kegunaan penelitian
1. Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di
Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938.
b. Untuk mengetahui eksistensi Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di
Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938.
c. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendorong Muhammadiyah dalam
pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah1931-1938.
2. Selanjutnya hasil penelitian diharapkan mempunyai kegunaan sebagai
berikut:
a. Kegunaan teoritis
13Umar Abdul Jabbar, “Peran Muhammadiyah dalam Pemberdayaan Civil Society Pasca
reformasi”, Skripsi, (Semarang: Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang,
2007).
14Natsir Bakry, Peranan lajnah Tarjih Muhammadiyah dalam Pembinaan Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: CV. Karya Indah, 1985).
15
Memberikan sumbangan pengetahuan yang nantinya dapat berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya yang berhubungan dengan Peranan
Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-
1938.
b. Kegunaan Praktis
Memberikan dorongan moral dan memberikaan pengetahuan kepada
masyarakat bagaimana proses peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di
Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938 serta mengajak untuk berpikir kritis
terhadap ketimpangan yang ada di lingkungan sekitar.
16
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang telah dikenal, jauh sebelum
Indonesia merdeka. Ketika Belanda masih menjajah, seluruh rakyat Indonesia sangat
menderita. Semua harus patuh dan tunduk pada peraturan dan undang-undang, yang
tujuannya mensejahterakan dan memperkaya Belanda, sementara kaum pribumi
semakin melarat. Kesengsaraan telah merata di seluruh tanah air. Norma agama telah
porak-poranda akibat pengaruh Belanda tampak telah mewarnai kehidupan pada saat
itu.1
Keinginan Belanda berkuasa semakin menjadi-jadi, bukan saja hanya ingin
menguasai tanah air Indonesia, melainkan juga ingin menguasai hati dan jiwa seluruh
bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari propaganda ideologi yang dibawanya, dan
diterapkan pada sistem pendidikan, kemudian dipaksakan kepada para murid. Mereka
yang belajar di sekolah Belanda tidak diajari ilmu agama Islam, meskipun mereka
beragama Islam. Tradisinya pun mengikuti tradisi Kristen yang memang menjadi
misinya. Kebiasaan berpesta pora, berdansa, mabuk-mabukan diperkenalkan, dan bagi
mereka yang mengikutinya mendapat pujian.
Di sisi lain pendidikan alternative pada waktu itu adalah sekolah agama Islam,
namun hanya mengkaji kitab gundul tanpa mempelajari pengetahuan umum. Hal ini
dikarenakan oleh paham ekstrim serta kebencian para pemuka agama Islam, sehingga
mengharamkan sistem dan ilmu-ilmu sekuler yang diterapkan Belanda.
1 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta:
Bulan bintang, 2003), h. 2.
17
Keterbelakangan sebagian besar rakyat Indonesia dalam hal beragama juga tampak
semakin parah. Pengenalan terhadap Tuhan hanya mereka lakukan dengan jalan
mereka apa yang terlintas di pikiran mereka. Mereka menyembah pohon-pohon kayu,
meminta-minta di kuburan dan tempat-tempat yang dianggap keramat. Bahkan batu-
batuan, keris bertuah mereka jadikan sebagai benda sakti yang dianggapnya dapat
mendatangkan kekuatan ghaib. Pengaruh Hindu dan Budha sangat mewarnai pola pikir
mereka. Praktek Animisme, Dinamisme telah terang-terangan dilakukan dimana-mana,
bahkan telah menjadi gaya hidup masyarakat yang telah mengaku beragama Islam.
Sementara tidak kalah gencarnya para penginjil terus-menerus keluar masuk rumah
penduduk menawarkan dagangan ideologisnya.
Akibat penjajahan Belanda yang berkepanjangan, mengakibatkan kebodohan
dan keterbelakangan melanda seluruh Kepulauan Indonesia yang dikenal kaya dengan
hasil bumi. Pendidikan hanya dinikmati oleh kaum priyayi dan bangsawan saja. Itupun
mengikuti sistem dan tradisi Belanda. Dari kota-kota sampai ke pelosok desa, Belanda
telah berhasil mengacak-acak bangsa Indonesia. Hal ini membangkitkan kebencian
rakyat Indonesia untuk bersatu dan serentak melawan penjajah.
Seperti halnya di Yogyakarta, tingkah laku penjajah tampak semakin brutal.
Tekanan-tekanan Belanda telah merusak jiwa dan moral bangsa. Pada masa itu, agama
Islam sudah tercampur baur dengan tradisi yang berasal dari macam-macam agama dan
kepercayaan. Ada sekelompok orang yang telah mengaku beragama Islam terbius
dengan pengaruh dan siasat licik Belanda, ada pula yang terseret ke kepercayaan dan
dalam paham kolot yang menyesatkan.
Melihat kondisi tersebut, KH. Ahmad Dahlan seorang ulama dari Kauman di
Yogyakarta, bangkit dan mengajak masyarakat Yogyakarta untuk segera keluar dari
18
perangkap kebodohan itu. Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah, didirikanlah suatu
wadah perjuangan yang kemudian dikenal dengan nama Muhammadiyah. Sebuah
wadah perjuangan yang bertujuan untuk membimbing umat Islam kepada agama Islam
yang murni yang telah dikotori dan untuk mempertahankan tanah air. Muhammadiyah
sebagai wadah pergerakan yang menggunakan dasar dan pendekatan Islam,
menyatukan potensi bangsa Indonesia untuk mengusir para penjajah dari bumi persada
tercinta ini, serta menyelamatkan umat Islam dari praktek-praktek beragama yang
keliru.
Karena itulah dari awal pergerakan ini, Muhammadiyah telah menetapkan
dakwahnya kepada dua sasaran, yakni untuk perorangan dan untuk masyarakat. Begitu
pun warna dakwahnya senantiasa berorientasi kepada amar ma’ruf nahi mungkar,
dalam rangka mencapai suatu cita-cita mulia, suatu obsesi terwujudnya masyarakat
utama adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah Swt. Inilah motivasi KH. Ahmad
Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang kemudian terus diperjuangkannya,
diwariskan dari generasi ke generasi, sampai kepada kita saat ini sebagai penerus
risalah Nabi Muhammad Saw. dan wajib kita teruskan menjaga ajarannya serta
menyampaikannya kepada seluruh umat manusia.2
Begitu pula dengan lelaki kelahiran Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958 bernama
asli Sirajuddin Syamsuddin. Sosok yang ramah dan elegan ini tampaknya ingin
menunjukkan bahwa Islam mampu bergumul dengan kemajuan zaman, sepesat apapun
perkembangan itu. Menurutnya Islam mengandung nilai-nilai dan prinsip yang
sempurna bagi kemajuan peradaban utama umat manusia. Ini dengan catatan umat
2 Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan . (Jakarta: IPPSDM-WIN, 1999), h.1-4.
19
Islam harus mampu meresapi, merenungi dan mempelajari lalu mempraktekkan nilai-
nilai utama Islam. Demikian pula Muhammadiyah sebagai bagian dari umat Islam
dunia. Menurut pemikir yang kerap kali memberikan presentasi makalahnya pada
berbagai seminar Internasional di dalam dan luar negeri, Muhammadiyah harus mampu
memberikan kontribusi rill bagi perkembangan, perdamaian dan kemajuan dunia.
Muhammadiyah tidak boleh mundur, minder, bahkan takut terhadap perkembangan,
apapun situasinya akan terjadi. Baginya Muhammadiyah adalah asset besar bangsa
yang harus dijaga, dilestarikan dan dikembangkan sehingga kelak akan mampu
menjadi pelopor kemajuan umat, bangsa dan dunia Internasional.3
Muhammadiyah sebagai organisasi dalam mewujudkan gagasan-gagasan KH.
Ahmad Dahlan tidak lepas dari peran kawan-kawan Boedi Oetomo yang tertarik
dengan masalah agama yang diajarkan KH. Ahmad Dahlan, yakni R. Budihardjo dan
R. Sosrosugondo. Gagasan pendirian Muhammadiyah ini juga merupakan saran dari
salah seorang siswa KH. Ahmad Dahlan di Kweekscholl Jetis dimana Kyai mengajar
agama pada sekolah tersebut secara ekstrakurikuler yang sering datang ke rumah Kyai
dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis KH. Ahmad Dahlan tidak
diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar lembaga pendidikan itu tidak
mati setelah Kyai wafat. Namun menurut Adaby Darba, ahli sejarah dari UGM
kelahiran Kauman, nama “Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan
sekaligus sahabat KH. Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang
Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi
3 Ramly dan Nadjamuddin, Ensiklopedi tokoh Muhammadiyah. (Jakarta: Best Media Utama,
2010), h. 11.
20
penghulu Kraton Yogyakarta. Kemudian KH. Ahmad Dahlan melaksanakan sholat
istikharah dalam menentukan nama Muhammadiyah.4
Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan terwujudnya
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhoi Allah. Swt. dimana kesejahteraan,
kebaikan dan kebahagiaan luas merata. Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan
amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran
Dasar, yaitu:
1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada Allah Swt.
2. Hidup manusia bermasyarakat.
3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu
satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan
dunia akhirat.
4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah
kewajiban sebagai ibadah kepada Allah Swt. dan ikhsan kepada manusia.
5. Ittiba’ kepada langkah perjuangan nabi Muhammad.
6. Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan
bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam untuk
mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman “Berpegang teguh akan ajaran Allah
swt. dan Rasul-Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan
menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhoi Allah Swt”.5
4 Ilham Hamid, Fahmi Jalaluddin, dkk. Matahari Pembaharuan di SERAMBI MADINAH
menelusuri tapak sejarah Muhammadiyah kota Makassar. (Makassar: Majelis Pustaka PDM Kota
Makassar & LSQ Makassar, 2015). h. 4. 5 Rosyidi Syahlan, Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi. (Solo: Mutiara, 1982). h. 11.
21
B. Amal usaha Muhammadiyah
Pasal 7 ayat 1 AD Muhammadiyah: “Untuk mencapai maksud dan tujuannya
Muhammadiyah melaksanakan dakwah Amar ma’ruf nahi mungkar dan Tajdid
yang diwujudkan dalam usaha disegala bidang kehidupan”.
Ayat 2 menyebutkan: “Usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal
usaha, program dan kegiatan yang macam dan penyelenggaraannya diatur
dalam Anggaran Rumah Tangga”.6
Muhammadiyah dalam segala bentuk usahanya diwujudkan dalam penerapan
amal usaha, program dan kegiatan yang meliputi:
1. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman serta
menyebarluaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
2. Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai
aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
3. Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infaq, wakaf, shadaqah, hibah dan
amal shalih lainnya.
4. Meningkatkan harkat, martabat dan kualitas sumber daya manusia agar
berkemampuan tinggi serta berakhlak mulia.
5. Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta meningkatkan penelitian.
6. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang
berkualitas.
7. Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
8. Memelihara, mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya alam dan
lingkungan untuk kesejahteraan.
9. Mengembangkan komunikasi, ukhuwah dan kerjasama dalam berbagai bidang
dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.
6 Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. (Jakarta: Pustaka jaya, 1987), h. 10
22
10. Memelihara keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
11. Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku
gerakan.
12. Mengembangkan sarana, prasarana dan sumber dana untuk mensukseskan
gerakan.
13. Mengupayakan penegakan hukum, keadilan dan kebenaran serta meningkatkan
pembelaan terhadap masyarakat.
14. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah.7
Sehingga secara garis besar perwujudan pemikiran-pemikiran tersebut dapat
dikelompokkan menjadi beberapa amal usaha:
a. Bidang dakwah
Dalam dakwahnya, Muhammadiyah selalu menekankan Amar ma’ruf nahi
mungkar (Menyeru kepada perbuatan yang benar lagi baik dan mencegah segala bentuk
kemungkaran) di lingkungan masyarakat, berakidah dan mengajak kepada akidah
Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Untuk
menyamakan gerak langkah dalam dakwah, para da’i Muhammadiyah berpedoman
pada utusan tarjih sebagai hasil proses analisis dalam menetapkan hukum dengan
menetapkan dalil yang lebih kuat (rajah), lebih tepat analogi dan lebih kuat
maslahatnya. Putusan tarjih itu dihasilkan oleh Majelis Tarjih yaitu lembaga ijtihad
jama’i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggotanya terdiri dari
7 Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. h. 11-12.
23
orang-orang yang memiliki kompetensi ushuliyyah dan ilmiah dalam bidangnya
masing-masing.8
Kegiatan dibidang dakwah sangat diutamakan. Kegiatan dibidang ini yang
dilakukan oleh para pengurus dan muballigh-muballighatnya memasyarakatkan cita-
cita perjuangannya, memberikan bimbingan dan penjelasan kepada masyarakat umat
Islam tentang pelaksanaan tuntunan-tuntunan Islam menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah saw. bagaikan ujung tombak dalam upaya mengembangkan organisasi
Muhammadiyah. Usaha dakwah dilaksanakan ke dalam dan keluar dengan garis
kebijakan sebagai berikut:
1) Dakwah ke dalam
a) Mengadakan pengajian dikalangan pimpinan secara rutin, sekurang-kurangnya
sekali sebulan oleh cabang-cabang.
b) Mengadakan pengajian untuk anggota-anggota secara rutin, oleh pimpinan ranting-
ranting di rantingnya masing-masing sekurang-kurangnya sekali sebulan.
c) Setiap menjelang tibanya bulan Ramadhan, diadakan pertemuan muballigh-
muballigh Muhammadiyah untuk mendiskusikan materi-materi bahasan yang akan
idsajikan pada ceramah-ceramah dan khotbah-khotbah. Demikian juga pada pertemuan
itu para muballigh dan muballighat tersebut diberikan bekal dengan berbagai ceramah
dari para pakar komunikasi dan masyarakat.
d) Menerbitkan bulletin, brosur yang berisikan Sillabi Ramadhan yang harus dipegangi
oleh para muballigh dan muballighat Muhammadiyah selama bulan Ramadhan.
8 Rosyidi Syahlan, Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi. h. 17.
24
2) Dakwah keluar
a) Memanfaatkan hari-hari bersejarah dalam sejarah Islam dengan menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan dakwah, misalnya ceramah-ceramah umum, seminar dan diskusi
yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah.
b) Menugaskan muballigh muballighat memenuhi acara kegiatan dakwah yang
dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah atau perusahaan-perusahaan swasta.
c) Menyediakan tenaga muballigh muballighat yang dibutuhkan oleh lembaga lain
misalnya Indonesia untuk bertugas dakwah di daerah-daerah.
d) Mengirim muballigh muballighat ke daerah-daerah transmigrasi dan ke daerah-
daerah suku terasing.9
b. Bidang agama Islam
1) Program gerakan
a)Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan
pengalaman serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
b) Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai aspek
kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
2) Wujud aksi amal usahanya
a) Memurnikan ajaran tauhid dalam keseharian dengan cara meniadakan
kebiasaan/tradisi upacara selamatan-selamatan (mitoni orang hamil, selamatan
kematian, dan lain-lain).
b) Memberantas tradisi keagamaan yang dianggap sebagai ajaran Islam seperti
selamatan/khaul untuk para wali/syekh, ziarah kubur pada bulan-bulan tertentu,
9 Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan . (Jakarta: IPPSDM-WIN, 1999), h. 167-168.
25
kepercayaan pada zimat huruf Al-Qur’an, puji-pujian kepada Rasulullah Saw.
membaca ayat Al-Qur’an misal surat yasin pada malam jum’at.
c) Memurnikan dan meluruskan amal ibadah seperti meluruskan arah kiblat,
melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dan diawali dengan shalat iftitah dua rakaat
ringan, menyelenggarakan shalat hari raya di tanah lapang, pengumpulan dan
penyaluran zakat maal dan fitrah kepada yang berhak menerimanya, penyederhanaan
upacara dalam rangka kelahiran, khitanan, pernikahan dan kematian serta
menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam-makam para wali yang dikeramatkan.
d) Memelopori pembentukan Departemen Agama pada tahun 1946 dan Menteri
Agama adalah H. M. Rosyidi, seorang tokoh Muhammadiyah. Membentuk majelis-
majelis yang mengelola bidang keagamaan Islam yaitu: Majelis tarjih dan tajdid,
majelis tabligh, majelis wakaf dan kehartabendaan.
c. Bidang pendidikan
Pendidikan yang dirintis Muhammadiyah adalah pendidikan yang berorientasi
kepada dua hal, yaitu perpaduan antara sistem sekolah umum dan madrasah/pesantren.
Untuk mewujudkan rintisan pendidikannya itu, maka Muhammadiyah mendirikan
amal usaha berupa sekolah-sekolah umum modern yang mengajarkan ilmu
pengetahuan tentang agama dan mendirikan perguruan tinggi.
d. Bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah menaruh perhatian besar terhadap
kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat kelas dhu’afa. Penyaluran dan
pembagian zakat fitrah dan maal kepada fakir miskin dan asnaf yang lain. Pendirian
panti asuhan, panti miskin, panti jompo, balai kesehatan, poliklinik, rumah sakit ibu
dan anak dan rumah sakit umum. Pendampingan terhadap masyarakat kelas dhu’afa
26
agar dapat mandiri untuk mengelola amal-amal usaha tersebut dibentuk majelis dan
lembaga; Majelis pelayanan, majelis pelayanan sosial, majelis pemberdayaan
masyarakat, majelis lingkungan hidup, lembaga penanggulangan bencana.
e. Bidang politik kenegaraan
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan dakwah dan gerakan tajdid
serta juga bukan dari partai politik. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa agama Islam
adalah agama yang mengatur segenap kehidupan manusia di dunia, termasuk
kehidupan di bidang politik kenegaraan. Muhammadiyah mempunyai sikap yang
sangat peduli dan ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang baik dan benar. Untuk menjalankan kepeduliannya itu, maka
Muhammadiyah membentuk majelis dan lembaga: Majelis Hukum dan Hak asasi
manusia, Lembaga Hikmah dan kebijakan publik.
f. Bidang ekonomi dan keuangan
Bertujuan untuk membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan
mengembangkan ekonomi sesuai dengan ajaran Islam serta untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan amal usaha Muhammadiyah. Amal usaha di bidang ini meliputi
antara lain: BPR, BMT, Koperasi, Biro perjalanan, dan lain-lain. Untuk menjalankan
amal usaha di bidang ini dibentuk majelis dan lembaga: Majelis ekonomi dan
kewirausahaan, Lembaga pemeriksaan dan pengawasan keuangan.10
C. Pengaruh Muhammadiyah terhadap masyarakat
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia telah
memberikan sumbangan yang tidak sedikit dalam memajukan bangsa. Dalam
10 Rosyidi Syahlan, Kemuhammadiyahan untuk perguruan tinggi. h. 18-21.
27
kiprahnya memajukan bangsa, Muhammadiyah dikenal luas berkat konsep-konsep
tajdid yang diusungnya. Konsep pembaharuan yang dikampanyekan Muhammadiyah,
tidak terlepas dari gagasan, pola pikiran serta tindakan dari sang pendirinya KH.
Ahmad Dahlan. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, pemahaman keIslaman di
masyarakat Indonesia saat itu yang masih bersifat kolot akan menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) umat Islam. Oleh karena
itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus diubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan
Hadist. Namun ia menyadari bahwa upaya itu tidak mungkin dilaksanakan oleh
beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak
mungkin tanpa organisasi.11
Dalam pengantar buku Islam murni dalam masyarkat petani (2000),
Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa pada waktu itu KH. Ahmad Dahlan dihadapkan
pada tiga persoalan pokok masyarakat, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan
Jawaisme. Persoalan modernisme telah dijawab oleh KH. Ahmad Dahlan dengan
mendirikan lembaga pendidikan Islam yang mengintegrasikan antara ilmu
pengetahuan dan ilmu agama. Sektor pendidikan memang sejak awal berdiri dijadikan
sasaran prioritas Muhammadiyah. Karena KH. Ahmad Dahlan beranggapan, melalui
lembaga pendidikan sangat dimungkinkan terjadinya proses transformasi kebudayaan
kepada anak didik.
Strategi yang dipilihnya adalah dengan mendidik para calon guru yang belajar
di Kweekschool Jetis Yogyakarta dan para calon pamongpraja (pejabat) yang belajar
11 Sutarmo, Muhammadiyah Gerakan Sosial Keagamaan Modernis (Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2005), h. 25.
28
di OSVIA Magelang. Melalui kedua cara ini diharapkan akan segera mempercepat
proses transformasi, karena para calon guru ini nantinya akan mempunyai murid yang
banyak. Selain itu, KH. Ahmad Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian
dikenal dengan Madrasah Muallimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah
Muallimat (Kweekschool istri Muhammadiyah). Ia mengajarkan agama Islam dan
tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Sebagai jawaban atas persoalan tradisionalisme masyarakat, KH. Ahmad
Dahlan melakukan tabligh. Jika dimasa sekarang, kegiatan tabligh merupakan suatu
hal yang biasa, namun pada zaman dahulu kegiatan itu sangat luar biasa. Mengingat
kegiatan tabligh yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan waktu itu telah melawan arus
besar mainstream budaya tabligh pada umumnya.
Dengan mengedepankan motif pembaruan dan semangat berkemajuan, tabligh
KH. Ahmad Dahlan justru dilakukan dengan mendatangi murid-muridnya. Padahal,
tindakan demikian merupakan suatu aib sosial dalam pandangan yang berkembang di
masyarakat. Menurut Kuntowijoyo, strategi tabligh semacam itu merupakan langkah
cerdas yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam membangun budaya baru di tengah
paradigma tradisionalisme masyarakat.
Selain itu, budaya tabligh yang diubah oleh KH. Ahmad Dahlan adalah
kecenderungan umum para Ulama yang memiliki tradisi oral (lisan) dalam
menyampaikan dakwah. Dalam hal ini, KH. Ahmad Dahlan mengubah tradisi lisan
menjadi budaya tulis menulis. Langkah perubahan ini dapat dilihat melalui usaha KH.
Ahmad Dahlan saat mendirikan majalah berbahasa Jawa, Suwara Muhammadiyah.
Adapun dalam rangka menghadapi Jawaisme menurut Kuntowijoyo, KH.
Ahmad Dahlan justru menggunakan metode positive action (dengan selalu
29
mengedepankan amar ma’ruf) dan bukannya menyerang tradisi serta kepercayaan
Jawaisme (nahi mungkar), sebagai contoh menangani persoalan arah kiblat.
Penjajahan yang berlangsung pada masa KH. Ahmad Dahlan menyebabkan
kehidupan beragama dikalangan umat Islam mengalami kemerosotan. Praktik-praktik
ibadah yang dijalankan umat Islam pada saat itu bercampur dengan tradisi masyarakat
setempat. Salah satu contohnya adalah banyaknya bangunan masjid di tanah Jawa yang
pembangunannya tidak didasarkan untuk kepentingan agama, tetapi didasarkan untuk
kerapian pembangunan negara. Akibatnya, banyak masjid yang kiblatnya tidak tepat
ke arah masjidil Haram di Mekkah.
Muhadjir menjelaskan, ketiga hal tersebut menjadi landasan pembaharuan dan
peranan bagi warga Muhammadiyah saat ini. Ketiga hal tersebut yang sempat
dilakukan KH. Ahmad Dahlan kini lebih dikonkretkan lagi ke dalam bidang
pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.
Sehingga dengan kehadiran Muhammadiyah dengan segala pembaharuan dan
peranannya dapat diterima oleh kebanyakan masyarakat. Bahkan perlahan-lahan
masyarakat yang tadinya sangat anti dengan Muhammadiyah telah melibatkan diri
dalam mengembangkan Islam ke berbagai wilayah. Ini membuktikan bahwa, apa yang
telah diupayakan Muhammadiyah tidak serta merta di tolak oleh kalangan masyarakat
khususnya masyarakat yang masih sangat awam dengan ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya.12
12 Hamid, Edy Suandi, dkk., Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era multi Peradaban.
(Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2000), h. 17-19.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan lokasi penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, dimana analisis data bermaksud
mengorganisasikan data-data yang diperoleh, kemudian ditelaah sehingga
menghasilkan kesimpulan yang signifikan. Dalam memperoleh data-data dengan cara
wawancara secara langsung dan telaah pustaka serta dokumen yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti.
2. Lokasi penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan berkaitan dengan
permasalahan dan pembahasan penyusunan skripsi ini, maka penyusun melakukan
penelitian dengan memilih lokasi penelitian di Kota Makassar. Pengumpulan data dan
informasi akan dilaksanakan di Kantor Pimpinan daerah Muhammadiyah Makassar.
Lokasi penelitian dipilih dengan pertimbangan bahwa Kantor Pimpinan daerah
Muhammadiyah Makassar merupakan tempat untuk mengetahui segala bentuk
aktivitas yang dilakukan Muhammadiyah dalam menjalankan peranannya dalam
pengembangan Islam di Kota Makassar.
B. Metode pengumpulan data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Studi dokumen, yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah yang penyusun teliti.
31
2. Wawancara, merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan
komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul
data (pewawancara) dengan sumber data (responden).1 Wawancara dengan
melakukan Tanya jawab secara lisan, tertulis dan terstruktur dengan
menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. Dalam
hal ini, dilakukan wawancara dengan Ketua Muhammadiyah di Makassar
beserta staf-staf lainnya.
3. Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap
gejala yang tampak pada objek penelitian.2
C. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini ialah menggunakan pendekatan
historis deskriptif. Penggunaan pendekatan historis deskriptif ini ialah penyusun
berusaha mengungkapkan secara deskriptif sejarah dan perkembangan serta out put
dari Muhammadiyah.
Di sisi lain penulis juga menggunakan pendekatan sosiologis, geografis dan
psikologis. Pendekatan sosiologis disini ialah untuk mengetahui sosial
kemasyarakatan. Selain itu, untuk mengetahui letak geografis yang kemudian
berdampak pada psikologis masyarakat.
D. Sumber data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum (Jakarta: Granit, 2010), h. 72.
2Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1990), h. 100.
32
1. Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang
diteliti3 yakni data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara
dengan pakar, narasumber, dan pihak-pihak terkait dengan penyusunan
skripsi ini. Data primer juga diperoleh langsung dari sumber utama.4
2. Data sekunder, merupakan data yang sudah dalam bentuk jadi, yakni data
atau dokumen yang diperoleh dari instansi lokasi penelitian, literature, serta
yang ada relevansinya dengan materi yang dibahas. Data sekunder terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum
tersier yang dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah
dirumuskan.5
E. Instrument penelitian
Instrument penelitian yang dipakai untuk memperoleh data-data penelitian
saat sesuadah memasuki tahap pengumpulan data di lapangan adalah:
1. Daftar pertanyaan;
2. Alat tulis yaitu ballpoint dan kertas;
3. Alat rekam
3Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, h. 57.
4Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 30.
5Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 83.
33
F. Teknik pengolahan dan analisis
Data yang diperoleh dan dikumpulkan baik dalam data primer maupun data
sekunder dianalisa secara kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang dilakukan guna
mencari kebenaran kualitatif yakni merupakan data yang tidak berbentuk angka.
Analisa kualitatif dilakukan dengan jalan memberikan penilaian apakah
Peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar sudah sesuai
harapan atau belum, kemudian dipaparkan secara deskriptif yaitu dengan cara
menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya
yang berkaitan erat dengan penyusunan ini.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi KH. Abdullah
Abdullah lahir di Maros pada sekitar tahun 1895, ayahnya bernama Abdur
Rahman dan ibunya bernama Halimah. Kepada putranya Abdullah, Abdur Rahman
menaruh harapan agar anaknya kelak dapat menjadi ulama. Oleh karena itu, Abdullah
kecil diajari mengaji oleh ayahnya sendiri. Setelah bacaan Al-Qur’an dan pengetahuan
dasar-dasar agamanya dirasa cukup, Abdullah remaja dikirim oleh orang tuanya belajar
ke Petta Kalie di Maros.
Berbekal pengetahuan agama yang diperolehnya dari Petta Kalie Maros,
Abdullah berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus untuk tinggal
belajar memperdalam bahasa Arab dan ilmu agama. Di Mekkah, Abdullah menetap
lebih kurang sepulah tahun. Di sana, dia belajar kepada berbagai guru. Setelah beberapa
tahun tinggal di Mekkah, Haji Abdullah kawin dengan Hajjah Fatimah yang juga
berasal dari Maros. Hajjah Fatimah datang ke Mekkah bersama ayahnya untuk
menunaikan ibadah haji. Sebagai seorang pedagang kaya yang sangat prihatin terhadap
perkembangan Islam di daerahnya, ayah Hajjah Fatimah mendorong dan membantu
Haji Abdullah agar tetap tinggal di Mekkah memperdalam pengetahuan agama hingga
kelak dapat menjadi ulama dan kembali ke kampung halamannya. Harapan dan cita-
cita mertuanya itulah yang membuat Haji Abdullah betah tinggal di Mekkah selama
lebih kurang sepuluh tahun.
Setelah bekal ilmu pengetahuan agamanya dirasakan telah memadai, pulanglah
Haji Abdullah bersama istrinya ke kampung halamannya di Maros. Sekembalinya ke
Maros, mertua yang sangat menyayanginya itupun mendorongnya hijrah ke Makassar.
35
Haji Abdullah pun dibelikan rumah oleh mertuanya di kampung Butung, dekat masjid
kampung Butung.
Bersama istri tercintanya, Haji Abdullah tinggal di rumah tersebut hingga akhir
hayatnya. Di rumahnya itulah, Haji Abdullah mengajarkan agama Islam kepada
masyarakat sehingga masyarakat pun memberinya gelar sebagai Kiai. KH. Abdullah
dikabarkan aktif bershalat jamaah di masjid dan sangat rajin bersilaturahim dengan
sahabat-sahabatnya yang ada di sekitar kampung Butung, kampung Melayu, dan
kampung Wajo. Keaktifan KH. Abdullah mengajar, berjamaah dan bersilaturahim
itulah sehingga dia banyak berkenalan dengan orang-orang yang telah menerima
paham Muhammadiyah melalui hubungan dagang dengan orang-orang dari Jawa
(Yogyakarta, Surabaya, Pekalongan dan lain-lain), ucap Bapak Mustari Bosra.1
Di antara orang yang telah menerima bahkan telah menjadi anggota
Muhammadiyah yang menjadi sahabatnya ialah Mansyur Al-Yamani. Atas inisiatif
Mansyur Al-Yamanilah sehingga diadakan pertemuan di rumah Haji Muhammad
Yusuf Daeng Mattiro, pada malam tanggal 15 Ramadhan. Pertemuan tersebut
melahirkan Muhammadiyah Grup Makassar yang KH. Abdullah menjadi salah seorang
bestuur-nya (pemerintah), dengan posisi Vice Vorsitter (Wakil konsul).
Lebih kurang satu tahun kemudian, KH. Abdullah malah menjadi Voorsitter
(Konsul) Muhammadiyah grup Makassar. Dalam masa kepemimpinannyalah
Muhammadiyah grup Makassar ditingkatkan statusnya menjadi cabang. Dalam
statusnya sebagai Voorsitter Muhammadiyah cabang, KH. Abdullah sekaligus menjadi
koordinator grup-grup yang terbentuk di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, yaitu:
1 Mustari Bosra (Wakil ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan)
Wawancara; Samata, 06 Juli 2017.
36
Labbakkang, Pangkajene, Maros, Sengkang, Limbung, Bantaeng, Belawa, Majene,
Balangnipa, Mandar, Rappang, Pinrang, Palopo, Kajang, Soppeng Riaja, Takkalasi,
Lampoko, Ele Tanete, Tabba, Batu-batu (Soppeng), dan Campalagian.
Sejak terbentuknya cabang pada tahun 1927, secara berturut-turut diadakanlah
Konferensi Muhammadiyah. Pertama di Makassar tahun 1928; yang kedua di
Sengkang pada tahun 1929; ketiga di Majene tahun 1930; keempat Bantaeng tahun
1930; kelima di Labbakkang tahun 1931; dan keenam di Palopo tahun 1932. Pada
konferensi ke-6 inilah KH. Abdullah terpilih menjadi Konsul Muhammadiyah Celebes
Selatan yang pertama.
Menurut keputusan konferensi, KH. Abdullah didampingi oleh Mansyur Al-
Yamani selaku vice voorsitter (Wakil konsul), H. Nurdin Dg. Magassing selaku
sekretaris, Daeng Manja selaku penning meester (Bendahara), Andi Sewang Daeng
Muntu, Saloko Daeng Malewa, Syahadat Daeng Situju, Ali Seilala, dan Hajjah Daeng
Rumpu, sebagai commisaris (Pembantu umum).
KH. Abdullah memegang jabatan Konsul dari konferensi ke-7 hingga
konferensi ke-13, setelah Haji Andi Sewang Daeng Muntu terpilih menggantikan KH.
Abdullah pada konferensi ke-13 di Selayar tahun 1938. Meskipun ia tidak dipilih lagi
sebagai konsul, KH. Abdullah dengan kebesaran jiwanya tetap menjadi commisaris
Konsul hingga akhir hayatnya.
KH. Abdullah meninggal dunia bertepatan dengan serangan bom oleh serdadu
sekutu terhadap kapal-kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan pada tanggal 24 April
1944 pukul 12.00 menjelang shalat dzuhur. Beberapa pesan KH. Abdullah yang sering
disampaikan dalam bahasa Bugis, dituturkan kembali oleh Drs. Muhammad Yamin
Data, yaitu “Aja muallejjai tauwe mu enre, tanrerei padammu rupa tau nawatakko
37
menreq” (Janganlah engkau injak orang untuk kau naik, junjunglah orang agar engkau
ditarik naik). “Ngingi piarai bere jamaqna risempoangngi dalleqna pole ri Puangnge”
(Barang siapa yang memelihara shalat jamaahnya, Allah swt. memudahkan rizkinya.2
B. Peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar periode
KH. Abdullah 1931-1938
Awal mula Muhammadiyah cabang (awalnya ranting) Muhammadiyah
Makassar terbentuk pada tahun 1926 di bawah oleh pedagang batik keturunan Arab
berasal dari Sumenep (Madura) dengan KH. Abdullah sebagai ketuanya, didampingi
oleh tokoh-tokoh lainnya yang juga menjadi pengurus sejak mula didirikannya, antara
lain H. Nuruddin Daeng Magassing sebagai sekretaris. Kantor pertama
Muhammadiyah cabang Makassar berada di jalan Banda Straat (kini jalan Banda) milik
Daeng Tawiro.
Pembicaraan tentang kehadiran Muhammadiyah di Sulawesi Selatan apalagi
pada periode KH. Abdullah, tidak boleh tidak harus dimulai dari kedatangan Mansyur
Al-Yamani di Makassar pada sekitar tahun 1923. Ketika itu, Al-Yamani dikenal
sebagai seorang pedagang batik. Dia membuka toko di Pasarstraat (Sekarang Jl.
Nusantara) Makassar.
Al-Yamani dilahirkan di Sumenep Madura pada sekitar tahun 1894. Ayahnya
adalah seorang Madura keturunan Arab. Di Sumenep, Al-Yamani kecil belajar agama
kepada ayahnya sendiri dan kepada beberapa orang Kiai, di samping belajar di sekolah
pemerintah. Sebelum hijrah ke Makassar, Al-Yamani muda menetap di Surabaya.
Ketika Muhammadiyah cabang Surabaya terbentuk, dia menjadi salah seorang
2 Lasa Hs, Widyastuti, dkk. 100 Tokoh Muhammadiyah yang menginspirasi. (Yogyakarta:
Majelis pustaka dan informasi pimpinan pusat Muhammadiyah, 2014), h. 70-71.
38
anggotanya. Sebagai anggota Muhammadiyah, dia aktif belajar kepada Kiai Haji Mas
Mansyur, Voorsitter Muhammadiyah cabang Surabaya.
Berbekal ilmu agama dan ke-Muhammadiyahan yang diperolehnya itu maka
sejak masih di Surabaya, Al-Yamani sudah menjadi muballigh Muhammadiyah.
Setelah hijrah ke Makassar, dia meneruskan kegiatan dakwahnya di samping
profesinya sebagai pedagang. Untuk melaksanakan aktivitas dakwahnya di Makassar,
Al-Yamani menjalin hubungan dengan para pengurus dan anggota organisasi
keagamaan lokal di Makassar yaitu Shiratal Mustaqiim yang pada umumnya juga
pedagang. Berhubung dalam banyak hal, paham agama Al-Yamani sama dengan
paham agama para pengurus Shiratal Mustaqiim, maka keikutsertaannya dalam
diskusi-diskusi kegamaan yang dilaksanakan Shiratal Mustaqiim adalah ibarat kata
pepatah “bertemu ruas dengan buku”. Dalam diskusi-diskusi itulah, Al-Yamani
memperkenalkan persyarikatan Muhammadiyah kepada para pengurus dan anggota
Shiratal Mustaqiim.
Setelah lebih kurang tiga tahun, Al-Yamani memperkenalkan Muhammadiyah
kepada para pengurus dan anggota Shiratal Mustaqiim, sampailah pada suatu titik
klimaks, yaitu ketika beberapa orang pengurus dan anggota Shiratal Mustaqiim
berkehendak untuk melebur organisasinya ke dalam persyarikatan Muhammadiyah
dengan jalan membentuk cabang Muhammadiyah di Makassar. Keinginan itu tentu
disambut baik oleh Al-Yamani. Oleh karena itu, Al-Yamani menyampaikan berita
gembira tersebut kepada Hoofdbestuur ( Pimpinan pusat) Muhammadiyah di
Yogyakarta.
Atas restu Hoofdbestuur Muhammadiyah yang disampaikan melalui Al-
Yamani pada malam tanggal 15 Ramadhan 1344H, Bertepatan dengan tanggal 27 April
39
1926, diadakanlah rapat pembentukan Muhammadiyah, bertempat di rumah Haji
Muhammad Yusuf Daeng Mattiro yang terletak di Pasarstraat (Sekarang Jl. Nusantara)
Makassar. Rapat yang diprakarsai oleh Mansyur Al-Yamani, Haji Yusuf Daeng
Mattiro dan Haji Abdullah itu dihadiri oleh tidak kurang dari lima belas orang calon
anggota Muhammadiyah. Di antara mereka yang hadir itu terdapat beberapa orang
pengurus Shiratal Mustaqiim dan jamaah masjid kampung Buton yang selama ini
dibina oleh KH. Abdullah.
Setelah beberapa orang peserta rapat mengemukakan pendapatnya,
disepakatilah pendirian Muhammadiyah grup Makassar dan pembentukan Bestuur-
nya. Perkumpulan Shiratal Mustaqiimlah yang dilebur menjadi Muhammadiyah grup
Makassar tetapi barangkali tidak demikian adanya. Meskipun ada di antara
pengurusnya yang terpilih menjadi Bestuur Muhammadiyah, perkumpulan Shiratal
Mustaqiim tidak dilebur menjadi Muhammadiyah. Terbukti di kemudian hari,
perkumpulan Shiratal Mustaqiim masih tetap eksis dan berkembang ke beberapa
daerah di luar Makassar.
Adapun yang terpilih sebagai Bestuur Muhammadiyah grup Makassar periode
pertama, ialah:
1. Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro, sebagai Voorsitter (Ketua)
2. Haji Abdullah, sebagai Vice Voorsitter (Wakil ketua)
3. Muhammad Said Daeng Sikki, sebagai Secretaris (Sekretaris)
4. Haji Yahya, sebagai Penningmeester (Bendahara)
5. Mansyur Al-Yamani, sebagai Commissaris (Pembantu)
6. Muhammad Tahir Cambang, sebagai Commissaris (Pembantu)
7. Haji Ahmad, sebagai Commissaris (Pembantu)
40
8. Abdul Karim Daeng Tunru, sebagai Commissaris (Pembantu)
9. Haji Muhammad Yunus Saleh, sebagai Commissaris (Pembantu)
10. Daeng Minggu, sebagai Commissaris (Pembantu)
Hal lain yang juga menjadi keputusan rapat ialah Muhammadiyah grup
Makassar yang baru terbentuk itu akan mengutus Mansyur Al-Yamani ke Yogyakarta
untuk melaporkan kepada Hoofdbestuur Muhammadiyah tentang telah terbentuknya
Muhammadiyah di Makassar dan memohon kepada Hoofdbestuur agar segera datang
meresmikan dan memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan lebih lanjut.
Berselang lebih kurang satu bulan setelah terbentuknya Muhammadiyah grup
Makassar, bertolaklah Mansyur Al-Yamani ke Yogyakarta. Sambil berbelanja untuk
keperluan tokonya, dia pun segera menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya,
yakni melapor dan memohon kedatangan Hoofdbestuur Muhammadiyah ke Makassar.
Kesibukannya sebagai pedagang menyebabkan Al-Yamani tidak dapat berlama-lama
tinggal di Yogyakarta menunggu Hoofdbestuur yang berjanji akan ke Makassar selepas
Idul Adha. Dia segera kembali ke Makassar melalui Surabaya. Satu minggu selepas
Idul Adha, Hoofdbestuur Muhammadiyah memenuhi janjinya. Hoofdbestuur
mengutus Haji Muhammad Yunus Anis, Secretaris Hoofdbestuur ke Makassar.
Kedatangannya tentu disambut dengan gembira oleh Bestuur dan para anggota dan
simpatisan Muhammadiyah grup Makassar. Begitu hebat sambutan pengurus
Muhammadiyah grup Makassar, Haji Muhammad Yunus Anis disewakan penginapan
khusus di Jalan Buru. Selama lebih kurang dua minggu, penginapan yang ditempati
Haji Muhammad Yunus Anis selalu ramai oleh pengurus yang datang berkonsultasi
atau datang menjemput untuk memberi pengajian dan memulangkannya.
41
Kegiatan utama Haji Muhammad Yunus Anis di Makassar adalah meresmikan
berdirinya grup Muhammadiyah Makassar dan melantik Bestuurnya. Sebagai
rangkaian acara pelantikan Muhammad Yunus Anis berfoto bersama dengan para
Bestuur grup Muhammadiyah Makassar. Dalam foto dokumentasi yang tersimpan di
kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut, Haji Muhammad Yunus Anis dipotret
bersama dengan para Bestuur Muhammadiyah grup Makassar.3 Menurut Bapak
Mustari Bosra ketika foto tersebut dia perlihatkan kepada Ibu Sitti Rabiah, aktivis
Aisyiyah periode awal yang juga anak angkat KH. Abdullah beberapa tahun yang lalu,
dia hanya dapat mengidentifikasi Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro, Haji
Abdullah, Mansyur Al-Yamani, Haji Yahya, Haji Muhammad Tahir Cambang, Haji
Muhammad Saleh, dan Haji Muhammad Yunus Anis.
Berdasarkan tanggal yang tertera di dalam foto tersebut dapatlah dipastikan
bahwa peresmian Muhammadiyah grup Makassar dan pelantikan Bestuur-nya
berlangsung pada tanggal 21 Dzulhijjah 1344 H, bertepatan dengan 2 Juli 1926
(penentuan tanggal miladiyahnya dilakukan berdasarkan perhitungan Al-Manak
Algemen tahun 1926, yang terdapat di Arsip Nasional Jakarta). Peresmian dilakukan
dalam suatu open bare veergadering (pertemuan umum terbuka) bertempat di Jalan
Komedian (sekarang jalan Bontolempangan) yang terdapat di kota Makassar ketika itu
Segera setelah peresmiannya, Muhammadiyah cabang Makassar memulai
aktivitasnya. Kegiatan pertama yang dilakukan Muhammadiyah cabang Makassar
adalah adalah menyelenggarakan vergadering (rapat umum) yang oleh orang Makassar
pada waktu itu disebut sebagai parahadele. Dalam vergadering itulah dibicarakan
3 Mustari Bosra, dkk. MENAPAK JEJAK: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-ketua
Muhammadiyah Sulawesi Selatan. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), h. 24-27.
42
berbagai hal mengenai pengembangan organisasi Muhammadiyah dan masalah-
masalah yang berkaitan dengan ajaran agama Islam yang dikenal dengan istilah
“tabligh”, yang oleh orang Makassar disebut tabale.4
Memanfaatkan keberadaan Yunus Anis di Makassar yang lebih kurang sepuluh
hari lamanya itu, dialah yang selalu diundang untuk bertabligh dalam vergadering-
vergadering yang diadakan Muhammadiyah pada hari-hari pertama kegiatannya.
Melalui perantaraan Haji Muhammad Yunus Anis yang akan segera kembali ke
Yogyakarta karena tugasnya di Makassar telah selesai, Bestuur Muhammadiyah
cabang Makassar menitipkan harapan, supaya Hoofdbestuur dapat segera mengirim
tenaga guru ke Makassar untuk membina sekolah yang segera akan didirikan. Beberapa
bulan kemudian datanglah dua orang guru, utusan dari Hoodfbestuur Muhammadiyah
Yogyakarta, yaitu: Raden Hilman dan Sangadi Kusumo.
Untuk memanfaatkan tenaga kedua orang guru tersebut, pada tahun 1928,
Bestuur Muhammadiyah cabang Makassar membuka sebuah sekolah setingkat sekolah
dasar sekarang, yaitu Honlandsche Inlandsche School med de Al-Qur’an (HIS).
Sekolah tersebut dipimpin oleh Yahya bin Abdul Rahman Bayasut, seorang keturunan
Arab yang pernah mengajar lama di sekolah Pemerinta Hindia Belanda. Dalam
melaksanakan tugas sebagai guru, dia dibantu Raden Hilman dan Sangadi Kusumo.
Masih pada tahun 1928, Muhammadiyah cabang Makassar membuka satu
sekolah lagi, yaitu Munir School semacam madrasah ibtidaiyah sekarang. Berbeda dari
HIS yang pengajarannya dititikberatkan pada ilmu pengetahuan umum dan bahasa
Belanda dengan sedikit tambahan pelajaran agama. Munir School menekankan pada
4 Mustari Bosra (Wakil ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan)
Wawancara; Samata, 06 Juli 20
43
pelajaran agama dengan sedikit tambahan pengetahuan umum. Sementara itu,
digalakkan pula pemberantasan buta huruf di kalangan anggota Muhammadiyah, baik
laki-laki maupun perempuan. Untuk itu, maka dibuka pulalah sebuah sekolah (kursus)
yang disebut “Menyesal School”.
Di bawah kepemimpinan Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro,
Muhammadiyah cabang Makassar berkembang dengan pesat. Tetapi, setelah berjalan
lebih kurang satu tahun sesudah diresmikan, Muhammadiyah cabang Makassar
mengalami cobaan yang sangat besar. Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro,
Voorsitter Muhammadiyah grup Makassar diisukan telah mengalami seorang gadis
yang tinggal di rumahnya. Apakah isu itu benar atau salah tidak diketahui secara pasti.
Tetapi, Haji Yusuf Daeng Mattiro rupanya tidak dapat mengelakkan diri dari isu itu,
bahkan istrinya sendiri meminta cerai sesaat setelah isu itu tersebar luas. Tidak
diketahui secara pasti, berapa lama Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro memimpin
Muhammadiyah grup Makassar.5
Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro berhenti sebagai Voorsitter
Muhammadiyah grup Makassar, segera setelah dia terttimpa musibah fitnah bahwa dia
menghamili seorang gadis yang tinggal di rumahnya. Menjelang pada saat menjabat
sebagai Voorsitter Muhammadiyah grup Makassar, Haji Muhammad Yusuf Daeng
Mattiro dikenal sebagai seorang pabantilang (pedagang grosir yang menampung
barang kemudian dijual kepada pedagang kecil). Ia juga dikenal sebagai orang yang
taat beragama dan sangat memerhatikan masalah dakwah.
5 Mustari Bosra, dkk. MENAPAK JEJAK: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-ketua
Muhammadiyah Sulawesi Selatan, h. 29-30.
44
Muhammad Yusuf Daeng Mattiro lahir di Selayar sekitar tahun 1895. Ayahnya
adalah seorang pedagang kopra. Sebagai anak pedagang, dia bidup berkecukupan. Oleh
karena itu, selain mengikuti pendidikan tradisional mengaji Al-Qur’an dan dasar-dasar
ajaran agama Islam, dia pun berkesempatan mengenyam pendidikan formal di sekolah
Pemerintah Hindia Belanda. Setelah menanjak dewasa, Muhammad Yusuf Daeng
Mattiro merantau ke Makassar. Dengan bekal ijazah sekolah rakyat yang ia bawa dari
Selayar, dia diterima bekerja di salah satu perusahaan ekspedisi di pelabuhan Makassar.
Sambil bekerja, Muhammad Yusuf Daeng Mattiro juga membangun usaha dagang,
yang dikemudian hari mengantarkannya menjadi pabantilang sukses dan
berkemampuan untuk menunaikan ibadah haji, tutur Bapak Mustari Bosra ketika
memperoleh keterangan melalui sumber lisan dengan Hajjah Sitti Rabiah.6
Sebagai seorang perantau yang sukses, Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro
menjadi tumpuan harapan keluarganya di Selayar. Sehubungan dengan itulah, maka
salah seorang kerabat Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro mengirim anak gadisnya
ke Makassar untuk tinggal di rumahnya. Harapan kerabat Deang Mattiro, tentu saja
dalam rangka meringankan beban hidupnya yang serba kekurangan, sekaligus
membantu istri Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro mnegurus anak-anak dan
mengerjakan pekerjaan rumah tangganya sehari-hari.
Entah siapa yang menzinahi anak gadis yang tinggal di rumah Haji Muhammad
Yusuf Daeng Mattiro sehingga hamil itu, tidak diketahui secara pasti. Satu hal yang
jelas ialah bahwa istri Daeng Mattiro dan masyarakat umum menuduh Daeng Mattiro
sebagai pelakunya. Meskipun tuduhan terhadap Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro
6 Mustari Bosra (Wakil ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan)
Wawancara; Samata, 06 Juli 2017.
45
itu tidak pernah terbukti kebenarannya, namun dampaknya terhadap persyarikatan
Muhammadiyah sangat besar. Masyarakat yang sejak awal menentang kehadiran
Muhammadiyah, tentu saja semakin mengolok dan mencemooh para anggota dan para
pimpinan Muhammadiyah. Menyadari diri sebagai tertuduh dalam kasus yang sangat
memalukan dan mencemarkan nama persyarikatan itu, maka atas desakan dari para
anggota dan para pimpinan Muhammadiyah, Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro
mengundurkan dari dari jabatannya sebagai Voorsitter Muhammadiyah grup
Makassar.7
Bapak Mustari Borsa berkata pula terkait pengunduran diri Haji Muhammad
Yusuf Daeng Mattiro yang sumbernya masih dari Hajjah Sitti Rabiah, setelah
Muhammad Yusuf Daeng Mattiro mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Voorsitter Muhammadiyah grup Makassar, dia tidak pernah lagi mengikuti kegiatan
apapun Muhammadiyah. Tetapi informasi yang diperoleh lebih lanjut, Haji
Muhammad Yusuf Daeng Mattiro rupanya masih tetap memberikan bantuannya
kepada Muhammadiyah. Menurut laporan panitia pelaksana Kongres Muhammadiyah
ke 21 tahun 1932, Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro adalah salah seorang di antara
lima orang dermawan, yang mobilnya disumbangkan untuk mengangkut para peserta
kongres.
Menyusul pengunduran diri Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro, para
Bestuur Muhammadiyah Makassar lainnya menyepakati memilih KH. Abdullah
sebagai Voorsitter Muhammadiyah grup Makassar. Di tangan KH. Abdullah,
Muhammadiyah grup Makassar ditingkatkan statusnya menjadi cabang yang
7 Mustari Bosra, dkk. MENAPAK JEJAK: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-ketua
Muhammadiyah Sulawesi Selatan, h. 31-32.
46
mengkordinir grup-grup yang telah ada di Celebes Selatan hingga akhirnya menjadi
Konsoelat (Konsul) pada tahun 1931, setelah beberapa grup yang tersebar di beberapa
daerah ditingkatkan statusnya menjadi cabang.
Ada dua persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh suatu grup untuk dapat
ditingkatkan statusnya menjadi cabang. Pertama, telah membentuk dan membina
sekurang-kurangnya tiga grup. Kedua, telah memiliki amal usaha nyata berupa sekolah,
masjid, dan panti asuhan. Untuk itu, maka berbarengan dengan peningkatan jumlah
cabang dan grup, berkembang pula amal-amal usaha Muhammadiyah dalam bentuk
sekolah, masjid dan panti asuhan. Dengan demikian, turut sertalah Muhammadiyah
mewarnai jalannya pendidikan di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu alternative di
luar sekolah Pemerintah dan sekolah Kristen dan Katolik.
Menyusul pembukaan madrasah di daerah-daerah sebagaimana telah
dikemukakan, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Muhammadiyah cabang
Makassar ialah mendatangkan ulama-ulama muda dari Jawa dan Sumatera yang akan
menjadi guru sekaligus memimpin madrasah atau sekolah yang didirikannya. Tugas
pokok para ulama muda itu adalah mengajar dan berdakwah.
Memasuki akhir tahun 1931, Muhammadiyah cabang Makassar diperkuat oleh
seorang ulama muda yang datang dari Sumatera Barat, yaitu Haji Abdul Malik Karim
Amrullah (HAMKA). Dia dikirim oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah atas permintaan
Bestuur Muhammadiyah cabang Makassar. Kecuali sebagai guru dan muballigh, dia
juga diharapkan mempersiapkan penyelenggaraan Kongres Muhammadiyah ke 21
pada bulan Juni 1932, di Makassar.
Menurut Hoofdbestuur Muhammadiyah sebagaimana tertuang dalam “buah
kongres”, kongres Muhammadiyah ke 21 di Makassar dinilai sukses. Redaktur surat
47
kabar ‘Tentara Islam’, demikian pula ‘Suara Muhammadiyah’, melaporkan bahwa
kongres Muhammadiyah yang ditempatkan di Makassar sangat menarik perhatian dan
minat masyarakat Makassar. Setiap hari tidak kurang dari 5.000 orang yang menonton
dari luar arena kongres. Hal ini menandakan bahwa perhatian masyarakat sangat besar.
Menurut ‘Tentara Islam’, masyarakat berduyun-duyun untuk menyaksikan kegiatan
yang disebut kongres, ada juga masyarakat yang ingin menyaksikan dari dekat kegiatan
Muhammadiyah yang sesungguhnya, sebab sebelumnya mereka hanya mengetahui
bahwa Muhammadiyah adalah suatu gerakan yang membawa praktik agama baru,
menentang adat istiadat negeri, menentang bid’ah, takhayul dan khurafat.
Kongres Makassar ternyata berdampak besar terhadap perkembangan
Muhammadiyah di Celebes Selatan. Setahun setelah kongres, anggota Muhammadiyah
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dari hanya dua cabang dan lima belas
grup sebelum kongres, satu tahun sesudah kongres, meningkat menjadi empat cabang
dan 39 grup. Demikian pula sekolah dan masjid mengalami perkembangan yang sangat
pesat.
Segera setelah kongres, Muhammadiyah cabang Makassar membuka Madrasah
Muallimin di Jalan Muhammadiyah. Untuk memanfaatkan semaksimal mungkin
keberadaan Hamka di Makassar, dialah yang diangkat sebagai Kepala Sekolah. Setelah
pembukaan Muallimin Muhammadiyah di Makassar, satu tahun kemudian
Muhammadiyah cabang Majene juga membuka Madrasah Tsanawiyah. Berbarengan
dengan itu, di beberapa daerah grup-grup baru juga dibuka yang kemudian disusul
dengan pendirian amal-amal usaha. Selain itu digalakkan pula kegiatan dakwah amar
48
ma’ruf nahi munkar, baik berupa tabligh maupun debat dengan para ulama tradisional
yang menentang Muhammadiyah, jelas Bapak Mustari Bosra8
Muhammadiyah cabang Makassar di bawah kepemimpinan KH. Abdullah
memang nampak nyata dalam mengembangkan gerakannya. Infrastruktur organisasi
semakin lengkap, tabligh-tabligh pun semakin digencarkan. Demikian pula
penempatan kader melalui kelompok-kelompok pengajian semakin digiatkan. Peserta
pengajian Muhammadiyah semakin bertambah, baik yang dari Makassar sendiri
maupun yang berasal dari daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan. Ketentuan organisasi
yang memberikan kesempatan kepada anggota Muhammadiyah yang telah cukup
berjumlah 15 orang untuk membuat grup Muhammadiyah di daerah masing-masing,
semakin menmabah jumlah kelompok-kelompok Muhammadiyah bahkan sampai ke
daerah-daerah lain di luar Makassar.9
KH. Abdullah memegang jabatan Konsul dari konferensi ke-7 hingga
konferensi ke-13, setelah itu Haji Andi Sewang Daeng Muntu terpilih
menggantikannya pada konferensi ke-13 di Selayar tahun 1938. Meskipun tidak
terpilih lagi sebagai Konsul, KH. Abdullah dengan kebesaran jiwanya tetap menjadi
Komisaris Konsul hingga akhir hayatnya.
Tradisi kebesaran jiwa yang dicontohkan oleh KH. Abdullah inilah yang
kemudian diwarisi para pemimpin Muhammadiyah maupun Aisyiyah yang lain. Haji
Abdul Wahab Radjab misalnya, dia pernah menjadi ketua Muhammadiyah Daerah
Sulawesi Selatan dan Tenggara, setelah melanglang buana di Jakarta sebagai politisi
8 Mustari Bosra (Wakil ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan)
Wawancara; Samata, 09 Juli 2017.
9 Mustari Bosra, dkk. MENAPAK JEJAK: Sejarah Gerakan dan Biografi Ketua-ketua
Muhammadiyah Sulawesi Selatan, h.37-38.
49
dan kembali lagi ke Makassar, dia tidak canggung menjadi hanya sebagai ketua majlis
atau sekedar anggota Pimpinan Wilayah saja. Demikian pula dengan pimpinan lain,
tetap aktif sekalipun tidak menjadi ketua lagi, walaupun hanya menjadi wakil ketua
bahkan ketua majlis.
Ketekunan dan keseriusan KH. Abdullah mengurusi Muhammadiyah selama
kepemimpinannya sebagai Konsul Muhammadiyah, KH. Abdullah sangat rajin
melakukan inspeksi ke cabang dan grup. Tiap tahun selepas shalat Idul Fitri KH.
Abdullah melakukan perjalanan keliling Sulawesi Selatan menginspeksi cabang dan
grup di wilayah Konsulatnya. Perjalanan secara estafet itu lamanya tidak kurang dari
satu bulan bahkan sering kali beliau shalat dan khotbah Idul Adha masih di daerah.
Akomodasi dan konsumsi selama berada di satu cabang atau grup ditanggung
oleh cabang atau grup yang didatanginya. Oleh karena belum ada hotel atau
penginapan, maka KH. Abullah diinapkan di rumah pimpinan atau anggota
Muhammadiyah setempat. Adapun biaya transportasi, dari satu cabang atau grup ke
cabang atau grup lainnya, kalau tidak diantar atau ditanggung oleh pimpinan cabang
atau grup yang dikunjungi, atau dijemput oleh cabang atau grup yang akan dikunjungi,
maka KH. Abdullah sendirilah yang menanggungnya. Pada masa kepemimpinannya
sebagai Konsul tujuh tahun sebagai KH. Abdullah telah berhasil memajukan
Muhammadiyah di Makassar.10
C. Eksistensi Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar periode
KH. Abdullah 1931-1938
Sejak disepakati menjadi ketua Muhammadiyah cabang Makassar, KH.
Abdullah mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya mengembangkan dan
10 Lasa Hs, Widyastuti, dkk. 100 Tokoh Muhammadiyah yang menginspirasi. h. 71.
50
mengajarkan cita-cita dan paham Muhammadiyah tentang Islam. Pengajian-pengajian
semakin digiatkan dan dipusatkan di rumah beliau sendiri. Pengajian organisasi
diberikan oleh Mansyur Yamani dan masalah-masalah paham agama diberikan oleh
KH. Abdullah dengan menggunakan bahasa daerah (bahasa Bugis dan Makassar).
Setelah Muhammadiyah mendapatkan perhatian yang semakin besar dari
masyarakat, maka para pengurus merasa perlu melaksanakan penataan organisasi.
Salah satu wujud keseriuasan tersebut maka para pengurus mengusahakan ruang
perkantoran yang sekaligus dapat dijadikan tempat pertemuan.
Aktivitas itu terus berkembang tahun-tahun berikutnya, sehingga
memungkinkan Muhammadiyah mulai melaksanakan pendidikan. Semangat
menghidupkan organisasi terlihat demikian tinggi, sehingga setiap hari para pengurus
Muhammadiyah yang umumnya adalah pedagang ramai mendatangi kantor tersebut
baik di waktu pagi maupun di sore hari.
Muhammadiyah sebagai suatu organisasi sosial yang berasaskan Islam, telah
menetapkan arah gerak juangnya sebagai suatu gerakan dakwah amar ma’ruf nahi
mungkar serta sebagai objeknya adalah manusia yang mana mengarahkan pada
perbaikan, membina ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Oleh karena itu,
organisasi masa Muhammadiyah merupakan salah satu pergerakan Islam yang pertama
dengan bentuk modern dalam era kolonial Belanda, terkhusus pada masa KH.
Abdullah. Lahirnya para kader organisasi dalam perjuangan perbaikan akhlak manusia
serta perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
menunjukkan eksistensi Muhammadiyah mempertahankan pembaharuannya dalam
51
pengembangan Islam, tidak hanya dalam pembaharuan Islam modern, tetapi juga
dalam tatanan pemerintahan.11
Semenjak kepemimpinan KH. Abdullah, Muhammadiyah telah menunjukkan
keeksistensiannya dalam pengembangan Islam di Makassar yang sangat pesat karena
dengan berdirinya cabang-cabang di luar Makassar sebagai bukti kemajuannya.
Nampaknya keberadaan Muhammadiyah mulai diterima di masyarakat secara luas,
sehingga pada tahun 1935 anggotanya bertambah menjadi 43.000 orang, dan pada
tahun 1938 anggota Muhammadiyah bertambah sangat banyak dengan jumlah anggota
250.000 orang. Dalam hal ini, catatan tersebut adalah jumlah keseluruhan anggota
Muhammadiyah di Indonesia, bukan hal yang bisa dipungkiri bahwa KH. Abdullah
juga ikut andil dalam penambahan jumlah anggota Muhammadiyah.12
Eksistensi Muhammadiyah di Makassar pada masa KH. Abdullah sudah sangat
diterima oleh masyarakat luas khususnya kaum muslim, sudah selayaknya melebarkan
sayapnya dimana Muhammadiyah tetap menjalankan amal usahanya baik di bidang
pendidikan, ekonomi, sosial dan kesehatan. Usaha-usaha Muhammadiyah sebagai
wujud pelaksanaan gerakan dakwah dalam bidang-bidang kehidupan yang
diterapkannya merupakan antara visi, misi dan strategi untuk mewujudkan Islam di
mata masyarakat sebagai ajaran yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul.13
Perkembangan Muhammadiyah yang demikian pesat itu terkait dengan
keberhasilan Muhammadiyah merangkul tiga komponen yang berpengaruh dalam
11 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Hoeve, 2005), h. 13.
12 Rosyidi Syahlan, Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi. (Solo: Mutiara, 1982). h.17.
13 Hery Sucipto, Senarai Tokoh Muhammadiyah: Pemikiran dan kiprahnya. (Jakarta: Grafindo,
2005), h. 23.
52
masyarakat yaitu bangsawan, ulama dan pedagang. Melalui jaringan perdagangan, KH.
Abdullah bersama Mansyur Al-Yamani berhasil mempengaruhi seorang pedagang
keturunan Arab di Sengkang yang bernama Ahmad Balahmar. Melalui Ahmad
Balahmar seorang keturunan bangsawan di Wajo tertarik pula menjadi anggota
Muhammadiyah. Dia kemudian diangkat menjadi pimpinan Muhammadiyah grup
Sengkang. Melalui pengaruhnyalah sehingga banyak masyarakat yang menjadi
pendukung Muhammadiyah. Dari Sengkang, melalui jaringan perdagangan dan
pengaruh para bangsawan Muhammadiyah merambah ke daerah-daerah sekitarnya,
seperti Soppeng dan Palopo.
Berbeda dari Sengkang, di Rappang yang mula-mula tertarik kepada
Muhammadiyah adalah seorang ulama yang sangat disegani di daerah itu, bernama
Haji Ibrahim. Dia pernah menuntut ilmu selama beberapa tahun di Mekkah. Sekembali
dari Mekkah, dia diangkat menjadi guru bagi anak-anak bangsawan. Sehubungan
dengan itulah maka dia mendapat gelar kehormatan sebagai Gurunna Andi dan
dikemudian hari, gelar ini lebih populer dari pada namanya sendiri. Melalui perantara
Haji Ibrahim, seorang pedagang kaya bernama Haji Saeni juga masuk menjadi anggota
Muhammadiyah. Perdagangannya memiliki jarinagn sampai ke beberapa daerah di luar
Rappang, seperti Enrekang, Pinrang, Mandar dan Tator. Melalui jaringan
perdagangannya Haji Saeni mempropagandakan Muhammadiyah dan berhasil. Relasi-
relasi dagangnya di daerah-daerah tersebut di atas banyak yang menjadi anggota dan
pelopor berdirinya Muhammadiyah di daerahnya.
Di bagian selatan kota Makassar, para pengurus Muhammadiyah juga berhasil
membangun jaringan melalui pengaruh para bangsawan. Di daerah Kajang
Bulukumba, Muhammadiyah berhasil memikat hati seorang raja setempat. Dalam
53
kedudukannya sebagai raja Kajang atau kepala distrik menurut struktur pemerintahan
kolonial. Dia terpilih menjadi ketua Muhammadiyah dan meninggalkan jabatannya
sebagai kepala distrik yang menerima gaji dari penguasa kolonial.
Keberhasilan Muhammadiyah merangkul orang-orang yang berpengaruh dalam
masyarakat itulah, salah satu faktor yang mempercepat ajaran yang dianggap reformis
itu tersebar luas. Berdasarkan laporan Konsul Muhammadiyah di Sulawesi Selatan
pada konferensi ke-16 tahun 1941 di Sengkang, Muhammadiyah di Sulawesi Selatan
telah memiliki 6 buah cabang, 76 grup, anggota resmi 7000 orang, simpatisan atau
pengikut 30000 orang, masjid/mushallah 41 buah, sekolah diniyah 52 buah, sekolah
HIS 4 buah, guru 79 orang dan murid 5000 orang.14
Muhammadiyah pada periode KH. Abdullah ini tentunya banyak hal yang harus
dibenahi agar tetap eksis untuk ke depannya. Salah satu hal yang patut dilakukan adalah
menjadikan Muhammadiyah menjadi organisasi yang bukan hanya menginginkan
anggota, akan tetapi harus juga menjadi organisasi yang berkualitas secara kualitas,
terutama kualitas anggota-anggotanya, ucap Bapak Mustari Bosra.15
D. Faktor penghambat dan pendorong peranan Muhammadiyah dalam
pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938
1. Faktor penghambat peranan Muhammadiyah dalam pengembangan
Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938
14 Muhammad Azizan Sabjan dan Noor Shakirah Mat Akhir, Wacana ilmiah Muslim Se-Asean.
(Malaysia:Pusat sekretarian Falsafah dan Sains Islam, 2009), h. 352-353.
15Mustari Bosra (Wakil ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan)
Wawancara; Samata, 09 Juli 2017.
54
Dimana ada aksi, di situ ada reaksi, merupakan sunnatullah mewarnai
perjalanan hidup manusia sepanjang masa. Kehadiran Muhammadiyah dengan amalan
dan cita-cita yang diperjuangkan, tidak diterima oleh semua orang dengan gembira.
Muhammadiyah adalah organisasi pembaharu ajaran Islam yang pada waktu itu
Islam mengalami pendangkalan makna dan banyak dicampuri oleh tradisi-tradisi
Hindu Budha.
Kalau kita membaca sejarah awal berdirinya Muhammadiyah, tentunya kita
akan berfikir bahwa tentunya akan semakin banyak pula tantangan yang menjadi
penghambat dalam pengembangan Islam yang akan kita hadapi dan mestinya akan
lebih kompleks dari apa yang telah dihadapi oleh KH. Ahmad Dahlan. Ini tentunya
menjadi tantangan bagi semua kader Muhammadiyah untuk selalu mendakwahkan
ajaran Islam yang sebenar-benarnya melalui organisasi Muhammadiyah.
Kompleksitas tantangan yang menajdi penghambat juga akan dihadapi
Muhammadiyah di berbagai daerah, baik Muhammadiyah Wilayah, Daerah, Cabang
hingga Ranting. Secara umum, faktor penghambat Muhammadiyah suatu daerah
memiliki kesamaan dengan daerah lainnya, termasuk hambatam Muhammadiyah di
Makassar terkhusus pada periode KH. Abdullah 1931-1938.
a. Faktor Internal
Sejak berdirinya Muhammadiyah cabang Makassar pada periode KH.
Abdullah, Muhammadiyah telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Baik
perkembangan dalam hal amal usaha maupun perkembangan secara kuantitas.
Perkembangan Muhammadiyah selama ini tetap eksis dalam mengarungi setiap
perubahan zaman, perubahan era pemimpin, banyak perubahan-perubahan lainnya.
55
Tentunya hal ini bukan sesuatu yang mengalami hambatan dan terror yang dilakukan
oleh berbagai pihak.
1) Pikiran parsial
Gerakan Muhammadiyah adalah gerakan yang satu dan menyatukan. Artinya
setiap warga Muhammadiyah hendaknya memiliki kesamaan dan kesatuan rasa
tanggung jawab terhadap persyarikatan. Ranting dan cabang adalah bagian dari daerah.
Daerah adalah bagian dari wilayah dan wilayah bagian dari pusat. Sehingga baik
ranting, cabang, daerah dan wilayah adalah satu Muhammadiyah. Dan Muhammadiyah
adalah wadah perjuangan untuk memperjuangkan agama Allah swt. Maka, sebagai
warga Muhammadiyah harus bahu membahu, saling tolong menolong, membesarkan
Muhammadiyah dimana pun kita berada. Tidak ada ranting, cabang, daerah, wilayah
dan pusat jika gendering panggilan Muhammadiyah dikumandangkan. Semuanya
harus tunduk dan patuh kepada satu panggilan dan menanggalkan ego ranting, ego
cabang, ego daerah dan ego wilayah.
Yang menjadi salah satu penghambat peranan Muhammadiyah dalam
pengembangan Islam adalah adanya pemikiran parsial di antara pengurus. Salah satu
faktor adalah adanya pengurus yang merasa memiliki amal-amal usaha dibanding
pengurus lainnya, sehingga Muhammadiyah kurang bisa memaksimalkan atau
memanfaatkan amal-amal usaha untuk kepentingan. Oleh karena itu, Muhammadiyah
hendaknya menata ulang tata kelola amal-amal usaha, memperhatikan masa depan
pengelola-pengelola amal usaha yang telah berjasa memperjuangkan Muhammadiyah
dengan tenaga, pikiran dan waktunya. Muhammadiyah di masa mendatang hendaknya
berusaha memberikan jaminan-jaminan sesuai dengan kinerja pengurus. Namun, jiwa
perjuangan harus tetap dipertahankan, “Berjasalah tapi jangan minta jasa”.
56
2) Ruh perjuangan
Salah satu aspek yang menjadi kendala dalam penataan persyarikatan
Muhammadiyah khususnya cabang Makassar adalah faktor keikhlasan dalam
perjuangan menegakkan agama lewat Muhammadiyah. Hal ini karena adanya
pengaruh politik praktis yang terkesan “serba duit”. Cara berpikir pragmatis secara
tidak langsung berimbas kepada warga Muhammadiyah. Orientasi perjuangan yang
seharusnya menjadi ruh persyarikatan tergerus dan mengalami perubahan, bukan lagi
orientasi perjuangan namun berubah menjadi orientasi materi (kursi dan jabatan).
Kejayaan dan kebesaran Muhammadiyah tidak tergantung pada banyakanya
warga Muhammadiyah, banyaknya amal usaha, banyaknya Profesor dan Doktor,
namun Muhammadiyah ini besar ada di tangan warga Muhammadiyah yang berjiwa
besar, di tangan mereka yang mukhlis dalam berjuang, di tangan mereka yang berbuat
tanpa pamrih, di tangan mereka yang rela berbuat dan bertindak hanya mengharap
ridho Allah swt.
3) Kualitas pendidikan dasar dan menengah
Secara umum, pendidikan-pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah
cabang Makassar dijadikan pilihan akhir oleh calon siswa. Karena potensi amal usaha
di bidang pendidikan kurang tersatukan dan manhaj pendidikan Muhammadiyah yang
bervariasi (tidak memiliki kesamaan) sehingga kualitas pendidikan dasar hingga
menengah Muhammadiyah kurang terstandarisasi.
Sebagaimana kita ketahui, kiprah Muhammadiyah telah dimulai sebelum
Indonesia merdeka. Muhammadiyah telah melahirkan banyak tokoh-tokoh nasional
dan pejuang-pejuang kemerdekaan lewat pendidikan. Muhammadiyah menjadi sumber
57
inspirasi dunia dalam menjalankan ranah itu. Sekolah Muhammadiyah tumbuh dan
berkembang dengan corak khasnya.
Sekolah yang pada awalnya pendiriannya menjadi lembaga unggulan yang tak
bisa dipandang sebelah mata. Namun kini kehadiran sekolah Muhammadiyah tersaingi
sekolah lain, sehingga sekolah Muhammadiyah kerap dianggap nomor dua. Banyak
orang tak lagi memercayakan putra putrinya dididik oleh sekolah Muhammadiyah.
Inilah hambatan dalam bidang kultural (pendidikan) untuk bisa kembali menampilkan
keunggulan di bidang pendidikan terutama pendidikan tingkat dasar hingga menengah.
Hal ini juga karena sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan) yang
kurang dikader diberi pelatihan, sehingga tidak memahami seluk beluk pendidikan di
Muhammadiyah. Faktor lain yang menjadi permasalahan pendidikan Muhammadiyah
adalah masalah infrastruktur yang kurang memadai.16
4) Krisis Ulama
Ulama adalah pewaris para nabi. Merekalah yang sangat berkompeten
membicarakan masalah agama. Ulama tercipta karena pemahaman, pengetahuan dan
perbuatannya sesuai ajaran Islam. Muhammadiyah ini ada karena peran ulama. Ulama
adalah identitas utama Muhammadiyah.
Pergeseran kepercayaan masyarakat dari ulama ke akademisi juga menjadi
penyebab terjadinya krisis ulama terutama di daerah-daerah. Faktor lain yang menjadi
penyebab krisis ulama di kalangan Muhammadiyah adalah hilangnya model
pendidikan “muallimin” yang telah melahirkan ulama-ulama yang tersebar di tengah-
tengah masyarakat.
16 Ilham Hamid, Fahmi Jalaluddin, dkk. Matahari Pembaharuan di SERAMBI MADINAH
menelusuri tapak sejarah Muhammadiyah kota Makassar, (Makassar: Majelis Pustaka PDM Kota
Makassar & LSQ Makassar, 2015), h. 295-301.
58
Krisis ini tidak akan pernah berlalu jika hanya disikapi dengan diam, kritik,
penyesalan dan lain-lain. Namun, krisis ini bisa berlalu dengan tindakan nyata. Oleh
karena itu, Muhammadiyah cabang Makassar telah mengadakan pengkajian-
pengkajian di kalangan muballigh Muhammadiyah. Salah satu pengkajian yang
dijalankan adalah pengkajian ilmu mawarist, kajian-kajian kitab Subulussalam,
Ibanatul Ahkam, Nailul Author dan lain-lain. Meskipun peserta belum maksimal tapi
langkah-langkah penyelamatan persyarikatan dengan kaderisasi ulama harus terus
berjalan.
Selain kajian kitab-kitab tersebut, pendidikan ulama tarjih pun juga telah
dilaksanakan. Dalam hal ini ditangani langusng oleh Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah. Kendala utama dalam pendidikan ulama tarjih adalah penguasaan
bahasa Arab yang lemah di antara peserta.
5) Dakwah kemasyarakatan
Bersamaan dengan kemajuan zaman dan pengaruh dunia global, maka
masyarakat pun mulai beralih kepada penuhanan-penuhanan terhadap diri sendiri,
penuhanan terhadap harta benda, penuhanan terhadap jabatan, penuhanan terhadap
syahwat dan penuhanan terhadap akal (nalar). Fenomena-fenomena tersebut tentunya
menjadi sebuah pekerjaan rumah dalam dunia dakwah. Apalagi maraknya media massa
dan media sosial yang gencar mempropagandakan kebencian-kebencian kaum kafir
yang terselubung dengan keindahan dan kenikmatan dosa.17
17 Ilham Hamid, Fahmi Jalaluddin, dkk. Matahari Pembaharuan di SERAMBI MADINAH
menelusuri tapak sejarah Muhammadiyah kota Makassar, h. 303.
59
6) Mental pedagang vs mental birokrat
Sebagaimana diketahui pada awal pembentukannya Muhammadiyah di
Makassar dikomandani para pedagang, yang kemudian menjadi penopang
persyarikatan. Berbekal spirit dan mentalnya mereka menjadi lokomotif dakwah dan
penyebaran Muhammadiyah ke seluruh penjuru negeri. Namun kini, etos dagang itu
sedikit memudar.
Akhirnya kerja-kerja persyarikatan lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi
sehingga untuk mengumpulkan pimpinan ataupun pengurus perlu menyesuaikan waktu
mereka. Arti pentingnya mental pedagang persyarikatan ini perlu mendapat perhatian
dari generasi terkini. Pasalnya, melalui spirit tersebut bangunan sistem ekonomi
persyarikatan dapat kembali tegak.
7) Keberpihakan kepada Mustadhafiin
Ciri khas Muhammadiyah adalah keberpihakan kepada kaum miskin dan kaum
lemah. Keberpihakan ini didasarkan pada semangat teologi Al-Ma’un. Dalam sejarah
sosialnya, Muhammadiyah telah menunjukkan berbagai aktivitas sosial yang
berorientasi pada pembelaan dan pemihakan kepada kaum duafa, fukara, masakin dan
mustadhafiin.
Muhammadiyah tampak kurang memiliki kepekaan dan responsivitasnya
terhadap masalah kaum papa, lemah, miskin dan terpinggirkan. Muhammadiyah,
misalnya tidak lagi memiliki kepekaan terhadap persoalan kaum buruh, nelayan, petani
serta kaum lainnya yang terpinggirkan. Oleh karena itu tidak heran jika
60
Muhammadiyah belum menjadi tenda sosial kemanusiaan bagi kaum buruh, petani,
nelayan serta kaum marginal lainnya.18
b. Faktor eksternal
Adapun yang menjadi faktor eksternal Muhammadiyah yang menjadi
penghambat dalam pengembangan Islam pada periode KH. Abdullah, yaitu:
1) Orang-orang yang Muhammadiyah yang pakai pentolan (celana panjang)
dituding orang nasrani, serta shalat tanpa kopiah (penutup kepala) disebut kafir.
2) Orang-orang Muhammadiyah yang shalat jum’at dengan sekali adzan dan
dengan khotbah bahasa Indonesia atau bahasa daerah dituduh pengrusak agama
dan diperkarakan.
3) Orang-orang Muhammadiyah yang tarwih di bulan ramadhan dengan delapan
rakaat ditambah witir 3 rakaat dengan sekali salam serta shalat Ied di tanah
lapang terbuka dituduh orang yang sesat dan merusak agama.
4) Orang-orang Aisyiyah dan puteri-puterinya yang memakai kudung (jilbab)
dikatakan merusak adat bahkan dijuluki dengan gelaran sinis “haji tallettu”
artinya haji yang tidak sampai di Mekkah.
5) Orang-orang Muhammadiyah dan Aisyiyah yang mengumpulkan bantuan
penyantunan yatim piatu dituduh pula hanya memperalat anak yatim untuk
menutupi kebutuhan rumah tangganya.
6) Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menggunakan bangku, meja, papan
tulis dengan guru-gurunya yang berpentolan dan berdasi dituduh sebagai orang
nasrani yang berkedok Islam, tuduhan yang demikian diberikan karena pada
18 Ilham Hamid, Fahmi Jalaluddin, dkk. Matahari Pembaharuan di SERAMBI MADINAH
menelusuri tapak sejarah Muhammadiyah kota Makassar, h. 305-306.
61
waktu itu hanya di sekolah-sekolah nasrani menggunakan alat dan guru yang
berpakaian demikian.
7) Orang-orang Muhammadiyah yang tidak bertalkin dan membaca surah yasin di
kuburan orang yang baru meninggal dan tidak pula merayakan dengan
selamatan dan sesajen kiriman kepada keluarga yang telah meninggal, dituding
sebagai pendurhaka kepada leluhur dan merusak agama nabi Muhammad
Saw.19
Selain itu, menurut Bapak Mustari Bosra, seringnya terjadi perdebatan dengan
ulama tradisional terkait masalah-masalah keagamaan yang dinilai bid’ah, seperti
shalat tarwih 20 rakaat, qunut subuh terus-menerus, baca talqin di kuburan, dan lain-
lain. Perdebatan dan pertentangan lainnya, terjadi antara Muhammadiyah dengan
pejabat parewa sara’ ketika Muhammadiyah mendirikan masjid dan hendak
melaksankan shalat jum’at. Menurut adat, dalam satu kampung hanya boleh ada satu
masjid dan yang menjadi penyelenggara ibadah di dalam masjid adalah pejabat parewa
sara’, khutbanya pun harus dalam bahasa Arab. Sedangkan bagi Muhammadiyah siapa
saja dapat menjadi Imam, khatib dan memimpin penyelenggaraan ibadah lainnya.
Khutbah dapat disampaikan dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah yang dimengerti
oleh jamaah.
Demikianlah faktor yang menjadi penghambat yang dihadapi oleh
Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah tetap saja berkembang dengan pesatnya.
Anggota dan amal usahanya terus menerus saja bertambah.
19 Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan (Jakarta: IPPSDM-WIN, 1999), h. 29-30.
62
2. Faktor pendorong peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam
di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938
Adapun yang menjadi faktor pendorong peranan Muhammadiyah dalam
pengembangan Islam di Makassar pada masa KH. Abdullah, antara lain:
a. Muhammadiyah menata sruktur organisasinya sehingga pengurus Muhammadiyah
mengetahui dengan jelas tugas dan fungsinya masing-masing serta menjalankan
tanggung jawab yang diembannya.
b. Dilaksanakannya dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid yang diwujudkan
dalam bentuk usaha, program dan kegiatan yang meliputi penanaman keyakinan;
pendalaman dan perluasan pemahaman; meningkatkan pengalaman; serta
penyebarluasan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
c. Lingkungan sekitar juga menjadi faktor pendorong kepada persyarikatan
Muhammadiyah dalam menjalankan peranannya yaitu, para pendatang yang sesuai
dengan aspirasi Muhammadiyah di Makassar pada periode KH. Abdullah
memberikan dukungan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan menyeru dan
mengajak umat Islam serta warga masyarakat Makassar untuk memahami ajaran
Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
d. Dalam peranannya Muhammadiyah di Makassar tidak lepas pula dari faktor
pendorong yang berupa alat (wadah) yaitu telah didirikannya berbagai masjid.
Sehingga dapat digunakan sebagai alat dakwah guna mencapai tujuan
pengembangan Islam.20
20 Mustari Bosra (Wakil ketua pimpinan wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan)
Wawancara; Samata, 09 Juli 2017.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pokok permasalahan yang telah di bahas oleh
penyusun di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebagai organisasi Islam modernis yang ajarannya berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. dimana gerakannya berlandaskan amar ma’ruf nahi
mungkar sesuai yang terkandung dalam QS. Ali Imran/3 : 104, Muhammadiyah
pada periode KH. Abdullah 1931-1938 telah menjalankan perananannya dalam
pengembangan Islam di Makassar dengan baik dan sesuai dengan visi misi
Muhammadiyah. Ini buktikan dengan banyaknya amal usaha yang telah
dilaksanakan; seperti mendirikan lembaga pendidikan, tabligh-tabligh semakin
digencarkan, mendirikan lembaga kesehatan dan panti asuhan serta masjid,
infrastruktur organisasi semakin lengkap, berkembangnya status
Muhammadiyah dari Muhammadiyah grup Makassar menjadi Muhammadiyah
cabang Makassar. Selain itu pula yang membuat KH. Abdullah telah
menjalankan peranannya sesuai harapan sebagai pimpinan Muhammadiyah
pada masanya adalah kongres Muhammadiyah ke-21 yang diadakan di
Makassar dinilai sukses dan sangat menarik perhatian serta minat masyarakat
Makassar terhadap Muhammadiyah.
2. Eksistensi peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam pada periode
KH. Abdullah 1931-1938 di Makassar ini mendapat perhatian besar dari
masyarakat Makassar, terbukti dengan didirikannya cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Makassar dan semakin bertambahnya anggota
64
Muhammadiyah. Selain itu pula, Muhammadiyah pada periode KH. Abdullah
berhasil merangkul tiga komponen yang paling berpengaruh masyarakat yaitu
bangsawan, ulama dan pedagang.
3. Adapun yang menjadi faktor penghambat peranan Muhammadiyah dalam
pengembangan Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938 yaitu
terdiri dari: Faktor internal (pikiran parsial, ruh perjuangan, kualitas
pendidikan dasar dan menengah, krisis ulama, dakwah kemasyarakatan, adanya
mental pedagang vs mental birokrat dan keberpihakan kepada Mustadhafiin),
dan Faktor eksternal lebih mengarah kepada pandangan buruk masyarakat
terhadap cara berpakaian anggota Muhammadiyah, tata cara shalat dan
berkhutbah anggota Muhammadiyah, kebiasaan-kebiasaan nenek moyang yang
tidak dilaksanakan oleh Muhammadiyah dianggap pendurhaka oleh
masyarakat, sekolah-sekolah Muhammadiyah dianggap berkedok nasrani, dan
seringnya terjadi perdebatan dengan ulama tradisional terkait masalah
keagamaan.
Sedangkan faktor pendorong peranan Muhammadiyah dalam pengembangan
Islam di Makassar periode KH. Abdullah 1931-1938 yaitu; Terstrukturnya
organisasi Muhammadiyah sehingga para pengurus menjalankan tugas dan
fungsinya masing-masing sesuai tanggung jawab yang diembannya,
dilaksanakannya dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dengan kegiatan amal
usaha yang bermanfaat sehingga mendatangkan nilai positif dari masyarakat
Makassar, para pendatang yang sesuai dengan aspirasi Muhammadiyah
memberikan dukungan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan banyaknya
65
masjid yang telah didirikan menjadi alat dakwah guna mencapai tujuan
pengembangan Islam.
B. Implikasi
Terkait dengan hasil penelitian, maka beberapa implikasi dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam pada periode KH.
Abdullah harusnya menjadi contoh untuk Muhammadiyah di masa yang akan
datang, agar Muhammadiyah menjadi lebih baik dalam mengemban amanah.
2. Eksistensi Muhammadiyah harus lebih ditingkatkan lagi dengan melebarkan
sayapnya hingga ke pelosok-pelosok yang tidak hanya di Makassar saja, tetapi
sebaiknya hingga pelosok di luar Sulawesi Selatan.
3. Meminimalisir semaksimal mungkin yang menjadi faktor penghambat peranan
Muhammadiyah dalam pengembangan Islam, dan memaksimalkan yang
menjadi faktor pendorong Muhammadiyah dalam pengembangan Islam.
4. Hendaknya Muhammadiyah lebih responsivitas dan meningkatkan
kepekaannya terhadap kaum marginal, sehingga tidak hanya berpihak kepada
mustadhafiin saja.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jabbar Umar. Peran Muhammadiyah dalam pemberdayaan Civil Society pasca
reformasi, Skripsi, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo
(Semarang 2007). Lib.iain-walisongo.ac.id. Diakses pada Hari Rabu 09 Maret
2016 pada pukul 11.00 WIB.
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta: Granit, 2010.
Akhir Mat Shakirah Noor dan Sabjan Azizan Muhammad. Wacana ilmiah muslim Se-
Asean. Malaysia:Pusat sekretarian Falsafah dan Sains Islam, 2009.
Arifin. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka jaya, 1987.
Asikin, Zainal H dan Amiruddin. Pengantar metode penelitian. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar baru Van Hoeve, 2005.
Bakry, Natsir. Peranan lajnah tarjih Muhammadiyah dalam pembinaan hukum Islam
di Indonesia. Jakarta: CV. Karya Indah, 1985.
Bosra, Mustari dkk. MENAPAK JEJAK: Sejarah gerakan dan biografi ketua-ketua
Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015.
Halilurrahman Ahmad. Peranan Muhammadiyah dalam bidang Pendidikan tahun
1912-1950, Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Jember (Jember,2013). http://repository.unj.ac.id:4001/digilib /gdl.php?mo d =
browse&op = read&id =- -ahmadhal- 9669. Diakses pada Hari Rabu 29 Maret
2017 pada pukul 09.30 WIB.
Hamdan, Hambali. Ideologi dan Strategi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2003.
Ibrahim, Johnny. Teori dan metodologi penelitian. Malang: Bayumedia Publishing,
2006.
Jainuri, Achmad. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM, 2002.
Jalaluddin Fahmi, Hamid Ilham dkk. Matahari pembaharuan di SERAMBI MADINAH
menelusuri tapak sejarah Muhammadiyah kota Makassar. Makassar: Majelis
Pustaka PDM Kota Makassar & LSQ Makassar, 2015.
67
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. Jawa Barat: Sygma
CreativeMedia Corp, 2014.
Lubis, Arbiah. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan
Bintang, 1989.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
Nadjamuddin dan Ramly. Ensiklopedi tokoh Muhammadiyah. Jakarta: Best Media
Utama, 2010.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah pemikiran dan gerakan. Jakarta:
Bulan bintang, 2003.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1990.
Radjab Wahab Abdul. Lintasan Perkembangan dan Sumbangan Muhammadiyah di
Sulawesi Selatan. Jakarta: IPPSDM-WIN, 1999.
Suandi Edy, Hamid dkk. Rekonstruksi gerakan Muhammadiyah pada era multi
peradaban. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2000.
Sucipto, Hery. Senarai Tokoh Muhammadiyah: Pemikiran dan kiprahnya. Jakarta:
Grafindo, 2005.
Sutarmo. Muhammadiyah Gerakan Sosial Keagamaan Modernis. Yogyakarta : Suara
Muhammadiyah, 2005.
Syahlan, Rosyidi. Kemuhammadiyahan untuk perguruan tinggi. Solo: Mutiara, 1982.
Widyastuti, Lasa Hs dkk. 100 Tokoh Muhammadiyah yang menginspirasi. Yogyakarta:
Majelis pustaka dan informasi pimpinan pusat Muhammadiyah, 2014.
68
DAFTAR INFORMAN
Bapak Dr. KH. Mustari Bosra M. A. (Wakil ketua pimpinan wilayah
Muhammadiyah Sulawesi Selatan) di Samata, pada tanggal 06 Juli dan 09 Juli
2017.
Foto bersama setelah berbincang-bincang di kediaman beliau.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Foto KH. Abdullah (Konsulat Muhammadiyah di Makassar periode 1931-1938).
TABEL PROGRAM AKSI MUHAMMADIYAH
CABANG MAKASSAR
PERIODE 1931-1938
Bidang Tarjih dan Tajdid Bidang Tabligh Bidang Pendidikan Dasar dan
Menengah
Melakukan pembinaan dalam
meningkatkan kuantitas dan
kualitas smberdaya insani melalui
Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah.
Mengaktifkan pengajian tarjih di
masjid-masjid Muhammadiyah di
setiap Cabang dan/atau Rating
bekerjasama dengan majelis
tabligh.
Mengaktifkan korps muballigh
Muhammadiyah dalam melayani
pengajian di masjid-masjid dan
majelis taklim.
Membuat sillabi ceramah dan
khutbah untuk setiap tahun untuk
pegangan para muballigh.
Melakukan pembinaan dan
pelatihan dasar muballigh/at muda.
Melaksanakan Pengajian setiap
menghadapi bulan suci Ramadhan
dan silaturrahim selesai lebaran
Idul fitri dan idul adha.
Melakukan bimbingan
penyusunan program sekolah
dan madrasah sebagai upaya
meningkatkan kualitas
pelayanan terhadap masyarakat.
Melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap
pengelolaan
pembelajaran,melalui
pengangkatan pengawas
sekolah.
Melakukan Upaya khusus
pengembangan madrasah
Muhammadiyah.
Bidang Pendidikan Kader Bidang Kesehatan Bidang Pelayanan Sosial
Melaksanakan pengkaderan
tingkat ranting sebagai upaya
meningkatkan kualitas kader
Muhammadiyah.
Melakukan pembinaan dan
pengkaderan instruktur ranting.
Membentuk dan mengembangkan
jejaring pelayanan kesehatan
Muhammadiyah.
Melakukan pembinaan
pengasuh panti asuhan
Muhammadiyah.
Melakukan pembinaan
ketrampilan khusus bagi anak
panti.
Mendirikan panti asuhan yang
berfungsi pesantren.
Bidang Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Cabang
dan Ranting
Bidang Zakat, Infak dan
Sedekah
Menata lingkungan hidup amal
usaha Muhammadiyah.
Melakukan penyuluhan tentang
lingkungan yang bersih dan sehat.
Mendirikan ranting dan cabang
baru di daerah-daerah.
Melakukan pembinaan terhadap
cabang dan ranting.
Memelihara cabang dan ranting
yang ada.
Melakukan Pengajian di Cabang
dan Ranting.
Melakukan pengelolaan zis.
Melakukan pendataan muzakki.
Melakukan pendataan
mustahiq.
Madrasah Muallimin yang terletak di Jalan Muhammadiyah, Makassar. Salah satu
bukti nyata kepemimpinan KH. Abdullah pada masa jabatannya. Terlihat dari
bangunan Madrasah tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah mengalami renovasi.
Panti asuhan Bahagia yang didirikan pada masa KH. Abdullah, terletak di Jalan
Muhammadiyah, Makassar. Gambar menunjukkan bahwa bangunan panti ini telah
mengalami pula renovasi.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Ika Novita Sari, Lahir 23 November 1992 di Takalar. Anak
Pertama dari Empat bersaudara dan merupakan buah kasih sayang
dari pasangan Alm. Abd. Kadir dan Hamsinah. Penulis mulai
menempuh pendidikan formal di TK Al-Hidayah Rappojawa,
Makassar dan tamat pada tahun 1999. Kemudian berlanjut di SD
Inp. Bertingkat Rappojawa, Makassar pada tahun 1999 dan tamat pada tahun 2005.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah pertama
di SMP Neg. 4 Makassar dan tamat pada tahun 2008. Penulis kemudian
melanjutkan pendidikan di SMK Neg. 4 Makassar dan tamat pada tahun 2011.
Dengan motivasi yang besar, pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan
tinggi di UIN Alauddin Makassar pada fakultas Adab dan Humaniora Jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam.